Tarekat
Naqsyabandi merupakan satu-satunya tarekat yang memiliki Silsilah transmisi
pengetahuan melalui pemimpin pertama ummat Islam, Abu Bakar as-Sidiq. Tidak
seperti tarekat-tarekat lainnya, dimana Silsilah-nya berpangkal dari salah satu
pemimpin spiritual dan , iaitu Imam Ali Ibn Abi Thalib. Oleh karena-nya
kalangan peneliti barat membuat kesimpulan bahwa tarekat Naqsyabandiyyah adalah
Tarekat sunni yang bermashab Syafi’i.
Dalam suatu
kata pengantar Ahmad Tahiri Iraqi, dalam kitab “Qudsiyyah kalimati Baha’ ad
Din Naqsyaband”, karya Muhammad Parsa, Teheran, mengatakan bahwa: “
Salah satu
Karakter tarekat Naqsyabandi adalah tergambar melalui fakta bahwa
kesesuaian-nya dengan hukum-hukum Islam merupakan suatu hal yang teramat
penting dalam perkumpulan ini. Ketaatan yang mendalam terhadap hukum-hukum
syariat adalah thema yang sering di tekankan oleh banyak kalangan Naqsyabandi
dalam mendefinisikan jalan mistik mereka.”
Dalam
perkembangannya Tarekat Naqsyabandiyyah tersebar luas di Asia tengah, Volga,
Kaukasia, Barat laut dan Barat daya China sampai ke Indonesia, sub-kepulauan
India, Turki, Eropa dan Amerika Utara.
Tarekat
Naqsyabandiyyah, lahir dan di formalkan dengan menggunakan nama salah satu ahli
Silsilah yang terkenal dan memiliki banyak pengikut di berbagai pelosok Dunia
Islam. Ia adalah Muhammad Ibn Muhammad Baha’ al-Din al-Naqsyabandi, yang lahir
dari kota Hinduwan atau kota Arifan, Bukhara Uzbekistan pada tahun (717 H/1318
M – 791 H/1389 M).
Tradisi
Naqsyabandi tidak menganggap Baha’ al-Din al-Naqsyabandiyah sebagai pendiri
tarekat, atau dalam pengertian lain Tarekat Naqsyabandi bukan berawal darinya.
Akan tetapi karena kebesaran namanya, sebagai seorang tokoh sufi yang besar dan
pemimpin dzikir yang di hormati dan di cintai. Namanya diabadikan dan digunakan
sebagai bentuk penghomatan padanya, yakni Tarekat Naqsyabandiyyah.
ADA 3 FASAL WAKTU
PEMBENTUKAN TAREKAT NAQSYABANDIYAH
Fase pertama, Pra Sejarah berdirinya tarekat
Naqsayabandiyya.
Hamid Algar,
dalam karya tulisnya berjudul “Silent and Vocal Dhikr in the Naqsyabandi
order”, mengatakan, bahwa pada fase pertama periode pra sejarah Tarekat
Naqsyabandi di sebutnya sebagai “Periode protohistoris” .
Disebut sebagai periode protohistoris karena Tarekat Naqsyabandi pada masa itu
belum mempunyai identitas, karena tokoh-tokohnya atau garis Silsilahnya tidak
dianggap sebagai eksklusif milik Tareka Naqsyabandiyah yang menggunakan paham
sunni Salah satu contoh-nya adalah Saidina Ja’far as-Sodiq. Dia adalah Imam
Syiah ke 6 dari garis keturunan Ayahnya Imam Baqir sebagai Imam syiah ke 5, aka
tetapi dari garis keturunan Ibunya ia adalah cucu saidina Qosim Bin Muhammad Bin
Abu Bakar as-Siddiq, dan cicit dari Abu Bakar Siddiq. Imam Ja’far as-Sodiq
dalam transmisi ke Ilmuawannya lebih condong ke Ibunya putrid Saidina Qosim dan
mengenal Ilmu-ilmu Agama langsung dari kakeknya Saidina Qosim. Garis Silsilah
pada periode ini dimulai dari:
Syaikh Abu Ali
Fadhlal bin Muhammad Ath-Thusi al-Farmadi
Syaikh Abu
Hasan Ali bin Abu Ja’far al-Kharkani
Syaikh Abu
Yazid Thaifur bin Adam bin Syarusyan al-Busmati
Saidina Imam
Ja’far as-Sodiq
Saidina Qosim
bin Muhammad bin Abu Bakar Shiddiq
Saidina Salman
al-Farizi
Saidina Abu
Bakar as-Shidiq
Nabi Muhammad
saw.
Pada periode
protohistoris ini, Tarekat Naqsyabandi juga disebut sebagai Tarekat Uwaysi.
Disebut demikian karena inisiasi (bay’ah) tidak selalu di lakukan oleh
mursyid yang masih hidup dan selalu hadir secara fisik, akan tetapi inisiasinya
dapat dilakukan oleh mursyid yang kehadirannya secara spiritual (Rohanyah)
baik syeakh yang masih hidup maupun syeakh yang sudah meninggal sekalipun atau
pula melalui Nabi Khidir.
Dinamakan
Tarekat Uwaysi berkenaan dengan tokoh rohani atau spiritual pada zaman sahabat,
yaitu Uwaysi al-Qorni. Disebutkan bahwa Uwaysi al-Qorni selalu
berjumpa dengan Nabi walaupun tidak pernah berjumpa secara fisik, perjumpaanya
selalu melalui perjumpaan rohani.
Yusup Ibn
Ismail an-Nabhani dalam kitabnya, “Jami’u Karamatil Aulia”, Beirut
1398, mengatakan bahwa dalam silsilah Tarekat Naqsyabandi, antara Saidina
Ja’far as-Soddiq dan Abu Yazid Thaifur al-Bustami tidak pernah bertemu,
demikian juga antara Abu Yazid Thaifur al-Bustami dengan Abu Hasan Ali
al-Kharqani.
Saidina Ja’far
as-Soddiq wafat pada tahun 148 H dan Abu Yazid Thaifur al-Bustami lahir pada
tahun 188 H. selisih waktu 40 tahun.
Abu Yazid
Thaifur al-Bustami wafat tahun 261 H dan Abu Hasan Ali al-Kharqani lahir pada
tahun 352 H, selisih waktu 91 tahun.
Dua kasus
diatas merupakan kasus bentuk peng-inisiasian (Pembaitan) antara guru
dan murid tidak selalu secara fisik akan tetapi dapat terjadi secara batin (Rohanyah/Hakekat).
Kemudian Yusup Ibn Ismail an-Nabhani melanjutkan dalam risalahnya,
miskipun ketiga tokok tersebut Saidina Ja’far as-Soddiq, Abu Yazid Thaifur
al-Bustami dan Abu Hasan Ali al-Kharqani tidak pernah bertemu, ada penyambung
atau wasilah hingga transmisi ke-Ilmuawannya dapat bertemu. Adapun wasilah-wasilah
tersebut adalah sebagai berikut:
Silsilah
antara Ja’far as-Soddiq dan Abu Yazid Thaifur al-Bustami
Saidina Imam
Ja’far as-Soddiq
Saidina
Imam Musa al-Kadlim
Saidina
Imam Ali Ridho
Syeakh
Ma’ruf al-Kharkhi
Syeakh Abu
Yazid Thaifur al-Bustmi
Silsilah antara
Abu Yazid Thaifur al-Bustami dan Abu Hasan Ali al-Kharqani,
Syeakh Abu
Yazid Thaifur al-Bustami
Syeakh
Muhammad al-Maqhribi
Syeakh Abu
Yazid al-Isyqi
Syeakh Abu
al-Mudlafir at-Thusi
Syeakh Abu
Hasan Ali al-Kharqani
Mengenai
Tarekat Uwaysi yang telah di paparkan di atas serta silsilahnya pada periode
protohistoris ini, Pimpinan dan Mursyid Tarekat Naqsyabandi yang ke 36 Bapanda
H.S. Syaikh Muhammad Syukur Dermoga Barita Raja berpendapat, bahwa Silsilah
yang telah dibakukan itu merupakan sekumpulan nama-nama sufi besar dan Wali
qutub yang telah kamil mukamil (sempurna dan dapat menyempurnakan),
sedangkan yang tidak tercantum bukanlah tidak mempunyai arti penting dalam
silsilah ini, mereka-mereka juga sebagai wali-wali yang sudah kamil,
namun belum mukamil.
Lebih lanjut
Bapanda H.S. Syeakh Muhammad Syukur memaparkan dalam Tarekat Naqsyabandi
dikenal dua bentuk asal-usul ke Mursyidan, yaitu Mursydi Adab dan Mursyid
Adat. Disebut Mursyid Adab karena ketinggian Rohaniahnya yang
secara terus menerus melakukan transmisi atau penyambungan langsung dengan
Gurunya atau Mursyidnya yang telah wafat dan secara rohani tidak pernah putus.
Sedangkan Mursyid
Adat, merupakan ahli waris (ahlul bait) yang haq untuk pengelola
baik berupa asset maupun harta peninggalan lainnya serta meneruskan seluruh
perjuangan dakwahnya.
Dalam kasus
ini sudah lazim kita temua pada Tarekat Naqsyabandi. Seperti Syaikh Ubaid Allah
al-Ahrar as-Samarqandi (1403 – 1490 M), sufi besar dan al-Qutub dari Syash,
propensi Tasykand mursyid ke 18, risalah kemursidan jatuh kepada Syaikh
Muhammad as-Sahid (w 1520 M). Demikian juga pada Syaikh Muhammad Baqibilla
(1563 – 1603 M) Wali Besar al-Qutub yang lahir di Kabul Afganistan yang
kemudian menetap di India, mursyid ke 22, risalah kemursyitan-nya jatuh kepada
Syaikh Ahmad al-Faruqi Shirhindi (w 1626 M) lahir di Punjab India. Syaikh Ahmad
al-Faruqi adalah murid yang paling di hormati dan di cintai, dan dalam
perjalanan hidupnya Syaikh Ahmad tidak hanya seorang Sufi besar dan mursyid ke
23, melainkan jugu dikenal sebagai Mujaddid-i Alf-i Tsani (Pembaharu
Melinium ke kedua).
Fase kedua, Periode Formasi Tarekat Naqsyabandi
Pada fase
kedua ini, sejarah Tarekat Naqsyabandi mulai terlihat identitasnya sebagai
sebuah perkumpulan persaudaraan sufi.
Fakhr al-Din,
pengarang kitab sejarah thariqah dalam karyanya “Rasyabat ‘Ain al-Hayat”
menyebutkan, bahwa identitas Tarekat Naqsyabandi berawal atau bersumber dari
Guru Sufi besar yang hidup se-zaman dengan Muhiddin Abu Muhammad Abdul Qadir
bin Abi Saleh Zangi Dost Jilani (Syaikh Abdul Qadir al-Jailani), yaitu Syaikh
Abu Ya’kub Yusup al-Hamadani (w 1140 M).
Syaikh Abu
Ya’kub Yusup al-Hamadani, memiliki 2 orang murid yang sekaligus sebagai
khalifahnya dalam menyebar luaskan ajaran-ajarannya, yaitu Syaikh Ahmad
al-Yasawi (w 1169 M), dan Syaikh Abdul Khaliq Gujdawani (w 1220
M).
Syaikh Ahmad
al-Yasawi sebagai khalifah menyebarkan ajaran gurunya dengan membentuk suatu
perkumpulan persaudaraan sufi, yaitu Tarekat Yasawi. Yang
penyebarannya dari Asia tengah hingga Turki dan Anatolia.
Sedangkan
Syaikh Abdul Khaliq Gujdawani dalam menyebarkan ajaran gurunya di lakukan
dengan membentuk Tarekat Kwajagan (cara khoja atau guru).
Adapun penyebarannya berada pada sekitar daerah Transoksania.
Taqi al-Din
‘Abd Rahman al-Wasithi, dalam karya kitabnya “ Tiryaq al-muhibbin fi
thabaqat khirqat al masya’ikh al-‘arifin”, kairo 1305, berpendapat bahwa
Syaikh Abdul Khaliq Gujdawani dengan tarekat kwajagan-nya merupakan pilar dasar
terbentuknya Silsilah Tareqat Naqsyabandi. Lebih lanjut Taqi al-Din mengatakan
bahwa dari sanalah ruh gnosis Islam dan suksesi ajaran-ajaran Syaikh Abu Ya’qub
Yusup al-Hamadani terbentuk dan melembaga kedalam suatu bentuk Silsilah yang
tidak pernah putus. Adapun suksesi pewarisan ajaran Syaikh Abu Ya’qub Yusup
al-Hamadani ter-urai kedalam suatu Silsilah, sebagai berikut:
Syaikh
Muhammad Baha’ al-Din al-Naqsyabandi ibn Muhammad as-Syariful Husaini al-Hasani
al-Bukhari (w 1389 ), Ia mengambil dari ……..
Syaikh Sayid
Amir Kulali ibn Sayid Hamzah (w 1371 ), Ia mengambil dari …….
Syaikh
Muhammad Baba al-Samasi (w 1340), Ia mengambil dari ……..
Syaikh Azizan
Ali al-Ramitani (w 1306), Ia mengambil dari ……..
Syaikh Mahmud
al-Anjiri Faqhnawi (w 1272), Ia mengambil dari …….
Syaikh Arif
ar-Riwiqari (w 1259), Ia mengambil dari …….
Syaikh Abdul
Khaliq Guddawani (w 1220), Ia mengambil dari …..
Syaikh Abu
Ya’qup Yusup al-Hamadani (w 1140).
Selanjutnya
Taqi al-Din menguraikan, bahwa dalam tarekat Kwajagan melalui Syaikh Abdul
Khaliq Kudawani, gurunya menetapkan delapan prinsip dasar dalam ajarannya. Dan
kedelapan prinsip prinsip dasar tersebut menjadi dasar dari Tarekat
Naqsyabandi. Kedelapan prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
(1). Husy
dar dam, (2). nazhar bar qadam, (3). safar dar watan, (4). khalwat dar anjuman,
(5). yadkard, (6). bazgasyt, (7). nigah dast, dan (8). yads dast. Dari dasar-dasar ajaran syaikh Abu Ya’qub Yusup al-Hamadani,
selanjunya oleh Syaikh Baha’ al-Din al-Naqsyabandi menambah 3 prinsip utama
sebagai penyempurnaan. Ke tiga prinsip tambahan itu, adalah (1). Wuguf
zamani, (2). Wuquf ‘adadi, dan (3). Wuqub qalbi.
Ke-sebelas
prinsip tersebut selanjutnya dan seterusnya semenjak abad 13 dan 14 yang silam
telah di nisbatkan pada Tarekat Naqsybandi, dan sekaligus sebagai cikal bakal
dan pilar dasar terbentuknya sebuah gnosis Islam Tarekat Naqsyabandi.
Hamid Algar,
dalam tulisan pendeknya (berupa Makalah) yang dimuat oleh Studia Islamica Vol.
XLIV (1976) dengan judul “The Naqsyabandi Order: a Preliminary Survey of
its History and Significance” memberikan kesimpulan, bahwa sejak di
nisbatkannya nama Naqsyabandi dari Syaikh Baha’ al-Din sebagai Nama dan
Identitas dalam perkumpulan tarekat yang sebelumnya berupa tarekat khwajagan,
Tarekat Naqsyabandi semakin masyhur dan memiliki pengaruh yang sangat luas dari
masa ke masa. Figur utama Syaikh Baha’ al-Din tidak hanya di kenal sebagai
seorang sufi besar akan tetapi juga di kenal sebagai seorang tokoh penasehat
utama sultan, yang tegas dan berani serta adil pada masa pemerintahan sultan
Khalil (w 1347). Namanya di catat dalam sejarah kesultanan Samarkand. Semua
kemajuan yang di capai oleh ke sultanan tidak dapat dilepaskan dari peran serta
dan keterlibatan Baha’ al-Din.
Fase ketiga, periode perkembangan dan penyebaran Tarekat Naqsyabandi
Pada periode
ini, Tarekat Naqsyabandi telah menjadi sebuah perkumpulan besar yang
terorganisir dengan baik dan rapi. Pengikut-pengikut Tarekat Naqsyabandi tidak
hanya orang-orang yang menginginkan dan mencari pengetahuan spiritual, akan
tetapi sejumlah ahli figih, ahli tafsir dan ahli hadist berbai’at kepada Syaikh
Baha’ al-Din. Sederet Nama besar ahli Agama menjadi khalifah Syaikh Baha’
al-Din, seperti Khwaja Ala’ al-Din al-Aththar (w 1400) seorang ahli hadist, dan
theology Islam, Khwaja Muhammad Parsa (w 1419) seorang ahli tafsir Al-Quran,
dan bersama Ya’qub al-Charki menulis Tafsir Al-Quran, Khwaja Sa’id al-Din
Kasyghari (w 1459) seorang teolog dan ahli Filasafat. Pada periode ini yang
paling menonjol adalah murid dan sekaligus seorang khalifah Ya’qub al-Charki,
yaitu Syaikh Nasaruddin Ubaidullah al-Ahrar as-Samarqandi (w 1490) yang
kemudian menjadi penerus kemursyidan tarekat Naqsyabandi generasi ketiga Syaikh
Baha’ al-Din.
Berbagai
refrensi dan buku-buku sejarah tarekat Naqsyabandi ini, Syaikh Nasaruddin
Ubaidullah al-Ahrar telah merubah sebuah paradikma klasik yang meng-identikkan
kesufian dan kemiskinan. Ia adalah simbul seorang Mistikus Islam yang sangat
amat kaya. Pemilik 3.300 perkampungan (mazra’ah) dan lahan pertanian yang
sangat luas. Sebuah kampung terkenal Pashaghar di samarkand adalah miliknya,
dan dalam perniagaannya di bantu oleh tiga ribu buruh dan tiga ribu pasang
kerbau untuk mengairi lahan pertaniannya. Delapan ribu maund gandum di serahkan
kepada sultan Ahmad Mirza sebagai pajak tanah pertanian setiap tahun.
Syaikh
Nasaruddin Ubaidullah al-Ahrar sebaga mursyid ke 18, dalam suksesi kemursidan.
Pada masa kepemimpinannya, Tarekat Naqsyabandi telah tersebar dan menguasai
hampir seluruh wilayah Asia Tengah meluas ke Turki dan India. Kemudian telah
berdiri beberapa pusat perkumpulan (cabang), seperti China, Chiva, Taskend,
Harrat, Bukhara, Iran, Afganistan, Turkistan, Khogan, Baluchistan, Iraq, India.
Pada periode
ini, Tarekat Naqsyabandi mencapai puncaknya ketika suksesi kemursidan di pegang
oleh Syaikh Ahmad al-Faruqi Sirhindi (w 1624) sebagai mursyid ke 23. Syaikh
Ahmad al-Faruqi Sirhindi adalah seorang ahli fiqih dan hafal Al-Quran. Ia
adalah murid kesayangan karena kesuhudan dan keshalehannya, dan di hormati
karena ketinggian Ilmunya dan pemikirannya yang sangat cemerlang dari seorang
guru sufi besar, al-Qutub Syaikh Muhammad Baqi Billah (w 1603) mursyid ke 22
Tarekat Naqsyabandi yang bermukin di India.
Dibawah
kepemimpinan Syaikh Ahmad al-Faruqi Sirhindi, Tarekat Naqsyabandi telah
tersebar ke berbagai penjuru Dunia Islam dan di ikuti oleh banyak pengikut.
Pada masa itu pula telah berdiri beberapa tempat pusat kegiatan berupa
kangah-kangah, seperti di Jabal Abu Qubais Arab, Yaman, Damaskus, Mesir,
Spanyol, Bagdad, Afrika dan Amerika Utara. Syaikh Ahmad al-Faruqi Sirhindi
tidak hanya seorang guru sufi besar akan tetapi juga seorang Mujaddid. Dan
pemikirannya tidak hanya di akui oleh dunia Islam akan tetapi juga oleh para
orientalis barat, katab-kitab karanganya telah menjadi rujukan Ilmu-ilmu
Filsafat dan Sosial. Demikian juga para mursyid-mursyid berikutnya, setiap
zaman, setiap masa, para mursyid sebagai ahli silsilah di Tarekat Naqsyabandi
senantiasa memiliki keahlian-keahlian yang berbeda sesuai dengan kondisi zaman.
PERKEMBANGAN TAREKAT NAQSYABANDI
Penamaan
tarekat Naqsyabandi dari sejak periode Nambi Muhammad SAW hingga sekarang
adalah sebagai berikut :
1. Pada masa periode Nabi Muhammad SAW, di namai Tarekatus Sirriyah.
Karena halus dan tingginya Tarekat ini.
2. Pada masa periode Abubakar Siddiq r.a, di namai Tarikatul
Ubudiyah, karena ketinggian dan kesempurnaan pengabdian Nabi Muhammad
SAW kepada Allah SWT, baik secara lahir maupun secara bathin.
3. Pada masa periode Zalamn al-Farizi samapai dengan masa peride Taifur
Abu Yazid al-Bustami, di namai Tarikatus Siddiqiyah, karena
ketinggian dan kesempurnaan pengabdian Abubakar Siddiq r.a kepada Nabi Muhammad
SAW, secara lahir dan Batin.
4. Pada masa Taifur Abu Yazid al-Bustami sampai dengan masa periode Abdul
Khaliq Kujdawani, di namai Tarekatul Taifuriyah.
5. Pada masa Abdul Khaliq Kujdawani sampai periode Muhammad Baha’uddin
Naqsyabandi disebut Tarekatul Kuwajaganiyah.
6. Pada masa periode Muhammad Baha’uddin Naqsyabandi sampai masa periode
Mohammada Naziruddin Ubaidullah al-Ahrar q.s disebut Tarekatun
Naqsyabandiyah.
7. Pada masa periode Mohammad Naziruddin Ubaidullah al-Ahrar samapai Ahmad
al-Faruqi 9ahmad Shirhindi q.s ), di namai Tarekatul Naqsyabandiyah
al-Ahrariyah.
8. Pada masa periode Ahmad al-Faruqi Shirhindi sampai pada periode Maulana
Dhiyauddin Khalid al-Ustmani al-Kurdi q.s, dinamai Tarekatun Naqsyabandi
al-Ahrariyah al-Mujaddidiyah Dan di perpendek menjadi Tarekatun
Naqsyabandi Al-Mujaddidiyah.
9. Pada masa periode Maulana Dhiyauddin Khlaid al-Ustmani sampai dengan
periode penyebaran ke Jabal Abu Qubais hingga Sepanyol Eropa dan Afrika, yang
di sebarkan oleh para khalifah-kalaifah maulana Dhiyauddin Khalid al-Ustmani,
dinamai dengan Tarekatun Naqsyabandi Al-Mujaddidiyah Al-Khalidiyah.
Penamaan-penamaan
Tarekat Naqsyabandiya di dasarakan pada Nama-nama Mursiyd yang Kamil
mu-Mukamil pada setiap kurun waktu, masa dan periode serta sebagai
wujud atas kebesaran-nya dalam mengembangkan amanat peramalan atau Dzikrullah. Tarekat
Naqsyabandiyah al-Ahrariyah, diambil dari nama Ubaidullah al-Ahrar, karena
kebesarannya dalam mengembangkan dan menyebarkan Tarekat ke seluruh Dunia. Tarikatun
Naqsyabandiyah al-Mujaddiyah karena kebesaran nama guru Mursyid Ahmad
al-Faruqi Shirhindi atau dikenal dengan Ahmad Shirhindi, beliau dikenal sebagai
seorang Mujaddid abad Mellinium kedua dan sekaligus seorang sufi besar, yang
karya-karya bukunya telah di kenal di seluruh Dunia, serta pemikirannya yang
segar dan dinamis.
PENUTUP DAN AHLI SILSILAH TAREKAT NAQSYABANDI
Adalah fakta
sejarah, bahwa antara Islam dan Tasawuf merupakan satu kesatuan yang utuh,
seperti hal-nya Syari’ah dan Islam. Tasawuf dan Syari’ah pada hakekatnya suatu
kesatuan yang tidak dapat di pisahkan, menghilangkan sisi yang satu dengan
mengambil sisi yang lain, akan kehilangan makna kesejatiannya. Ibarat setali
mata uang, akan berharga manakala dua sisinya tampak. Demikian juga dalam
menempuh hidup bertasawuf, tarekat yang benar adalah berdiri di atas
syari’at yang benar.
Meneliti dan
mengkaji tasawuf dari sudut pandang Ilmu seperti berada pada sebuah samudra
yang sangat amat luas, tak bertepi dan tak berujung. Semakin jauh
menyelam kedalamnya semakin luas cakupan akal untuk memahaminya.
Semakin dalam pengembaraan semakin sulit untuk di pahami, sebab akal dan
fikiran hanyalah sebuah alat menganalisa sebuah fakta-fakta yang tampak secara
kasat mata.
Menyelami
dunia tasawuf adalah sebuah pengembaraan yang melelahkan karena luasnya tidak
dapat di ukur berdasarkan logika dan akal, dan kesimpulan akhir dari
pengembaraan hanya seuntai kata yang terangkai dalam sebuah kata dan terangkum
dalam puisi-puisi kerinduan, puisi cinta akan ke Tuhanan, saking sulitnya
bagaimana menyimpulkan dan menyampaikannya dalam bahasa dakwa dan testimonial.
Sangat sedikit
orang dapat merasakan keindahannya, dan ia adalah pilihannya untuk dapat
melakukan Mi’raj mencapai sebuah puncak terjauh tempat berteduhnya
burung-burung mistik “shimurgi” untuk mencapai apa yang sesungguhnya ada pada
diri dan kesejatian itu.
Kebenaran
Tasawuf Islam tidak dapat di capai dengan sebuah rangkaian cerita, pena,
kata-kata dan logika, walau akal kerap kali di jadika sebagai alat untuk
memahaminya, namun akal tidak dapat menembus dan mengungkap sebuah kerahasian
yang tersembunyi, yaitu Kerahasian Ketuhanan yang halus.
cintanya
hingga ia hilang kesadarannya, ada yang menolak hingga meng-kafirkan, ada yang
terbunuh, ada yang membela akan kebenarannya, dan ada yang merasakan
ke-otentikannya sehingga prinsip-prinsip ketuhanan terbuka hijabnya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan