Tarekat
Naqsyabandiyah masuk ke
India dibawa oleh Sayyidi Syaikh Muaiyiduddin Muhammad Baqi Billah qs. dan
dilanjutkan oleh Sayyidi Syaikh Akhmad Faruqi Sirhindi Q.S. yang lahir di
Sirhindi, kini negara bagian Punjab, sebelah barat New Delhi pada Jum’at, 4
Syawal 971 H atau 26 Mei 1564. Disebut al-Faruqi karena beliau memiliki
garis keturunan yang bersambung sampai kepada Khalifah Umar. Tarekat
Naqsyabandiyah betul-betul telah tumbuh dan berkembang di India sebelum Syaikh
M. Baqi Billah wafat pada 1603 M. Penerusnya, Syaikh Akhmad, sangat yakin akan
tugas besarnya dalam memainkan peranan menumbuhkan kehidupan keagamaan di
masanya. Berkat bimbingan dan dorongan Syaikh M. Baqi Billah, Syaikh Akhmad
sadar akan tugas-tugas tersebut.
Beliau
diperkenalkan dengan seorang yang memegang posisi penting dalam pemerintahan
Kerajaan Mughal - seorang jenderal yang juga murid Syaikh M. Baqi Billah, yakni
Syaikh Farid Murtadha Khan.
Bidang administrasi dan militer merupakan aspek karir Syaikh Farid yang menonjol. Loyalitasnya kepada negara dan kedermawanannya dalam kualitas yang baik sekali. Syaikh Farid juga mendapat penghormatan dan penghargaan dari para ulama dan pembaharu karena keberanian, ketulusan dan keikhlasannya. Dia memperoleh posisi baik dalam pemerintahan Sultan Akbar.
Bidang administrasi dan militer merupakan aspek karir Syaikh Farid yang menonjol. Loyalitasnya kepada negara dan kedermawanannya dalam kualitas yang baik sekali. Syaikh Farid juga mendapat penghormatan dan penghargaan dari para ulama dan pembaharu karena keberanian, ketulusan dan keikhlasannya. Dia memperoleh posisi baik dalam pemerintahan Sultan Akbar.
Kepada
Syaikh Farid inilah sebagian besar surat-surat Syaikh Ahmad ditujukan;
mengingatkan bahwa keadaan Islam di India telah merosot dan menjadi tugas
mereka untuk menegakkan kembali. Beliau ingatkan pula bahwa figur Nabi Muhammad
saw. merupakan panutan terbaik. Dalam sebuah surat yang lain, tidak lama
setelah Khwaja Baqi Billah berpulang, dia berterima kasih kepada Syaikh Farid
karena telah menyediakan sesuatu untuk mereka yang berdiam di khanaqah Khwaja.
Hal ini membuktikan bahwa Syaikh Farid menyokong gerakan pembaharuan secara
moril dan materiil.
Seluruh
ajaran Syaikh Ahmad termaktub dalam surat-suratnya yang terdiri dari 534 buah.
Kemudian surat-suratnya itu dikumpulkan menjadi magnum opus dari seluruh karyanya
berjudul al-Maktubat Imam Rabbani
Sebagaimana
diketahui, pada masa itu India dibawah kekuasaan Kaisar Mughal Sultan Akbar,
dalam masa pemerintahannya ia mencoba menawarkan konsep toleransi antar umat
beragama yang disebut Tauhid Ilahi atau lebih populer dengan nama
Din-i-Ilahi. Konsep toleransi yang pada akhirnya terjerumus pada
sinkretisme Hindu dan Islam ini, semula dimaksudkan mendamaikan pertikaian
panjang antara umat Hindu dan Muslim, sekaligus menampung kepentingan mayoritas
Hindu di dalam kekuasaan Mughal. Namun dalam tataran ’akar rumput’, konsep ini
telah membawa ’kekisruhan’ bagi masyarakat India saat itu, khususnya antara
Muslim dan penganut Hindu.
