SIRI 9
IBNU QAYYIM
AL JAUZIYYAH
Jika engkau sudah mengetahui
secara jelas masalah ini, maka berdasarkan
dua dasar (Ibadah dan
isti'anah) manusia bisa dibagi menjadi
empat golongan:
1. Ahli ibadah dan isti'anah
kepada Allah. Mereka merupakan golongan
yang paling mulia dan paling tinggi. Ibadah kepada Allah merupakan
tujuan mereka, dan mereka pun
memohon agar Allah menolong dan
memberikan taufik, sehingga
mereka dapat melaksanakan ibadah itu.
Karena itu permohonan paling
utama yang disampaikan kepada Allah
ialah pertolongan menurut
keridhaan-Nya, seperti yang diajarkan Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada orang yang beliau
cintai, Mu'adz
bin Jabal Radhiyallahu
Anhu. Beliau bersabda, "Wahai Mu'adz, demi
Allah, aku benar-benar mencintaimu. Maka janganlah engkau
lalai
untuk mengucapkan seusai setiap shalat, 'Ya Allah,
tolonglah aku untuk
menyebut nama-Mu, bersyukur dan beribadah secara baik
kepada-
Mu'."
2. Orang-orang yang tidak mau beribadah dan tidak mau
memohon pertolongan
kepada-Nya. Mereka tidak mengenal ibadah dan isti'anah. Ini
kebalikan dari golongan yang
pertama. Bahkan jika salah seorang di
antara mereka memohon
kepada-Nya, maka hal itu dimaksudkan untuk
memuaskan nafsunya, bukan
berdasarkan keridhaan dan hak-Nya.
Semua yang ada di langit dan
di bumi memohon kepada-Nya. Bahkan
makhluk yang paling dibenci
Allah dan musuh-Nya, Iblis, ma-sih sempat
memohon kepada Allah dan Allah
pun memenuhinya. Tapi karena apa
yang dimohon itu bukan untuk
mendapatkan keridhaan-Nya, maka ia
semakin menambah penderitaan,
kesengsaraan dan dia semakin jauh
dari Allah. Begitulah keadaan
setiap orang yang memohon pertolongan
kepada Allah, namun tidak
dimaksudkan untuk menambah ketaatan
kepada-Nya, sehingga dia
menjadi budak dari apa yang dimintanya.
Hendaklah diketahui, bahwa
kalaupun Allah memenuhi permintaan
orang yang meminta kepada-Nya,
bukan karena ada kemuliaan pada
diri orang yang meminta itu.
Hamba meminta kepada-Nya dan Allah
memenuhinya, padahal
permintaannya itu boleh jadi menjadi sumber
kehancuran dan penderitaannya, sehingga pemenuhan Allah ini
justru
menjadi kehinaan baginya. Sebaliknya, tidak adanya
pemenuhan Allah
atas permintaan hamba justru
merupakan kemuliaan dan gambaran
cinta Allah kepadanya,
perlindungan dan penjagaan Allah baginya dan
bukan merupakan gambaran
kekikiran Allah. Tapi orang yang bodoh
akan mengira bahwa Allah tidak
mencintai dan tidak pula
memuliakannya, sehingga dia
berburuk sangka terhadap Allah. Pemberian
dan pencegahan Allah merupakan
ujian. Firman-Nya,
"Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya lalu
dimuliakan-Nya
dan diberikan-Nya kesenangan, maka dia berkata, 'Rabbku
telah memuliakanku'.
Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezkinya,
maka dia berkata, 'Rabbku menghinakanku'. Sekali-kali
tidak
(demikian)."(Al-Fajr:
15-16).
Allah menyanggah dugaan orang,
bahwa keluasan rezkiyang dilimpahkan-
Nya merupakan kemuliaan
dari-Nya, sedangkan kemiskinan
merupakan kehinaan dari-Nya,
dengan befirman, "Aku tidak menguji
hamba-Ku dengan kekayaan
karena dia mulia di Mata-Ku. Aku tidak
mengujinya dengan kemiskinan
karena dia hina di Mata-Ku." Dia memberitahukan
bahwa kemuliaan dan kehinaan
tidak berkisar pada keluasan
harta dan pembatasannya. Toh
Allah menghamparkan harta
seluas-luasnya kepada orang
kafir, bukan karena dia mulia, dan membatasi
harta pada orang Mukmin, bukan
karena dia hina. Segala puji
bagi Allah atas semua ini, dan
Dia Mahakaya lagi Maha Terpuji. Jadi
kebahagiaan dunia dan akhirat
tetap kembali kepada iyyaka na'budu
wa iyyaka nasta'in.
