Catatan Popular

Rabu, 23 Mei 2018

KITAB SABILUS SALIKIN (2): Tasawuf dalam Konteks Keilmuan


(JALAN PARA SALIK) 

 

Prof. Dr. H. S.S. Kadirun Yahya Al-Khalidi menyatakan,  tasawuf adalah “saudara kembar” fikih. Fikih pada hakikatnya merupakan formulasi lebih lanjut dari konsep Islam, sementara tasawuf merupakan perwujudan kongkret dari konsep ihsan. Dua konsep ini tercetus bersama-sama dengan konsep iman (diformulasikan lebih jauh dalam ilmu kalam).

Konsep iman itu tampak dalam dialog antara Jibril AS dan Nabi SAW, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Abu Hurairah yang sangat terkenal, (Shahih al-Bukhari, juz 1, halaman: 31, nomor hadits 50):
Penjelasan lebih gamblang mengenai posisi tasawuf sebagai “saudara kembar” fikih, dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka dalam 
bukunya Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya. Hamka mengatakan, kemurnian dan cita-cita Islam yang tinggi adalah gabungan tasawuf dan fikih, gabungan hati dan otak. Dengan fikih kita menentukan batas-batas hukum, dan dengan tasawuf kita memberi pelita dalam jiwa, sehingga tidak terasa berat di dalam melakukan segala kehendak agama.

Kalau kita tilik kepada bunyi hadits tentang islam, iman, dan ihsan,  tampaklah bahwa ketiga ilmu (dalam) Islam yaitu fikih, usuludin, dan tasawuf telah dapat menyempurnakan ketiga simpulan agama itu (islam, iman, ihsan). Islam diartikan  mengucapkan syahadat, mengerjakan salat lima waktu, puasa bulan Ramadan, mengeluarkan zakat, dan naik haji. Agar kita dapat mengerjakan perintah agama dengan tidak membuta, kita pelajarilah fikih.
“Iman adalah beriman kepada Allâh SWT, malaikat, rasul-rasul,  kitab-kitab, dan  kepada hari qiamat serta takdir, buruk maupun baik. Kita pelajarilah usuludin atau ilmu kalam. Ihsan adalah kunci semuanya, yaitu bahwa kita mengabdi kepada Allâh SWT, seakan-akan Allâh SWT berada di hadapan kita. Meski mata kita tidak dapat melihatNya, namun Allâh SWT tetap melihat kita. Untuk menyempurnakan ihsan itu, kita masuki alam tasawuf. Itulah tali berpilah tiga: iman, islam, ihsan, yang dicapai dengan tiga ilmu:fikih, usuludin, dan tasawuf” (Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, halaman: 94-95).

Jadi, sebagai sebuah ilmu, posisi tasawuf terhadap ilmu-ilmu Islam lainnya sangat jelas dan gamblang. Tasawuf merupakan bagian tak berpisahkan dari keseluruhan bangunan syari’ah. Tasawuf bahkan merupakan ruh, hakikat, dan inti dari syariah. Syariah sendiri –merujuk al-Qur’an dan al-Hadits– dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bersumber dari diri Nabi SAW, yang berupa sikap, perbuatan, dan perkataan. Dalam bahasa yang lebih umum, syariah adalah segala sesuatu yang datang dari Allah SWT dan rasul-Nya. Namun begitu, syariah pada dasarnya merupakan produk dari hakikat Muhammad sebagai nabi dan rasul Allah SWT.
Adalah mustahil memahami syariah (sebagai produk)  secara sempurna tanpa memahami hakekatnya. Ilmu yang menyajikan jalan untuk mengenal hakikat ini adalah tasawuf, sedangkan ilmu-ilmu (keislaman) lainnya, seperti ilmu fiqih dan Hadits, semuanya menyajikan jalan untuk memahami produk. Tasawuf melibatkan hati atau kalbu (ruhani), sedangkan ilmu-ilmu lainnya melibatkan otak atau akal (jasmani).  (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 406-407, al-Shidîq wa al-Tahqîq, halaman: 177).

Fikih dan tasawuf ibarat dua sisi mata uang. Jika salah satu rusak maka yang lain menjadi tidak berfungsi, sehingga kedua-duanya harus dipegang secara utuh untuk mencapai kesempurnaan. Dalam kaitan ini, Imam Abu Abdillah al-Dzahabi (w. 748 H), penulis kitab Siyar A’lam al-Nubala’ (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1413) yang terdiri dari 23 jilid menegaskan: “Jika seorang ulama tidak bertasawuf, maka ia kosong, sebagaimana jika seorang sufi tidak mengenal sunnah (bersyariat), maka ia tergelincir dari jalan yang lurus”.
Imam Malik ibn Anas, pemimpin madzhab Maliki yang sangat terkenal, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Amîn al-Qurdhi, juga mengungkapkan hal senada: “Barangsiapa yang bersyariat tetapi tidak berhakikat (bertasawuf) maka ia telah fasik; dan barangsiapa yang berhakikat (bertasawuf) tetapi tidak bersyariat maka ia telah zindik”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 408).
Di samping itu, tidak salah apabila dikatakan bahwa tasawuf adalah sebuah madzhab sebagaimana ilmu fikih yang mengenal (minimal) empat mazhab, sehingga tidak jarang para ulama melibatkan pendapat kaum sufi ketika membahas hukum suatu perkara. Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah menempatkan kaum sufi dalam deretan fuqaha (ahli fikih) dan ahli Hadits. Hal ini dapat disimak misalnya dari pernyataannya ketika menetapkan hukum larangan menikahi orang yang menolak kekhalifahan Sayyidina Ali setelah ‘Utsman Ibn Affan RA. Hal itu (larangan menikahi orang yang tidak menerima kekhalifahan Ali bin Abi Thalib) telah disepakati oleh para fuqaha, ahli Hadits, dan juga oleh ahli ma’rifat dan tasawuf, (Majmû’ al-Fatawâ, juz 28, halaman: 211-212): 
Pandangan Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim
Syaikh Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyah adalah sepasang guru-murid yang mendukung dan mengakui kebenaran tasawuf sebagai ilmu yang dapat membersihkan jiwa.
Ibn Taimiyah menyebut para sufi dengan sebutan ahl ‘ulum al-qulub (pakar-pakar ilmu hati) yang perkataanya paling tepat dan paling baik realisasinya (asaddu wa ajwadu tahqiqan) serta paling jauh dari bid’ah (ab’adu minal bid’ah). Ia menyebutnya dalam kitabnya yang sangat terkenal Majmû’ al-Fatawâ (Beirut: Dar al-Kitab al Arabi, tahun 1973).
Dalam kitabnya Amradh al-Qulub wa Syifauha (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyyah, 1399), halaman: 62, ketika membicarakan surah al-Kafirun), Ibn Taimiyah berkata: “Adapun qul ya ayyuhal kafiruun mengundang tauhid amali iradi, tauhid praktis yang didasarkan pada kehendak, yaitu keikhlasan beragama semata-mata untuk Allâh dengan sengaja dan dikehendaki; dan itulah yang dibicarakan oleh Syaikh-syaikh tasawuf pada umumnya.
Imam-imam tasawuf menjadikan Allâh SWT sebagai satu-satunya yang dicintai dengan cinta yang hakiki, bahkan dengan cinta yang paling sempurna” (Amradh al-Qulub wa Syifauha, halaman: 68).
Adapun Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, dalam kitabnya Madârij al-Sâlikin, juz 1, halaman: 464 (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, tahun 1973), mengatakan tentang Abu Yazid al-Busthami dengan kalimat seperti ini: “Ini (memelihara dan menjauhkan keinginan dari selain Allâh yang Maha Suci) adalah  seperti  Abu Yazid al-Busthami. Semoga Allâh SWT merahmatinya mengenai berita tentang dirinya. Ketika ia ditanya keinginannya,  ia menjawab, “Aku ingin agar aku tidak ingin yang kedua (setelah Allâh SWT)”. Inilah hakikat tasawuf.”
Dalam kitabnya yang lain Badai al-Fawaid, juz 3, halaman: 756 (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Nizar Mushthafa al-Baz, 1996), Ibn al-Qayyim al-Jawziyah berkata:

“Tasawuf dan kefakiran (baca: hanya butuh kepada Allâh) berada pada wilayah hati”.

KITAB SABILUS SALIKIN (1) : Islam, Tasawuf, dan Tarekat


(JALAN PARA SALIK)

 


Benarkah tasawuf dan tarekat itu bid’ah?

Banyak yang beranggapan bahwa aliran tasawuf dalam Islam lahir karena pengaruh dari luar. Anggapan itu mencuat karena tasawuf muncul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani, juga agama Hindu dan Budha.

Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Bahwa ruh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang penuh nafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci, dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada filsafat serta ilmu pengetahuan serta melakukan beberapa pantangan.
Filsafat sufi juga demikian. Ruh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, ruh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.
Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Ruh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, ia berpendapat bahwa ruh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi (penjelmaan). Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.
Sampai di sini, tampak adanya perbedaan. Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tidak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur’an bahwa ruh sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, ruh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya ruh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
Dari agama Budha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana (tempat kebebasan). Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi (renungan) dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani, dan agama Kristen telah datang jauh sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut di atas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?, (Haqaiq ‘an al-Tashawwuf, Abdul Qâdir Isa, halaman: 30).
Tasawuf dan tarekat adalah korban yang paling sering dihujat sesat oleh saudara-saudara seiman. Mereka memandang tasawuf dan tarekat sebagai sarang bid’ah hal-hal yang baru yang diklaim tidak pernah diajarkan dalam Islam atau tidak pernah dilakukan dan diperintahkan oleh Rasûl. Dalil utama yang sering dikemukakan mereka adalah hadits Nabi Saw. yang sangat terkenal dan diriwayatkan oleh banyak imam hadits:
Hindarilah perkara-perkara yang baru (diada-adakan), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan bid’ah adalah sesat, (Riyâdh al-Shâlihîn, juz 1, halaman: 128).

Pengertian TasawufKitab Sabils Salikinyang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (foto: alif)

Banyak sekali definisi tasawuf yang telah dikemukakan, dan masing-masing berusaha menggambarkan apa yang dimaksud dengan tasawuf. Tetapi pada umumnya definisi yang dikemukakan hanya menyentuh sebagian dari keseluruhan bangunan tasawuf yang begitu besar dan luas.
Definisi-definisi yang dikemukakan sama dengan yang dilakukan empat orang buta, dalam kisah Rumi, ketika mereka menggambarkan bentuk gajah. Masing-masing menggambarkan bentuk gajah sesuai dengan bagian tubuh yang disentuhnya. Bagi yang pertama, bentuk gajah seperti mahkota, bagi yang kedua seperti pipa air, bagi yang ketiga, seperti kipas, dan bagi yang terakhir seperti tiang.
Imam al-Qusyairi dalam al-Risalah-nya mengutip 50 definisi dari ulama Salaf, sementara Imam Abu Nu’aim al-Ishbahani dalam Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’ mengutip sekitar 141 definisi, antara lain:

1 Tasawuf adalah bersungguh-sungguh melakukan suluk yaitu “perjalanan” menuju Malik al-Muluk (Raja semua raja), (yakni Allâh `azza wa jalla).
2 Tasawuf adalah mencari wasilah (alat yang menyampaikan) ke puncak fadhilah (keutamaan).

Definisi paling panjang yang dikutip Imam Abu Nu’aim al-Ishbahani berasal dari perkataan Imam al-Junaid Ra ketika ditanya orang mengenai makna tashawwuf:
Tasawuf adalah sebuah istilah yang menghimpun sepuluh makna:
1 Tidak terikat dengan semua yang ada di dunia sehingga tidak berlomba-lomba mengerjakannya.
2 Selalu bersandar kepada Allâh `azza wa jalla,
3 Gemar melakukan ibadah ketika sehat.
4 Sabar kehilangan dunia (harta).
5 Cermat dan berhati-hati membedakan yang hak dan yang batil.
6 Sibuk dengan Allâh SWT dan tidak sibuk dengan yang lain.
7 Melazimkan dzikir khafi (dzikir hati).
8 Merealisasikan rasa ihlas ketika muncul godaan.
9 Tetap yakin ketika muncul keraguan dan
10Teguh kepada Allâh SWT dalam semua keadaan.

Jika semua ini berhimpun dalam diri seseorang, maka ia layak menyandang istilah ini, dan jika tidak, maka ia adalah pendusta, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 1).
Beberapa fuqaha’ ahli fiqih juga mengemukakan definisi tasawuf dan mengakui keabsahan tasawuf sebagai ilmu kerohanian Islam. Di antara mereka adalah: Imam Muhammad ibn Ahmad ibn Jazi al-Kalabi al-Gharnathi (w. 741 H.) dalam kitabnya al-Qawanin al-Fiqhiyyah li Ibn Jazi, halaman: 277 menegaskan: “Tasawuf masuk dalam jalur fiqih, karena ia pada hakikatnya adalah fiqih batin (rohani), sebagaimana fiqih itu sendiri adalah hukum-hukum yang berkenaan dengan perilaku lahir”.
Imam `Abd al-Hamid al-Syarwani, dalam kitabnya Hawasyi al-Syarwani VII, menyatakan: “Ilmu batin (kerohanian), yaitu ilmu yang mengkaji hal ihwal batin (rohani), yakni yang mengkaji perilaku jiwa yang buruk dan yang baik (terpuji), itulah ilmu tasawuf”.
Imam Muhammad `Amim al-Ihsan dalam kitabnya Qawa’id al-Fiqih, dengan mengutip pendapat Imam al-Ghazali, menyatakan: “Tasawuf terdiri atas dua hal: Bergaul dengan Allâh SWT secara benar dan bergaul dengan manusia secara baik. Setiap orang yang benar bergaul (ibadah) dengan Allâh SWT dan baik bergaul dengan mahluk, maka ia adalah sufi”.
Definisi-definisi tersebut pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain, membentuk satu kesatuan yang tersimpul dalam satu buhul: “Tasawuf adalah perjalanan menuju Tuhan melalui penyucian jiwa yang dilakukan dengan intensifikasi dzikrullah”.
Penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs) merupakan ruh dari takwa, sementara takwa merupakan sebaik-baik bekal (dalam perjalanan menuju Allâh Swt.), sehingga dikatakan oleh Imam Muhammad Zaki Ibrahim, pemimpin tharîqah sufi al-Asyirah al-Muhammadiyyah di Mesir, bahwa “Tasawuf adalah taqwa. Taqwa tidak hanya berarti “mengerjakan semua perintah Allâh Swt. dan meninggalkan semua larangan-Nya. Taqwa juga meliputi “cinta, ikhlas, sabar, zuhud, qana’ah, tawadhu’, dan perilaku-perilaku batin lainnya yang masuk ke dalam kategori makarim al-akhlaq (akhlak yang mulia) atau al-akhlaq al-mahmudah (akhlak yang terpuji)”.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila tasawuf juga sering didefinisikan sebagai akhlak, yaitu akhlak bergaul (ibadah) dengan Allâh Swt. dan akhlak bergaul dengan semua makhluk-Nya. Imam Muhammad ibn `Ali al-Kattani, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Qusyairi dalam al-Risalah-nya, menegaskan bahwa “tasawuf adalah akhlak”. Imam Abu Nu’aim al-Ishbahani juga mengutip definisi senada dalam kitabnya Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’: “Tasawuf adalah berakhlak dengan akhlak (orang-orang ) mulia.”
Definisi terakhir di atas sejalan dengan keberadaan Nabi Saw. yang diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia sebagaimana ditegaskan oleh beliau sendiri dalam sebuah sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hambal
Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang baik, (Sunan al-Kubrâ lil Baihaqi, juz 1, halaman: 191, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3, halaman: 46).
Akhlak itu sendiri merupakan perilaku batin yang melahirkan berbagai perbuatan secara otomatis tanpa melalui pertimbangan yang disengaja, atau dalam definisi Imam al-Ghazali diungkapkan dengan redaksi: “Akhlak merupakan ungkapan tentang kondisi yang berakar kuat dalam jiwa; dari kondisi itu lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikirkan dan pertimbangan.”
Apapun definisi yang dikemukakan para ulama’ mengenai tasawuf, yang jelas bahwa tashawwuf merupakan sisi rohani Islam yang sangat fundamental dan esensial, bahkan ia merupakan inti ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul.
Pernyataan Imam Muhammad Zaki Ibrahim barangkali sudah cukup sebagai penjelasan terakhir: “Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai definisi tashawwuf, semua definisi yang ada mengarah kepada satu titik yang sama, yaitu taqwa dan tazkiyah. Tasawuf adalah hijrah menuju Allâh Swt, dan pada hakikatnya semua definisi yang ada bersifat saling melengkapi”, (Abjadiyyah al-Tashawwuf al-Islami, atau Tashawwuf Salafi, halaman: 7).
Tidak satu definisi pun yang mampu menggambarkan secara utuh apa yang disebut dengan tasawuf. Demikian pula, tidak ada satu penjelasan pun yang mampu menggambarkan apa yang disebut denga ihsan (beribadah seolah-olah melihat Allâh Swt), karena hal itu menyangkut soal rasa dan “pengalaman”, bukan penalaran atau pemikiran. Pemahaman yang utuh mengenai tasawuf dan sekaligus ihsan hanya muncul setelah seseorang “mengalami” dan tidak sekadar “membaca” definisi-definisi yang dikemukakan orang.

 


SYEIKH ABDUL WAHID BIN ZAID : MENGAPA KALIAN TAK MENANGIS


Nama Panggilan dari Abdul Wahid bin Zaid adalah Abu Ubaidah Al Bashri. Beliau sebagai penasehat terkenal dengan sosok seorang yang zuhud, dan Sebagai guru kepada orang-orang yang rajin beribadah.

Pernah sahabat Abdul Wahid bin Zaid berkata, “Ketika aku berada di tempat Malik bin Dinar, aku duduk di samping Abdul Wahid bin Zaid. Akan tetapi aku kurang jelas dengan nasehat yang diberikan Malik bin Dinar karena suara tangis Abdul Wahid bin Zaid.

Di suatu hari, Abdul Wahid bin Zaid berceramah Beliau berkata, “Wahai saudara-saudaraku, kenapa engkau tidak menangis dengan adanya neraka? Ketahui lah, siapa yang menangis karena takut neraka maka Allah Ta’ala akan menjauhkan dari neraka.
Dan kenapa engkau tidak menangis dengan kedahsyatannya dahaga pada hari kiamat nanti? wahai saudaraku, kenapa kalian tidak menangis? Menangis lah di atas air dingin di dunia ini! Semoga air dingin ini kelak diberikan kepada kalian semuanya bersama orang-orang terdahulu yaitu para Nabi, orang-orang jujur, syuhada’, orang-orang shaleh. Sesungguhnya mereka itu orang yang baik.”

Setelah berkata seperti itu, Abdul Wahid bin Zaid menangis. Maha Besar Allah atas segala KeagunganNya.


TANGISAN ABDULLAH BIN RAWAHAH


Abdullah Bin Rawahah dan istrinya menangis maka ia bertanya kepada istrinya, 'Mengapa engkau menangis?' Istrinya menjawab, 'saya menangis karena saya melihat engkau menangis.'

Abdullah Bin Rawahah berkata, 'saya sudah tahu bahwa saya akan melintasi neraka tetapi saya tidak tahu apakah saya akan selamat atau tidak. karena turun satu ayat kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Salam dari Allah, yang memberitahukan bahwa saya akan melintasi neraka tetapi tidak ada berita, apakah saya selamat atau tidak.'

Ayat yang dimaksud Abdullah Bin Rawahah adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala. 'Dan tidak ada seorangpun dari padamu melainkan mendatangi neraka itu' (QS. Maryam : 71).

Teman yang berbahagia, Abdullah Bin Rawahah adalah salah satu dari sahabat Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Salam dari kaum Anshar, air matanya senantiasa menetes disetiap malamnya untuk memohon ampun kepada Allah karena takut tidak selamat melintasi neraka. Lantas bagaimana dengan kita? Mampukah kita menangis malam ini untuk memohon ampun kepada Allah?


AKU MERASA RIDHA DENGAN KETENTUAN TUHANKU


(Kisah Teladan Saidina Abu Bakar as-Shiddiq)

Pada suatu hari, Abu Bakar As Shiddiq r.a duduk di sisi Rasulullah saw dengan menggunakan jubah yang lusuh, tua, dan robek-robek, bahkan hingga pinggir-pinggirnya disambung dengan pelepah kurma dan ranting pepohonan.

Kemudian Jibril as turun kepada mereka dan berkata, “ Wahai Muhammad, mengapa Abu Bakar mengenakan jubah dengan kayu-kayu?”

Maka Rasulullah saw menjawab pertanyaan itu,”Wahai Jibril, ia telah menginfaqkan semua hartanya untukku sebelum kejadian fathu Mekkah”.

Kemudian Jibril as kembali berkata,”Allah memberikan salam kepadamu dan memerintahkan aku bertanya kepadamu, apakah kamu ridha denganKu dengan keadaan kemiskinanmu ini ataukah kamu merasa marah?”

Mendengar perkataan jibril itu, Rasulullah saw berkata kepada Abu Bakar,”Wahai Abu Bakar, Allah memberikan salam kepadamu dan bertanya kepadamu, apakah kamu ridha denganku dengan keadaan kemiskinanmu ini ataukah kamu merasa marah?”

Maka Abu Bakar r.a menjawab pertanyaan Rasulullah itu dengan suara yang dipenuhi rasa cinta yang meluap-luap, “Bagaimana aku dapat marah dengan Tuhanku?” setelah itu ia melanjutkan kata-katanya, “ Aku merasa ridha dengan ketentuan Tuhanku….Aku merasa ridha dengan ketentuan Tuhanku……Aku merasa ridha dengan semua ketentuan Tuhanku”.

AISYAH DAN KEREDHAANYA TERHADAP ALLAH


Ketika pasukan muslim kembali dari peperangan di Bani Mushtaliq, Aisyah r.a. yang ketika itu bersama para wanita yang sedang beristirahat sebelum memasuki ke Madinah— tertinggal karena mencari sebuah kalungnya yang terlepas ketika dia sedang membuang air.
Tidak seorang pun dari pasukan muslimin yang tahu jika Aisyah belum kembali ke dalam tandu ontanya, sehingga mereka membawanya karena mengira Aisyah ada di dalamnya. Maka ketika Aisyah kembali ke tempat peristirahatan orang-orang muslimin tersebut, mereka sudah tidak ada di tempat.

Aisyah mengisahkan keadaannya, “Lalu saya melipatkan jilbab saya ke badan saya, lalu saya tiduran di tempatku. Saya tahu, jika mereka tidak menemukan saya, pasti mereka akan kembali mencari saya.
Ketika saya rebahan, tiba-tiba Shafwan ibnul Mu’aththal as-Sulami, yang juga tertinggal karena ada keperluan sehingga tidak bermalam bersama orang-orang muslim, melewatiku. Ketika dia melihat bayanganku, dia pun mendekatiku. Dan sebelumnya dia pernah melihatku sebelum diwajibkan hijab atas kami.
Lalu dia pun bertanya, “Innalillaahi wainnaa lillaahi raaji’uun, isteri Rasulullah saw.”.
Ketika itu saya menutupkan jilbab saya ke tubuh saya.
Dia bertanya lagi, “Apa yang membuatmu tertinggal, semoga Allah mengasihimu?”

Saya tidak mengatakan apapun kepadanya. Kemudian dia mendekatkan ontanya, lalu berkata, “Naiklah dan saya akan berjalan di depan”.

Maka saya pun naik ke punggung ontanya, dan dia berjalan dengan memegang tali onta tersebut. Lalu dia berjalan cepat untuk menyusul pasukan muslimin, namun kami tidak juga dapat menyusul mereka. Sedangkan orang-orang muslim baru menyadari bahwa saya tidak ada di dalam tandu ketika pagi hari, ketika mereka singgah di suatu tempat. Kemudian ketika mereka sedang beristirahat, kami sampai ke tempat itu. Maka orang-orang penyebar cerita Ifki ( cerita dusta ) menyebarkan tuduhan keji tentangku. Maka terjadi keributan dalam pasukan muslimin, dan Allah lebih tahu tentang hal itu”.

Kemudian setelah sampai ke Madinah, Aisyah r.a. sakit, lalu dia pulang ke rumah ayahnya untuk dirawat oleh ibunya. Aisyah tidak mengetahui apa yang disebarkan oleh orang-orang munafik dan orang-orang yang berjiwa lemah tentangnya dan tentang Shafwan ibnul Mu’aththal.
Mereka menuduhnya melakukan kekejian, haasyaahallaahu ta’ala.

Setelah dua puluh hari berlalu, Aisyah r.a. mengetahui tentang apa yang dituduhkan kepadanya dari Ummu Masthah bintu Abi Rahm.
Maka Aisyah pun berkata, “Demi Allah, ketika saya tidak mampu menyelesaikan keperluanku dan saya pun langsung kembali ke rumah. Demi Allah, saya terus menangis hingga seakan hatiku hampir pecah karenanya. Lalu saya katakan kepada ibuku, “Ibu, semoga Allah mengampunimu. Orang-orang ramai meributkan cerita itu, namun engkau sedikitpun tidak mengatakannya kepada saya”.
   
Maka ibunya berkata, “Wahai anakku, janganlah kau terlalu memikirkan hal ini. Demi Allah, seringkali seorang wanita cantik yang dicintai oleh suaminya yang mempunyai banyak isteri tidak disenangi oleh isteri-isteri yang lain”.

Aisyah r.a. berkata, “Kemudian Rasulullah saw. mendatangi saya dan ketika itu ayahku, ibuku dan seorang wanita Anshar ada di dekatku.
Sedangkan saya masih menangis dan wanita Anshar itu juga menangis bersamaku. Lalu beliau mengucapkan hamdalah dan memuji Allah, kemudian bersabda, “Wahai Aisyah, kau telah mendengar apa yang dikatakan orang-orang. Maka bertakwalah kepada Allah, jika engkau memang telah melakukan apa yang dikatakan orang-orang, maka bertaubatlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya”.

Aisyah berkata, “Demi Allah, setelah beliau mengatakan hal itu, air mataku terasa habis, hingga saya tidak merasakan air mataku lagi. Dan saya menunggu kedua orang tuaku menjawab sabda Rasulullah saw. tersebut, namun keduanya tetap tidak menjawab. Demi Allah, sungguh saya teramat hina dan rendah untuk mengharapkan agar Allah menurunkan Al-Qur’an yang dibaca di masjid-masjid dan dibaca orang ketika shalat tentang tidak bersalahnya saya.
Akan tetapi saya sangat mengharapkan Rasulullah saw. bermimpi yang di dalamnya Allah membantah tuduhan orang-orang terhadap saya, karena ketidaksalahan saya yang diketahui-Nya, atau Dia memberitahu beliau akan hal itu”.

Aisyah berkata lagi, “Ketika saya melihat ayah dan ibuku tidak berbicara, maka saya katakan kepada mereka, “Apakah kalian berdua tidak menjawab Rasulullah saw.?”

Keduanya menjawab, “Demi Allah, kami tidak tahu apa yang harus kami katakan untuk menjawabnya”.

Aisyah berkata juga, “Demi Allah, setahu saya tidak ada keluarga yang didatangi oleh beliau seperti rumah Abu Bakar di hari-hari itu. Ketika saya lihat kedua orang tuaku tidak membelaku, saya pun menangis dan saya katakan, “Demi Allah, selamanya saya tidak akan bertaubat atas apa yang engkau katakan. Demi Allah, jika saya mengakui apa yang dituduhkan orang-orang —dan Allah tahu bahwa saya tidak melakukannya— tentu saya mengatakan apa yang tidak saya lakukan. Sedangkan jika saya mengingkari tuduhan itu, kalian tetap tidak mempercayaiku. Maka saya katakan seperti yang dikatakan Ya’qub a.s., ayah Yusuf a.s.,

Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku. Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan." ( Yusuf: 18 ).
Maka demi Allah, ketika Rasulullah saw. masih berada di tempat duduk beliau, Allah pun menurunkan wahyu kepada beliau.
Maka beliau menutupkan baju ke tubuh beliau, lalu diletakkan bantal yang terbuat dari kulit di bawah kepada beliau. Ketika melihat apa yang terjadi, saya tidak terkejut dan saya tidak peduli. Saya tahu bahwa saya terbebas dari tuduhan orang-orang, dan Allah tidaklah menzalimi saya.
   
Kemudian Rasulullah saw. pun kembali tenang, lalu beliau duduk. Dan dari wajah beliau mengalir keringat seperti mutiara-mutiara di hari yang dingin. Lalu beliau mengusap keringat dari kening beliau seraya bersabda, “Selamat wahai Aisyah”. Dan beliau membacakan ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada beliau ketika itu,  yaitu sebagian dari surah an-Nur,

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar”. ( an-Nuur: 11 ).

Demikianlah, bukti ketidakbersalahan Aisyah r.a. turun dari Allah ‘Azza wajalla, setelah dia ikhlas dan ridha terhadap qadha Allah. Semoga Allah ridha dan membuatnya ridha.

ANGGUR DI SYURGA MILIK ABUD DAHDAH


Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ketika turun ayat Al-Qur’an,

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik ( menafkahkan hartanya di jalan Allah ), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak”. ( al-Baqarah: 245 ),
Abud Dahdah al-Anshari berkata, “Apakah Allah juga ingin pinjaman dari kita?”

Rasulullah saw. menjawab, “Ya, wahai Abud Dahdah”.
Abu Dahdah lalu berkata, “Ulurkanlah tanganmu wahai Rasulullah.”

Maka Rasulullah saw. mengulurkan tangannya ke arah Abud Dahdah. Lalu Abud Dahdah berkata, “Dengan ini saya meminjamkan kebunku kepada Tuhanku”.
Ibnu Mas’ud berkata, “Di dalam kebun Abud Dahdah tersebut terdapat enam ratus pohon kurma. Di dalamnya juga tinggal Ummud Dahdah dan anak-anaknya.
Maka setelah itu, Abud Dahdah segera pulang dan memanggil istrinya, “Wahai Ummud Dahdah”. Istrinya menjawab, “Ya, suamiku”. Sang suami menjawab, “Keluarlah dari kebun ini, karena saya telah meminjamkannya kepada Tuhanku ‘azza wajalla”.

Mendengar hal itu, Ummud Dahdah segera mendatangi anak-anaknya, mengeluarkan kurma-kurma yang ada di mulut mereka dan mengeluarkan yang ada di dalam baju-baju mereka.

Maka Rasulullah saw. bersabda, “Alangkah banyak anggur-anggur yang besar milik Abud Dahdah di surga”.


TELEDAN ORANG YANG REDHA ATAS TAKDIR ALLAH

Pada satu hari, tiga orang tabi’in, yakni asy-Sya’abi, Sa’id Bin Musayyab, dan Abdullah Bin Mas’ud sedang berehat bersama. Salah seorang daripada mereka berdoa, “Ya Allah, Aku memohon pada-Mu untuk mencabut nyawaku dalam waktu terdekat.”

Mendengar hal itu, maka bertanyalah yang lain, “Kenapa engkau berdoa seperti itu?”

“Kerana terlalu banyak godaan. Aku takut diriku terjerumus pada godaan itu.” Jawabnya.

Tabi’in yang kedua pula berdoa, “Ya Allah, panjangkanlah umurku!”

“Kenapa negkau berdoa demikian?” tanya yang lain.

“Aku berharap, semoga di suatu hari nanti, aku mendapat kesempatan untuk beribadah yang membuatkan Allah meredhaiku.”jawabnya.

Dan saat giliran Abdullah Bin Mas’ud, beliau berdoa, “Ya Allah, Aku tidak akan memilih untuk diriku. Pilihkanlah untukku sekehendak-Mu! Apapun yang Engkau pilih untukku, itulah yang terbaik, “

“Engkau adalah orang yang terbaik daripada kami,” kata dua orang yang berdoa sebelumnya.

Abdullah Bin Mas’ud berkata, “Selama 40 tahun, apapun yang Allah berikan padaku, aku redha. Demi Allah, aku tidak pernah menangisi apa pun yang menimpaku di dunia ini. Aku hanya menangisi hilangnya agama.”

Semoga Allah menanamkan keredhaan dalam hati kita, Amin!


Sabtu, 19 Mei 2018

SAAT DIMANDIKAN JENAZAHNYA...


Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.

Dan Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan, "ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan sayyidina Umar r.a.)

Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang.

Mereka saling bertanya-tanya : "Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni ? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya.

Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa "Uwais al-Qorni" ternyata ia tak terkenal di bumi tapi menjadi terkenal di langit.

KISAH WALI ALLAH YANG SHOLAT DI ATAS


Ini kisah yang turun temurun diceritakan tentang karomah wali Allah yang bisa berjalan di atas air dan mengangkat kapal yang tenggelam.

Sebuah kapal yang sarat dengan muatan dan bersama 200 orang temasuk ahli perniagaan siap mengarungi samudera, meninggalkan pelabuhan di Mesir.

Saat kapal itu berada di tengah lautan tiba-tiba saja datanglah petir yang diiringi ombak yang kuat membuat kapal itu terombang-ambing dan hampir tenggelam. Berbagai usaha dibuat untuk menghindari kapal tenggelam. Tapi  semua usaha mereka sia-sia saja.

Semua orang yang berada di atas kapal itu sangat cemas dan menunggu apa yang akan terjadi pada kapal dan diri mereka. Ketika semua orang berada dalam keadaan cemas, terdapat seorang lelaki yang sedikitpun tak merasa cemas. Dia kelihatan tenang sambil berzikir kepada Allah SWT. Kemudian lelaki itu turun dari kapal yang sedang terumbangambing dan berjalanlah dia di atas air dan mengerjakan sholat di atas air.

Beberapa awak kapal yang melihat perilaku lelaki yang berjalan di atas air itu langsung saja
berkata, “Wahai wali Allah, tolonglah kami. Janganlah tinggalkan kami!” Lelaki itu tidak memandang ke arah orang yang memanggilnya. Awak kapal itu memanggil lagi, “Wahai wali Allah, tolonglah kami. Jangan tinggalkan kami!”

Kemudian lelaki itu menoleh ke arah orang yang memanggilnya dengan berkata, “Ada masalah apa?” Seolah-olah lelaki itu tidak mengetahui apa-apa. Awak kapal itu berkata, “Wahai wali Allah, tidakkah kamu hendak mengambil berat tentang kapal yang hampir tenggelam ini? “Wali itu berkata, “Dekatkan dirimu kepada Allah.” Para penumpang itu berkata, “Apa yang mesti kami buat?” Wali Allah itu berkata, “Tinggalkan semua hartamu, jiwamu akan selamat.” Kesemua mereka sanggup meninggalkan harta mereka. Asalkan jiwa mereka selamat. Kemudian mereka berkata, “Wahai wali Allah, kami akan membuang semua harta kami asalkan jiwa kami semua selamat.” Wali Allah itu berkata lagi, “Turunlah kamu semua ke atas air dengan membaca Bismillah.”

Dengan membaca Bismillah, maka turunlah seorang demi seorang ke atas air dan berjalan menghampiri wali Allah yang sedang duduk di atas air sambil berdzikir. Tidak berapa lama kemudian, kapal yang mengandung muatan beratus ribu ringgit itu pun tenggelam ke dasar laut. Habislah semua barang-barang perniagaan yang mahal-mahal terbenam ke laut. Para penumpang tidak tahu apa yang hendak dibuat, mereka berdiri di atas air sambil melihat kapal yang tenggelam itu.