Aturan yang
penuh kontroversi antara lain: Sijda (sujud) saat menghadap raja. Boleh meminum
anggur jika diijinkan dokter untuk sekadar menguatkan badan. Prostitusi yang
dilegalkan dengan melokalisasi di suatu tempat di dalam kota yang dinamakan
Shaitanpura atau Desa Syetan. Larangan menyembelih dan memakan daging sapi -
termasuk sebagai hewan kurban. Penghapusan jizyah (zakat perlindungan bagi
non-Muslim). Di tataran masyarakat mengubah masjid menjadi candi, atau
sebaliknya, kerap terjadi.
Kondisi umat
Islam sendiri banyak diwarnai syirik dan bid’ah, terutama
disebabkan oleh kontak dengan kepercayaan politeistik yang hidup di India.
Tidak jarang umat Islam di India ikut dalam kegiatan peribadatan non-Muslim.
Faktor lainnya, bid’ah dan khurafat telah merajalela, terutama disebabkan oleh
adanya pengaruh sufi palsu yang bodoh dan sesat. Misalnya, pelaksanaan ritual
kurban di makam wali (masyayikh). Para wanita biasanya melakukan puasa dengan
niat untuk para guru sufi tertentu, dan untuk itu dilakukan serangkaian ritus.
Sebagian besar sufi di masa itu lebih sering larut dalam pesta musik (sama’),
tarian spiritual (raqs), serta melebih-lebihkan peringatan kelahiran Nabi
Muhammad SAW.
Syaikh
Akhmad menyesalkan para ulama masa itu, yang seharusnya menjadi penjaga agama
dan menyelamatkan umat dari syirik dan bid’ah, namun diri mereka justru
terjerumus dalam praktik-praktik demikian. Syaikh Akhmad menentang
keras konsep Din-i-Ilahi yang digagas Sultan Akbar. Ia mulai melakukan
serangkaian pembelaan bagi kepentingan Islam yang telah dipinggirkan oleh
penguasa. Kekhawatiran Syaikh Akhmad adalah dapat tercerabutnya akar tradisi
Islam dan lunturnya syariat Islam. Ia mencoba berkorespondensi dengan sejumlah
menteri yang dekat dengan Sultan Akbar agar pesannya di dalam surat tersebut
disampaikan kepada Sultan.
Andaikata kedua pribadi agung itu - Syaikh Farid dan Syaikh Ahmad - tidak ada, mungkin Islam telah lenyap di India dengan meninggalnya Akbar. Mungkin Islam telah lenyap di India dengan meninggalnya Akbar. Mungkin negara Islam Pakistan dan Bangladesh tidak akan pernah ada. Sebab jika Khusru’ anak Jahangir naik tahta, dan jika Syaikh Farid berdiam diri dan tidak mau membai’at Jahangir, tentu negara yang dipimpin oleh Khusru’ akan lebih banyak diwarnai agama Hindu dan Sikh. Untunglah hal itu tidak terjadi. Allahu Akbar!
Andaikata kedua pribadi agung itu - Syaikh Farid dan Syaikh Ahmad - tidak ada, mungkin Islam telah lenyap di India dengan meninggalnya Akbar. Mungkin Islam telah lenyap di India dengan meninggalnya Akbar. Mungkin negara Islam Pakistan dan Bangladesh tidak akan pernah ada. Sebab jika Khusru’ anak Jahangir naik tahta, dan jika Syaikh Farid berdiam diri dan tidak mau membai’at Jahangir, tentu negara yang dipimpin oleh Khusru’ akan lebih banyak diwarnai agama Hindu dan Sikh. Untunglah hal itu tidak terjadi. Allahu Akbar!
MISI PERMURNIAN SYAIKH AHMAD SIRHINDI
(PENGASAS NAQSYABANDIYYAN MUJADDIDIYAH)
Tarekat
Naqsyabandiyah di bawah pimpinan Syaikh Ahmad mempunyai 3 (tiga) misi besar
yang harus diselesaikan pada masa hidupnya.
Pertama, mengkritik kaum kafir,
bid’ah, dan berbagai doktrin yang salah, serta meneguhkan kembali nubuwwah,
beriman kepada wahyu dan agama Rasul. Mengutuk kemungkaran, kekafiran, dan
kembali mematuhi Sunnah. Menentang kekuatan-kekuatan anti Islam serta menjaga
lembaga-lembaga dan hukum Islam.
Kedua, mengklarifikasi propaganda
penganut Syi’ah yang mengutuk dan mempersalahkan para sahabat Rasul yang
telah merampas kekuasaan dari tangan Ali yang notabene - dalam perspektif Syiah
- adalah pewaris kekuasaan sesudah Nabi SAW wafat.
Ketiga, pemurnian ajaran tasawuf dari
pengaruh teori wahdat al-wujud. Syaikh Akhmad meyakini bahwa penganut teori
tersebut kurang peduli terhadap syariat. Mereka berkeyakinan bahwa syariat
hanyalah jalan untuk mencapai kebenaran, tetapi mereka yang sudah mencapai
kebenaran itu menganggap tugas-tugas syariat tidak lagi diperlukan.
Usaha Syaikh
Akhmad untuk melaksanakan misinya itu tidak pernah berhenti sampai ajal
menjemput Sultan Akbar yang kemudian diganti oleh putranya yang bernama asli
Salim kemudian setelah menjadi sultan berganti nama Jahangir. Dengan
meninggalnya Akbar tanggal 15 Oktober 1605 maka berakhir pulalah Din-i-Ilahi, karena
Akbar hanya mengandalkan pengaruh dan contoh-contoh yang diberikannya. Dia
tidak mengangkat orang-orang yang akan meneruskan dan mempropagandakan
gagasannya itu. Jahangir yang naik tahta pada 21 Oktober 1605 tidak melanjutkan
gagasan ayahnya. Akan tetapi sijda masih tetap dipertahankan di kala menghadap
raja di istana.
Untuk
menarik hati rakyat dia menetapkan suatu dekrit yang berisikan 12 fasal yang
masih berhubungan dengan Din-i-Ilahi, seperti larangan pemungutan zakat,
larangan penyembelihan binatang-binatang pada hari tertentu, dan penghormatan
yang diberikan kepada hari Minggu.
Saat pelantikan Jahangir menjadi sultan, ia memberi gelar -Tuan Pedang dan Pena- kepada Syaikh Farid, dan memerintahkannya untuk mematahkan pemberontakan Pangeran Khusru’ - anak Jahangir sendiri yang ingin menjadi raja. Misi tersebut berhasil dan Syaikh Farid mendapatkan gelar ’Murtadha Khan’. Sementara Syaikh Akhmad melihat bahwa inilah momentum bagus untuk mengembalikan Islam dan kaum Muslimin kepada ajaran yang sesungguhnya. Namun sejak awal Syaikh Akhmad sebenarnya tidak berharap terlalu banyak hal-hal itu dapat direalisasikan, sekalipun Jahangir pernah berjanji kepadanya.
Saat pelantikan Jahangir menjadi sultan, ia memberi gelar -Tuan Pedang dan Pena- kepada Syaikh Farid, dan memerintahkannya untuk mematahkan pemberontakan Pangeran Khusru’ - anak Jahangir sendiri yang ingin menjadi raja. Misi tersebut berhasil dan Syaikh Farid mendapatkan gelar ’Murtadha Khan’. Sementara Syaikh Akhmad melihat bahwa inilah momentum bagus untuk mengembalikan Islam dan kaum Muslimin kepada ajaran yang sesungguhnya. Namun sejak awal Syaikh Akhmad sebenarnya tidak berharap terlalu banyak hal-hal itu dapat direalisasikan, sekalipun Jahangir pernah berjanji kepadanya.
Ternyata
benar dugaannya, setelah pernikahan Jahangir dengan Nur Jehan, suasana berbalik
arah. Syaikh Akhmad dibenci karena ia dianggap pemimpin Sunni. Ajarannya tidak
lagi didengar. Bahkan, ia sempat mendekam di penjara karena sebuah fitnah,
tetapi akhirnya Jahangir berbaik hati, Syaikh Akhmad dibebaskan setelah setahun
mendekam di penjara.
Anak Jahangir
yang lain, Shah Jahan menggantikannya dan naik tahta pada 6 Pebruari 1628.
Apabila Jahangir memperlakukan agama Jain dan Sikh dengan perlakukan yang tidak
menunjukkan rasa toleransi, maka Shah Jahan juga menganut paham yang sama,
tetapi sasarannya adalah orang-orang Hindu dan tahanan Kristen yang ada di
Hugli. Di samping itu dia menghidupkan kembali rasa agama yang mulai padam
dengan mengeluarkan beberapa dekrit. Pertama kali dia memperbaiki kalender.
Kalender menurut perhitungan matahari dianggap bid’ah, dan karena itu
dihentikan. Semua kejadian resmi dan transaksi dicatat menurut tahun qamariah,
dan untuk itu era Hijrah diutamakan. Sijda (sujud) yang telah menjadi mode di
masa pemerintahan Akbar dan Jahangir dihentikan, sebab dianggap bertentangan
dengan syari’at.
Inti sari
ajaran Din-i-Ilahi; agar semua rakyat dapat perlakuan yang sama berdasarkan
undang-undang keadilan alam (natural justice), tidak digubris oleh Shah Jahan.
Di kala anaknya, Aurangzeb, naik tahta pada 21 Juli 1658, maka dia
ternyata lebih ekstrem lagi dari Shah Jahan dalam membela dan
menyebar-luaskan agama Islam.
Kewajiban
pajak untuk semua bahan komoditi yang dijual ditetapkan 2,5% bagi orang-orang
Islam, dan 5% bagiorang Hindu. Kemudian dalam Mei 1667 orang-orang Islam
seluruhnya dibebaskan dari pajak seperti itu, dan negara harus melepaskan
banyak pendapatan. Cara lain yang dipergunakan oleh Sultan agar membujuk
konversi ke dalam Islam adalah memberikan hadiah-hadiah dan kedudukan-kedudukan
bagi orang-orang Hindu yang melepaskan agamanya. Negara menjadi sebuah pranata
misionari besar yang perlindungannya meluas kepada orang-orang yang menukar
agamanya dan memberikan banyak janji tanpa memandang keuntungan dan efisiensi.
Bukan itu
saja, pada 1668, pasar-pasar amal bagi orang-orang Hindu ditutup di seluruh
kerajaan. Pada 2 April 1679 jizyah yang telah dibekukan di masa Akbar dicairkan
kembali oleh Aurangzeb di seluruh provinsi, dengan tujuan membendung
orang-orang kafir dan untuk membedakan tanah orang Islam dan tanah orang kafir.
Demikianlah
Aurangzeb tidak mengindahkan sama sekali ajaran Din-i-Ilahi, yang satu pokok
ajarannya ialah, semua agama sama derajatnya. Agama Islam mewarnai politik
pemerintahannya, dan sedapat mungkin disesuaikan dengan standar ortodoks Sunni.
Itulah sebabnya dia mengambil tindakan-tindakan tersebut di atas. Hal itu
adalah berkat adanya Tarekat Naqsyabandiyah yang diperkenalkan oleh Syaikh M.
Baqi Billah, dilanjutkan oleh Syaikh Akhmad serta anaknya Syaikh Muhammad
Ma’sum Q.S. (silsilah ke-24).
Disamping
itu terdapat pejabat tinggi yang tidak memihak kepada pembaharuan agama yang
diadakan oleh Akbar. Beliau adalah Syaikh Farid, seorang jenderal yang tangguh
dari kaum bangsawan. Keistimewaan Tarekat Naqsyabandiyah yang
diperkenalkan oleh Syaikh M. Baqi Billah ini ialah keinginannya untuk
memenangkan umat Islam dengan cara mempengaruhi pejabat-pejabat tinggi
pemerintahan, baik sipil maupun militer. Sedangkan ulama sebelumnya meremehkan
hal itu.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan