Catatan Popular

Selasa, 12 Mac 2013

WEJANGAN SUFI SYEIKH AHMAD AR-RIFA’Y KE 7 : SUNGGUH MENHERANKAN

Syeikh Ahmad ar-Rifa’y (PENDIRI TAREKAT RIFAIYYAH)

Riwayat dari Umar bin Khotob ra, aku mendengar Rasullulah mengatakan:


“Sesungguhnya amal-amal itu bergantung dengan niat-niatnya, dan sesungguhnya setiap orang tergantung apa yang diniatkan. Maka siapa yang hijarhnya kepada Allah dan rasulNya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasulNya.


Dan barang siapa yang hijrahnya kepada dunia akan mendapatkan dunia, atau kepada perempuan, akan mengawininya. Maka hijrahnya tergantung apa yang doiorientasikannya.” (Hr. Bukhori, Muslim dan Nasa’y dan yang lain)

Hati kaum arifin senantiasa menuju Rabbul ‘alamin.
Raihlah tujuan perjalanan akhir tanpa hambatan,
Hanya menuju dan bagi Allah, janganlah ke lain Allah
Setiap apa yang kau harapkan
Teguh dengan hijrah kepada Allah

Riwayat Anas bin Malik ra, berkata: Bahwa dibawah dinding dimana allah swt memberi khabar melalui firmanNya,
“Dan di bawahnya ada perbendaharaan bagi keduanya…”, adalah lembaran dari emas. Dan emas itu ada tulisan di dalamnya , “Bismillahirrohmaanirrohim.

Aku heran kepada orang yang yang meyakini kematian, bagaimana ia bisa gembira? Aku heran pada orang yang meyakini takdir, bagaimana ia susah? Aku heran kepada orang yang meyakini adanya neraka, bagaimana ia bisa tertawa? Aku heran dengan orang yang meyakini sirnanya dunia dan penghuninya akan tertbalik, bagaimana ia merasa tenteram di dunia? Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah.”
Wahb –Rahimahullah – mengatakan, “Suatu ketika aku berjalan menuju wilayah Romawi, tiba-tiba kudengar suara dibalik bukit sedang bergema:
“Oh Tuhanku, aku heran pada orang yang mengenalMu, bagaimana dia malah senang dengan benciMu demi kerelaan pada selain DiriMu?
“Oh Tuhanku, aku heran kepada orang mengenalMu, bagaimana ia masih berharap kepada selain Dikau?”
Lalu aku mencari suara itu, ternayata disana ada orang tua yang sedang bersujud, bermunajat:
“Mahasuci Engkau…Maha Suci Engkau, sungguh mengherankan bagi makhluk, bagaimana mereka ini berharap padaMu suatu gantiMu?
Maha Suci Engkau, sungguh mengherankan bagaimana bagaimana mereka sibuk berbakti kepada selain Engkau?!
Maha Suci Engkau, sangat mengherankan makhluk, bagaimana mereka rindu selain DiriMu?
Maha Suci engkau…Maha Suci Engkau, bagaimana mereka menikmati sesuatu Selain DiriMu, dan sesuatu SelainMu?”
Lalu aku lewat, dan aku tak menghiraukan apa yang aku lihat.
Abu Yazid ra, berkata, “Aku heran kepada ahli syurga, bagaimana mereka menikmatinya tanpa Allah? Atau bagaimana mereka bisa bersuka ria tanpaNya? Aku heran orang yang merasa puas pada suatu kondisi ruhani, tanpa ia puas dengan sang pemilik kondisi ruhani itu? Lebih mengherankan pada mereka yang menghadapkan dirinya pada makhluk, sedangkan Allah ta’ala memanggil, “Kemarilah padaKu…PadaKu…”

Abdullah bin Muqotil ra mengatakan:
“Aku heran kepada manusia, dimana Allah memilih untuk DiriNya, dengan serba cukup dariNya, malah manusia kontra dariNya disertai rasa butuh padaNya!
Aku heran kepada orang yang sibuk dengan urusannya, padahal urusannya sudah selesai.

Aku heran kepada orang yang memerintahkan orang lain sedang ia sendiri tidak mengerjakan, ia marah pada orang lain sedang ia sendiri melanggar, ia benci untuk maksiat sedangkan ia melakukannya. Ia senang untuk ditaati sedangkan ia tidak taat pada Tuhannya. Ia mencaci yang lain dengan prasangka, sedangkan ia tak pernah mencaci dirinya dengan yakin.”

Hatim al-Asham ra mengatakan:
“Aku heran kepada orang yang malu pada makhluk, bagaimana ia tidak malu kepada Allah?
Aku heran kepada orang yang mencari ridlo makhluk sedangkan ia tidak mencari ridlo Tuhan?
Aku heran kepada orang yang mencintai ahli ibadah, sedangkan ia menuju maksiat?
Aku heran kepada orang yang mengenal keagungan Allah bagaimana ia bisa kontra padaNya?
Aku heran kepada orang yang makan rizki Tuhannya bagaimana ia terimakasih kepada selain Allah?
Aku heran kepada orang yang membeli budak dengan hartanya, bagaimana ia tidak membeli orang merdeka dengan kebajikannya dan ucapan indahnya?”

Khunais bin Abdullah ra berkata,:
“Aku heran kepada orang yang malamnya bangun, siangnya puasa, menjauhi larangan-laranganNya, namun tidak bisa bertemu denganNya kecuali hanya menangis dan susah belaka? Aku heran kepada orang yang malamnya tidur, siangnya bermain-main, dipenuhi dosa-dosa, sedangkan ia tak akan bertemu denganNya selamanya, malah ia tertawa bergembira…”

Yahya bin Mu’adz ra berkata:
Aku heran kepada orang yang menghinakan dirinya untuk si budak, dan ia menemukan dari Tuannya apa yang dia mau?
Aku heran kepada orang yang konsumsinya roti kering, namun bermaksiat pada tuhannya Yang Maha Lembut?
Aku heran kepada orang yang takut akan kematian dirinya tapi tidak takut kepada kematian hatinya, yang takut akan kehilangan dunianya, bagaimana ia tidak takut kehilangan agamanya?
Seorang Sufi berdendang:
Ilahi….
Aku heran dariMu dan dariku
Apakah Kau mensirnakan diriku olehMu dariku
Engkau dekatkan aku dariMu hingga
Kuduga sesungguhnya Engkau adalah aku?

Yahya bin Mu’adz ra bermunajat:
Oh Ilahi…
Mengingat syurga berarti kematian, mengingat neraka berarti kematian, sungguh mengherankan orang yang hidup diantara dua kematian! Soal syurga ia tidak sabar, dan soal neraka ia tidak sabar atas siksanya.
Dikatakan, “Mengingat wushul adalah kematian. Mengingat “pisah” adalah kematian. Bagaimana hati hidup diantara dua kematian? Kematian orang yang ma’rifat itu sangat mengherankan. Karena sang arif berada diantara kegembiraan ma’rifat dan ketakutan pisah dengan Allah Ta’ala. Bagaimana kematian berserasi dengan kesenangan ma’rifat? Atai bagaimana kehidupan disertai ketakutan pisah?”

Aku heran kepada orang yang berkata “Aku mengingat Tuhanku..”
Adakah bisa lupa, lalu aku mengingat yang kulupa?
Aku mati jika mengingatMu, kemudian hidup
Jika bukan karena air wushulMu aku tak pernah hidup
Lalu Kau hidupkan dengan harapan, lalu aku mati oleh kerinduan.
Seberapa banyak aku hidup padaMu dan berapa aku mati?

Kuteguk air cinta
Piala demi piala
Tak habis-habismu minuman
Tak puas-puasnya

Sungguh heran!
Perkaraku jadi aneh disetiap lorong keanehan
Lalu aku jadi heran di setiap lorong keheranan.


WEJANGAN SUFI SYEIKH AHMAD AR-RIFA’Y KE 6: DEREJAT ARIFFIN

Syeikh Ahmad ar-Rifa’y (PENGASAS  TAREKAT RIFAIYYAH)

Riwayat dari Irman bin Hashin, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw, bersabda:
“Dari ummatku bakal masuk syurga tujuh puluh ribu orang tanpa hisab.” Mereka bertanya, “Siapakah mereka itu wahai

Rasulullah?” Rasulullah saw, bersabda, “Mereka itu adalah orang yang tidak pernah melakukan ruqyah, tidak pernah meramal, tidak pernah berbekam, dan mereka senantiasa tawakkal kepada Allah.” (Hr. Muslim)

Rasulullah saw, memposisikan “ramalan” di urutan kedua, setelah berupaya untuk tidak berobat yang merupakan derajat murni sejati, yang tergolong ahli fana’, dan mereka senantiasa dalam Kehendak Allah swt.

Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka. Namun betapa sedikit jumlah mereka dalam setiap periode. Karena derajat mereka adalah mewujudkan hakikat tawakkal kepada Allah swt. Kepasrahan total yang meliputi seluruh instrument sebab akibat dan kehendak. Merekalah kaum ‘Arifin Billah yang sesungguhnya, semoga Allah meridloi mereka.
Amboi, jika orang ‘Alim itu terbagi dua:
1.) Satu golongan yang membuatku terbebas dari keraguan.
2.) Satu golongan yang menggunting-gunting diriku dari gunting neraka. Tak lebih dan tak kurang mereka itu, dimataku.

Anak-anak sekalian…Ketahuilah orang ‘arif kepada Allah swt dengan ma’rifat yang benar, senantiasa terhanguskan hasratnya di bawah keceriaan dalam WahdaniyahNya. Dan tak ada keceriaan mulai dari Arasy sampai muka bumi yang lebih besar ketibang kegembiraan ma’rifat kepada Allah swt.

Syurga seisinya itu dibanding sisi kegembiraan mereka kepada Allah swt, nilainya sangat kecil, lebih kecil dibanding atom, ketika mereka tahu bahwa ma’rifat adalah kegembiraan paling agung dari segala kegembiraan mana pun.

Siapa yang bertemu Allah swt, maka mana yang tak bisa ditemukan? Kesibukan apalagi yang akan dilakukan setelah bertemu denganNya? Bukankah melihat selain Allah itu tak lebih dari keliaran nafsu belaka? Hasrat yang rendah? Dan minimnya ma’rifat kepada Allah Ta’ala?

Adakah pakaian yang lebih baik dibanding baju Islam? Apakah ada mahkota yang lebih agung ketimbang mahkota ma’rifat? Atau adakah hamparan yang lebih mulia ketimbang hamparan taat?
Allah swt berfirman:
“Katakan, dengan karunia Allah dan dengan rahmatNya, maka dengan karunia dan rahmat itulah kalian semua bergembira…”

Dalam sebagian munajatnya Ibrahim bin Adham ra mengatakan:
“Illahi, Engkau Maha Tahu syurga dan seisinya, rasanya tak melintas padaku walau sesayap nyamuk setelah Engkau beri aku ma’rifat kepadaMu, dan kemesraanku kepadaMu, dan Engkau telah membuatkan mencurah untuk tafakkur atas keagunganMu, serta Engkau telah menjanjikan padaku untuk memandang WajahMu.”

Memang. Sesungguhnya derajat terendah kaum ‘arifin itu, manakala Allah memasukkannya ke dalam neraka yang diliputi adzab, maka hatinya malah tambah cinta kepadaNya, semakin mesra sukacita padaNya, dan semakin rindu kepadaNya.

Ibnu Sirin ra, berkata, “Jika aku harus memilih antara syurga dan sholat dua rakaat, aku memilih sholat dua rakaat. Karena dalam dua rakaat ada ridlonya Allah swt, taqarrub kepadaNya. Sedang dalam syurga yang ada kesenangan nafsu dan kesenangan manusia.”

Ketika Nabi Ibrahim as, dilemparkan ke dalam api, “Mereka mengatakan, bakarlah dia, dan mintalah pertolongan pada Tuhan kalian!” kata mereka.

Nabi Ibrahim as, menjawab, “Cukuplah bagiku Tuhanku dan Dialah sebaik-baik tenmpat berserah diri, sebaik-baik Tuhan dan sebaik-sebaik Penolong.”

Kemudian Allah swt, berfirman, “Wahai api jadilah dirimu dingin sejuk dan menyelamatkan atas Ibrahim.”
Berserah diri Diriwayatkan, ketika Allah swt berfirman kepada Nabi Ibrahim as, “Wahai Ibrahim, engkaulah sahabat dekatKu, dan Aku sahabat dekatmu. [pagebreak]

Maka jangan berpaling dariKu, yang menyebabkan putusnya hubungan kesahabatan antara diriKu dan dirimu, karena orang yang benar-benar mengaku sahabat dekatKu jika dibakar oleh api, hatinya sama sekali tidak bergeser dariKu, karena menghormati kebesaranKu.”

Allah swt juga menyebutkan dalam Al-Qur’an, :
“Ketika Tuhannya berkata kepada Ibrahim, “Islamlah”! Ibrahim menjawab, “Aku Islam kepada Tuhannya Semesta Alam.”
Allah swt mengetahui kepasrahan totalnya (Islam) sampai kemudian ia dilempar dalam api.
Abu Abdullah bin Muqotil ra bermunajat:
“Ilahi, janganlah Engkau masukkan diriku ke dalam neraka, karena api pun bisa menjadi dingin padaku karena cintaku kepadaMu.”

Abu Ayyub As-Sikhtiyani ra berkata, “Neraka itu ditakui, bagi mereka yang lupa akan Tuhannya. Lalu dikatakan pada mereka yang lupa itu: “Rasakan semua atas kelalaianmu dalam pertemuan harimu ini…” dengan segenap balasan amalnya.”
Abu Hafsh ra menegaskan, “Saya sangat khawatir atas ma’rifat sebagian orang, yang sudah ditulis di jubah mereka, “Orang-orang merdekanya Allah setelah dikeluarkan dari neraka…” Namun mereka memohon agar tanda tulisan itu dihapus dari mereka. Jika aku jadi mereka, aku sangat memohon agar tanda itu ditulis di seluruh anggota badanku, dan membuatku cukup bangga: “Akulah dari golongan orang yang dimerdekakan dari neraka…!”

Menurutku, apa yang diraih ahli syurga dalam syurganya adalah Robb Ta’ala, kedekatan padaNya, dan memandangNya serta mendengarkan KalamNya.
Ingat isteri Firaun ketika bermunajat:
“Tuhanku, bangunkan rumah bagiku di sisiMu dalam syurga.”

Sebagaimana disebutkan, “Tetangga dulu, baru rumah.”
Ibrahim bin Adham ra, mengatakan, “Aku sangat malu jika tujuan utamaku adalah makhluk, padahal Allah swt telah berfirman kepada sebagian para NabiNya, “Siapa yang berkehendak pada Kami, ia tak ingin selain diri Kami…”
Sebagian Syeikh Sufi mengatakan, “Aku pernah melihat seorang pemuda di Masjidil Haram sedang dalam kondisi menderita dan kelaparan, saya sangat kasihan padanya. Aku punya seratus dinar dalam kantong, lalu kudekati dia. “Hai sayang, ini buat kebutuhan-kebutuhanmu…”

Pemuda itu tidak menoleh sama sekali padaku, dan aku terus mendesaknya. Pemuda itu berkata, “Hai Syeikh, dinar ini sesuatu yang tidak bias aku jual dengan syurga dan seisinya. Syurga itu negeri keagungan, asal sumber keteguhan dan keabadian. Bagaimana aku menjualnya dengan harga yang hina?”
Abu Musa ad-Daylaby, - pelayan Abu Yazid - semoga Allah merahmati keduanya, berkata, “Aku pernah mendengar seorang Syeikh di Bistham mengatakan, “Aku bermimpi, sepertinya Allah swt berfirman: “Kalian semua sedang mencari sesuatu dariKu – selain Abu Yazid – sesungguhnya dia mencariKu dan menghendakiKu, dan Aku pun menghendakiNya.”[pagebreak]
Abu badullah ra, mengatakan, “Jadikan Allah itu sebagai majlis dan tempat kemesraan. Disiplinlah khidmah pada Tuhanmu. Maka dunia akan datang kepadamu dalam keadaan merana, dan kau diburu akhirat, dan akhirat begitu rindu…”
“Hai pemburu dunia, tinggalkan dunia, maka dunia memburumu!”, lanjutnya.

Abu Said al-Kharraz ra, mengatakan, “Suatu hari aku di tempat wuquf, lalu aku ingin memohon kepada Allah swt sesuatu kebutuhan. Lantas muncul bisikan lembut tanpa suara kepadaku.”Di hadapanmu Allah, kamu masih mencari selain Allah?”

Ada seseorang menulis surat kepada saudaranya, “Amma Ba’du: “Tamparlah muka para penghasrat dunia dengan dunianya, tamparlah pencari akhirat pada wajah pemburunya. Bermesralah dengan Robbul ‘alamin. Wassalam.”

Abu Abdullah an-Nasaj r.a. mengatakan, “Janganlah menumpuk banyak syurga bagi orang beriman, karena Allah akan memberikan kelayakan yang lebih banyak disbanding syurga, yaitu ma’rifat.”
Seseorang sholat jenazah dengan lima kali takbir. Ditanya kenapa sampai lima kali? “Empat takbiranku untuk si mayit. Dan satu untuk dua rumah (dunia-akhirat)…” katanya.

Kisah terjadi ketika ayat Al-Qur’an dibacakan pada Abu Yazid, “Diantara kalian ada yang berharap dunia, dan diantara kalian ada yang berharap akhirat…” Lalu Abu Yazid berkata, “Mana yang berharap kepada Tuhan?”

Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib kw, berkata kepada Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. : “Wahai Khalifah Rasulullah saw, bagaimana anda meraih posisi derajat ini hingga mendahului kami?”
Abu Bakr Shiddiq ara, menjawab, “Dengan lima perkara:”
Pertama : Aku dapatkan manusia dua kelompok; pemburu dunia dan pemburu akhirat, sedangkan aku pemburu Tuhan.
Kedua : Sejak aku masuk Islam, aku tak pernah kenyang dengan makanan dunia.
Ketiga : Aku tak pernah segar minum minuman dunia.
Keempat : Jika muncul di hadapanku dua pilihan amaliah: amal dunia dan amal akhirat, aku pasti memilih amal akhirat.
Kelima : Aku berguru (bersahabat) pada Nabi saw, dan aku senantiasa bersahabat yang sebaik-baiknya.