Salah seorang dari awak kapal  berkata lagi, “Siapakah kamu wahai wali Allah?” Wali Allah itu berkata, “Saya adalah Awais Al-Qarni.”. Awak itu berkata lagi, “Wahai wali Allah, sesungguhnya di dalam kapal yang tenggelam itu terdapat harta fakir-miskin Madinah yang dihantar oleh seorang jutawan Mesir.” WaliAllah berkata, “Sekiranya Allah kembalikan semua harta kamu, adakah kamu betul-betul akan membahagikannya kepada orang-orang miskin di Madinah?” Peniaga itu berkata, “Betul, saya tidak akan menipu, ya wali Allah.”

Setelah wali itu mendengar pengakuan dari peniaga itu, maka dia pun mengerjakan sholat dua rakaat di atas air, kemudian dia memohon kepada Allah swt agar kapal itu ditimbulkan semula bersama-sama hartanya.Tidak berapa lama kemudian, kapal itu timbul sedikit demi sedikit sehingga terapung di atas air. Kesemua barang perniagaan dan lain-lain tetap seperti asal. Tiada yang kurang.

Setelah itu dinaikkan kesemua penumpang ke atas kapal itu dan meneruskan pelayaran ke tempat yang dituju. Sesampai di Madinah, awak kapal yang berjanji dengan wali Allah itu langsung menunaikan janjinya dengan membagi-bagikan  harta kepada semua fakir miskin di Madinah sehingga tidak ada seorang pun fakir miskin yang tak kebagian.
  
Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah pulang ke rahmatullah.

Isnin, 14 Mei 2018

ASY-SYIFA BINTI ABDULLAH : SANG GURU WANITA


Nama lengkapnya Asy-Syifa binti Abdullah bin Abdu Syams bin Khalaf bin Saddad bin Abdullah bin Qarth bin Razzah bin Adi bin Ka’ab dari suku Quraisy Al-Adawiyah.

Ia adalah seorang sahabat wanita Nabi yang mulia, cerdas, memiliki banyak kelebihan, dan merupakan salah satu tokoh wanita Islam yang menonjol. Di dalam dirinya terhimpun pengetahuan keimanan dan keimanan.

Asy-Syifa merupakan sedikit di antara wanita Makkah yang pandai membaca dan menulis sebelum Islam. Setelah masuk Islam, dialah yang mengajari para wanita Muslimah dengan tujuan agar mendapat balasan dan pahala dari Allah.

Sejak itulah ia menjadi guru di zaman Rasulullah. Di antara muridnya adalah Hafshah binti Umar bin Khathab, istri Rasulullah SAW.

Suatu ketika Asy-Syifa berkunjung ke rumah Nabi SAW. "Ajarkanlah pada Hafsah tentang sakit anesthesia (mati rasa), sebagaimana kau mengajarinya menulis!" kata Rasulullah.

Bahkan Nabi SAW mengakuinya sebagai tempat bagi dokter ahli mata (ophthalmologist), dan keahlian itu diturunkan pada anaknya.

Asy-Syifa binti Abdullah masuk Islam sebelum hijrah, dan termasuk wanita muhajirin angkatan pertama yang berbaiat kepada Nabi SAW.

Dia juga termasuk wanita yang disebut di dalam firman Allah, "Wahai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk berbaiat bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka, dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang makruf, maka terimalah baiat mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang." (QS: Al-Mumtahanah:12).

Asy-Syifa adalah wanita beruntung karena mendapat perhatian dari Rasulullah. Beliau memberinya sebuah rumah khusus di Madinah yang berdekatan dengan para penderita penyakit gatal. Dia menempati rumah tersebut bersama anaknya, Sulaiman.

Ia juga banyak belajar hadits dari Rasulullah SAW untuk memahami masalah-masalah agama dan keduniaan. Dengan berbekal pengetahuan inilah, ia mendakwahkan islam dan memberi nasihat kepada masyarakat.

Umar bin Khathab sangat memuji kecerdasan dan ide-ide Asy-Syifa, dan kerap menerima pendapatnya. Umar bahkan memberinya tugas untuk mengurusi masalah pasar.

Selain itu, Asy-Syifa binti Abdullah juga termasuk salah seorang perawi hadits. Dia meriwayatkan beberapa hadits dari Nabi SAW, juga dari Umar bin Khathab. Beberapa orang ikut meriwayatkan hadits yang berasal darinya, seperti anaknya Sulaiman bin Abu Khaitsumah, kedua cucunya (Abu Bakar dan Utsman), Abu Ishaq, dan Hafshah Ummul Mukminin. Sementara Abu Daud juga meriwayatkan hadits yang berasal dari periwayatannya.

Sepeninggal Rasulullah, Asy-Syifa tetap memerhatikan keadaan kaum Muslimin dan memuliakan mereka sampai ia wafat pada tahun ke-20 Hijriyah.

KISAH SYIFA BINTI ABDULLAH AL ADAWIYYAH : PAKAR DALAM ISTIRQA


Namanya Syifa' binti Abdullah ibn Abd Syams al-Quraisyiyyah al-Adawiyyah. Ada pendapat mengatakan nama sebenarnya Laila binti Abdullah. Beliau adalah isteri kepada Abu Hathmah ibn Huzaifah ibn Ghanim al-Quraisy al-Adawi. 

Beliau dikurniakan seorang anak bernama Sulaiman bin Abu Hathmah, seorang lelaki yang dihormati sebagai orang yang kuat beragama di kalangan ummat Islam. Kemuliaan Nama adalah identiti dan pengenalan awal diri. Ia juga adalah sebuah doa dan harapan yang terawal dilakarkan oleh ibu bapa buat seorang anak.

Sesuai dengan namanya Syifa' memiliki kepakaran dalam istirqa' iaitu suatu kaedah pengubatan dengan cara memberikan dorongan jiwa agar pesakit bermotivasi dan optimis untuk sembuh. Beliau adalah seorang sahabiah yang terkenal dengan kebaikan hatinya dan kepintarannya dan merupakan salah seorang daripada segelintir kau hawa Quraisy yang mahir menulis dan membaca.
Beliau tergolong di kalangan sahabat dan sahabiah yang terawal memeluk Islam, ikut serta membaiah Rasulullah s.a.w. bersama sahabiah yang lain dan turut berhijrah ke Madinah. 

Beliau turut memiliki kedudukan yang terhormat di sisi Ummahatul Mukminin, isteri-isteri Rasulullah s.a.w. As-Syifa' sentiasa datang menjenguk Ummul Mukminin, Hafsah dan mengajarkannya menulis. Rasulullah s.a.w. telah menyuruh as-Syifa' mengajarkan Hafsah menulis dan cara mengubati penyakit kulit dengan teknik ruqayyah.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Syifa' binti Abdullah bahawa dia berkata: "Rasulullah s.a.w. datang menjengukku dan aku sedang bersama Hafsah. Rasulullah berkata kepadaku, "Ajarkanlah Hafsah cara mengubati penyakit kulit dengan teknik ruqayyah sebagaimana engkau mengajarkannya menulis." Rasulullah s.a.w. menghormatinya dan bersaliturahim dengannya.

Rasulullah s.a.w. juga telah memberinya sebuah rumah di Madinah. As-Syifa' telah tinggal di rumah tersebut bersama anaknya Sulaiman. Kepakaran dalam Perubatan Pada zaman jahiliyyah, Syifa' binti Abdullah mengubati sakit kulit dengan menggunakan ruqayyah. Setelah memeluk Islam, dia telah datang bertemu Rasulullah untuk meminta izin agar dapat meneruskan pekerjaannya itu. Ibnu Qayyum berkata bahawa di zaman jahiliyyah as-Syifa' menggunakan ruqayyah untuk mengubati penyakit kulit. Ketika turut serta dalam hijrah dan membaiah Nabi s.a.w. dia telah berkata kepada Rasulullah s.a.w.: "Ya Rasulullah, pada zaman jahiliyyah aku mengubati penyakit kulit dengan cara ruqayyah dan aku ingin memperlihatkannya kepadamu." Syifa' berkata, maksudnya: "Dengan nama Allah, sehingga kembali ke asalnya dan tidak membahayakan seseorang pun. Ya Allah, Tuhan sekalian manusia.
Hilangkanlah penyakit ini." Ibnu Qayyum berkata: "Syifa' binti Abdullah membaca ruqayyah tersebut sebanyak tujuh kali ke atas sebuah dahan gaharu. Kemudian, dia menumbuknya sampai halus pada tempat yang bersih dengan menggunakan batu yang tajam. Setelah itu, dia akan menggoreskannya ke atas penyakit kulit tersebut." Setelah diizinkan oleh Rasulullah s.a.w. beliau meneruskan pekerjaannya itu.As-syifa' juga menyertai beberapa peperangan sebagai tentera dan juga pasukan perubatan.

Bersama Umar al-Khattab Syifa' binti Abdullah mempunyai kedudukan yang mulia di sisi Umar al-Khattab r.a. sebagaimana mulianya as-Syifa' di sisi Rasulullah s.a.w. Sayyidina Umar selalu mengutamakan as-Syifa' dalam hal pandangan. Bahkan, beliau turut memberi kepercayaan kepada as-Syifa' dengan melantiknya sebagai seorang qadhi di pasar. As-Syifa' adalah Muslimah pertama memegang jawatan itu. Beliau memikul tugas tersebut dengan penuh amanah dan tegas. Pada suatu hari, as-Syifa' melihat sekumpulan anak muda berjalan dengan perlahan dan bercakap dengan lambatnya. As-Syifa' bertanya: "Apa ini?" Mereka menjawab: "Ini adalah ahli ibadah." As-Syifa' membalas: "Demi Allah! Dahulu Umar ibn Khattab berjalan dengan pantas, bercakap dengan lantang dan apabila memukul pasti sangat sakit dan dialah sebenarnya yang disebut sebagai ahli ibadah." Umar Ibn Khattab sentiasa datang menjenguk as-Syifa' dan bertanyakan keadaannya, anak dan suaminya. Umar juga kerap membimbing mereka kepada kebaikan kalau keadaan memerlukan. Syifa' binti Abdullah berkata: "Umar ibn Khattab datang ke rumahku.

Dia melihat dua orang lelaki tertidur di rumahku (suami dan anak as-Syifa'). Umar ibn Khattab bertanya: "Ada apa dengan dua orang lelaki ini sehingga mereka tidak solat berjemaah dengan kami?" Aku menjawab: "Ya Amirul Mukminin! Mereka berdua solat bersama yang lain – ketika itu bulan Ramadhan – mereka terus solat berdua sehingga datang waktu Subuh. Setelah mereka solat Subuh, mereka tidur. Umar ibn Khattab berkata: "Solat Subuh berjemaah bersama yang lain lebih baik bagiku daripada solat sepanjang malam sehingga datang Subuh." Hal ini menunjukkan pemahaman fiqh Umar yang mendalam dan bimbingan halus daripadanya yang berlandaskan sunnah Rasulullah s.a.w dan anjuran untuk menghadiri solat jemaah.

As-Syifa' dan Hadis Rasulullah s.a.w. As-Syifa' r.a. juga sempat meriwayatkan hadis Rasulullah s.a.w. secara terus dan dari Umar al-Khattab. Adapun yang meriwayatkan hadis Rasulullah s.a.w. daripada as-Syifa' adalah anaknya Sulaiman, kedua cucunya Abu Bakar bin Sulaiman dan Utsman bin Sulaiman, hamba sahayanya Abu Ishaq dan Hafsah Ummul Mukminin.

Di antara riwayatnya, bahawa Rasulullah s.a.w. ditanya tentang sebaik-baik pekerjaan. Baginda menjawab: "Beriman kepada Allah, jihad di jalanNya dan haji yang mabrur."

As-Syifa' menghabiskan hayatnya untuk menuntut ilmu, beramal, berzuhud dan beribadah sehingga ajal menjemputnya pada zaman khalifah Umar al-Khattab pada tahun 20H. Semoga rohnya sentiasa dicucuri rahmat dari Ilahi. Marilah kita berdoa: "Ya Allah, Tuhan sekalian manusia. Hilangkanlah penyakit ini."

ASY-SYAIMA BINTI AL HARITS : SAUDARA SESUAN NABI MUHAMMAD SAW


Asy-Syaima’ adalah salah seorang wanita yang mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah. Wanita yang bernama asli Hadzafah ini adalah saudara sesusu Nabi Muhammad. Ialah anak perempuan dari Halimah as-Sa’diyyah, ibu susuan Rasulullah.


Kenangan Masa Kecil Bersama Rasulullah

Asy-Syaima’ sangat menyayangi Muhammad kecil. Oleh karena itu dengan senang hati ia membantu ibunya mengasuh apabila ibunya sibuk bekerja. Ia akan membawanya bermain bersama saudara-saudaranya yang lain, mereka adalah Abdullah dan Unaisah. Jika Muhammad berlari, dia akan mengejarnya. Jika Muhammad nampak keletihan, dia akan menggendongnya. Ketika Muhammad berusia dua tahun, Halimah mengembalikannya kepada ibunya di Makkah, akan tetapi karena melihat banyaknya berkah yang ia dapatkan selama Muhammad bersama mereka maka Halimah meminta kepada Aminah; ibu Rasulullah untuk membawanya kembali ke dusun tempatnya tinggal. Melihat kekerasa hati Halimah yang ingin terus mengasuh anaknya, akhirnya Aminah mengizinkannya.

Betapa senang hati Asy-Syaima’ ketika melihat ibunya membawa kembali saudara sesusunya, Muhammad kembali ke rumah. Wajahnya kembali berseri setelah sebelumnya murung karena harus berpisah dengan adik kesayangannya. Ia merasa bahagia dan tidak sabar menanti pagi menjelang agar esok ia dapat bermain bersamanya kembali.

Asy-Syaima’ sering membawa Rasulullah bermain di bawah pohon yang rindang agar tidak kepanasan. Sambil duduk-duduk ia akan menyenandungkan sebuah syair yang digubahnya sendiri untuk adiknya, Muhammad yang berbunyi,

“Wahai Rabb kami, biarkan Muhammad bersama kami sehingga saya dapat melihatnya hingga beranjak remaja dan menjadi seorang pemuda. Seterusnya saya dapat melihatnya menjadi pemimpin yang terhormat dan disegani. Binasakan musuh-musuh dan orang yang selalu mendengkinya. Berilah dia kekuatan dan kemuliaan yang abadi.”
Dan Allah Mewujudkan Ungkapan-ungkapan Asy-Syaima’ itu Sehingga Menjadi Kenyataan

Pada suatu hari yang cukup panas, ketika ibu mereka sedang mengembalakan kambing-kambingnya, ia terlupa melihat ke arah Muhammad dan saudaranya bermain. Ketika Halimah tersadar dan melihat ke sekeliling, ia tidak melihat seorangpun dari anak-anaknya.

Halimah teringat Asy-Syaima’ sering bermain dengan Muhammad. Dia pun segera mendapatkan anak-anaknya itu. Dia pergi ke tempat mereka biasa bermain. Di sana ia dapatkan anak-anaknya. Halimah berkata kepada Asy-Syaima’, “Ternyata kalian ada di sini! Hari ini panas terik, mengapa engkau biarkan Muhammad bermain di tengah panas?”

Asy-Syaima’ menjawab, “Muhammad tidak pernah terkena panas matahari. Saya selalu mengikutinya dan melihat ada sekelompok awan yang melindunginya. Apabila Muhammad berlari, awan itu juga ikut bergerak, apabila Muhammad berhenti, awan itu juga berhenti.”

Halimah terkejut mendengar penuturan anak perempuannya itu. Dia seperti tidak percaya dengan cerita puterinya. Halimah pun bertanya, “Benarkah? Atau kamu sengaja membuat cerita supaya kamu tidak dimarahai oleh ibu?”

“Benar Ibu. Saya berkata benar”, jawab Asy-Syaima’.

Halimah menjadi keheranan. Kejadian itu adalah satu dari peristiwa aneh yang pernah terjadi pada Muhammad. Dia dapat merasakan bahwa Muhammad adalah seorang anak yang baik.

Kemudian Halimah berkata pada dirinya sendiri, “Dahulu ketika pertama kali saya membawa Muhammad ke kampung ini, semua kambing peliharaanku menjadi gemuk dan mengeluarkan susu yang banyak. Padahal waktu itu temapt ini mengalami musim kemarau yang panjang. Pada hari ini terjadi lagi kejadian aneh pada Muhammad. Muhammad memang anak yang baik dan istimewa.”

Selama lima tahun Nabi Muhammad diasuh dan dijaga oleh Halimah yang dibantu oleh Asy-Syaima’. Mereka hidup dengan aman dan bahagia. Asy-Syaima’ dan keluarganya sangat dihormati dan dicintai oleh Muhammad. Sampai terjadi lagi peristiwa yang membuat hati Halimah sangat cemas dan takut. Yaitu ketika terjadi peristiwa pembedahan perut Nabi Muhammad yang dilakukan oleh Malaikat Jibril. Setelah kejadian itu Halimah memutuskan untuk mengembalikan Muhammad kepada ibunya, karena takut akan terjadi lagi peristiwa-peristiwa yang aneh lainnya. Semenjak saat itu asy-Syaima’ tidak pernah bertemu lagi dengan Nabi Muhammad.


Membuka Memori Lama

Sampai pada hari penaklukan Hawazin, kaum muslimin mengambil harta rampasan perang dan membawa tawanan masing-masing. Asy-Syaima’termasuk di antara para tawanan itu. Ketika itu ia sudah tua dan lemah. Raut wajahnya pun sudah banyak berubah karena keriput. Ia berkata kepada kaum muslimin yang menawannya, “Aku adalah saudari pemimpin kalian.” Akan tetapi mereka tidak mengindahkannya karena mereka tidak mau memutuskan segala sesuatu sebelum Rasulullah memutuskan terlebih dahulu.

Ketika mereka sampai di hadapan Rasulullah, asy-Syaima’ pun berkata, “Wahai Rasulullah, aku adalah saudari sesusuanmu.” Nabi pun bertanya, “Apa tandanya?” Ia menjawab, “Bekas gigitan yang terdapat di punggungku yang engkau gigit ketika aku menggendongmu.” Mendengar itu Nabi pun percaya kalau itu adalah kakak sesusuannya yang dahulu selalu mengasuhnya dengan kasih sayang. Beliau segera membentangkan jubahnya, kemudian beliau mempersilahkannya duduk di atasnya.

Dengan wajah berseri gembira beliau berbincang-bincang dengan kakaknya itu. Beliau menawarkan kepadanya untuk tinggal bersama beliau di Madinah, Nabi berkata, “Kalau Engkau suka, tinggallah bersamaku, dicintai dan dihormati, atau jika engkau ingin pulang ke kaummu aku akan memberimu bekal.” Asy-Syaima’ lantas menjawab, “Berikanlah aku bekal dan pulangkan aku kepada kaumku. Maka Rasulullah memenuhi permintaannya dan memberinya hadiah yang banyak. Ia pun kembali kepada kaumnya setelah memeluk Islam terlebih dahulu.

Tidak hanya sampai di situ penghargaan Rasulullah terhadap asy-Syaima’, bahkan semua bani Sa’d, yaitu kabilah asy-Syaima’ juga mendapatkan penghargaan yang sama. Terbukti ketika kaum muslimin menaklukan Hawazin, pada perang Hunain, saat itu kaum muslimin mengambil dari mereka harta rampasan, perempuan-perempuan serta anak keturunan mereka. Ketika itu utusan Hawazin telah masuk Islam dan mendatangi kaum muslimin di Ji’ranah, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kita mempunyai hubungan kekeluargaan, dan kami telah ditimpa musibah, berilah kami jaminan keamanan.” Rasulullah berkata kepada mereka, “Apakah kalian lebih mencintai istri-istri dan anak-anak kalian atau harta-harta kalian?” Mereka menjawab, “Tentu saja kami lebih mencintai istri dan anak akmi.” Nabi pun berkata, “Apa yang aku miliki dan bani Abdul Muththalib adalah milik kalian. Apabila aku dan kaum muslimin telah melaksanakan shalat, maka berdiri dan katakan oleh kalian, ‘Kami meminta pertolongan dengan perantara Rasulullah kepada kaum muslimin dengan kaum muslimin kepada Rasulullah untuk anak-anak dan istri-istri kami.’ Maka pada saat itu aku akan memberi apa yang kalian minta dan memintakan untuk kalian.”

Setelah shalat, para utusan itu berdiri seraya mengucapkan apa yang disuruh oleh Rasulullah. Nabi berkata, “Apa yang aku dan bani Abdul Muththalib miliki adalah milik kalian.” Kaum Muhajirin pun berkata, “Apa yang kami miliki adalah miliki Rasulullah.” Kaum Anshar juga berkata, “Apa yang kami miliki adalah miliki Rasulullah.


Tegar Dalam Keimanan Hingga Akhir Hayat

Ketika Rasulullah wafat, bani Sa’d murtad dari Islam. Tetapi asy-Syima’ tetap teguh dengan keimanannya, membela Islam dengan segala kemampuannya sampai Allah menghilangkan fitnah dari kaumnya. Ia habiskan sisa umurnya untuk beribadah dan membela Islam sampai ajal menjemputnya. Semoga Allah meridhainya dan menempatkannya di surga yang tertinggi.