3. Golongan orang yang memiliki sebagian ibadah tanpa
menghendaki
isti'anah. Mereka ada dua kelompok:
Pertama, golongan Qadariyah
yang berpendapat bahwa Allah
telah melakukan apa yang ditetapkan-
Nya pada hamba dan Dia tidak
perlu lagi memberikan pertolongan
kepada hamba, karena Allah
telah menolongnya dengan mencipta-kan
alat baginya, memperkenalkan
jalan dan mengutus para rasul. Sehingga
setelah adanya pertolongan
ini, hamba tidak perlu lagi memo-hon kepada-
Nya. Kedua, golongan yang beribadah namun tidak total dalam
tawakal
dan memohon pertolongan
kepada-Nya. Pandangan mereka tidak
mengaitkan orang yang bergerak kepada siapa yang
meng-gerakkan, tidak
mengaitkan sebab kepada pembuat sebab, tidak mengaitkan
alat kepada
pelaku.
4. Golongan yang
mempersaksikan bahwa hanya AUahlah satu-satunya
yang memberikan manfaat dan
mudharat. Apa pun yang dikehendaki-
Nya pasti akan terjadi dan apa
yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan
terjadi, namun mereka tidak berbuat apa yang dicintai dan
diridhai-
Nya.
Seorang hamba tidak bisa mewujudkan iyyaka na'budu kecuali
dengan
dua dasar: Mengikuti Rasulullah dan ikhlas terhadap Allah
yang disembah.
Ditilik dari dua dasar ini,
maka manusia bisa dibagi menjadi
empat golongan:
1. Orang-orang yang ikhlas
karena Allah dan mengikuti Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Merekalah yang benar-benar
menghayati iyyaka
na'budu. Semua perkataan dan perbuatan
mereka karena Allah, memberi
karena Allah, menahan karena
Allah, mencintai karena Allah,
membenci karena Allah.
Mu'amalah mereka secara lahir dan batin karena
mengharap Wajah Allah semata,
tidak dimaksudkan untuk mencari
imbalan, pujian, pengaruh,
kedudukan dan simpati di hati manusia atau
pun menghindari celaan
manusia. Bahkan mereka mengang-gap semua
manusia tak ubahnya mayat yang
sudah mati, tidak bisa memberi
manfaat dan mudharat.
Perbuatan yang dimaksudkan untuk
mendapatkan kedudukan,
mengatur manfaat dan mudharat, sama sekali
tidak mereka kenal.
Maka Al-Fadhl bin Iyadh pernah
berkata, "Amal yang baik ialah yang
paling ikhlas dan paling benar." Orang-orang bertanya,
"Wahai Abu Ali,
apa yang dimaksudkan paling ikhlas dan paling benar
itu?"
Dia menjawab, "Jika amal itu ikhlas namun tidak benar,
maka ia tidak
diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas, maka ia
tidak diteri-ma
pula, hingga ia ikhlas dan benar. Ikhlas artinya karena
Allah. Benar
artinya berdasarkan As-Sunnah. Inilah yang dimaksudkan
dalam firman
Allah,
"Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah
ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia
mempersekutukan
seorangpun dalam
beribadah kepada Rabbnya." (Al-Kahfi:
110).
2. Orang yang tidak ikhlas dan tidak mengikuti As-Sunnah.
Amalnya tidak
sejalan dengan syariat dan tidak pula ikhlas terhadap Allah
yang disembah,
seperti perbuatan orang-orang yang ingin pamer di hadapan
manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling buruk dan paling
dibenci Allah. Mereka inilah yang digambarkan dalam firman
Allah,
"Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa
orang-orang yang gembira
dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka
supaya
dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah
kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi
mereka
siksa yang pedih." (Ali Imran: 188).
3. Ikhlas dalam amalnya namun
tidak mengikuti perintah dan As-Sunnah,
seperti yang dilakukan para
ahli ibadah yang bodoh, mereka yang
cenderung kepada zuhud dan hidup miskin, orang-orang yang
beribadah
kepada Allah dengan cara yang tidak sesuai dengan perintah-
Nya.
