IMAM AL GHAZALI DALAM KITAB IHYA ULUMUDDIN......SIRI 7
Bab 3 : Tercelanya Ilmu Yang Tercela
Bab ketiga : Ilmu yang dianggap oleh
orang awwam, terpuji dan sebenarnya tidak. Padanya penjelasan segi yang
menyebab-kan sebahagian ilmu itu menjadi tercela dan penjelasan penggantian
nama-nama ilmu, yaitu : Fiqih, Ilmu, Tauhid, Tadzkir dan Hikmah.
Dan penjelasan batas
terpuji dan batas tercela dari ilmu-ilmu syari'at.
PENJELASAN SEBAB
TERCELANYA ILMU YANG TERCELA
Mudah-mudahan anda mengatakan
bahwa ilmu, ialah mengetahui sesuatu, menurut yang sebenarnya. Dan ilmu itu
adalah salah satu daripada sifat Allah Ta'ala. Maka bagaimanakah sesuatu itu
menjadi ilmu dan bagaimanakah ia menjadi ilmu yang tercela?
Ketahuilah kiranya, bahwa
ilmu itu tidaklah tercela karena ilmu itu sendiri. Tetapi tercelanya adalah
pada hak manusia, karena salah satu dari tiga sebab :
Sebab Pertama :
Adalah ilmu itu membawa
kepada sesuatu kemelaratan. Baik bagi yang mempunyai ilmu itu sendiri atau bagi
orang lain seumpama tercelanya ilmu sihir dan mantera-mantera.
Itu memang sebenarnya,
karena diakui oleh Al-Qur'an yang demikian. Dan ilmu itu menjadi sebab yang
membawa kepada perceraian diantara suami isteri. Rasulullah صلى الله عليه وسلم
telah pemah disihir orang dan sampai sakit karenanya (1). Maka malaikat Jibril
as. datang menyampaikan peristiwa itu kepada Nabi saw. dan mengambil benda
sihir itu dari bawah batu pada dasar sumur.
Sihir itu adalah semacam
keadaan, yang diambil dari pengetahuan dengan khasiat benda-benda, disertai
dengan hitungan tentang terbit bintang-bintang. Dari benda-benda itu diperbuat
suatu boneka menurut bentuk orang yang disihirkan. Dan diintip suatu waktu
tertentu dari terbit bintang-bintang dan disertai pembacaan kalimat-kalimat
yang berasal dari kufur dan keji, yang menyalahi syari'at. Dan dengan
kalimat-kalimat itu, sampai kepada meminta tolong kepada setan-setan.
Dari keseluruhan itu, dengan
hukum kehendak Allah Ta'ala di luar kebiasaan, terjadilah hal-hal yang luar
biasa pada diri orang yang disihirkan.
Dan mengetahui sebab-sebab
tersebut dari segi dia itu pengetahuan, tidaklah tercela. Tetapi tidaklah dia
itu membawa kebaikan, selain daripada mendatangkan kemelaratan kepada makhluk
Tuhan.
Jalan kepada kejahatan
adalah kejahatan. Maka itulah sebab-nya, ilmu sihir itu menjadi ilmu yang
tercela. Bahkan orang yang mengikuti seorang aulia Allah untuk dibunuhnya, di
mana aulia itu sudah bersembunyi daripadanya, pada suatu tempat yang terjamin,
apabila orang dzalim menanyakan tempat aulia itu, maka tidak boleh
memberitahukannya tetapi wajib berdusta.
Menerangkan tempat
persembunyian aulia itu, adalah menunjuk dan memfaedahkan pengetahuan tentang
sesuatu, menurut yang sebenarnya. Tetapi itu tercela, sebab membawa kepada
kemelaratan.
Sebab Kedua :
Bahwa ilmu itu menurut
kebiasaan, memberi melarat kepada yang empunya ilmu itu sendiri, seperti ilmu
nujum.
Ilmu nujum itu sendiri tidak
tercela, sebab dia terbagi dua :
1. Bahagian hisab. Al-Quran
sudah menerangkan bahwa perjalanan matahari dan bulan itu dengan hisab.
Berfirman Allah Ta'ala :
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ
بِحُسْبَانٍ
(Asy-syamsu wal qamaru
bihusbaan).
Ertinya :"Matahari dan
bulan itu beredar menurut hisab (perhitungan).(S. Ar-Rahman, ayat 5)
Dan firman Allah Ta'ala :
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ
مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ
(Wal qamara qaddarnaahu
manaazila hattaa 'aada kal-'urjuunil qadiim).
Ertinya :"Kami tentukan
bulan itu beberapa tempat tertentu sampai kembali dia seperti mayang yang sudah
tua ". (S. Yaasiin, ayat 39).
2. Hukum-hukum dan hasilnya
kembali kepada membuat dalil atas segala kejadiah dengan sebab-musababnya.
Yaitu, menyerupai dengan cara dokter membuat dalil dengan detakan jantung
kepada apa yang akan terjadi dari penyakit. Yakni mengetahui tempat berlakunya
sunnah Allah dan adat kebiasaanNya pada makhlukNya.
Tetapi ilmu tadi dicela
agama. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
( إذا ذكر القدر فأمسكوا وإذا
ذكرت النجوم فأمسكوا وإذا ذكر أصحابي فأمسكوا )
(Idzaa dzukiral qadaru
fa-amsikuu wa idzaa dzukiratin nujuumu fa-amsikuu wa idzaa dzukira ashhaabii
fa-amsikuu).
Ertinya :"Apabila
disebut taqdir, maka peganglah! Apabila disebut bintang maka peganglah! Dan
apabila disebut shahabatku, maka peganglah!". (1.Dirawikan Ath-Thabrani
dari Ibnu Mas'ud, dengan isnad baik.)
Dan bersabda Nabi صلى الله
عليه وسل:
(أخاف على أمتي بعدي ثلاثا
حيف الأئمة والإيمان بالنجوم والتكذيب بالقدر)
(Akhaafu 'alaa ummatii
ba'dii tsalaatsan : haiful a-immati wal iimaanu binnujuumi wat-takdziibu bil
qadari).
Artinya :"Aku takut
atas ummatku sesudahku tiga perkara : kedhaliman imam-imam, percaya kepada bintang-bintang
dan pendustaan kepada taqdir.
Berkata Umar bin
Al-Khathtbab ra. :
"Pelajarilah dari
bintang-bintang itu, apa yang dapat menunjukkan jalan kepadamu didarat dan
dilaut, kemudian berpeganglah kepada pengetahuan itu!".
Dilarang pengetahuan tersebut
dari tiga segi:
1: Bahwa ilmu itu memberi
melarat kepada kebanyakan orang. Sebab apabila diterangkan kepada mereka bahwa
hal-hal itu terjadi adalah akibat perjalanan bintang-bintang, lalu tumbuhlah
anggapan dalam hati mereka bahwa bintang-bintang itu dapat memberi bekas. Dan
bahwa bintang-bintang itu Tuhan-Tuhan pengatur, karena dia itu dzat mulia di
langit. Dan besarlah kesannya dalam hati, lalu kekallah hati menoleh kepadanya.
Dan hati itu melihat kebaikan dan kejahatan itu dilarang atau diharap dari
pihak bintang-bintang itu. Lalu terputuslah dari hati ingatan kepada Allah
Ta'ala. Orang yang lemah imannya menunjukkan pandangan-nya kepada
perantara-perantara. Seorang berilmu yang mendalam, memandang bahwa matahari,
bulan dan bintang itu menuruti perintah Allah Ta'ala.
Pandangan seorang yang lemah
iman, kepada adanya cahaya matahari sesudah terbit, adalah seumpama semut, jika
dijadikan baginya akal dan dia berada di atas secarik kertas, lalu memandang
kepada kehitaman tulisan yang terus membarii, maka dia beri'tikad bahwa itu
perbuatan pena dan tidak meningkat pandangannya kepada memperhatikan anak jari.
Kemudian dari jari, kepada tangan, kemudian kepada kemauan yang menggerakkan
tangan itu. Kemudian dari tangan kepada penulis itu sendiri yang bertenaga dan
berkemauan. Kemudian dari penulis itu kepada Yang Menjadikan tangan, kemampuan
dan kemauan.
Kebanyakan pandangan manusia
terbatas pada sebab-sebab yang dekat, yang di bawah, terputus dari peningkatan
kepada yang menyebabkan sebab-sebab itu.Inilah salah satu sebab pejarangan ilmu
nujum.
2.Bahwa keputusan-keputusan
ilmu nujum itu, adalah terkaan semata-mata. Tidaklah diketahui mengenai hak
diri seseorang baik secara yakin atau berat dugaan. Maka keputusan dari nujum
itu, adalah keputusan dengan kebodohan.Maka adalah tercelanya di atas dasar
ini, dari segi bahwa ilmu nujum itu kebodohan. Tiada ia suatu ilmu
pengetahuan.Adalah yang demikian itu suatu mu'jizat bagi Nabi Idris as. menurut
yang diriwayatkan. Ilmu nujum itu telah lenyap, tersapu dan terhapus.
Apa yang kebetulan benar
terjadi dari ahli nujum itu secara luar biasa, maka itu adalah suatu kebetulan.
Karena kadang-kadang muncul di atas sebagian sebab-sebab. Dan tdk. terjadi
akibat di bela-kang sebab-sebab tadi, melainkan sesudah memenuhi banyak sya-rat-syarat,
yang tidak sanggup tenaga manusia mengetahui hakikatnya. Jika sesuai, bahwa
Allah Ta'ala mentakdirkan sebab-sebab yang masih ada, maka terjadilah yang
benar. Jika tidak ditakdirkan oleh Allah Ta'ala, maka salahlah dia.
Yang demikian itu, adalah
seperti terkaan orang bahwa langit akan menurunkan hujan tatkala dilihatnya
awan tebal berkumpul dan berarak dari gunung-gunung. Lalu keraslah dugaannya,
bahwa hujan akan turun. Dan kadang-kadang siang akan panas dengan matahari dan
mendung itu hilang.Kadang-kadang terjadi sebaliknya. Semata-mata mendung belum
cukup untuk mendatangkan hujan. Dan sebab-sebab yang masih ada, tidak
diketahui.
Begitu pula terkaan nakhoda
bahwa kapal akan selamat, berpegang kepada apa yang diketahuinya dari kebiasaan
tentang angin. Dan angin itu mempunyai banyak sebab yang tersembunyi, yang
tidak diketahuinya. Sekali ia betul pada terkaannya dan lain kali ia salah. Dan
karena sebab inilah, dilarang orang yang kuat imannya dari ilmu nujum.
3.Bahwa tak ada faedahnya
ilmu nujum itu. Sekurang-kurahg keadaannya, ialah terperosok ke dalam perbuatan
yang sia-sia, yang tak perlu dan membuang-buang umur yang amat berharga bagi
manusia, pada yang tak berfaedah. Itulah suatu kerugian yang tak berkesudahan.
Rasulullah صلى الله عليه
وسلم. lalu dekat seorang laki-laki dan orang banyak berkumpul padanya.
Maka bertanya Nabi صلى الله
عليه وسلم : "Siapa orang ini?".
Menjawab orang banyak :
"Orang yang amat 'alim".
"Tentang apa?",
tanya Nabi صلى الله عليه وسلم.
"Tentang sya'ir dan
keturunan orang-orang Arab", sahut mereka.
Maka sahut Nabi صلى الله
عليه وسلم
ما هذا فقالوا رجل علامة فقال
بماذا قالوا بالشعر وأنساب العرب فقال علم لا ينفع وجهل لا يض ر
"Ilmu yang tak
bermanfa'at dan bodoh yang tak memberi melarat".
Bersabda Nabiصلى الله عليه
وسلم
إنما العلم آية محكمة أو سنة
قائمة أو فريضة عادلة
(Innamal 'ilmu aayatun
muhkamatun au sunnatun qaaimatun au fariidlatun 'aadilah).
Ertinya : "Sesungguhnya
ilmu itu adalah ayat yang kokoh, atau sunnah yang tegak atau fardlu yang
adil".
Jadi, turut campur dalam
ilmu nujum dan yang serupa dengan ilmu nujum, adalah menghadang bahaya dan
terperosok ke dalam kebodohan, yang tak ada gunanya. Apa yang ditaqdirkan,
itulah yang terjadi. Menjaga diri dari padanya, adalah tidak mungkin. Kecuali
ilmu kedokteran, maka ilmu ini diperlukan. Kebanyakan dalil-dalilnya, dapat
diselidiki. Dan kecuali juga ilmu menta'birkan mimpi, maka walaupun dia
merupakan terkaan, tetapi adalah sebahagian dari empat puluh enam bahagian dari
kenabian dan tak ada bahaya padanya.
Sebab Ketiga :
Terjun ke dalam ilmu, yang
tidak memberi faedah kepada orang itu dari ilmunya. Ilmu yang semacam itu
adalah tercela terhadap orang itu, seperti dipelajarinya ilmu yang halus-halus
sebelum yang kasar-kasar, dipelajarinya ilmu yang tersembunyi sebelum ilmu yang
terang dan seperti diperbincangkannya tentang rahasia keTuhanan
(al-asroril-ilahiyah).
Karena para filosuf dan
ulama ilmu kalam telah tampil pada ilmu-ilmu itu. Dan mereka tidak berdiri
sendiri dalam hal itu. Hanya yang dapat berdiri sendiri, memperkatakan
al-asroril-ilahiyah dan mengetahui jalan-jalan sebahagian daripadanya, ialah
Nabi-Nabi dan aulia-aulia.
Maka wajiblah dilarang orang
banyak membahas tentang al-asroril-ilahiyah dan dikembalikan mereka kepada yang
telah diucapkan oleh syari'at. Yang demikian itu mencukupilah untuk orang yang
mendapat taufiq.
Berapa banyak orang yang
terjun ke dalam ilmu pengetahuan dan memperoleh kemelaratan. Jikalau tidaklah
ia terjun ke dalam ilmu pengetahuan itu, niscaya adalah halnya lebih baik dalam
agama, daripada apa yang telah terjadi padanya.
Dan tak dapat dibantah,
adanya ilmu yang mendatangkan melarat bagi sebahagian manusia, seumpama
melaratnya daging burung dan beberapa macam kuweh yang enak rasanya, kepada
bayi yang masih menyusu. Bahkan banyak orang, yang berguna baginya kebodohan
dalam beberapa hal.
Menurut ceritera, bahwa
sebahagian orang mengadukan halnya kepada seorang tabib akan kemandulari
isterinya. Wanita itu tidak beranak. Maka tabib itu memeriksa denyut uratnadi.
Lalu berkata : "Tak ada gunanya engkau diberikan obat beranak. Sebab
engkau akan mati, sampai empat puluh hari ini. Denyut urat nadimu menunjukkan
yang demikian".
Maka gemetarlah wanita itu
dengan ketakutan yang sangat dan susahlah kehidupannya. Dikeluarkannyalah
hartanya, dibagi-bagikan dan diwasiatkan. Tinggallah ia tidak makan dan tidak
mi-num, sehingga berlalulah masa itu. Dan wanita itu tidak mati. Maka datanglah
suaminya kepada tabib dan menanyakan, mengapa isterinya tidak mati. Maka
menjawab tabib "Aku sudah tahu yang demikian. Sekarang bersetubuhlah!. Ia
akan beranak".
Mengapa begitu?", tanya
si suami.
Menjawab tabib : "Aku
lihat dia sangat gemuk, lemak telah menutupi mulut rahimnya. Aku tahu, bahwa
dia tidak akan kurus, selain dengan takut kepada mati. Maka aku takutkan dia
dengan demikian, sehingga dia kurus. Dan hilanglah halangan dari
beranak".Maka ini memberitahukan engkau kepada merasakan bahaya sebahagian
pengetahuan. Dan memberi pemahaman kepada engkau pengertian, sabda Nabi صلى
الله عليه وسلم
نعوذ بالله من علم لا ينفع
(Na'uudzu billaahi min
'ilmin laa yanfa').
Ertinya :"Kita
berlindung dengan Allah Ta'ala dari ilmu yang tidak bermanfa'at".
Maka ambillah ibarat dengan
ceritera ini! Janganlah kiranya anda menjadi penyelidik dari ilmu yang dicela
Agama dan dilarang daripadanya! Dan haruslah mengikuti para shahabat Nabi saw.
dan berpeganglah kepada Sunnah! Keselamatan adalah dengan mengikuti jejak Nabi.
Dan bahaya adalah dalam membahas beberapa perkara dan berdiri sendiri dalam hal
itu.
Janganlah diperbanyak
membanggakan diri dengan pendapat sendiri, akal pikiran sendiri, dalil sendiri
dan keterangan sendiri dengan mendakwakan : "Bahwa aku mengadakan
pembahasan tentang hal-hal itu, untuk aku ketahui yang sebenarnya".
Manapun kemelaratan yang
timbul dalam pemikiran mengenai ilmu pengetahuan, maka kemelaratannya yang
kembali kepadamu adalah lebih besar. Berapa banyak hal yang engkau perhatikan,
lalu menimbulkan kemelaratan oleh perhatian itu, yang hampir mencelakakan kamu
di akhirat, kalau tidaklah rahmat Tuhan datang membelainya.
Ketahuilah! Sebagaimana
seorang tabib yang ahli, mengetahui segala pengobatan, di mana menjauhkan diri
daripadanya, orang yang tak mengetahuinya, maka demikian pula para Nabi, tabib
hati dan para ulama, yang tahu sebab-sebab hidup keakhiratan. Dari itu,
janganlah terlalu berpegang teguh kepada sunnah mereka dengan akal pikiranmu,
maka kamu akan binasa!
Berapa banyak orang yang
terkena suatu halangan pada anak jari tangannya. Lalu akal pikirannya
menghendaki untuk memicit anak jari itu. Sehingga diberitahukan oleh tabib yang
ahli, bahwa obatnya adalah tapak tangan itu dipicit dari bahagian lain dari
badan. Orang itu tidak mau menerimanya, karena ia tidak mengetahui percabangan
urat dan pertumbuhannya serta cara perlipatannya pada tubuh. Maka begitu juga
urusan pada jalan akhirat, pada yang halus-halus dari sunnah agama dan
adab-adabnya. Dan mengenai aqidahnya yang menjadi ibadah manusia, mengandung
rahasia dan isi yang halus-halus, yang tak sanggup keluasan akal manusia dan
kekuatannya mengetahuinya. Sebagaimana pada khasiat batu-batu ada hal-hal yang
ajaib, yang tak sampai ilmu tukangnya ke sana. Sehingga tidak ada orang yang
mengetahui sebab, maka besi berani itu menarik besi biasa.
Maka keheranan dan
keganjilan pada aqidah dan amal, dan menggunakannya untuk menjernihkan,
membersihkan, mensucikan, mengadakan perbaikan bagi hati (jiwa) untuk meningkat
tinggi di samping Allah Ta'ala dan membawanya bagi anugerah kemurahan Nya,
adalah lebih banyak dan lebih besar dari apa yang pada obat-obat dan jamu-jamu.
Sebagaimana tak sampai akal
manusia, mengetahui kegunaan obat-obatan, serta percobaan adalah jalan
kepadanya, maka akal manusiapun tak sampai untuk mengetahui apa yang
bermanfa'at pada hidup akhirat, sedang percobaan tak ada jalan ke sana. Hanya
adalah percobaan berjalan ke akhirat, kalau pulanglah kepada kita beberapa
orang yang telah mati.Lalu menerangkan kepada kita, amal perbuatan yang
diterima, yang bermanfa'at, yang mendekatkan kepada Allah Ta'ala di sisiNya dan
dari amal yang menjauh-kan daripadaNya.
Begitu pula, mengenai
aqidah. Dan yang demikian itu, termasuk yang tak usah diharapkan. Dari itu,
cukuplah kiranya bagi anda dari kegunaan akal, untuk dapat menunjukkan anda,
kepada membenarkan Nabi saw. dan memahamkan anda segala sumber
isyarat-nya.Kemudian, singkirkanlah akal itu dari penggunaannya dan tetaplah
mengikuti Nabi, di mana anda akan selamat dengan jalan itu.
Dari itu Nabi صلى الله عليه
وسلمbersabda :
إ ن من العلم جهلا وإن من
القول عيا
(Inna minal 'ilmi jahlan wa
inna minal qauli 'iyyan).
Ertinya :"Bahwa
sebahagian dari ilmu itu, kebodohan dan sebahagian dari perkataan itu tidak
menjelaskan". Yang dimaklumi, bahwa ilmu itu tidaklah kebodohan, tetapi
ilmu itu membekas akan pembekasan kebodohan, pada mendatangkan kemelaratan.
Maka Nabi صلى الله عليه
وسلمbersabda pula :
قليل من التوفيق خير من كثير
من العلم
(Qaliilun minat taufiiqi
khairun min katsiirin minal 'ilmi).
Ertinya :"Sedikit
taufiq Tuhan adalah lebih baik dari banyak ilmu".
Nabi Isa as. pernah berkata
:
"Alangkah
banyaknyapohon kayu dan tidaklah semuanya berbuah. Alangkah banyaknya
buah-buahan dan tidaklah semuanya baik dan alangkah banyaknya ilmu pengetahuan
dan tidaklah semuanya berguna
Penjelasan : Apa yang
digantikan dari kata-kata ilmu.
Ketahuilah!!! Bahwa sumber
yang menimbulkan keserupaan ilmu yang tercela dengan ilmu syari'at ialah
penyelewengan nama-nama yang terpuji, penggantiannya dan pemindahannya, dengan
maksud-maksud yang merusakkan kepada pengertian-pengertian yang tidak
dikehendaki oleh orang-orang shaleh terdahulu dan abad pertama.
Iaitu lima perkataan :
fiqih, ilmu, tauhid, tadzkir dan hikmah.
Inilah nama-nama yang
terpuji. Orang-orang yang bersifat dengan nama-nama tadi, adalah orang-orang
yang berkedudukan ting-gi dalam agama. Tetapi sekarang nama-nama itu sudah
dialihkan kepada pengertian-pengertian yang tercela. Sehingga hati, lari dari
celaan orang-orang yang bersifat dengan pengertian-pengertian itu, karena
terkenalnya pemakaian nama-nama itu kepada mereka.
Perkataan Pertama :
FIQIH.
Telah diselewengkan
pemakaiannya secara tertentu. Tidak dengan dipindahkan dan diputarkan. Karena
mereka telah menentukan nya pemakaian fiqih itu, kepada pengetahuan furu'
(cabang) agama, yang ganjil mengenai fatwa, mengetahui sebab-sebab yang
mendalam dari fatwa itu, memperbanyak pembicaraan padanya, menghafal kata-kata
yang berhubungan dengan fatwa itu.Maka orang yang amat mendalaminya dan banyak
berbuat kepadanya, disebut "al-afqah "(yang terahli dalam ilmu
fiqih).
Pada masa pertama dahulu,
adalah nama fiqih itu ditujukan kepada pengetahuan jalan akhirat, kepada
mengenai penyakit jiwa yang halus-halus dan yang merusakkan amal, teguh
pendirian dengan pandangan hina kepada dunia, sangat menuju perhatian kepada
nikmat akhirat dan menekankan ketakutan kepada hati.
Dibuktikan kepada yang
demikian itu oleh firman Allah 'Azza wa Jalla :
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
(Liyatafaqqahuu fid diini wa
liyundziruu qaumahum idzaa raja'uu ilaihim).
Ertinya :"”Untuk
mempelajari (berfiqih) dalam agama dan memberi peringatan kepada kaumnya
apabila telah kembali (dari menuntut ilmu) kepada mereka". (التوبة: 122)
Ilmu yang menghasilkan
peringatan dan penakutan, itulah FIQIH namanya. Bukanlah fiqih itu
mencabang-cabang soal talak, soal pembebasan perbudakan, li'an, pesanan barang
dan sewa-menyewa. Yang demikian itu, tidaklah mombuahkan peringatan dan
penakutan. Bahkan bila terus menerus bergelimang dengan itu, membawa kepada
hati kasar, mencabut ketakutan dari hati, sebagaimana kita saksikan sekarang
pada orang-orang yang menjurus demikian.
Berfirman Allah Ta'ala :
لَهُمْ قُلُوبٌ لا
يَفْقَهُونَ بِهَا
(Lahum quluubun laa
yafqahuuna bihaa).
Ertinya :"Bagi mereka
hati yang tidak memahami (berfiqih) dengan hati itu"(S. Al-A'raf, ayat
179).
Dimaksudkan dengan fiqih
ialah, pengertian-pengertian keimanan, bukan mengeluarkan fatwa.Demi umurku,
bahwa kata-kata "al-fiqh"dan "al-fahm" menurut bahasa
adalah dua nama (ism) dengan satu arti. Dan dipergunakan demikian, menurut
kebiasaan pemakaian, baik dahulu atau sekarang.
Berfirman Allah Ta'ala :
لأنْتُمْ أَشَدُّ رَهْبَةً
فِي صُدُورِهِمْ مِنَ اللَّهِ
(La-antum asyaddu rahbatan
fii shuduurihim minallaah).
Ertinya :"Kamu sangat
ditakuti dalam hati mereka, lebih dari Tuhan".(S. Al-Hasyr, ayat 13).
Maka dibawa oleh kurang
takutnya kepada Allah dan besar penghormatannya akan kekuasaan makhluk,
sehingga menjadi kurangnya faham (fiqih).
Lihatlah, adalah itu natijah
tidak menghafal pencabangan fatwa-fatwa atau natijah ketiadaan ilmu yang kami
terangkan itu. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم علماء فقهاء "Ulama,
hukama, dan fuqaha (para ahli fiqih)", kepada mereka yang diutuskan
kepadanya.
Ditanyakan Sa'ad bin Ibrahim
Az-Zuhri ra. : "Siapakah diantara penduduk Madinah yang lebih paham
(fiqih)?". Beliau menjawab : "Yang lebih kuat taqwanya kepada Allah
Ta'ala". Seakan-akan beliau memberi isyarat kepada hasil dari paham
(fiqih). Dan taqwa adalah hasil dari ilmu bathin. Bukan hasil dari fatwa dan
hukum.
Bersabda Nabi صلى الله عليه
وسلم :
"Apakah aku terangkan
kepadamu orang ahli paham (fiqih) yang sebenarnya?".
"Ya!", jawab
mereka.
Maka bersabda Nabi صلى الله
عليه وسلم saw. :ألا أنبئكم بالفقيه كل الفقيه قالوا بلى قال من لم يقنط الناس من
رحمة الله ولم يؤمنهم من مكر الله ولم يؤيسهم من روح الله ولم يدع القرآن رغبة عنه
إلى ما سواه "Orang yang tidak memutus-asakan manusia dari rahmat Tuhan,
yang tidak menyatakan mereka aman dari kutuk Tuhan, yang tiada memutuskan asa
mereka dari kasih-sayang Tuhan, yang tidak meninggalkan Al-Quran lantaran gemar
kepada yang lain".
Sewaktu Anas bin Malik
meriwayatkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
لأن أقعد مع قوم يذكرون الله
تعالى من غدوة إلى طلوع الشمس أحب إلي من أن أعتق
أربع رقاب
(La-an aq'uda ma'a qaumin
yadzkuruunallaah ta'aalaa min ghud-watin ilaa thuluu'isy-syamsi ahabbu ilayya
min an a'tiqa arba'a riqaabin).
Ertinya :"Sesungguhnya
aku lebih suka duduk bersama kaum yang mengingati Allah Ta'ala dari pagi sampai
terbit matahari besok, daripada membebaskan empat orang budak".
Berkata pengarang kitab
Al-Quut : "Maka berpalinglah Anas kepada Zaid Ar-Raqqasyi dan Ziyad
An-Numairi, seraya berkata :"Tidaklah majlis mengingati Tuhan (berdzikir)
itu seperti majlis ini, di mana salah seorang dari kamu menceriterakan pengajarannya
kepada teman-temannya dan membawa hadits hadits. Sesungguhnya kami duduk lalu
mengingati iman, memahami Al-Qur'an dan berpaham (berfiqih) dalam agama serta
menghitung ni'mat Allah Ta'ala kepada kami, dengan penuh pemahaman
(fiqih)".Di sini dinamakan pemahaman AI-Quran dan penghitungan nikmat itu
berfiqih (tafaqquh).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
(لا يفقه العبد كل الفقه حتى يمقت الناس في ذات الله وحتى يرى القرآن وجوها
كثيرة)
(Laa
yafqahul 'abdu kullal fiqhi hattaa yamqutan naasa fii dzaatil-laahi wa hattaa
yaraa lil Qur-aani wujuuhan katsiirah).
Ertinya :"Tidaklah seorang itu
berfiqih sebenar-benarnya sebelum mengecam manusia untuk kesucian Dzat Allah
Ta'ala dan memandang Al-Qur'an dari segala segi".
Dirawikan
pula suatu hadits mauquf pada Abid Darda' ra. dengan katanya : "Kemudian
ia menghadapkan kepada dirinya sendiri lalu mengecamnya pula secara lebih hebat
lagi".
Bertanya
Farqad As-Sabakhi kepada Al-Hassan mengenai suatu hal. Maka menjawab Al-Hasan,
lalu berkata Farqad "Kaum fuqaha (ahli fiqih) itu berselisih pendapat
dengan kamu".
Kemudian
Al-Hasan ra. berkata : "Wahai Farqad yang dikasihi! Adakah kamu melihat
seorang ahli fiqih itu dengan matamu sendiri? Bahwa seorang ahli fiqih itu
adalah zuhud di dunia, gemar ke akhirat, bermata hati kepada agama, kekal
beribadah kepada Tuhannya, Wara' mencegah dirinya dari mempercakapkan
kehormatan orang muslimin, yang memelihara dirinya dari harta mereka dan yang
menasehati jama'ah mereka".
Dalam
keseluruhannya tadi, Al-Hasan tidak menyebut penghafal furu'-furu' fatwa. Dan
saya tidak mengatakan bahwa nama "fiqih" itu tidaklah pokok bahasa
dan tidaklah untuk fatwa mengenai hukum-hukum dhahir. Tetapi ada, secara umum
dan keseluruhan atau secara diikutsertakan. Maka adalah pemakaian mereka
kata-kata "fiqih" kepada ilmu akhirat itu, lebih banyak.
Maka
nyatalah dari pengkhususan tersebut, meragukan kebangkitan manusia untuk
memakai perkataan "fiqih" semata-mata kepada yang tadi dan berpaling
dari ilmu akhirat dan perihal hati. Dan mereka mendapat untuk yang demikian
penolong dari tabiat manusia. Karena ilmu bathin itu tidak terang dan
mengerjakannya sukar. Dan memperoleh kedudukan dalam pemerintahan, kehakim-an,
kemegahan dan kekayaan itu sulit dengan ilmu bathin. Maka setan memperoleh
jalan untuk membaikkan yang tersebut, di dalam hati dengan jalan mengkhususkan
nama "fiqih", yang menjadi nama terpuji itu pada syari'at.
Perkataan Kedua :
ILMU.
Perkataan ini dipakai untuk
pengetahuan mengenai dzat, ayal-ayat dan perbuatan Allah Ta'ala, terhadap hamba
dan makhlukNya. Sehingga ketika Umar ra. wafat, maka berkata Ibnu Mas'ud ra. :
"Sesungguhnya telah mati sembilan persepuluh ilmu".
Perkataan "ilmu"
itu dijadikan isim ma'rifah dengan Alif dan Lam, menjadi "al-ilmu".
Lalu diberi penafsiran, "mengetahui tentang Allah Subhanahu wa
Ta'ala". Kemudian diputarkan pula oleh mereka perkataan "al-ilmu"
itu dengan pengkhususan. Sehingga dalam banyak hal, diperkenalkannya orang
berilmu, ialah orang yang asyik berdebat melawan musuh dalam masalah-masalah
fiqih dan lainnya. Lalu dikatakan orang itulah alim yang sebenarnya.
Dia seorang tokoh ilmu
pengetahuan. Orang-orang yang tidak berbuat demikian dan tidak menghabiskan
waktunya untuk itu, dihitung orang lemah dan tidak dihitung dalam bilangan ahli
ilmu.
Ini juga, suatu tindakan
dengan pengkhususan. Akan tetapi apa yang tersebut tentang kelebihan ilmu dan
ulama, adalah keba-nyakannya ditujukankepada ulama yang tahu akan Allah, hukum
Nya, perbuatan dan sifat-sifatNya. Dan sekarang, secara mutlak dipakai, kepada
orang yang tidak tahu sedikitpun ilmu agama, selain dari pertemuan-pertemuan
perdebatan dalam masalah-masalah khilafiah. Dengan itu, lalu dia terhitung
termasuk ulama besar, serta bodohnya mengenai tafsir, hadits, ilmu madzhab dan
lainnya. Dan yang demikian itu, menjadi sebab, yang membinasakan orang banyak
dari penuntut-penuntut ilmu.
Perkataan Ketiga :
TAUHID.
Perkataan ini sekarang
dipakai untuk menyusun kata-kata, mengetahui cara bertengkar, mengetahui jalan
menjatuhkan lawan, sanggup mendesaknya dengan membanyakkan
pertanyaan-pertanyaan, dapat membangkitkan keragu-raguan dan dapat menyusun
dalil-dalil yang pasti, sehingga oleh golongan-golongannya sendiri, memberinya
gelar, ahli adil dan ahli tauhid.
Para ahli ilmu kalam,
disebut ulama tauhid, padahal seluruh apa yang khusus perbuatan ini, tidak
terkenal sedikitpun pada masa pertama dari agama Islam. Bahkan sebahagian
mereka, adalah sangat menentang terhadap orang yang membuka pintu pertengkaran
dan perdebatan.
Adapun isi Al-Qur'an, dari
dalil-dalil yang terang, mudah ditangkap oleh pikiran demi mendengarnya, maka
adalah semua orang mengetahuinya. Pengetahuan dengan Al-Qur'an adalah merupakan
ilmu pengetahuan seluruhnya.Tauhid pada mereka adalah ibarat suatu hal yang
tidak dipahami oleh kebanyakan ahli ilmu kalam. Kalaupun dipahaminya, tetapi
mereka tidak bersifat dengan dia.iaitu melihat urusan seluruhnya, adalah
daripada Allah Ta'ala, penglihatan tanpa menoleh kepada sebab dan perantara.
Maka ia tidak melihat kebajikan dan kejahatan seluruhnya, melainkan dari pada
Allah Yang Maha Mulia.
Maka inilah tingkat yang
mulia. Salah satu dari buahnya, ialah tawakkal, sebagaimana akan diterangkan
nantrpada KitabTawakkal.Diantara buahnya juga, ialah meninggalkan pengaduan
kepada makhluk, meninggalkan kemarahan kepada mereka, rela dan menyerah kepada
hukum Allah Ta'ala.
Dan adalah
salah satu buahnya, ialah ucapan Saidina Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., ketika
ditanyakan waktu sakitnya "Apakah kami carikan tabib untuk tuan?".
Lalu Abu Bakar menjawab : "Tabib itu membawa saya sakit".
Ucapan
lain lagi dari Abu Bakar ra. ketika sakitnya, waktu ia ditanyakan :
"Apakah kata tabib tentang penyakit tuan?".Abu Bakar ra. menjawab :
"Katanya : bahwa saya berbuat sekehendak saya".
Akan
datang pada Kitab Tawakkal dan Kitab Tauhid dalil-dalil untuk itu.
Tauhid
adalah suatu mutiara yang bernilai tinggi, mempunyai dua kulit. Yang satu lebih
jauh dari isinya daripada yang lain.
Lalu orang
mengkhususkan, nama tauhid itu kepada kulit dan membuat penjagaan kepada kulit
itu, serta menyianyiakan ISI secara keseluruhan.
KULIT
PERTAMA : Iaitu anda mengucapkan dengan lisan لا إله إلا الله
Ini
dinamakan tauhid melawan tatslits للتثليث (kepercayaan tiga tuhan oknum), yang
ditegaskan oleh orang Nasrani. Tetapi ucapan tersebut kadang-kadang datang dari
orang munafiq, yang berlawanan bathinnya dengan lahirnya.
KULIT
KEDUA : yaitu tak ada di dalam hati, yang menyalahi dan berlawanan dengan
pengertian ucapan tadi. Bahkan yang dhahir dari hati, melengkapi kepada
aqidahnya. Dan demikian juga mem-benarkannya. Yaitu tauhid orang awwam. Dan
para ahli ilmu kalam sebagaimana diterangkan dahulu adalah penjaga kulit ini
dari gangguan golongan bid'ah.
YANG
KETIGA : Iaitu ISI. Bahwa ia melihat keadaan seluruhnya daripada Allah Ta'ala
dengan tidak menoleh kepada perantaraan. Dan ia beribadah kepadaNya, dengan
ibadah yang tunggal kepada-Nya. Tidak ia beribadah (menyembah) yang lain.Dan
keluarlah dari tauhid ini, orang-orang yang menuruti hawa nafsu. Maka tiap-tiap
orang yang menuruti hawa nafsunya, dia telah mengambil hawa nasfunya, menjadi
Tuhannya.
Berfirman
Allah Ta'ala :
(Afara-aita
manit takhadza ilaahahuu hawaah).
Ertinya :"Adakah engkau
melihat, orang yang mengambil hawa nafsunya, menjadi Tuhannya?". (S.
Al-Jatsiyah, ayat 23).
Bersabda
Nabi صلى الله عليه وسلم:
(أبغض إله
عبد في الأرض عند الله تعالى هو الهوى)
(Abghadlu
ilaahin 'ubida fil ardli 'indallaahi ta'aalaa, huwal hawaa).
Ertinya:Tuhan
rang disembah di bumi,yang sangat dimarahi Allah Ta'ala ialah hawa nafsu
Dan di atas yang sebenarnya,
barang siapa memperhatikan tentu mengerti bahwa penyembah berhala sebetulnya
tidaklah ia menyembah berhala. Tetapi ia menyembah hawa nafsunya, karena
nafsunya itu condong kepada agama nenek moyangnya. Lalu ia mengikuti
kecondongan itu. Dan kecondongan nafsu kepada kebiasaan-kebiasaan, adalah salah
satu pengertian yang diibaratkan dengan hawa nafsu itu.
Dan
keluarlah dari tauhid ini, menaruh kemarahan kepada makhluk dan berpaling
kepada mereka. Maka orang yang melihat seluruhnya berasal dari Allah Ta'ala,
bagaimana akan marah kepada orang lain? Dari itu, tauhid adalah ibarat dari
tingkat ini. Yaitu tingkat orang-orang Shiddiq (orang yang mempunyai
kepercayaan penuh kepada Tuhan).Dari itu, perhatikanlah, ke mana diputarkan
arti tauhid dan kulit mana yang dirasa puas. Maka bagaimana mereka, mem
buat ini,
menjadi pegangan, pada pemujian dan pembanggaan, dengan apa yang namanya
terpuji, serta kosong dari pengertian yang berhak akan pujian yang hakiki? Hal
itu seumpama kosongnya orang yang pagi-pagi benar sudah menghadap qiblat dan
membaca:وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ حَنِيفًا =
الأنعام79 Wajjahtu wajhia lilladzii fathara samaawaati wal ardla haniifa".
(Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang menjadikan langit dan bumi karena aku
memeluk agama yang benar). Dan itu adalah permulaan kedustaan, dia menghadap
Allah tiap-tiap hari, sekira-nya wajah hatinya tidak menghadap Allah Ta'ala,
secara khusus.Sesungguhnya, jika maksudnya dengan "wajah"itu wajah
secara dhahir, maka adalah tujuan wajahnya ke Ka'bah dan tidak menuju ke lain
jurusan.
Ka'bah
tidaklah menjadi pihak bagi Allah yang menjadikan langit dan bumi, sehingga
orang yang menghadap ke Ka'bah berarti menghadap kepada Allah Ta'ala. Maha Suci
Allah dari berpihak dan berberdaerah!.
Sekiranya,
maksudnya dengan wajah itu " wajah hati" dan memang itulah yang
dimaksud oleh tiap-tiap orang yang beribadah, maka bagaimanakah dapat
dibenarkan ucapannya sedang kan hatinya bulak-balik pada kepentingan dan
keperluan duniawiyahnya? Dan mencari daya upaya mengumpulkan harta, kemegahan
dan memperbanyak sebab-sebab dan perhatian seluruhnya untuk yang demikian.Maka
bilakah ia menghadapkan wajahnya kepada Allah yang menjadikan langit dan
bumi?.Perkataan ini, adalah menerangkan hakikat tauhid. Seorang yang bertauhid,
ia tidak melihat melainkan YANG ESA dan tidak menghadapkan wajahnya, melainkan
kepada YANG ESA itu.
Iaitu
mengikuti firman Allah Ta'ala :
ُلِ
اللَّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
(Qulillaahu tsumma dzarhum
fii khaudlihim yal'abuun).
Ertinya
:"Katakanlah!اللَّهُKemudian biarkanlah mereka main-main dengan percakapan
kosongnya (S. Al-An'am, ayat 91).
Tidaklah
dimaksudkan dengan " katakanlah " itu "perkataan" dengan
lisan. Karena lisan itu merupakan "penterjemah" (pengalih bahasa dari
dalam), sekali dia benar dan sekali dia bohong. Maka tempat untuk melihat Allah
yang diterjemahkan oleh lisan itu, ialah hati. Hatinya tambang tauhid dan
sumbemya.
Perkataan keempat
DZIKIR DAN TADZKIR.
Berfirman Allah Ta'ala :
َذَكِّرْ
فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
(Wa dzakkir fainnadzdzikraa
tanfa'ul mu'miniin).
Ertinya
:"Berilah mereka peringatan (tadzkir), karena peringatan itu berguna untuk
orang-orang yang beriman ". (S. Adz-Dzariyat, ayat 55).
Banyaklah
hadits Nabi صلى الله عليه وسلم yang memuji majlis dzikir itu, seperti sabdanya
: إذا مررتم برياض الجنة فارتعوا, "Apabila kamu melewati kebun Sorga, maka
bersenang-senanglah di dalamnya!" "Manakah kebun Sorga itu ? 'tanya
yang hadlir. قال: مجالس الذكر"Majlis-majlis berdzikir", sahut Nabi
saw.
وفي
الحديث: إن لله تعالى ملائكة سياحين في الدنيا سوى ملائكة الخلق إذا رأوا مجالس
الذكر ينادي بعضهم بعضا ألا لموا إلى بغيتكم فيأتونهم ويحفون بهم ويستمعون ألا
فاذكروا الله وذكروا أنفسكم
Dalam satu hadits tersebut :
"Allah Ta'ala mempunyai banyak malaikat yang mengembara di dalam dunia
selain dart para malaikat yang ada kubungannya dengan makhluk. Apabila mereka
melihat majlis dzikir, lalu mereka panggil-memanggil satu sama lain, dengan
mengatakan : Pergilah kepada kesayanganmu masing-masing". Lalu pergilah
mereka, mengelilingi dan mendengar. Dari itu, berdzikirlah kepadaالله dan
peringatilah dirimu sendiri!".
Oleh
kebanyakan juru nasehat pada masa sekarang kita melihat, mengambil yang
demikian itu, lalu membiasakan dengan cerita-cerita, sya'ir-sya'ir, do'a-do'a
dan kata-kata yang tidak dipahami (syathah) dan pemutaran perkataan-perkataan
agama (thammat).Adapun ceritera-ceritera (al-kisah), maka itu bid'ah. Telah
datang dari ulama-ulama yang terdahulu, larangan duduk mengelilingi
tukang-tukang cerita itu. Mereka mengatakan, bahwa tak ada yang demikian pada
masa Rasulullahصلى الله عليه وسلم Dan tidak ada pada masa Abu Bakar ra. dan
Umar ra. Sehingga lahirlah fitnah dan timbullah tukang-tukang ceritera.
Diriwayatkan,
bahwa Ibnu Umar ra. keluar dari masjid, seraya mengatakan : "Aku
dikeluarkan oleh tukang ceritera itu. Kalau tidaklah dia maka aku tidak
keluar".
Berkata
Dlamrah : "Aku bertanya kepada Sufyan Ats-Tsuri : "Kita terimakah
tukang ceritera itu dengan gembira?".
Menjawab
Sufyan : "Balikkanlah tukang bid'ah itu ke belakangmu!" Berkata Ibnu
'Aun : "Aku datang pada Ibnu Sirin, maka ia bertanya : "Hari ini
tidak ada kabar?".
Lalu aku
jawab : "Amir sudah melaiang tukang-tukang cerita itu bercerita".
Maka
menyambung Ibnu Sirin : "Dia sudah. mendapat taufiq ke jalan yang
benar".
Al-A'masy masuk ke masjid
jami' Basrah. Maka dilihatnya seorang tukang ceritera sedang berceritera dan
mengatakan : "Diterangkan hadits kepada kami oleh Al-A'masy".
Maka Al-A'masypun masuk ke
tengah-tengah rombongan itu, sambil mencabut bulu ketiaknya.
Maka berkata tukang ceritera
itu : "Tuan! Apakah tidak malu?".
Sahut Al-A'masy :
"Mengapa? Bukanlah saya berbuat sunnah dan saudara berbuat bohong? Saya
ini Al-A'masy dan tidak pernah menceriterakan hadits kepada saudara".
Berkata Ahmad bin Hanbal ra.
: "Yang paling banyak berdusta, diantara manusia, ialah tukang ceritera
dan peminta-minta".
Ali ra. mengusir tukang
ceritera dari masjid jami' Basrah. Tatkala didengarnya yang berceritera
al-Hasan Al-Bashri maka tak diusirnya. Karena Al-Hasan memperkatakan tentang
ilmu akhirat dan berpikir kepada mati, memperingatkan kepada kekurangan diri,
bahaya amal, gurisan setan dan cara menjaga diri padanya. Ia meng-ingatkan
kepada segala rahmat Allah dan nikmatNya, kepada kealpaan hamba pada mensyukuriNya.
Ia memperkenalkan kehinaan dunia, kekurangan, kehancuran dan kepalsuan
janjinya, bahaya akhirat dan huru-haranya.
Maka inilah tadzkir
(peringatan) yang terpuji pada agama, yang meriwayatkan dorongan kepadanya pada
hadits yang dirawikan Abu Zar, seperti berikut : "Mengunjungi majelis
dzikir, adalah lebih utama daripada mengerjakan shalat seribu raka'at.
Mengunjungi majelis ilmu, adalah lebih utama daripada mengunjungi seribu orang
sakit. Mengunjungi majelis ilmu adalah lebih utama daripada berta'ziah seribu
jenazah".
Lalu
ditanyakan :يا رسول الله ومن قراءة القرآن، قال: وهل تنفع قراءة القرآن إلا
بالعلم "Wahai Rasulullah! Dan dari membaca Al-Qur'an?". Maka Nabi
saw. menjawab : "Adakah bermanfa'at membaca Al-Qur'an selain dengan
ilmu?".
Berkata 'Atha'
ra: "Majelis dzikir itu menutupkan tujuh puluh majelis yang sia-sia
(tempat tontonan)".
Hadits-hadits
di atas telah dipergunakan oleh orang-orang yang kotor, untuk alasan kepada
membersihkan diri dan mengalih-kan nama "tadzkir" kepada khurafat
yang dibuat mereka. Mereka lupakan cara dzikir yang terpuji dan menyibukkan
diri dengan ceritera-ceritera yang membawa kepada perselisihan, kepada me-nam
bah dan mengurangi. Dan berlawanan dengan ceritera yang ada di dalam Al-Qur'an
dan menam bahkan kepadanya.
Di antara
ceritera-ceritera itu, ada yang bermanfa'at mendengarnya dan ada yang melarat
meskipun benar. Orang yang membuka pintu itu kepada dirinya, maka bercampurlah
antara benar dan bohong, yang bermanfa'at dan yang melarat. Dari itu maka
dilarang daripadanya.
Karena
demikianlah, maka berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra. : "Alangkah
berhajatnya manusia kepada tukang ceritera yang benar" Jika ceritera itu
termasuk ceritera Nabi-Nabi as. yang berhubungan dengan urusan agama dan tukang
ceriteranya itu benar dan ceritera-nya tidak salah, maka menurut saya,
diperbolehkan.
Dari itu
jagalah dari kedustaan, dari ceritera-ceritera keadaan, yang menunjukkan kepada
banyak kesalahan atau keteledoran, yang menghambat pemahaman orang awam dari
mengetahui maksudnya. Atau menghambatnya dari mengetahui adanya kesalahan, yang
jarang terjadi, yang diikuti dengan yang menutupinya, yang dapat diketahui
kebaikan-kebaikan yang ditutupkan itu. Orang awam berpegang dengan yang
demikian itu, pada segala kealpaan....
dan
kesalahannya. Dan menganggap dirinya dapat dima-'afkan. Dia berasalan, bahwa
hal itu telah diceriterakan yang demikian, dari beberapa syekh terkemuka dan
ulama terkenal. Semua kita terhadap perbuatan ma'syiat, maka tak ragu lagi,
jikalau kita telah berbuat ma'syiat kepada Allah, maka orang-orang yang lebih
besar dari kita telah berbuat ma'syiat.Hal yang tersebut tadi menunjukkan
keberaniannya menghadapi Allah Ta'ala dengan tidak sadar. Maka sesudah menjaga
diri dari dua hal yang ditakuti, maka tidak mengapa dengan demikian. Dan ketika
itu, kembali kepada cerita-cerita yang terpuji dan kepada yang terdapat dalam
Al-Quran dan kitab-kitab hadits yang shahih.
Sebahagian
orang membolehkan membuat cerita-cerita yang menyukakan kepada perbuatan ta'at.
Dan mendakwakan bahwa tujuannya mengajak manusia kepada kebenaran.Itu
sebetulnya bisikan setan karena dalam kebenaran, berkembang kedustaan. Dan
mengenai dzikir kepada Allah Ta'ala dan RasulNya, tidak menfciptakan nasehat
yang tidak mempunyai dasar kebenaran.
Betapa
tidak!!!! Membuat sajakpun tidak disukai dan dipandang yang demikian
membuat-buat. Berkata Sa'ad bin Abi Waqqas ra. kepada anaknya Umar, ketika
mendengar ia bersajak : "Inilah yang membawa aku marah kepadamu. Tidak
akan aku penuhi ke-perluanmu selama-lamanya, sebelum engkau bertobat".
Sedang Umar sebenarnya ada keperluan maka ia datang kepada ayahnya itu. Nabi
صلى الله عليه وسلم.telah bersabda kepada Abdullah bin Rawahah, mengenai sajak
yang terdiri dari tiga kata :إياك والسجع يا ابن رواحة
(Iyyaaka was-saj'a yabna
rawaahah). Artinya :"Awaslah bersajak hai anak Rawahah (1)
Dengan hadits ini,
seolah-olah sajak yang harus diawasi, ialah yang lebih dari dua kata. Karena
itu, tatkala seorang lelaki mengatakan mengenai diat (2) bayi dalam kandungan :
"Bagaimana kah membayar diat orang yang tidak minum, tidak makan, tidak
berteriak dan tidak memekik?
1.Menurut Al-lraqi, ia tidak
memperoleh bunyi yang demikian, tetapi dengan bunyi lain, yang sama maksudnya.
2.Diat : harta yang dibayar
kerana membunuh, yaitu unta atau harganya.
Samakah itu dengan halal
darahnya' lalu Nabi bersabda : أسجع كسجع الأعراب "Adakah sajak seperti
sajak orang-orang Badui Arab! Adapun sya'ir, maka dicela membanyakkannya dalam
pengajaran.
Berfirman Allah Ta'ala :
وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ
الْغَاوُونَ أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ
(Asy syu'araau
yattabi'uhumul ghaawuun. Alam tara-annahum fii kulii waadin yahiimuun).(S.
Asy-Syu'ara, ayat 224-225)
Ertinya :"Dan penyair-penyair itu diikuti oleh
orang-orang jahat. Tidak kah engkau lihat bahwa mereka mengembara disetiap
lembah dengan tak tentu tujuan?".(S. Asy-Syu'ara, ayat 224-225).
Dan
berfirman lagi :
وَمَا
يَنْبَغِي لَهُ إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ
(Wa maa 'allamnaahusy syi'ra
wa maa yanbaghiilah).
Ertinya :"Dan kami tiada
mengajarkan sya'ir kepadanya (Muhammad) dan sya'ir itu tiada patut
baginya" (S. Yaasiin, ayat 69).
Kebanyakan
sya'ir yang dibiasakan oleh juru-juru nasehat, ialah apa yang menyangkut dengan
penyifatan pada kerinduan, keelokan yang dirindukan, senangnya ada hubungan dan
pedihnya berpisah.
Majlis itu, dikunjungi oleh
rakyat banyak yang bodoh-bodoh. Perutnya penuh dengan hawa nafsu, hatinya tidak
terlepas dari pada menoleh kepada rupa yang manis. Dari itu, sya'irnya tidak
bergerak dari jiwanya, kecuali ia terpaut padanya. Maka berkobarlah api hawa
nafsu padanya. Lalu mereka berteriak dan menari nari.
Kebanyakan
yang demikian atau seluruhnya, membawa kepada semacam kerusakan. Dari itu,
tidaklah seyogianya dipakai sya'ir kecuali ada padanya pengajaran atau hikmah
untuk jalan petunjuk dan pelunakan hati.
Bersabda
Nabi صلى الله عليه وسلم:
ن من الشعر لحكمة
(Inna minasy
syi'riiahikmah).
Ertinya
:"Sesungguhnya sebahagian dari sya ir itu mengadung hikmah!"
Jika majlis itu dihadliri
orang-orang tertentu yang mempunyai perhatian kepada ketenggelaman hati dengan
cinta kepada Allah Ta'ala dan tak ada golongan lain dalam majlis tersebut, maka
bagi mereka tak ada melaratnya sya'ir itu, yang dhahiriyahnya menunjukkan
kepada hubungan sesama makhluk. Karena pendengarnya dapat menempatlah apa yang
didengarnya menurut panggilan hatinya, sebagaimana akan diterangkan nanti pada
"Kitab Pendengaran". Dan karena itulah Al-Junaid ra. berbicara kepada
lebih kurang sepuluh orang. Kalau mereka sudah banyak, ia tidak berbicara. Dan
tidaklah pernah sekali-kali yang menghadliri majlisnya sampai dua puluh orang.
Tentang datang serombongan
orang banyak ke pintu rumah Ibnu Salim, lalu dikatakan kepadanya :
"Berbicaralah! Telah datang teman-teman tuan". Ibnu Salim menjawab :
"Tidak! Mereka bukan temanku. Mereka adalah teman-teman majlis. Sesungguhnya
teman-temanku, ialah orang-orang tertentu (orang-orang al-khawash).
Adapun asy-syathah
(do'a-do'a dan kata-kata yang tidak dipahami), maka yang kami maksudkan, ialah
dua jenis perkataan, yang diadakan oleh sebahagian kaum shufi.
Yang pertama, ialah
do'a-do'a yang panjang yang berbentang tentang keasyikan (kerinduan) bersama
Allah Ta'ala dan hubungan yang tidak memerlukan kepada amal dzahiriyah.
Sehingga golongan itu berkesudahan kepada mendakwakan al-ittihad (bersatu
dengan Allah) terangkat hijab, penyaksian dengan melihat Tuhan dan
bercakap-cakap dengan pembicaraan. Lalu mereka mengatakan : "Dikatakan
kepada kami demikian. Dan kami mengatakan demikian".
Mereka
menyerupakan pada yang demikian itu, dengan Husain bin Mansur Al-Hallaj yang
telah dihukum gantung, lantaran diucapkannya kata-kata yang sejenis dengan itu.
Dan mereka membuktikan yang demikian dengan ucapan Al-Hallaj : 'Anal-haqq"
(akulah al-haqq, yakni : yang maha benar, salah satu dari nama Allah Ta'ala).
Dan dengan apa yang
diceritakan dari Abi Yazid Al-Bustami, bahwa Abi Yazid mengatakan :
"Subhani-subhani (maha suci aku maha suci aku)".
Ini adalah semacam
perkataan, yang amat besar bahayanya pada orang awwam. Sehingga segolongan dari
kaum tani meninggalkan pertaniannya dan melahirkan dakwaan seperti yang
tersebut.
Sesungguhnya
perkataan itu dirasakan enak oleh tabiat manusia. Karena padanya membatalkan
amal (tak usah amal lagi), serta mensucikan diri (jiwa) dengan memperoleh
maqam-maqam (derajat-derajat) tinggi dan hal ikhwal yang baik. Maka orang-orang
bodoh tidak lemah dari pada mendakwakan yang demikian bagi diri mereka dan dari
pada menerima kata-kata yang tak berketentuan, yang penuh dengan hiasan
kata-kata.Manakala mereka ditantang dari yang demikian, maka mereka tidak
merasa lemah untuk mengatakan : "Ini adalah tan tangan, yang sumbernya
ilmu dan pertengkaran. Ilmu itu dinding dan pertengkaran itu perbuatan diri.
Dan pembicaraan ini tidak mengisyaratkan, selain dari bathin dengan terbukanya
nur kebenaran".Maka hal yang tersebut dan yang seperti dengan yang
tersebut itu, daripada yang telah beterbangan kejahatannya dalam negeri dan
besar melaratnya pada orang awwam, sehingga orang yang menuturkan dengan
sedikit dari padanya, maka membunuhnya adalah lebih baik pada agama Allah, dari
pada menghidupkan sepuluh daripadanya.
Mengenai
Abi Yazid Al-Bustami ra. yang tersebut di atas, maka tak benar mengenai apa
yang diceriterakan terhadap dirinya.Sekiranya benar ucapan tersebut pernah
terdengar daripadanya, maka adalah itu, ia menceriterakan dari Allah 'Azza wa
Jalla tentang perkataan yang diulang-ulangiNya pada diriNya. Seumpama bila
terdengar ia mengatakan : "lnnanii anallaah, laa ilaaha illaa ana
fa'budnii (Sesungguhnya aku adalah aku itu Allah, tiada yang disembah selain
aku, maka sembahlah aku) (S. Thaha, ayat 14), maka perkataan tersebut hendaklah
dipahamkan, tidak lain daripada pembacaan dari firman Allah Ta'ala.
Yang kedua
: dimaksudkan dari perkataan syathah itu, kata-kata yang tidak dipahami,
tampaknya menarik, dengan susunan yang mengagumkan. Sedang dibalik itu tak ada
faedahnya sama sekali. Tidak dapat dipahami itu, adakalanya oleh yang
mengucapkannya sendiri, karena timbulnya dari gangguan pikiran dan
kekacau-balauan khayalan, disebabkan kurang mendalami maksud kata-kata yang
menarik perhatiannya itu. Dan inilah yang terbanyak!.
Dan
adakalanya dapat dipahami,tetapi tidak sanggup memahaminya dan mendatangkannya
dengan kata-kata yang menunjukkan isi hatinya. Karena kurang berpengetahuan dan
tidak mempelajari cara melahirkan sesuatu maksud dengan susunan kata yang
menarik. Perkataan yang semacam inipun tak ada faedahnya, selain daripada
mengacau-balaukan jiwa, mengganggu pikiran dan membawa keraguan hati. Ataupun
dipahaminya menurut maksud yang sebenarnya, tetapi pemahaman itu didorong oleh
hawa nafsu dan kepentingan diri sendiri.
ersabda Nabi صلى الله عليه
وسلم:
حدث أحدكم قوما بحديث لا
يفقهونه إلا كان فتنة عليهم
(Maa haddatsa ahadukum
qauman bihadiitsiin laa yafqahuunahu illaa kaana fitnatan 'alaihim).
Ertinya :"Tidaklah
seseorang daripada kamu, menerangkan sesuatu hadits (sesuatu persoalan) kepada
segolongan manusia yang tiada memahaminya, selain daripada mendatangkanfitnah
kepada mereka itu
Dan Bersabda Nabi صلى الله
عليه وسلم
كلموا الناس بما يعرفون ودعوا
ما ينكرون أتريدون أن يكذب الله ورسوله
(Kallimunnaasa bimaa
ya'rifuuna wa da'uu maa yankiruuna aturii-duuna an yakdziballaahu wa rasuuluh).
Ertinya : "Berbicaralah
dengan orang banyak dengan kata-kata yang dapat dipahaminya dan tinggalkanlah
persoalan yang ditantang mereka. Adakah kamu bermaksud bahwa berdusta Allah dan
RasulNya
Ini mengenai yang dapat
dipahami oleh yang mengucapkannya sendiri. Tetapi tidak sampai dapat dipahami
oleh otak yang mende-ngamya. Maka betapa pula yang tidak dipahami oleh yang
mengucapkannya sendiri?.Jikalau dipahami oleh yang mengucapkannya tetapi tidak
oleh yang mendengarnya, maka tidak boleh diucapkan.
Berkata Nabi Isa as, :
"Janganlah kamu letakkan ilmu hikmah pada bukan ahlinya maka kamu berbuat
aniaya kepada ilmu hikmah itu. Dan janganlah kamu larang pada ahlinya maka kamu
berbuat aniaya kepada ahlinya itu. Hendaklah kamu seperti seorang tabib yang
penuh kasih sayang, yang meletakkan obat pada tempatnya penyakit Menurut
susunan yang lain,
Sabda Nabi
Isa itu berbunyi : "Barang siapa meletakkan ilmu hikmah pada bukan
ahlinya, maka dia itu orang bodoh. Dan barang siapa melarang pada ahlinya maka
dia itu berbuat aniaya. Ilmu hikmah itu mempunyai hak dan ahlinya. Dari itu
berilah kepada semua yang berhak akan haknya".
Adapun
thammat (pemutaran perkataan-perkataan agama), maka termasuk di dalamnya apa
yang kami sebutkan mengenai syathah. Dan suatu hal lain yang khusus dengan
thammat itu, yaitu pemutaran perkataan-perkataan agama dari dhahirnya yang
mudah dipahami, kepada urusan bathiii yang tidak ada padanya menonjol
faedahnya. Seumpama kebiasaan golongan kebathinan memutar-balikkan maksud.
1.Dirawikan
Al-Bukhari mauquf (terhenti) sampai kepada Ali.
Ini juga
haram dan melaratnya besar. Karena perkataan-perkataan itu apabila diputar dari
tujuan dhahiriahnya, tanpa berpegang teguh padanya, menurut yang dinukilkan
dari Nabi saw. dan tanpa suatu kepentingan yang diperlukan sepanjang petunjuk
akal pikiran, maka yang demikian itu, membawa hilang kepercayaan kepada
perkataan itu sendiri. Dan lenyaplah kegunaan kalam Allah Ta'ala dan kalam
RasulNya صلى الله عليه وسلم Lalu apa yang segera terbawa kepada pemahaman,
tidaklah dapat dipercayai lagi dan yang bathin itu tak ada ketentuan baginya.
Tetapi timbullah pertentangan dalam hati dan memungkinkan penempatan perkataan
itu ke dalam beberapa corak. Ini juga termasuk ke dalam bid'ah yang telah
berkembang dan besar kerugiannya.
Sesungguhnya
tujuan dari orang-orang pembuat thammat itu ialah menciptakan yang ganjil.
Karena jiwa manusia, adalah condong kepada yang ganjil dan merasa enak
memperoleh yang ganjil.
Dengan
cara yang tersebut, sampailah kaum kebathinan itu meruntuhkan semua syari'at,
dengan penta'wilan dhahiriahnya dan menempatkannya menurut pendapat mereka itu
sendiri, sebagaimana telah kami ceriterakan mengenai madzhab-madzhab kaum
kebathinan itu dalam kitab 'Al-Mustadhhari' yang dikarang untuk menolak
golongan tersebut.
Contoh
pemutarbalikan (penta'wilan) golongan thammat itu, di antara lain, kata
setengah mereka, tentang penta'wilan firman Allah Ta'ala :
ذْهَبْ
إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
(Idzhab ilaa fir'auna
innahuu thaghaa) Artinya : "Pergilah kepada Fir'aun itu, sesungguhnya dia
itu durhaka".(S. Thaha, ayat 24).
Bahwa itu adalah isyarat
kepada hatinya. Dan mengatakan bahwa hatilah yang dimaksud dengan Fir'aun itu.
Dan hatilah yang durhaka pada tiap-tiap manusia.
Dan pada firman Allah Ta'ala
:
Lalu perkataan tongkat itu
diputar kepada tiap-tiap sesuatu tempat bersandar dan berpegang selain dari
Allah Ta'ala. Itulah yang harus dicampakkan dan dibuang jauh.
Dan pada sabda Nabi صلى الله
عليه وسلم :
تسحروا فإن في السحور بركة
(Tasabharuu fa-inna fis
suhuuri barakatan).
Ertinya :"Bersahurlah
kamu! Karena pada sahur itu ada berkatnya".
Lalu diputarkan kepada
meminta ampun kepada Tuhan pada waktu sahur, bukan lagi maksudnya makan sahur
itu sendiri Dan contoh-contoh yang lain, di mana mereka memutar-balikkan
Al-Qur'an dari awalnya sampai akhirnya, dari artinya yang dhahir dm dari
penafsirannya, yang diterima dari Ibnu Abbas dan ulama-ulama besar lainnya.
Setengah dari pemutar-balikan
itu, dapat diketahui batilnya dengan terang seumpama meletakkan arti Fir'aun
kepada hati: Karena Fir'aun itu adalah seorang manusia yang bisa dilihat, yang
mutawatir sejarah menyatakan adanya, di mana Nabi Musa as. menyerukannya kepada
agama seperti Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلمmenyerukan Abu Jahal dan Abu
Lahab serta kafir-kafir lain kepada agama Islam. Dan tidaklah Fir'aun itu
sejenis setan atau malaikat yang tidak bisa dilihat dengan pancaindra, sehingga
memerlukan pemutaran pada kata-katanya.
Dan demikian pula membawa
makan sahur kepada meminta ampun pada Tuhan karena Nabi saw. sendiri makan
sahur.
وَأَنْ أَلْقِ عَصَاكَ
Ertinya : "Dan campaklah tongkatmu". (Wa-an
alqi 'ashaaka) (S. Al-Qashash, ayat 31).
Dan bersabda :تسحرو
"Bersahurlah!". هلموا إلى الغذاء المبارك Dan "Marilah kita
kepada makanan yang mengandung berkat ini'".
Semuanya
itu, dapat diketahui dengan berita yang mutawatir dan dapat dipersaksikan
kebatilannya. Sebahagian dapat diketahui dengan berat dugaan. Yaitu yang tidak
dapat dipersaksikan oleh pancaindra.
Semua yang diterangkan tadi
adalah haram hukumnya, menyesatkan dan merusakkan agama rakyat. Tiada satupun
daripadanya diterima dari shahabat, dari tabi'in dan dari Al-Hasan Al-Bashri,
yang bertekun melaksanakan da'wah dan pengajaran kepada rakyat banyak.
Maka bagi sabda Nabi صلى
الله عليه وسلم
من فسر القرآن برأيه فليتبوأ
مقعده من النار
(Man fassaral Qur-aana
bira'yihi falyatabawwa' maq'adahu minan naar).
Ertinya :"Barangsiapa
menafsirkan Al-Quran menurut pendapatnya sendiri maka disediakan untuknya suatu
tempat dari api neraka ",
tiada jelas pengertiannya
selain dari cara inilah! Yaitu maksud dan pendapatnya, adalah menetapkan dan
membuktikan sesuatu, lalu menarik penyaksian Al-Qur'an kepadanya serta membawa
Kitab Suci di luar petunjuk kata-kata, baik menurut bahasanya atau menurut yang
dinukilkan (naqliah).
Tiada seyogialah dipahamkan
dari penjelasan di atas tadi, bahwa Al-Qur'an tidak boleh ditafsirkan, dengan
menggunakan pemahaman yang mendalam dan pemikiran. Karena diantara ayat-ayat
suci yang diterima dari para shahabat dan ulama tafsir itu, ada yang mempunyai
lima, enam dan sampai tujuh pengertian. Dan semuanya itu tidaklah didengar dari
Nabi saw. Kadang-kadang ada yang berlawanan, yang tidak dapat menerima
pengumpulan (disatukan maksud).Maka, dipakailah pemikiran dan pemahaman dengan
maksud yang baik dan mendalam.
ولهذا قال صلى الله عليه وسلم
لابن عباس رضي الله عنه : اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل
Dari itu berdo'alah Nabi
saw. kepada Ibnu Abbas ra. : "Ya Allah Tuhanku! Berilah kepadanya (Ibnu
Abbas) paham dalam agama dan ajarilah dia penta'wilan (penafsiran)
Barang siapa membolehkan
dari golongan thammat, menggunakan pemutar-balikan seperti itu serta
diketahuinya bahwa yang demikian tidaklah yang dimaksud dengan
perkataan-perkataan itu dan mendakwakan bahwa tujuannya ialah mengajak manusia
kepada Tuhan, maka sikap yang demikian itu, samalah halnya dengan orang yang
membolehkan membuat-buat dan mengada-adakan sesuatu terhadap Nabi صلى الله عليه
وسلم. karena berdasarkan kebenaran tetapi tidak diucapkan oleh agama, seperti
orang yang mengada-adakan hadits Nabi صلى الله عليه وسلم. dalam suatu persoalan
yang dipandangnya benar..
Tindakan yang seperti itu,
adalah suatu kedhaliman dan kesesatan serta termasuk ke dalam peringatan Nabi
صلى الله عليه وسلم yang dipahami dari sabdanya :
من كذب علي
متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
(Man kadzaba "alayya muta'ammidan
fal yatabawwa maq'adahu minannaar).
Ertinya : "Barang siapa
berbuat dusta kepadaku dengan sengaja maka ia telah menyediakan tempatnya dari
api neraka".
Bahkan adalah amat besar
kejahatan dengan memutarbalikkan kata-kata itu. Sebab menghilangkan kepercayaan
kepada kata-kata itu sendiri dan melenyapkan jalan untuk memperoleh faedah dan
pemahaman dari Al-Quran keseluruhannya.
Maka tahulah kita betapa
setan itu memutar-balikkan alat-alat da'wah dari ilmu yang terpuji kepada yang
tercela. Semuanya itu adalah perbuatan ulama-ulama jahat dengan menggantikan
maksud kata-kata itu.
Jika anda mengikuti mereka
karena berpegang kepada nama yang termasyhur itu, tanpa memperhatikan kepada
apa yang diketahui pada masa pertama dari Islam, maka adalah anda seumpama
orang yang ingin memperoleh kemuliaan dengan ilmu hikmah, lalu mengikuti siapa
saja yang bemama ahli hikmah. Sedang nama ahli hikmah dipakai untuk tabib,
penyair dan ahli nujum pada masa sekarang. Dan itu adalah disebabkan
kelengahan, dari penukaran kata-kata itu.
1.Dirawikan
Al-Bukhari dari Ibnu Abbas.
2.Dirawikan
Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah, Ali dan Anas.
Perkataan
kelima
HIKMAH.
Nama ahli hikmah (al-hakim)
ditujukan kepada tabib, penyair dan ahli nujum, sehingga juga kepada orang yang
memutar-mutarkan undian pada tangan di tepi jalan besar.
Hikmah ialah suatu hal yang
dipuji Allah Ta'ala dengan firmannya :
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ
يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
(Yu'til hikmata man yasyaa-u
wa man yu'tal hikmata faqad uutiya khairan katsiira).
Ertinya :
"DianugerahiNya Hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya dan barang siaph
dianugerahi hikmah maka dia telah dianugerahi banyak kebajikan ".(S.
Al-Baqarah, ayat 269).
Dan sabda
Nabi صلى الله عليه وسلم
كلمة من الحكمة يتعلمها الرجل
خير له من الدنيا وما فيها
(Kalimatun minal hikmati
yata'allamuharrajulu khairun minaddun-yaa wa maa fiihaa).
Ertinya :"Satu kalimat
dari hikmah yang dipelajari oleh seseorang, adalah lebih baik baginya daripada
dunia serta isinya
Perhatikanlah, apakah yang
diperkatakan tentang hikmah itu dan kemanakah ditujukan! Kemudian bandingkanlah
dengan kata-kata yang lain! Dan jagalah diri dari tertipu dengan keragu-raguan
yang dibuat oleh ulama-ulama jahat! Karena kejahatan mereka kepada agama adalah
lebih besar dari kejahatan setan. Sebab dengan pe-rantaraan ulama-ulama jahat
itu, setan beransur-ansur mencabut agama dari hati orang banyak.
Karena itulah, tatkala
ditanyakan kepada Nabi sawصلى الله عليه وسلم. tentang orang yang paling jahat,
beliau enggan menjawab seraya berdo'a : اللهم اغفر"Allaahumma
ghafran" (Ya Tuhan! Ampunilah!). Sehingga setelah berkali-kali ditanyakan,
lalu beliau menjawab : "Mereka itu ialah ulama jahat هم علماء
السوء(ulamaus su') ".
Maka tahulah sudah anda akan
ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela serta yang meragukan diantara keduanya.
Dan terserahlah kepada anda sendiri untuk memilih, demi kepentingan diri anda
sendiri, mengikuti ulama terdahulu (ulama salaf) atau terpesona dengan penipuan
lalu terpengaruh dengan ulama terkemudian (ulama khalaf).
Segala ilmu yang mendapat
kerelaan dari ulama salaf, sudah tertimbun. Dan apa yang menjadi perpegangan
manusia sekarang, sebahagian besar dari padanya adalah bid'ah yang
diada-adakan.
Benar lah
kiranya sabda Nabi صلى الله عليه وسلم.
بدأ الإسلام غريبا وسيعود
غريبا كما بدأ فطوبى للغرباء فقيل ومن الغرباء قال الذين يصلحون ما أفسده الناس من
سنتي والذين يحيون ما أماتوه من سنتي (Bada-allslaamu ghariiban wa saya uudu
ghariiban kamaa bada'a fa-thuubaa lilghurabaa-i).Ertinya :"Mulanya Islam
itu adalah asing dan akan kembali asing seperti semula. Maka berbuat baiklah
kepada orang-orang asing itu!"
Maka ditanyakan kepada Nabi
صلى الله عليه وسلم : "Siapakah orang-orang asing itu?".
Nabi menjawab : "Mereka
yang memperbaiki apa yang telah dirusakkan manusia dari sunnahku dan mereka
yang menghidupkan apa yang telah dimatikan manusia dari sunnahku".
Pada hadits yang lain
tersebut :
هم المتمسكون بما أنتم عليه
اليوم
Orang-orang asing itu,
berpegang teguh dengan apa yang kamu pegang sekarang".
Pada hadits lain lagi
tersebut :
الغرباء ناس قليل صالحون بين
ناس كثير ومن يبغضهم في الخلق أكثر ممن يحبهم
"Orang-orang asing itu
adalah manusia yang sedikit jumlahnya, orang-orang baik diantara manusia
banyak. Yang memarahi mereka lebih banyak daripada yang mencintainya".
Ilmu-ilmu itu telah menjadi
asing. Orang yang mengingatinya dimaki.
Karena itu, berkatalah
Ats-Tsuri ra, : "Apabila engkau melihat orang 'alim itu banyak teman maka
ketahuilah bahwa dia itu bercampur. Karena jika kebenaran yang dikemukakannya
maka dia akan dimarahi".
Bab 3 : Tercelanya Ilmu Yang Tercela
Bab ketiga : Ilmu yang dianggap oleh
orang awwam, terpuji dan sebenarnya tidak. Padanya penjelasan segi yang
menyebab-kan sebahagian ilmu itu menjadi tercela dan penjelasan penggantian
nama-nama ilmu, yaitu : Fiqih, Ilmu, Tauhid, Tadzkir dan Hikmah.
Dan penjelasan batas
terpuji dan batas tercela dari ilmu-ilmu syari'at.
PENJELASAN SEBAB
TERCELANYA ILMU YANG TERCELA
Mudah-mudahan anda mengatakan
bahwa ilmu, ialah mengetahui sesuatu, menurut yang sebenarnya. Dan ilmu itu
adalah salah satu daripada sifat Allah Ta'ala. Maka bagaimanakah sesuatu itu
menjadi ilmu dan bagaimanakah ia menjadi ilmu yang tercela?
Ketahuilah kiranya, bahwa
ilmu itu tidaklah tercela karena ilmu itu sendiri. Tetapi tercelanya adalah
pada hak manusia, karena salah satu dari tiga sebab :
Sebab Pertama :
Adalah ilmu itu membawa
kepada sesuatu kemelaratan. Baik bagi yang mempunyai ilmu itu sendiri atau bagi
orang lain seumpama tercelanya ilmu sihir dan mantera-mantera.
Itu memang sebenarnya,
karena diakui oleh Al-Qur'an yang demikian. Dan ilmu itu menjadi sebab yang
membawa kepada perceraian diantara suami isteri. Rasulullah صلى الله عليه وسلم
telah pemah disihir orang dan sampai sakit karenanya (1). Maka malaikat Jibril
as. datang menyampaikan peristiwa itu kepada Nabi saw. dan mengambil benda
sihir itu dari bawah batu pada dasar sumur.
Sihir itu adalah semacam
keadaan, yang diambil dari pengetahuan dengan khasiat benda-benda, disertai
dengan hitungan tentang terbit bintang-bintang. Dari benda-benda itu diperbuat
suatu boneka menurut bentuk orang yang disihirkan. Dan diintip suatu waktu
tertentu dari terbit bintang-bintang dan disertai pembacaan kalimat-kalimat
yang berasal dari kufur dan keji, yang menyalahi syari'at. Dan dengan
kalimat-kalimat itu, sampai kepada meminta tolong kepada setan-setan.
Dari keseluruhan itu, dengan
hukum kehendak Allah Ta'ala di luar kebiasaan, terjadilah hal-hal yang luar
biasa pada diri orang yang disihirkan.
Dan mengetahui sebab-sebab
tersebut dari segi dia itu pengetahuan, tidaklah tercela. Tetapi tidaklah dia
itu membawa kebaikan, selain daripada mendatangkan kemelaratan kepada makhluk
Tuhan.
Jalan kepada kejahatan
adalah kejahatan. Maka itulah sebab-nya, ilmu sihir itu menjadi ilmu yang
tercela. Bahkan orang yang mengikuti seorang aulia Allah untuk dibunuhnya, di
mana aulia itu sudah bersembunyi daripadanya, pada suatu tempat yang terjamin,
apabila orang dzalim menanyakan tempat aulia itu, maka tidak boleh
memberitahukannya tetapi wajib berdusta.
Menerangkan tempat
persembunyian aulia itu, adalah menunjuk dan memfaedahkan pengetahuan tentang
sesuatu, menurut yang sebenarnya. Tetapi itu tercela, sebab membawa kepada
kemelaratan.
Sebab Kedua :
Bahwa ilmu itu menurut
kebiasaan, memberi melarat kepada yang empunya ilmu itu sendiri, seperti ilmu
nujum.
Ilmu nujum itu sendiri tidak
tercela, sebab dia terbagi dua :
1. Bahagian hisab. Al-Quran
sudah menerangkan bahwa perjalanan matahari dan bulan itu dengan hisab.
Berfirman Allah Ta'ala :
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ
بِحُسْبَانٍ
(Asy-syamsu wal qamaru
bihusbaan).
Ertinya :"Matahari dan
bulan itu beredar menurut hisab (perhitungan).(S. Ar-Rahman, ayat 5)
Dan firman Allah Ta'ala :
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ
مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ
(Wal qamara qaddarnaahu
manaazila hattaa 'aada kal-'urjuunil qadiim).
Ertinya :"Kami tentukan
bulan itu beberapa tempat tertentu sampai kembali dia seperti mayang yang sudah
tua ". (S. Yaasiin, ayat 39).
2. Hukum-hukum dan hasilnya
kembali kepada membuat dalil atas segala kejadiah dengan sebab-musababnya.
Yaitu, menyerupai dengan cara dokter membuat dalil dengan detakan jantung
kepada apa yang akan terjadi dari penyakit. Yakni mengetahui tempat berlakunya
sunnah Allah dan adat kebiasaanNya pada makhlukNya.
Tetapi ilmu tadi dicela
agama. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
( إذا ذكر القدر فأمسكوا وإذا
ذكرت النجوم فأمسكوا وإذا ذكر أصحابي فأمسكوا )
(Idzaa dzukiral qadaru
fa-amsikuu wa idzaa dzukiratin nujuumu fa-amsikuu wa idzaa dzukira ashhaabii
fa-amsikuu).
Ertinya :"Apabila
disebut taqdir, maka peganglah! Apabila disebut bintang maka peganglah! Dan
apabila disebut shahabatku, maka peganglah!". (1.Dirawikan Ath-Thabrani
dari Ibnu Mas'ud, dengan isnad baik.)
Dan bersabda Nabi صلى الله
عليه وسل:
(أخاف على أمتي بعدي ثلاثا
حيف الأئمة والإيمان بالنجوم والتكذيب بالقدر)
(Akhaafu 'alaa ummatii
ba'dii tsalaatsan : haiful a-immati wal iimaanu binnujuumi wat-takdziibu bil
qadari).
Artinya :"Aku takut
atas ummatku sesudahku tiga perkara : kedhaliman imam-imam, percaya kepada bintang-bintang
dan pendustaan kepada taqdir.
Berkata Umar bin
Al-Khathtbab ra. :
"Pelajarilah dari
bintang-bintang itu, apa yang dapat menunjukkan jalan kepadamu didarat dan
dilaut, kemudian berpeganglah kepada pengetahuan itu!".
Dilarang pengetahuan tersebut
dari tiga segi:
1: Bahwa ilmu itu memberi
melarat kepada kebanyakan orang. Sebab apabila diterangkan kepada mereka bahwa
hal-hal itu terjadi adalah akibat perjalanan bintang-bintang, lalu tumbuhlah
anggapan dalam hati mereka bahwa bintang-bintang itu dapat memberi bekas. Dan
bahwa bintang-bintang itu Tuhan-Tuhan pengatur, karena dia itu dzat mulia di
langit. Dan besarlah kesannya dalam hati, lalu kekallah hati menoleh kepadanya.
Dan hati itu melihat kebaikan dan kejahatan itu dilarang atau diharap dari
pihak bintang-bintang itu. Lalu terputuslah dari hati ingatan kepada Allah
Ta'ala. Orang yang lemah imannya menunjukkan pandangan-nya kepada
perantara-perantara. Seorang berilmu yang mendalam, memandang bahwa matahari,
bulan dan bintang itu menuruti perintah Allah Ta'ala.
Pandangan seorang yang lemah
iman, kepada adanya cahaya matahari sesudah terbit, adalah seumpama semut, jika
dijadikan baginya akal dan dia berada di atas secarik kertas, lalu memandang
kepada kehitaman tulisan yang terus membarii, maka dia beri'tikad bahwa itu
perbuatan pena dan tidak meningkat pandangannya kepada memperhatikan anak jari.
Kemudian dari jari, kepada tangan, kemudian kepada kemauan yang menggerakkan
tangan itu. Kemudian dari tangan kepada penulis itu sendiri yang bertenaga dan
berkemauan. Kemudian dari penulis itu kepada Yang Menjadikan tangan, kemampuan
dan kemauan.
Kebanyakan pandangan manusia
terbatas pada sebab-sebab yang dekat, yang di bawah, terputus dari peningkatan
kepada yang menyebabkan sebab-sebab itu.Inilah salah satu sebab pejarangan ilmu
nujum.
2.Bahwa keputusan-keputusan
ilmu nujum itu, adalah terkaan semata-mata. Tidaklah diketahui mengenai hak
diri seseorang baik secara yakin atau berat dugaan. Maka keputusan dari nujum
itu, adalah keputusan dengan kebodohan.Maka adalah tercelanya di atas dasar
ini, dari segi bahwa ilmu nujum itu kebodohan. Tiada ia suatu ilmu
pengetahuan.Adalah yang demikian itu suatu mu'jizat bagi Nabi Idris as. menurut
yang diriwayatkan. Ilmu nujum itu telah lenyap, tersapu dan terhapus.
Apa yang kebetulan benar
terjadi dari ahli nujum itu secara luar biasa, maka itu adalah suatu kebetulan.
Karena kadang-kadang muncul di atas sebagian sebab-sebab. Dan tdk. terjadi
akibat di bela-kang sebab-sebab tadi, melainkan sesudah memenuhi banyak sya-rat-syarat,
yang tidak sanggup tenaga manusia mengetahui hakikatnya. Jika sesuai, bahwa
Allah Ta'ala mentakdirkan sebab-sebab yang masih ada, maka terjadilah yang
benar. Jika tidak ditakdirkan oleh Allah Ta'ala, maka salahlah dia.
Yang demikian itu, adalah
seperti terkaan orang bahwa langit akan menurunkan hujan tatkala dilihatnya
awan tebal berkumpul dan berarak dari gunung-gunung. Lalu keraslah dugaannya,
bahwa hujan akan turun. Dan kadang-kadang siang akan panas dengan matahari dan
mendung itu hilang.Kadang-kadang terjadi sebaliknya. Semata-mata mendung belum
cukup untuk mendatangkan hujan. Dan sebab-sebab yang masih ada, tidak
diketahui.
Begitu pula terkaan nakhoda
bahwa kapal akan selamat, berpegang kepada apa yang diketahuinya dari kebiasaan
tentang angin. Dan angin itu mempunyai banyak sebab yang tersembunyi, yang
tidak diketahuinya. Sekali ia betul pada terkaannya dan lain kali ia salah. Dan
karena sebab inilah, dilarang orang yang kuat imannya dari ilmu nujum.
3.Bahwa tak ada faedahnya
ilmu nujum itu. Sekurang-kurahg keadaannya, ialah terperosok ke dalam perbuatan
yang sia-sia, yang tak perlu dan membuang-buang umur yang amat berharga bagi
manusia, pada yang tak berfaedah. Itulah suatu kerugian yang tak berkesudahan.
Rasulullah صلى الله عليه
وسلم. lalu dekat seorang laki-laki dan orang banyak berkumpul padanya.
Maka bertanya Nabi صلى الله
عليه وسلم : "Siapa orang ini?".
Menjawab orang banyak :
"Orang yang amat 'alim".
"Tentang apa?",
tanya Nabi صلى الله عليه وسلم.
"Tentang sya'ir dan
keturunan orang-orang Arab", sahut mereka.
Maka sahut Nabi صلى الله
عليه وسلم
ما هذا فقالوا رجل علامة فقال
بماذا قالوا بالشعر وأنساب العرب فقال علم لا ينفع وجهل لا يض ر
"Ilmu yang tak
bermanfa'at dan bodoh yang tak memberi melarat".
Bersabda Nabiصلى الله عليه
وسلم
إنما العلم آية محكمة أو سنة
قائمة أو فريضة عادلة
(Innamal 'ilmu aayatun
muhkamatun au sunnatun qaaimatun au fariidlatun 'aadilah).
Ertinya : "Sesungguhnya
ilmu itu adalah ayat yang kokoh, atau sunnah yang tegak atau fardlu yang
adil".
Jadi, turut campur dalam
ilmu nujum dan yang serupa dengan ilmu nujum, adalah menghadang bahaya dan
terperosok ke dalam kebodohan, yang tak ada gunanya. Apa yang ditaqdirkan,
itulah yang terjadi. Menjaga diri dari padanya, adalah tidak mungkin. Kecuali
ilmu kedokteran, maka ilmu ini diperlukan. Kebanyakan dalil-dalilnya, dapat
diselidiki. Dan kecuali juga ilmu menta'birkan mimpi, maka walaupun dia
merupakan terkaan, tetapi adalah sebahagian dari empat puluh enam bahagian dari
kenabian dan tak ada bahaya padanya.
Sebab Ketiga :
Terjun ke dalam ilmu, yang
tidak memberi faedah kepada orang itu dari ilmunya. Ilmu yang semacam itu
adalah tercela terhadap orang itu, seperti dipelajarinya ilmu yang halus-halus
sebelum yang kasar-kasar, dipelajarinya ilmu yang tersembunyi sebelum ilmu yang
terang dan seperti diperbincangkannya tentang rahasia keTuhanan
(al-asroril-ilahiyah).
Karena para filosuf dan
ulama ilmu kalam telah tampil pada ilmu-ilmu itu. Dan mereka tidak berdiri
sendiri dalam hal itu. Hanya yang dapat berdiri sendiri, memperkatakan
al-asroril-ilahiyah dan mengetahui jalan-jalan sebahagian daripadanya, ialah
Nabi-Nabi dan aulia-aulia.
Maka wajiblah dilarang orang
banyak membahas tentang al-asroril-ilahiyah dan dikembalikan mereka kepada yang
telah diucapkan oleh syari'at. Yang demikian itu mencukupilah untuk orang yang
mendapat taufiq.
Berapa banyak orang yang
terjun ke dalam ilmu pengetahuan dan memperoleh kemelaratan. Jikalau tidaklah
ia terjun ke dalam ilmu pengetahuan itu, niscaya adalah halnya lebih baik dalam
agama, daripada apa yang telah terjadi padanya.
Dan tak dapat dibantah,
adanya ilmu yang mendatangkan melarat bagi sebahagian manusia, seumpama
melaratnya daging burung dan beberapa macam kuweh yang enak rasanya, kepada
bayi yang masih menyusu. Bahkan banyak orang, yang berguna baginya kebodohan
dalam beberapa hal.
Menurut ceritera, bahwa
sebahagian orang mengadukan halnya kepada seorang tabib akan kemandulari
isterinya. Wanita itu tidak beranak. Maka tabib itu memeriksa denyut uratnadi.
Lalu berkata : "Tak ada gunanya engkau diberikan obat beranak. Sebab
engkau akan mati, sampai empat puluh hari ini. Denyut urat nadimu menunjukkan
yang demikian".
Maka gemetarlah wanita itu
dengan ketakutan yang sangat dan susahlah kehidupannya. Dikeluarkannyalah
hartanya, dibagi-bagikan dan diwasiatkan. Tinggallah ia tidak makan dan tidak
mi-num, sehingga berlalulah masa itu. Dan wanita itu tidak mati. Maka datanglah
suaminya kepada tabib dan menanyakan, mengapa isterinya tidak mati. Maka
menjawab tabib "Aku sudah tahu yang demikian. Sekarang bersetubuhlah!. Ia
akan beranak".
Mengapa begitu?", tanya
si suami.
Menjawab tabib : "Aku
lihat dia sangat gemuk, lemak telah menutupi mulut rahimnya. Aku tahu, bahwa
dia tidak akan kurus, selain dengan takut kepada mati. Maka aku takutkan dia
dengan demikian, sehingga dia kurus. Dan hilanglah halangan dari
beranak".Maka ini memberitahukan engkau kepada merasakan bahaya sebahagian
pengetahuan. Dan memberi pemahaman kepada engkau pengertian, sabda Nabi صلى
الله عليه وسلم
نعوذ بالله من علم لا ينفع
(Na'uudzu billaahi min
'ilmin laa yanfa').
Ertinya :"Kita
berlindung dengan Allah Ta'ala dari ilmu yang tidak bermanfa'at".
Maka ambillah ibarat dengan
ceritera ini! Janganlah kiranya anda menjadi penyelidik dari ilmu yang dicela
Agama dan dilarang daripadanya! Dan haruslah mengikuti para shahabat Nabi saw.
dan berpeganglah kepada Sunnah! Keselamatan adalah dengan mengikuti jejak Nabi.
Dan bahaya adalah dalam membahas beberapa perkara dan berdiri sendiri dalam hal
itu.
Janganlah diperbanyak
membanggakan diri dengan pendapat sendiri, akal pikiran sendiri, dalil sendiri
dan keterangan sendiri dengan mendakwakan : "Bahwa aku mengadakan
pembahasan tentang hal-hal itu, untuk aku ketahui yang sebenarnya".
Manapun kemelaratan yang
timbul dalam pemikiran mengenai ilmu pengetahuan, maka kemelaratannya yang
kembali kepadamu adalah lebih besar. Berapa banyak hal yang engkau perhatikan,
lalu menimbulkan kemelaratan oleh perhatian itu, yang hampir mencelakakan kamu
di akhirat, kalau tidaklah rahmat Tuhan datang membelainya.
Ketahuilah! Sebagaimana
seorang tabib yang ahli, mengetahui segala pengobatan, di mana menjauhkan diri
daripadanya, orang yang tak mengetahuinya, maka demikian pula para Nabi, tabib
hati dan para ulama, yang tahu sebab-sebab hidup keakhiratan. Dari itu,
janganlah terlalu berpegang teguh kepada sunnah mereka dengan akal pikiranmu,
maka kamu akan binasa!
Berapa banyak orang yang
terkena suatu halangan pada anak jari tangannya. Lalu akal pikirannya
menghendaki untuk memicit anak jari itu. Sehingga diberitahukan oleh tabib yang
ahli, bahwa obatnya adalah tapak tangan itu dipicit dari bahagian lain dari
badan. Orang itu tidak mau menerimanya, karena ia tidak mengetahui percabangan
urat dan pertumbuhannya serta cara perlipatannya pada tubuh. Maka begitu juga
urusan pada jalan akhirat, pada yang halus-halus dari sunnah agama dan
adab-adabnya. Dan mengenai aqidahnya yang menjadi ibadah manusia, mengandung
rahasia dan isi yang halus-halus, yang tak sanggup keluasan akal manusia dan
kekuatannya mengetahuinya. Sebagaimana pada khasiat batu-batu ada hal-hal yang
ajaib, yang tak sampai ilmu tukangnya ke sana. Sehingga tidak ada orang yang
mengetahui sebab, maka besi berani itu menarik besi biasa.
Maka keheranan dan
keganjilan pada aqidah dan amal, dan menggunakannya untuk menjernihkan,
membersihkan, mensucikan, mengadakan perbaikan bagi hati (jiwa) untuk meningkat
tinggi di samping Allah Ta'ala dan membawanya bagi anugerah kemurahan Nya,
adalah lebih banyak dan lebih besar dari apa yang pada obat-obat dan jamu-jamu.
Sebagaimana tak sampai akal
manusia, mengetahui kegunaan obat-obatan, serta percobaan adalah jalan
kepadanya, maka akal manusiapun tak sampai untuk mengetahui apa yang
bermanfa'at pada hidup akhirat, sedang percobaan tak ada jalan ke sana. Hanya
adalah percobaan berjalan ke akhirat, kalau pulanglah kepada kita beberapa
orang yang telah mati.Lalu menerangkan kepada kita, amal perbuatan yang
diterima, yang bermanfa'at, yang mendekatkan kepada Allah Ta'ala di sisiNya dan
dari amal yang menjauh-kan daripadaNya.
Begitu pula, mengenai
aqidah. Dan yang demikian itu, termasuk yang tak usah diharapkan. Dari itu,
cukuplah kiranya bagi anda dari kegunaan akal, untuk dapat menunjukkan anda,
kepada membenarkan Nabi saw. dan memahamkan anda segala sumber
isyarat-nya.Kemudian, singkirkanlah akal itu dari penggunaannya dan tetaplah
mengikuti Nabi, di mana anda akan selamat dengan jalan itu.
Dari itu Nabi صلى الله عليه
وسلمbersabda :
إ ن من العلم جهلا وإن من
القول عيا
(Inna minal 'ilmi jahlan wa
inna minal qauli 'iyyan).
Ertinya :"Bahwa
sebahagian dari ilmu itu, kebodohan dan sebahagian dari perkataan itu tidak
menjelaskan". Yang dimaklumi, bahwa ilmu itu tidaklah kebodohan, tetapi
ilmu itu membekas akan pembekasan kebodohan, pada mendatangkan kemelaratan.
Maka Nabi صلى الله عليه
وسلمbersabda pula :
قليل من التوفيق خير من كثير
من العلم
(Qaliilun minat taufiiqi
khairun min katsiirin minal 'ilmi).
Ertinya :"Sedikit
taufiq Tuhan adalah lebih baik dari banyak ilmu".
Nabi Isa as. pernah berkata
:
"Alangkah
banyaknyapohon kayu dan tidaklah semuanya berbuah. Alangkah banyaknya
buah-buahan dan tidaklah semuanya baik dan alangkah banyaknya ilmu pengetahuan
dan tidaklah semuanya berguna
Penjelasan : Apa yang
digantikan dari kata-kata ilmu.
Ketahuilah!!! Bahwa sumber
yang menimbulkan keserupaan ilmu yang tercela dengan ilmu syari'at ialah
penyelewengan nama-nama yang terpuji, penggantiannya dan pemindahannya, dengan
maksud-maksud yang merusakkan kepada pengertian-pengertian yang tidak
dikehendaki oleh orang-orang shaleh terdahulu dan abad pertama.
Iaitu lima perkataan :
fiqih, ilmu, tauhid, tadzkir dan hikmah.
Inilah nama-nama yang
terpuji. Orang-orang yang bersifat dengan nama-nama tadi, adalah orang-orang
yang berkedudukan ting-gi dalam agama. Tetapi sekarang nama-nama itu sudah
dialihkan kepada pengertian-pengertian yang tercela. Sehingga hati, lari dari
celaan orang-orang yang bersifat dengan pengertian-pengertian itu, karena
terkenalnya pemakaian nama-nama itu kepada mereka.
Perkataan Pertama :
FIQIH.
Telah diselewengkan
pemakaiannya secara tertentu. Tidak dengan dipindahkan dan diputarkan. Karena
mereka telah menentukan nya pemakaian fiqih itu, kepada pengetahuan furu'
(cabang) agama, yang ganjil mengenai fatwa, mengetahui sebab-sebab yang
mendalam dari fatwa itu, memperbanyak pembicaraan padanya, menghafal kata-kata
yang berhubungan dengan fatwa itu.Maka orang yang amat mendalaminya dan banyak
berbuat kepadanya, disebut "al-afqah "(yang terahli dalam ilmu
fiqih).
Pada masa pertama dahulu,
adalah nama fiqih itu ditujukan kepada pengetahuan jalan akhirat, kepada
mengenai penyakit jiwa yang halus-halus dan yang merusakkan amal, teguh
pendirian dengan pandangan hina kepada dunia, sangat menuju perhatian kepada
nikmat akhirat dan menekankan ketakutan kepada hati.
Dibuktikan kepada yang
demikian itu oleh firman Allah 'Azza wa Jalla :
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
(Liyatafaqqahuu fid diini wa
liyundziruu qaumahum idzaa raja'uu ilaihim).
Ertinya :"”Untuk
mempelajari (berfiqih) dalam agama dan memberi peringatan kepada kaumnya
apabila telah kembali (dari menuntut ilmu) kepada mereka". (التوبة: 122)
Ilmu yang menghasilkan
peringatan dan penakutan, itulah FIQIH namanya. Bukanlah fiqih itu
mencabang-cabang soal talak, soal pembebasan perbudakan, li'an, pesanan barang
dan sewa-menyewa. Yang demikian itu, tidaklah mombuahkan peringatan dan
penakutan. Bahkan bila terus menerus bergelimang dengan itu, membawa kepada
hati kasar, mencabut ketakutan dari hati, sebagaimana kita saksikan sekarang
pada orang-orang yang menjurus demikian.
Berfirman Allah Ta'ala :
لَهُمْ قُلُوبٌ لا
يَفْقَهُونَ بِهَا
(Lahum quluubun laa
yafqahuuna bihaa).
Ertinya :"Bagi mereka
hati yang tidak memahami (berfiqih) dengan hati itu"(S. Al-A'raf, ayat
179).
Dimaksudkan dengan fiqih
ialah, pengertian-pengertian keimanan, bukan mengeluarkan fatwa.Demi umurku,
bahwa kata-kata "al-fiqh"dan "al-fahm" menurut bahasa
adalah dua nama (ism) dengan satu arti. Dan dipergunakan demikian, menurut
kebiasaan pemakaian, baik dahulu atau sekarang.
Berfirman Allah Ta'ala :
لأنْتُمْ أَشَدُّ رَهْبَةً
فِي صُدُورِهِمْ مِنَ اللَّهِ
(La-antum asyaddu rahbatan
fii shuduurihim minallaah).
Ertinya :"Kamu sangat
ditakuti dalam hati mereka, lebih dari Tuhan".(S. Al-Hasyr, ayat 13).
Maka dibawa oleh kurang
takutnya kepada Allah dan besar penghormatannya akan kekuasaan makhluk,
sehingga menjadi kurangnya faham (fiqih).
Lihatlah, adalah itu natijah
tidak menghafal pencabangan fatwa-fatwa atau natijah ketiadaan ilmu yang kami
terangkan itu. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم علماء فقهاء "Ulama,
hukama, dan fuqaha (para ahli fiqih)", kepada mereka yang diutuskan
kepadanya.
Ditanyakan Sa'ad bin Ibrahim
Az-Zuhri ra. : "Siapakah diantara penduduk Madinah yang lebih paham
(fiqih)?". Beliau menjawab : "Yang lebih kuat taqwanya kepada Allah
Ta'ala". Seakan-akan beliau memberi isyarat kepada hasil dari paham
(fiqih). Dan taqwa adalah hasil dari ilmu bathin. Bukan hasil dari fatwa dan
hukum.
Bersabda Nabi صلى الله عليه
وسلم :
"Apakah aku terangkan
kepadamu orang ahli paham (fiqih) yang sebenarnya?".
"Ya!", jawab
mereka.
Maka bersabda Nabi صلى الله
عليه وسلم saw. :ألا أنبئكم بالفقيه كل الفقيه قالوا بلى قال من لم يقنط الناس من
رحمة الله ولم يؤمنهم من مكر الله ولم يؤيسهم من روح الله ولم يدع القرآن رغبة عنه
إلى ما سواه "Orang yang tidak memutus-asakan manusia dari rahmat Tuhan,
yang tidak menyatakan mereka aman dari kutuk Tuhan, yang tiada memutuskan asa
mereka dari kasih-sayang Tuhan, yang tidak meninggalkan Al-Quran lantaran gemar
kepada yang lain".
Sewaktu Anas bin Malik
meriwayatkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
لأن أقعد مع قوم يذكرون الله
تعالى من غدوة إلى طلوع الشمس أحب إلي من أن أعتق
أربع رقاب
(La-an aq'uda ma'a qaumin
yadzkuruunallaah ta'aalaa min ghud-watin ilaa thuluu'isy-syamsi ahabbu ilayya
min an a'tiqa arba'a riqaabin).
Ertinya :"Sesungguhnya
aku lebih suka duduk bersama kaum yang mengingati Allah Ta'ala dari pagi sampai
terbit matahari besok, daripada membebaskan empat orang budak".
Berkata pengarang kitab
Al-Quut : "Maka berpalinglah Anas kepada Zaid Ar-Raqqasyi dan Ziyad
An-Numairi, seraya berkata :"Tidaklah majlis mengingati Tuhan (berdzikir)
itu seperti majlis ini, di mana salah seorang dari kamu menceriterakan pengajarannya
kepada teman-temannya dan membawa hadits hadits. Sesungguhnya kami duduk lalu
mengingati iman, memahami Al-Qur'an dan berpaham (berfiqih) dalam agama serta
menghitung ni'mat Allah Ta'ala kepada kami, dengan penuh pemahaman
(fiqih)".Di sini dinamakan pemahaman AI-Quran dan penghitungan nikmat itu
berfiqih (tafaqquh).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
(لا يفقه العبد كل الفقه حتى يمقت الناس في ذات الله وحتى يرى القرآن وجوها
كثيرة)
(Laa
yafqahul 'abdu kullal fiqhi hattaa yamqutan naasa fii dzaatil-laahi wa hattaa
yaraa lil Qur-aani wujuuhan katsiirah).
Ertinya :"Tidaklah seorang itu
berfiqih sebenar-benarnya sebelum mengecam manusia untuk kesucian Dzat Allah
Ta'ala dan memandang Al-Qur'an dari segala segi".
Dirawikan
pula suatu hadits mauquf pada Abid Darda' ra. dengan katanya : "Kemudian
ia menghadapkan kepada dirinya sendiri lalu mengecamnya pula secara lebih hebat
lagi".
Bertanya
Farqad As-Sabakhi kepada Al-Hassan mengenai suatu hal. Maka menjawab Al-Hasan,
lalu berkata Farqad "Kaum fuqaha (ahli fiqih) itu berselisih pendapat
dengan kamu".
Kemudian
Al-Hasan ra. berkata : "Wahai Farqad yang dikasihi! Adakah kamu melihat
seorang ahli fiqih itu dengan matamu sendiri? Bahwa seorang ahli fiqih itu
adalah zuhud di dunia, gemar ke akhirat, bermata hati kepada agama, kekal
beribadah kepada Tuhannya, Wara' mencegah dirinya dari mempercakapkan
kehormatan orang muslimin, yang memelihara dirinya dari harta mereka dan yang
menasehati jama'ah mereka".
Dalam
keseluruhannya tadi, Al-Hasan tidak menyebut penghafal furu'-furu' fatwa. Dan
saya tidak mengatakan bahwa nama "fiqih" itu tidaklah pokok bahasa
dan tidaklah untuk fatwa mengenai hukum-hukum dhahir. Tetapi ada, secara umum
dan keseluruhan atau secara diikutsertakan. Maka adalah pemakaian mereka
kata-kata "fiqih" kepada ilmu akhirat itu, lebih banyak.
Maka
nyatalah dari pengkhususan tersebut, meragukan kebangkitan manusia untuk
memakai perkataan "fiqih" semata-mata kepada yang tadi dan berpaling
dari ilmu akhirat dan perihal hati. Dan mereka mendapat untuk yang demikian
penolong dari tabiat manusia. Karena ilmu bathin itu tidak terang dan
mengerjakannya sukar. Dan memperoleh kedudukan dalam pemerintahan, kehakim-an,
kemegahan dan kekayaan itu sulit dengan ilmu bathin. Maka setan memperoleh
jalan untuk membaikkan yang tersebut, di dalam hati dengan jalan mengkhususkan
nama "fiqih", yang menjadi nama terpuji itu pada syari'at.
Perkataan Kedua :
ILMU.
Perkataan ini dipakai untuk
pengetahuan mengenai dzat, ayal-ayat dan perbuatan Allah Ta'ala, terhadap hamba
dan makhlukNya. Sehingga ketika Umar ra. wafat, maka berkata Ibnu Mas'ud ra. :
"Sesungguhnya telah mati sembilan persepuluh ilmu".
Perkataan "ilmu"
itu dijadikan isim ma'rifah dengan Alif dan Lam, menjadi "al-ilmu".
Lalu diberi penafsiran, "mengetahui tentang Allah Subhanahu wa
Ta'ala". Kemudian diputarkan pula oleh mereka perkataan "al-ilmu"
itu dengan pengkhususan. Sehingga dalam banyak hal, diperkenalkannya orang
berilmu, ialah orang yang asyik berdebat melawan musuh dalam masalah-masalah
fiqih dan lainnya. Lalu dikatakan orang itulah alim yang sebenarnya.
Dia seorang tokoh ilmu
pengetahuan. Orang-orang yang tidak berbuat demikian dan tidak menghabiskan
waktunya untuk itu, dihitung orang lemah dan tidak dihitung dalam bilangan ahli
ilmu.
Ini juga, suatu tindakan
dengan pengkhususan. Akan tetapi apa yang tersebut tentang kelebihan ilmu dan
ulama, adalah keba-nyakannya ditujukankepada ulama yang tahu akan Allah, hukum
Nya, perbuatan dan sifat-sifatNya. Dan sekarang, secara mutlak dipakai, kepada
orang yang tidak tahu sedikitpun ilmu agama, selain dari pertemuan-pertemuan
perdebatan dalam masalah-masalah khilafiah. Dengan itu, lalu dia terhitung
termasuk ulama besar, serta bodohnya mengenai tafsir, hadits, ilmu madzhab dan
lainnya. Dan yang demikian itu, menjadi sebab, yang membinasakan orang banyak
dari penuntut-penuntut ilmu.
Perkataan Ketiga :
TAUHID.
Perkataan ini sekarang
dipakai untuk menyusun kata-kata, mengetahui cara bertengkar, mengetahui jalan
menjatuhkan lawan, sanggup mendesaknya dengan membanyakkan
pertanyaan-pertanyaan, dapat membangkitkan keragu-raguan dan dapat menyusun
dalil-dalil yang pasti, sehingga oleh golongan-golongannya sendiri, memberinya
gelar, ahli adil dan ahli tauhid.
Para ahli ilmu kalam,
disebut ulama tauhid, padahal seluruh apa yang khusus perbuatan ini, tidak
terkenal sedikitpun pada masa pertama dari agama Islam. Bahkan sebahagian
mereka, adalah sangat menentang terhadap orang yang membuka pintu pertengkaran
dan perdebatan.
Adapun isi Al-Qur'an, dari
dalil-dalil yang terang, mudah ditangkap oleh pikiran demi mendengarnya, maka
adalah semua orang mengetahuinya. Pengetahuan dengan Al-Qur'an adalah merupakan
ilmu pengetahuan seluruhnya.Tauhid pada mereka adalah ibarat suatu hal yang
tidak dipahami oleh kebanyakan ahli ilmu kalam. Kalaupun dipahaminya, tetapi
mereka tidak bersifat dengan dia.iaitu melihat urusan seluruhnya, adalah
daripada Allah Ta'ala, penglihatan tanpa menoleh kepada sebab dan perantara.
Maka ia tidak melihat kebajikan dan kejahatan seluruhnya, melainkan dari pada
Allah Yang Maha Mulia.
Maka inilah tingkat yang
mulia. Salah satu dari buahnya, ialah tawakkal, sebagaimana akan diterangkan
nantrpada KitabTawakkal.Diantara buahnya juga, ialah meninggalkan pengaduan
kepada makhluk, meninggalkan kemarahan kepada mereka, rela dan menyerah kepada
hukum Allah Ta'ala.
Dan adalah
salah satu buahnya, ialah ucapan Saidina Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., ketika
ditanyakan waktu sakitnya "Apakah kami carikan tabib untuk tuan?".
Lalu Abu Bakar menjawab : "Tabib itu membawa saya sakit".
Ucapan
lain lagi dari Abu Bakar ra. ketika sakitnya, waktu ia ditanyakan :
"Apakah kata tabib tentang penyakit tuan?".Abu Bakar ra. menjawab :
"Katanya : bahwa saya berbuat sekehendak saya".
Akan
datang pada Kitab Tawakkal dan Kitab Tauhid dalil-dalil untuk itu.
Tauhid
adalah suatu mutiara yang bernilai tinggi, mempunyai dua kulit. Yang satu lebih
jauh dari isinya daripada yang lain.
Lalu orang
mengkhususkan, nama tauhid itu kepada kulit dan membuat penjagaan kepada kulit
itu, serta menyianyiakan ISI secara keseluruhan.
KULIT
PERTAMA : Iaitu anda mengucapkan dengan lisan لا إله إلا الله
Ini
dinamakan tauhid melawan tatslits للتثليث (kepercayaan tiga tuhan oknum), yang
ditegaskan oleh orang Nasrani. Tetapi ucapan tersebut kadang-kadang datang dari
orang munafiq, yang berlawanan bathinnya dengan lahirnya.
KULIT
KEDUA : yaitu tak ada di dalam hati, yang menyalahi dan berlawanan dengan
pengertian ucapan tadi. Bahkan yang dhahir dari hati, melengkapi kepada
aqidahnya. Dan demikian juga mem-benarkannya. Yaitu tauhid orang awwam. Dan
para ahli ilmu kalam sebagaimana diterangkan dahulu adalah penjaga kulit ini
dari gangguan golongan bid'ah.
YANG
KETIGA : Iaitu ISI. Bahwa ia melihat keadaan seluruhnya daripada Allah Ta'ala
dengan tidak menoleh kepada perantaraan. Dan ia beribadah kepadaNya, dengan
ibadah yang tunggal kepada-Nya. Tidak ia beribadah (menyembah) yang lain.Dan
keluarlah dari tauhid ini, orang-orang yang menuruti hawa nafsu. Maka tiap-tiap
orang yang menuruti hawa nafsunya, dia telah mengambil hawa nasfunya, menjadi
Tuhannya.
Berfirman
Allah Ta'ala :
(Afara-aita
manit takhadza ilaahahuu hawaah).
Ertinya :"Adakah engkau
melihat, orang yang mengambil hawa nafsunya, menjadi Tuhannya?". (S.
Al-Jatsiyah, ayat 23).
Bersabda
Nabi صلى الله عليه وسلم:
(أبغض إله
عبد في الأرض عند الله تعالى هو الهوى)
(Abghadlu
ilaahin 'ubida fil ardli 'indallaahi ta'aalaa, huwal hawaa).
Ertinya:Tuhan
rang disembah di bumi,yang sangat dimarahi Allah Ta'ala ialah hawa nafsu
Dan di atas yang sebenarnya,
barang siapa memperhatikan tentu mengerti bahwa penyembah berhala sebetulnya
tidaklah ia menyembah berhala. Tetapi ia menyembah hawa nafsunya, karena
nafsunya itu condong kepada agama nenek moyangnya. Lalu ia mengikuti
kecondongan itu. Dan kecondongan nafsu kepada kebiasaan-kebiasaan, adalah salah
satu pengertian yang diibaratkan dengan hawa nafsu itu.
Dan
keluarlah dari tauhid ini, menaruh kemarahan kepada makhluk dan berpaling
kepada mereka. Maka orang yang melihat seluruhnya berasal dari Allah Ta'ala,
bagaimana akan marah kepada orang lain? Dari itu, tauhid adalah ibarat dari
tingkat ini. Yaitu tingkat orang-orang Shiddiq (orang yang mempunyai
kepercayaan penuh kepada Tuhan).Dari itu, perhatikanlah, ke mana diputarkan
arti tauhid dan kulit mana yang dirasa puas. Maka bagaimana mereka, mem
buat ini,
menjadi pegangan, pada pemujian dan pembanggaan, dengan apa yang namanya
terpuji, serta kosong dari pengertian yang berhak akan pujian yang hakiki? Hal
itu seumpama kosongnya orang yang pagi-pagi benar sudah menghadap qiblat dan
membaca:وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ حَنِيفًا =
الأنعام79 Wajjahtu wajhia lilladzii fathara samaawaati wal ardla haniifa".
(Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang menjadikan langit dan bumi karena aku
memeluk agama yang benar). Dan itu adalah permulaan kedustaan, dia menghadap
Allah tiap-tiap hari, sekira-nya wajah hatinya tidak menghadap Allah Ta'ala,
secara khusus.Sesungguhnya, jika maksudnya dengan "wajah"itu wajah
secara dhahir, maka adalah tujuan wajahnya ke Ka'bah dan tidak menuju ke lain
jurusan.
Ka'bah
tidaklah menjadi pihak bagi Allah yang menjadikan langit dan bumi, sehingga
orang yang menghadap ke Ka'bah berarti menghadap kepada Allah Ta'ala. Maha Suci
Allah dari berpihak dan berberdaerah!.
Sekiranya,
maksudnya dengan wajah itu " wajah hati" dan memang itulah yang
dimaksud oleh tiap-tiap orang yang beribadah, maka bagaimanakah dapat
dibenarkan ucapannya sedang kan hatinya bulak-balik pada kepentingan dan
keperluan duniawiyahnya? Dan mencari daya upaya mengumpulkan harta, kemegahan
dan memperbanyak sebab-sebab dan perhatian seluruhnya untuk yang demikian.Maka
bilakah ia menghadapkan wajahnya kepada Allah yang menjadikan langit dan
bumi?.Perkataan ini, adalah menerangkan hakikat tauhid. Seorang yang bertauhid,
ia tidak melihat melainkan YANG ESA dan tidak menghadapkan wajahnya, melainkan
kepada YANG ESA itu.
Iaitu
mengikuti firman Allah Ta'ala :
ُلِ
اللَّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
(Qulillaahu tsumma dzarhum
fii khaudlihim yal'abuun).
Ertinya
:"Katakanlah!اللَّهُKemudian biarkanlah mereka main-main dengan percakapan
kosongnya (S. Al-An'am, ayat 91).
Tidaklah
dimaksudkan dengan " katakanlah " itu "perkataan" dengan
lisan. Karena lisan itu merupakan "penterjemah" (pengalih bahasa dari
dalam), sekali dia benar dan sekali dia bohong. Maka tempat untuk melihat Allah
yang diterjemahkan oleh lisan itu, ialah hati. Hatinya tambang tauhid dan
sumbemya.
Perkataan keempat
DZIKIR DAN TADZKIR.
Berfirman Allah Ta'ala :
َذَكِّرْ
فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
(Wa dzakkir fainnadzdzikraa
tanfa'ul mu'miniin).
Ertinya
:"Berilah mereka peringatan (tadzkir), karena peringatan itu berguna untuk
orang-orang yang beriman ". (S. Adz-Dzariyat, ayat 55).
Banyaklah
hadits Nabi صلى الله عليه وسلم yang memuji majlis dzikir itu, seperti sabdanya
: إذا مررتم برياض الجنة فارتعوا, "Apabila kamu melewati kebun Sorga, maka
bersenang-senanglah di dalamnya!" "Manakah kebun Sorga itu ? 'tanya
yang hadlir. قال: مجالس الذكر"Majlis-majlis berdzikir", sahut Nabi
saw.
وفي
الحديث: إن لله تعالى ملائكة سياحين في الدنيا سوى ملائكة الخلق إذا رأوا مجالس
الذكر ينادي بعضهم بعضا ألا لموا إلى بغيتكم فيأتونهم ويحفون بهم ويستمعون ألا
فاذكروا الله وذكروا أنفسكم
Dalam satu hadits tersebut :
"Allah Ta'ala mempunyai banyak malaikat yang mengembara di dalam dunia
selain dart para malaikat yang ada kubungannya dengan makhluk. Apabila mereka
melihat majlis dzikir, lalu mereka panggil-memanggil satu sama lain, dengan
mengatakan : Pergilah kepada kesayanganmu masing-masing". Lalu pergilah
mereka, mengelilingi dan mendengar. Dari itu, berdzikirlah kepadaالله dan
peringatilah dirimu sendiri!".
Oleh
kebanyakan juru nasehat pada masa sekarang kita melihat, mengambil yang
demikian itu, lalu membiasakan dengan cerita-cerita, sya'ir-sya'ir, do'a-do'a
dan kata-kata yang tidak dipahami (syathah) dan pemutaran perkataan-perkataan
agama (thammat).Adapun ceritera-ceritera (al-kisah), maka itu bid'ah. Telah
datang dari ulama-ulama yang terdahulu, larangan duduk mengelilingi
tukang-tukang cerita itu. Mereka mengatakan, bahwa tak ada yang demikian pada
masa Rasulullahصلى الله عليه وسلم Dan tidak ada pada masa Abu Bakar ra. dan
Umar ra. Sehingga lahirlah fitnah dan timbullah tukang-tukang ceritera.
Diriwayatkan,
bahwa Ibnu Umar ra. keluar dari masjid, seraya mengatakan : "Aku
dikeluarkan oleh tukang ceritera itu. Kalau tidaklah dia maka aku tidak
keluar".
Berkata
Dlamrah : "Aku bertanya kepada Sufyan Ats-Tsuri : "Kita terimakah
tukang ceritera itu dengan gembira?".
Menjawab
Sufyan : "Balikkanlah tukang bid'ah itu ke belakangmu!" Berkata Ibnu
'Aun : "Aku datang pada Ibnu Sirin, maka ia bertanya : "Hari ini
tidak ada kabar?".
Lalu aku
jawab : "Amir sudah melaiang tukang-tukang cerita itu bercerita".
Maka
menyambung Ibnu Sirin : "Dia sudah. mendapat taufiq ke jalan yang
benar".
Al-A'masy masuk ke masjid
jami' Basrah. Maka dilihatnya seorang tukang ceritera sedang berceritera dan
mengatakan : "Diterangkan hadits kepada kami oleh Al-A'masy".
Maka Al-A'masypun masuk ke
tengah-tengah rombongan itu, sambil mencabut bulu ketiaknya.
Maka berkata tukang ceritera
itu : "Tuan! Apakah tidak malu?".
Sahut Al-A'masy :
"Mengapa? Bukanlah saya berbuat sunnah dan saudara berbuat bohong? Saya
ini Al-A'masy dan tidak pernah menceriterakan hadits kepada saudara".
Berkata Ahmad bin Hanbal ra.
: "Yang paling banyak berdusta, diantara manusia, ialah tukang ceritera
dan peminta-minta".
Ali ra. mengusir tukang
ceritera dari masjid jami' Basrah. Tatkala didengarnya yang berceritera
al-Hasan Al-Bashri maka tak diusirnya. Karena Al-Hasan memperkatakan tentang
ilmu akhirat dan berpikir kepada mati, memperingatkan kepada kekurangan diri,
bahaya amal, gurisan setan dan cara menjaga diri padanya. Ia meng-ingatkan
kepada segala rahmat Allah dan nikmatNya, kepada kealpaan hamba pada mensyukuriNya.
Ia memperkenalkan kehinaan dunia, kekurangan, kehancuran dan kepalsuan
janjinya, bahaya akhirat dan huru-haranya.
Maka inilah tadzkir
(peringatan) yang terpuji pada agama, yang meriwayatkan dorongan kepadanya pada
hadits yang dirawikan Abu Zar, seperti berikut : "Mengunjungi majelis
dzikir, adalah lebih utama daripada mengerjakan shalat seribu raka'at.
Mengunjungi majelis ilmu, adalah lebih utama daripada mengunjungi seribu orang
sakit. Mengunjungi majelis ilmu adalah lebih utama daripada berta'ziah seribu
jenazah".
Lalu
ditanyakan :يا رسول الله ومن قراءة القرآن، قال: وهل تنفع قراءة القرآن إلا
بالعلم "Wahai Rasulullah! Dan dari membaca Al-Qur'an?". Maka Nabi
saw. menjawab : "Adakah bermanfa'at membaca Al-Qur'an selain dengan
ilmu?".
Berkata 'Atha'
ra: "Majelis dzikir itu menutupkan tujuh puluh majelis yang sia-sia
(tempat tontonan)".
Hadits-hadits
di atas telah dipergunakan oleh orang-orang yang kotor, untuk alasan kepada
membersihkan diri dan mengalih-kan nama "tadzkir" kepada khurafat
yang dibuat mereka. Mereka lupakan cara dzikir yang terpuji dan menyibukkan
diri dengan ceritera-ceritera yang membawa kepada perselisihan, kepada me-nam
bah dan mengurangi. Dan berlawanan dengan ceritera yang ada di dalam Al-Qur'an
dan menam bahkan kepadanya.
Di antara
ceritera-ceritera itu, ada yang bermanfa'at mendengarnya dan ada yang melarat
meskipun benar. Orang yang membuka pintu itu kepada dirinya, maka bercampurlah
antara benar dan bohong, yang bermanfa'at dan yang melarat. Dari itu maka
dilarang daripadanya.
Karena
demikianlah, maka berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra. : "Alangkah
berhajatnya manusia kepada tukang ceritera yang benar" Jika ceritera itu
termasuk ceritera Nabi-Nabi as. yang berhubungan dengan urusan agama dan tukang
ceriteranya itu benar dan ceritera-nya tidak salah, maka menurut saya,
diperbolehkan.
Dari itu
jagalah dari kedustaan, dari ceritera-ceritera keadaan, yang menunjukkan kepada
banyak kesalahan atau keteledoran, yang menghambat pemahaman orang awam dari
mengetahui maksudnya. Atau menghambatnya dari mengetahui adanya kesalahan, yang
jarang terjadi, yang diikuti dengan yang menutupinya, yang dapat diketahui
kebaikan-kebaikan yang ditutupkan itu. Orang awam berpegang dengan yang
demikian itu, pada segala kealpaan....
dan
kesalahannya. Dan menganggap dirinya dapat dima-'afkan. Dia berasalan, bahwa
hal itu telah diceriterakan yang demikian, dari beberapa syekh terkemuka dan
ulama terkenal. Semua kita terhadap perbuatan ma'syiat, maka tak ragu lagi,
jikalau kita telah berbuat ma'syiat kepada Allah, maka orang-orang yang lebih
besar dari kita telah berbuat ma'syiat.Hal yang tersebut tadi menunjukkan
keberaniannya menghadapi Allah Ta'ala dengan tidak sadar. Maka sesudah menjaga
diri dari dua hal yang ditakuti, maka tidak mengapa dengan demikian. Dan ketika
itu, kembali kepada cerita-cerita yang terpuji dan kepada yang terdapat dalam
Al-Quran dan kitab-kitab hadits yang shahih.
Sebahagian
orang membolehkan membuat cerita-cerita yang menyukakan kepada perbuatan ta'at.
Dan mendakwakan bahwa tujuannya mengajak manusia kepada kebenaran.Itu
sebetulnya bisikan setan karena dalam kebenaran, berkembang kedustaan. Dan
mengenai dzikir kepada Allah Ta'ala dan RasulNya, tidak menfciptakan nasehat
yang tidak mempunyai dasar kebenaran.
Betapa
tidak!!!! Membuat sajakpun tidak disukai dan dipandang yang demikian
membuat-buat. Berkata Sa'ad bin Abi Waqqas ra. kepada anaknya Umar, ketika
mendengar ia bersajak : "Inilah yang membawa aku marah kepadamu. Tidak
akan aku penuhi ke-perluanmu selama-lamanya, sebelum engkau bertobat".
Sedang Umar sebenarnya ada keperluan maka ia datang kepada ayahnya itu. Nabi
صلى الله عليه وسلم.telah bersabda kepada Abdullah bin Rawahah, mengenai sajak
yang terdiri dari tiga kata :إياك والسجع يا ابن رواحة
(Iyyaaka was-saj'a yabna
rawaahah). Artinya :"Awaslah bersajak hai anak Rawahah (1)
Dengan hadits ini,
seolah-olah sajak yang harus diawasi, ialah yang lebih dari dua kata. Karena
itu, tatkala seorang lelaki mengatakan mengenai diat (2) bayi dalam kandungan :
"Bagaimana kah membayar diat orang yang tidak minum, tidak makan, tidak
berteriak dan tidak memekik?
1.Menurut Al-lraqi, ia tidak
memperoleh bunyi yang demikian, tetapi dengan bunyi lain, yang sama maksudnya.
2.Diat : harta yang dibayar
kerana membunuh, yaitu unta atau harganya.
Samakah itu dengan halal
darahnya' lalu Nabi bersabda : أسجع كسجع الأعراب "Adakah sajak seperti
sajak orang-orang Badui Arab! Adapun sya'ir, maka dicela membanyakkannya dalam
pengajaran.
Berfirman Allah Ta'ala :
وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ
الْغَاوُونَ أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ
(Asy syu'araau
yattabi'uhumul ghaawuun. Alam tara-annahum fii kulii waadin yahiimuun).(S.
Asy-Syu'ara, ayat 224-225)
Ertinya :"Dan penyair-penyair itu diikuti oleh
orang-orang jahat. Tidak kah engkau lihat bahwa mereka mengembara disetiap
lembah dengan tak tentu tujuan?".(S. Asy-Syu'ara, ayat 224-225).
Dan
berfirman lagi :
وَمَا
يَنْبَغِي لَهُ إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ
(Wa maa 'allamnaahusy syi'ra
wa maa yanbaghiilah).
Ertinya :"Dan kami tiada
mengajarkan sya'ir kepadanya (Muhammad) dan sya'ir itu tiada patut
baginya" (S. Yaasiin, ayat 69).
Kebanyakan
sya'ir yang dibiasakan oleh juru-juru nasehat, ialah apa yang menyangkut dengan
penyifatan pada kerinduan, keelokan yang dirindukan, senangnya ada hubungan dan
pedihnya berpisah.
Majlis itu, dikunjungi oleh
rakyat banyak yang bodoh-bodoh. Perutnya penuh dengan hawa nafsu, hatinya tidak
terlepas dari pada menoleh kepada rupa yang manis. Dari itu, sya'irnya tidak
bergerak dari jiwanya, kecuali ia terpaut padanya. Maka berkobarlah api hawa
nafsu padanya. Lalu mereka berteriak dan menari nari.
Kebanyakan
yang demikian atau seluruhnya, membawa kepada semacam kerusakan. Dari itu,
tidaklah seyogianya dipakai sya'ir kecuali ada padanya pengajaran atau hikmah
untuk jalan petunjuk dan pelunakan hati.
Bersabda
Nabi صلى الله عليه وسلم:
ن من الشعر لحكمة
(Inna minasy
syi'riiahikmah).
Ertinya
:"Sesungguhnya sebahagian dari sya ir itu mengadung hikmah!"
Jika majlis itu dihadliri
orang-orang tertentu yang mempunyai perhatian kepada ketenggelaman hati dengan
cinta kepada Allah Ta'ala dan tak ada golongan lain dalam majlis tersebut, maka
bagi mereka tak ada melaratnya sya'ir itu, yang dhahiriyahnya menunjukkan
kepada hubungan sesama makhluk. Karena pendengarnya dapat menempatlah apa yang
didengarnya menurut panggilan hatinya, sebagaimana akan diterangkan nanti pada
"Kitab Pendengaran". Dan karena itulah Al-Junaid ra. berbicara kepada
lebih kurang sepuluh orang. Kalau mereka sudah banyak, ia tidak berbicara. Dan
tidaklah pernah sekali-kali yang menghadliri majlisnya sampai dua puluh orang.
Tentang datang serombongan
orang banyak ke pintu rumah Ibnu Salim, lalu dikatakan kepadanya :
"Berbicaralah! Telah datang teman-teman tuan". Ibnu Salim menjawab :
"Tidak! Mereka bukan temanku. Mereka adalah teman-teman majlis. Sesungguhnya
teman-temanku, ialah orang-orang tertentu (orang-orang al-khawash).
Adapun asy-syathah
(do'a-do'a dan kata-kata yang tidak dipahami), maka yang kami maksudkan, ialah
dua jenis perkataan, yang diadakan oleh sebahagian kaum shufi.
Yang pertama, ialah
do'a-do'a yang panjang yang berbentang tentang keasyikan (kerinduan) bersama
Allah Ta'ala dan hubungan yang tidak memerlukan kepada amal dzahiriyah.
Sehingga golongan itu berkesudahan kepada mendakwakan al-ittihad (bersatu
dengan Allah) terangkat hijab, penyaksian dengan melihat Tuhan dan
bercakap-cakap dengan pembicaraan. Lalu mereka mengatakan : "Dikatakan
kepada kami demikian. Dan kami mengatakan demikian".
Mereka
menyerupakan pada yang demikian itu, dengan Husain bin Mansur Al-Hallaj yang
telah dihukum gantung, lantaran diucapkannya kata-kata yang sejenis dengan itu.
Dan mereka membuktikan yang demikian dengan ucapan Al-Hallaj : 'Anal-haqq"
(akulah al-haqq, yakni : yang maha benar, salah satu dari nama Allah Ta'ala).
Dan dengan apa yang
diceritakan dari Abi Yazid Al-Bustami, bahwa Abi Yazid mengatakan :
"Subhani-subhani (maha suci aku maha suci aku)".
Ini adalah semacam
perkataan, yang amat besar bahayanya pada orang awwam. Sehingga segolongan dari
kaum tani meninggalkan pertaniannya dan melahirkan dakwaan seperti yang
tersebut.
Sesungguhnya
perkataan itu dirasakan enak oleh tabiat manusia. Karena padanya membatalkan
amal (tak usah amal lagi), serta mensucikan diri (jiwa) dengan memperoleh
maqam-maqam (derajat-derajat) tinggi dan hal ikhwal yang baik. Maka orang-orang
bodoh tidak lemah dari pada mendakwakan yang demikian bagi diri mereka dan dari
pada menerima kata-kata yang tak berketentuan, yang penuh dengan hiasan
kata-kata.Manakala mereka ditantang dari yang demikian, maka mereka tidak
merasa lemah untuk mengatakan : "Ini adalah tan tangan, yang sumbernya
ilmu dan pertengkaran. Ilmu itu dinding dan pertengkaran itu perbuatan diri.
Dan pembicaraan ini tidak mengisyaratkan, selain dari bathin dengan terbukanya
nur kebenaran".Maka hal yang tersebut dan yang seperti dengan yang
tersebut itu, daripada yang telah beterbangan kejahatannya dalam negeri dan
besar melaratnya pada orang awwam, sehingga orang yang menuturkan dengan
sedikit dari padanya, maka membunuhnya adalah lebih baik pada agama Allah, dari
pada menghidupkan sepuluh daripadanya.
Mengenai
Abi Yazid Al-Bustami ra. yang tersebut di atas, maka tak benar mengenai apa
yang diceriterakan terhadap dirinya.Sekiranya benar ucapan tersebut pernah
terdengar daripadanya, maka adalah itu, ia menceriterakan dari Allah 'Azza wa
Jalla tentang perkataan yang diulang-ulangiNya pada diriNya. Seumpama bila
terdengar ia mengatakan : "lnnanii anallaah, laa ilaaha illaa ana
fa'budnii (Sesungguhnya aku adalah aku itu Allah, tiada yang disembah selain
aku, maka sembahlah aku) (S. Thaha, ayat 14), maka perkataan tersebut hendaklah
dipahamkan, tidak lain daripada pembacaan dari firman Allah Ta'ala.
Yang kedua
: dimaksudkan dari perkataan syathah itu, kata-kata yang tidak dipahami,
tampaknya menarik, dengan susunan yang mengagumkan. Sedang dibalik itu tak ada
faedahnya sama sekali. Tidak dapat dipahami itu, adakalanya oleh yang
mengucapkannya sendiri, karena timbulnya dari gangguan pikiran dan
kekacau-balauan khayalan, disebabkan kurang mendalami maksud kata-kata yang
menarik perhatiannya itu. Dan inilah yang terbanyak!.
Dan
adakalanya dapat dipahami,tetapi tidak sanggup memahaminya dan mendatangkannya
dengan kata-kata yang menunjukkan isi hatinya. Karena kurang berpengetahuan dan
tidak mempelajari cara melahirkan sesuatu maksud dengan susunan kata yang
menarik. Perkataan yang semacam inipun tak ada faedahnya, selain daripada
mengacau-balaukan jiwa, mengganggu pikiran dan membawa keraguan hati. Ataupun
dipahaminya menurut maksud yang sebenarnya, tetapi pemahaman itu didorong oleh
hawa nafsu dan kepentingan diri sendiri.
ersabda Nabi صلى الله عليه
وسلم:
حدث أحدكم قوما بحديث لا
يفقهونه إلا كان فتنة عليهم
(Maa haddatsa ahadukum
qauman bihadiitsiin laa yafqahuunahu illaa kaana fitnatan 'alaihim).
Ertinya :"Tidaklah
seseorang daripada kamu, menerangkan sesuatu hadits (sesuatu persoalan) kepada
segolongan manusia yang tiada memahaminya, selain daripada mendatangkanfitnah
kepada mereka itu
Dan Bersabda Nabi صلى الله
عليه وسلم
كلموا الناس بما يعرفون ودعوا
ما ينكرون أتريدون أن يكذب الله ورسوله
(Kallimunnaasa bimaa
ya'rifuuna wa da'uu maa yankiruuna aturii-duuna an yakdziballaahu wa rasuuluh).
Ertinya : "Berbicaralah
dengan orang banyak dengan kata-kata yang dapat dipahaminya dan tinggalkanlah
persoalan yang ditantang mereka. Adakah kamu bermaksud bahwa berdusta Allah dan
RasulNya
Ini mengenai yang dapat
dipahami oleh yang mengucapkannya sendiri. Tetapi tidak sampai dapat dipahami
oleh otak yang mende-ngamya. Maka betapa pula yang tidak dipahami oleh yang
mengucapkannya sendiri?.Jikalau dipahami oleh yang mengucapkannya tetapi tidak
oleh yang mendengarnya, maka tidak boleh diucapkan.
Berkata Nabi Isa as, :
"Janganlah kamu letakkan ilmu hikmah pada bukan ahlinya maka kamu berbuat
aniaya kepada ilmu hikmah itu. Dan janganlah kamu larang pada ahlinya maka kamu
berbuat aniaya kepada ahlinya itu. Hendaklah kamu seperti seorang tabib yang
penuh kasih sayang, yang meletakkan obat pada tempatnya penyakit Menurut
susunan yang lain,
Sabda Nabi
Isa itu berbunyi : "Barang siapa meletakkan ilmu hikmah pada bukan
ahlinya, maka dia itu orang bodoh. Dan barang siapa melarang pada ahlinya maka
dia itu berbuat aniaya. Ilmu hikmah itu mempunyai hak dan ahlinya. Dari itu
berilah kepada semua yang berhak akan haknya".
Adapun
thammat (pemutaran perkataan-perkataan agama), maka termasuk di dalamnya apa
yang kami sebutkan mengenai syathah. Dan suatu hal lain yang khusus dengan
thammat itu, yaitu pemutaran perkataan-perkataan agama dari dhahirnya yang
mudah dipahami, kepada urusan bathiii yang tidak ada padanya menonjol
faedahnya. Seumpama kebiasaan golongan kebathinan memutar-balikkan maksud.
1.Dirawikan
Al-Bukhari mauquf (terhenti) sampai kepada Ali.
Ini juga
haram dan melaratnya besar. Karena perkataan-perkataan itu apabila diputar dari
tujuan dhahiriahnya, tanpa berpegang teguh padanya, menurut yang dinukilkan
dari Nabi saw. dan tanpa suatu kepentingan yang diperlukan sepanjang petunjuk
akal pikiran, maka yang demikian itu, membawa hilang kepercayaan kepada
perkataan itu sendiri. Dan lenyaplah kegunaan kalam Allah Ta'ala dan kalam
RasulNya صلى الله عليه وسلم Lalu apa yang segera terbawa kepada pemahaman,
tidaklah dapat dipercayai lagi dan yang bathin itu tak ada ketentuan baginya.
Tetapi timbullah pertentangan dalam hati dan memungkinkan penempatan perkataan
itu ke dalam beberapa corak. Ini juga termasuk ke dalam bid'ah yang telah
berkembang dan besar kerugiannya.
Sesungguhnya
tujuan dari orang-orang pembuat thammat itu ialah menciptakan yang ganjil.
Karena jiwa manusia, adalah condong kepada yang ganjil dan merasa enak
memperoleh yang ganjil.
Dengan
cara yang tersebut, sampailah kaum kebathinan itu meruntuhkan semua syari'at,
dengan penta'wilan dhahiriahnya dan menempatkannya menurut pendapat mereka itu
sendiri, sebagaimana telah kami ceriterakan mengenai madzhab-madzhab kaum
kebathinan itu dalam kitab 'Al-Mustadhhari' yang dikarang untuk menolak
golongan tersebut.
Contoh
pemutarbalikan (penta'wilan) golongan thammat itu, di antara lain, kata
setengah mereka, tentang penta'wilan firman Allah Ta'ala :
ذْهَبْ
إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
(Idzhab ilaa fir'auna
innahuu thaghaa) Artinya : "Pergilah kepada Fir'aun itu, sesungguhnya dia
itu durhaka".(S. Thaha, ayat 24).
Bahwa itu adalah isyarat
kepada hatinya. Dan mengatakan bahwa hatilah yang dimaksud dengan Fir'aun itu.
Dan hatilah yang durhaka pada tiap-tiap manusia.
Dan pada firman Allah Ta'ala
:
Lalu perkataan tongkat itu
diputar kepada tiap-tiap sesuatu tempat bersandar dan berpegang selain dari
Allah Ta'ala. Itulah yang harus dicampakkan dan dibuang jauh.
Dan pada sabda Nabi صلى الله
عليه وسلم :
تسحروا فإن في السحور بركة
(Tasabharuu fa-inna fis
suhuuri barakatan).
Ertinya :"Bersahurlah
kamu! Karena pada sahur itu ada berkatnya".
Lalu diputarkan kepada
meminta ampun kepada Tuhan pada waktu sahur, bukan lagi maksudnya makan sahur
itu sendiri Dan contoh-contoh yang lain, di mana mereka memutar-balikkan
Al-Qur'an dari awalnya sampai akhirnya, dari artinya yang dhahir dm dari
penafsirannya, yang diterima dari Ibnu Abbas dan ulama-ulama besar lainnya.
Setengah dari pemutar-balikan
itu, dapat diketahui batilnya dengan terang seumpama meletakkan arti Fir'aun
kepada hati: Karena Fir'aun itu adalah seorang manusia yang bisa dilihat, yang
mutawatir sejarah menyatakan adanya, di mana Nabi Musa as. menyerukannya kepada
agama seperti Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلمmenyerukan Abu Jahal dan Abu
Lahab serta kafir-kafir lain kepada agama Islam. Dan tidaklah Fir'aun itu
sejenis setan atau malaikat yang tidak bisa dilihat dengan pancaindra, sehingga
memerlukan pemutaran pada kata-katanya.
Dan demikian pula membawa
makan sahur kepada meminta ampun pada Tuhan karena Nabi saw. sendiri makan
sahur.
وَأَنْ أَلْقِ عَصَاكَ
Ertinya : "Dan campaklah tongkatmu". (Wa-an
alqi 'ashaaka) (S. Al-Qashash, ayat 31).
Dan bersabda :تسحرو
"Bersahurlah!". هلموا إلى الغذاء المبارك Dan "Marilah kita
kepada makanan yang mengandung berkat ini'".
Semuanya
itu, dapat diketahui dengan berita yang mutawatir dan dapat dipersaksikan
kebatilannya. Sebahagian dapat diketahui dengan berat dugaan. Yaitu yang tidak
dapat dipersaksikan oleh pancaindra.
Semua yang diterangkan tadi
adalah haram hukumnya, menyesatkan dan merusakkan agama rakyat. Tiada satupun
daripadanya diterima dari shahabat, dari tabi'in dan dari Al-Hasan Al-Bashri,
yang bertekun melaksanakan da'wah dan pengajaran kepada rakyat banyak.
Maka bagi sabda Nabi صلى
الله عليه وسلم
من فسر القرآن برأيه فليتبوأ
مقعده من النار
(Man fassaral Qur-aana
bira'yihi falyatabawwa' maq'adahu minan naar).
Ertinya :"Barangsiapa
menafsirkan Al-Quran menurut pendapatnya sendiri maka disediakan untuknya suatu
tempat dari api neraka ",
tiada jelas pengertiannya
selain dari cara inilah! Yaitu maksud dan pendapatnya, adalah menetapkan dan
membuktikan sesuatu, lalu menarik penyaksian Al-Qur'an kepadanya serta membawa
Kitab Suci di luar petunjuk kata-kata, baik menurut bahasanya atau menurut yang
dinukilkan (naqliah).
Tiada seyogialah dipahamkan
dari penjelasan di atas tadi, bahwa Al-Qur'an tidak boleh ditafsirkan, dengan
menggunakan pemahaman yang mendalam dan pemikiran. Karena diantara ayat-ayat
suci yang diterima dari para shahabat dan ulama tafsir itu, ada yang mempunyai
lima, enam dan sampai tujuh pengertian. Dan semuanya itu tidaklah didengar dari
Nabi saw. Kadang-kadang ada yang berlawanan, yang tidak dapat menerima
pengumpulan (disatukan maksud).Maka, dipakailah pemikiran dan pemahaman dengan
maksud yang baik dan mendalam.
ولهذا قال صلى الله عليه وسلم
لابن عباس رضي الله عنه : اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل
Dari itu berdo'alah Nabi
saw. kepada Ibnu Abbas ra. : "Ya Allah Tuhanku! Berilah kepadanya (Ibnu
Abbas) paham dalam agama dan ajarilah dia penta'wilan (penafsiran)
Barang siapa membolehkan
dari golongan thammat, menggunakan pemutar-balikan seperti itu serta
diketahuinya bahwa yang demikian tidaklah yang dimaksud dengan
perkataan-perkataan itu dan mendakwakan bahwa tujuannya ialah mengajak manusia
kepada Tuhan, maka sikap yang demikian itu, samalah halnya dengan orang yang
membolehkan membuat-buat dan mengada-adakan sesuatu terhadap Nabi صلى الله عليه
وسلم. karena berdasarkan kebenaran tetapi tidak diucapkan oleh agama, seperti
orang yang mengada-adakan hadits Nabi صلى الله عليه وسلم. dalam suatu persoalan
yang dipandangnya benar..
Tindakan yang seperti itu,
adalah suatu kedhaliman dan kesesatan serta termasuk ke dalam peringatan Nabi
صلى الله عليه وسلم yang dipahami dari sabdanya :
من كذب علي
متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
(Man kadzaba "alayya muta'ammidan
fal yatabawwa maq'adahu minannaar).
Ertinya : "Barang siapa
berbuat dusta kepadaku dengan sengaja maka ia telah menyediakan tempatnya dari
api neraka".
Bahkan adalah amat besar
kejahatan dengan memutarbalikkan kata-kata itu. Sebab menghilangkan kepercayaan
kepada kata-kata itu sendiri dan melenyapkan jalan untuk memperoleh faedah dan
pemahaman dari Al-Quran keseluruhannya.
Maka tahulah kita betapa
setan itu memutar-balikkan alat-alat da'wah dari ilmu yang terpuji kepada yang
tercela. Semuanya itu adalah perbuatan ulama-ulama jahat dengan menggantikan
maksud kata-kata itu.
Jika anda mengikuti mereka
karena berpegang kepada nama yang termasyhur itu, tanpa memperhatikan kepada
apa yang diketahui pada masa pertama dari Islam, maka adalah anda seumpama
orang yang ingin memperoleh kemuliaan dengan ilmu hikmah, lalu mengikuti siapa
saja yang bemama ahli hikmah. Sedang nama ahli hikmah dipakai untuk tabib,
penyair dan ahli nujum pada masa sekarang. Dan itu adalah disebabkan
kelengahan, dari penukaran kata-kata itu.
1.Dirawikan
Al-Bukhari dari Ibnu Abbas.
2.Dirawikan
Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah, Ali dan Anas.
Perkataan
kelima
HIKMAH.
Nama ahli hikmah (al-hakim)
ditujukan kepada tabib, penyair dan ahli nujum, sehingga juga kepada orang yang
memutar-mutarkan undian pada tangan di tepi jalan besar.
Hikmah ialah suatu hal yang
dipuji Allah Ta'ala dengan firmannya :
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ
يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
(Yu'til hikmata man yasyaa-u
wa man yu'tal hikmata faqad uutiya khairan katsiira).
Ertinya :
"DianugerahiNya Hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya dan barang siaph
dianugerahi hikmah maka dia telah dianugerahi banyak kebajikan ".(S.
Al-Baqarah, ayat 269).
Dan sabda
Nabi صلى الله عليه وسلم
كلمة من الحكمة يتعلمها الرجل
خير له من الدنيا وما فيها
(Kalimatun minal hikmati
yata'allamuharrajulu khairun minaddun-yaa wa maa fiihaa).
Ertinya :"Satu kalimat
dari hikmah yang dipelajari oleh seseorang, adalah lebih baik baginya daripada
dunia serta isinya
Perhatikanlah, apakah yang
diperkatakan tentang hikmah itu dan kemanakah ditujukan! Kemudian bandingkanlah
dengan kata-kata yang lain! Dan jagalah diri dari tertipu dengan keragu-raguan
yang dibuat oleh ulama-ulama jahat! Karena kejahatan mereka kepada agama adalah
lebih besar dari kejahatan setan. Sebab dengan pe-rantaraan ulama-ulama jahat
itu, setan beransur-ansur mencabut agama dari hati orang banyak.
Karena itulah, tatkala
ditanyakan kepada Nabi sawصلى الله عليه وسلم. tentang orang yang paling jahat,
beliau enggan menjawab seraya berdo'a : اللهم اغفر"Allaahumma
ghafran" (Ya Tuhan! Ampunilah!). Sehingga setelah berkali-kali ditanyakan,
lalu beliau menjawab : "Mereka itu ialah ulama jahat هم علماء
السوء(ulamaus su') ".
Maka tahulah sudah anda akan
ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela serta yang meragukan diantara keduanya.
Dan terserahlah kepada anda sendiri untuk memilih, demi kepentingan diri anda
sendiri, mengikuti ulama terdahulu (ulama salaf) atau terpesona dengan penipuan
lalu terpengaruh dengan ulama terkemudian (ulama khalaf).
Segala ilmu yang mendapat
kerelaan dari ulama salaf, sudah tertimbun. Dan apa yang menjadi perpegangan
manusia sekarang, sebahagian besar dari padanya adalah bid'ah yang
diada-adakan.
Benar lah
kiranya sabda Nabi صلى الله عليه وسلم.
بدأ الإسلام غريبا وسيعود
غريبا كما بدأ فطوبى للغرباء فقيل ومن الغرباء قال الذين يصلحون ما أفسده الناس من
سنتي والذين يحيون ما أماتوه من سنتي (Bada-allslaamu ghariiban wa saya uudu
ghariiban kamaa bada'a fa-thuubaa lilghurabaa-i).Ertinya :"Mulanya Islam
itu adalah asing dan akan kembali asing seperti semula. Maka berbuat baiklah
kepada orang-orang asing itu!"
Maka ditanyakan kepada Nabi
صلى الله عليه وسلم : "Siapakah orang-orang asing itu?".
Nabi menjawab : "Mereka
yang memperbaiki apa yang telah dirusakkan manusia dari sunnahku dan mereka
yang menghidupkan apa yang telah dimatikan manusia dari sunnahku".
Pada hadits yang lain
tersebut :
هم المتمسكون بما أنتم عليه
اليوم
Orang-orang asing itu,
berpegang teguh dengan apa yang kamu pegang sekarang".
Pada hadits lain lagi
tersebut :
الغرباء ناس قليل صالحون بين
ناس كثير ومن يبغضهم في الخلق أكثر ممن يحبهم
"Orang-orang asing itu
adalah manusia yang sedikit jumlahnya, orang-orang baik diantara manusia
banyak. Yang memarahi mereka lebih banyak daripada yang mencintainya".
Ilmu-ilmu itu telah menjadi
asing. Orang yang mengingatinya dimaki.
Karena itu, berkatalah
Ats-Tsuri ra, : "Apabila engkau melihat orang 'alim itu banyak teman maka
ketahuilah bahwa dia itu bercampur. Karena jika kebenaran yang dikemukakannya
maka dia akan dimarahi".
Tiada ulasan:
Catat Ulasan