KARANGAN IMAM AL GHAZALI DALAM IHYA ULUMUDDIN.....SIRI 6
SAMBUNGAN BAB 2.... Penjelasan tentang Ilmu Yang Fardu Kifayah
Ketahuilah bahwa fardiu tidak berbeda dengan yang tidak fardiu, kecuali
dengan menyebutkan bahagian-bahagian ilmu.Dan ilmu-ilmu itu dengan disangkutkan
kepada fardlu yang sedang kita bicarakan ini, terbagi kepada : ilmu syari'ah
dan bukan ilmu syari'ah.
Yang dimaksudkan dengan ilmu syari'ah ialah yang
diperoleh dari Nabi-Nabi as. Dan tidak ditunjukkan oleh akal manusia kepadanya, seumpama ilmu
berhitung atau percobaan seumpama ilmu kedokteran atau pendengaran seumpama
bahasa.
Maka ilmu-ilmu yang bukan syari'ah, terbagi kepada : ilmu yang
terpuji, ilmu yang tercela dan ilmu yang dibolehkan. Ilmu yang
terpuji, ialah yang ada hubungannya dengan kepentingan urusan duniawi, seperti
ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Dan itu terbagi kepada fardlu kifayah dan
kepada ilmu utama yang tidak fardlu.
Yang fardlu kifayah, ialah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat
dikesampingkan dalam menegakkan urusan duniawi, seumpama ilmu kedokteran.
Karena pentingnya dalam pemeliharaan tubuh manusia. Dan seumpama ilmu
berhitung, karena pentingnya dalam masyarakat jual beli, pembahagian harta
wasiat, pusaka dan lain-lainnya. Inilah ilmu-ilmu, jikalau kosonglah negeri
dari pada orang- orang yang menegakkannya, niscaya berdosalah penduduk negeri
itu. Tetapi apabila ada seorang saja yang bangun menegakkan ilmu itu, maka
mencukupilah dan terlepaslah yang lain dari kewajiban tersebut.
Dari itu, tak usah diherankan dari perkataan kami, bahwa ilmu kedokteran
dan ilmu berhitung itu termasuk fardiu kifayah. Juga pokok-pokok perusahaan
(industri) juga termasuk fardiu kifayah, seumpama pertanian, pertenunan dan siasat
Bahkan juga pembekaman dan penjahitan, karena jikalau kosonglah negeri dari
tukang bekam maka segeralah datang kebinasaan kepada mereka. Dan berdosalah
mereka itu membawa dirinya kepada kebinasaan. Maka sesungguhnya Yang Menurunkan
penyakit, Dia pulalah yang menurunkan obat dan memberi petunjuk cara memakainya
serta menyediakan sebab-sebab untuk merawatinya. Maka tidak dibolehkan membawa
diri kepada kebinasaan dengan menyia-nyiakan obat itu.
Adapun ilmu yang dihitung : utama, tidaklah fardu. Maka mendalami hal-hal
yang halus bagi ilmu berhitung, ilmu kedokteran dan lain-Iainnya, adalah
termasuk yang tidak diperlukan begitu penting. Tetapi berfaedah menambahkan
kekuatan pd kadar yang diperlukan.
Adapun ilmu
yang tercela iaitu : ilmu sihir, mantera-mantera, ilmu tenung dan ilmu balik
mata.
Adapun ilmu
yang dibolehkan iaitu : ilmu tentang pantun-pantun yang tak cabul,
berita-berita sejarah dan sebagainya.
Adapun ilmu syari'ah dan itulah yang dimaksud menjelaskannya, maka adalah
terpuji semuanya. Tetapi kadang-kadang bercampur dengan apa yang disangkakan
itu syari'ah. Pada hal adalah itu tercela. Dari itu, terbagi kepada : terpuji
dan tercela.
Yang terpuji mempunyai pokok, cabang, mukaddimah dan pelengkap, sehingga
berjumlah empat.
yang
pertama : pokok (ushul). iaitu empat :
Kitabullah 'Azza wa Jalla, Sunnah Rasul صلى
الله عليه وسلم ljma' ummat dan peninggalan-peninggalan shahabat
(atsar).
Dan ljma' itu pokok, dari segi bahwa dia menunjukkan kepada Sunnah.
Maka adalah dia pokok pada derajat ketiga. Begitu juga peninggalan shahabat,
maka dia juga pokok menunjukkan kepada Sunnah. Karena para shahabat r.a.
menyaksikan wahyu dan penurunan Al-Qur'an. Dan mengetahui dengan
petunjuk-petunjuk keadaan, apa yang tidak diketahui oleh orang lain.
Kadang-kadang tidak dijumpai kata-kata dalam apa yang diketahui dengan petunjuk
keadaan. Maka dengan dasar ini, para alim ulama berpendapat untuk mengikuti dan
berpegang teguh kepada peninggalan-peninggalan shahabat. Dan yang demikian itu
adalah dengan syarat tertentu, dalam bentuk tertentu dan tidak wajar
menerangkannya dalam kupasan ini.
Yang kedua : Cabang (furu'). yaitu apa yang
dipahamkan dari pokok-pokok (ushul) di atas. Tidak menurut yang dikehendaki
oleh kata-katanya, tetapi menurut pengertian yang dapat dicapai oleh akal
pikiran. Dengan sebab itu maka faham menjadi luas, Sehingga dari kata-kata yang
diucapkan, dapat dipahami yang lain. Seperti apa yang dapat dipahami dari sabda
Nabi صلى الله عليه وسلم :لا
يقضي القاضي وهو غضبان
(Laa yaqdlil qaadlii wa huwa ghadl-baanu).Artinya :"Hakim (kadli) itu
tidak mengadili perkara ketika dia sedang marah'(1.Dirawikan Al-Bukhari dan
Muslim dari Abi Bikrah.) Bahwa dia tidak mengadili juga ketika mau buang air,
lapar atau merasa sakit .
Ilmu furu' itu terbagi dua :
Pertama menyangkut dengan kepentingan duniawi. Dan termuat dalam
kitab-kitab fiqih. Yang bertanggung jawab terhadapnya ialah para ulama fiqih.
Dan mereka itu adalah ulama dunia. Kedua menyangkut dengan kepentingan akhirat.
Yaitu ilmu hal keadaan hati, budi pekerti terpuji dan tercela, hal-ikhwal yang
direlai dan yang dibenci Allah. Pengetahuan ini termuat pada bagian penghabisan
dari kitab ini. Yakni dalam jumlah kitab '."Ihya'Ulumiddin". Dan
sebahagian daripadanya, ialah ilmu yang memancar dari hati kepada anggota
badan, dalam ibadahnya dan 'adat kebiasaannya. Dan itu termuat pada bahagian
pertama dari kitab ini.
Yang ketiga : mukaddimah (ilmu pengantar), yaitu ilmu yang merupakan alat seperti
ilmu bahasa dan tata-bahasa. Kedua-nya adalah merupakan alat untuk mengetahui
isi Kitabullah dan Sunnah Rasul صلى الله عليه
وسلم Bahasa dan tata-bahasa
itu tidaklah termasuk dalam ilmu syari'ah. Tetapi harus dipelajari disebabkan
agama. Karena syari'ah (Agama Islam) ini datangnya dengan bahasa Arab. Dan
semua agama tidak lahir selain dengan sesuatu bahasa. Maka jadilah mempelajari
bahasa itu sebagai alat.
Dan setengah dari alat, ialah : ilmu menulis tulisan. Tetapi tidaklah itu
penting. "Karena Rasulullah صلى الله عليه
وسلم sendiripun tidak tahu tulis baca أميّاً (ummi) رسول الله صلى الله عليه وسلم أميّاً
(Dirawikan Ibnu Mardawalh dari Abdullah bin umar,)
Kalaulah tergambar dapat dihafal semua yang didengar, maka menulis itu
tidak perlu lagi. Tetapi pada ghalibnya, lemah dari hapalan maka menulis itu
menjadi penting.
Yang keempat : penyempurna,
iaitu : mengenai ilmu Al-Quran. Dan terbagi kepada : yang berhubungan dengan
kata-katanya seperti mempelajari qira'ah (cara membaca), dan bunyi hurufhya.
Dan yang berhubungan dengan pengertiannya, seperti tafsir, karena pengertian
itu berpegang pula kepada naqal (keadaan di sekitar ayat itu, baik sebab
turunnya dan suasananya yang diperoleh dalam sejarah tiap-tiap ayat suci).
Karena semata-mata bahasa saja, tidak dapat berdiri sendiri. Dan yang
berhubungan dengan hukumnya, seperti mengetahui yang nasikh dan mansukh, yang
umum dan yang khusus, yang nash dan yang dhahir dan cara meng- gunakan antara
sebahagian ayat dengan sebahagian lainnya. Yaitu suatu ilmu yang bernama
"Ushulul-fiqh". Dan ilmu ini melengkapi juga Sunnah Nabi.
Adapun, ilmu penyempurna pada hadits Nabi dan peninggalan peninggalan
shahabat (atsar), yaitu ilmu mengenai perawi-perawi hadits, namanya,
keturunannya, nama-nama shahabat, kepribadiannya dan ilmu mengenai adalah
(kejujuran) perawi-perawi dan keadaan mereka dalam meriwayatkan hadits. Supaya
dapat membedakan antara hadits lemah dan hadits kuat. Dan mengetahui umur
mereka supaya dapat membedakan antara hadits mursal dan hadits musnad. Dan juga
mengetahui yang berhubungan dengan musnad itu
Inilah ilmu-ilmu syari'ah dan semuanya itu terpuji, bahkan semua-nya
termasuk fardlu kifayah.
Jikalau anda tanyakan : mengapakah aku hubungkan ilmu fiqih dengan ilmu
dunia dan ulama-ulama fiqih dengan ulama-ulama dunia? Aku menjawab, bahwa
ketahuilah sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan Adam a.s. dari tanah dan keturunannya
dari unsur-unsur bahan dari tanah dan air hanyir. Mereka dikeluarkan dari
tulang sulbi laki-laki, ke dalam rahim wanita. Dari situ ke dunia, kemudian ke
kubur, kemudian ke padang makhsyar, kemudian kesorga atau ke neraka. Inilah
permulaan mereka dan inilah kesudahan mereka! Dan inilah tempat kediaman
mereka! Dijadikan dunia tempat mencari perbekalan untuk akhirat, supaya dapat
diperoleh dari dunia itu, apa yang patut untuk perbekalan itu.
Kalau manusia itu memperoleh dunia dengan keadilan, maka lenyaplah segala
permusuhan. Dan kosonglah para alim ulama dari kesibukan. Tetapi manusia itu
memperoleh dunia dengan nafsu-syahwat, lalu timbullah bermacam-macam
permusuhan. Maka perlulah kepada penguasa (sultan) untuk memimpinnya. Dan
penguasa itu memerlukan kepada undang-undang (qanun) untuk memimpin ummat
manusia itu.
Ahli fiqih, ialah orang yang tahu dengan undang-undang siasah, jalan
mengetengahi diantara orang banyak, apabila bertengkar di bawah hukum hawa
nafsu. Jadi, ahli fiqih itu adalah guru sultan dan penunjuknya kepada jalan
memimpin dan mengatur makhluk supaya teratur urusan duniawi dengan kelurusan
mereka.
Demi sebenarnya, hal tersebut,
berhubungan juga dengan agama. Tetapi
tidaklah dengan agama itu sendiri, melainkan dengan perantaraan dunia. Karena
dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dan agama itu tidak sempurna
selain dengan dunia. Penguasa (raja) dan agama adalah dua anak kembar. Agama
itu pokok dan penguasa itu pengawal. Sesuatu yang tidak berpokok
(bersendi), roboh. Sesuatu yang tidak berpengawal (berpenjaga), hilang. Kerajaan dan kepastian hukum tak sempurna,
selain dengan penguasa. Jalan kepastian hukum untuk menyelesaikan persoalan
pemerintahan, ialah dengan fiqih.
Sebagaimana siasah manusia dengan pemerintahan, tidak termasuk sebahagian
dari ilmu agama, pada tingkat pertama. Tetapi, adalah penolong kepada sesuatu,
di mana agama tidak sempurna, kecuali dengan dia. Maka demikian juga
pengetahuan jalan siasah. Seperti dimaklumi, bahwa ibadah hajji, tidak akan
sempurna, kecuali dengan pengawal, yang mengawal dari orang-orang Arab
diperjalanan. Sedang ibadah hajji itu suatu hal dan berjalan menuju ibadah
hajji itu adalah hal kedua. Dan mengadakan pengawalan, di mana hajji itu tidak
akan sempurna, selain dengan pengawalan itu, adalah hal ketiga. Dan
mengetahui cara-cara, daya upaya dan aturan-aturan pengawalan itu, adalah hal
keempat.
Maka hasil dari pengetahuan
fiqih, ialah mengetahui cara kepemimpinan dan kepengawalan. Dan ditunjukkan
kepada yang demikian, oleh apa yang dirawikan dari hadits musnad :
لا يفتي الناس إلا ثلاثة أمير أو
مأمور أو متكلف
(Laa yuftin naasa illaa tsalaatsatun amiirun au raa'muurun au mu-
takallifun).
Etinya :"Tidak
memberi fatwa (perintah) kepada manusia selain oleh tiga : amir atau ma'mur
atau yang memikul beban itu (mutakallif)".
Amir ialah imam (penguasa). Merekalah yang mengeluarkan fatwa. Ma'mur ialah
wakil dari amir. Yang memikul beban itu, ialah yang lain dari yang dua tadi.
Dan memikul beban tersebut tanpa diperlukan.
Para shahabat Nabi ra. menjaga diri dari mengeluarkan sesuatu fatwa. Hingga
masing-masing mereka, menyerahkan kepada temannya. Dan mereka tidak menjaga
benar, apabila ditanyakan tentang ilmu Al-Quran dan jalan ke akhirat.
Pada setengah riwayat, ganti dari yang memikul beban itu, ialah :
"Orang yang bekerja dengan ria". Maka orang yang mau memikul risiko
dengan menyatakan sesuatu fatwa, sedang dia tidak ditugaskan untuk itu, maka
tidak ada maksud orang itu, selain mencari kemegahan dan harta.
Jika anda menyatakan kepadaku bahwa pendapatku tentang ilmu fiqih itu,
kalaupun betul, hanya mengenai hukum penganiayaan, hukum denda, utang-piutang
dan penyelesaian persengketaan, maka tidaklah betul mengenai bahagian ibadah,
dari hal puasa dan shalat. Dan tidak pada yang dilengkapi oleh bahagian adat
dari hukum mu'amalah, dari penjelasan halal dan haram.
Ketahuilah! Bahwa yang terdekat dari apa yang diperkatakan oleh ahli fiqih,
dari amal perbuatan, di mana amal perbuatan itu adalah amal perbuatan akhirat,
ialah tiga : Islam, shalat dan zakat, halal dan haram. Apabila anda perhatikan
sejauh pandangan ahli fiqih tentang hal di atas, niscaya anda tahu, bahwa hal
tersebut tidaklah melampaui batas-batas dunia kepada akhirat.
Apabila telah dipahami demikian pada yang tiga tadi, maka pada lainnya
lebih jelas lagi. Tentang Islam maka ahli fiqih itu, memperkatakan tentang yang
syah dari padanya, tentang yang batal dan tentang syarat-syaratnya. Dan
tidaklah diperhatikan padanya, selain kepada lisan. Dan hati tidaklah termasuk
dalam lingkungan wilayah seorang ahli fiqih. Karena Rasulullah saw. meletakkan
pemegang pedang dan kekuasaan,diluar hati, dengan sabdanya :
هلا
شققت عن قلبه؟
(Hallaa syaqaqta 'an qalbih).
Ertinya :"Mengapa
tidak engkau pisahkan dari hatinya?".
Sabda ini ditujukan oleh Nabi صلى الله عليه
وسلم. kepada seorang pembunuh, yang membunuh orang yang telah
mengucapkan kalimah Islam, dengan alasan bahwa pengucapannya itu lantaran takut
kepada pedang. Bahkan ahli fiqih itu menetapkan syah Islam dibawah naungan
pedang, pada hal ia tahu pedang itu tidak menyingkapkan isi niat seseorang dan
tidak menghilangkan dari hati, kebodohan dan keheranan. Tetapi mengisyaratkan
kepada pemegang pedang. Pedang itu memanjang kepada lehernya. Dan tangan itu
memanjang kepada hartanya. Kalimat tadi dengan lisan adalah menyelamatkan leher
dan harta, selama leher dan hartanya belum lagi terpisah dari padanya.
Begitulah di dunia.
Dari itu, Nabi saw. bersabda
قال
صلى الله عليه وسلم : أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله فإذا
قالوها فقد عصموا مني دماءهم وأموالهم
(Umirtu an uqaatilan naasa hattaa yaquuluu laa ilaaha illallaahu fa-idzaa
qaaluu haa faqad 'ashamuu minnii dimaa-ahum wa amwaa- lahura).
Ertinya :Aku
disuruh memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan لا إله إلا الله Apabila telah diucapkannya, maka terpeliharalah darah dan hartanya
daripadaku". Nabi saw. menetapkan akibatnya pengucapan itu pada darah (nyawa)
dan harta".
Adapun di akhirat, maka harta itu tidak berguna padanya. Tetapi nur-hati,
rahasianya dan keikhlasannya yang berguna. Dan itu tidak termasuk dalam bidang
fiqih. Kalau seorang ahli fiqih mencempelungkan diri dalam ilmu fiqih, adalah
seperti kalau ia mencempelungkan diri dalam ilmu kalam dan ilmu kedokteran. Dan
dia itu berada di luar bidangnya.
Mengenai shalat, maka. ahli fiqih itu berfatwa dengan syah bila shalat itu
dikerjakan dengan bentuk segala perbuatan shalat serta jelas syarat-syaratnya,
meskipun ia lengah dalam seluruh shalatnya, dari awal sampai akhirnya. Asyik
berfikir menghitung penjualan di pasar, kecuali ketika bertakbir.Shalat semacam
itu tidaklah bermanfa'at di akhirat, sebagaimana pengucapan dengan lisan
mengenai Islam tak adalah manfa'atnya.
Tetapi ahli fiqih berfatwa dengan syahnya. Artinya apa yang telah
dikerjakan, telah berhasil menuruti bunyi perintah dan hapuslah daripadanya,
hukuman bunuh dan dera.
Adapun khusu' dan menghadirkan hati yang menjadi amal perbuatan akhirat dan
dengan itu bermanfa'atlah amal dhahir, maka tidaklah disinggung-singgung oleh
ahli fiqih. Kalaupun ada, maka adalah di luar bidangnya.
Mengenai zakat, maka ahli fiqih itu memandang yang mana dapat diminta
bantuan penguasa. Sehingga apabila ada yang enggan mem- bayar zakat, lalu
penguasa mengambilnya dengan paksa. Karena telah diputuskan, bahwa harta itu
telah terlepas dari hak miliknya.
Menurut ceritera, bahwa Kadli Abu Yusuf memberikan hartanya pada akhir
tahun (akhir haul) kepada isterinya dan ia sendiri menerima pemberian dari
isterinya untuk menghindarkan zakat. Maka diceriterakannya hal itu kepada Imam
Abu Hanifah ra.
Imam Abu Hanifah ra. menjawab :
"Itu adalah dari segi fiqihnya. Dan dia
benar. Itu adalah dari fiqih dunia. Akan tetapi di akhirat melaratnya lebih
besar dari segala penganiayaan".
Seumpama inilah kiranya, ilmu yang mendatangkan melarat. Mengenai halal dan
haram, maka menjaga diri (wara') dari yang haram, adalah sebahagian dari agama.
Tetapi wara' itu mempunyai
empat tingkat:
Tingkat pertama : ialah penjagaan diri (wara'), yang disyaratkan
pada keadilan kesaksian. Yaitu bila penjagaan diri yang tersebut tidak ada,
maka orang tidak boleh menjadi saksi, hakim dan wali. Penjagaan diri yang
dimaksud, ialah penjagaan diri, dari perbuatan yang nyata haramnya.
Tingkat kedua : ialah wara' orang-orang salih. Yaitu, menjauhkan
diri dari segala perbuatan syubhat, yang ada padanya kemungkinan- kemungkinan
yang diragukan.
Bersabda Nabi صلى
الله عليه وسلم
قال صلى الله عليه وسلم: دع ما
يريبك إلى مالا يريبك
(Da'-maa yariibuka ilaa maa laa yariibuka).
Ertinya :"Tinggalkanlah yang meragukan untuk diambil yang tidak
meragukan". (
Dan Nabi saw. bersabda :
وقال صلى
الله عليه وسلم: الإثم حزاز القلوب
(Al-itsmu hazzaazul quluub).
Ertinya :"Dosa itu membawa penyakit bagi hati (jiwa)".
Tingkat ketiga: ialah wara' orang-orang yang taqwa (muttaqin). Yaitu
meninggalkan perbuatan yang sebenarnya halal tetapi dikuwatiri terbawa kepada
yang haram.
Bersabda Nabi صلى
الله عليه وسلم:
لا يكون الرجل من المتقين حتى يدع ما
لا بأس به مخافة مما به بأس
(Laa yakuunurrajulu minal muttaqiina hattaa yada'a maa laa ba'sa bihi ma
khaafatan raimmaa bihi ba'sun)
Ertinya :"Tidaklah
orang itu bernama orang taqwa, sebelum ia meninggakan sesuatu yang tak ada
apa-apanya, karena takut kepada yang ada apa-apanya".
Contohnya seumpama : menjaga diri (wara') dari mempercakapkan hal orang.
Karena takut terperosok kepada mengumpat. Dan memelihara diri dari memakan sepanjang
keinginan, karena takut bergelora semangat dan tenaga yang membawa kepada
perbuatan terlarang.
Tingkat keempat : ialah wara' orang-orang shiddiqin.
Yaitu berpaling (meninggalkan),
selain kepada Allah Ta'ala. Karena takut terpakai meskipun sesa'at dari umur,
kepada yang tidak mendatang- kan faedah lebih pendekatan diri kepada Allah
'Azza wa Jalla, walaupun ia tahu dan yakin bahwa perbuatan tersebut tidak
membawa kepada yang haram.
Maka semua tingkat tadi adalah di luar perhatian ahli fiqih, selain tingkat
pertama. Yaitu : mengenai pemeliharaan diri (wara') saksi, hakim dan yang
merusakkan 'adalah (keadilan). Menegakkan pemeliharaan diri (wara') dengan yang
demikian, tidaklah meniada- kan dosa di akhirat.
Bersabda Nabi saw. kepada
Wabishah :
قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم لوابصة: استفت قلبك وإن أفتوك وإن أفتوك
(Istafti qalbaka wa-in aftauka
wa-in aftauka wa-in aftauka).
Ertinya :"Mintalah fatwa kepada hatimu, walaupun
orang telah memberi fatwa kepadamu, walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu,
walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu!".
Ahli fiqih itu tidak memperkatakan tentang penyakit hati (jiwa) dan cara
mengatasinya. Tetapi yang ada, mengenai yang merusakkan
'adalah (keadilan) saja. Jadi seluruh perhatian ahli fiqih, adalah menyangkut
dengan dunia, yang dengan dunia itu, ada perbaikan jalan akhirat. Bila
sekiranya ia memperkatakan sesuatu dari sifat-sifat hati dan hukum akhirat,
adalah termasuk ke dalam percakapannya itu secara sambil lalu. Sebagaimana
kadang-kadang termasuk ke dalam percakapannya, persoalan kedokteran, berhitung,
ilmu bin tang dan ilmu kalam. Dan sebagaimana termasuknya ilmu falsafah ke
dalam tatabahasa dan pantun.
Sufyan Ats-Tsuri, seorang pemuka ilmu dhahir
berkata :
"Sesungguhnya mempelajari ini (ilmu fiqih), tidaklah termasuk
perbekalan akhirat".
Bagaimana? Telah sepakat para ahli bahwa kemuliaan pada ilmu itu, ialah
pelaksanaannya. Maka bagaimana ia menyangka, dia mengajar hukum dhihar
(menyerupakan isteri dengan punggung ibu) hukum al-li'an (mengutuk isteri),
hukum as-salam (berjual beli benda yang belum dilihat si pembeli, hanya
diterangkan sifat-sifat- nya saja oleh si penjual), sewa-menyewa dan
tukar-menukar uang? Dan orang yang mempelajari hal-hal tersebut, untuk
mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala itu, adalah gila. Sesungguhnya perbuatan
itu adalah dengan hati dan anggota tubuh pada segala amal ta'at. Dan kemuliaan,
ialah amalan-amalan itu.
Ketahuilah! Bahwa penyamaan itu tidaklah suatu keharusan,
bahan terdapat perbedaan antara keduanya.
Ilmu fiqih itu lebih mulia dari ilmu kedokteran dari tiga segi :
Pertama : fiqih itu ilmu syari'ah, karena dia diperoleh
dari kenabian. Lain halnya dengan ilmu kedokteran. Dia itu tidaklah termasuk
ilmu syari'ah.
Kedua : ilmu fiqih itu tidak dapat melepaskan diri
sekali-kali, oleh seseorang yang menuju ke jalan akhirat, baik dia sehat atau
sakit. Sedang ilmu kedokteran tidak diperlukan selain oleh orang sakit. Dan
orang sakit itu sedikit.
Ketiga : ilmu fiqih itu berdampingan dengan ilmu jalan
akhirat. Karena dia memandang pada amal perbuatan anggota tubuh. Sumber dan
tempat terjadinya amal perbuatan anggota tubuh itu, adalah peri laku hati
(jiwa). Yang terpuji dari pada amal perbuatan itu, adalah yang timbul dari budi
pekerti yang terpuji, yang melepaskan diri dari bahaya di akhirat. Yang tercela
adalah timbul dari budi pekerti yang tercela. Dan tidak tersembunyi lagi akan
hubungan antara anggota tubuh dengan hati (jiwa) itu.
Adapun
sehat dan sakit, maka tempat terjadinya, adalah bersih pada sifat badan dan
percampuran. Dan itu adalah dari sifat-sifat tubuh, tidak dari sifat-sifat
hati.
Maka manakala dihubungkan ilmu fiqih kepada ilmu kedokteran, niscaya
tampaklah kemuliaan ilmu fiqih itu. Dan apabila dihubungkan ilmu jalan ke
akhirat kepada ilmu fiqih, maka tampaklah pula kelebihan ilmu jalan ke akhirat.
Jika anda menyatakan : "Uraikanlah kepadaku dengan jelas, ilmu jalan
ke akhirat itu, yang menunjukkan isi serta tujuannya, meskipun tidak sampai
terperinci benar!".
Maka ketahuilah, bahwa
ilmu jalan ke akhirat itu adalah dua macam,
(1).ilmu
mukasyafah dan
(2) ilmu
mu'amalah.
Yang pertama : ilmu mukasyafah itu ialah ilmu bathin. Dan
itulah, kesudahan segala ilmu.
Telah berkata setengah arifin (ahli ilmu ma'rifah yaitu ilmu mengenal Allah
Ta'ala) :
"Orang yang tidak mempunyai bahagian dari ilmu mukasyafah ini, aku
takut akan buruk kesudahannya (tidak memperoleh husnul-khatimah).
Sekurang-kurang bahagian dari padanya, ialah membenarkan ilmu itu dan tunduk
kepada ahlinya".
Berkata yang lain :
"Orang
yang ada padanya dua perkara, tidak akan terbuka baginya sedikitpun dari ilmu
ini, yaitu, berbuat bid'ah atau takabur".
Ada lagi yang mengatakan :
"Barang siapa mencintai dunia atau selalu
memperturutkan hawa nafsu, niscaya ia tidak akan yakin kepada ilmu ini dan
mungkin ia yakin kepada ilmu-ilmu yang lain. Sekurang-kurangnya penyiksaan
terhadap orang yang mengingkarinya, ialah tidak merasakan sedikitpun kelezatan
ilmu ini".
Ahli yang berkata tadi lalu bermadah :
Relalah
terhadap orang yang telah hilang dari engkau,
Oleh kehilangannya.
Maka itu dosa,
Ada siksaan padanya ".
Itulah ilmu orang-orang shiddiqin dan muqarrabin. Yakni ilmu mukasyafah.
Yaitu : ibarat cahaya yang lahir dalam hati ketika penyucian dan
pembersihannya dari sifat-sifat yang tercela. Dari cahaya itu, tersingkaplah
beberapa banyak keadaan, yang tadinya namanya pernah didengar. Maka diragukan
pengertiannya yang tidak terurai, lagi tidak jelas. Lalu jelaslah ketika itu,
sehingga berhasillah ma'rifat yang hakiki dengan Dzat Allah swt. dan sifatNya
yang kekal sempurna, perbuatanNya dan hukumNya pada kejadian dunia dan akhirat.
Cara penyusunanNya melebihkan akhirat dari dunia, mengenal arti kenabian dan
Nabi, arti Wahyu, arti setan, arti kata-kata Malaikat dan setan-setan, cara permusuhan
setan dengan manusia, bagaimana kedatangan malaikat kepada Nabi-nabi, bagaimana
sampai wahyu itu kepada Nabi-nabi,mengenal alam malakut langit dan bumi,
mengenai hati dan betapa benterokan antara bala tentara malaikat dan setan di
dalam hati, mengenai perbeda- an antara langkah malaikat dan langkah setan,
mengenai akhirat, sorga dan neraka, azab kubur, titian, timbangan, hitungan
amal dan maksud dari firman Allah Ta'ala :
ومعنى
قوله تعالى:اقرأ كتابك كفى بنفسك اليوم عليك حسيبا= الاسراء
(Iqra' kitaabaka kafaa binafsikal yauma 'alaika hasiiban).
Ertinya:"Bacalah kitabmu !!! Cukuplah
pada hari ini, engkau membuat perhitungan atas dirimu sendiri". (S.
Al-Isra', ayat 14)
.dan maksud firman Allah Ta'ala :وَإِنَّ
الدَّارَ الآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
(Wa innad daaral aakhirata lahiyal hayawaanu lau-kaanuu yala-muim).
Ertinya:"Dan bahwa kampung akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya
kalau mereka mengetahui". (S. AI-Ankabut, ayat 64).
Dan arti berjumpa dengan Allah Ta'ala dan memandang kepada wajahNya Yang
Maha Mulia, arti dekat dengan Allah dan bertempat disampingNya, arti memperoleh
kebahagiaan dengan menemani alam arwah, Malaikat dan Nabi-nabi arti
berlebih-kurangnya pangkat ahli Sorga, sehingga mereka melihat satu sama lain,
seumpama menampak bintang bersinar dilembaian langit dan lain-lainnya yang
panjang kalau dibentangkan. Karena manusia, mengenai pengertian hal-hal yang
tersebut di atas sesudah membenarkan pokok-pokoknya, mempunyai bermacam-macam
tingkat. Sebagian mereka berpendapat, bahwa semuanyaitu adalah contoh-contoh.
Dan yang disediakan oleh Allah untuk hambaNya yang sholih, ialah : sesuatu yang
tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan terlintas di dalam
hati manusia. Dan tak adalah serta makhluk itu Sorga, selain dari sifat-sifat
dan nama-nama.
Setengah berpendapat bahwa sebahagian adalah contoh-contoh dan sebahagian
lagi bersesuaian dengan hakikat yang sebenarnya yang dipahami dari
kata-katanya. Demikian juga, sebahagian mereka berpendapat, bahwa kesudahan
mengenai Allah Ta'ala ialah mengakui kelemahan diri dari pada mengenalNya. Sebahagian
lagi mendakwakan beberapa hal yang agung, tentang mengenai Allah Ta'ala. Ada
lagi yang mengatakan, bahwa batas mengenai Allah Ta'ala itu, ialah apa yang
sampai kepada aqidah orang kebanyakan. Yaitu beriman ; bahwa Allah Ta'ala itu ada, maha mengetahui, maha kuasa,
mendengar, melihat dan berkata-kata.
Kami maksudkan dengan ilmu mukasyafah itu ialah bahwa terangkat tutup yang
menutupi sehingga jelaslah kenyataan kebenaran Allah pada semuanya itu, dengan
sejelas-jelasnya, laksana mata memandang, yang tak diragukan lagi.Hal yang
demikian itu mungkin pada diri (jauhar) manusia, sekiranya tidak cermin hatinya
telah tebal dengan karat dan kotor dengan kotoran dunia.
Sesungguhnya kami maksudkan dengan ilmu jalan ke akhirat, ialah ilmu
mengenal cara menggosok cermin tersebut, dari kotoran-kotoran tadi, yang
menjadi dinding (hijab) dari pada Allah Ta'ala, daripada mengenal sifat-sifat
dan af'alNya. Membersihkan dan mensucikannya ialah dengan mencegah diri dari
menuruti hawa nafsu dan berpegang teguh dalam segala hal, kepada ajaran
Nabi-Nabi as.
Maka menurut apa yang cemerlang dari hati dan berbetulan kearah kebenaran,
niscaya bergemilanglah hakikatnya. Dan jalan untuk itu, tak lain dari latihan
yang akan datang perinciannya nanti pada tempatnya dam dengan ilmu dan
mengajarinya.
Inilah ilmu yang tidak dituliskan dalam kitab-kitab dan tidak diperkatakan
oleh orang-orang yang telah dianugerahi oleh Allah Ta'ala dengan sesuatu dari
ilmu ini, selain bersama ahlinya. Iaitu dengan bersama-sama bertukar-pikiran
dan dengan cara rahasia.inilah ilmu tersmbunyi yang dimakudkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dengan sabdanya :
الذي
أراده صلى الله عليه وسلم بقوله: إن من العلم كهيئة المكنون لا
يعلمه إلا أهل المعرفة بالله تعالى فإذا نطقوا به لم يجهله إلا أهل الاغترار بالله
تعالى فلا تحقروا عالما آتاه الله تعالى علما منه فإن الله عز وجل لم يحقره إذ
آتاه إياه
(Innaa minal 'ilmi kahaiatil maknuuni laa ya'lamuhu illaa ahlul ma'rifati
billaahi ta'aalaa. Fa-idzaa nathaquu bihii lam yjuhalhu illaa ahlul ightiraari
billaahi ta'aalaa. Falaa tahqiruu 'aaliman aataa- hullaahu ta'aalaa 'ilman
minhu, fa-innallaaha 'azza wa jalla lam yah- qirhu idz-aataahu iyyaah).
Ertinya :"Sesungguhnya
sebahagian dari ilmu itu seakan-akan seperti keadaan tertutup yang tidak
diketahui, selain oleh ahli yang mengenalnya (ma'rifat) akan Allah Ta'ala.
Apabila mereka mempercakapkannya,........................ maka tidak ada yang
tak mengerti. selain dari orang-orang yang telah tertipu, jauh dari Allah
Ta'ala. Dari itu janganlah kamu hinakan seorang yang berilmu, yang dianugerahi
oleh Allah Ta'ala ilmu tsb. Karena Allah Ta'ala sendiri tidak menghinakannya
karena telah menganugerahinya ilmu tadi".
Yang kedua : ilmu mu'amalah, ialah ilmu perihal hati (jiwa).
Apa yang terpuji dari padanya, seperti sabar, syukur, takut, harap, rela,
zuhud, taqwa, sederhana, pemurah, mengenai nikmat Allah Ta'ala dalam segala
keadaan, ihsan, baik sangka, baik budi, bagus pergaulan, benar&ikhlas. Maka
mengetahui hakikat hal keadaan ini, batas-batasnya dan sebab-sebabnya yang
diusahakan,hasil, tanda dan cara mengobati yang lemah dari padanya, sehingga
menjadi kuat dan yang hilang sehingga kembali, adalah termasuk sebahagian dari
ilmu akhirat.
Adapun yang tercela yaitu : takut miskin, marah kepada taqdir,
menokoh, dengki, busuk hati, menipu, mau tinggi, suka di puji, mencintai lama
hidup di dunia untuk bersenang-senang, takabur, riak marah, keras kepala, suka
bermusuhan. amarah, loba, kikir, gembira tidak pada tempatnya, angkuh, congkak,
bangga dengan kekayaan ditangannya, menghormati orang kaya, menghina orang
miskin, gila hormat dan pangkat, suka berlomba secara tidak jujur, menyombong
diri menerima kebenaran ; suka campur soal yang tidak penting, suka banyak
bicara, memuji diri, menghias-hiasi budi pekerti, berminyak air, ujub, asyik
memperkatakan kekurangan orang melupakan kekurangan diri sendiri, hilang
perasaan gundah dan takut dari hati, sangat menekan perasaan jiwa apabila
tersinggung, lemah hati mencari kebenaran, mengambil teman dhahir dari musuh
bathin, merasa aman dari kemurkaan Allah Ta'ala, pada menarik apa saja dari
pemberianNya, bersandar kepada ta'at, murka, khianat, tokoh-menokoh, panjang
angan-angan, kesat dan kasar hati, gembira dengan dunia dan berduka cita atas
hilangnya, berjinak hati dengan makhluk dan merasa sepi bercerai dengan mereka,
kaku, ceroboh, tergopoh-gopoh, kurang malu dan kurang belas kasihan..
Inilah dan yang seumpama dengan ini, dari sifat-sifat hati (jiwa), menjadi
sumber perbuatan keji dan tempat tumbuh perbuatan terlarangLawannya adalah budi
pekerti yang terpuji, tempat memancar ta'at dan pendekatan diri kepada Allah
Ta'ala.
Maka mengetahui batas-batas hal ini, hakikat, sebab, hasil dan
pengobatannya adalah ilmu akhirat dan fardiu 'ain menurut fatwa ulama-ulama
akhirat. Orang yang membuang muka dari ilmu tersebut, adalah binasa dengan
kekuasaan Raja-diraja di akhirat, sebagaimana orang yang membuang muka dari
segala pekerjaan dhahir, adalah binasa dengan kekuasaan pedang raja-raja dunia,
berdasarkan fatwa ahli fiqih dunia.
Maka pandangan ulama fiqih mengenai fardlu 'ain itu, adalah bersandarkan
kepada kepentingan dunia, sedang ini, bersandar kan kepada kepentingan akhirat.
Bila ditanyakan kepada seorang ahli fiqih, tentang arti dari arti-arti ini,
umpamanya tentang ikhlas atau tentang tawakkal atau tentang menjaga diri dari
sifat ria, maka ia akan tertegun, sedangkan karena fardiu 'ainnya, bila diabai
kan akan mendatangkan kebinasaannya di akhirat. Tetapi coba tanyakan tentang
li'an,dhihar,berlomba kuda dan memanah, niscaya akan diletakkannya dihadapanmu
berjilid-jilid buku dengan terperinci yang mendalam, yang menelan banyak waktu,
pada hal sedikitpun tidak diperlukan. Kalaupun ada yang diperlukan, niscaya
tidaklah kosong negeri, dari orang yang menyanggupinya. Dan cukuplah letih dan
payah padanya, lalu senantiasa ia berpayah-payah padanya, malam dan siang, pada
menghafal dan mempelajarinya. Dan melupakan dari apa yang penting dalam agama.
Apabila didesak, maka ahli fiqih itu menjawab : "Aku menghabiskan
waktu mempelajarinya karena fiqih itu ilmu agama dan fardlu kifayah". Ia
mengelabui dirinya dan orang lain pada mempelajarinya.
Orang cerdik itu tahu bahwa kalau adalah maksudnya melaksanakan perintah
pada fardlu kifayah, tentu didahulukannya fardlu 'ain. Bahkan juga akan
didahulukannya banyak dari fardlu-fardlu kifayah yang Iain dari ilmu fiqih itu.
Berapa banyak negeri yang tidak berdokter, selain dari orang zimmi (orang
kafir yang dilindungi pemerintah Islam). Orang zimmi itu menurut hukum fiqih,
tidak dapat diterima menjadi saksi mengenai hal yang menyangkut dengan
kedokteran.
Kemudian, tidak seorangpun dari orang Islam, kami lihat bekerja dalam
lapangan kedokteran. Mereka berlomba-lomba kepada ilmu fiqih, lebih-lebih
masalah khilafiah dan perdebatan. Negeri penuh dengan ulama fiqih, yang bekerja
mengeluarkan fatwa dan memberi penjawaban dari peristiwa-peristiwa yang
terjadi. Wahai kiranya, bagaimana ahli-ahli fiqih agama, memurahkan waktunya
mengerjakan fardiu kifayah yang telah dikerjakan oleh suatu golongan. Dan
mengabaikan yang tak ada orang bangun mengerjakannya. Adakah ini mempunyai
sebab tertentu? Hanya pengetahuan kedokteran itu, tidak mudah menjadi pengurus
harta wakaf, harta wasiat, pengawas harta anak yatim, menjadi hakim dan
pemerintah, terkemuka dari teman sejawat dan berkuasa menghantam lawan.
Benarlah kiranya, telah terinjak-injak ilmu agama dengan tingkah laku ulama
jahat. Maka Allah Ta'ala tempat bermohon pertolongan. KepadaNya tempat
berlindung, kiranya 'dilindungiNya kita dari penipuan ini, yang membawa kepada
amarahNya dan menertawakan setan.
Ahli wara' dari ulama dhahir, mengaku kelebihan
ulama bathin dan yang mempunyai mata hati. Imam Asy-Syafi'i ra. pernah duduk
dihadapan Syaiban Pengembala, seperti duduknya seorang anak kecil di
maktab,seraya bertanya: "Bagaimana membuat itu dan itu?" Maka dikatakan kepada Imam Asy-Syafi'i :
"Seperti engkau bertanya pada Badui ini?". Maka menjawab Imam Syafi'i
: "Sesungguhnya ini sesuai dengan apa yang kami lupakan".
Imam Ahmad bin Hanbal ra. dan Yahya bin Mu'in selalu pergi menjumpai Ma'ruf
Al-Karkhi, padahal dalam ilmu dhahir tak adalah orang lain yang setingkat
dengan keduanya. Imam Ahmad dan Yahya menanyakan : "Bagaimana?".
Sedang Rasulullah saw. pernah bersabda, ketika ditanyakan :
"Apa yang kami perbuat, apabila
datang kepada kami suatu persoalan, yang kami tidak peroleh dalam Kitab dan
Sunnah?".
Maka Nabi صلى الله
عليه وسلم: menjawab :
سلوا
الصالحين واجعلوه شورى بينهم
(Salush shaalihiina waj-'aluuhu syuuraa bainahum).
Ertinya :"Tanyakanlah
kepada orang-orang sholih dan selesaikanlah dengan jalan bermusyawarah dengan
mereka".
Karena itulah, dikatakan bahwa ulama dhahir itu adalah hiasan bumi dan
kerajaan. Dan ulama bathin adalah hiasan langit dan alam malakut. Berkata
Al-Junaid ra. : "Bertanya As-Sirri guruku- kepadaku pada suatu hari :
"Apabila engkau berpindah daripadaku, maka dengan siapa engkau bercakap-cakap?".
Lalu aku jawab : "Dengan Al-Muhasibi". Maka ia berkata : "Ya,
betul! Ambillah dari ilmunya dan adab kesopanannya! Tinggalkanlah dari engkau
pemecahannya ilmu kalam dan serahkan itu kepada para ulama ilmu kalam sendiri
(ulama mutakallimin)! '. Kemudian tatkala aku berpisah, aku mendengar dia
mengatakan : "Kiranya Allah menjadikan engkau seorang ahli hadits yang
sufi. Tidak dijadikan-Nya engkau, seorang sufi yang ahli hadits".
Diisyaratkan oleh As-Sirri, bahwa orang yang memperoleh hadits dan ilmu,
kemudian bertasawwuf, maka akan memperoleh kemenangan. Dan orang yang
bertasawwuf sebelum berilmu maka akan membahayakan bagi dirinya.
Kalau anda bertanya : "Mengapa anda tidak membentangkan ilmu kalam dan
falsafah dalam bermacam-macam ilmu itu dan anda terangkan bahwa keduanya itu
tercela atau terpuji?".
Ketahuilah, bahwa hasil yang dilengkapi padanya ilmu kalam, ialah
dalil-dalil yang bermanfa'at. Maka Al-Quran dan hadits itu melengkapi padanya.
Yang di luar dari Al-Qur'an dan Sunnah, maka adakalanya pertengkaran yang
tercela dan ini termasuk perbuatan bid'ah, yang akan dijelaskan nanti. Dan
adakalanya permusuhan yang menyangkut dengan partai-partai yang berlawanan. Dan
merentang panjang dengan mengambil kata-kata, yang kebanyakannya batil dan keliru,
dipandang buruk oleh pribadi yang baik dan ditolak oleh telinga yang sehat. Dan
sebahagiannya lagi campuran pada yang tak ada hubungannya dengan agama. Bahkan
tak dikenal pada masa pertama dari agama.
Dan adalah turut campur padanya dengan keseluruhan termasuk bid'ah. Tetapi
sekarang, hukumnya telah berubah. Karena telah muncul bid'ah yang menyeleweng
dari kehendak Al-Quran dan Sunnah. Dan telah tampil suatu golongan yang
mencampuradukkan barang yang tak jelas. Lalu mereka menyusun kata-kata yang
tersusun, sehingga yang ditakuti itu, memperoleh keizinan karena terpaksa.
Bahkan telah menjadi sebagian dari fardlu kifayah.Yaitu kadar yang dihadapi
oleh pembuat bid'ah, apabila bermaksud menyerukan orang kepada bid'ah.Dan yang
demikian kepada batas yang tertenttu akan kami sebutkan nanti pada bab yang
akan datang, insya Allah Ta'ala
Adapun falsafah, maka tidaklah ia suatu ilmu yang
berdiri sendiri.
Tetapi
terdiri dari empat bahagian :
Pertama ilmu ukur dan ilmu berhitung.
Keduanya mubah (dibolehkan) sebagaimana telah diterangkan. Dan tidak
dilarang kedua ilmu itu, kecuali orang yang ditakuti akan melampaui kepada ilmu
yang tercela. Kebanyakan orang yang bergiat dalam lapangan ilmu yang dua tadi,
lalu keluar kepada bid 'ah. Dari itu orang yang lemah, harus dijaga dari kedua
ilmu tadi, bukan karena'ain (diri) keduanya, sebagaimana dijaga anak kecil dari
tepi sungai, karena takut jatuh ke dalam sungai. Dan sebagaimana dijaga
orang baru masuk Islam,daripada bercampur-baur dengan orang-orang kafir. Karena
ditakuti mem- bahayakan kepadanya. Sedang orang yang kuat, tak akan tertarik
kepada bercampur dengan mereka.
Kedua ilmu mantiq (ilmu logika),
Iaitu membahas cara membuat dalil
dan syarat-syaratnya, membuat batas dalil dan syaratnya. Dan keduanya itu masuk dalam ilmu kalam.
Ketiga ilmu keTuhanan.
IYaitu membahas tentang dzat
Allah Ta'ala dan sifatNya. Ini
termasuk juga dalam ilmu kalam.
Para filosuf tidak menyendiri mengenai ilmu keTuhanan dengan bentuk suatu
ilmu yang lain. Tetapi mereka menyendiri dengan bentuk aliran-aliran
(madzhab-madzhab). Sebahagian dari padanya adalah kufur dan sebahagian lagi
adalah bid'ah. Sebagaimana aliran Mu'tazilahpun tidaklah merupakan suatu ilmu
yang berdiri sendiri. Tetapi penganut-penganutnya adalah suatu golongan dari
ulama mutakallimin (ulama ilmu kalam). Dan ahli pembahasan dan penyelidikan
itu, menyendiri dengan madzhab-madzhab yang batil. Maka seperti itu pulalah
filosuf-filosuf. Keempat ilmu alam. Sebahagian daripadanya menyalahi syara' dan
agama benar. Itu adalah kebodohan, bukan ilmu pengetahuan, sehingga dimasukkan
dalam bahagian-bahagian ilmu.
Sebahagian lagi pembahasan, tentang sifat-sifat jizim (benda yang bertubuh)
dan kegunaannya, cara berubah dan bertukar bentuknya.Dan itu menyerupai dengan
pandangan para dokter. Bedanya, dokter itu memperhatikan pada tubuh manusia
khususnya, dari segi ia sakit dan sehat. Sedang para ahli ilmu alam itu
memperhatikan pada seluruh benda yang bertubuh (al-ajsam), dari segi ia berubah
dan bergerak.
Tetapi ilmu kedokteran mempunyai kelebihan dari ilmu alam. Yaitu ilmu alam
itu memerlukan kepada ilmu kedokteran. Dan ilmu para ahli ilmu alam itu, tidak
diperlukan kepadanya.
Jadi, ilmu kalam itu termasuk dalam jumlah usaha yang wajib secara kifayah,
untuk menjaga hati orang awwam, dari pengkhayalan ahli bid'ah. Yang demikian
itu terjadi, dengan terjadinya bid'ah, sebagaimana datangnya keperluan manusia
menyewa pengawal dalam perjalanan hajji, dengan adanya kedzaliman dan
perampokan di jalan yang dilakukan orang Arab. Kalau orang Arab itu telah
meninggalkan permusuhan, maka tidaklah menyewa pengawal itu menjadi syarat
dalam perjalanan hajji.
Maka karena itulah, kalau tukang bid'ah itu telah meninggalkan perkataan
yang sia-sia, maka tak perlu lagi menambah dari apa yang ada pada masa shahabat
Nabi ra.
Maka ahli ilmu kalam hendaklah mengetahui akan batasnya dalam agama. Dan
kedudukan ilmu kalam dalam agama, sebagai kedudukan pengawal dalam perjalanan
hajji. Apabila pengawal itu tidak melakukan pengawalan, niscaya dia tidak
termasuk dalam jumlah orang hajji. Dan ahli ilmu kalam apabila tidak melakukan
tugasnya untuk berdebat & mempertahankan pendirian, tidak menjalani jalan
akhirat dan tidak bekerja mendidik dan memperbaiki hati, maka tidaklah
sekali-kali dia tergolong dalam jumlah ulama agama. Dan tidaklah pada ahli ilmu
kalam itu agama, selain aqidah yang bersekutu padanya, orang kebanyakan yang
lain. 'Aqidah itu termasuk dalam golongan amal perbuatan dhahir dari hati dan
lisan. Dan bedanya ahli ilmu kalam dari orang awwam, ialah dengan perbuatan
berdebat dan penjagaan.
Adapun mengenal Allah Ta'ala, sifat dan af'al-Nya serta sekalian yang telah
kami isyaratkan dalam ilmu mukasyafah, maka tidaklah diperoleh dari ilmu kalam.
Malah hampir adalah ilmu kalam itu menjadi hijab dan penghalang. Dan
sesungguhnya, sampai kepadanya, ialah dengan mujahadah (bersungguh-sungguh
hati) yang dijadikan oleh Allah sebagai mukaddimah bagi petunjuk, dengan
firman-Nya :
وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِينَ
(Wal ladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa wa innal
laaha lama'al muhsiniin).
Artinya :"Mereka yang bersungguh-sungguh pada Kami, maka akan Kami tunjuki
mereka akan jalan Kami dan sesungguhnya Allah beserta orang yang berbuat baik
". (S.Al-Ankabut, ayat 69).
Jika anda berkata, bahwa aku telah berulang kali mengatakan akan batas
tugas ahli ilmu kalam, kepada menjaga 'aqidah orang awwam dari gangguan pembuat
bid'ah sebagaimana batas tugas pengawal, ialah menjaga pakaian jama'ah hajji
dari gangguan orang Arab dan berulang-kali aku mengatakan akan batas tugas ahli
fiqih, ialah menjaga undang-undang (qanun), yang dapat mencegah penguasa,
kejahatan sebahagian musuh dari sebahagian yang lain.
Ini dua tingkat yang menurun, dengan menyandarkan kepada ilmu agama. Dan
ulama ummat yang terkenal dengan keutamaan, adalah mereka, para ulama fiqih dan
ulama kalam. Merekalah makhluk yang utama pada sisi Allah Ta'ala. Maka
bagaimanakah menurun- nya derajat mereka kepada kedudukan yang rendah itu,
dengan menyandarkan kepada ilmu agama?
Maka ketahuilah, bahwa orang yang mengenai kebenaran dengan orang-orang
adalah orang yang heran dalam keheranan kesesatan. Dari itu kenalilah
kebenaran, niscaya engkau akan mengenai ahli kebenaran itu, kalau engkau
berjalan menuju jalan kebenaran. Jika engkau padakan dengan taqlid dan melihat
kepada yang termasyhur dari tingkat-tingkat keutamaan diantara manusia, maka
janganlah engkau melupakan para shahabat Nabi saw. dan ketinggian kedudukannya.
Telah sepakat mereka, yang telah aku bentangkan, dengan menyebutkan mereka dari
para ulama fiqih dan ilmu kalam, atas terkemukanya para shahabat itu. Dan
sesungguhnya tidak terdapat tujuan pribadi mereka pada agama. Dan tidak
dihancurkan debu jejak mereka. Dan tidaklah terkemuka mereka dengan ilmu kalam
dan fiqih, akan tetapi dengan ilmu akhirat dan jalan menuju kepadanya. ما فضل أبو بكر رضي الله عنه الناس بكثرة صيام ولا صلاة ولا
بكثرة رواية ولا فتوى ولا كلام ولكن بشيء وقر في صدره
Tidaklah Abu Bakar ra. melebihi manusia lain lantaran banyak puasa, shalat,
banyak meriwayatkan hadits, fatwa dan kata-kata. Tetapi kelebihannya adalah
karena sesuatu yang mulia di dalam dadanya, sebagaimana diakui oleh Nabi saw.
Sendiri.
Dari itu hendaklah engkau berusaha mencari rahasia itu! Itulah jauhar yang
bernilai dan mutiara yang tersimpan rapi. Tinggalkan lah akan apa yang
bersesuaian engkau dengan kebanyakan manusia terhadap hal itu, terhadap
pengagungan dan penghormatannya. Karena sebab-sebab dan penarik-penarik, yang
akan panjang perinciannya.
Rasulullah saw. telah berpulang dengan meninggalkan beribu-ribu orang
shahabat ra. Semuanya ulama billah. Mereka dipuji oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Tak ada seorangpun dari
mereka yang tahu dengan baik tentang ilmu kalam. Dan tidak menegakkan dirinya
menjadi juru fatwa, kecuali beberapa belas orang saja. Diantaranya ialah : Ibnu
Umar ra.
Apabila Ibnu Umar ra. dimintakan fatwanya, lalu ia menjawab kepada peminta
itu : "Pergilah kepada amir Anu yang bertanggung jawab segala urusan
manusia dan letakkanlah dipundaknya". Kata-kata itu menunjukkan bahwa
mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-persoalan dan hukum-hukum, adalah
termasuk mengikuti kekuasaan dan pemerintahan.
Ketika Umar ra. wafat, maka berkata Ibnu Mas'ud : "Telah meninggal sembilan persepuluh
(9/10) ilmu".
Lalu orang bertanya kepadanya : "Mengapakah anda berkata demikian,
padahal di tengah-tengah kita masih banyak shahabat?"
Ibnu Mas'ud menjawab : "Aku tidak maksudkan ilmu fatwa dan hukum.
Sesungguhnya aku maksudkan ilmu tentang Allah Ta'ala. Adakah anda berpendapat
bahwa maksud Ibnu Mas'ud itu ilmu kalam dan ilmu berdebat? Kalau begitu mengapa
anda tidak berlomba-lomba mempelajari ilmu tadi yang hilang sembilan persepuluh
dari padanya, dengan wafatnya Umar ra. ? Dan Umarlah yang menutup pintu ilmu
kalam dan pertengkaran dan memukul Shabigh bin 'Isi dengan cemeti, tatkala
memajukan suatu pertanyaan kepadanya tentang bertentangan dua ayat dalam
Kitabullah (Al-Qur'an) dan memboikotinya serta menyuruh orang banyak
membekotinya (tidak bercakap-cakap dengan dia).
Adapun kata anda bahwa yang termasyhur dari ahli ilmu, ialah ahli ilmu
fiqih dan ahli ilmu kalam, maka ketahuilah bahwa kelebihan yang diperoleh
mereka pada sisi Allah itu adalah satu hal. Dan kemasyhuran yang diperolehnya
pada manusia itu satu hal yang lain.
Sesungguhnya kemasyhuran Abu Bakar
ra. adalah karena dia khafilah. Sedang kelebihan yang diperolehnya adalah karena
suatu sirr (rahasia) yang mulia di dalam hatinya.
Kemasyuran Umar ra. adalah disebabkan siasah
(politik). Dan
kelebihannya adalah disebabkan ilmu mengenai Allah, yang mati sembilan
persepuluh dari padanya, dengan kematiannya. Dan disebabkan maksudnya mendekatkan
diri kepada Allah Ta'ala dalam pemerintahan,keadilan dan kasih-sayangnya kepada
makhluk Allah.
Dan itu adalah keadaan bathin dalam rahasia dirinya. Adapun segala
perbuatan dhahiriahnya yang lain, maka tergambar timbulnya dari mencari
kemegahan, nama, ingin terkenal dan gemar pada kemashuran itu. Maka adalah
kemasyhuran itu, pada yang membinasakan. Dan kelebihan itu, mengenai hal
rahasia yang tidak dilihat oleh seorang manusiapun.
Maka para ahli ilmu fiqih dan ilmu kalam, adalah seperti khaifah, kadli
(hakim) dan ulama. Mereka itu terbagi-bagi. Ada diantaranya yang dikehendaki
oleh Allah ta'ala dengan ilmunya, fatwanya dan pertahanannya akan Sunnah Nabi.
Dan ia tidak mencari dengan yang demikian itu, keriaan dan kemasyhuran nama.
Merekalah yang memperoleh kerelaan Allah. Dan kelebihan mereka pada sisiNya,
karena telah berbuat sepanjang ilmu mereka. Dan karena kehendak mereka akan
wajah Allah dengan fatwa dan pandangannya.
Tiap-tiap ilmu ada amal perbuatannya. Yaitu perbuatan yang diusahakan. Dan
tidaklah tiap-tiap amal perbuatan itu bernama ilmu. Seorang tabib (dokter)
sanggup mendekatkan dirinya kepada Allah Ta'ala dengan ilmunya. Maka ia
memperoleh pahala atas ilmunya itu dari segi, bahwa ia berbuat karena Allah
swt. Sultan (penguasa) menjadi perantaraan antara sesama makhluk Allah. Maka ia
memperoleh kerelaan dan pahala daripada Allah swt. Tidak dari segi
pertanggung-jawabannya dengan ilmu agama, akan tetapi dari segi ia mengikuti
perbuatan, yang maksudnya, mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan ilmunya.
Bahagian-bahagian yang mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala itu, tiga :
ilmu semata-mata, yaitu ilmu mukasyafah. Amal semata-mata. yaitu seperti,
keadilan bagi seorang raja dan perhatiannya akan kepentingan rakyat. Dan yang
tersusun dari amal dan ilmu. Yaitu : ilmu jalan ke akhirat. Yang empunya
ilmu tersebut , adalah sebagian dari ulama dan orang-orang yang beramal. Maka
perhatikanlah kepada dirimu sendiri! Adakah engkau pada hari qiamat nanti,
dalam golongan ulama Allah atau yang beramal pada jalan Allah atau dalam
golongan kedua-duanya? Maka jadikanlah bahagianmu bersama kedua golongan itu
Maka inilah yang lebih penting kepadamu daripada turut-turutan, untuk
semata-mata kemasyhuran, seperti kata orang :
Ambillah apa yang engkau
lihat,
Tinggalkanlah sesuatu yang
didengar.
Untuk mengetahui matahari
terbit, engkau memerlukan bintang Zuhal
Akan kami nukilkan dari riwayat
hidup ulama-ulama fiqih terdahulu, di mana anda akan mengetahui nanti, bahwa
orang-orang yang menganut madzhab mereka, telah berbuat dhalim terhadap mereka.
Dan menjadi musuh terbesar dari
ulama-uiama itu pada hari qiamat.
Para ulama yang terdahulu itu tak bermaksud dengan
ilmunya, selain wajah Allah Ta'ala. Dari hal ikhwal mereka, dapat dipersaksikan, apa
yang menjadi tanda-tanda ulama akhirat, sebagaimana akan diterangkan nanti pada
Bab Tanda-tanda Ulama Akhirat. Mereka tidaklah semata-mata untuk ilmu fiqih,
tetapi mereka berbuat dan memperhatikan akan ilmu yang berhubungan dengan hati.
Bahkan mereka telah dipalingkan dari mengajar dan mengarang, oleh apa yang
telah memalingkan para shahabat dahulu, dari mengarang dan mengajari fiqih.
Padahal mereka itu adalah ulama fiqih yang berdiri sendiri dengan ilmu fatwa,
Yang memalingkan dan yang mengajak itu diyakini dan tak ada perlunya disebutkan
di sini.
Sekarang akan kami sebutkan kata-kata ulama fiqih Islam, di mana akan anda
ketahui bahwa apa yang kami sebutkan itu, tidaklah mengecam mereka. Tetapi,
adalah kecaman kepada orang-orang yang menyatakan dirinya mengikuti dan menganut
madzhab mereka. Karena orang itu, menyalahi dalam perbuatan dan perjalanan
dengan para ulama fiqih itu.
Adapun ulama fiqih yang menjadi pemimpin ilmu fiqih dan pahlawan ummat,
yakni mereka yang banyak pengikutnya pada madzhab-madzhab itu, adalah lima, yaitu
: Asy-Syafi'i, Malik, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsuri Rahmat
Allah kiranya kepada mereka sekalian. Masing-masing mereka adalah 'abid (kuat
beribadah), zahid. (tidak terpengaruh oleh dunia), 'alim dengan semua ilmu
akhirat, paham akan kepentingan ummat di dunia dan menghendaki dengan fiqihnya
itu, akan wajah Allah Ta 'ala.
Ini lima perkara, di mana yang diikuti oleh ulama fiqih sekarang dari
keseluruhannya, hanya satu perkara saja. Yaitu : memberi tenaga dan
bersangatan membuat fiqih itu bercabang-cabang. Karena yang empat perkara itu, tidaklah layak melainkan untuk akhirat. Dan
yang satu perkara itu adalah untuk dunia dan akhirat. Jikalau dimaksudkan
dengan dia itu akhirat, maka sedikit lah kepentingannya untuk dunia.
Ulama-ulama fiqih itu memberi tenaga dan mendakwakan dirinya serupa dengan
imam-imam besar itu. Alangkah janggalnya, membandingkan malaikat dengan
tukang-tukang besi'..
Marilah sekarang kami bentangkan hal-ikhwal mereka, yang menunjukkan kepada
empat perkara tadi. Karena pengetahuan mereka tentang fiiqh itu, terang.
Adapun Imam Asy-Syafi'i ra., maka yang menunjukkan ia seorang 'abid
adalah riwayat yang menerangkan bahwa ia membagi malam, tiga bahagian :
sepertiga untuk ilmu, sepertiga untuk ibadah dan sepertiga lagi untuk tidur.
Berkata Ar-Rabi' : "Adalah Imam Asy-Syafi'i ra. mengkhatamkan
(menamatkan bacaan) Al-Qur'an dalam bulan Ramadlan, enam puluh kali. Semuanya
itu dalam shalat.
Al-Buaithi salah seorang shahabatnya, mengkhatamkan Al-Qur'an dalam bulan
Ramadlan, tiap-tiap hari sekali.
Berkata AI-Hasan Al-Karabisi : "Aku bermalam bersama Imam
Asy-Syafi'i bukan satu malam. Dia melakukan shalat hampir sepertiga malam.
Tidak aku lihat dia melebihkan dari lima puluh ayat. Apabila dia perbanyak maka
sampai seratus ayat. Apabila ia membaca ayat rahmat lalu berdo'a kepada Allah
Ta'ala untuk dirinya sendiri dan untuk sekalian kaum muslimin dan mu'minin. Dan
apabila ia membaca ayat 'azab, lalu memohonkan perlindung- an dan kelepasan
daripadanya untuk dirinya dan untuk orang mu'min. Seakan-akan ia mengumpulkan
harap dan bersama dengan takut.
Lihatlah, betapa dibuktikan oleh kependekan bacaannya atas 50 ayat, kepada
melaut dan mendalam pemahamannya akan rahasia yang terkandung di dalam
Al-Qur'an.
Imam Asy-Syafi'i ra. pernah berkata : "Aku tidak pernah kenyang
selama 16 tahun. Karena kekenyangan itu memberatkan tubuh, mengesatkan hati,
menghilangkan cerdik, menarikkan tidur dan melemahkan orang yang kenyang itu
dari beribadah".
Maka lihatlah kepada hikmahnya pada menyebutkan bahaya-bahaya kekenyangan!
Kemudian mengenai kesungguhannya beribadah, karena ia meninggalkan kekenyangan
itu karena ibadah. Dan pundak beribadah itu, ialah menyedikitkan makan.
Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. lagi : "Tidak pernah aku bersumpah
dengan nama Allah, baik dalam hal yang benar apalagi bohong".
Lihatlah betapa hormat dan tunduknya kepada Allah Ta'ala dan dibuktikan
oleh demikian atas pengetahuannya dengan kebesaran Allah swt.!.
Ditanyakan Imam Asy-Syafi'i ra. tentang suatu masalah, maka ia diam. Ketika
ditanyakan lagi". Mengapa tuan tidak menjawab? Kiranya Allah merahmati
tuan".
Maka beliau menjawab : "Aku berpikir, sehingga aku mengetahui, mana
yang lebih baik, pada diamku atau jawabku". Lihatlah, betapa diawasinya
lidahnya, sedang lidah itu adalah anggota badan yang paling berkuasa bagi ulama
fiqih dan paling payah mengekang dan menundukkannya. Dengan itu, jelaslah bahwa
ia tidak berkata atau diam kecuali untuk memperoleh keutamaan dan pahala.
Berkata Ahmad bin Yahya bin Al Wazir: "Pada suatu hari keluarlah Imam
Asy-Syafi'i ra. pergi ke pasar lampu, lalu kami ikuti dia dari belakang.
Tiba-tiba ada orang yang membodohkan seorang ahli ilmu. Maka Imam Asy-Syafi'i
menoleh kepada kami seraya berkata : "Bersihkanlah pendengaranmu dari
mendengar kata-kata keji seperti kamu membersihkan lidahmu dari mengucapkannya.
Sesungguhnya si pendengar adalah sekutu dari yang berkata. Orang yang lemah
pikiran, melihat kepada barang yang sangat buruk di dalam wadahnya. Maka ia
berusaha menuangkannya ke dalam wadahmu. Kalau ditolak perkataan orang yang
lemah pikiran itu, maka akan berbahagialah yang menolaknya, sebagaimana akan
celakalah yang mengatakannya".
Berkata Imam Asy-Syafi'i ra.: "Seorang filosuf menulis surat
kepada seorang filosuf. Diantara isinya yaitu : "Engkau telah mendapat
ilmu, maka janganlah engkau kotorkan ilmumu itu dengan kegelapan dosa. Nanti
engkau akan tinggal dalam kegelapan, pada hari, di mana ahli ilmu bekerja
dengan nur ilmunya".
Adapun zuhudnya maka berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Barangsiapa
mendakwakan bahwa ia mengumpulkan antara cinta kepada dunia dan cinta
kepada pencipta dunia dalam hati nuraninya,maka dia itu
bohong".
Berkata Al-Humaidi : "Imam Asy-Syafi'i ra. pergi ke Yaman
bersama beberapa orang pembesar negeri. Lalu ia berangkat ke Makkah
dengan membawa wang sepuluh ribu dirham. Di luar kota Makkah dibangunnya suatu
tempat tinggal. Maka berdatanganlah manusia berkunjung kepadanya. Dia terus menetap di tempat itu sampai
uang itu habis dibagi-bagikannya".
Pada suatu kali, Imam Asy-Syafi'i ra. keluar dari kamar mandi umum, lalu
diberikannya wang yang banyak kepada penjaga kamar mandi itu. Pada suatu kali
tongkatnya jatuh dari tangannya,lalu tongkat itu diserahkan orang kepadanya.
Maka untuk berterima kasih kepada orang itu, lalu Imam Asy-Syafi'i ra.
Memberikan uang 50 dinar.
Kemurahan hati Imam Asy-Syafi'i ra. adalah lebih terkenal dari apa yang
diceriterakan. Pangkal zuhud ialah kemurahan hati. Karena orang yang mencintai
sesuatu benda, akan memegangnya erat-erat. Tidak ingin berpisah daripadanya.
Maka tidak mau berpisah dari harta, selain orang yang telah kecillah dunia pada
pandangannya.Dan itulah arti zuhud.
Betapa kuat zuhudnya dan sangat takutnya kepada Allah Ta'ala serta
kesungguhan kemauannya dengan akhirat, adalah dibuktikan oleh apa yang
diriwayatkan bahwa sesungguhnya Sufyan bin 'Uyaynah meriwayatkan suatu hadits
tentang sifat yang halus halus, lalu pingsanlah Asy-Syafi'i ra. Maka orang
mengatakan kepadanya : Imam Asy-Syafi'i telah wafat. Lalu Sufyan menjawab :
"Jika benarlah ia telah wafat maka telah wafatlah orang yang paling utama
bagi zamannya". Dan apa yang diriwayatkan Abdullahbin Muhammad Al-Balawi
dengan katanya : "Adalah aku & Umar bin Nabatah duduk memperkatakan
tentang orang 'abid dan orang zahid. Maka berkata Umar kepadaku : "Belum
pernah aku melihat
orang yang lebih wara' dan lancar berbicara dari Muhammad bin Idris
Asy-Syafi'i ra. Aku, Imam Asy-Syafi'i dan Al-Harits bin Lubaid pergi ke
bukit Shafa. Al-Harits adalah murid Ash ShaIih Al-Marri. Ia memulai membaca
Al-Quran.
Adalah dia mempunyai suara merdu,
lalu membaca ayat ini :
هَذَا
يَوْمُ لا يَنْطِقُونَ ,وَلا يُؤْذَنُ لَهُمْ فَيَعْتَذِرُونَ
(Haadzaa yaumu laa yanthiquun. Wa
laa yu'-dzanu lahum faya'tadziruun).
Ertinya :"Inilah hari
yang dikala itu mereka tiada dapat berbicara.Dan kepada mereka tiada diberikan
keizinan, sehingga mereka dapat memajukan keberatan (pembelaan)".(S.
Al-Mursalat, ayat 35 - 36).
Maka aku lihat Imam Asy-Syafi'i
ra. berubah warna mukanya, berkerut kulit keningnya,badannya
gemetar lalu jatuh tersungkur.
Ketika ia sadar kembali,maka ia
berkata : "Aku berlindung dengan Engkau ya Allah dari tempat berdirinya
orang-orang dusta dan penyelewengan orang-orang lengah. Ya Allah, kepadaMu jua
tunduk hati orang-orang 'arifin (orang yang mengenai Allah) dan membungkuk
merendahkan diri orang-orang yang rindu kepada Engkau'. Tuhanku! Anugerahilah
kepadaku limpah karuniaMu Mudakanlah aku dengan lindunganMu! Ma'afkanlah
keteledoranku dengan kemurahanMu!".
Abdullah bin Muhammad Al-Balawi menerangkan : "Kemudian ia pergi dan
kamipun pergi. Tatkala aku masuk Bagdad dan Asy-Syafi'i ra. masih di Irak. Maka
aku duduk di tepi sungai, mengambil wudlu untuk bershalat. Tiba-tiba lewat
disampingku seorang laki-laki, seraya berkata kepadaku : "Ya, saudara!
Berwudlulah dengan baik, niscaya Allah memberikan kebaikan kepadamu di dunia
dan di akhirat". Lalu aku menoleh, maka tiba-tiba aku dengan orang yang
diikuti oleh orang ramai. Maka bergegas-gegaslah aku berwudlu dan mengikutinya
dari belakang. Maka ia memandang kepadaku seraya bertanya : "Adakah bagimu
keperluan ?".
"Ada!", jawabku. "Ajarilah aku sedikit dari pengetahuan yang
dianugerahi Allah kepadamu!".
Maka ia menjawab : "Ketahuilah! Orang yang membenarkan Allah, niscaya
terlepas dari bahaya. Orang yang sayang kepada agamaNya, niscaya selamat dari
kehinaan. Orang yang zuhud pada dunia, niscaya tetaplah dua matanya memandang
pahala dari pada Allah Ta'ala pada hari esok. Apakah aku tambahkan lagi
?".
"Ya!", jawabku.
Lalu ia menyambung : "Orang yang ada padanya tiga perkara, maka
sempurnalah imannya : orang yang menegakkan amar ma'ruf terhadap orang lain dan
terhadap dirinya, orang yang menjalankan nahi mungkar terhadap orang Iain dan
terhadap dirinya dan orang yang menjaga batas-batas yang ditentukan Allah
Ta'ala.
Apakah aku tambahkan lagi?".
"Ya!", jawabku.
Maka ia menyambung : "Hendaklah kamu zuhud di dunia dan gemar ke
akhirat. Danbenarkanlah akan Allah Ta'ala dalam segala pekeijaanmu, niscaya
engkau terlepas serta orang-orang, yang terlepas dari segala mara bahaya".
Kemudian ia pergi lalu aku tanyakan, siapakah orang itu ? Maka menjawab
orang banyak : "Itulah Imam Asy-Syafi'i".
Lihatlah Imam Asy-Syafi'i ra. jatuh tersungkur, kemudian perhatikanlah
kepada pengajarannya, betapa
membuktikan yang demikian itu, kepada kezuhudan dan sangat ketakutannya kepada
Allah Ta'ala.
Ketakutan dan kezuhudan ini tidak datang selain karena mengenal Allah
'Azza wa Jalla.
Allah berfirman :
إِنَّمَا
يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
(Innamaa yakhsyallaaha min 'ibaadihil 'ulamaa-u)
Ertinya :"Sesungguhnya
yang takut kepada Allah dari hambaNya ialah ulama ". (S. Fathir, ayat 28).
Maka Imam Asy-Syafi'i ra. tidaklah memperoleh ketakutan dan kezuhudan itu,
dari ilmu kitab berjual-beli dan sewa-menyewa dan lain-lain kitab fiqih. Tetapi
diperolehnya dari ilmu akhirat yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits. Karena
hukum dari orang-orang terdahulu dan yang kemudian, tersimpan pada keduanya.
Adapun tentang ke'alimannya, mengetahui segala rahasia hati dan ilmu-ilmu
akhirat, maka anda dapat mengetahuinya dari kata-kata hikmah yang berasal
daripadanya.
Menurut riwayat, pernah orang bertanya kepada Imam Asy-Syafi'i ra. tentang
ria, maka ia menjawab dengan tegas : "Ria adalah suatu fitnah yang
diikatkan oleh hawa nafsu untuk mendindingi penglihatan mata hati ulama-ulama.
Lalu mereka melihat kepada ria itu, dengan jahatnya pilihan jiwa. Maka
binasalah segala amalannya".
Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Apabila engkau takuti timbul 'ujub
pada amalanmu, maka pandanglah kepada rela Tuhan yang engkau cari, pada pahala
yang engkau gemari, pada siksa manapun yang engkau takuti, pada sehat yang
engkau syukuri dan pada bala yang engkau ingati. Apabila engkau renungkan salah
satu dari perkara-perkara tadi maka kecillah rasanya pada matamu amalanmu
itu".Lihatlah bagaimana Imam Asy-Syafi'i ra. menerangkan hakikat ria dan
cara mengobati 'ujub. Keduanya itu adalah bahaya besar bagi hati.
Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : ''Barangsiapa tiada menjaga dirinya
maka tak bergunalah ilmunya".
Katanya lagi : "Barangsiapa ta'at kepada Allah Ta'ala dengan ilmu,
maka bermanfa'atlah bathinnya". Katanya lagi: "Tiada seorangpun
melainkan mempunyai yang dikasihi dan yang dimarahi. Apabila ada seperti
demikian, maka hendaklah engkau bersama golongan orang yang ta'at kepada Allah
Ta'ala".
Diceriterakan bahwa Abdul Kadir bin Abdul Aziz adalah seorang salih yang
wara'. Dan ia bertanya kepada Imam Asy-Syafi'i ra. tentang masalah wara'
itu. Dan Imam Asy-Syafi'i amat suka
menerima kedatangannya karena wara'nya. Maka pada suatu hari bertanyalah ia
kepada Imam Asy-Syafi'i ra. "Manakah yang lebih utama : sabar atau diuji
atau diberi keteguhan hati?".Maka menjawab Imam Asy-Syafi'i ra. :
"Diberi keteguhan hati adalah derajat Nabi-Nabi. Dan tak ada keteguhan
hati itu selain sesudah diuji. Apabila diuji maka bersabar. Apabila sudah
bersabar maka teguhlah hati. Tidaklah engkau lihat, bahwa Allah Ta'ala menguji
Nabi Ibrahim as., kemudian la memberikannya ketetapan hati? Ia menguji Nabi
Musa as., kemudian Ia memberikannya ketetapan hati. Ia menguji Nabi Ayub as.,
kemudian Ia memberikannya ketetapan hati. Dan ia menguji Nabi Sulaiman as.,
kemudian Ia memberikannya ketetapan hati dan menganugerahinya kerajaan.Maka
ketetapan hati itu adalah derajat yang paling utama?
Berfirman Allah Ta'ala :
وَكَذَلِكَ
مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الأرْضِ
(Wa kadzaalika makkannaa li-yuusufa fil ardli).
Ertinya:"Dan
begitulah Kami teguhkan kedudukan Yusuf dimuka bumi".(S. Yusuf, ayat 21).
Nabi Ayub as. sesudah menghadapi ujian besar, barulah diberi keteguhan
hati.
Berfirman Allah Ta'ala :
وَآتَيْنَاهُ
أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ
(Wa aatainaahu ahlahuu wa mitslahum ma'ahum.).
Ertinya :"Kami
berikan kepadanya pengikut-pengikutnya dan tambahannya lagi sebanyak itu
pula". (S. Al-Ambiya', ayat 84).
Kata-kata tersebut dari Imam Asy-Syafi'i ra. menunjukkan betapa melaut
pahamnya akan rahasia yang terkandung dalam Al-Qur'an dan penglihatannya
tentang kedudukan orang-orang yang menuju kepada Allah Ta'ala, baik Nabi-Nabi
atau Wali-Wali. Semuanya itu adalah dari ilmu akhirat.
Ditanya kepada Imam Asy-Syafi'i ra. : "Bilakah seorang itu dipandang
'alim?".
Ia menjawab : "Apabila ia yakin pada sesuatu ilmu lalu diajarinya ilmu
itu. Kemudian ia menempuh ilmu-ilmu yang lain, maka dilihatnya, mana yang belum
diperolehnya. Ketika itu, barulah dia seorang 'alim".
Pernah ditanyakan orang kepada Jalinus : "Sesungguhnya tuan menyuruh
buat bermacam-macam obat untuk satu penyakit".Menjawab Jalinus :
"Yang dimaksudkan dari obat-obat itu adalah satu. Dan dimasukkan yang lain
ke dalamnya, adalah supaya tetap ketajamannya, karena kalau masing-masing
sendiriannya itu membunuh".
Contoh tadi dan lain-lainnya yang tidak terkira banyaknya, menunjukkan
ketinggian derajat Imam Asy-Syafi'i tentang mengenai Allah Ta'ala dan ilmu
akhirat.
Adapun maksudnya dengan ilmu fiqih dan perdebatan di dalamnya, adalah
semata-mata wajah Allah Ta'ala. Dalil untuk itu adalah riwayat yang menerangkan
bahwa Imam Asy-Syafi'i ra. pernah berkata:
"Aku ingin manusia mengambil manfa'at dari ilmu ini dan ilmu-ilmu Iain
yang ada padaku, meskipun sedikit".
Maka lihatlah betapa Imam
Asy-Syafi'i ra.
Memperhatikan kepada bahaya ilmu dan mencari nama baginya. Dan bagaimana ia
membersihkan hati dari pada berpaling kepadanya, yang semata- mata niatnya
adalah karena wajah Allah Ta'ala. Asy-Syafi'i ra,berkata :"Tidaklah
sekali-kali aku bertukar pikiran dengan seseorang, dengan tujuan bahwa aku
lebih suka ia salah".Katanya lagi : "Tidaklah sekali-kali aku berkata
dengan seseorang, selain aku menyukai supaya dia mendapat taufiq dan kebenaran,
pertolongan dan pimpinan daripada Allah Ta'ala serta pemeliharaan. Dan tidaklah sekali-kali aku berbicara dengan seseorang,
selain perhatian ku supaya kebenaran diterangkan Allah dengan lidahku atau
lidahnya"
Berkata lagi Imam Asy-Syafi'i ra. : "Tidaklah aku kemukakan kebenaran
dan keterangan kepada seseorang, lalu diterimanya daripadaku, melainkan aku
takut kepadanya dan aku percaya akan kasih sayangnya. Sebaliknya, kalau orang
menyombong diri dengan aku terhadap kebenaran dan menolak keterangan maka
jatuhlah orang itu dari pandanganku dan aku menolak berhadapan dengan
dia".
Inilah tanda-tanda, yang menunjukkan atas kehendak Allah Ta'ala dengan ilmu
fiqih dan perdebatan (munadlarah) itu. Maka lihatlah betapa Imam Asy-Syafi'i
ra. dituruti orang dari jumlah perkara yang lima itu, kepada satu perkara saja.
Kemudian, bagaimana pula orang-orang itu menyalahinya dalam satu perkara tadi.
Dan karena inilah berkata Abu Tsaur ra. : "Tak pernah aku dan orang-orang
lain melihat seperti Imam Asy-Syafi'i ra.".
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra. : "Tak pemah aku melakukan shalat
selama empat puluh tahun, yang tidak aku berdo'a kepada Imam Asy-Syafi'i
ra.".
Lihatlah betapa adanya keinsyafan dari orang yang mendo'a dan betapa pula
derajat orang yang dido'akan. Cobalah bandingkan dengan Imam Asy-Syafi'i ra.
akan teman-teman dan tokoh-tokoh ulama pada masa ini. Dan apa yang terjadi
dikalangan mereka yang merupakan pendendaman dan permusuhan. Supaya engkau tahu
keteledoran mereka mengakui mengikuti ulama-ulama besar itu.
Karena banyaknya do'a Imam Ahmad bin Hanbal kepada Imam Asy-Syafi'i ra.
lalu bertanyalah anaknya : "Orang mana Asy-Syafi'i itu sampai ayah mendo'a
semua do'a ini?".
Maka menjawab Ahmad bin Hanbal : "Hai anakku! Imam Asy-Syafi'i itu
adalah seumpama matahari bagi dunia dan kesehatan bagi manusia".
Lihatlah, adakah bagi dua perumpamaan tadi, orang yang dapat
menggantikannya?
Imam Ahmad pernah berkata : "Tiada seorangpun menyentuh botol
tinta dengan tangannya, melainkan ada jasa Imam Asy-Syafi'i padanya".
Berkata Yahya bin Sa'id Al-Qattan "Tidak pernah aku bershalat
selama empat puluh tahun, yang tidak aku berdo'a di dalamnya kepada Imam
Asy-Syafi'i.-Karena Allah 'Azza wa Jalla telah membuka ilmu baginya dan
memberinya taufiq kepada jalan yang benar".
Kiranya kita cukupkan sekian mengenai hal-ikhwal Imam Asy-Syafi'i itu,
karena banyaknya tidak terhingga. Sebahagian besar dari perjalanan hidup Imam
Asy-Syafi'i ini, kami salin dari kitab biografinya, karangan Syekh Nasar bin
Ibrahim Al-Muqaddasi ra. Kiranya Allah merelai Imam Asy-Syafi'i dan seluruh
kaum muslim!.
Adapun Imam Malik ra. maka beliaupun berpakaian dengan yang lima
perkara itu. Pernah orang bertanya kepadanya tentang menuntut ilmu :
"Apakah yang hendak tuan katakan tentang menuntut ilmu?". Lalu
menjawab Imam Malik ra. : "Bagus, baik!
Tetapi perhatikanlah apa yang harus engkau kerjakan dari pagl sampai
petang, maka perlukanlah pekerjaan itu!".
Imam
Malik ra. sangat memuliakan ilmu agama. Sehingga apabila ia bermaksud
meriwayatkan hadits, maka lebih dahulu ia mengambil wudlu' dan duduk dihadapan
tempat duduknya dan menyisirkan janggutnya, memakai bau-bauan serta duduk
dengan tenang dan bersikap tenang. Maka barulah beliau meriwayatkan hadits
itu". Oleh Karena caranya yang demikian itu , maka orang bertanya kepadanya, lalu ia
menjawab : "Aku suka membesarkan hadits Rasulullah saw.' Berkata Imam
Malik ra. : "Ilmu itu nur, yang diberikan oleh Allah menurut kehendakNya.
Dan tidaklah ilmu itu dengan banyak cerita'
Kehormatan dan kemuliaan yang diberikan Imam Malik itu, menunjukkan kepada
ketinggian mutu pengetahuannya tentang kebesaranAllah Ta'ala,Tentang tujuan
Imam Malik ra. dengan ilmunya itu akan wajah Allah Ta'ala, dibuktikan oleh
ucapannya : "Bertengkar dalam agama, tiada gunanya sama sekali".
Dan dibuktikan lagi dengan ucapan Imam Asy-Syafi'i ra. : "Saya melihat
Imam Malik ra .
ketika dimajukan kepadanya empat puluh delapan masalah, maka ia menjawab
mengenai tiga puluh dua dari masalah -masalah itu ."Saya tidak tahu".
Orang yang bertujuan dengan ilmunya bukan wajah Allah Ta'ala,tentu tidak
bersedia mengaku tidak tahu. Dari itu, berkata Imam Asy-Syafi'i ra. :
"Apabila disebut nama ulama, maka Malik adalah bintangnya yang cemerlang.
Dan tidak ada seorangpun yang lebih banyak jasanya kepadaku, dari Imam
Malik".
Menurut riwayat, Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur melarang Imam Malik daripada
meriwayatkan hadits mengenai talak dari orang yang dipaksakan. Kemudian
Abu Ja'far mengancam orang yang menanyakan itu pada Imam Malik. Lalu Imam Malik
menyambut ancaman tadi dengan meriwayatkan di muka umum hadits Nabi saw. yang
menerangkan bahwa tidak jatuh talak orang yang dipaksakan. Maka khalifah
menyuruh pukul Imam Malik dengan cemeti. Tetapi beliau terus meriwayatkan
hadits itu.
Imam Malik ra. berkata :
"Tiadalah seseorang yang benar dalam pembicaraannya dan tidak membohong,
melainkan akal pikirannya mendapat hiasan dan tidak akan kena bencana dan
pikiran-pikiran khurafat pada hari tuanya".
Tentang zuhudnya Imam Malik
menghadapi dunia, dibuktikan oleh riwayat bahwa khalifah Al-Mahdi bertanya
kepada Imam Malik:"Adakah tuan mempunyai rumah?".
"Tidak ada",
jawab Imam Malik. "Tetapi dapat aku terangkan bahwa pernah mendengar
Rabi'ah bin Abi Abdir Rahman berkata :"Bangsa seseorang ditunjukkan
oleh rumahnya".
Khalifah Harunur Rasyid
bertanya kepada Imam Malik : "Adakah tuan mempunyai rumah?"."Tidak
ada!", jawabnya.
Lalu Harunur Rasyid
menganugerahkan uang tiga ribu dinar kepada Imam Malik, seraya mengatakan :
"Belilah rumah dengan uang ini!".
Imam Malik mengambil wang itu,
tetapi tidak dibelinya rumah.
Ketika Harunur Rasyid ingin
bertambah terkenal, lalu mengatakan kepada Imam Malik ra. "Seyogialah tuan
pergi bersama kami. Aku bercita-cita membawa perhatian manusia kepada kitab
"Al-Muaththa' " (nama kitab yang dikarang Imam Malik),sebagaimana
khalifah Utsman ra. membawa perhatian manusia kepada Al-Qur'an.
Menjawab Imam Malik :
"Adapun membawa manusia kepada Kitab Al-Muaththa', maka tiada jalan
kepadanya. Karena parashahabat Rasulullah saw. sudah bersebar kesegenap negeri
sesudah wafatnya. Lalu mereka
memperkatakan hadits. Maka pada tiap-tiap penduduk negeri ada ilmunya. Nabi صلى الله عليه وسلم pernah mengatakan :
صلى الله
عليه وسلم : اختلاف أمتي رحمة .
(Ikhtilaafu ummatii rahmah).Artinya : "Perbedaan pendapat ummatku itu
adalah suatu rahmat".
Adapun keluar bersama tuan, maka tiada jalan kepadanya.
Nabi صلى الله عليه
وسلم pernah bersabda :
المدينة
خير لهم لو كانوا يعلمون
(Al-madiinatu khairun lahum lau kaanuu yalamuun).
Ertinya :"Madinah ini lebih baik bagi mereka kalau mereka
mengetahuinya '.'
Dan lagi Nabi صلى الله عليه وسلم Bersabda :
(المدينة تنفي خبثها كما ينفي الكير
خبث الحديد)
(Al-madiinatu tanfii khabatsahaa kamaa yanfil kiiru khabatsal hadiid).
Ertinya :"Madinah
itu menghilangkan kotorannya seperti penempaan menghilangkan kotoran
besi".
Inilah dinarmu, seperti adanya! Kalau kamu mau, maka ambilkanlah!
Dan kalau kamu tak mau, maka tinggalkanlah! Yakni sekiranya engkau
memaksakan aku supaya berpisah dengan kota Madinah, maka tidak dapat engkau
berbuat demikian kepadaku. Aku tidak dapat memilih dunia dari Madinah
Rasulullah saw.".
Begitulah zuhudnya Imam Malik ra. pada dunia! Sewaktu dibawa kepadanya
harta yang banyak dari beberapa sudut dunia untuk perkembangan ilmunya dan
teman-temannya, maka dibagibagikannya uang itu pada jalan kebajikan. Kemurahan
hatinya menunjukkan kepada zuhudnya dan sedikit cintanya kepada dunia.
Zuhud sebetulnya bukan ketiadaan
harta, tetapi zuhud ialah kosongnya hati dari harta itu. Nabi Sulaiman pun
salah seorang yang zuhud dalam pemerintahannya.
Dibuktikan betapa hina pandangan Imam Malik kepada dunia, oleh suatu
riwayat dari Imam Asy-Syafi'i, bahwa Imam Asy-Syafi'i menerangkan : "Aku
melihat pada pintu tempat tinggal Imam Malik seekor kuda Khurasan, namanya
"Misr". Aku belum pernah melihat kuda secantik itu. Lalu aku
mengatakan kepadanya : "Alangkah cantiknya kuda ini!".
Maka beliau menjawab : "Kuda ini hadiahku kepadamu, hai ayah
Abdullah!".
Maka aku menjawab : "Biarlah kuda ini untuk tuan hamba, menjadi
kuda tunggangan tuan hamba sendiri".Menyambung Imam Malik :
"Aku malu kepada Allah Ta'ala memijakkan tanah
dengan kuku kuda, di mana di dalamnya dikuburkan Nabi Allah صلى الله عليه وسلم.".
Lihatlah betapa kemurahan hati Imam Malik dengan menyerahkan semuanya itu
sekaligus dan betapa penghormatannya kepada tanah Madinah!.
Dibuktikan kepada kehendaknya dengan ilmu itu, akan wajah Allah Ta'ala dan
tentang hina pandangannya kepada dunia, oleh riwayat yang menerangkan bahwa
Imam Malik pernah berkata: "Aku pernah datang ke tempat Harunur Rasyid.
Lalu berkatalah Harunur Rasyid kepadaku : "Wahai Ayah Abdullah! Sayogialah
tuan selalu datang kepada kami, sehingga anak-anak kita mendengar kitab
Al-Muaththa' langsung dari tuan sendiri". Imam Malik berkata : "Lalu
jawabku : "Kiranya Allah menambahkan kemuliaan.Amir penghulu kami.
Sesungguhnya ilmu itu adalah seumpama uang keluar dari padamu. Jikalau engkau
muliakan, maka mulialah dia dan jika engkau hinakan maka hinalah dia. Ilmu itu
didatangi dan tidak mendatangi (Al-'ilmu yu'ta walaa ya'ti)".Maka
menyambung Harunur Rasyid : "Benar tuan! Keluarlah ke masjid supaya tuan
mendengar bersama manusia ramai!".
Adapun Imam Abu Hanifah ra. juga seorang 'abid, zahid, 'arif billah,amat
takut kepadaNya dan menghendaki wajah Allah dengan ilmunya. Adapun dia itu
'abid, maka dapat diketahui dengan riwayat dari Ibnul Mubarak yang mengatakan :
"Imam Abu Hanifah ra. adalah seorang yang berperikemanusiaan dan banyak
mengerjakan shalat". Menurut ceritera Hamrnad bin Abi Sulaiman, adalah
Imam Abu Hanifah menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah.
Menurut riwayat yang lain, ia menghidupkan setengah malam dengan ibadah.
Pada suatu hari, Imam Abu Hanifah lalu di jalan besar. Lalu orang
menunjukkan kepadanya dan ia sedang berjalan kaki, dengan mengatakan kepada
orang lain : "Itulah dia, orang yang menghidupkan seluruh malamnya dengan
ibadah".
Maka senantiasalah sesudah itu, ia menghidupkan seluruh malamnya dengan
ibadah dan mengatakan : "Aku malu kepada Allah swt. disebutkan tentang
ibadahku yang tidak sebenarnya".
Mengenai zuhudnya, diriwayatkan dari Ar-Rabi' bin 'Ashim, yang mengatakan :
"Aku diutus oleh Yazid bin Umar bin Hubairah.
Maka aku datang menjumpai Abu Hanifah. Yazid mau mengangkat Abu Hanifah
menjadi pengurus "baital-mal". Ia menolak lalu dipukul 20 kali".
Lihatlah bagaimana ia lari dari pangkat dan bersedia menanggung 'azab
sengsara.
Berkata Al-Hakam bin Hisyam At-Tsaqafi "Orang menceriterakan kepadaku
di negeri Syam, suatu ceritera tentang Abu Hanifah, bahwa beliau adalah seorang
manusia pemegang amanah yang terbesar. Sultan mau mengangkatnya menjadi
pemegang kunci gudang kekayaan negara atau memukulnya kalau menolak.Maka Abu
Hanifah memilih siksaan mereka daripada siksaan Allah Ta'ala".
Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah disebutkan namanya pada Ibnul Mubarak, lalu
Ibnul mubarak menjawab : "Adakah kamu sebutkan seorang laki-laki, yang
diberikan kepadanya dunia dengan segala kemewahannya, lalu ia lari daripada
kemewahan itu?".
Diriwayatkan dari Muhammad bin Syujja', berasal dari setengah shahabat Abu
Hanifah, bahwa ada orang mengatakan kepada Abu Hanifah : "Amirul-mu'minin
Abu Ja'far Al-Manshur memerintahkan untuk dianugerahkan kepada tuan, uangsebanyak
sepuluh ribu dirham".
Muhammad bin Syujja' mengatakan, bahwa Abu Hanifah tidak bersedia menerima
pemberian tersebut. Muhammad bin Syujja' mengatakan : "Ketika sampai pada
hari yang diduga uang
itu akan diantarkan kepada Abu Hanifah, maka ia mengerjakan shalat shubuh.
Kemudian ia menutup badannya dan tidak berkatakata sepatah katapun".
Maka datanglah utusan Al-Hasan bin Quhthubah membawa wang, lalu masuk ke
tempat Abu Hanifah. Dan Abu Hanifah tidak berbicara dengan dia. Lalu
berkata sebahagian orang yang hadlir :
"Beliau itu tidak berbicara
dengan kita, kecuali sepatah demi sepatah.Artinya, itulah kebiasaan
beliau".Kemudian, maka berkatalah Imam Abu Hanifah : "Letakkanlah
uang itu dalam tas kulit ini dan bawalah ke sudut rumah!".
Kemudian, sesudah itu, Abu Hanifah meninggalkan wasiat mengenai harta benda
di rumahnya. Dia mengatakan kepada anaknya : "Apabila aku mati kelak dan
aku telah kamu kuburkan maka ambillah dirham yang puluhan ribu ini. Dan bawalah
kepada Al- Hasan bin Quhthubah dan katakanlah kepadanya : "Ambillah barang
simpanan engkau yang engkau simpan pada Abu Hanifah!".
Berkata anak Abu Hanifah : "Maka aku laksanakan wasiat itu".
Lalu berkata Al-Hasan : "Rahmat Allah kepada ayahmu. Sesungguhnya
dia adalah orang yang tidak mau sedikitpun mengulur tentang agamanya".
Diriwayatkan, bahwa Imam
Abu Hanifah dipanggil untuk diangkat menjadi kadli (hakim), lalu ia menjawab :
"Aku tidak layak untuk jabatan itu!".
Lalu orang bertanya kepadanya :
"Mengapa?".
Abu Hanifah menjawab :
"Kalau aku benar, maka aku tak layak untuk itu. Kalau aku bohong, maka
pembohong tak layak menjadi kadli!".
Adapun ilmunya dengan jalan
akhirat dan jalan urusan agama serta pengetahuannya tentang Allah 'Azza wa
Jalla, maka dibuktikan oleh kesangatan takutnya kepada Allah Ta'ala dan
zuhudnya terhadap dunia. Berkata Ibnu Juraij : "Telah sampai kepadaku
tentang orang negeri Kufahmu yakni Nu'man bin Tsabit (Abu Hanifah) itu, bahwa
ia seorang yang sangat takut kepada Allah Ta'ala".
Berkata Syuraik An-Nakha'i
"Adalah Abu Hanifah seorang pendi-am, selalu berpikir dan sedikit
berbicara dengan manusia".Inilah diantara tanda-tanda yang tegas, dari
ilmu bathin dan bekerja untuk kepentingan agama. Barangsiapa bersifat pendiam
dan zuhud, maka telah memperoleh semua ilmu pengetahuan.
Demikianlah sekelumit dari
perikehidupan tiga imam besar itu.
Adapun Imam Ahmad bin Hanbal ra. dan Sufyan Ats-Tsuri ra. maka pengikut
keduanya adalah kurang, bila dibandingkan dengan pengikut imam yang tiga itu. Pengikut
Sufyan, adalah kurang bila dibandingkan dengan pengikut Imam Ahmad. Tetapi
kemasyhuran dua imam ini, dengan wara' dan zuhud, adalah lebih menonjol. Seluruh isi kitab ini, penuh dengan
ceriteia-ceritera mengenai perbuatan dan perkataan keduanya. Dari itu tidak
perlu lagi dipe-rinci sekarang.
Maka lihatlah sekarang tentang perjalanan hidup imam tiga itu!. Dan
perhatikanlah bahwa segala keadaan tersebut, perkataan dan perbuatan mereka
itu, tentang berpaling dari dunia dan menumpah-kan. seluruh perhatian kepada
Allah Ta'ala, adakah dihasilkan oleh semata-mata pengetahuan dengan
cabang-cabang fiqih, dari pengetahuan berjual beli, menyewa, dhihar, ila' dan
li'an atau dihasilkan oleh sesuatu pengetahuan lain yang lebih tinggi dan lebih
mulia dari ilmu fiqih itu? Dan lihatlah kepada mereka yang mendakwakan dirinya
pengikut imam-imam itu, apakah mereka benar pada pen-dakwaannya atau tidak?
Tiada ulasan:
Catat Ulasan