4. Amalnya sesuai dengan
perintah dan As-Sunnah, tetapi untuk tujuan
selain Allah, seperti orang
yang berjihad karena riya' dan memamer-kan
patriotismenya, menunaikan
haji agar dia dipuji atau membaca Al-
Qur'an agar disanjung. Amal mereka secara zhahir sesuai dengan
perintah, tetapi tidak shalih.
Orang-orang yang mengamalkan iyyaka na'budu secara
konsisten
memiliki sisi pandang yang berbeda tentang ibadah yang
paling utama,
paling bermanfaat, paling layak untuk diprioritaskan. Dalam hal ini mereka
ada empat pendapat:
1. Orang-orang yang menganggap ibadah yang paling baik dan
utama
adalah yang paling sulit dan berat, karena ibadah semacam
ini adalah
yang paling jauh dari hawa
nafsu. Sementara menurut mereka, pahala
juga diukur dari kadar
kesulitan ibadah. Mereka berpendapat kepada
hadits yang sama sekali tidak
ada dasarnya, "Amal yang paling utama
adalah yang paling sulit atau berat."
Mereka adalah orang-orang yang memang rajin beribadah,
namun
bertindak semena-mena terhadap diri sendiri. Orang-orang
yang
menganggap ibadah paling utama adalah zuhud di dunia,
meminimkan
andil dalam keduniaan dan tidak peduli terhadap kehidupan
dunia.
2. Orang-orang yang menganggap ibadah paling utama adalah
yang manfaatnya
merambah secara luas. Menurut
mereka, menyantuni orangorang
miskin, memenuhi kebutuhan
orang banyak, membantu mereka
dengan tenaga dan harta adalah ibadah yang paling utama.
Mereka
beralasan bahwa amal ahli ibadah hanya bagi dirinya
sendiri, sedangkan
amal orang yang bisa memberi manfaat kepada orang lain bisa
dirasakan orang banyak, karena itu kelebihan orang yang
berilmu atas ahli
ibadah seperti kelebihan rembulan atas seluruh bintang-gemin-tang.
Mereka juga berhuj jah dengan hadits-hadits tentang pahala
yang
diberikan kepada pelaku
kebaikan dan dia juga mendapatkan pahala
orang-orang yang mengikuti
kebaikan yang dilakukannya itu.
3. Orang-orang yang menganggap ibadah paling utama adalah amal
yang
dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah, sesuai dengan timingnya
dan
tugas yang memang harus dilaksanakannya. Ibadah yang paling
utama
pada waktu jihad adalah berjihad, sekalipun harus
meninggal-kan shalat
malam dan puasa, bahkan
sekalipun dia harus meninggal-kan shalat
fardhu karena kondisi perang.
Ibadah yang paling utama sewaktu ada
tamu yang datang ialah
memenuhi hak-hak tamu. Ibadah yang paling
utama pada waktu sahur adalah
mengerjakan shalat, mem-baca Al-Qur'an,
berdoa dan berdzikir. Begitu pula setiap ibadah yang
disesuaikan dengan
situasi dan kondisinya, maka
itulah ibadah yang paling utama.
4. Golongan yang keempat ini adalah ahli ibadah yang tak
mengenal
batasan, sedangkan tiga golongan lain sebelumnya adalah
ahli ibadah
yang terbatas. Jika salah seorang di antara tiga golongan
ini keluar dari
jenis ibadah yang menjadi andalannya, maka dia menganggap
ada yang
kurang dalam ibadahnya itu
atau dia telah meninggalkan ibadahnya sama
sekali, karena dia beribadah
kepada Allah dengan satu pola. Sementara
orang yang ibadahnya tidak
mengenal batasan, tidak mementingkan satu
ibadah daripada yang lain.
Tujuan yang diraihnya adalah keridhaan Allah,
di mana dan kapan pun dia
berada. Dia selalu berpindah-pindah di
berbagai
tempat ibadah. Jika engkau
melihat para ulama, maka dia tampak
bersama mereka. Jika engkau
melihat para ahli ibadah, dia tampak bersama
mereka. Jika engkau melihat
para mujahidin, dia tampak terlihat bersama
mereka. Jika engkau melihat
orang-orang yang mengeluarkan shadaqah,
dia tampak bersama mereka.
Inilah hamba yang tidak terikat dan
tidak memiliki gambar
tertentu.
Dialah orang yang mewujudkan
maknaiyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in secara konsekuen.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan