Disampaikan Ketika Kembali dari Shiffin
Saya memuji
Allah dengan memohon kelengkapan Rahmat-Nya dengan tunduk kepada Keagungan-Nya
dan mengharapkan keselamatan dari ber-buat dosa kepada-Nya. Saya memohon
pertolongan-Nya karena memerlukan kecukupan-Nya (untuk perlindungan). Orang
yang ditunjuki-Nya tidak tersesat, orang yang memusuhi-Nya tidak mendapat
perlindungan, orang yang didukung-Nya tidak akan tetap kekurangan. Pujian
adalah yang paling berat dari semua yang ditimbang dan paling berharga dari
semua yang disimpan.
Saya
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Esa. Tidak ada yang
menyerupai-Nya. Kesaksian saya telah teruji dalam keterbukaannya, dan
hakikatnya adalah iman kami. Kami akan berpegang teguh padanya selama kami
hidup dan akan menyimpannya dengan menghadapi azab yang me-nyusul kami karena
ia adalah batu fondasi keimanan dan langkah pertama kepada amal saleh dan
keridaan Ilahi. la adalah sarana untuk menjauhkan iblis.
Saya juga
bersaksi bahwa Muhammad SAWW adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Allah mengutus-Nya
dengan agama yang cemerlang, syiar yang efektif, Kitab yang terpelihara, cahaya
yang bersinar, nyala yang kemilau, dan perintah yang tegas untuk mengusir
keraguan, mengajukan bukti-bukti yang jelas, menetapkan peringatan melalui
tanda-tanda, dan memperingatkan akan hukuman. Pada waktu itu manusia telah
jatuh ke dalam kemungkaran yang dengan itu tali agama telah diputuskan,
tiang-tiang keimanan telah tergoncang, prinsip-prinsip telah dicemari, sistem
telah jungkir balik, pintu-pintu sempit, lorong-lorong gelap, petunjuk tidak
dikenal, dan kegelapan merajalela.
Allah tidak
ditaati, iblis diberi dukungan, dan keimanan telah dilupakan. Akibatnya,
tiang-tiang agama runtuh, jejak-jejaknya tak terlihat, lorong-lorongnya telah
dirusakkan dan jalan-jalannya telah binasa. Manusia menaati iblis dan melangkah
pada jalan-jalannya. Mereka mencari air pada tempat-tempat pengairannya.
Melalui mereka lambang-lambang iblis berkibar dan panjinya diangkat dalam
kejahatan yang menginjak-injak manusia di bawah tapak kakinya, dan melangkah di
atasnya dengan kaki mereka. Kejahatan berdiri (tegak) di atas jari-jari kakinya
dan manusia yang tenggelam di dalamnya menjadi bingung, jahil dan terbujuk
seakan-akan dalam suatu rumah yang baik[i] dengan tetangga-tetangga yang jahat.
Sebagai ganti tidur, mereka terjaga, dan sebagai celaknya adalah air mata.
Mereka berada di suatu negeri di mana orang berilmu terkekang (mulut mereka
tertutup) sementara orang jahil dihormati.
Dalam khotbah yang
sama, Amirul Mukminin a.s. merujuk kepada Ahlul Bayt sebagai berikut:
Mereka
adalah pengemban wasiat, tempat berteduh bagi urusan-Nya, sumber pengetahuan
tentang Dia, pusat kebijaksanaan-Nya, lembah bagi kitab-kitab-Nya dan bukit
bagi agama-Nya. Melalui mereka Allah meluruskan punggung agama yang bengkok dan
menyingkirkan gemetar anggota-anggota badannya.
Dalam khotbah
yang sama, ia berbicara tentang orang lain sebagai berikut:
Mereka
menabur kejahatan, mengairinya dengan tipuan dan menuai kehancuran. Tak seorang
pun di antara umat Islam yang dapat dipandang sejajar dengan Keluarga Muhammad
SAWW.[ii] Orang yang mendapatkan kenikmatan dari mereka tak dapat dibandingkan
dengan mereka. Mereka adalah fondasi agama dan tiang iman. Pelari di depan
harus berbalik sementara yang di belakang harus menyusul mereka. Mereka
memiliki ciri utama kewalian. Bagi mereka ada wasiat dan warisan (Nabi). Inilah
waktunya hak itu kembali kepada pemiliknya dan dialihkan kepada pusat tempat
kembalinya. •
[i] Rumah
yang baik di sini berarti Makkah, sedang tetangga-tetangga yang buruk berarti
kaum kafir Quraisy.
[ii] Tentang
keluarga (āl) Nabi, Amirul Mukminin mengatakan bahwa tidak ada orang di dunia
ini yang setaraf dengan mereka, tak ada pula orang yang dapat dianggap sama
dengan mereka dalam kemuliaan, karena dunia ini penuh dibebani tanggung jawab
mereka dan hanya mampu mendapatkan rahmal abadi melalui bimbingan mereka.
Mereka adalah batu penjuru dan fondasi agama serta pemelihara kehidupannya dan
kelanjutannya. Mereka adalah tiang-tiang pengetahuan dan keimanan yang demikian
kuat sehingga dapat menyingkirkan arus dahsyat keraguan dan kecurigaan. Mereka
begitu menengah di antara jalan berlebihan dan keterbelakangan sehingga
barangsiapa pergi mendahului harus kembali, dan yang tertinggal di belakang
harus melangkah maju ke jalan tengah itu, supaya tetap berada di jalan Islam.
Mereka mempunyai semua keutamaan yang memberikan keunggulan dalam hak kewalian
dan imamah, dan tiada orang lain dalam ummah yang mempunyai hak sebagai
pelindung dan wali. Itulah sebabnya Nabi me-maklumkan mereka sebagai para wali
dan pelanjutnya.
Tentang
wasiat dan kewalian, pensyarah ibn Abil Hadid Al-Mu'tazili menulis bahwa tidak
mungkin ada keraguan tentang kekhalifahan Amirul Mukminin, tetapi kewalian tak
dapat mencakup kekhalifahan dalam pemerintahan, walaupun mazhab Syi'ah
menafsirkannya demikian. Kewalian itu bermakna kewalian dalam pengetahuan.
Sekarang, sekiranya menurut dia kewalian diartikan kewalian dalam pengetahuan
sekalipun, nampaknya ia tidak berhasil dalam mencapai tujuannya, karena sekalipun
dengan penafsiarannya itu, hak untuk menggantikan Nabi tidak berpindah pada
seseorang mana pun lainnya. Bilamana disepakati bahwa pengetahuan adalah
syarat yang paling hakiki bagi kekhalifahan, karena fungsi ter-penting dari
khalifah Nabi ialah pelaksanaan keadilan, penyelesaian masalah hukum-hukum
agama, menjelaskan hal-hal yang rumit, dan melaksanakan hukum-hukum agama.
Apabila tugas-tugas ini dilepaskan dari khalifah Nabi maka ke-dudukannya akan
merosot menjadi pemerintahan duniawi. la tak dapat dipandang sebagai pusat
wewenang keagamaan. Oleh karena itu kita harus memisahkan wewenang pemerintahan
dari kekhalifahan Nabi, atau menerima kewalian pengetahuan Nabi untuk
kesesuaian dengan kedudukan itu.
Interpretasi Ibn Abil Hadid dapat diterima, apabila
Amirul Mukminin hanya mengucapkan kalimat ini saja. Tetapi, mengingat bahwa hal
itu diucapkan segera setelah pengakuan terhadap Ali sebagai Khalifah, dan baru
sesudah itu ada kalimat "hak itu telah kembali kepada pemiliknya",
penafsirannya ini nampak tak beralasan. Malah, wasiat Nabi itu tak dapat
berarti wasiat apa pun selain kekhalifahan, dan kewalian bukan berarti
kewalian dalam harta atau pengetahuan, karena bukan tempatnya untuk menyebutnya
di sini. Kewalian itu harus berarti kewalian dalam hak kepemimpinan yang
datangnya dari Allah; bukan sekadar atas dasar kekeluargaan tetapi atas dasar
sifat-sifat kesempurnaan
Tiada ulasan:
Catat Ulasan