WEJANGAN SUFI SYEIKH AHMAD AR-RIFA’Y KE 5 : DIBALIK KEAJAIBAN KASIH SAYANG

Syeikh Ahmad ar-Rifa’y (PENGASAS TAREKAT RIFAIYYAH)


Rasulullah Saw bersabda: “Orang yang memiliki kasih sayang, bakal disayang oleh Allah Yang Maha Penyayang-Yang Maha Memberi Berkah dan Maha Luhur, karena itu berikan
kasih sayang kepada siapa pun di muka bumi, maka yang di langit, akan menyayangimu.” (Hr. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dalam hadits yang mulia ini ada keajaiban yang luar biasa dari ilmu-ilmu dan rahasia Allah, dimana Al-Musthofa Nabi Muhammad saw, memerintahkan adanya cinta dan kasih sayang terhadap semua makhluk di muka bumi, agar kasih sayang dari malaikat luhur di langit melimpah pula.

Karena langit adalah jalan bagi turunnya Kasih Sayang Ilahi, dan tempat sumber limpahan-limpahan alam cinta dan kasih sayang, sekaligus tempat hunian para malaikat yang dijadikan sebagai perantara rahasia-rahasia antara DiriNya dan para makhlukNya.

Bila Allah melimpahkan rahmat dalam rahasia malaikat rizqi, maka Allah memberikan pertolongan kepada pencari rizqi.
Bila Allah melimpahkan rahmat kepada rahasia pencatat amal, maka Allah memberikan kelupaan hamba terhadap keburukan-keburukan.
Bila Allah melimpahkan pada rahasia malaikat Raqib, maka Allah memberikan pertolongan dan kasih sayang.

Kasih sayang adalah perilaku jiwa kaum ‘arifin dan sekaligus menjadi mi’raj qalbunya menuju Tuhannya. Sedangkan hamba-hamba Allah yang ‘Arifin tadi merupakan pantulan manifestasi Rahmat Tuhan semesta alam bagi para makhlukNya. Dan Dia adalah Maha Suci nan Maha Cinta dan Kasih.

Anak-anak sekalian…Bila kalian mewujudkan sifat kasih sayang kepada sesama makhluk, anda pasti dirahmati. Jika anda bermajlis dengan kaum ‘arifin, pasti anda sukses jiwamu. Jika
anda bertanya bertanya pada kaum yang penuh hikmah Rabbaniyah pasti anda mendapatkan pengetahuan.

Segala sesuatu itu ada kuncinya. Kunci ilmu itu bertanya (jika tidak tahu). Jika anda bisa hendaklah bermajlis dengan kaum ‘arifin, yang bisa anda gali pengetahuan mereka dan hakikat rumusnya, kelembutan isyaratnya, maka sungguh anda meraih keuntungan. Karena yang paling mulia diantara para Ulama adalah Ulama Robbanyiyyun, yang sangat agung dibanding siapa pun di muka bumi selain Allah. Karena mereka ini adalah Kekasih-kekasih Allah dan pengemban amanah rahasiaNya.
Maka jagalah kehormatan mereka, gerakkan intuisi mereka dengan bertanya yang baik. Karena gejolak ombak dari intuisi kaum ‘arifin itu tidak akan pernah sirna keajaibannya. Maka cukuplah disebut tolol bagi seseorang yang tidak mau belajar pada mereka, meraih limpahan dari kemampuan mereka. Padahal Allah swt telah berfirman:
“Bertanyalah kepada ahli dzikir manakala kalian tidak tahu.”

Nabi saw, juga bersabda:
“Bermajlislah dengan orang-orang yang berjiwa besar dan bertanyalah kepada para Ulama dan bergaulah dengan para ahli hikmah (Ilahiyah).”

Adab Pencari Ilmu



Dzun-Nuun al-Mishry berkata: “Ada seorang tokoh di Marokko diceritakan sifat-sifatnya padaku. Hingga akhirnya aku menempuh perjalanan ke sana. Selama 40 hari aku diam di sana, namun aku tidak mendapatkan pengetahuan apa-apa. Saya tahu tokoh itu sangat sibuk dengan Tuhannya. Padahal aku pun juga tidak pernah sedikit pun mengurangi rasa hormatku. Suatu hari ia melihatku:
“Dari mana seorang pengembara ini?” tanyanya.
Aku ceritakan perjalananku dan sebagian kondisi jiwaku.
“Apa yang membuat anda kemari?”
“Saya ingin menggali ilmu anda…” kataku.
“Taqwalah kepada Allah dan pasrahlah kepadaNya. Karena Dia adalah Yang Maha Memelihara nan Maha Terpuji,” katanya kemudian diam begitu lama.

“Mohon ditambah lagi bagiku, semoga Allah merahmatimu. Saya ini orang yang sangat asing, dan datang dari negeri yang jauh. Aku ingin bertanya banyak hal yang bergolak di batinku….”
“Anda ini pelajar, seorang Ulama atau peneliti?” tanyanya padaku.
“Saya ini pelajar yang sangat butuh pengetahuan.”
“Nah, anda sebaiknya tetap di posisi anda sebagai pelajar. Jagalah adab dan jangan melampaui batas. Sebab jika anda melampaui batas adab tadi malah rusak manfaatnya.
Para cendekiawan itu dari kalangan para Ulama. Sedangkan para ‘Arifun itu dari kaum Sufi yang menempuh jalan kebenaran dan menempuh segala jerih payah kesusahan, mereka pergi dengan kebajikan dunia akhirat.”

“Semoga Allah memberikan rahmat padamu. Kapankah seorang hamba sampai pada tahap yang anda ungkapkan sifatnya itu?” tanyaku lagi

“Jika ia telah keluarkan hatinya dari sebab akibat duniawi.”
“Kapan seorang hamba bisa demikian?”
“Jika ia telah keluar dari merasa bisa berdaya dan berupaya.”
“Apakah pangkal akhir seorang ‘arif itu?”
“Jika semuanya seperti tiada ketika semuanya ada.”
“Kapan sampai pada martabat Shiddiqin?”
“Jika sudah mengenal dirinya.”
“Kapan mengenal dirinya?”
“Jika telah tenggelam di lautan anugerah. Dan keluar dari tempat ke-egoannya dan berpijak pada langkah keluhuran.”
“Kapan sampai pada sifat-sifat itu?”
“Bila ia duduk di kapal Ketunggalan.”
“Apa kapal Ketunggalan itu?”
“Menegakkan ubudiyah yang benar.”
“Lalu kebenaran ubudiyah itu yang bagaimana?”
“Beramal hanya bagi Allah Ta’ala, dan ridlo terhadap ketentuan Allah.”
“Kalau begitu berilah aku wasiat…”
“Aku wasiat kepadamu, agar terus bersama Allah.”
“Lagi….”
“Cukup!”

Abdul Wahid bin Zaid ra, mengisahkan, “Suatu hari aku bertemu dengan seseorang ketika di perjalananku, ia memakai baju dari bulu. Aku ucapkan salam padanya.
“Semoga Allah merahmatimu, aku ingin bertanya suatu hal.”
“Silakan. Hari-hari telah lewat dan nafas itu dihitung dan dibatasi. Sedangkan Allah terus menerus mendengar dan melihat.”
“Apakah pangkal taqwa itu?”
“Sabar bersama Allah Ta’ala,” jawabnya.
“Sabar itu pangkalnya apa?”
“Tawakkal pada Allah.”
“Pangkal tawakkal?”
“Memutuskan diri hanya bagi Allah.”
“Pangkal memutuskan diri hanya bagi Allah?”
“Menyendiri bersama Allah.”
“Pangkal menyendiri?”
“Membuang dari hati, segala hal selain Allah.”
“Kalau hidup paling nikmat?”
”Berbahagia dengan dzikrullah.”
“Kalau hidup paling bagus?”
“Ya, hidup bersama Allah.”
“Apa yang disebut paling dekat?”
”Bertemu Allah.”
“Apa yang paling membuat hati lapar?”
“Pisah dengan Allah.”
Apa sesungguhnya cita-cita sang ‘arif?”
“Bertemu Allah.”
“Kalau tanda-tanda pecinta Allah itu?”
“Mencintai Dzikrullah.”
“Apakah mesra berbahagia dengan Allah itu?”
“Meneguhkan rahasia jiwa bersama Allah.”
“Apakah pangkal kepasrahan diri itu?”
“Menyerahkan diri total terhadap perintah Allah.”
“Lalu pangkal menyerahkan diri total?”
“Mengingat pertanggung-jawaban di hadapan Allah.”
“Apakah kegembiraan paling agung?”
“Husnudzon kepada Allah.”
“Kalau manusia paling agung?”
“Manusia yang merasa puas jiwanya pada Allah.”
“Lalu siapa manusia paling kuat?”
“Orang yang meraih kekuatan bersama Allah.”
“Kalau orang yang bangkrut itu siapa?”
“Orang yang rela pada selain Allah.”
“Apakah kehilangan harga diri itu?”
“Bila menanjak jiwanya tanpa bersama Allah.”
“Kapan seorang hamba terjauhkan dari Allah?”
“Bila ia tertutup dari Allah.”
“Kapan seseorang itu tertutup dari Allah?”
“Bila di hatinya masih ada hasrat selain Allah.”
“Siapakah orang yang alpa itu?”
“Siapa pun yang menghabiskan umurnya tanpa disertai ketaatan pada Allah.”
“Apakah zuhud di dunia itu?”
“Meninggalkan segala hal yang menyibukkan hatinya dari Allah.”
“Siapakah orang yang menghadap Allah?”
“Ya, siapa pun yang menghadap pada Allah.”
“Lalu siapa yang lari dari Allah?”
“Siapapun yang lari dari Allah.”
“Apakah Qalbun Salim itu?”
“Qalbu yang di dalamnya tidak ada lagi selain Allah.”
“Tolong beri tahu aku, darimana anda makan?”
“Dari kekayaan Allah.”
“Apa sih yang anda sukai?”
“Apa pun yang ditentukan Allah padaku.”
“Kalau begitu beri aku wasiat…”
“Lakukan taat kepada Allah dan ridlo-lah kepada ketentuanNya, bersenanglah dengan dzikrullah, maka kalian akan jadi pilihan Allah.”

Orang Yang Mengenal Allah Tidak Akan Maksiat.
Suatu hari dalam perjalananku, kata Dzun Nuun al-Mishry, aku bertemu dengan orang tua, yang di wajahnya ada tanda sebagai kaum ‘arifin.
“Semoga Allah merahmati anda. Manakah jalan menuju Allah?” tanyaku padanya.
“Kalau anda mengenalNya pasti anda tahu jalan menuju padaNya.”
“Apakah seseorang bisa beribadah kepadaNya tanpa mengenalNya?”
“Apakah orang yang mengenalNya itu maksiat padaNya?” jawabnya.
“Bukankah Adam as, itu maksiat padaNya dengan keparipurnaan ma’rifatnya?”
“Maka dia lupa, dan Kami tidak menemukan baginya tekad”, Sudahlah kita jangan berdebat!”
“Bukankah perbedaan Ulama itu rahmat?”
“Memang. Kecuali dalam soal konsentrasi Tauhid.”
“Konsentrasi Tauhid yang bagaimana?”
“Menghilangkan pandangan selain Allah karena Kemaha tunggalanNya.”
“Apakah orang ‘arif itu gembira?”
“Apakah orang ‘arif itu gelisah?” katanya balik bertanya.
“Bukankah orang yang mengenal Allah itu selalu gundah hatinya?”
“Tidak, bahkan orang yang mengenal Allah kegundahan hatinya sirna.”
“Apakah dunia bisa merubah hati orang ‘arifin?”
“Apakah akhirat bisa mengubah hatinya?” katanya lebih tajam.
“Bukankah orang ‘arif itu sangat menghindari makhluk?”
“Na’udzubillah, sang ‘arif tidak pernah gentar dengan makhluk, hanya saja dia hatinya hijrah dan menyendiri bersama Allah.”
“Apakah ada yang mengenal orang ‘arif?”
“Nah, apakah ada yang tidak mengenalnya?” jawabnya.
“Apakah sang airf bisa putus asa terhadap perkara selain Allah?”
“Apakah ada orang arif yang masih memandang selain Allah? Hingga ia harus putus asa?”
“Apakah sang ‘arif itu juga rindu pada Tuhannya?”
“Apakah sang ‘arif pernah kehilangan Allah, sampai ia harus rindu padaNya?”
“Apakah Ismul A’dzom itu?”
“Hendaknya anda katakan, Allah.”
“Banyak sekali ucapan anda tetapi tidak bisa membuat diriku bergetar oleh kharisma Ilahi!” kataku.
“Karena anda berkata dari dorongan dirimu, bukan dari dorongan Ilahi.”
“Nasehati diriku!”
“Sudah cukup banyak nasehat bagimu, yang penting anda tahu bahwea Dia melihatmu.”
Lalu aku meninggalkan orang itu. Namun begitu bangkit aku bertanya lagi.
“Apa yang ingin kau perintahkan padaku?”
“Cukuplah dirimu melihat dirimu dalam seluruh tingkah laku jiwamu…”

***

Yahya bin Mu’adz – Rahimahullah Ta’ala – ditanya:
“Apakah tanda hati yang benar itu?”
“Hati yang istirahat dari kesusahan dunia.” Jawabnya.
“Kalau konsumsi hati?”
“Dzikir yang hidup, tak pernah mati.”
“Lalu kehendak yang benar itu seperti apa?”
“Meninggalkan kebiasaan-kebiasaan manusiawi.”
“Makna rindu?”
“Terus menerus fokus pada Yang Di Atas…”
“Kapan perkara hamba Allah tuntas?”
“Jika tenteram bersama Allah tanpa hasrat.”
“Kalau tanda-tanda seorang penempuh?”
“Tandanya ia tidak sibuk (hatinya) dengan urusan makhluk…”
“Lalu pangkal hidayah itu apa?”
“Ketaqwaan yang benar!”
“Apa yang disebut dengan kenikmatan?”
“Berserasi dengan Allah.”
“Siapa yang disebut sebagai orang asing?”
“Siapa pun yang cinta di hatinya, tidak mencari keuntungan”
“Kapan seorang hamba sampai pada wilayah Tuhannya?”
“Bila hatinya lepas dari segala hal selain Allah Ta’ala.”
“Apakah yang disebut dengan kebebasan agung itu?”
“Penyerahan total kepada Sang Tuhan…”
“Apakah amal paling utama?”
”Dzikir kepada Allah kapan dan dimana saja”.
“Apa yang disebut dengan kebutuhan besar?”
“Kebutuhan besar adalah melanggenggkan bahagia bersama Allah.”
“Apakah yang menjadi hijab qalbu?”
“Merasa puas (selesai) dengan Tuhannya.”
“Apakah hidup yang indah itu?”
“Hidup bersama Yang Maha Agung.”
“Lalu hakikat berserasi dengan Allah?”
“Adalah berlangkah benar dan bersih.”
“Siapakah para pecinta itu?”
“Kaum ‘arifin.”
“Siapa yang disebut orang mulia?”
“Siapa pun yang meraih kemuliaan bersama Yang Maha Mulia.”
“Siapa yang disebut manusia utama?”
“Siapa pun yangbermesra bahagia dengan Yang Maha Lembut.”
“Siapa yang disebut orang alpa?”
“Siapa pun yang menyia-nyiakan usianya.”
“Apakah yang disebut dunia?”
“Segala hal yang membuat anda lupa pada Allah.”

Memang benar, sumber kema’rifatan adalah qalbu, karena firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya syi’ar itu dari ketaqwaan qalbu.”
Sedangkan sumber Musyahadah adalah kedalaman qalbu. Karena firmanNya:
“Kedalaman qalbu tak pernah dusta terhadap apa yang dilihatnya.”

Sumber cahaya adalah dada, karena firmanNya:
“Bukankah orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah terhadap Islam, maka dialah yang mendapatkan cahaya dari TuhanNya?”

Dan segala cinta yang semakin bertambah, senantiasa menambah rasa cinta kita kepada Rasulullah saw, dan para wali-waliNya.



WEJANGAN SUFI SYEIKH AHMAD AR-RIFA’Y KE 4 : JALAN ISTIQAMAH

Syeikh Ahmad ar-Rifa’y (PENGASAS  TAREKAT RIFAIYYAH)

Diriwayatkan oleh Ummu Habibah ra, ia berkata, bahwa Rasulullah saw, bersabda:
“Tak seorang pun hamba yang muslim, sholat Lillahi Ta’ala setiap hari dua belas rekaat, sholat sunnah, bukan sholat fardlu, kecuali Allah membangunkan rumah di dalam syurga.”
(Hr. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’y)

Hadits ini memotivasi untuk menegakkan ibadah-ibadah sunnah, karena ibadah sunnah salah satu bentuk taqarrub kepada Allah Ta’ala, sekaligus menjadi bekal kaum ‘arifun dalam menempuh jalan menuju kepada Allah swt. Sekaligus menjadi perilaku kaum yang mengkhususkan (menyendiri) jiwanya di sisi Allah swt.

Anak-anak sekalian! Ketahuilah siapa yang hakikat batinnya menyendiri bersama Allah secara total, dan rahasia sirrnya benar-benar manunggal, akan terbuka seluruh tirai, segala bukti menjadi nyata, ketika musyahadah pada Cahaya Al-Haq Allah swt. Disanalah Allah menuangkan minuman dengan gelas CintaNya, hingga ia mabuk dari lainNya, segalanya menjadi riang nan ringan. Segala diamnya adalah dzikir, nafasnya adalah tasbih, kalamnya adalah penyucian, dan tidurnya adalah sholat (doa). Sang hamba senantiasa menaiki kendaraan ma’rifat, hingga bertemu Yang di-ma’rifati. Bila sudah bertemu, ia abadi selamanya bersamaNya, tidak berpaling ke lainNya.

Qalbu itu ibarat istana, dan ma’rifat adalah rajanya, akal adalah menterinya yang punya department dan instrument. Lisan sebagai penerjemah, sedangkan rahasia batinnya dari khazanah Ar-Rahman. Masing-masing konsisten dengan posisinya, sedangkan arah seluruhnya adalah istiqomahnya sirr bersama Allah swt.

Bila Sirr istiqomah, maka ma’rifat menjadi istiqomah, lalu akal menjadi lurus. Bila akal konsisten, qalbu akan konsisten. Bila qalbu konsisten, jiwa akan konsisten. Bila nafsu konsisten (dalam pengendalian), perilaku batin akan konsisten.Sirr dicahayai oleh Sifat Jamal dan JalalNya. Akal dicahayai oleh cahaya kesadaran dan renungan pelajaran. Qalbu dicahayai oleh cahaya rasa takut dan cinta disertai kontemplasi fikiran. Nafsu dicahayai dengan cahaya olah jiwa dan pengekangan.

Sirr adalah lautan dari samudera anugerah pemberianNya, dan gelombangnya tak terhingga, tiada henti pula.Jika Sirr konsisten bersama Allah swt, maka senantiasa akan abadi dalam musyahadah, dan sirna dari penglihatan pada Istiqomahnya. Perlu diketahui bahwa Jalan Istiqomah (konsistensi) itu laksana tenda agung dari jalan akhirat, dan berjalan di tepinya lebih sulit dibanding jalan di tepian akhirat. Alam rahasia bisa menjadi tipudaya, karena Allah swt tidak suka pada hati hamba yang masih ada cinta pada yang lain selain Dia. Mereka tidak ingin sesuatu dari Allah kecuali Allah.

Dalam sebagaian kitabNya Allah Ta’ala berfirman: “Bila yang kesibukan jiwa hambaKu lebih kepadaKu dibanding yang lain, maka Kujadikan nikmat dan hasrat ada dalam mencintaiKu, dan Aku singkapkan hijab antara diriKu dengan dirinya.”

Ada seseorang sedang masuk dalam tempat Syeikh Sary as-Saqathy, lantas lelaki itu bertanya, “Manakah yang bisa mendekatkan pada Allah Ta’ala, hingga sang hamba bisa mendekat kepadaNya?”
Maka As-Sary menangis, lalu berkata, “Orang seperti anda ini masih bertanya seperti itu?
Yang paling utama cara mendekatkan hamba kepada Allah swt, hendaknya Allah swt, muncul di hatimu, dan anda tidak mau sama sekali pada dunia dan akhirat, kecuali hanya padaNya.”

Ibrahim bin Adham ra. mengatakan, “Puncak dari hasrat dan citaku dalam hubunganku dengan Allah Ta’ala adalah, hendaknya Dia menjadikan diriku condong terus kepadaNya, hingga aku tak memandang apapun selain Dia, dan aku tidak sibuk dengan siapa pun selain sibuk denganNya, aku tak peduli Dia jadikan diriku jadi debu, atau hilang sama sekali.”

Nabi Ibrahim as, pernah ditanya, “Dengan cara apa anda dapatkan keakraban dengan Allah Ta’ala?”
“Dengan memutuskan diriku hanya kepada Tuhanku, dan pilihanku kepadaNya dibanding lainNya, serta aku tidak pernah makan kecuali bersama tamuku.”

Rabi’ah al-Bashriyah ra mengatakan:
“Oh Tuhanku, hasratku di dunia dan di akhirat nanti hanya mengingatmu, dan hasratku di akhirat dari akhirat hanya memandangMu, maka lakukanlah antara keduanya sekehendakMu.”

Abu Yazid al-Bisthamy ra menegaskan, “Rahasia batinku naik menuju Allah swt, lalu terbang dengan sayap ma’rifat dengan cahaya kecerdasan di cakrawala Wahdaniyah (KemahatunggalanNya).
Tiba-tiba nafsu menghadapku dan berkata, “Kemana kau pergi? Akulah nafsumu dan engkau harus bersamaku.” Namun rahasia batinku (sirr) sama sekali tidak menoleh padanya. Kemudian makhluk-makhluk lain menghadap sirrku, mereka bertanya, “Kemana kau pergi? Kami adalah teman dan tempat curhatmu, engkau harus bersama kami, demi solidaritas padamu!” Sirrku sama sekali tidak menoleh. Lantas syurga dengan segenap isinya menghadap sirrku, mereka bertanya, “Kemana engkau pergi? Engkau itu bagiku dan engkau harus disini denganku.” Maka sirrku sama sekali tidak berpaling. Lalu anugerah dan pemberian menghadapku, begitu juga karomah-karomah, hingga melewati kerajaanNya, sampai pada kemah Fardaniyah (KetunggalanNya), lantas melampaui universalitas dan keakuan, hingga sirrku sampai di hadapan Allah swt. Dialah yang kucari!”

Allah swt berfirman kepada Nabi Musa as, “Wahai Musa! Sesungguhnya orang yang menjumpaiKu pasti tidak akan kembali dariKu, dan tidak akan kembali kecuali dari Jalan (lurusKu).”

Abul Abbas nin Atha’ ra, mengatakan, “Manakala akhirat muncul dalam diri hamba, dunia menjadi sirna di sisinya, sehingga sang hamba hanya menetap di negeri keabadian. Namun manakala sang hamba berada dalam penyaksian Allah Ta’ala, segala hal selain Allah Ta’ala sirna, dan hamba abadi bersama Allah swt.”

Ada lelaki di hadapan Abu Yazid ra, berkata, “Ada informasi sampai kepadaku bahwa engkau punya Ismul A’dzom, sangat senang jika engkau mengajariku.”Abu Yazid menjawab, “Nama Allah itu tidak terbatas. Namun kosongkan hatimu hanya bagi KemahaesaanNya, meninggalkan berpaling pada selain Allah Ta’ala. Jika anda bisa demikian, raihlah Ism (Nama) mana pun yang kau kehendaki, maka dengan Isim itu anda bisa pergi dari timur hingga barat, dalam sekejap dan anda telah kembali.”

Dzun Nun al-Mishry ra, mengatakan, “Ketika aku naik haji, tiba-tiba ada anak muda mengatakan:
“Oh Tuhanku, aku telah mengumpulkan tebusanMu, dan engkau Maha Tahu, lalu apa yang Engkau berlakukan pada mereka?”
Lalu kudengar suara:
“TebusanKu banyak, dan yang mencariKu sedikit.”

Sebagian Sufi ditanya, “Seberapakah antara Allah swt dan hambaNya?”
“Empat langkah saja: Satu langkah meninggalkan dunia; satu langkah meninggalkan makhluk; satu langkah meninggalkan nafsu; dan satu langkah meninggalkan akhirat, maka sang hamba sudah dihadapan Allah swt.” Jawabnya.
Sarry ra berkata, “Siapa yang bangkit untuk taat kepada Allah Ta’ala tanpa ada yang lain, Allah akan memberi minuman dari matair cinta dariNya, dan dihantar menuju tempat yang benar.

”Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah mengatakan, “Orang arif manakala keluar dari dunia tak ada pemandu maupun penyaksi di hari kiamat, tidak ada Malaikat Ridlwan di syurga, juga tidak ada Malaikat Malik di neraka.Beliau ditanya, “Lalu dimana sang arif di jumpai?”
“Di hadapan Allah Yang Maha Diraja, ditempat yang benar. Ketika mereka bangkit dari kuburnya mereka tidak bertanya-tanya, “Mana keluarga dan anakku? Mana Jibril dan Mikail? Mana syurga dan pahala?” Namun justru berkata, “Manakah Kekasihku dan kemesraan hatiku?”

Qalbu kaum arifin punya mata yang memandang apa yang tak biasa dipandang manusia.
Sedangkan lisannya berkata dengan rahasia batinnya munajat dari malaikat-malaikat mulia di sisiNya yang mencatat Sayap-sayap yang terbang tanpa bulu Hinggap di sisi Rabbul ‘alamin. Lalu bagai gembalaan di taman suci menari Dan meminum dari lautan para RasulNya Para hamba yang menuju kepadaNya Hingga mendekat, sampai bertemu denganNya.

WEJANGAN SUFI SYEIKH AHMAD AR-RIFA’Y KE 3 : JALAN KETAQWAAN

Syeikh Ahmad ar-Rifa’y (PENDIRI TAREKAT RIFAIYYAH)

Riwayat dari Anas bin Malik, ra, bahwa Rasulullah Saw, apabila masuk bulan Rajab, beliau berdoa:
“Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan kami bisa memasuki bulan Ramadhan.” (Hr. Ahmad dan Baihaqi).

Dalam hadits mulia ini ada makna yang banyak, antara lain, peluang masa depan yang leluasa bagi kesalehan amal, agar umur benar-benar bagi Allah Swt, melakukan amaliah sepanjang usianya hanya bagi Allah Swt. Begitu juga kaum ‘arif billah yang mewarisi Rasulullah Saw. Itulah perilaku ahli taqwa.

Perlu diketahui taqwa itu ada dua arah. Arah khusus dan arah umum. Arah taqwa khusus, adalah taqwa dengan rahasia batin (sirr)nya dari hasrat dan harapan terhadap segala hal selain Dzat Allah Ta’ala, ketika Allah Swt, berfirman: “Taqwalah kepada Allah, dengan taqwa yang hakiki.”

Taqwa secara umum, adalah taqwa dengan lahiriyah dari segala hal yang dibenci oleh Allah Ta’ala. Sebagaimana firmanNya: “Siapa yang bertaqwa kepada Allah, akan dihapuskan dari dosa-dosanya.”

Allah Swt, menjadikan kemudahan dan jalan keluar dari segala kesusahan, kemudahan dan keluasaan di dalam taqwa, sebagimana firmanNya: “Siapa yang bertaqwa kepada Allah, akan dijadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” “Siapa yang yang bertaqwa kepada Allah, akan dijadikan baginya jalan keluar, dan Allah memberi rizki dari sesuatu yang tak terhingga.”

WEJANGAN SUFI SYEIKH AHMAD AR-RIFA’Y KE 2 : MALUNYA KAUM ARIFFIN

Syeikh Ahmad ar-Rifa’y (PENDIRI TAREKAT RIFAIYYAH)

Rasulullah SAW bersabda: “Malu itu sebagian dari iman.” (Hr. Muslim)
Malu yang yang biasanya ter-ekspresi pada wajah manusia merupakan gambaran tentang malu yang ada
dalam hati manusia, yaitu malu karena sesuatu dari Allah Ta’ala.

Sehingga malu ter-ekspresi dari Malu Wajah dan Malu Qalbu, merupakan bagian dari iman kepada Allah Ta’ala, dimana kaum ‘arifin menjadikannya sebagai orientasi atas kelemahan dan cacat rahasia hatinya di hadapan Allah Ta’ala.
Karena itulah qalbu kaum ‘arifin merupakan perbendaharaan Allah Ta’ala di muka bumi, di dalam qalbu itu ada titipan rahasiaNya, kelembutan hikmahNya, kelembutan cintaNya, cahaya-cahaya ilmuNya dan amanah kema’rifatanNya.

Wacana kaum ‘arifin senantiasa muncul dari musyahadah qalbunya, aksentuasi dari pengetahuan rahasia, dan penjelasan mengenai amaliyah batin, berupa penjelasan mengenai pemisahan perkara dengan wushul, penjelasan faktor-faktor yang menganggu hubungan dengan Allah Ta’la, dan faktor-faktor yang yang mendorong menuju Allah Ta’ala.
Faktor pendorong pada kepentingan makhluk (selain Allah) adalah: Dunia, Nafsu dan Makhluk itu sendiri.

Sedangkan faktor yang mendorong kita menuju Allah Ta’ala adalah: Akal, Yaqin, dan Ma’rifat, sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Siapa yang mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya. “ Yakni siapa yang mengenal apa yang mesti dilakukan untuk dirinya, ia mengenal apa yang harus dilaksanakan untuk Tuhannya.
Ungkapan para ‘arifin, berkisar pada lima arah:
1. Bihi (bersama Allah)
2. Lahu (bagi Allah)
3. Minhu (dari Allah)
4. Ilaihi (menuju Allah)
5. ‘Alaihi (bersandar padaAllah).

Dalam ucapan mereka tidak ada kata seperti: Aku, sesungguhnya diriku, kami, bagiku dan denganku….
Karena kata-kata mereka bersifat manunggal (fardaniyah),
Geraknya adalah serba bergantung padaNya (Shomadaniyah), Akhlaq mereka senantiasa merupakan manifestasi Robbaniyah (Robbaniyah), Kehendak mereka adalah kemanunggalan (Wahdaniyyah),
Isyarat mereka tidak akan dikenal kecuali oleh orang yang hatinya membara kepadaNya, yang didalamnya ada rahasia-rahasia tersembunyi, mutiara-mutiara suci, pancaran-pancaran cahaya, lautan kasih, kunci-kunci keghaiban rahasia, wadah kerinduan dan taman kemesraan.

Yahya bin Mu’adz, r.a, mengatakan: Hati itu seperti periuk, wadah ciduknya adalah lisan. Setiap lisan senantiasa menciduk apa yang ada di periuk hatinya.”

Abu Bakr al-Wasithy, r.a, ditanya tentang pendapatnya seputar ucapan ahli ma’rifat. Ia menjawab, “Gambaran tentang ma’rifat sepetri cahaya dalam lampu dan lampu itu digantung di dalam rumah, sepanjang lampu itu ada dalam rumah, sepanjang itu pula terang. Ketika pintu rumah dibuka, maka cahaya lampu itu akan menerangi halaman.”
Kalam kaum ‘arifin senantiasa memancarkan cahaya kepada ahli cahaya, hingga airmata mereka meleleh, dan lisannya berdzikir. Allah Ta’ala berfirman:
“Bila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, kamu melihat air mata mereka meleleh, karena ma’rifat mereka terhadap Allah, mereka mengatakan, “Oh Tuhan kami, kami beriman dan catatlah kami bersama orang-orang yang menyaksikan(Mu).”

Metafor jiwa kaum arif seperti rumah, hatinya seperti lampu, minyaknya adalah rasa yaqin, airnya dari kejujuran hati, pintalannya dari ikhlas, kacanya dari kebeningan dan kerelaan hati, dan gantungannya dari akal.Khauf itu adalah api dalam cahaya. Sedangkan Raja’ (harapan) adalah cahaya dalam api. Ma’rifat seperti cahaya dalam cahaya.
Lampu itu digantung di pintu lobang, jika seorang arif membuka mulutnya, akan muncul hikmah dari dalam hatinya, mengalirlah cahaya hati lewat mulutnya, lalu cahaya itu membias kepada mereka yang siap disemai cahaya, lalu cahaya saling bergantungan dengan cahaya.
Ada sebagian ucapan lebih dahsyat dibanding cahaya matahari, dan sebagian lebih gulita dibanding gelapnya malam. Kalam ahli ma’rifat senantiasa adalah perbendaharaan Tuhan Yang Maha Suci, dimana sumber-sumbernya adalah qalbu kaum ‘arifin, dimana Allah memerintahkan agar menginfaqkan cahaya itu kepada yang lain yang berhak menerimanya, dalam firmanNya:
“Ajaklah mereka ke Jalan Tuhanmu dan dengan hikmah dan nasehat yang bagus berilah argumentasi dengan argument yang lebih bagus. Sesungguhnya Tuhanmu Dia lebih Tahu pada orang yang tersesat dari jalannya, dan ia Maha Tahu pada orang yang diberi hidayah.”

Sebagian ‘arifin ditanya,
“Manakah cahaya yang lebih hebat ketimbang matahari?”
“Ma’rifat,” jawabnya.
“Apa yang lebih berguna dibanding air?”
“Ucapan ahli ma’rifat,” katanya.
“Apa yang lebih harum aromanya ketimbah minyak kesturi?”
“Waktunya orang ‘arif.”
“Apa pekerjaan orang ‘arifin?”
“Memandang pekerjaan Rububiyah dan panji-panji kelembutan qudrah,” jawabnya.

Hasrat Orang-Orang shaleh.
Abu Sa’id al-Balkhi ra, ditanya: “Kenapa ucapan orang pendahulu (salaf) lebih utama dibanding orang akhir (khalaf)?”
“Karena kehendak mereka adalah memuliakan Islam, menyelamatkan jiwa, kasih sayang pada sesama saudara dan ridlo kepada Ar-Rahman…” jawabnya.

“Sedangkan kehendak kita adalah memanjakan hawa nafsu, mencari pujian orang dan mencari kenikmatan dunia,” tambahnya lagi. Seorang hamba manakala taat pada Tuhannya Allah memberinya rejeki seteguk air dari sumber ma’rifat, lalu ia mengucapkan dengan lisannya. Namun jika ia meninggalkan taatnya, ia tidak akan merusak taat itu, namun tetap tersimpan di hatinya, dan tidak mengucapkannya dengan lisannya, agar ia tetap dalam sesalnya dan menjadi cobaan dengan berbagai ujian.

Tiada dua orang beriman yang bertemu, yang keduanya berdzikir kepada Allah, melainkan Allah menambah cahaya ma’rifatullah pada kedua hatinya, sebelum keduanya berpisah.

Sesungguhnya Allah memunculkan ahli ma’rifat di atas puncak gelombang lautan intuisi qalbu dan memuliakan mereka di atas perbendaharaan rahasia serta rahasia pengetahuan yang tak terhingga jumlahnya, tidak pernah putus uraiannya, tidak pernah ditemukan ujung dalamnya, tidak sirna keajaibannya, hingga mereka menyelami cahaya ma’rifat, dalam kedalaman isyarat yang terpendam, dalam makna-maknanya yang tersembunyi, hingga keluar dengan keajaiban satriguna dan kelembutan bekal-bekal melimpahnya, hakikat-hakikat dan isyaratnya, yang membakar qalbu para pecinta, memesrakan ruh para penempuh.

Itulah cahaya dari cahaya hidayah, dimana seorang hamba meraih petunjuk dari kebajikan ri’ayah (penjagaan jiwa) jika meraih Taufiq dan ‘inayah.

Yahya bin Mu’adz ra berkata, “Aku bertemu kaum arifun yang dilmpahi hikmah, aku temukan mayoritas mereka tidak memiliki apa-apa, malah mereka dibiayai yang lain.”
Laits al-Mishry, r.a, punya saudara yang ada di Iskandariyah, ketika ia datang, saudaranya menjawab, “Aku sedang menghadap Allah.”
“Mana faedah dari peng-hadapanmu pada Tuhanmu?” Saudaranya diam.

Lalu Laits mengatakan, “Sang hamba jika menghadap pada Allah dengan keselarasan yang benar, Allah memberikan faedah-faedah yang tak pernah terlintas di hati manusia.”
Yahya bin Mu’adz , manakala bicara suatu hari, tiba-tiba ada orang yang berteriak keras di majelisnya, sembari merobek-robek bajunya.
“Hai! Apa yang kamu katakan?!”
“Kalam ahli ma’rifat, ketika muncul dari sumber rahasia kemanunggalan, ia menggali hati orang yang dibakar rindu dan cinta dengan apinya, lantas sifat-sifat manusiawi sirna.
Karena itu kalimat orang yang bertaqwa itu posisinya mendekati wahyu. Suatu ketika ada kata-kata terucap dari mereka, lalu ditanya, “Apa yang membuatmu bicara seperti ini?”
“Hatiku mengatakan demikian, bermula dari fikiranku, dari rahasia jiwaku, dari Tuhanku…” katanya.
Sandaran hikmah adalah wujudnya hikmah, yaitu barang berharga yang hilang dari penempuh, ketika ditemukan ia ambil. Ia tak peduli darimana pun wadahnya, dari mana pun diucapkannya, dari hati mana dinukil atau dari dinding mana terukir atau dari kafir mana di dengar. Nilai Hikmah (bukan ilmu hikmah, pent.)
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Siapa yang ingan ilmu oleh Allah tanpa belajar, mendapatkan petunjuk tanpa hidayah, maka zuhudlah dari dunia.”

Setiap hikmah ada ahli dan zamannya, dan zaman itu telah berlalu dengan sejumlah besar ahlinya, sedangkan yang tersisa kini hanyalah musibah. Maka kami kepada Allah, dan kami kepadaNya kembali.
Carilah lampu-lampu kalam kaum ‘arifun sebelum mereka wafat, suatu nikmat yang kalian rasakan kemuliaannya, keutamaannya yang paripurna, dan Luqman dipilih oleh Allah dengan hikmah, karena kemuliaan hikmahnya. Hikmah itu shiddiqun, kebanggan muttaqun, firadus para ‘arifun, warisan para nabi dan Mursalun. Burulah sebelum sirna.

Dian-dian cahaya manusia di setiap bumi
Merekalah Ulama generasi mulia
Ilmunya memancarkan cahaya di setiap lembah
Bagai purnama yang membias tanpa awan.

Isnin, 4 Mac 2013

PAPARAN TASAWWUF DALAM AL QUR’AN : QALB



4 Jenis Qalb:

Qalb itu ada empat macam: qalb yang bersih, padanya pelita yang bersinar gemilang. Maka itulah qalb Al-Mu’min. Qalb yang hitam terbalik, maka itulah qalb Al-Kafir. Qalb terbungkus yang terikat dengan bungkusnya, maka itulah qalb Al-Munafiq. Dan qalb yang melintang, padanya keimanan dan dan ke-nifaq-an. 1
 Mengapa Qalb yang Bersih Diperlukan ?

Orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Wahai Rasulullah! Di manakah Allah? Di bumi atau di langit?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Tidak termuat Aku oleh bumi-Ku dan lelangit-Ku, dan termuat Aku oleh qalb hamba-Ku yang mu’min, yang lemah-lembut, yang tenang-tenteram.’” 2

 Beberapa Karakteristik Qalb Ideal

Ali k.w. berkata, “Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai wadah di bumi-Nya, yaitu qalb. Maka qalb yang paling dikasihi oleh Allah Ta’ala adalah yang paling kuat, yang paling bersih, dan yang paling lembut. Kemudian Ali k.w. menafsirkannya dengan mengatakan, “Paling kuatnya qalb itu mengenai Agama, paling bersihnya itu mengenai keyakinan, dan paling lembut kepada saudara-saudara. 3


Kedudukan Manusia Bergantung Kualitas Qalb-nya

Apabila dikehendaki oleh Allah kebajikan pada seorang hamba, niscaya dijadikan-Nya baginya Penasehat dari qalb-nya. 4
Barangsiapa mempunyai Penasehat dari qalb-nya, niscaya ada penjaga dari Allah kepadanya. 5

Jikalau tidaklah setan-setan itu mengelilingi qalb Bani Adam, niscaya mereka itu melihat ke alam malakut. 6

… dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara al-mar’i seseorang dengan qalb-nya, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kalian akan dikumpulkan. 7

Orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Wahai Rasulullah! Siapakah manusia yang paling baik?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Tiap-tiap mu’min yang qalb-nya ‘makhmum’”. Lalu orang itu bertanya pula, “Apakah qalb yang ‘makhmum’ itu?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Orang yang takwa, hatinya bersih, tak ada padanya penipuan, kedurhakaan, pengkhianatan, kedengkian, dan hasad.” 8


Dosa Itu Mengotori Qalb

Manakala dosa itu telah bertindih-lapis, niscaya tercapkanlah di atas qalb. Dan pada ketika itu, butalah qalb dari mengetahui kebenaran dan kebaikan Agama. Dan ia mempermudah urusan akhirat. Dan membesarkan urusan dunia. Dan jadilah cita-citanya terbatas pada dunia. Maka apabila pendengarannya diketuk dengan urusan akhirat dan bahaya-bahaya yang ada di akhirat, niscaya masuk dari satu telinga dan keluar dari telinga yang satu lagi. Tidak menetap di dalam qalb dan tidak menggerakkannya kepada taubat dan memperoleh yang telah hilang. Merekalah orang-orang yang telah putus asa dari akhirat, sebagaimana putus asanya orang-orang kafir yang di dalam kubur. 9

Barangsiapa mengerjakan dosa, niscaya ia diceraikan oleh ‘aql yang tidak akan kembali lagi kepadanya untuk selama-lamanya. 10

Dan tidaklah yang mendustakan hal itu (yawm ad-Din) melainkan orang-orang yang melampaui batas lagi berdosa … sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup qulub mereka. 11

Dan di antara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir.” Padahal mereka itu bukan orang-orang yang mu’min. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri sedang mereka tidak menyadari. Dalam qulub mereka terdapat penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya, dan bagi mereka azab yang pedih disebabkan mereka berdusta. 12

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai qalb (tapi) tidak memahami dengannya, mereka mempunyai mata (tapi) tidak melihat dengannya, dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak mendengar dengannya. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih tersesat. Mereka itulah orang-orang lalai (Al-Ghafilun). 13

Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan menemui Kami, mereka ridha dengan kehidupan dunia dan sudah merasa tenteram dengannya dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami. 14

Mereka hanya mengetahui yang dzahir saja dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang akhirat adalah lalai (Ghafilun). 15

Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai (hubb) kehidupan dunia melebihi akhirat. Dan bahwasanya Allah tidak menunjuki kaum kafir (al-qawm al-kafirin). Mereka itulah orang-orang yang qalb, pendengaran, dan penglihatan mereka telah dikunci mati oleh Allah. Mereka itulah orang-orang yang lalai (al-ghafilun). 16

Pernahkah engkau melihat orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai sesembahannya (ilah) dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ‘Ilm-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan qalb-nya, dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran? 17

Dan Kami jadikan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat. 18

Allah telah mengunci mati qulub dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka azab yang berat. 19

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (Muhtadun). 20

Maka apakah mereka tidak berjalan di bumi, lalu mereka mempunyai qulub yang ber-‘aql dengannya, atau mempunyai telinga yang mendengar dengannya? Maka sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi yang buta (adalah) qulub yang di dalam shudur. 21

Orang-orang Arab Badwi berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah, “Kalian belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah berserah diri’, karena iman itu belum masuk ke dalam qulub kalian, dan jika kalian ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi (pahala) amal-amal kalian sedikitpun. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 22


 Tanda-tanda

Tatkala Rasulullah s.a.w. membaca firman Allah Ta’ala:
“Barangsiapa dikehendaki Allah memberi petunjuk kepadanya, niscaya dibuka-Nya shudur orang itu untuk berserah diri…” 23

Lalu orang bertanya kepada Nabi s.a.w., “Apakah pembukaan itu?”
Nabi s.a.w. menjawab, “Sesungguhnya cahaya (nuur) itu apabila diletakkan dalam qalb, maka terbukalah dada (shudur) menerima nuur tersebut dengan seluas-luasnya.”
Berkata lagi orang itu, “Adakah tanda-tandanya?”

Nabi s.a.w. menjawab, “Ya, ada! Merenggangkan diri dari negeri tipu daya, kembali ke negeri kekal dan bersedia untuk mati sebelum datangnya mati.” 24

Maka apakah orang-orang yang dibuka Allah shudur-nya untuk berserah diri lalu ia mendapat nur dari Rabb-nya (sama dengan orang yang membatu hatinya?) Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu qalb-nya untuk dzikril’lah (mengingat Allah). Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. 25

… dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang dzalim (Adz-dzalimun). 26

Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun (al-Ghaffar) bagi orang-orang yang taubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap pada petunjuk. 27

CATATAN
1. Hadist Nabi s.a.w.
2. Hadist Nabi s.a.w.
3. Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin jilid IV hal. 25
4. Hadist Nabi s.a.w.
5. Hadist Nabi s.a.w.
6. Hadist Nabi s.a.w.
7. QS Al-Anfal[8]: 24
8. Hadist Nabi s.a.w.
9. Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin jilid IV hal. 31
10. Hadist Nabi s.a.w.
11. QS Al-Muthaffifiin[83]: 12, 14
12. QS Al-Baqarah [2]:8-10
13. QS Al-A’raf[7]: 179
14. QS Yunus [10]: 7
15. QS Ar-Ruum [30]: 7
16. QS An-Nahl [16]: 107-108
17. QS Al-Jaatsiyah[45]: 23
18. QS Yaasiin [36]: 9
19. QS Al-Baqarah [2]: 7
20. QS Al-An’am[6]:82
21. QS Al-Hajj [22]: 46
22. QS Al-Hujurat[49]: 11
23. QS Al-An’am[6]: 125
24. Hadits Nabi s.a.w.
25. QS Az-Zumar [39]: 22
26. QS Al-Hujurat [49]: 11
27. QS Thaahaa [20]: 82 

PAPARAN TASAWWUF DALAM AL QUR’AN : MENGENAI JASAD, NAFS, QALB, RUH DAN AKAL



Jasad atau Jisim atau Bentuk (jasd, jism, shuwar)

Tubuh manusia yang tersusun dari materi dasar api, tanah, air dan udara, sebagaimana yang dapat kita indrai. Unsur-unsur dasar yang membentuk manusia itu sama dengan unsur-unsur dasar dari bumi, tempatnya jasad itu tinggal.
Jasad dihidupkan oleh hembusan ruh. Setelah hidup ia memerlukan enersi, yang dapat diperolehnya dari makanan yang bersumber dari bumi.
“Dan sungguh Kami telah menciptakan al-insan dari saripati tanah.” 1


 Nafs (tunggal = an-nafs, jamak = al-anfus)

Merupakan suatu barzakh (intermediary) antara jasad dan ruh. Jiwa tersusun dari unsur cahaya ilahiah; ia memiliki suatu kehidupan tersendiri yang terpisah dari jasad. Jiwa memperoleh enersinya dari ruh.

Jiwa merupakan hakikat ke-insan-an seseorang—jiwa lah yang membuat insan berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Jiwa lah yang menjadi sasaran pendidikan Ilahi. Di dalam jiwa ditempatkan ruh; ke duanya ditempatkan dalam jasad. Alam jiwa disebut juga alam mitsal.

Jadi, selama perjalanannya di Bumi, jiwa (nafs) menggunakan kendaraan jasad. Dapat dikatakan jasad merupakan “nagari” atau “kota” pertama (yaitu, lingkungan yang paling dekat) bagi jiwa. Diberikannya perangkat jasad kepada jiwa dimaksudkan agar jiwa dapat mengambil bagian dalam pendidikan Ilahiah yang ditebarkan di Bumi. Di Bumi ini pula ia diseru untuk melaksanakan maksud dari penciptaannya.

Sesungguhnya Allah tidak mengubah sesuatu pada kaum hingga mereka mengubah apa-apa yang ada pada nafs-nafs mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan tak ada bagi mereka satu penolong pun selain Allah. 2

Dan adapun orang-orang yang takut (khawf) terhadap maqam Rabb-nya dan menahan nafs dari hawa nafsu, maka sesungguhnya jannah-lah tempatnya.3

Karena yang menjadi sasaran pendidikan ilahi adalah jiwa, pembahasan lebih mendalam ditujukan untuk memberikan pengantar bagi pendidikan jiwa melalui pensuciannya, yang disebut pula tazkiyatun-nafs atau jihadun-nafs.


Ruh (tunggal = ruh, jamak = arwah)

Ruh tersusun dari unsur cahaya yang paling murni dan paling tinggi kedudukannya dalam keseluruhan aspek manusia. Yang dihembuskan kepada manusia setelah disiapkan segala sesuatunya.

Ruh memberikan kehidupan kepada jasad—tanpa ruh jasad segera terurai kembali menjadi unsur-unsur bumi pembentuknya. Ruh merupakan sumber enersi bagi nafs. Apabila cahaya ruh tidak mencapai nafs maka nafs tersebut, sekalipun dia tetap hidup, akan tetapi dia tidak memiliki enersi atau lumpuh.

Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh (dari)-Nya, dan Dia menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan af’idah. Sedikit sekali kalian bersyukur.4

Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (dari)- Ku; maka hendaklah kalian tersungkur bersujud kepadanya.5


Qalb (tunggal = qalb, jamak = qulub)

Aspek partikular dari an-nafs tempat dikendalikannya seluruh elemen yang lain.

Di dalam diri insan—tepatnya pada perangkat qalb-nya—bertemu tiga alam yang berbeda, yakni: jismaniyyah, mitsal, dan arwah atau disebut pula tiga martabat kauniyyah.

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seorang lelaki dua qalb dalam rongganya.6
‘Aql (al-‘aql, dibedakan dengan nalar atau akal jasad)

Aspek partikular dari Qalb, merupakan perangkat untuk menangkap dan mendapatkan al-‘ilm—yakni ilmu ketuhanan, yang didapatkan dengan hakikat penghambaan. Jadi, ilmu (al-‘ilm) ini dibedakan dengan ilmu biasa yang kita kenal sehari-hari, yaitu yang ditangkap oleh nalar dan didapatkan dengan jalan pengkajian.


Maka apakah mereka tidak berjalan di bumi, lalu mereka mempunyai qalb yang dengan itu mereka ber-‘aql atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah al-qalb yang ada di dalam shudur.7

“Barangsiapa berbuat dosa, maka berpisahlah ia dari ‘aql-nya dan tidak akan kembali selamanya.”6


Nafsu’l-Mutmainnah: yang Seyogyanya Dididik Menjadi Penggembala

Pensucian jiwa ditujukan untuk mendidik satu komponen jiwa—nafsu’l-muthmainnah—yang berperan sebagai penggembala yang kuat dan ber-ilmu, sehingga ia mampu mengatur komponen-komponen jiwa lainnya yang merupakan obyek gembalaannya. Jika yang seharusnya berperan sebagai sang gembala tertidur ataupun lumpuh kekurangan enersi, maka komponen-komponen lainnya bersikap liar dan kemudian saling berlomba menguasai qalb—yang berarti menguasai diri seseorang sepenuhnya.

Dan aku tidak membebaskan nafs-ku karena sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan (nafs amara bissu’), kecuali (nafs) yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.9

Dan aku bersumpah dengan nafs yang mencela (nafs al-lawwamah)10

Wahai nafs al-muthmainnah! Kembalilah kepada Rabb-mu dengan ridha lagi diridhai-Nya.11

Syahwat dan Hawa Nafsu

Pendidikan jiwa atau transformasi menuju Hakikat Insan yang sejati menghadapi tiga jenis musuh, yaitu: (1) Syahwat, hasrat yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat material; (2) Hawa-Nafsu, berkenaan dengan yang bersifat non-material, sperti misalnya takabur, riya’, ujub, harga-diri, dst.; (3) Syaithan, terdiri atas golongan jin dan manusia, yang mempengaruhi manusia dengan memperalat syahwat dan hawa-nafsu.

Dijadikan indah pada manusia kencintaan pada syahwat dari wanita-manita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. 12

Katakanlah, ”Jika bapak-bapak kalian, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai (hubb) daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di sabil-Nya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan ‘amr-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik (al-qawm al-fasiqin). 13

Maka pernahkah kamu melihat orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai sesembahannya (ilah) dan Allah menyesatkan berdasar ‘ilm-Nya dan Allah mengunci mati pendengaran dan qalb-nya, dan menjadikan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang dapat memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?14

Pernahkah kamu melihat orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai sesembahannya (ilah)? Maka apakah kamu dapat menjadi wakil atasnya?15
… dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari sabil Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari sabil Allah akan mendapat azab yang sangat pedih disebabkan mereka melupakan Hari Penghisaban (yawm al-Hisab).16


Qalb Sebagai Singgasana Sang Raja

Di dalam diri manusia ada segumpal daging yang apabila ia shalih maka shalih-lah seluruhnya, jika ia fasad (rusak) maka fasad-lah seluruhnya. 17

Qalb itu ibarat singgasana Sang Raja. Komponen diri mana saja yang tengah berhasil menduduki qalb akan berkedudukan sebagai Raja dan memperlakukan komponen-komponen lainnya sebagai bala-tentaranya. Jika shaleh Sang Raja tersebut, maka shaleh pula bala tentaranya; sedangkan bila Raja-nya fasad (rusak) maka fasad pula bala-tentaranya.

Sang Raja yang tengah bertahta di atas singgasana qalb mempunyai 2 jenis bala-tentara:

1. Tentara Lahir: JISIM

• Tingkat 1: “… delapan pasang binatang ternak…” 18


1 Mata - Mata
2 Telinga - Telinga
3 Hidung - Hidung
4 Tangan - Tangan
5 Kaki - Kaki
6 Lidah - Perut
7 Mulut - Larinx
8 ↑ atau ↓ Pada orang lain

• Tingkat 2: “… tiga lapis kegelapan … “ 19

i. Penglihatan
ii. Pendengaran
iii. Al af’idah


2. Tentara Batin: HAWA atau HAWA-NAFSU

Keberadaan hawa-nafsu (hawa), Imam Al-Ghazali menyebutnya tentara bathin dari qalb, pada diri seseorang hanya bisa dilihat oleh mata batin, atau penglihatan dari qalb. Hawa-nafsu itu sesuatu yang memang ada, dan memang tidak untuk dihilangkan. Tujuan dari tazkiyatun-nafs adalah untuk mengendalikannya dan bukan untuk menghilangkannya. Sekalipun demikian, bagi kebanyakan orang aspek hewaniyyah-nya yang terus berhasil menguasai dirinya, karena nafsu’l muthmainnah-nya lumpuh.

 CATATAN
1. QS Al-Mu’minun [23]: 12
2. QS Ar-Ra’d[13]: 11
3. QS An-Naazi’aat[79]: 40
4. QS As-Sajdah[32]: 9
5. QS Shaad[38]: 72
6. QS Al-Ahzab[33}: 4
7. QS Al-Hajj[22]:46
8. Hadits Nabi s.a.w.
9. QS Yusuf[12]: 53
10. QS Al-Qiyamah[75]:2
11. QS Al-Fajr[89]: 27 – 28
12. QS Ali ‘Imran [3] : 14
13. QS At-Taubah[9]: 24
14. QS Al-Jatsiyah[45]: 23
15. QS Al-Furqan[25]: 43
16. QS Shaad[38]: 26.
17. Hadits Nabi s.a.w
18. QS Az Zumar [39]: 6
19. QS An Nuur [24]: 40