Catatan Popular

Sabtu, 25 Disember 2021

BELAJAR MENJADI HAMBA

Syeikh Ibrahim Adham bercerita, "Suatu kali aku membeli seorang budak.

 

'Siapa namanmu?' tanyaku.

 

"Terserah bagamana Tuan memanggilku,' jawabnya.

 

'Apa makananmu?'

 

'Apa yang Tuan berikan kepadaku.'

 

'Apa yang engkau kenakan?'

 

'Pakaian apa pun yang Tuan berikan.'

 

'Apa yang engkau kerjakan?'

 

'Apa yang Tuan perintahkan.'

 

'Apa yang engkau inginkan?' tanyaku.

 

'Apa hubungannya seorang hamba dengan keinginan,' ia menjawab.


'Celakalah engkau,' kataku pada diriku sendiri, 'sepanjang hidupmu, engkau adalah seorang hamba Allah. Nah, sekarang belajarlah bagaimana menjadi seorang hamba!'

 

Aku pun menangis sejadi jadinya lalu jatuh pingsan.

 

 

MISTERI TANDU KESEMBILAN

Syeikh Al-Junaid Baghdadi mempunyai delapan orang murid istimewa yang menjalankan setiap ajarannya.

 

Suatu hari, sebuah fikiran muncul di benak mereka, bahwa mereka harus ikut berjihad.

 

Keesokan paginya Al-Junaid memerintahkan pembantunya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam berjihad.

 

Ia pun kemudian pergi menyusul kedelapan muridnya itu untuk berjihad bersama.

 

Saat kedua pasukan saling berhadapan, seorang pahlawan kafir maju dari barisan kaum kafir dan membunuh kedelapan murid Al-Junaid.

 

Al-Junaid berkata, "Aku menatap langit dan melihat sembilan buah tandu. Masing masing dari kedelapan orang muridku yang syahid itu diusung di sebuah tandu.

 

Hanya sebuah tandu yang masih kosong. Tandu itu pasti diperuntukkan bagiku,' fikirku.

 

Aku pun kembali bertempur sekali lagi.

 

Kemudian, pahlawan kafir yang telah membunuh kedelapan muridku muncul dan menyapaku, "Abul Qasim, tandu kesembilan itu adalah untukku. Sedangkan engkau, kembalilah ke Baghdad. dan jadilah syeikh bagi masyarakat di sana. Tawarkan Islam kepadaku."

 

Ia pun menjadi seorang Muslim. Dengan pedang yang sama yang telah ia gunakan untuk membunuh kedelapan muridku, ia membunuh delapan prajurit kafir. Lalu ia sendiri meraih kesyahidan."

 

Al-Junaid melanjutkan, "Jiwanya juga ditempatkan di dalam tandu, dan kesembilan tandu itu pun lenyap."

 

 

MEMBERI KEPERCAYAAN DENGAN KEBOHONGAN

Syeikh Ibrahim bin Adham bercerita, "Suatu kali, aku berjalan melintasi padang pasir dengan keyakinan kepada Allah.

 

Selama beberapa hari aku tidak menemukan sesuatu pun yang boleh dimakan.

 

Aku teringat seorang temanku, tapi aku berkata pada diriku sendiri, 'Jika aku pergi kepadanya, maka keyakinanku kepada Allah akan menjadi hampa.'

 

Aku memasuki sebuah masjid dengan mengucapkan kata-kata: 'Aku telah menaruh kepercayaanku pada Yang Hidup, Yang tak mati. Tiada Tuhan selain Dia.'

 

Lalu sebuah suara datang dari langit dan mengatakan, 'Kemuliaan atas Allah, Yang telah menghapus wajah dunia dan mereka yang menaruh pada Nya.'

 

Aku berkata, 'Mengapa kata-kata ini?'

 

Suara itu menjawab, 'Bagaimana mungkin seseorang sungguh-sungguh menaruh kepercayaan kepada Allah, sementara ia melakukan pejalanan panjang demi secuil yang dapat diberikan seorang teman duniawi kepadanya lalu ia mengatakan,

'Aku telah menaruh kepercayaan pada Yang Hidup, Yang tak mati'? Engkau telah menjuluki kebohongan dengan nama kepercayaan pada Allah!’.”

 

 

KENAPA MEMANDANG RUMAH TUHAN

Seorang murid Syeikh Abu Bakar al Kattani tengah mengalami sakratul maut.

 

Pasalnya, ia membuka matanya dan memandang Ka'bah. Tiba tiba, seekor unta mendekat dan menendang wajahnya hingga satu matanya tercungkil keluar.

 

Seketika Abu Bakar mendengar sebuah suara berkata di dalam dirinya, "Saat ilham sejati dari Yang Tak Terlihat datang kepadanya, ia memandangi Kaabah. Maka ia pun dihukum. Tidaklah benar memandangi rumah di hadapan Tuan Rumah."

 

 

INJAKLAH WAJAH KU

Syeikh Abu Bakar al-Kattani menceritakan kisah berikut.

 

Pernah aku mengenal seorang lelaki yang perlakuannya sangat kasar terhadapku.

 

Aku memberinya hadiah, namun tetap saja kekasarannya tak mau hilang. Aku mengajaknya ke rumahku, dan aku berkata padanya, "Injaklah wajahku", ia menolak, namun aku memaksanya sampai ia akhirnya mau menginjak wajahku sedemikian lama hingga kekasarannya berubah menjadi cinta.

 

*****

 

Suatu hari aku mendapat hadiah wang sebesar dua ratus dirham dari sumber yang halal. Aku membawanya dan meletakkannya di ujung sajadahnya.

 

Aku berkata padanya. "Ini untukmu". Ia melirikku dan berkata, "Aku telah membeli kesempatan ini seharga 70 ribu dinar, dan engkau ingin memperdayai aku dengan wangmu itu?".

 

Kemudian ia bangkit, mengibaskan sajadahnya, lalu pergi. Aku tak pernah menemukan harga diri yang seperti harga dirinya, dan aku pun tak pernah merasa semalu itu saat aku memunguti wang dirhamku.

 

 

GARA GARA MERASA BERDERAJAT TINGGI

Seorang murid Syeikh Junaid Al Baghdadi merasa telah mencapai derajat kesempurnaan.

 

"Lebih baik aku menyendiri," fikirnya. Maka ia pun menyendiri di sebuah sudut kamarnya dan duduk di sana selama beberapa waktu.

 

Setiap malam, seekor unta dibawa ke hadapannya dan dikatakan padanya, "Kami akan membawamu ke surga."

 

Ia pun menunggangi unta itu dan berkendara sampai tiba di sebuah tempat yang menyenangkan dan membahagiakan, tempat yang dipenuhi oleh orang-orang tampan. Di sana berlimpah berbagai jenis makanan dan air yang mengalir.

 

Ia tinggal di sana hingga fajar; kemudian ia akan tertidur dan telah berada di kamarnya ketika terjaga. Ia pun menjadi bangga dan sombong karena hal ini.

 

"Setiap malam aku dibawa ke surga," katanya membanggakan diri.

Kata-katanya ini sampai kepada Al Junaid.

 

Al Junaid pun menuju ke kamar muridnya itu. Di sana Junaid menemukannya mempraktikkan tatakrama yang tinggi.

 

Al Junaid bertanya padanya tentang apa yang terjadi. Si murid pun menceritakan keseluruhan cerita kepadanya. "Malam ini, saat engkau dibawa ke sana, ucapkanlah tiga kali: 'Laa Haula walaa Quwwata Illa Billahil 'Aliyyil 'Adzim" kata Al Junaid.

 

Malam itu si murid mengalami apa yang biasanya terjadi. Dalam hatinya, ia tidak mempercayai apa yang telah dikatakan oleh sang syekh kepadanya.

 

Namun, bagaimanapun juga, saat ia tiba di tempat itu, ia coba-coba mengucapkan: "Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Agung."

 

Seketika, semua yang ada di sana berteriak dan pergi melarikan diri. Ia menemukan dirinya berada di atas gundukan kotoran hewan dengan tulang-tulang berserakan di sekitarnya.

Menyadari kesalahannya, ia pun bertobat dan kembali ke kelompok Junaid. Ia telah belajar bahwa bagi seorang murid, yang menyendiri adalah racun yang mematikan.

 

GARA GARA LEMAK HEWAN

Suatu hari, Rabi'ah Al Adawiyah pergi ke pegunungan. Seketika dikelilingi oleh sekawanan rusa dan kambing gunung, ibex (sejenis kambing gunung) dan keledai. Mereka menatapnya dan mulai mendekatinya.

 

Tiba tiba, Hasan Bashri tiba di tempat itu. Melihat Rabi'ah, Hasan pun mendekatinya. Segera setelah hewan-hewan itu melihat Hasan, mereka pun pergi hingga Rabi'ah tinggal sendirian. Hal ini mengagetkan Hasan.

 

"Mengapa hewan-hewan itu melarikan diri dariku, namun tampak begitu jinak denganmu?", Tanya Hasan kepada Rabi'ah.

 

"Apa yang engkau makan hari ini?" Rabi'ah balik bertanya.

 

"Sedikit sup bawang."

 

"Engkau memakan lemak mereka," tukas Rabi'ah.

 

"Pantaslah kalau mereka lari darimu."

BUKAN UNTUKKU

Dua tokoh agama datang mengunjungi Rabi'ah Al Adawiyah dan keduanya sedang lapar, "Mungkin Rabi'ah akan memberi kita makanan," kata keduanya satu sama lain. "Makanannya pasti didapat dari sumber yang halal."

 

Ketika mereka duduk, di hadapan mereka ada sehelai kain dengan dua potong roti di atasnya. Mereka merasa senang melihatnya. Lalu, seorang pengemis datang, dan Rabi'ah memberikan dua potong roti itu kepadanya. Dua tokoh agama itu merasa sangat kesal, namun mereka diam saja.

 

Selang beberapa lama, seorang gadis pelayan masuk dengan membawa setumpuk roti yang masih hangat. "Majikanku, mengirimkan ini," ujarnya. Ada delapan belas potong roti.

 

"Mungkin bukan ini yang majikanmu kirimkan untukku," kata Rabi'ah. Betapapun kerasnya gadis pelayan itu berusaha meyakinkan Rabi'ah, namun Rabiah tetap pada pendiriannya. Maka gadis pelayan itu membawa kembali roti-roti tersebut.

 

Yang sebenarnya terjadi adalah gadis pelayan itu telah mengambil dua potong roti untuk dirinya sendiri. Akhirnya ia meminta dua potong roti lagi kepada majikannya, lalu kembali ke rumah Rabi'ah. Rab'iah menghitung lagi, dan menemukan bahwa roti yang dikirimkan kepadanya kali ini berjumlah dua puluh potong. Ia pun menerimanya. "Inilah yang majikanmu kirimkan untukku," katanya. Rabi'ah menghidangkan roti-roti itu di hadapan kedua tokoh agama tadi, dan mereka pun sambil terheran-heran.

 

"Apa rahasia di balik kejadian tadi?" tanya mereka kepada Rabiah. "Kami berselera memakan dua potong rotimu, tapi engkau mengambilnya dari kami dan memberikannya kepada seorang pengemis. Lalu engkau berkata bahwa delapan belas potong roti yang pertama kali dikirimkan, bukanlah untukmu. Ketika roti yang dikirimkan berjumlah dua puluh potong, engkau baru menerimanya.

 

"Aku tahu ketika kalian datang ke rumahku, kalian dalam keadaan lapar," jawab Rabi'ah. "Aku berkata dalam hati, bagaimana mungkin aku hanya menawarkan dua potong roti kepada dua orang yang terpandang? Lalu, ketika seorang pengemis datang, aku memberikan dua potoug roti itu kepadanya dan berkata kepada Tuhan, 'Ya Tuhan, Engkau telah berkata bahwa Engkau akan membalas sepuluh kali lipat, dan ini benar-benar kuyakini. Aku telah menyedekahkan dua potong roti demi keridhaan-Mu, maka Engkau pasti akan menggantinya dengan dua puluh potong roti.' Ketika delapan belas potong roti dikirimkan kepadaku, aku mengetahui bahwa sesuatu yang tidak beres telah terjadi, atau roti-roti itu memang sebenarnya bukan untukku."

 

Khamis, 23 Disember 2021

KISAH HIKMAH SAHABAT : Kisah Abu Lubabah Sahabat yang Merantai Diri dengan Besi

Abu Lubabah membisu, tak bergerak sedikit pun. Ia baru saja melakukan sebuah kesalahan. Kesalahan itu membuatnya merasa telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Saat itu, ia berada dalam benteng musuh, namun ia tak berani kembali menuju pasukan muslimin. Ia memilih pulang lalu merantai tubuhnya sendiri dan mengikatnya pada tiang.

“Demi Allah, kedua kakiku masih saja tetap berada di tempatnya hingga aku tahu bahwa diriku ternyata telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Seketika itu rasa sesal menghantuiku, ketakutan menyelimutiku. Aku tidak tahu lagi bagaimana aku keluar dari murka Allah,” kisah Abu Lubabah.

Dosa pengkhianatan apa yang dilakukan Abu Lubabah? Ternyata ia terpeleset membocorkan rencana perang Rasulullah kepada Bani Quraizhah. Saat itu, pasukan muslimin telah mengepung benteng Bani Quraizhah. Kabilah tersebut sebelumnya telah melakukan pengingkaran janji, pengkhianatan serta penipuan kepada muslimin.

Abu Lubabah pun diutus untuk melakukan perjanjian dengan Bani Quraizhah. Namun sang shahabat sangatlah penyayang. Ia merupakan salah satu pemimpin Yatsrib dan sangat dikenal masyarakat Bani Quraizhah. Begitu memasuki benteng, Abu Lubabah pun disambut hangat oleh anak-anak dari bani tersebut. Wanita turut mengerumuninya. Para pria mendatangi dan memeluknya. Abu Lubabah diterima dengan baik di sarang musuh Islam.

Ketika seseorang bertanya kepadanya, “Apakah menurutmu kami harus tunduk dan mengikuti keputusan Muhammad?”

Abu Lubabah pun menjawab, “Ya.”

Tak ada kesalahan yang dilakukannya kecuali ketika ia memberikan isyarat tangannya ke arah leher. Ia memberitahukan hukuman yang disiapkan pasukan muslimin kepada orang-orang kafir lagi pengkhianat, yakni dengan memenggal mereka. Padahal saat itu, pasukan muslimin merahasiakannya dan Bani Quraizhah pun tak mengetahuinya.

Setelah Abu Lubabah mengisyaratkan hal tersebut, ia pun terdiam. Ia tahu, ia baru saja melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan. Abu Lubabah merasakan penyesalan yang teramat sangat hingga merasa malu kepada Rasulullah. Ia pun memilih pulang ke Madinah dan tak kembali ke barisan pasukan.

Segera setibanya di Madinah, Abu Lubabah meminta rantai besi, lalu meminta seseorang untuk mengikatnya di salah satu tiang masjid. Sang shahabat Anshar itu pun diikat dengan rantai besi dalam kondisi berdiri di atas kedua kakinya.

“Demi Allah, aku tidak akan melepaskan diriku. Aku tidak akan membebaskan diriku. Aku tidak akan menjamah makanan. Tidak pula aku akan menyentuh minuman hingga Allah menerima taubatku.... atau hingga aku mati,” tutur sang shahabat. Penyesalan begitu ia rasakan.

Singkat cerita, ketika Rasulullah kembali ke Madinah, betapa terkejutnya beliau menyaksikan Abu Lubabah terikat di tiang masjid dengan rantai dari besi. Seseorang shahabat lain pun kemudian mengisahkan apa yang terjadi pada Abu Lubabah. Nabiyullah bersabda,

“Ketahuilah, sesungguhnya kalau saja tadi ia (Abu Lubabah) mendatangiku, maka aku benar-benar akan memintakan ampun untuknya. Namun sayang, ia terlanjur melakukannya. Jadi aku tak akan membebaskannya sampai Allah sendiri yang akan membebaskannya.”

Rasulullah dan para shahabat lain pun merasa melas pada Abu Lubabah. Namun ayat tak juga turun tentangnya. Putri kecilnya selalu datang tiap waktu shalat dengan deraian air mata. Ia akan melepaskan rantai besi agar ayahnya shalat, lalu merantainya kembali saat shalat usai.

Satu hari, dua hari, tiga hari, belum ada firman-Nya yang menyatakan pembebasan Abu Lubabah. Hingga Abu Lubabah mulai lemas, tak lagi bertenaga. Pandangan dan pendengarannya kabur. Otot-ototnya melemas. Ia terikat selama enam hari enam malam.

Hingga kemudian kasih sayang Allah datang. Jalan keluar datang di waktu sahur pada malam ketujuh. Rasulullah tiba-tiba tertawa mendapat firman-Nya. Ummu Salamah yang ada di sisi beliau pun lantas bertanya penasaran, “Wahai Rasulullah, mengapa Anda tertawa? Semoga Allah membuat Anda tertawa di sepanjang usia Anda.”

Nabiyullah bersabda, “Allah telah menerima taubat Abu Lubabah.”

Ummu Salamah pun begitu girang mendengarnya. “Bolehkah aku memberitahukan kabar gembira ini kepadanya, wahai Rasulullah?”

“Tentu saja boleh, jika engkau mau,” ujar nabi.

Ummu Salamah pun segera bangkit. Sang Ummul Mukminin berdiri dari pintu rumahnya lalu berkata, “Wahai Abu Lubabah, bergembiralah... Allah telah menerima taubatmu.”

Pra shahabat lain pun mendengarnya dan segera mengerumuni Abu Lubabah. Mereka ingin segera melepaskan rantai besi yang mengikatnya. Namun ternyata Abu Lubabah menolak. “Tidak, demi Allah, sampai Rasulullah sendiri yang melepaskan diriku dengan tangan beliau.”

Rasulullah pun lalu keluar dan melekaskan rantai yang membelenggu tubuh Abu Lubabah di tiang masjid. Betapa bahagia sang shahabat. Penyesalannya sirna sudah. Taubatnya benar-benar telah diterima Allah dan Rasul-Nya.

 

 

KISAH HIKMAH SAHABAT : JAAFAR ABI TALIB DAN IKAT PINGGANG YANG HILANG

Al kisah di sebuah masjid seorang lelaki tengah tertidur pulas, dengan ikat pinggang melilit perut. Ketika terbangun, alangkah kagetnya lelaki itu sebab ikat pingganya hilang. Sambil kebingungan, ia mencari ke polosok masjid namun tak membuahkan hasil.

Saat itu Ja’far bin Abu Thalib baru selesai sholat, pandangan lelaki itu langsung tertuju padanya dan seketika menarik Ja’far.

“Kamu, mencuri ikat pinggangku...!” Tuduh lelaki itu pada Ja’far.

Ja’far mengeryitkan dahinya, merasa bingung dengan tuduhan itu.

“Sejak tadi, tak seorangpun datang kesini kecuali kau.” Bentak lelaki itu.

“Berapa harga ikat pingganmu...?” Ja’afar bertanya.

“Seribu dinar.”

Ja’afar bin Abu Thalib segera kembali ke rumahnya untuk mengamabil uang sejumlah seribu dinar, kemudian beliau kembali ke masjid. Setibanya di masjid, Ja’far menyerahkan uang itu sebagai ganti ikat pinggang yang hilang.

Setelah menerima uang, lelaki tersebut mendatangi teman-temanya dan menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Para sahabatnya langsung tertawa geli.

“Sebenarnya, ikat pinggangmu kami yang sembunyikan, hanya untuk gurauan saja.” Ujar mereka.

Mendengar itu, lelaki tersebut langsung merasa tidak enak hati dan ingin mengembalikan uang yang ia terima kepada Ja’far bin Abu Thalib.
“Hai, adakah diantara kalian yang tahu siapa pria, yang mengganti ikat pinggangku ?”

“Ja’far,” Jawab mereka, “dia anak paman nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.”

Mendengar bahwa Ja’far adalah sepupu nabi, jantung lelaki itu langsung berdebar kencang, lalu dengan tergesa-gesa mendatangi Ja’far untuk mengembalikan uang yang diberikan.

Dengan lembut Ja’far menolaknya.

“Bila kami, keluarga nabi, telah mengeluarkan sesuatu dari apa yang kami miliki, maka tidak akan mengambilnya kembali.”

KISAH HIKMAH SAHABAT : Hikayat HUSAIN BIN IMRAN

 

 

Sahabat Husain ibn Imran adalah salah seorang salah seorang sahabat Nabi yang menderita sakit selama 30 tahun. Setelah sekian lama menderita sakit, ia diberi kesembuhan oleh Allah Ta’ala.

Namun sayang, dalam kesembuhannya ia merasa ada yang hilang. Malaikat yang biasanya menyambangi, datang membesuk dirinya kini berubah tidak pernah datang. Akhirnya ia berdoa kepada Allah, ia minta kembali diberi sakit oleh Allah Ta’ala.

Setelah ia menderita sakit dan bisa menjaga hati dengan sifat ridla dan ikhlas serta sabar berserta keyakinan yang mantap bahwa semua yang ia terima itu adalah dari Allah semata, malaikatpun kembali berdatangan.

Sebagaimana Husain ibn Imran yang pandai menjaga hati nuraniya, begitu pula Rabi’ah Al Adawiyah.

Satu ketika Rabiah pernah tersandung dan kakinya berdarah, namun dia justru tersenyum dan bersyukur, memuji Allah SWT. Kemudian ada salah seorang bertanya kepada wali perempuan ini

“Lho, anda ini tersandung dan berdarah, mengapa malah tersenyum?”

Dijawab “Iya, ini adalah dari kekasihku”

Hal ini sama seperti analogi pemuda yang sedang dicubit pacarnya. Cubitan yang sedianya sakit, namun karena yang dia pandang adalah siapa yang menyubit, maka rasanya tidak sakit, tapi nikmat karena memandang siapa yang menyubit, bukan merasakan betapa sakitnya cubitan itu.

KISAH HIKMAH SAHABAT : Amalan Ringan Yang Memasukkan Bilal ke Surga

Usai shalat subuh, Bilal bin Rabah ditanya oleh Rasulullah, “Wahai Bilal, apa amalan yang paling sering kamu lakukan? Sebab aku mendengar suara langkah kakimu di surga.”

 

“Aku tidak melakukan amalan apapun melainkan aku membiasakan shalat sunnah setelah berwudhu baik siang ataupun malam,” jawab Bilal.

 

Dialog Bilal dan Rasulullah ini banyak disebutkan dan diceritakan dalam kitab hadits. Di antara perawi yang meriwayatkan kisah ini adalah Al-Bukhari, Ishaq bin Rahawih, dan lain-lain.

 

Amalan yang dilakukan sahabat yang dikenal dengan keindahan suaranya itu sekilas terlihat sederhana dan mudah dilakukan. Ia hanya membiasakan diri untuk shalat sunnah setelah berwudhu. Meskipun terlihat sederhana, penekanannya sebenarnya tidak bergantung pada bentuk amalannya, tetapi keistiqomahan Bilal dalam melakukan amalan tersebut.

 

Amalan apapun yang dilakukan dengan istiqomah dan konsisten, selama ikhlas dan hanya mengharapkan ridha Allah, akan dibalas oleh Allah. Oleh sebab itu, sepanjang hidup Rasulullah sangat jarang membebani sahabat dengan amalan yang berat dan susah. Beliau meminta sahabatnya melakukan amalan sesuai dengan kemampuannya dan dilakukan secara konsisten.

 

Aisyah pernah ditanya oleh sahabat tentang amalan yang disukai Rasul, beliau menjawab,

 

“Amalan yang paling disukai Rasul adalah amalan yang dilakukan terus-menerus (istiqomah).”

 

Amalan yang disukai Nabi adalah amalan yang dilakukan terus-menerus meskipun kecil dan ringan. Melakukan ibadah secara konsisten tidaklah mudah dan butuh usaha keras untuk mewujudkannya. Saking pentingnya istiqomah dalam ibadah, para ulama mengingatkan, “Jadilah kalian pencari istiqomah, bukan pencari karomah.”

 

 

KISAH HIKMAH SAHABAT : Al qamah Pemuda yang Rajin Ibadah namun Sulit Meninggal

Al kisah, pada zaman Rasulullah ada seorang pemuda beribadah tanpa kenal lelah, tekun melaksanakan salat, sering berpuasa dan gemar bersedekah. Alqamah namanya. Masa demi masa berlalu, Alqamah nyaris tak bisa lagi menjalankan rutinitas ibadahnya. Sebab Alqamah dirundung sakit yang sangat dahsyat mencekam.

Melihat suami tergeletak tak bisa bergerak, sang istri mengadu kepada Rasulullah perihal Alqamah. Melalui pesuruhnya, istri Alqamah menitip pesan kepada manusia agung, “Ya Rasul, aku mengadu kepadamu perihal suamiku. Sesungguhnya ia sekarang dalam naza’ (akan dicabut ruhnya).” Tanpa berlama-lama Rasulullah saw. mengutus Ammar bin Yasir, Shuhaib ar-Rumi dan Bilal bin Rabah untuk menjenguk Alqamah. Beliau bersabda, “Pergilah ke rumah Alqamah dan talqin-lah.”

Ketiga sahabat Rasul itu pun pergi untuk bertandang ke rumah Alqamah. Sampai di rumah, benar saja, ternyata Alqamah sudah dalam keadaan naza’, dengan segera mereka men-talqin-nya. Alqamah yang tenar segala keahlian ibadahnya ternyata tidak bisa mengucapkan La ilaha illallah. Sontak saja mereka laporkan kejanggalan ini pada Rasulullah. Lalu Rasulullah bertanya, “Apakah salah satu orang tunya ada yang masih hidup?”

Ada yang menjawab, “Ada wahai Rasulullah, Alqamah masih mempunyai seorang ibu yang hampir dimakan usia karena sudah tua.”

 “Sampaikan kepada ibu Alqamah, ‘Jika dia masih mampu untuk berjalan bersualah dengan Rasulullah maka datanglah. Jika tidak, berdiamlah ditempat biar Rasulullah saja yang datang bertemu.” Tatkala utusan sampai pada ibu Alqamah dan pesan Rasulullah disampaikan. Dengan segala kearifan Ibu Alqamah, “Aku yang lebih pantas untuk menghadap Rasulullah.” Dia pun pergi dengan tongkat sebagai alat bantu. Ibu Alqamah mengucapkan salam dan Rasulullah pun menjawab salamnya.

Kemudian Rasulullah bersabda kepadanya, “Wahai ibu Alqamah, jawablah pertanyaanku dengan jujur, sebab jika engkau berbohong, maka akan datang wahyu dari Allah yang akan memberitahukan kepadaku, bagaimana sebenarnya keadaan putramu Alqamah?”

Sang ibu menjawab, “Wahai Rasulullah, dia rajin mengerjakan salat, banyak puasa dan senang bersedekah.” Lalu Rasulullah bertanya lagi, “Lalu bagaimana sikapmu padanya?” Ibu Alqamah menjawab, “Saya marah kepadanya Wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi, “Kenapa?” Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, dia lebih mengutamakan istrinya dibandingkan saya dan dia pun durhaka kepadaku.”

Maka, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya kemarahan sang ibu telah menghalangi lisan Alqamah, sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat.” Kemudian beliau bersabda, “Wahai Bilal, kumpulkan kayu bakar yang banyak untukku.” Ibu Alqamah menyahut, “Wahai Rasulullah, apa yang akan engkau perbuat?” Rasul menjawab, “Saya akan bakar Alqamah hidup-hidup.”

Ibu Alqamah berkata, “Wahai Rasulullah, dia (Alqamah) anakku. Aku tak sampai hati melihatnya dibakar.”Kemudian Rasulullah menjawab, “Wahai Ibu Alqamah, sesungguhnya azab Allah lebih pedih dan lebih abadi, kalau engkau ingin agar Allah mengampuni Alqamah, maka ridai-lah ia. Demi Zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, salat, puasa dan sedekah Alqamah tidak akan memberi manfaat sedikitpun selagi engkau masih marah kepadanya.”

Lalu ibu Alqamah berkata, “Wahai Rasulullah, Allah sebagai saksi, juga para malaikat dan semua kaum muslimin yang hadir saat ini, bahwa saya telah ridha pada anakku, Alqamah”. Rasulullah pun berkata kepada Bilal, “Wahai Bilal, jenguklah Alqamah dan lihatlah apakah dia sudah bisa mengucapkan syahadat atau belum. Mungkin ibu Alqamah mengucapkan sesuatu yang bukan berasal dari dalam hatinya lantaran malu kepadaku.”

Bilal pun berangkat, ternyata dia mendengar Alqamah dari dalam rumah mengucapkan La Ilaha Illallah.Maka, Bilal pun masuk dan berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kemarahan ibu Alqamah telah menghalangi lisannya sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat, dan ridhanya telah menjadikanya mampu mengucapkan syahadat.”

Kemudian, Alqamah pun meninggal dunia saat itu juga. Maka, Rasulullah melihatnya dan memerintahkan untuk dimandikan lalu dikafani, kemudian beliau mensalatkannya dan menguburkannya.

Lalu, di pinggir kuburan dan bersabda, “Wahai sekalian kaum Muhajirin dan Anshar, barangsiapa yang melebihkan istrinya daripada ibunya, dia akan mendapatkan laknat dari Allah, para malaikat dan sekalian manusia. Allah tidak akan menerima amalannya sedikitpun kecuali kalau dia mau bertobat dan berbuat baik pada ibunya serta meminta ridhanya, karena ridha Allah tergantung pada ridhanya dan kemarahan Allah tergantung pada kemarahannya.”

KISAH HIKMAH SAHABAT : Addas Budak Nasrani dari Iraq yang Terpesona Ucapan Nabi

Setelah istri dan paman tercintanya, Siti Khadijah dan Abu Thalib wafat pada tahun yang sama, Nabi Saw. merasa benar-benar tidak memiliki sandaran yang dapat menjadi tempat berkeluh kesah dan tempat berlindung dari orang-orang Quraisy yang kerap mengintimidasinya.

Seperti yang disebutkan dalam al-Sirah al-Nabawiyyah karya Ibn Hisyam, setelah Siti Khadijah dan Abu Thalib wafat, siksaan dan bully meningkat kepada Nabi Muhammad Saw.

Bahkan, yang menyerangnya tidak lagi para tokoh dari kalangan Quraisy, tapi orang-orang biasa (al-Sufahaa’) juga ikut menyerangnya, di antaranya dengan melemparkan pasir ke kepala Nabi Saw.

Namun, hal itu semua tidak membuat Nabi memutuskan berhenti dakwah sama sekali. Ia pernah mencoba mencari lahan baru berdakwah mendatangi orang-orang Bani Tsaqif di kota Tha’if. Namun, ia kembali tidak mendapatkan respon yang baik atas dakwahnya. Ia justru kembali menerima penolakan secara keras dari para tokoh kota tersebut. Tokoh tersebut di antaranya adalah dua bersaudara dan satu cucu ‘Amr bin ‘Umair: Mas’ud, Habib, dan ‘Abd bin Layl.

Setelah ketiga tokoh tersebut tidak menerima Nabi Saw., orang-orang Tha’if ikut menolak bahkan berteriak-teriak mengejek Nabi sampai beliau lari ke sebuah taman milik ‘Utbah bin Rabi’ah dan Syaibah. Rasulullah Saw.

kemudian beristirahat di sana sambil mengadu kepada Allah Swt. tentang kondisinya saat ini. Saat itulah, kedua putra Rabi’ah, ‘Utbah dan Syaibah merasa iba melihat beliau dan memerintahkan budaknya yang beragama Nasrani, Addas agar memberikannya sepiring anggur.

Ketika Addas mengantarkannya kepada Nabi Saw., beliau tersenyum dan menerima pemberian Addas. Saat beliau akan makan, ia mengucapkan terlebih dahulu “dengan menyebut nama Allah” (Bismillah). Melihat hal ini, Addas terlihat terkejut dan penasaran untuk bertanya: “ucapan tersebut tidak pernah diucapkan oleh seorang pun dari penduduk negeri ini.”

Rasulullah lalu bertanya: “Addas, kamu berasal dari mana? boleh tahu agamamu ?” Addas menjawab: “Saya orang Kristen (Nasrani). Saya berasal dari Ninawa (sekarang masuk wilayah Irak). Rasulullah Saw. kemudian merespon, “Oh, kamu berasal dari kampungnya orang salih Yunus bin Mata.” Kali ini, Addas kembali terkejut. Bagaimana bisa orang yang dia kenal ini tahu tentang Yunus bin Matta.

Kalau seseorang bukan berasal dari kampungnya, atau menganut ajaran Nasrani, ia tidak pernah tahu tentang Nabi Yunus. Addas bertanya, “Kamu tahu dari mana tentang Yunus bin Matta?” Rasul menjawab: “Itu saudaraku. Dia adalah seorang nabi dan aku juga nabi.” Mendengar hal itu, Addas terperangah kemudian menunduk untuk mencium kepala, kedua tangan dan kaki Nabi.

Demikian kisah Addas, budak nasrani yang terpesona dengan ucapan dan kemampuan Nabi mengetahui hal yang menurutnya tidak diketahui kecuali oleh seorang Nabi. Dalam Sirah Ibn Hisyam, tidak ada keterangan jelas apakah Addas kemudian memeluk Islam. Namun yang ada hanyalah marahnya ‘Utbah bin Syaibah atas sikap Addas.

Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah menegaskan kalau Addas mengakui Muhammad Saw. sebagai Rasul. Karena itulah, Ibn Hajar memasukkan Addas ke dalam daftar sahabat Nabi. Melihat kedua tuannya marah, Addas mengatakan: “Tuan, tidak ada di bumi ini yang lebih baik dari hal ini, dia (Rasulullah) menceritakan sesuatu yang tidak diketahui kecuali oleh seorang Nabi.”

KISAH HIKMAH SAHABAT Percakapan Abu Hurairah ra dengan Syaitan

Sahabat Rasulullah, Abu Hurairah pernah berinteraksi dengan sesosok syaitan. Kala itu, sahabat nabi yang banyak meriwayatkan hadits tersebut bertemu dan bercakap-cakap dengan si makhluk ghaib.

 

Peristiwa itu terjadi ketika Abu Hurairah menjadi wakil Rasulullah dalam menjaga zakat fitrah saat Ramadhan.

Tiba-tiba datang seseorang dan menumpahkan bahan makanan serta mengambilnya.

Abu Hurairah pun berkata, “Demi Allah, aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah.”

Seseorang itu kemudian berkata, “Aku termasuk seorang yang butuh. Aku memiliki keluarga dan aku sangat membutuhkan ini,” ujarnya melas hingga membuat Abu Hurairah merasa iba. Sang sahabat pun akhirnya melepaskannya.

Keesokan paginya, Rasulullah ternyata mengetahui peristiwa semalam. Beliau Shallallahu‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada Abu Hurairah, “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan tawananmu semalam (maksudnya seseorang yang mengambil bahan makanan zakat)?”

Abu Hurairah pun menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengadukan padaku bahwa ia membutuhkannya dan juga memiliki keluarga. Karenanya aku begitu kasihan hingga melepaskannya.”

Rasulullah pun bersabda, “Dia telah berdusta kepadamu dan ia akan kembali lagi.”

Ketika malam tiba, Abu Hurairah pun mengawasi kembali pengumpulan zakat fitrah. Benar saja, seseorang yang kelmarin datang muncul kembali. Seperti kelmarin, ia pun menumpahkan makanan lalu mengambilnya.

Abu Hurairah segera menangkapnya dan berkata, “Demi Allah, aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah.”

Seseorang itu beralasan sama, “Aku termasuk orang yang butuh. Aku memiliki keluarga dan aku sangat membutuhkan ini,” ujarnya. Lagi-lagi Abu Hurairah merasa iba dan melepaskannya.

Keesokan paginya, Rasulullah kembali bertanya kepada Abu Hurairah, “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan tawananmu semalam?”

Abu Hurairah menjawab sama, “Wahai Rasulullah, ia mengadukan padaku bahwa ia membutuhkannya dan juga memiliki keluarga. Karenanya aku begitu kasihan hingga melepaskannya.”

Rasulullah pun bersabda kembali, “Dia telah berdusta kepadamu dan ia akan kembali lagi.”

Ketiga kalinya, seorang itu datang kembali dan melakukan hal sama, menumpahkan makanan dan mengambilnya.

Kali ini Abu Hurairah bertekad tak akan tertipu. Beliau Ra pun berkata, “Demi Allah, aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah. Ini sudah kali ketiga dan kau berkata tak akan kembali. Namun ternyata kau kembali lagi,” ujarnya.

Kali ini seseorang itu beralasan lain, “Biarkan aku. Aku akan mengajarimu kalimat yang bermanfaat,” ujarnya. “Apa itu?” tanya Abu Hurairah.

Seorang itu pun berkata, “Jika engkau hendak tidur di tempat tidurmu, maka bacalah ayat kursi ‘Allahu laa ilaha illa huwal-hayyul qayyum hingga akhir ayat. Manfaatnya, Allah akan selalu menjagamu dan syaitan tak akan mampu mendekatimu hingga pagi,” ujarnya. Mendengar penjelasan tersebut, Abu Hurairah pun melepaskannya. 

Keesokan pagi, Rasulullah bertanya kembali, “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan tawananmu semalam?”

Abu Hurairah menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengaku bisa mengajarkanku satu kalimat yang jika kubaca maka Allah akan memberikan manfaat kepadaku,”

Rasulullah pun bertanya, “Apa kalimat itu?”

Abu Hurairah pun menjawab, Ia berkata bahwa jika aku hendak tidur di ranjang maka hendaklah membaca ayat kursi yaitu ‘Allahu laa ilaha illa huwal-hayyul qayyum hingga selesai. Lalu ia berkata bahwa Allah akan senantiasa menjagaku dan syaitan tak akan mendekatiku hingga pagi. Para sahabat bersemangat dalam melaksanakan kebaikan,” ujarnya.

Nabiyullah Muhammad pun bersabda, “Adapun saat itu ia berkata benar. Namun asalnya ia adalah pendusta. Apa kau tahu siapa yang bercakap denganmu dalam tiga malam?” Abu Hurairah menjawab “Tidak.”

Rasulullah berkata, “Dia adalah syaitan.” 

Demikian kisah pertemuan Abu Hurairah dengan syaitan. Kisah ini diriwayatkan dalam sebuah hadits panjang riwayat Al Bukhari.