IMAM AL GHAZALI DALAM KITAB INYA ULUMUDDIN...SIRI 10
BAHAGIAN 10 Penjelasan Bahaya Berdebat Yang Merusakkan Budi
PENJELASAN: Bahaya berdebat (bermunadharah)
dan hal-hal yang terjadi dari padanya, tentang kerusakan budi.
BAHAGIAN 10 Penjelasan Bahaya Berdebat Yang Merusakkan Budi
PENJELASAN: Bahaya berdebat (bermunadharah)
dan hal-hal yang terjadi dari padanya, tentang kerusakan budi.
Ketahuilah
dan yakinlah bahwa perdebatan yang diadakan dengan tujuan mencari kemenangan,
menundukkan la wan, melahirkan kelebihan dan kemuliaan diri, membesarkan mulut
di muka orang banyak, ingin kemegahan dan kebebasan serta ingin menarik
perhatian orang, adalah sumber segala budi yang tercela pada Allah dan terpuji
pada Iblis musuh Allah. Hubungannya kepada sifat-sifat kekejian bathin,
seumpama takabur, 'ujub, dengki, ingin di muka, menyangka diri bersih, suka
kemegahan dan lainnya, adalah seumpama hubungan minum khamar kepada sifat-sifat
kekejian dhahir, seumpama zina, menuduh orang berbuat zina (qazaf), membunuh
dan mencuri.
Sebagaimana
orang yang disuruh memilih antara minum an yang memabukkan dan
perbuatan-perbuatan keji yang lain, lalu dianggap-nya minuman itu lebih enteng
maka minumlah dia. Lalu oleh minuman itu, diajaknya ketika sedang mabuk, kepada
perbuatan-perbuatan keji yang lain, maka demikian pulalah orang yang didesak
oleh keinginan menjatuhkan orang lain, memperoleh kemenangan dalam perdebatan,
kemegahan dan keangkuhan, mengajaknya kepada bermacam-macam sifat keji yang
tersembunyi dalam jiwanya-Dan menggelagaklah padanya segala budi pekerti yang
tercela.
Segala budi pekerti itu akan
diterangkan nanti dalil-dalilnya, baik hadits atau ayat yang menyatakan
tercelanya pada : "Bahagian Sifat-sifat Yang Membinasakan".
Sekarang kami tunjukkan keseluruhan sifat-sifat jahat yang ditimbulkan oleh
munadharah itu. Diantaranya : "dengki".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
الحسد
يأكل الحسنات كما تأكل النار الحطب
(Al-hasadu yaTculul hasanaati kamaa ta'kulun naarul hathaba).
Ertinya :"Dengki
itu memakan yang baik seperti api memakan kayu kering'.
Seorang pendebat tidak terlepas
dari sifat dengki. Karena dia sekali
menang, sekali kalah. Sekali kata-katanya dipuji orang dan sekali kata-kata
lawannya dipuji orang. Selama di dunia ini ada orang yang dipandang lebih
banyak ilmunya dan pemandangannya atau disangka lebih cakap dan lebih kuat
pemandangannya, maka selama itu pula, ada orang yang dengki kepadanya dan
mengharap nikmat itu hilang dan berpindah kepada orang yang dengki itu.
Dengki adalah api yang membakar.
Orang yang menderita penya kit dengki, di dunia beroleh 'azab sengsara dan di
akhirat lebih hebat dan dahsyat lagi. Karena itulah, berkata Ibnu Abbas ra. : "Ambillah ilmu pengetahuan di
mana saja kamu dapati. Dan janganlah kamu terima perkataan fuqaha", karena
diantara sesama mereka itu berselisih satu sama lainnya, seperti berselisihnya
kambing-kambing jantan dalam kandang".
Di antara sifat-sifat jahat itu ;
takabur dan mau tinggi sebenang dari orang lain.
من تكبر
وضعه الله ومن تواضع رفعه الله
(Man takabbaia wa dla'ahullaahu wa man tawaadla'a rafa'ahullaahu)
Artinya :"Barangsiapa takabur, niscaya direndahkan oleh Tuhan dan
barang siapa merendahkan diri, niscaya ditinggikan oleh Tuhan".
Bersabda Nabi saw. menceriterakan
firman Allah Ta'ala :
العظمة
إزاري والكبرياء ردائي فمن نازعني فيهما قصمته
(Al-adhamatu
izaarii wal kibriyaa-u ridaa-ii faman naaza 'anii fiihi-maa qashamtuhu).
Ertinya :"Kebesaran itu kain sarungKu, takabur itu
selendangKu. Maka barangsiapa bertengkar denganKu tentang yang dua itu, niscaya
Aku binasakan dia".
Selalulah orang yang berdebat itu
menyombong terhadap teman dan kawannya, ingin lebih tinggi dari yang wajar.
Sehingga mereka berperang tanding dalam majelis perdebatan, berlomba-lomba
meninggi dan merendahkan, mendekati dan menjauhkan diri dari tiang tengah,
dahulu mendahulukan masuk pada jalan yang sempit.
Kadang-kadang si bodoh dan si keras kepala
dari mereka, mengemukakan alasan bahwa maksudnya dengan perdebatan itu
memeli-hara kemuliaan ilmu dan "bahwa orang mu'min itu dilarang
meng-hinakan diri". Lalu mengatakan tentang sifat merendahkan diri
(tawadlu') yang dipujikan Allah dan para NabiNya dengan menghinakan diri dan
tentang sifat takabur yang dicelai Allah dengan memuliakan agama, merupakan
penyelewengan nama dan menyesatkan orang banyak, sebagaimana yang telah
diperbuat terhadap nama hikmah, ilmu dan lainnya.
Di antara sifat-sifat jahat itu : dendam. Hampir seluruh
orang yang suka berdebat, tidak terlepas dari sifat pendendam.
Nabi saw. pernah bersabda :
"Orang
mu'min tidaklah pendendam ".
Banyak lagi dalil yang mencela
sifat pendendam itu, yang tak tersembunyi lagi.
Seorang yang
mengambil bahagian dalam perdebatan, tidak sanggup membersihkan jiwanya dari
sifat pendendam, terhadap orang yang menyambut dengan baik keterangan iawannya,
sedang terhadap keterangannya sendiri dipandang sepi dan tidak diperhatikan
dengan baik.
Apabila
dilihatnya demikian, maka bersemilah dalam hatinya penyakit dendam, makin lama
ma kin mendalam. Akhimya menjadi sifat munafiq yang tersembunyi dan membayang
kepada dhahir, yang biasanya tidak dapat dibantah lagi.
Bagaimanakah melepaskan diri dari ini? Dan
tidaklah tergambar kesepakatan seluruh pendengar untuk memperkuatkan
keterangannya dan memandang baik dalam segala hal, caranya menolak dan memberi
alasan. Bahkan jika timbul dari Iawannya sedikit saja yang menyebabkan kurang
perhatian kepada perkataannya maka terta-namlah dalam dadanya sifat pendendam
itu yang payah hilang sampaii bercerai badan dengan nyawa.
Di antara sifat-sifat yang jahat itu :
mengumpat.
Sifat mengumpat itu diserupakan oleh Allah
dengan memakan bangkai. Maka senantiasalah orang yang berdebat itu memakan
bangkai. Karena dia tidak dapat melepaskan diri dari menceriterakan Iawannya dan
mencacinya. Paling tinggi, dipeliharanya kebenaran dalam ceriteranya dan tidak
membohong. Maka diceriterakannya sudah pasti— keadaan-keadaan yang menunjukkan
kekurangan ilmu lawan, kelemahan dan kurang kelebihannya. Dan itulah mengupat
nama-nya. Sedang berdusta yaitu mengada adakan yang tidak-tidak.
Begitu pula tidak sanggup dia menjaga lidahnya dari membentangkan hal
keadaan orang yang menentang perkataannya dan memperhatikan perkataan Iawannya
dan menerimanya. Sehingga orang itu disebutnya bodoh, dungu, kurang
paham dan bebal.
Di antara sifat-sifat yang jahat itu :
membersihkan diri.
Berfirman Allah Ta'ala :
فَلا
تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
(Falaa tuzakkuu anfusakum huwa a'lamu bimanit taqaa).
Ertinya:"Janganlah kamu
membersihkan dtrimu. Dialah (Allah) yang Maha Mengetahui siapa yang bertaqwa
(surah.An Najm, ayat 32)
Ditanyakan kepada seorang ahii'hikmah (hukama) :
"Manakah kebenaran yang buruk?".
Menjawab hukama' itu : "Memuji
manusia akan dirinya'.
Tidaklah terlepas, si pendebat itu memuji
dirinya dengan kekuatan, kemenangan dan kelebihan dari teman-temannya.
Senantiasa ia mengatakan ketika berdebat : "Saya bukan orang yang tidak
mengerti dalam segala hal ini. Saya mengetahui bermacam-macam ilmu, berpaham
sendiri tentang pokok-pokok agama dan menghafal banyak hadits". Dan
lain-lain perkataan yang timbul dari orang-orang yang memuji diri. Sekali untuk
memujikan dirinya saja dan sekali dengan tujuan supaya- kata-katanya laris,
Sebagai dimaklumi bahwa memuji diri
sendiri, baik ada ataupun tidak ada yang disebutkan itu, adalah tercela
sepanjang agama dan akal pikiran yang sehat.
Diantara sifat-sifat yang jahat itu :
mengintip dan mengikuti hal ihwal orang.
Berfirman Allah Ta'ala :
وَلا
تَجَسَّسُوا
(Wa laa tajassasuu).(S. Al-Hujurat, ayat 12).
Ertinya :"Janganlah kamu mengintip-ngintip
(memata-matai)".(S. Al-Hujurat, ayat 12).
Si pendebat itu senantiasa mencari
kesilapan teman dan kekurangan Iawannya. Sehingga bila datang seorang pendebat
lain ke tempatnya lalu dicarinya orang yang dapat menerangkan rahasia hidup
pendebat yang datang itu. Ditanyainya keburukan-keburukannya untuk menjadi
bahan yang akan disiarkan dan ditonjolkan nanti apabila keadaan memerlukan.
Penyelidikan itu sampai kepada keadaan hidup si pendebat yang datang itu
semasa kecil dan kekurangan-kekurangan yang ada pada badannya. Dengan demikian,
diperolehnya kekurangan atau kecederaan tubuh seumpama bekas borok atau
lainnya.
Kemudian, apabila dirasanya perlu, lalu dibentangkannya jika ada
hubungannya dengan perdebatan. Hal itu dipandangnya baik untuk memperoleh
sebab-sebab kemenangan. Dan tidak menjadi halangan, menerangkan hal tersebut
dengan diselang-selangi penghinaan dan pengejekan, sebagaimana biasa dilakukan
oleh pendebat-pendebat terkemuka yang terhitung tokoh-tokoh penting.
Di antara sifat-sifat yang jahat itu :
perasaan gembira dengan kesusahan lawan dan perasaan susah dengan kegembiraan
lawan.
Orang yang tidak menyukai pada saudaranya
muslim apa yang disukainya pada dirinya sendiri, maka adalah dia jauh dari budi
pekerti orang mu'min. Tiap-tiap orang yang mencari kemegahan dengan
mengemukakan kelebihannya, maka pastilah menyenangkan baginya dengan timbul
kesusahan bagi teman dan kawannya yang menjadi saingannya. Pertentangan bathin
diantara mereka, samalah halnya dengan pertentangan bathin diantara
wanita-wanita yang dimadukan. Maka sebagaimana seorang wanita yang. dimadukan,
apabila melihat dari jauh saingannya, lalu gemetarlah sendi-sendi-nya dan
pucatlah mukanya. Maka demikian pula halnya dengan orang yang berdebat itu,
apabila melihat Iawannya lalu berubahlah warna mukanya dan kacaulah pikirannya.
Seolah-olah dia melihat setan yang menggoda atau binatang buas yang menerpa.
Maka dimanakah sayang-menyayangi dan
cinta-mencintai itu, yang berlakudiantara para alim ulama ketika berjumpa? Dan
dimanakah persaudaraan, bertolong-tolongan dan senasib-sepenanggungan pada masa
duka dan suka sepanjang riwayat yang diterima dari ulama-ulama yang terdahulu?
Imam Asy-Syafi'i ra. pernah berkata : "Ilmu pengetahuan diantara
orang-orang yang terkemuka dan berpikiran tinggi itu, adalah dalam
bersilatur-rahmi yang sambung-menyambung".
Dari itu saya tidak mengerti, bagaimana mendakwakan diri mengikuti madzhab
Imam Asy-Syafi'i oleh segolongan manusia, di mana ilmu pengetahuan itu diantara
mereka telah menjadi alat permusuh-an yang memutuskan silatur-rahmi? Mungkinkah
tergambar sayang menyayangi diantara mereka, di samping mencari kemenangan dan
kemegahan? Amat jauh panggang dari api! Waspadalah diri dari kejahatan yang
mengakibatkan berbudi pekerti munafiq dan terlepas dari budi pekerti mu'min dan
muttaqin.
Di antara sifat-sifat yang jahat itu
: nifaq (sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam).
Tidak perlulah rasanya diterangkan dalil-dalil yang mencela sifat nifaq
itu.
Orang-orang
berdebat itu memerlukan kepada sifat nifaq. Karena apabila bertemu dengan
lawan, pencinta-pencinta lawan dan golongan lawan, maka tak ada jalan lain,
selain dari melahirkan kata pershahabatan dengan lisan, kata kasih-sayang dan
memuji-muji kedudukan dan keadaan lawan.
Hal itu disadari oleh si
pembicara dan yang dihadapkan pembicaraan itu kepadanya, bahkan oleh seluruh
yang mendengar, bahwa itu bohong, dusta, nifaq dan zalim. Karena berkasih-sayang
dengan lisan, berdendam-khasumat dengan hati. Berlindunglah kita dengan Allah
dari sifat nifaq itu!.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
إذا تعلم
الناس العلم وتركوا العمل وتحابوا بالألسن وتباغضوا بالقلوب وتقاطعوا في الأرحام
لعنهم الله عند ذلك فأصمهم وأعمى أبصارهم
(Idzaa
ta'allaman naasul 'ilma wa tarakul 'amala wa tahaabbuu bil alsuni wa
tabaaghadluu bil quluubi wa taqaatha'uu fil arhaami la'anahumullaahu 'inda
dzaalika fa-a-ehammahum wa a'maa abshaa-rahum.)
Ertinya
:"Apabila
manusia mempelajari ilmu dan meninggalkan amal, berka-sih-kasihan dengan lisan
dan bermarah-marahan dengan hati, serta berputus-putusan silatur-rahmi, maka
kenalak kutukan Allah ketika itu. Ditulikan
telinganya dan dibutakan matanya. Hadits ini diriwayatkan Al-Hasan. Dan
benarlah demikian dengan dipersaksikan keadaan itu!.
Diantara sifat-sifat yang jahat itu : menyombong, menolak kebenaran dan
bersungguh-sungguh menantangnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang amat
dimarahi oleh seorang pendebat ialah lahirnya kebenaran dari lidah Iawannya.
Maka bagaimanapun kebenaran itu sudah terang ibarat matahari waktu siang, mau
juga di tanking dan dilawannya dengan segala usaha dan kemungkinan yang ada,
baik dengan penipuan, pengkhianatan dan kebusukan hati. Sehingga jadilah
menantang kebenaran itu adat yang lazim bagi seorang pendebat. Bila saja
didengarnya perkataan lawan, terus datang keinginannya menantang. Sampai hal
itu melekat pada hatinya, tidak saja terhadap keterangan biasa, bahkan juga
terhadap dalil dari Al-Quran dan kata-kata lain dari agama. Maka jadilah
dalil-dalil itu berantakan satu sama lain.
Berdebat menghadapi yang batil
itu harus dengan hati-hati. Nabi saw. berseru supaya meninggalkan perdebatan
mengenai hal yang benar melawan yang batil.
Nabi sawصلى
الله عليه وسلم Bersabda :
من ترك
المراء وهو مبطل بنى الله له بيتا في ربض الجنة ومن ترك المراء وهو محق بنى الله
له بيتا في أعلى الجنة
(Man tar akal miraa-a wabuwa
mubthilun banallaahu lahu baitan fii rabadlil jannati wa man tar akal miraa-a
wahuwa muhiqqun banallaahu lahu baitan fii a'-lal jannati).1
Ertinya :Barangsiapa
meninggalkan perdebatan sedang dia di pihak yang batil, maka dtbangun Allah
baginya sebuah rumah dalam perkampungan sorga. Dan barangsiapa meninggalkan
perdebatan sedang dia di pihak yang benar, maka dibangun Allah baginya sebuah
rumah dalam sorga tinggi".
Allah Ta'ala menyamakan antara orang yang mengada-adakan terhadapNya dengan
kedustaan dan orang yang mendustakan kebenaran.
FirmanNya :
وَمَنْ
أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا
جَاءَهُ
(Wa man adhlamu mimmanif taraa 'alallaahi
kadziban au kadzdzaba bil haqqi lammaa jaa-ahu).
Ertinya :"Siapakah yang lebih besar
kesalahannya dari orang-orang yang mengada-adakan kedustaan tentang Allah atau
mendustakan kebenaran tatkala datang kepadanya (Al-Ankabut, ayat 68).
Dan firmanNya :
فَمَنْ
أَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَبَ عَلَى اللَّهِ وَكَذَّبَ بِالصِّدْقِ إِذْ جَاءَهُ
(Faman adhlamu mimman kadzaba 'alallaahi wa kadzdzaba bish-sbidqi
idzjaa-ahu).
Ertinya :"Siapakah
yang lebih besar kesalahannya dari orang yang berbuat kedustaan tentang Allah
dan orang yang mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya!". (S-Zumar,
ayat 32).
Diantara sifat-sifat yang jahat itu : ria',
ingin memperlihatkan amalannya kepada orang banyak, berusaha menarik hati dan
pandangan mereka kepadanya. Ria'adalah penyakit bathin yang
amat berbahaya, dapat menjerumuskan ke dalam dosa besar, sebagaimana akan
diterangkan nanti pada "Kitab Ria".
Seorang pendebat, tidaklah bermaksud,
kecuali namanya muncul di muka umum. Lidah orang banyak lancar memujinya.
Inilah sepuluh perkara dari induk kekejian bathin, selain dari yang timbul
secara kebetulan dari orang-orang di luar pendebat itu sendiri, yang merupakan
permusuhan yang mengakibatkan pemukulan, penempelengan, pengoyakan kain,
penarikan janggut, pemakian ibu-bapa, pengupatan guru dan tuduhan-tuduhan yang
tegas me-nyakitkan hati. Mereka ini tidaklah terhitung dalam golongan
orang yang masuk bilangan.
Sesungguhnya
orang-orang yang terkemuka dan yang terkenal pintar dari mereka, tidaklah
terlepas dari perkara yang sepuluh itu.
Benar, sebahagian dari mereka
terpelihara dari beberapa sifat tadi, di samping ada pula yang tidak begitu
jelas atau sangat jelas dengan sifat-sifat itu. Atau karena jauh dari kampungnya dan unsur-unsur kehidupannya, maka
sifat-sifat itu berbeda antara satu sama lainnya.
Pendek kata, payahlah terlepas dari
-sifat-sifat tersebut bagi siapa juapun dalam bentuknya yang bermacam-macam,
melihat kepada tingkat orang itu sendiri. Kemudian dari sifat yang sepuluh
tadi, masing-masing daripadanya bercabang pula kepada sepuluh yang lain yang
tak kurang kejinya.
Kami tidak berpanjang kalam menyebut dan
menguraikannya satu-persatu, seumpama keras hidung, marah, dendam, loba, ingin
memperoleh harta dan kemegahan untuk tetap dalam kemenangan, bang ga, keras
kepala, suka membesarkan orang kaya dan penguasa serta pulang-pergi menghadap
dan mengambil hati mereka. Berlomba lomba dengan kecantikan kuda dan lain
kendaraan serta pakaian yang terlarang. Suka menghina orang lain dengan
keangkuhan dan kesombongan, turut campur barang yang tak perlu, banyak bicara,
hilang rasa-takut, hilang gemetar dan belas-kasihan di dalam hati, dikuasai
sifat lalai padanya. Sehingga diantara mereka yang mengerjakan shalat, tak tahu
lagi tentang shalatnya, bacaannya dan dengan siapa dia sedang- bermunajat.
Dia tidak merasa khusyu' dalam hatinya,
padahal umurnya telah dihabiskannya mempelajari ilmu pengetahuan yang dapat
menolongkannya dalam perdebatan, ilmu mana tak ada gunanya di akhirat. Seumpama
pengetahuan membaguskan susunan kata, dengan sajak, dengan menghafal kata-kata
yang ganjil dan lain-lain sebagainya yang tak terhitung banyaknya.
Orang-orang
yang suka berdebat itu, berlebih-kurang tingkat dari sifat-sifat tersebut.
Bermacam-macam tingkat dan derajatnya. Meskipun yang terkuat beragama dan
terpintar diantara mereka, tidak juga terlepas dari keseluruhan unsur-unsur
budi-pekerti. Hanya usahanya ada untuk menyembunyikannya atau berjuang
menjauhkan diri dari padanya.
Dan
ketahuilah bahwa budi pekerti yang rendah tadi, melekat juga pada orang yang
bekerja dalam lapangan memberi nasehat dan pelajaran apabila tujuannya mencari
kerelaan orang, menegakkan kemfegahan, memperoleh kekayaan dan kemuliaan.
Melekat juga pada orang yang
bekerja dalam lapangan pengetahuan madzhab dan fatwa-fatwa, apabila tujuannya
ingin menjadi kadli, menjadi penguasa harta wakaf dan terkemuka dari teman.
Pendek kata, kerendahan budi itu
menimpa kepada tiap-tiap orang yang menuntut ilmu bukan karena mengharap pahala
daripada Allah Ta'ala di akhirat Maka ilmu itu tidak saja menyianyiakan orang
yang berilmu itu, bahkan juga membinasakannya atau menghidupkannya sepanjang
zaman.
Karena itu, bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
أشد
الناس عذابا يوم القيامة عالم لا ينفعه الله بعلمه
(Asyaddun naasi 'adzaaban yaumal qiyaamati
'aalimun laa yanfa-'uhullaahu bi'ilmihi).
Ertinya :"Manusia yang sangat menderita adzab pada
hari qiamat,ialah orang yang berilmu yang tiada bermanfa'at dengan ilmunya
Maka ilmu itu telah memberi melarat kepada
yang berilmu itu sendiri, di samping tidak ada gunanya. Mudah-mudahan kiranya
terlepaslah dari keadaan yang tersebut dan dapatlah orang yang berilmu itu,
memperoleh manfa'at dengan ilmu pengetahuannya!.
Sesungguhpya, bahaya ilmu itu besar. Orang
yang mencari ilmu, adalah ibarat orang yang mencari kekayaan yang abadi dan
kesenangan yang tidak kunjung hilang. Maka tak terlepaslah ia dari kekayaan
atau kebinasaan, seperti orang yang mencari kekayaan duniawi. Kalau kebetulan
tidak diperolehnya harta, jangan diharap dia terpelihara dari kehinaan, bahkan
—tidak mustahil—lebih buruk dari itu lagi.
Jika anda mengatakan, bahwa ada gunanya
diberi kesempatan mengadakan perdebatan. Yaitu membawa manusia suka menuntut
ilmu. Karena kalaulah bukan karena cinta menjadi kepala, maka ilmu itu telah
terbenam.
Benar perkataan anda itu dari satu segi. Tetapi faedahnya tidak ada. Anak
kecilpun tidak suka pergi ke sekolah bila tidak dijanjikan bermain bola, bermain
anggardan bermain mengadu pipit. Keadaan yang demikian, tidaklah menunjukkan
bahwa kesukaan yang seperti itu, kesukaan yang terpuji. Dan kalaulah tidak
karena suka menjadi kepala, lalu ilmu pengetahuan itu terbenam. Itupun tidak
menunjukkan bahwa mencari kedudukan kepala itu dapat melepaskan diri dari
kebinasaan.
Tetapi termasuklah diantara orang yang diterangkan
Nabi صلى الله عليه وسلمdengan sabdanya
إن الله ليؤيد هذا الدين بأقوام لا خلاق لهم
(Innallaaha layuayyidu haadzad diina).
Ertinya :"Sesungguhnya
Allah akan menguatkan agama ini dengan kaum (orang-orang )yang tak berbudi.
Dan Sabdanya Dalam Hadis
Lain
وقال
صلى الله عليه وسلم: إن الله ليؤيد هذا الدين بالرجل الفاجر
Sesungguhnya
Allah Akan menguatkan Agama ini dengan orang zalim
Orang yang mencari kedudukan kepala bagi dirinya sendiri adalah binasa.
Kadang-kadang ia dapat memperbuat perbaikan bagi orang lain, kalau ia mengajak
kepada meninggalkan dunia. Yaitu orang yang dhahimya sebagai seorang ulama
salaf (ulama terdahulu), tetapi bathinnya, ia menyembunyikan tujuannya mencari
kemegahan.
Orang yang seperti itu, adalah seumpama iilin yang membakar dirinya sendiri
dan menerangi orang lain. Kebaikan yang diperoleh orang lain, adalah terletak
dalam kebinasaannya.
Maka apabila orang yang berilmu itu
memanggil manusia untuk mencari dunia, adalah seumpama api pembakar, yang
membakar dirinya sendiri dan lainnya.
Dari itu, maka ulama ada tiga, adakalanya membinasakan diri sendiri dan
orang Iain, yaitu mereka yang berterus-terang mencari dunia dan memusatkan
seluruh perhatiannya kepada dunia. Adakalanya membahagiakan dirinya sendiri dan
orang lain, yaitu mereka yang memanggil manusia ke jalan Allah, dhahir dan
bathin. Dan adakalanya membinasakan dirinya dan membahagiakan orang lain, yaitu
orang yang memanggil manusia ke jalan akhirat, tetapi dia sendiri menolak dunia
pada dhahirnya, sedang pada bathinnya bertujuan mempengaruhi orang banyak dan
menegakkan kemegahan diri.
Maka lihatlah! Dalam bahagian manakah anda berada dan orang yang menjadi
tanggunganmu?
Janganlah anda menyangka bahwa Allah Ta'ala menerima ilmu dan amal dari
orang yang tak ikhlas kepadaNya. Akan diterangkan kepadamu nanti pada Kitab Ria
dan dalam seluruh Bahagian Yang Membinasakan. Sehingga segala keragu raguan
hilang dari hati nuranimu, Insya Allah!.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan