Catatan Popular

Khamis, 29 Julai 2021

MAULANA JALALUDDIN RUMI

OLEH IDRIES SHAH (Sang Juru Bicara Tashawwuf di Barat) 


Siapa yang berperilaku sesuai dengan perkataannya, dialah yang tercerahkan, yang menolak hubungan-hubungan biasa dari dunia.

(Dzun-Nun al-Mishri)

Maulana (secara harfiah bermakna "Guru Kita") Jalaluddin Rumi, pendiri Tarekat Para Darwis Berputar, dalam karirnya menjadi bukti ungkapan Timur, "Para raksasa muncul dari Afghanistan dan mempengaruhi dunia." Ia dilahirkan di Bactria, dari sebuah keluarga bangsawan pada awal abad ketiga belas. Ia tinggal dan mengajar di Iconum (Rum) di Asia Kecil, sebelum munculnya Kerajaan Utsmani, yang tahtanya menurut seruannya ia tolak. Karya-karyanya ditulis dalam bahasa Persia, dan dipandang tinggi oleh orang Persia karena kandungan puitis, kesusastraan dan mistiknya. Sehingga karya-karya ini disebut sebagai "al-Qur'an dalam bahasa Pehlevi (bahasa Persia)" -- meskipun karya-karya ini bertentangan dengan kepercayaan bangsa Persia, sekte Syi'ah, yang dikritik atas eksklusivismenya.

Di kalangan orang Muslim Arab, India dan Pakistan, Rumi dipandang sebagai salah seorang dari guru mistik tingkat pertama -- meskipun ia menyatakan bahwa ajaran-ajaran al-Qur'an bersifat alegoris,dan ia memiliki tujuh makna yang berbeda. Jangkauan pengaruh Rumi sulit untuk bisa diperkirakan, meskipun hal ini terkadang bisa dilihat secara sekilas, pada kesusastraan dan pemikiran dari berbagai madzhab. Bahkan Doktor Johnson, yang terkenal karena pernyataannya yang tidak menyenangkan, mengatakan tentang Rumi, "Ia menjelaskan kepada Peziarah akan rahasia-rahasia dari jalan Kesatuan, dan menyingkap Misteri-misteri dari jalan Kebenaran Abadi."

Karyanya telah cukup dikenal dalam kurun waktu kurang dari seratus tahun setelah kematiannya pada 1273, karena Chaucer menggunakannya sebagai rujukan sebagian karyanya, bersama-sama dengan bahan dari ajaran-ajaran guru spiritual Rumi, Aththar sang Kimiawan (1150-1229/30). Dan berbagai rujukan terhadap bahan bahasa Arab yang bisa ditemukan pada Chaucer, bahkan suatu pengujian secara cepat memperlihatkan suatu pengaruh Sufi dari Madzhab Rumi dalam literatur. Penggunaan Chaucer terhadap ungkapan seperti, "Singa mungkin bisa mengambil pelajaran ketika seekor anjing dihukum ...," merupakan adaptasi semata yang terkait pada kata-kata, idhtrib al-kalba wa ya'khud addaba al-fahdu ("Pukullah anjing dan singa akan mengambil pelajaran!"), sebagai suatu ungkapan rahasia yang digunakan oleh Para Darwis Berputar. Penafsirannya bergantung pada suatu permainan pada kata-kata "anjing" dan "singa". Meskipun ditulis demikian rupa, pengucapan kata kunci tersebut dipergunakan secara homofone. Sebagai ganti mengucapkan "anjing" (kalb), Sufi mengatakan "hati" (qalb), dan sebagai ganti kata "singa" (fahdu) adalah kata fahid ("kelalaian"). Ungkapan tersebut sekarang menjadi, "Pukullah hati (dengan latihan-latilian Sufi) dan kelalaian (fakultas-fakultas [jiwa]) akan bersikap (dengan benar)."

Ini merupakan slogan yang memperkenalkan gerakan-gerakan "pemukulan hati" yang didorong oleh gerakan dan konsentrasi pada Mevlevi -- "Para Darwis Berputar".

Hubungan antara Canterbury Tales (Cerita-cerita Canterbury) sebagai sebuah alegori perkembangan batin dan Parliament of the Birds dari Aththar merupakan persoalan menarik lamnya. Profesor Skeat mengingatkan kita bahwa, seperti Aththar, Chaucer memiliki tiga puluh pengikut. Tiga puluh Peziarah tersebut mencari burung mistik, dan nama burung itu adalah Simurgh. Nama ini masuk akal dalam bahasa Persia, sebab Simurgh bermakna "tiga puluh burung".1

Akan tetapi dalam bahasa Inggris pengubahan (bentuk) semacam ini tidaklah mungkin. Jumlah peziarah tersebut, yang diperlukan dalam bahasa Persia sebab adanya persyaratan irama, dipertahankan Chaucer, menghilangkan makna ganda. The Pardoner's Tale terdapat pada Aththar, cerita pohon pear ditemukan pada Kitab IV dari karya Sufinya Rumi, Matsnawi.

Pengaruh Rumi, baik dalam gagasan maupun secara tekstual, cukup besar di Barat. Karena semua karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Barat pada tahun-tahun terakhir ini, maka dampaknya semakin besar. Tetapi jika ia, seperti ProfesorArberry menyebutnya, "benar-benar penyair mistis terbesar dalam sejarah manusia," maka puisi-puisi sendiri yang di dalamnya begitu banyak memaparkan ajaran-ajarannya, hanya benar-benar bisa diapresiasi dalam bahasa Persia aslinya. Meskipun demikian, ajaran-ajaran dan metode-metode yang dipergunakan oleh Para Darwis Berputar dan madzhab-madzhab lainnya yang dipengaruhi Rumi, tidaklah terlalu sulit ditemukan, dengan syarat bahwa cara dalam meletakkan kebenaran-kebenaran esoterik tersebut bisa dipahami.

Ada tiga dokumen dimana melalui ini karya Rumi bisa dikaji oleh dunia luar. Kitab Matsnawi-i-Manawi (Sajak-sajak Spiritual) merupakan karya utama Jalaluddin -- terdiri dari enam kitab (bagian) puisi dan metafora yang bentuk aslinya memiliki kekuatan sedemikian rupa, sehingga pembacaannya bisa menghasilkan suatu kebahagiaan (spiritual) kompleks secara aneh bagi kesadaran pendengarnya.

Karya ini diselesaikan dalam waktu empat puluh tiga tahun. Sebenarnya ia tidak bisa dikritik sebagai karya puisi, sebab mengandung gagasan, bentuk dan penyajian yang pelik dan khas. Mereka yang mencari bait konvensional semata di dalamnya, seperti dinyatakan Profesor Nicholson, harus membolak-balik karya tersebut secara cepat. Dan kemudian mereka akan kehilangan pengaruh dari apa yang sesungguhnya merupakan suatu bentuk seni khusus, yang diciptakan Rumi untuk menyampaikan makna-makna, yang oleh Rumi sendiri diakui tidak memiliki padanan sesungguhnya dalam pengalaman manusia biasa. Mengabaikan pencapaian luar biasa ini sama halnya dengan memilih-milih rasa (makanan) tanpa selai strawberry.

Karena terlalu menekankan peranan puisi besar dalam lautan Matsnawi, terkadang Nicholson memperlihatkan suatu kesukaan terhadap syair formal.

"Matsnawi," katanya (Introduction, Selection from the Diwan of Shams of Tabriz, hlm. xxxix), "mengandung suatu kekayaan puisi yang mencerahkan. Tetapi para pembacanya harus menempuh jalan melalui apologi, dialog dan penafsiran-penafslran nash-nash Qur'ani, kepelikan-kepelikan metafisis dan petuah-petuah moral secara bersamaan sebelum mereka memiliki kesempatan menikmati suatu bagian dari kidung murni dan tinggi."

Bagi Sufi, jika bukan bagi siapa saja, kitab ini berbicara dari suatu dimensi yang berbeda, bahkan suatu dimensi yang bagaimanapun berada di dalam dirinya yang terdalam.

Seperti semua karya Sufi, Matsnawi akan beragam pengaruhnya terhadap pendengarnya sesuai dengan kondisi-kondisi dimana karya ini dikaji. Kitab ini memuat lelucon, fabel, pembicaraan, rujukan kepada para mantan guru dan metode-metode yang bisa mengantarkan pada ekstase (ecstatogenic) -- suatu contoh fenomenal dari metode pencerai-beraian, dimana sebuah gambar disusun dengan multi-dampak untuk memasukkan pesan ke dalam pikiran Sufi.

Pesan ini, Rumi maupun semua guru Sufi lainnya, secara parsial disusun sebagai jawaban terhadap lingkungan di mana ia bekerja. Ia menciptakan tarian dan gerakan-gerakan memutar di kalangan para muridnya. Menurut riwayat, hal ini disebabkan temperamen lamban dan malas dari orang yang diajarinya. Apa yang disebut sebagai variasi doktrin atau tindakan yang ditetapkan oleh berbagai guru Sufi sebenarnya tidak lain merupakan penerapan dari aturan ini.

Dalam sistem pengajarannya, Rumi mempergunakan penjelasan dan latihan mental, pemikiran dan meditasi, kerja dan bermain, tindakan dan diam. Gerakan-gerakan "tubuh-pikiran" dari Para Darwis Berputar dibarengi dengan musik tiup untuk mengiringi gerakan-gerakan tersebut, merupakan hasil dari metode khusus yang dirancang untuk membawa seorang Salik mencapai afinitas dengan arus mistis, untuk ditransformasikan melalui cara ini. Segala sesuatu yang dipahami oleh orang yang belum tercerahkan (orang biasa) memiliki kegunaan dan makna dalam konteks khusus Sufisme yang mungkin tidak terlihat sampai hal itu dialami. "Doa," ucap Rumi, "memiliki bentuk, suara dan realitas fisiknya. Segala sesuatu yang memiliki kata (nama), memiliki padanan fisiknya. Dan setiap pemikiran memiliki suatu (bentuk) tindakan."

Salah satu karakteristik yang benar-benar Sufistik dari Rumi adalah bahwa, sekalipun tentu ia akan memberikan pernyataan tegas yang paling tidak populer -- bahwa orang biasa, apa pun pencapaian formalnya, tidak dewasa dalam mistisisme -- ia juga memberikan kesempatan bagi hampir semua orang untuk mencapai kemajuan menuju penyempurnaan nasib manusia.

Seperti para Sufi yang berada di dalam suatu atmosfir teologis, pertama kali Rumi menunjukkan para pendengar terhadap persoalan agama. Ia menekankan bahwa bentuk dimana didalamnya merupakan kebiasaan dalam beragama dan bersifat emosional yang dipahami oleh badan-badan (lembaga) terorganisir, tidaklah benar. Tabir Cahaya, yang merupakan penghalang yang diakibatkan oleh sikap pembenaran diri, adalah lebih berbahaya dibanding Tabir Kegelapan, yang dihasilkan didalam pikiran oleh kejahatan. Pemahaman hanya bisa dihasilkan dengan cinta, bukan dengan pelatihan melalui cara-cara terorganisir.

Baginya (Rumi), para guru tertua dari agama-agama adalah benar. Para penerusnya, kecuali sebagian kecil, mengelola persoalan-persoalan itu sedemikian rupa sehingga secara menyeluruh menutup kemungkinan pencerahan. Sikap ini menuntut suatu pendekatan baru terhadap persoalan-persoalan agama. Rumi memahami seluruh persoalan tersebut di luar saluran normal. Ia tidak dipersiapkan untuk menyerahkan dogma pada studi dan dalil (argumen). "Agama sejati," tuturnya, "adalah berbeda dari yang diduga orang. Oleh sebab itu, tidak ada nilainya untuk mengkaji dan menguji dogma." "Di dunia ini," ucapnya, "tidak ada padanan dari hal-hal yang disebut sebagai Arasy (Tuhan), Kitab, Malaikat, Hari Hisab. Perumpamaan digunakan, dan semua itu secara pasti sekadar suatu gagasan kasar tentang sesuatu yang lain."

Dalam kumpulan ucapan dan ajarannya yang berjudul Fihi Ma Fihi (Di Dalamnya adalah Apa yang Ada di Dalamnya), yang digunakan sebagai buku-buku rujukan para Sufi, ia bahkan melangkah lebih jauh. "Manusia," tuturnya, "melewati tiga jenjang. Pada jenjang pertama, ia menyembah apa saja --manusia, perempuan, uang, anak-anak, bumi/tanah dan batu. Kemudian, ketika sedikit lebih maju, ia menyembah Tuhan. Pada akhirnya, ia tidak berkata, 'Aku menyembah Tuhan,' maupun, 'Aku tidak menyembah Tuhan.' Ia telah melewati tahapan ketiga."

Untuk mendekati jalan Sufi, sang Salik harus menyadari bahwa dirinya, sebagian besar merupakan serangkaian dari apa yang saat ini disebut pengkondisian -- gagasan-gagasan kaku dan prasangka, kadang-kadang respon otomatis yang telah terjadi melalui pelatihan orang lain. Manusia tidaklah sebebas yang diduga. Tahapan pertama bagi seseorang adalah untuk melepaskan diri dari pemikiran bahwa dirinya mengerti dan benar-benar mengerti. Tetapi manusia telah diajar, bahwa dirinya bisa memahami melalui proses yang sama, yaitu proses logika. Ajaran ini telah melemahkannya.

"Jika engkau mengikuti cara-cara yang telah diajarkan kepadamu, yang mungkin telah engkau warisi, karena hanya ada alasan lain selain ini, maka engkau tidak logis."

Pemahaman agama, dan hal-hal yang telah diajarkan oleh para tokoh agama besar, merupakan bagian dari Sufisme. Sufisme menggunakan terminologi dari agama biasa, tetapi dengan cara khas yang selalu menyulut kemarahan dari penganut nominalnya. Secara umum, bagi Sufi, masing-masing guru keagamaan menyimbolkan, dalam ibadahnya dan terutama dalam kehidupannya, suatu aspek dari jalan yang totalitasnya adalah Sufisme. "Yesus ada dalam dirimu," ucap Rumi; "carilah pertolongannya. Dan kemudian, jangan mencari dari dalam dirimu sendiri, dari Musamu, kebutuhan bagi seorang Fir'aun."

Jalan-jalan keagamaan yang dirintis Sufi itu dinyatakan oleh Rumi ketika ia mengatakan bahwa jalan Yesus adalah perjuangan dengan kesunyian dan mengatasi nafsu. Jalan Muhammad adalah hidup di dalam masyarakat sebagai manusia biasa. "Pergilah dengan jalan Muhammad!" tuturnya, "tetapi jika engkau tidak mampu, maka pergilah dengan jalan Kristiani!" Di sini Rumi bukan berarti menyeru pendengarnya untuk memeluk salah satu dari agama ini. Ia sesungguhnya menunjukkan jalan-jalan di mana di dalamnya sang Salik bisa menemukan pencerahan melalui pemahaman. Sufi menghargai terhadap jalan-jalan yang dikandung, pada Yesus dan Muhammad.

Demikian juga, ketika Sufi berbicara tentang Tuhan, ia tidak memaksudkan ketuhanan dalam pengertian sebagaimana dipahami oleh seorang yang telah dilatih oleh teolog. Tuhan (dalam pengertian teologis) ini diterima oleh sebagian orang, yakni orang yang saleh; ditolak oleh yang lain, yakni para atheis. Bahkan ia merupakan suatu penolakan, atau penerimaan terhadap sesuatu yang telah diberikan oleh kalangan skolastik dan kependetaan. Tuhan para Sufi tidak dilihat dalam kontroversi ini; sebab bagi Sufi, Tuhan merupakan persoalan pengalaman pribadi.

Semua ini tidak berarti bahwa seorang Sufi berusaha membuang pelatihan fakultas penalaran. Rumi menjelaskan bahwa akal adalah esensial, tetapi ia memiliki tempatnya tersendiri. "jika engkau ingin membuat baju, kunjungilah penjahit, maka akal akan mengatakan kepadamu penjahit mana yang dipilih. Akan tetapi, setelah itu akal harus menahan diri. Engkau harus memberikan kepercayaan penuh kepada penjahit bahwa akan menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan benar." "Logika," kata Rumi, "membawa seorang pasien ke dokter. Setelah itu, secara utuh ia berada di tangan sang dokter."

Tetapi seorang materialis yang terlatih baik, meskipun ia mengaku bahwa dirinya ingin mendengar apa yang bisa dikatakan seorang mistikus kepadanya, tidak bisa diberitahu semua kebenaran. Ia tidak akan mempercayainya. Kebenaran tidak didasarkan materialisime lebih daripada logika. Disinilah mistiskus bekerja dengan serangkaian ranah yang berbeda, sementara seorang materialis hanya pada satu ranah. Akibat dari hubungan mereka pastilah bahwa Sufi bahkan akan tampak tidak konsisten dalam pandangan materialis. Jika pada hari ini ia mengatakan sesuatu yang dikatakannya secara berbeda dengan hari kemarin, ia akan tampak sebagai pembohong. Paling tidak, situasi yang berada pada tujuan-tujuan yang berseberangan akan merusak setiap kesempatan untuk maju dengan sikap saling memahami.

"Mereka yang tidak memahami suatu hal," ucap Rumi, "akan mengatakan bahwa hal itu tidak berguna. Tangan dan alat adalah bagaikan batu dan baja. Pukullah batu dengan tanah. Apakah percikan api akan terjadi?" Salah satu alasan mengapa Sufi tidak mengajar secara umum adalah karena agamawan yang telah terkondisikan, atau seorang materialis, tidak akan memahaminya:

Seekor burung rajawali raja bertengger di sebuah reruntuhan bangunan yang dihuni oleh burung-burung hantu. Mereka berpendapat bahwa rajawali itu datang untuk mengusir mereka dari rumahnya dan untuk ditempatinya sendiri. "Reruntuhan ini tampak mewah bagi kalian. Bagiku, tempat yang lebih baik adalah di tangan Raja," tutur si rajawali. Sebagian burung hantu tersebut berteriak, "Jangan mempercayainya. Ia menggunakan tipuan untuk mengambil rumah kita!"

Penggunaan dongeng dan ilustrasi seperti fabel di atas sangat luas di kalangan para Sufi, dan Rumi dikenal sebagai pakarnya.

Pemikirannya yang sama seringkali disampaikan oleh Rumi dalam banyak bentuk, agar bisa dipahami pikiran. Para Sufi mengatakan bahwa suatu idea akan memasuki pikiran yang terkondisikan (tertabiri) hanya jika ia disusun begitu baik sehingga mampu melewati dinding kondisional. Kenyataan bahwa non-Sufi sangat sedikit memiliki kesamaan dengan Sufi itu berdasar pada yang ada dalam setiap diri manusia, dan yang tidak seluruhnya bisa dimatikan oleh bentuk pengondislan apa pun. Unsur-unsur inilah yang mendasari perkembangan Sufi. Salah satu unsur dasar dan permanen adalah unsur cinta. Cinta merupakan faktor yang akan membawa seseorang dan semua orang, pada pencerahan:

"Panasnya ruang pembakaran mungkin terlalu berat bagimu untuk bisa mengambil manfaat dari pengaruh panasnya; sementara nyala api yang lebih lemah dari sebuah lampu bisa memberikan tingkatan panas yang engkau butuhkan."

Setiap orang, ketika mencapai jenjang tertentu karena kemampuan yang semata-mata bersifat personal, mengira bahwa ia bisa menemukan jalan menuju pencerahan melalui dirinya sendiri. Anggapan ini ditolak oleh para Sufi, sebab mereka mempertanyakan bagaimana seseorang bisa menemukan sesuatu sementara ia tidak tahu apa sebenarnya sesuatu tersebut. "Setiap orang menjadi pencari emas," ucap Rumi, "tetapi orang awam tidak mengetahuinya ketika ia melihatnya. Jika Anda tidak bisa mengenalinya, bergabunglah dengan orang bijak."

Orang awam, karena mengira ia berada di jalan pencerahan, seringkali hanya melihat pantulannya. Sinar mungkin bisa dipantulkan ke dinding; dinding tersebut merupakan tempat bagi sinar. "Jangan tempelkan dirimu ke batu-bata dari dinding itu, tetapi carilah (cahaya) asli yang abadi!"

"Air membutuhkan suatu perantara, sebuah tungku, antara tungku dan api itulah air dipanaskan dengan benar."

Bagaimana cara seorang Salik menemukan tugasnya dalam mencari jalan yang benar? Pertama, ia tidak boleh mengabaikan kerja dan harus tetap "hidup" di dunia. "Jangan menyerah dan berhenti kerja!" perintah Rumi. Sungguh, "Khazanah yang engkau cari berasal darinya." Ini merupakan satu alasan mengapa semua Sufi harus memiliki sebuah kegiatan konstruktif Meskipun demikian, kerja bukan saja kerja biasa atau bahkan kreativitas yang bisa diterima secara sosial. Ia meliputi kerja-diri; alkimia menjadikan seseorang berkepribadian sempurna: "Wool di tangan seorang yang berpengetahuan, menjadi permadani. Tanah menjadi istana. Kehadiran manusia spiritual menciptakan perubahan serupa."

Pada awalnya seorang yang bijak merupakan pembimbing seorang murid. Segera setelah memungkinkan, guru ini melepaskan si murid, sebagai orang yang memperoleh hikmahnya sendiri, dan kemudian ia melanjutkan kerja-dirinya. Para guru palsu dalam Sufisme, sebagaimana di mana saja, tidaklah sedikit. Maka para Sufi dihadapkan pada situasi aneh, sebab sementara guru palsu bisa jadi tampak seperti asli (karena ia berusaha keras untuk berpenampilan seperti yang diinginkan muridnya), sedangkan Sufi sejati seringkali tidak seperti apa yang dikira oleh Salik yang belum terlatih dan belum bisa membedakan.

Rumi mengingatkan, "Jangan menilai seorang Sufi sebagai seseorang yang bisa dilihat, sobat. Berapa lama, seperti seorang anak kecil, engkau hanya lebih menyukai kacang dan roti?"

Guru palsu sangat memperhatikan penampilan, dan mengetahui bagaimana membuat seorang murid mengira bahwa ia adalah orang besar, bahwa ia memahaminya, bahwa dirinya memiliki rahasia-rahasia besar yang akan diungkap. Seorang Sufi memiliki banyak rahasia, tetapi ia harus menjadikan rahasia-rahasia tersebut berkembang dalam diri murid. Sufisme merupakan sesuatu yang diberikan kepadanya. Guru palsu akan menjaga para pengikutnya agar tidak menjauh dari dirinya untuk selamanya, tidak mengatakan kepada mereka, bahwa mereka tengah diberikan latihan yang harus berakhir secepat mungkin, sehingga mereka bisa merasakan perkembangan mereka sendiri dan melanjutkan hidup sebagai orang-orang yang tercerahkan.

Rumi menyeru kepada para skolastik, teolog dan pengikut guru palsu, "Kapan kalian berhenti menyembah dan mencintai timbanya? Kapan kaki mulai mencari airnya?" Hal-hal lahiriah merupakan sesuatu yang biasanya dinilai oleh kebanyakan orang. "Ketahuilah perbedaan antara warna anggur dan warna gelasnya."

Sufi harus mengikuti semua rutinitas pengembangan-diri; sebaliknya semata-mata konsentrasi terhadap salah satunya akan menyebabkan ketimpangan, yang bisa membawa pada kerugian. Laju pengembangan setiap orang berbeda-beda. "Sebagian," ucap Rumi, "memahami semuanya hanya dengan membaca sebuah baris (ajaran). Yang lain, yang benar-benar telah hadir pada suatu peristiwa, mengetahui semua tentang hal itu. Kemampuan pemahaman berkembang bersama kemajuan spiritual seseorang."

Meditasi-meditasi Rumi meliputi beberapa gagasan yang mencolok, yang dirancang untuk membawa Salik ke dalam suatu pemahaman tentang kenyataan bahwa secara temporer ia berada di luar hubungan dengan realitas utuh, meskipun kehidupan biasa tampak sebagai totalitas dari realitas itu sendiri. Apa yang kita lihat, apa yang kita rasakan dan alami dalam kehidupan wajar dan belum tercerahkan, menurut pemikiran Sufistik, hanyalah sebagian dari keseluruhan yang besar. Ada dimensi-dimensi yang hanya bisa dicapai melalui upaya keras. Seperti bagian gunung es yang tampak di permukaan, keseluruhan badan gunung itu ada di sana, meskipun tidak terlihat di bawah kondisi-kondisi wajar. Jika seperti gunung es realitas tersebut jauh lebih besar dari yang biasa diduga oleh pengamatan superfisial.

Rumi mempergunakan berbagai analogi untuk menjelaskan hal ini. Salah satu paling mengejutkan adalah teorinya tentang tindakan. Katanya, ada sesuatu yang disebut sebagai tindakan komprehensif, dan juga ada tindakan individual. Kita terbiasa melihat, dalam indera dunia biasa, semata tindakan individu. Semisal, sejumlah orang sedang membuat sebuah tenda. Sebagian menjahit, yang lain mempersiapkan tali, sebagian lagi menenun. Mereka semua ikut ambil bagian dalam suatu tindakan komprehensif, meskipun masing-masing tampak sebagai tindakan individual. Jika kita berpikir tentang pembuatan tenda, hal itu adalah tindakan komprehensif dari keseluruhan kelompok, dimana itulah yang penting.

Dalam arah-arah tertentu, para Sufi menyatakan, kehidupan harus dipandang sebagai keseluruhan, demikian juga secara individual. Hal ini sesuai dengan keseluruhan rencana, tindakan komprehensif dalam kehidupan, sangatlah mendasar bagi pencerahan.

Sedikit demi sedikit, di saat pengalamannya meningkat, Sufi mulai membentuk kembali pemikirannya selaras dengan garis ini. Sebelum ia benar-benar memiliki pengalaman mistisisme, ia adalah seorang yang lugu, tidak terlibat, atau memiliki suatu idea yang secara menyeluruh khayali tentang sifat dasar pengalaman tersebut, terutama tentang Guru dan jalan (Tarekat). Rumi memberikan kepadanya meditasi-meditasi yang dirancang untuk mengatasi perkembangan berlebihan dari idea-idea tertentu yang mengalir deras di kalangan orang yang belum memperoleh pengajaran (Sufistik). Manusia mengharap diberi sebuah kunci emas. Tetapi sebagian lebih cepat berkembang dari yang lain. Seorang yang bepergian melewati kegelapan itu masih bisa disebut sedang bepergian. Sang murid akan belajar (sesuatu) ketika ia tidak mengetahui bahwa dirinya tengah belajar, dan sebagai hasilnya ia mungkin akan terlumuri (pengetahuan). Di musim dingin, Rumi mengingatkan, sebuah pohon tengah mengumpulkan makanan. Orang mungkin mengira bahwa pohon tersebut bermalas-malasan, sebab mereka tidak melihat sesuatu yang terjadi. Tetapi di musim semi mereka melihat untaian-untaian bunga. Sekarang, pikirnya, ia tengah bekerja. Ada waktunya untuk mengumpulkan dan ada waktunya untuk mengeluarkannya. Hal ini membawa subyek kembali pada ajaran: "Pencerahan harus datang sedikit demi sedikit -- jika tidak, tak terbendung".

Sarana-sarana skolastisisme, yang digunakan sebagai latihan bagi para Sufi, digantikan oleh pelatihan esoterik, dan hal ini harus dilakukan sesuai dengan kapasitas murid. Alat-alat pandai besi, ucap Rumi, "di tangan tukang tambal sepatu adalah seperti benih yang ditabur ke dalam pasir. Dan alat-alat tukang tambal sepatu di tangan petani adalah seperti jerami yang ditawarkan kepada anjing, atau tulang yang diberikan pada keledai."

Sikap terhadap konvensi-konvensi biasa dalam kehidupan mengalami suatu pengujian. Persoalan jeritan batin manusia dipandang, bukan seperti sebuah kebutuhan Freudian, tetapi sebagai sesuatu instrumen alamiah yang melekat pada pikiran untuk memungkinkannya mencapai kebenaran. Rumi mengajarkan bahwa manusia sebenarnya tidak mengetahui apa yang mereka inginkan. Jeritan batinnya dinyatakan dalam ratusan keinginan yang mereka duga sebagai kebutuhan mereka. Namun hal ini bukanlah hasrat mereka sesungguhnya, sebagaimana pengalaman memperlihatkan. Karena ketika tujuan-tujuan ini tercapai, jeritan tersebut tidak berhenti. Rumi pastilah melihat Freud sebagai seorang yang terobsesi oleh salah satu perwujudan sekunder dari jeritan besar tersebut; bukan sebagai seorang yang telah menemukan dasar jeritan itu.

Demikian juga, orang-orang tampak jahat dalam pandangan seseorang -- tetapi bagi lainnya mereka mungkin terlihat baik. Hal ini disebabkan dalam satu pikiran terdapat idea ketidakpuasan, sementara pada lainnya terdapat pandangan kebaikan. "Ikan dan kail kedua-duanya sama-sama hadir."

Sufi mempelajari kekuatan pelepasan-diri, kemudian diikuti kekuatan mengalami apa yang ia pertimbangkan, tidak sekadar melihatnya. Untuk melakukan hal ini, ia diperintahkan gurunya untuk merenungkan peringatan Rumi, "Orang yang kenyang dan kelaparan tidak melihat hal yang sama ketika kedua-duanya melihat sepotong roti."

Jika seseorang sangat tidak terlatih sehingga ia dipengaruhi oleh kebiasaannya sendiri, ia tidak bisa berharap untuk bisa mempunyai banyak kemampuan. Rumi memusatkan pada kontrol pengembangan; kontrol melalui pengalaman, bukan semata-mata melalui teori tentang yang baik dan buruk, benar atau salah. Teori ini masuk dalam kategori kata-kata, "Kata-kata, dalam dirinya sendiri, tidaklah penting. Anda memperlakukan seorang tamu dengan baik, dan berbicara beberapa patah kata yang lembut kepadanya, karenanya ia bahagia. Tetapi jika Anda memperlakukan orang lain dengan menggunakan beberapa patah kata dengan kasar, ia akan merasa sakit. Bisakah beberapa patah kata tersebut bermakna kebahagiaan atau kesedihan? Ini merupakan faktor-faktor sekunder, dan bukan faktor sesungguhnya. Kata-kata mempengaruhi orang yang lemah."

Murid Sufi berkembang melalui berbagai latihan dalam melihat segala hal dengan cara pandang baru. Ia juga berbuat, bertindak dengan cara berbeda dalam suatu situasi tertentu daripada yang seharusnya ia lakukan. Ia memahami makna yang lebih mendalam karena anjuran-anjuran sebagai berikut, "Ambillah mutiaranya, bukan kulitnya! Engkau tidak akan menemukan sebuah mutiara di setiap kulit. Sesosok gunung jauh lebih besar dari sesosok batu mirah." Apa yang tampak lazim bagi orang pada umumnya, mungkin berlalu di atas dasar sebuah kebijakan dan dipandang sebagai biasa, secara mendalam menjadi penuh makna bagi Sufi yang dalam intensitasnya menemukan hubungan dengan sesuatu yang disebutnya sebagai "yang lain" -- faktor dasar yang sedang dicarinya. "Apa yang tampak sebuah batu bagi orang biasa," lanjut Jalaluddin Rumi, "adalah mutiara bagi sang Alim."

Kini kehalusan pengalaman spiritual tampak sekilas bagi sang Salik. Jika ia seorang pekerja kreatif, ia memasuki jenjang itu ketika inspirasi kadangkala masuk ke dalam dirinya, tetapi tidak pada waktu yang lain. Jika ia rentan terhadap pengalaman ekstatik, akan menemukan bahwa perasaan penuh makna yang membahagiakan dalam keutuhan itu datang secara singkat sehingga ia tidak mampu mengendalikannya. Rahasia melindungi dirinya sendiri. "Pusatkan perhatian pada spiritualitas seperti yang engkau inginkan --ia akan membutakan dirimu jika engkau tidakmampu melihatnya. Tulislah hal ini, bicarakan dan ulaslah -- ia akan gagal untuk memberikan manfaat kepadamu: ia akan terbang. Namun, jika rahasia itu menyentuh pusat pikiranmu, ia mungkin datang ke tanganmu, seperti seekor burung yang jinak. Layaknya burung merak, ia tidak akan hinggap di tempat yang tidak layak."

Hanya ketika telah melampaui jenjang perkembangan inilah, seorang Sufi bisa menyampaikan sesuatu tentang jalan itu kepada orang lain. Jika ia mencobanya sebelum melampaui jenjang tersebut, "Ia akan lenyap".

Di sini juga letak arti penting suatu keseimbangan halus antara (keadaan-keadaan) ekstrim yang sangat mendasar itu, atau keseluruhan upaya itu akan sia-sia. "Pikiran Anda sebagai jaring itu begitu halus," tutur Rumi. Ia harus disesuaikan dengan tepat agar bisa menangkap sasarannya. Jika ada kesedihan, jaring itu terkoyak. Jika terkoyak, ia tidak berguna. Karena cinta yang terlalu besar, begitu pula karena penentangan yang terlalu besar, jaring itu terkoyak. "Jangan lakukan keduanya!"

Lima indera batin mulai berfungsi jika kehidupan batin individu dibangkitkan. Makanan batiniah yang dibicarakan oleh Rumi itu mulai mempengaruhinya. Indera-indera batin bagaimanapun menyerupai indera-indera lahiriah, tetapi "perbandingan indera batin dengan indera lahiriah seperti emas dan tembaga".

Karena setiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda, para Sufi pada jenjang ini mengembangkan dengan cara-cara tertentu. Adalah biasa bagi sejumlah fakultas batin dan berbagai kemampuan khusus untuk berkembang secara bersamaan dan harmonis. Berbagai perubahan kepekaan batin itu mungkin terjadi, tetapi perubahan itu sama sekali berbeda dengan perubahan batin dari orang-orang yang belum berkembang menuju kepribadian sejati. Kekasaran batin orang-orang awam ini digantikan oleh perubahan dan interaksi dari cita rasa yang lebih tinggi, dimana cita rasa yang lebih rendah dipandang sebagai refleksi semata.

Konsepsi Sufi tentang hikmah dan kebodohan mengalami suatu perubahan. Rumi memahaminya sebagai berikut, "Jika seseorang benar-benar bijaksana dan tidak memiliki kebodohan, ia akan dihancurkan oleh kebijaksanaannya sendiri. Oleh karena itu, kebodohan bisa dihargai, sebab ia berarti bagi kelangsungan eksistensi. Kebodohan dalam perubahan ini merupakan kolaborator hikmah, sebagaimana malam dan siang saling melengkapi."

Bekerjanya hal-hal yang bertentangan secara bersamaan merupakan tema penting lain dalam Sufisme. Ketika pertentangan nyata bisa didamaikan, individualitas bukan saja utuh, ia juga bisa melampaui ikatan-ikatan manusia awam sebagaimana kita memahaminya. Individu itu, selama kita bisa menyatakannya sedekat mungkin, sangatlah kuat. Apa makna pernyataan ini dan bagaimana terjadinya adalah persoalan-persoalan dari pengalaman pribadi, di luar dunia penulisan semata. Rumi mengingatkan kita pada lain tempat, dalam ucapannya yang tertulis dengan kata-kata: "Kitab sang Sufi bukanlah huruf-huruf yang kelam, kitabnya seputih kalbu."

Sekarang sang Sufi mempunyai pandangan batin tertentu yang terkait dengan perkembangan suatu intuisi yang selalu benar. Perasaannya terhadap pengetahuan sedemikian rupa, sehingga dengan membaca sebuah kitab, ia bisa membedakan fakta dan fiksi, tujuan sejati penulisnya dari unsur-unsur lainnya. Kalangan yang secara khusus terancam oleh kemampuan ini adalah para peniru yang mengaku sebagai Sufi. Sementara orang yang mempunyai intuisi itu akan mempunyai kemampuan tembus pandang. Bahkan pengertiannya tentang keseimbangan memperlihatkan kepadanya betapa jauh si peniru itu dari tujuan Sufisme. Rumi mengulas fungsi ini dalam Matsnawi. Ajaran ini secara setia disampaikan pula oleh para guru Sufi ketika mereka menemukan bahwa murid telah mencapai jenjang ini: "Peniru itu seperti penyalur. Ia sendiri tidak minum, tetapi ia mungkin bisa memindahkan air kepada orang yang kehausan."

Karena telah mengalami kemajuan di jalan itu, Sufi menyadari betapa rumit dan berbahayanya jalan itu jika tidak dijalankan sesuai dengan metode yang telah dikembangkan selama berabad-abad. Dengan menggunakan fabel, Matsnawi mencatat jenjang dari pengalaman ini. Seekor singa memasuki sebuah kandang, memangsa seekor sapi yang tinggal di dalam kandang itu, lalu ia duduk ditempat si sapi. Kandang itu gelap, si pemilik sapi masuk dan mencari-cari sapinya. Tangannya meraba-raba tubuh singa itu. Si singa berkata dalam hati, "Jika ada cahaya, pastilah ia akan mati ketakutan. Ia menyentuhku hanya karena menduga bahwa aku adalah sapinya." Jika fabel ini dibaca sebagai cerita biasa, penggambarannya yang singkat dan menarik ini mungkin dipahami sebagai sejenis orang bodoh yang terburu-buru masuk ke tempat di mana para malaikat sendiri takut merambahnya.

Pemahaman terhadap makna sejati di balik berbagai peristiwa duniawi yang tidak bisa dijelaskan secara nalar itu merupakan konsekuensi lain dari perkembangan Sufi. Sebagai contoh, mengapa tahapan tertentu dalam studi mistis menuntut seseorang lebih lama dari lainnya, meskipun ia sebenarnya melaksanakan rutinitas yang sama? Rumi menggambarkan pengalaman dan satu dimensi khusus dalam kehidupan yang menutupi fungsi aktualitas secara utuh dan memberikan suatu pandangan yang tidak memuaskan kita dari keseluruhan itu. "Dua pengemis," katanya, "mendatangi sebuah rumah. Salah satunya segera merasa puas setelah diberi sepotong roti. Ia pun pergi. Sementara pengemis kedua tetap menunggu bagiannya. Mengapa? Pengemis pertama itu tidak disukai, ia diberi roti basi dan hambar. Pengemis kedua diminta menunggu sampai sepotong roti segar selesai dimasak untuknya." Cerita ini menggambarkan suatu tema yang terjadi berulangkali dalam ajaran Sufi, bahwa seringkali ada satu unsur dalam sebuah peristiwa yang tidak bisa diketahui. Akibatnya kita mendasarkan pendapat kita pada bahan yang tidak utuh. Adalah keajaiban kecil jika orang yang belum tercerahkan mengembangkan dan memberikan suatu "pandangan kilas" yang berlangsung dengan sendirinya.

"Engkau dikuasai oleh dunia dimensi," senandung Rumi dalam sebuah syairnya, "tetapi engkau berasal dari dunia non-dimensi. Tutuplah yang pertama dan bukalah yang kedua!"

Seluruh kehidupan dan setiap ciptaan dipandang dalam suatu bentuk baru dan komprehensif Dengan menggunakan metafor Matsnawi, pekerja "tersembunyi di dalam ruang kerjanya", bersembunyi dalam kerjanya untuk merenda jaring-jaring dirinya. Ruang kerjanya adalah tempat pandangannya. Di luar tempat ini adalah kegelapan.

Posisi Sufi sebagai orang yang mempunyai pandangan batin lebih dalam tentang persoalan-persoalan dunia dan keseluruhan serta saling bertentangan, merupakan potensi kekuatan diri yang sangat besar. Tetapi ia hanya bisa melakukan hal ini dalam hubungannya dengan seluruh makhluk -- pertama dengan sesama Sufi, kemudian dengan manusia secara umum dan akhirnya dengan semua makhluk. Kekuatan dan keberadaannya berkaitan dengan serangkaian hubungan baru. Orang-orang datang kepadanya dan ia menyadari bahwa bahkan mereka yang ingin mencemoohkan dirinya sangat mungkin datang untuk belajar sesuatu daripada sekadar menilai dirinya. Ia memandang sejumlah besar peristiwa sebagai suatu jenis pertanyaan dan jawaban. Suatu kunjungan kepada seorang yang Tercerahkan dipandangnya sebagai pendekatan, "Ajarilah aku!" Betapapun laparnya suatu pertanyaan, tetap saja sebuah pertanyaan. "Kirimkan makanan!" Mencegah diri untuk tidak makan merupakan jawaban, suatu jawaban negatif. Sebagaimana Rumi menyimpulkan bagian ini, jawaban untuk seseorang yang bodoh adalah diam.

Ia mampu memberikan sebagian pengalaman mistiknya kepada orang-orang tertentu, sebagian muridnya dan orang yang dituntun oleh pengalaman masa lalu mereka untuk perkembangan semacam itu. Hal ini terkadang dilakukan melalui latihan-latihan konsentrasi dan prakteknya mungkin berkembang ke dalam pengalaman mistik yang sesungguhnya. Rumi berkata kepada para muridnya, "Pada mulanya pencerahan datang kepadamu dari orang-orang yang Tercerahkan. Ini adalah suatu tiruan. Namun ketika hal itu datang berulang kali, ini adalah pengalaman tentang kebenaran." Selama tahap pencariannya, seorang Sufi mungkin sering terlihat tidak memperdulikan perasaan orang lain, atau berada di luar aktivitas masyarakat. Jika demikian, hal ini karena ia telah melihat karakter sejati dari suatu situasi, di balik situasi lahiriah yang hanya terlihat secara parsial bagi orang lain. Ia berbuat dengan cara sebaik mungkin, meskipun tidak selalu mengetahui mengapa ia mengatakan atau melakukan sesuatu.

Dalam Fihi Ma Fihi, Rumi memberikan ilustrasi tentang situasi itu. Seorang pemabuk melihat seorang Raja lewat dengan menunggang kuda yang sangat mahal harganya. Ia mencemooh kuda itu. Sang Raja marah dan memanggilnya untuk menghadap kepadanya. Orang itu menjelaskan, "Saat itu seorang pemabuk sedang berdiri di atas atap. Aku sekarang bukan dia, sebab dia telah pergi." Sang Raja puas dengan jawaban ini dan memberikan hadiah kepadanya. Pemabuk itu adalah sang Sufi dan orang yang sadar itu juga adalah dirinya. Dalam hubungannya dengan realitas sejati, sang Sufi telah bertindak dengan cara tertentu. Akibatnya ia diberi hadiah. Ia juga melaksanakan suatu fungsi ketika menjelaskan kepada Raja bahwa orang tidak selalu bertanggung jawab atas berbagai tindakannya. Ia juga telah memberikan kesempatan kepada Raja untuk melakukan perbuatan baik.

Tidak ada anggur yang matang menjadi mentah kembali. Evolusi manusia tidak dapat dihentikan. Meskipun demikian evolusi ini bisa diarahkan dan dicampuradukkan oleh mereka yang tidak mengetahui apa sesungguhnya intuisi itu. Dengan demikian ajaran-ajaran Sufisme bisa diselewengkan dan seorang yang telah Tercerahkan juga bisa dihubungi jika ia membiarkan dirinya terlalu sering terlihat secara terbuka oleh orang kebanyakan. Sebab untuk mengajarkan masalah Sufistik kepada orang luar, seperti guru Sufi lainnya, Rumi selalu menyerukan:

Ketika lentera batin permata masih menyala,

Potonglah segera sumbu atasnya dan berilah minyak.

Namun ia sepakat dengan para guru lainnya yang menolak untuk membicarakan mistik kepada setiap orang, "Panggillah kuda-kuda ke tempat yang tidak berumput, mereka pun akan mempertanyakannya." -- tidak menjadi soal apa pertanyaannya itu.

Para Sufi menentang kalangan intelektual murni dan para pemikir skolastik, karena mereka percaya bahwa pelatihan pikiran dengan cara obsesif dan satu jalur pemikiran semacam itu justru membahayakan pikiran. Demikian pula, mereka sangat menentang orang-orang yang mengira bahwa semua persoalan itu bersifat intuitif dan asketis. Padahal Rumi menekankan keseimbangan dari semua kemampuan itu.

Kesatuan pikiran dan intuisi yang akan melahirkan pencerahan dan perkembangan yang dicari oleh para Sufi itu didasarkan pada Cinta -- tema yang ditekankan oleh Rumi ini tidak bisa dipaparkan secara lebih baik kecuali melalui berbagai tulisannya sendiri, kecuali jika ia berada di dalam dinding-dinding aktual dari sebuah madzhab Sufi. Seperti intelektualisme yang bekerja dengan bahan-bahan yang nyata, Sufisme bekerja dengan bahan-bahan yang terlihat dan tidak. Jika ilmu dan skolastisisme selalu mempersempit cakupannya ke dalam bidang kajian yang semakin sempit, maka Sufisme tetap menggunakan setiap bukti kebenaran yang melandasinya, di mana pun hal itu bisa ditemukan.

Kekuatan asimilasi dan kemampuan untuk membangkitkan simbolisme, cerita dan pemikiran dari dasar arus Sufistik ini telah menyebabkan para komentator (bahkan di Timur) merasa sangat kagum dan menjadikan masa lalu sebagai sesuatu yang baru. Mereka menelusuri asal-usul sebuah cerita di India, sebuah pemikiran di Yunani dan sebuah latihan spiritual di kalangan Shaman. Unsur-unsur ini dengan senang hati mereka himpun di meja, pada akhirnya untuk menyediakan amunisi dalam perjuangan dimana para lawannya adalah di antara mereka sendiri. Atmosfir unik dari madzhab-madzhab Sufi ditemukan dalam Matsnawi dan Fihi Ma Fihi. Tetapi dua karya ini oleh para eksternalis dianggap membingungkan, kacau dan ditulis secara longgar.

Adalah benar bahwa kedua kitab ini sebagian merupakan pembimbing yang harus digunakan dalam hubungannya dengan ajaran dan praktek Sufi yang sesungguhnya -- kerja, pemikiran, kehidupan dan seni. Namun bahkan seorang komentator yang menerima kenyataan atmosfir ini sebagai sengaja diciptakan dan yang mengulang penilaian Sufi dalam buku, memperlihatkan dirinya sendiri dalam hubungan personal menjadi agak kebingungan terhadap semua hal itu. Selain itu harus dikatakan bahwa ia memandang dirinya sebagai seorang Sufi, meskipun tidak diakui oleh metode Sufi mana pun. Di bawah pengaruh orang-orang semacam ini, studi Barat tentang Sufisme dan sekarang dalam periode kebangkitan yang luar biasa, telah menjadi sedikit lebih Sufistik, meskipun ia masih harus menempuh jalan panjang. "Sufi intelektual" merupakan kegemaran mutakhir di Barat.

Sufisme tentu saja mempunyai terminologi teknis yang khas, dan puisi-puisi Rumi kaya akan jenis-jenis umum dan khusus dari istilah-istilah dasar itu. Sebagai contoh, ia menggambarkan dalam kitab ketiganya, Diwan asy-Syams at-Tabriz, beberapa konsep pikiran dan aktivitas yang diproyeksikan dalam suatu pertemuan rahasia para darwis. Diramu dengan puisi rapsodik (penuh semangat), ajaran-ajaran Sufi "dalam pemikiran dan tindakan" disampaikan melalui metode yang secara khusus dirancang proyeksinya:

Bergabunglah dengan komunitas Sufi, jadilah seperti mereka, maka lihatlah kebahagiaan dari kehidupan sejati. Pergilah sepanjang jalan yang runtuh dan lihatlah orang-orangyang merana (para pemilik rumah yang runtuh). Minumlah anggur, agar engkau tidak mempunyai rasa malu. Tutuplah kedua mata lahirmu, sehingga engkau bisa melihat dengan mata batin. Bukalah kedua tanganmu, jika engkau mengharap pelukan. Hancurkan berhala bumi untuk melihat wajah banyak berhala. Mengapa seorang perempuan tua begitu senang menerima sebuah mahar -- dan karena tiga potong roti, mengapa engkau menerima kewajiban militer?

Sahabat kembali di malam hari; malam ini jangan minum -- tutuplah mulutmu dari makanan, hingga engkau memperoleh makanan mulut. Di Majelis sang Pembawa Cawan yang ramah, berputarlah -- masuklah ke dalam lingkaran. Berapa lama engkau mengitarinya? Inilah tawarannya -- tinggalkan satu kehidupan, raihlah keramahan Pengembala... Hentikan pikiran kecuali bagi pencipta pikiran -- berpikir tentang "kehidupan" lebih baik dibandingkan berpikir tentang roti. Di keluasan bumi Tuhan, mengapa engkau tertidur di sebuah penjara? Abaikan pemikiran-pemikiran rumit -- untuk melihat jawaban jawaban yang tersembunyi. Diamlah untuk meraih kalam abadi. Tinggalkan "kehidupan" dan "dunia" untuk menyaksikan "Kehidupan Dunia".

Meskipun aktualitas Sufi tidak bisa diuji kemurniannya oleh kriteria yang lebih terbatas dari pemikiran diskursif, puisi ini bisa dilihat sebagai suatu perakitan faktor-faktor utama dalam metode Rumi. Ia mendeskripsikan arti penting komunitas yang dicurahkan untuk memahami realitas, dimana realitas hanyalah sebagai suatu pengganti. Pengetahuan ini hadir melalui hubungan dengan orang lain, dengan terlibat dalam kegiatan kelompok, begitu pula dalam pemikiran dan kegiatan personal. Suatu yang mendasar hanya hadir jika pola-pola pemikiran tertentu telah direduksi dengan perspektif yang tepat. Sang Salik harus "membuka tangannya" untuk menerima sebuah pelukan, bukan mengharap sebuah pemberian sementara ia berdiri pasif menunggunya. "Perempuan tua yang lemah" adalah semua bentuk pengalaman duniawi sebagai pantulan dari suatu realitas terakhir yang hampir tidak mungkin dibandingkan dengan apa yang tampak sebagai kebenaran. Untuk "tiga potong roti" dalam kehidupan biasa, orang rela menjual potensialitasnya.

Sahabat datang di malam hari -- datang, yaitu ketika segala sesuatu masih tinggal dan ketika seseorang tidak tenggelam oleh pemikiran otomatis. Makanan khas Sufi tidaklah sama dengan makanan biasa; tetapi ia merupakan bagian esensial dari kemanusiaan. Kemanusiaan berputar-putar di sekitar realitas dalam sebuah sistem yang tidak sejati. Ia harus memasuki lingkaran dan bukannya sekadar mengikuti garisnya. Hubungan kesadaran sejati dengan apa yang kita pandang sebagai kesadaran itu bagaikan hubungan dari seratus kehidupan dengan satu kehidupan. Beberapa karakteristik kehidupan sebagaimana kita ketahui -- karakter pemangsa dan egoisme serta banyak lagi lainnya sebagai penghalang bagi kemajuan -- harus dilenyapkan oleh faktor-faktor halus.

Pemikiran non-diskursif adalah metode. Pemikiran harus diarahkan untuk seluruh kehidupan, bukan terhadap aspek-aspeknya semata. Manusia laksana seseorang yang mempunyai pilihan untuk menjelajahi bumi, tetapi ia tertidur di sebuah penjara. Berbagai kepelikan intelektualisme yang keliru itu menutupi kebenaran. Sikap diam merupakan awal pembicaraan sejati. Kehidupan batin di dunia dicapai dengan cara mengabaikan pemilahan "kehidupan" dan "dunia".

Ketika Rumi meninggal dunia pada tahun 1273, ia meninggalkan putranya, Bahauddin, untuk melanjutkan kepemimpinan Tarekat Mevlevi. Pada masa hidupnya ia dikelilingi oleh orang-orang dari setiap agama, dan pada waktu pemakamannya dihadiri oleh orang-orang dari segala jenis (kepercayaan).

Seorang Kristen ditanya, mengapa ia menangis begitu pilu atas kematian seorang guru Muslim. Jawabannya memperlihatkan pandangan Sufi tentang pengulangan ajaran dan penyampaian aktivitas spiritual:

"Kami menghargainya seperti Musa, Dawud, Yesus zaman ini. Kami semua adalah para pengikut dan muridnya."

Kehidupan Rumi memperlihatkan campuran dari ajaran warisan dan pencerahan pribadi yang menjadi pusat Sufisme. Keluarganya berasal dari keturunan Abu Bakar, sahabat Nabi saw., dan ayahnya masih ada hubungan dengan keluarga dengan Raja Khawarizmi Syah. Jalaluddin dilahirkan di Balkh, sebuah pusat ajaran kuno pada tahun 1207 dan dalam legenda Sufi dinyatakan bahwa, telah diramalkan oleh para mistikus Sufi, ia akan meraih masa depan gemilang. Raja Balkh di bawah pengaruh orang-orang skolastik, berbalik menentang para Sufi, terutama menentang kerabat ayah Rumi. Seorang guru Sufi ditenggelamkan di Sungai Oxus atas perintah Syah. Hukuman ini membayangi invasi orang-orang Mongol dimana Najmuddin al-Kubra, seorang pemimpin Sufi terbunuh di medan tempur. Najmuddin inilah pendiri Tarekat Kubrawiyah yang berkaitan erat dengan perkembangan Rumi.

Penghancuran Asia Tengah oleh tentara-tentara Jengis Khan telah menyebabkan tercerai-berainya para Sufi Turkistan. Ayah Rumi mengungsi bersama putranya ke Nisyapur di mana mereka bertemu dengan guru besar lainnya dari aliran Sufi yang sama, sang penyair Aththar, yang secara "spiritual" menganugerahi putranya dengan barakah Sufi. Ia menghadiahi Rumi sebuah salinan kitabnya, Asrar-Namah (Book of Secrets). Kitab ini ditulis dalam bentuk puisi.

Tradisi Sufi mengatakan bahwa karena potensi spiritual Jalaluddin muda telah dikenali oleh para guru di zamannya, maka perhatian mereka untuk melindungi dan mendidiknya menjadi motif bagi perjalanan kelompok pengungsi itu. Mereka meninggalkan Nisyapur dengan kata-kata kewalian Aththar yang terngiang dalam telinga mereka, "Anak ini akan memercikkan api kemuliaan dan keagungan suci bagi dunia. " Kota itu tidak aman. Seperti Najmuddin, Aththar menunggu gilirannya menuju ke-syahid-an yang diterimanya dari tangan orang-orang Mongol tidak lama setelah itu.

Kelompok Sufi dengan pemimpin mudanya itu sampai ke Baghdad di mana mereka mendengar penghancuran Balkh dan pembantaian penduduknya. Selama beberapa tahun mereka mengembara, menunaikan ibadah Haji ke Mekkah, kembali menuju utara ke Syria dan Asia Kecil, mengunjungi pusat-pusat Sufi.

Asia Tengah terpecah-belah karena serangan orang-orang Mongol yang tiada henti-hentinya, dan setelah tegak kurang dari enam abad, peradaban Islam tampaknya menjelang keruntuhannya.

Pada akhirnya ayah Rumi mendirikan pusat kegiatannya tak jauh dari Konia, yang terkait dengan nama St. Paul. Pada saat itu, kota itu berada di tangan penguasa Seljuk dan Raja Seljuk mengundang Jalaluddin untuk tinggal di sana. Ia menerima sebuah jabatan profesional dan melanjutkan mengajar putranya tentang rahasia-rahasia Sufi.

Jalaluddin juga berhubungan dengan Guru Terbesar (asy-Syekh al Akbar), penyair dan seorang guru dari Spanyol, yaitu Ibnu Arabi yang pada waktu itu berada di Baghdad. Hubungan itu terjadi melalui Burhanuddin, salah seorang guru Rumi yang melakukan perjalanan ke kawasan Seljuk untuk menemui ayah Rumi yang baru saja meninggal. Karena menggantikannya sebagai pembimbing Rumi, ia membawanya ke Aleppo dan Damaskus.

Ketika usianya mencapai empat puluh tahun, Rumi memulai pengajaran mistiknya secara semi-publik.2 Seorang darwis misterius, "Syamsuddin at-Tabrizi" mengilhaminya untuk menghasilkan sejumlah besar puisinya yang terbaik dan untuk meramu ajaran-ajarannya dengan cara dan bentuk yang dirancang untuk mempertahankan keseluruhan Tarekat Mevlevi. Karyanya telah diselesaikan dan darwis misterius itu lenyap setelah masa sekitar tiga tahun dan tidak ada lagi jejak tentang dirinya yang bisa dilaporkan.

"Utusan dari dunia tak dikenal" ini oleh putra Rumi disepadankan dengan Khidr yang misterius, pembimbing dan pelindung para Sufi yang muncul kemudian berlalu dari kognisi normal setelah menyampaikan pesannya.

Selama masa inilah Rumi menjadi seorang penyair. Baginya, meskipun ia diakui sebagai salah satu penyair terbesar Persia, puisi hanya suatu produk sekunder. Ia memandangnya tidak lebih dari suatu refleksi realitas batin yang besar dan merupakan kebenaran serta disebutnya sebagai refleksi dari Cinta. Cinta terbesar, tuturnya, adalah keheningan dan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Meskipun puisinya mempengaruhi pikiran manusia sedemikian kuat, sehingga hanya bisa disebut sebagai kekuatan magis, ia tidak pernah terbawa olehnya sampai pada tingkatan mengidentifikasikan puisi itu dengan wujud yang jauh lebih besar, dimana puisi hanyalah ekspresi yang lebih kecil. Pada saat yang sama, ia mengakuinya sebagai sesuatu yang bisa membangun jembatan antara apa "yang benar-benar ia rasakan" dengan apa yang bisa ia lakukan untuk orang lain.

Dengan memakai metode Sufistik untuk mendapatkan perspektif tentang sesuatu, bahkan dengan resiko menghancurkan gagasan-gagasan yang paling mendasar, ia sendiri mengambil peranan kritik sastra. Orang-orang datang kepadanya dan ia mencintai mereka. Dalam rangka memberikan sesuatu kepada mereka agar bisa memahami, ia memberikan puisi kepada mereka. Tetapi puisi itu untuk mereka, bukan untuk dirinya, betapapun ia sebagai penyair besar -- "Di atas segalanya, apakah peduliku dengan puisi?" Untuk menekankan pesan itu, dimana hanya seorang penyair dengan reputasi kontemporer terbesar yang berani melakukannya, ia menyatakan secara kategoris bahwa jika dibandingkan dengan realitas sejati, maka dirinya tidak punya waktu untuk menulis puisi. "Ini hanyalah nutrisi," katanya, "yang bisa diterima pengunjungnya," maka seperti tuan rumah yang baik, ia menyuguhkannya.

Seorang Sufi tidak akan pernah membiarkan sesuatu berdiri sebagai penghalang antara apa yang ia ajarkan dengan mereka yang sedang mempelajarinya. Di sinilah penekanan Rumi terhadap peranan subsider puisi dalam hubungannya dengan pencarian sejati. Sebenarnya apa yang ingin disampaikannya berada di luar jangkauan puisi. Bagi orang yang pikirannya telah terkondisikan oleh kepercayaan bahwa tidak ada sesuatu pun yang lebih sublim dari ungkapan puitis, maka perasaan semacam ini mungkin bisa mengakibatkan keterkejutan hebat. Hanya aplikasi dampak inilah yang perlu bagi tujuan Sufi dalam membebaskan pikiran dari ikatan fenomena sekunder, "berhala-berhala".

Sebagai pewaris ayahandanya, Rumi sekarang memproyeksikan ajaran-ajaran mistisnya melalui kesenian. Musik, tarian dan puisi digunakan dalam berbagai pertemuan darwis. Pengubahan melalui berbagai latihan mental dan fisik ini dirancang untuk membuka pikiran menuju pengakuan potensialitasnya yang lebih besar, melalui tema harmoni. Pengembangan harmonis melalui sarana harmonis mungkin merupakan paparan dari apa yang dipraktekkan Rumi.

Mempelajari ajaran-ajaran Rumi semacam ini dari luar, telah membingungkan banyak pengamat asing. Salah satu di antara mereka merujuk pada "pandangannya yang tidak Timur bahwa perempuan bukan sekadar barang mainan, tetapi suatu pancaran Ilahi."

Salah satu puisi Rumi yang diterbitkan dalam Diwan asy-Syams at-Tabriz, telah menyebabkan sejumlah kebingungan bagi kalangan literalis. Karya ini merupakan kajian Rumi terhadap semua bentuk agama yang berlaku, baik agama lama maupun baru. Kesimpulannya bahwa kebenaran esensial terletak pada kesadaran batin manusia itu sendiri, bukan pada organisasi-organisasi eksternal. Hal ini benar jika kita menyadari bahwa menurut kepercayaan Sufi, "pengujian" kepercayaan dilakukan dengan cara khusus. Seorang Sufi tidak perlu berkelana dari satu negeri ke negeri lainnya, mencari agama-agama untuk dipelajari dan mengambil apa yang bisa dibawa dari agama-agama itu. Ia juga tidak harus membaca kitab-kitab teologi dan tafsir untuk membandingkan satu ajaran dengan ajaran lainnya. "Perjalanannya" dan "pengujiannya" terhadap gagasan-gagasan lain terjadi dalam dirinya. Hal ini karena Sufi percaya bahwa seperti setiap orang mengalami sesuatu yang lain, ia memiliki pandangan batin yang mampu mengukur realitas dari sistem-sistem keagamaan yang ada. Tegasnya, akan sangat berat dan tidak berguna untuk mendekati suatu persoalan metafisis dengan menggunakan metode penelitian biasa. Seseorang yang bertanya, "Apakah Anda telah membaca buku tentang ini dan itu, karangan si Anu dan si Fulan?" niscaya akan menggunakan pendekatan keliru. Bukanlah buku atau pengarangnya, tetapi realitas buku dan penulis yang ingin disampaikan itulah yang penting bagi Sufi. Untuk memperoleh pemahaman tentang seseorang atau ajarannya, seorang Sufi hanya membutuhkan sebuah contoh. Tetapi contoh ini harus akurat. Dengan kata lain, ia harus ditempatkan dalam hubungan erat dengan faktor esensial dalam pengajaran yang terkait. Sebagai contoh, seorang murid yang tidak memahami secara menyeluruh sistem yang diikutiny, tidak bisa menyampaikan secara memadai sistem itu kepada Sufi guna memungkinkannya membuat pengenalan yang diperlukan.

Berikut ini adalah puisi dimana Rumi berbicara tentang pencapaian hubungan erat dengan berbagai agama dan reaksinya terhadap agama-agama itu:

Salib orang-orang Kristiani, dari ujung ke ujung

telah aku kaji. Dia tidak ada di salib itu.

Aku telah pergi ke kuil Hindu, ke pagoda tua.

Di tempat-tempat itu tidak ada tanda-tandanya.

Aku pergi ke dataran tinggi Herat dan Kandahar.

Aku melihat.

Dia tidak ada di dataran tinggi maupun rendah.

Dengan hati yang mantap, aku pergi ke puncak gunung Kaf.

Di sana hanya ada sarang burung 'Anqa.

Aku pergi ke Ka'bah. Dia tidak ada di sana.

Aku bertanya kepada Ibnu Sina tentangnya:

Dia di luar jangkauan filosuf ini ...

Aku melihat ke dalam kalbuku sendiri.

Di situlah tempatnya, Aku melihatnya.

Dia tidak di tempat lain ...

Kata ganti "dia" di sini maksudnya adalah realitas sejati. Sufi adalah abadi. Penggunaan kata-kata seperti "kemabukan" atau "anggur" maupun "hati" adalah penting, namun paling jauh hanya untuk mendekati realitas sejati itu dengan menggunakan suatu parodi. Sebagaimana Rumi menyatakannya:

Sebelum kebun, tanaman dan buah anggur tercipta di dunia ini,

Jiwa kami telah mabuk dengan anggur abadi. 

Sufi mungkin terpaksa mempergunakan perumpamaan dari dunia yang dikenal pada jenjang awal penyampaian, tetapi Rumi mengikuti standar rumusan Sufi dengan sangat ketat. Tongkat penyangga harus dibuang jika si pasien sudah mampu berjalan sendiri. Nilai dari cara ekspresi Rumi bagi murid adalah fakta bahwa ia menjadikan hal ini jauh lebih jelas dari semua bahan yang tersedia di luar sekolah-sekolah Sufi. Jika Tarekat eksternal tertentu telah terbiasa mengondisikan para pengikutnya secara literal dengan menggunakan perangsang secara berulang-ulang, menandai waktu pada jenjang perkembangan tertentu, mempertahankan kebutuhan murid kepada "tongkat penyangga", tentu saja ini bukan kesalahan Rumi.

FARIDUDDIN ATHTHAR, SANG KIMIAWAN

OLEH IDRIES SHAH (Sang Juru Bicara Tashawwuf di Barat)


Seekor kera melihat sebuah cherry di dalam sebuah botol yang bening dan berniat mengambilnya. Kemudian ia memasukkan tangannya melalui leher botol dan memungut buah cherry itu. Namun sekarang ia tidak bisa mengeluarkan tangannya. Sang pemburu yang sengaja memasang perangkap tersebut kemudian mendekat. Kera yang terjerat botol itu, tidak dapat lari dan tertangkap. "Setidaknya aku dapat menggenggam buah cherry," pikir kera. Pada saat itu sang pemburu memukul siku kera dengan cepat, kemudian tangan kera terbuka, terlepas dari botol. Sekarang sang pemburu memiliki buah, botol dan kera.

 

"Meninggalkan sesuatu karena orang lain telah menyalahgunakannya mungkin suatu puncak kebodohan. Kesejatian Sufi tidak dapat dicakup dalam aturan dan peraturan, dalam doa dan ibadah -- akan tetapi secara terpisah."

Kata-kata ini, ditulis Fariduddin Sang Kimiawan, seorang pengarang dan tokoh madzhab pencerahan serta pendiri organisasi para Sufi. Ia meninggal dunia lebih seabad sebelum kelahiran Chaucer yang karya-karyanya mengacu pada Sufisme Aththar. Lebih dari seratus tahun setelah wafatnya, dasar Tarekat Garter menunjukkan kesamaan-kesamaan yang mencolok dengan Tarekat rintisannya yang hampir tidak mungkin dianggap sebagai kebetulan.

Fariduddin dilahirkan dekat Nisyapur, negeri tercinta Omar Khayyam. Ayahnya mewariskan sebuah rumah obat, karena itu nama keluarganya dan sesuai dengan gaya Sufi adalah Aththar -- Sang Kimiawan. Begitu banyak cerita tentang kehidupannya sebagian tentang mukjizatnya, sebagian lagi tentang ajarannya. Ia telah menulis seratus empat belas karya untuk para Sufi, yang terpenting tentu saja adalah Dewan Para Burung (Parliament of the Birds [Mantiquth-Thair]) dan seorang pelopor dari Pengembangan Haji (Pilgrim's Progress). Namun seperti sebuah karya Sufisme klasik dan kesusastraan Persia, Parliament ini memaparkan pengalaman-pengalaman Sufi dan kerangkanya sendiri berdasar pada tema-tema pencarian (kebenaran) dari para Sufi sebelumnya. Karya ini juga menjabarkan makna-makna yang dapat dipahami sebagai isi kesadaran Sufi.

Cerita tentang percakapan Aththar, yang digunakan para Sufi untuk menggambarkan keseimbangan antara materi dan metafislka ditulis Daulat-Shah dalam karya klasik Memoirs of the Poets (Riwayat Hidup Para Penyair). Karya ini sebenarnya bukan laporan tertulis, namun kisah alegoris. Suatu hari, ketika Aththar menjaga barang-barang dagangan di tokonya, seorang pengembara Sufi muncul di depan pintu, menatap dengan kedua matanya yang tergenang air mata. Fariduddin menyuruh laki-laki itu pergi. "Aku memang akan pergi," sambut musafir itu. "Namun aku dilarang membawa sesuatupun, bahkan jas panjang ini. Akan tetapi, apa artinya Anda dan obat-obatan Anda yang mahal itu? Anda sebaiknya memikirkan rencana Anda sendiri untuk melanjutkan perjalanan."

Peristiwa ini sangat berkesan di hati Aththar, sehingga ia meninggalkan toko dan kerjanya serta mengasingkan diri di sebuah padepokan Sufi selama periode persemedian di bawah bimbingan guru Syekh Ruknuddin. Meskipun ia banyak melakukan praktek-praktek asketik, tetap menekankan arti penting tubuh dalam sebuah pernyataannya. "Tubuh tidaklah berbeda dengan jiwa, karena tubuh adalah bagian dari jiwa. Keduanya merupakan bagian dari keseluruhan." Ajarannya tidak hanya dikandung dalam karya-karya puitisnya, namun juga dalam ritus-ritus tradisional yang dipercaya oleh para Sufi sebagai bagian ajaran-ajarannya. Pembahasan masalah ini, yaitu perpaduan antara puisi, ajaran dan "perbuatan" (amal) Sufi, akan dilakukan nanti.

Aththar adalah salah seorang Sufi yang mengetahui secara mendalam riwayat hidup para Sufi sebelumnya, dan karya prosa satu-satunya, Memoirs of the Friend (Riwayat Hidup Para Sahabat) atau Recital of the Saints (Hikayat Orang-orang Suci) dicurahkan untuk mencatat kehidupan mereka. Ia memutuskan untuk menulis kumpulan hikayat tersebut setelah meninggalkan lingkungan Sufi Ruknuddin dan pengembaraannya ke Mekkah serta tempat-tempat lainnya.

Di masa tuanya, Aththar dikunjungi jalaluddin Rumi muda dan memberikan salah satu bukunya kepada pemuda ini. Rumi kemudian semakin memperluas publikasi aspek-aspek dasar tradisi pengetahuan Sufi yang telah dilanjutkan Aththar ini. Selanjutnya Rumi membandingkan dirinya sendiri dengannya, "Aththar telah melintasi tujuh kota cinta, sementara kami hanya sampai di sebuah jalan tunggal."

Aththar meninggal dunia ketika sedang mengajar sebagaimana ia telah mencurahkan hidupnya untuk itu. Namun kejadian terakhir yang menimpa Aththar, menimbulkan keraguan orang tentang dirinya. Ketika pasukan Barbar menyerang Persia di bawah pimpinan jengis Khan pada tahun 1220, Aththar ditangkap, saat ia berusia seratus sepuluh tahun. Ada seorang Mongol berkata, "Jangan bunuh orang tua ini. Aku akan mengganti seribu keping uang perak sebagai tebusan untuknya." Aththar melarang penangkapnya untuk menerima penawaran itu, karena ia akan menerima harga yang lebih tinggi dari orang lain. Beberapa saat kemudian, ada orang lain yang hanya menawarnya seharga seikat jerami, "Terimalah tawaran itu!" kata Aththar. "Karena itulah hargaku yang sebenarnya."Akhirnya ia dibunuh oleh tentara Mongol yang sangat kesal dengan leluconnya itu.

Garcin de Tassy telah mengungkapkan kemiripan karya-karya roman dan petualangan Aththar dengan Roman de la Rose, yang merupakan bukti nyata pengaruh aliran romantis Sufi yang paling awal di Eropa. Sebuah karya roman berikutnya yang menunjukkan kemiripan dengan tema-tema roman Sufi adalah karya tulis Majriti dari Cordoba. Ada juga kemungkinan bahwa karya roman Sufi masuk ke Eropa Barat melalui Spanyol dan Perancis Selatan daripada anggapan melalui Syria, meskipun karangan-karangan Sufi dalam jenis sastra ini sangat kuat berpengaruh di sana. Sedang para sarjana Barat yang percaya bahwa legenda Grail masuk ke Eropa melalui tentara Perang Salib, sebenarnya hanya mendasarkan asumsinya pada sumber-sumber Syria. Bagaimanapun, Syria dan Andalusia mempunyai hubungan yang sangat kuat. Perubahan huruf "Q" menjadi "G" (Qarael Muqaddas [Hikayat Suci]) menjadi Garael Mugaddas) adalah bahasa Spanyol-Muslim, bukan bahasa Syria. De Tassy mencatat bahwa Roman de la Rose mempunyai kesamaan-kesamaan dengan dua aliran sastra Sufi, yaitu Birds and the Flowers, dan terutama dengan karya Aththar, Parliament of the Birds. Tak syak lagi, versi asli yang telah memicu munculnya versi Roman lainnya yang terkenal di Eropa itu, sudah tidak ada; dan sangat mungkin asalnya adalah versi verbal, yang disampaikan melalui pengajaran Sufi di pusat-pusat penyebaran Sufi Spanyol.

Roman Rose of Bakawali di India, lebih jelas lagi banyak mengandung perumpamaan Sufi yang paling dinamis tersebut. Parliament sendiri, selain tercantum secara terpisah-pisah dalam karya Chaucer dan lainnya, diterjemahkan dalam bahasa Perancis dan dipublikasikan di Liege pada tahun 1653, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Latin pada tahun 1678.

Bagian-bagian Mantiquth-Thair (Parliament of the Birds) karya Aththar, banyak disitir dalam Tarekat Khidr (yaitu St. George maupun Khidr sendiri, pelindung suci dari para Sufi, pemandu rahasia, kadangkala dianggap Elias [Ilyas]) yang masih hidup sampai saat ini. Berikut ini sebagian ucapan seremonial inisiasi (prabakti) Tarekat Khidr:

Ada yang bertanya mengapa laut berwarna biru, warna duka cita, dan mengapa laut bergelora seolah-olah ada api yang membuatnya mendidih. Kemudian dijawab, jubah biru itu menyatakan kesedihan karena berpisah dengan Sang Kekasih, "karena itu api Cinta membuatnya bergelora". Sedang warna kuning, dalam hikayat selanjutnya, adalah warna emas - unsur kimiawi Manusia Sempurna, yaitu manusia yang disepuh sampai seperti emas. Jubah permulaan Sufi terdiri dari jas biru, kerudung kepala dan pita kuning. Jika kedua warna ini dicampur akan berwarna hijau, warna permulaan dan alam, kebenaran dan keabadian. Mantiquth-Thair ditulis kira-kira seratus tujuh puluh tahun sebelum berdirinya Tarekat Garter, yang mulanya dikenal sebagai Tarekat Santo George.

Tarekat Sufi yang mana Aththar diakui sebagai pendirinya kemudian mengembangkannya, dan yang tentu saja mengandung tradisi pemusatan hati - menjalankan latihan-latihan yang bertujuan untuk menciptakan dan menjaga keselarasan para pengikutnya dengan seluruh makhluk. Ia hampir mirip dengan Tarekat-tarekat Sufisme lainnya. Tahap-tahap perkembangan Sufi itu, meskipun mungkin urutannya berbeda-beda dalam setiap individu, digambarkan dalam Mantiquth-Thair.

Burung-burung yang melambangkan manusia, semuanya dipanggil oleh burung hoopoe (burung merak), melambangkan Sufi, yang menganjurkan agar mereka segera mencari Raja mereka yang misterius, Raja ini bernama Simurgh, yang tinggal di pegunungan Kaf. Setiap burung, yang sebelumnya tertarik untuk bertemu Raja, mulai menyesalkannya karena ia sendiri (burung merak) tidak ikut serta dalam perjalanan menemui Raja tersembunyi. Setelah mendengar penyesalan itu, burung merak menjawab dengan sebuah kisah yang mengilustrasikan ketiadagunaan membeda-bedakan apa yang harus atau seharusnya dengan apa yang sebaiknya dilakukan. Syair-syair dalam ilustrasi itu banyak mengandung perumpamaan sosok Sufi dan harus dikaji secara cermat agar benar-benar dapat dipahami. Cincin Sulaiman, hakikat sosok Khidr sang Pembimbing rahasia, berbagai anekdot tentang hikmah-hikmah kuno juga ada di dalamnya.

Akhirnya si burung merak menyatakan kepada burung-burung itu bahwa mereka harus melalui tujuh lembah dalam pencarian itu. Pertama, Lembah Pencarian, tempat segala marabahaya akan mengancam dan perjalanan suci ini harus melepaskan keinginankeinginan. Kemudian Lembah Cinta, wilayah tak terbatas, tempat sang Pencari sepenuhnya dilanda rasa rindu kepada Sang Kekasih. Setelah Lembah Cinta adalah Lembah Pengetahuan Intuitif, di sini hati menerima secara langsung pencerahan dari Kebenaran dan suatu pengalaman "bertemu" Tuhan. Kemudian di Lembah Pemisahan, sang musafir akan terbebaskan dari segala hasrat dan ketergantungan.

Dalam percakapan burung merak terhadap burung bulbul, Aththar mengungkapkan ketiadagunaan puncak kegembiraan (ekstase), mistikus yang hanya menuruti percintaan itu sendiri, yang melarutkan diri mereka dalam kerinduan, yang memperturuti pengalaman ekstatik dan tidak menyentuh kehidupan manusia.

Burung bulbul yang penuh gairah itu dengan tidak tahan lagi maju ke depan. Dalam setiap siulannya yang sangat bervariasi, ia menyuarakan suatu misteri makna yang berbeda-beda. Ia mengungkapkan misteri-misteri dengan sangat mengesankan sehingga semua burung lainnya terpaku.

"Aku mengetahui rahasia-rahasia cinta," kata burung bulbul. "Sepanjang malam aku mengungkapkan rasa cintaku. Aku mengajarkan sendiri rahasia-rahasia itu. Lagu cintaku adalah ratapan seruling mistik dan kecapi. Akulah yang memekarkan bunga Mawar dan menggetarkan hati para pecinta. Dengan tiada henti aku mengajarkan misteri-misteri baru, setiap saat muncul nada-nada kesedihan baru, laksana gelombang di lautan. Siapa pun mendengarkanku lenyaplah kecerdasannya karena terpesona dan hilanglah kesadarannya. Bila aku sudah kehilangan rasa cintaku pada sang Mawar, aku meratap tiada henti ... Bila sang Mawar kembali ke dunia di musim panas, hatiku begitu suka-ria. Rahasia-rahasia cintaku tidak diketahui mereka -- namun sang Mawar mengenal mereka. Yang aku pikirkan hanya sang Mawar, yang aku rindukan hanya Mawar merah delima."

"Untuk menggapai Simurgh adalah di luar kemampuanku -- cinta pada sang Mawar sudah cukup bagi burung bulbul. Karenaku Mawar menjadi mekar ... Mungkinkah burung bulbul hidup satu malam pun tanpa Sang Kekasih?"

Burung merak berseru, "Hai ... orang yang tertinggal, yang hanya sibuk mengurusi hal-ihwal! Tinggalkanlah kesenangan yang menggiurkan itu! Mencintai Mawar hanya akan menyusahkan hatimu. Betapapun indahnya bunga Mawar, keindahannya akan lenyap dalam beberapa hari. Mencintai sesuatu yang mudah layu hanya akan menyebabkan perubahan hati Manusia Sempurna. Bila senyuman bunga Mawar telah membangkitkan gairahmu, itu hanya akan menawanmu dalam kesedihan tiada henti. Dialah yang menertawakanmu di setiap musim semi sementara ia tidak merasa sedih - tinggalkanlah bunga Mawar dan warna merahnya (yang menggairahkan) itu!"

Dalam mengulas bagian ini, seorang guru Sufi mencatat bahwa Aththar tidak hanya menyinggung orang yang berpuas diri pada pencapaian ekstase tanpa melanjutkan tahap mistis berikutnya. Namun ia juga memberi arti ekstatik yang paralel, orang yang merasakan frekuensi cinta yang tidak sempurna, dan yang, meskipun dipengaruhi oleh cinta, ia tidak punya gairah hidup dan tidak dipengaruhi olehnya sehingga kehidupan (pribadinya) benar-benar mengalami suatu perubahan: "Inilah api cinta yang mencerahkan, yang berbeda kapan pun ia timbul, yang menggairahkan, yang menghidupkan jiwa. Benih (cinta) ini terpisah dari rahimnya dan lahirlah Manusia Sempurna, yang berubah dengan suatu cara yang khas sehingga seluruh aspek kehidupannya terangkat (mulia). Ia bukan berubah dalam arti wujud yang berbeda, namun ia adalah pribadi yang utuh dan keberadaan ini bisa dianggap sebagai manusia yang penuh gairah. Setiap perilaku (hatinya) tersucikan, terangkat pada tingkat yang lebih tinggi, tergetar oleh melodi yang lebih merdu, melantunkan nada yang lebih langsung dan hidup, mempertalikan hati laki-laki dan perempuan, yang lebih mencintai dan lebih membenci. Setiap gerak hatinya menyatu dengan suatu nasib, suatu ruang yang tentram dan kokoh, menyatu dengan hal-ihwal, yang melingkupi meskipun ia hanya mengikuti bayangan substansi cinta ini, sedemikian agung sehingga dapat mencapai pengalaman yang lebih nyata."

Pengulas tersebut (Guru Adil Alimi) juga mencatat bahwa perasaan-perasaan ini tidak menarik perhatian manusia pada umumnya. Perasaan-perasaan ini "diingkari oleh kalangan materialis, ditentang para teolog, diabaikan para pecinta, ditolak para ekstatis, diterima namun disalahpahami oleh teorisi dan pengikut Sufi". "Namun," lanjutnya, "kita harus mengingat qadam ba qadam (tahap demi tahap): 'Sebelum engkau meminum cawan kelima, engkau harus meminum cawan keempat, setiap cawan sama-sama enak'."

Ia menyadari bahwa hal-ihwal, baik yang lama maupun baru, tidaklah penting. Hal-ihwal yang telah dipahami itu tidaklah bernilai, sebab sang musafir melihat dimensi-dimensi baru dalam hal-ihwal itu. Ia memahami, misalnya, perbedaan antara tradisionalisme dan realitas, yang itu adalah suatu refleksi.

Lembah kelima adalah Lembah Kemanunggalan. Di lembah ini sang Pencari memahami bahwa hal-ihwal dan gambaran-gambaran yang kelihatan berbeda baginya sebenarnya hanya satu.

Di Lembah Ketakjuban (lembah keenam); sang musafir merasakan kekaguman dan cinta. Ia tidak memahami pengetahuan dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Suatu perasaan yang disebut cinta, sekarang menggantikannya.

Lembah ketujuh, yang terakhir, adalah Lembah Kematian. Di sini sang Pencari memahami misteri dan paradoks, individu yang memahami bagaimana "setetes kepribadiannya dapat bergabung dengan samudera, namun tetap mempunyai makna. Ia telah menemukan 'kedudukannya'."

Nama samaran Fariduddin adalah Aththar, Kimiawan atau Pembuat minyak wangi. Mayoritas sejarawan menduga bahwa ia mengambil kata deskriptif ini karena ayahnya mempunyai sebuah balai obat, namun menurut tradisi Sufi, "Aththar" mengandung suatu pengertian rahasia. Jika kita menggunakan metode baku pengungkapan bahasa sandi melalui sistem Abjad, yang sangat dikenal di kalangan terpelajar Arab dan Persia, Aththar dapat disulih sebagai berikut:

A (ain) = 70

Tha' = 9

Tha' = 9

Alif = 1

Ra' = 200

Huruf-huruf (dalam kata Aththar) harus disusun menurut ortografi konvensial bahasa Semit seperti di atas. Kitab Hisab al-Jamal (kitab tentang penyusunan ulang huruf dan angka) adalah bentuk paling sederhana pemakaian sistem Abjad yang banyak digunakan dalam ungkapan-ungkapan puitis. Setelah penyulihan, nilai huruf-huruf harus dijumlah (70+9+9+1+200), hasilnya 289. Untuk mengungkap suatu makna "tersembunyi" yang baru dari tiga huruf dasar itu, kita harus (sesuai prosedur baku) mengurai kembali jumlah itu dalam ratusan, puluhan dan satuan, sebagai berikut:

289 = 200, 80, 9

Ketiga angka ini dapat disesuaikan kembali:

200 = R ; 80 = F ; 9 = Th.

Kini kita tinggal mencari dalam kamus kata-kata yang berhubungan penyusunan-penyusunan tiga huruf tersebut. Di dalam kamus bahasa Arab, kata selalu ditulis menurut akar katanya (biasanya tiga huruf), sehingga hal ini mempermudah tugas kita.

Tiga huruf tersebut mungkin hanya terdiri dari kata, RFTh, RThF, FRTh, FThR dan ThFR.

Satu-satunya akar kata yang berkaitan dengan agama, makna batiniah dan rahasia adalah FThR.

Jadi "Aththar" adalah suatu kata sandi dari konsep FThR, suatu pesan tentang ajaran yang disampaikan Fariduddin.

Aththar adalah salah seorang guru Sufi terkemuka. Sebelum kita melihat implikasi akar kata FThR dalam bahasa Arab, kita dapat mengikhtisarkan gagasan-gagasannya. Sufisme adalah suatu bentuk pemikiran yang digunakan Aththar dan para penerusnya (termasuk muridnya, Rumi) menurut suatu format keagamaan, yaitu tentang pertumbuhan dan tema evolusi organis manusia. Penggarapan tema ini berhubungan dengan terbitnya fajar setelah kegelapan (malam), berbuka puasa dengan sepotong roti, dan perilaku mental serta fisik yang intensif, yang tak terencana oleh sebab suatu tanggapan terhadap dorongan-dorongan intuitif

Apakah akar kata FThR mengandung (pengertian): (1) perkumpulan-perkumpulan keagamaan; (2) hubungan antara Kristianitas dan Islam -- sebab para Sufi menandaskan bahwa mereka adalah Muslim sekaligus penganut ajaran esoteris Kristiani; (3) gagasan tentang tindakan yang cepat atau tak terencana; (4) kerendahan hati para darwis; (5) suatu dampak yang kuat (dari gagasan atau gerakan, sebagaimana diterapkan dalam madzhab-madzhab darwis untuk latihan-latihan Sufi); (6) "anggur" -- analogi puitis Sufi untuk pengalaman batin; (7) sesuatu yang mendesakkan jalan keluarnya dari kandungan alamiah?

Setiap gagasan-gagasan tersebut terkandung dalam kata-kata Arab yang diturunkan dari akar kata FThR, yang membentuk suatu gambaran eksistensi Sufi. Sekarang kita dapat memeriksa akar kata dengan ragam penggunaannya:

FaThaR = membelah, memotong sesuatu, menyelidiki, mulai, mencipta sesuatu (Tuhan).

FuThR = cendawan (yang cara pertumbuhannya melalui kekuatan membelah diri).

FaThaRa = sarapan, berbuka puasa.

ThaFaThThaR = terbelah atau pecah.

'IYD al-FiThR = Hari Raya Fitri.

FiThRah = watak dasar, rasa keagamaan, agama Islam (patuh pada kehendak Tuhan).

FaThIR = roti murni (yang tak diragi), tindakan yang tak terencana atau cepat, tergesa-gesa.

FaThIRA = suatu benda kecil, roti tersusun sebagaimana digunakan dalam suatu acara sakral.

FAThiR = Sang Pencipta.

FuThaiy Ri = manusia yang hina, kosong, tumpul.

FuThAR = sebuah benda yang karat, misalnya sebilah pedang tumpul.

Biasanya Aththar dianggap sebagai guru yang telah ikut serta menyampaikan (meneruskan) latihan Sufi yang khas, yaitu "Berhenti (sejenak)!" Latihan Menenggang Waktu. Latihan ini dilakukan ketika guru Sufi, pada waktu tertentu, memerintahkan muridnya untuk menghentikan setiap gerakan secara sempurna. Selama latihan "menenggang waktu" ini, murid akan memancarkan barakah-nya kepada orang lain. Menangguhkan semua kegiatan fisik dengan cepat adalah membiarkan kesadaran terbuka untuk menerima pengembangan mental yang khas, yang kekuatannya terpancar dari gerakan penuh tenaga.

Anehnya FThR dalam daftar kata Sufi dikembangkan menjadi QMM. Kata ini pun, jika diungkap melalui sistem notasi Abjad, menghasilkan kata QIFF - Penangguhan Ilahi. "Penangguhan" ini adalah nama yang diberikan pada latihan "Berhentilah (sejenak)!" yang hanya dilakukan seorang guru Sufi.

Makna akar kata FThR yang sekunder, yaitu cendawan, telah menimbulkan minat spekulasi. Minat ini muncul berkat prakarsa Mr. R. Gordon Wasson, yang menyatakan bahwa pada zaman dahulu, ada (dan yang mengherankan hal ini masih hidup dalam beberapa wilayah) suatu kultus ekstatik yang tersebar luas dengan cara memakan cendawan-cendawan yang menimbulkan halusinasi.

Apakah akar kata FThR ini memang berhubungan dengan kultus cendawan? Ya di satu sisi, namun bukan dalam pengertian yang secara langsung diduga orang. FThR memang mengandung arti cendawan, namun bukan dalam pengertian cendawan yang menimbulkan halusinasi. Kita mempunyai dua sumber untuk menjelaskan masalah ini. Sumber pertama bahwa cendawan yang menimbulkan halusinasi dalam bahasa Arab berasal dari akar kata GHRB. Kata-kata yang diturunkan dari GHRB mengindikasikan suatu pengetahuan karena pengaruh aneh dari cendawan itu, sementara kata FThR tidak demikian:

GHaRaBa = pergi, berangkat, tumor mata.

GHaRaB = meninggalkan kampung halaman, hidup di negeri asing.

GHuRBan = kedudukan sebuah bintang, terlupakan atau terpencil.

GHaRuB = tak dikenal (kabur), sesuatu yang tak terpahami dengan jelas, asing.

GHaRaB = pergi ke Barat.

A-GHRaB = melakukan atau mengatakan hal-hal aneh atau tidak lazim, tertawa secara aneh, berlari secepat kilat, pergi ke negeri yang jauh.

ISTa-GHRaB = menemukan benda aneh, menakjubkan, tertawa berlebih-lebihan.

GHaRB = Ujung pedang, air mata dan sebagainya.

ESH al-GHuRAB = jamur payung (secara literal berarti "makanan burung gagak, kerumitan, kegelapan, keanehan").

Keterangan kedua yang menarik mengindikasikan bahwa Sufi menggunakan akar kata FThR untuk pengertian pengalaman batiniah dan bukan pengertian yang diangkat dari makna kimiawi. Keterangan ini terkandung dalam sebuah paragraf dari karya orang yang secara tepat dijuluki Mast Qalandar (secara literal berarti "darwis yang mabuk"), yang secara jelas mengomentari tentang suatu kepercayaan bahwa cendawan yang menimbulkan halusinasi itu dapat merangsang untuk mencapai suatu pengalaman mistik. Dalam hal ini ia menandaskan bahwa kepercayaan itu tidak benar.

Pertama, kita dapat membaca melalui penterjemahan literal naskah tersebut:

"Jadi Sang Pencipta, karena perkembangan semangat dan inti rasa keagamaan, menyediakan sari buah anggur untuk sarapan pagi para Pecinta (para Sufi), dan ia meninggalkan sebuah jejak (simbol) berupa kegiatan sakramental bagi orang-orang yang mempunyai pemahaman setengah-setengah. Perlu juga diketahui dan diingat bahwa Sufi yang tercerahkan jauh dari retakan atau belahan yang menipu, yaitu distorsi, dan ia mendekati perasaan ekstase (tersembunyi) yang berbeda. Ia sama sekali tidak memakan cendawan itu dan cendawan yang menimbulkan kegilaan ini tidak dikenalnya. Sarapan paginya adalah kebenaran di jalan yang tak terbelah. Akhirnya setelah menjalarnya tanaman (anggur) dan berbuah, setelah air anggur menghasilkan saripatinya dan makan sore (setelah pantangan makan), Manusia Sempurna secara aneh diperlengkapi dengan pedang yang tumpul. Akan tetapi, makanan ini bukan seperti yang mereka nyatakan ataupun apa yang tumbuh di bawah pohon. Sesungguhnya Kebenaran Ciptaan telah ditemukan, dan ekstase mungkin hanya ditemukan di dalam rahasia makanan (roti) orang yang kelaparan dan kehausan. Ia minum setelah makan. Di sini Sang Pencipta juga berperan sebagai Pengungkap."

Paragraf yang mengagumkan ini dianggap sebagai ocehan orang gila. Namun Syekh Mauji, Sufi dari Azamia, menafsirkannya dalam selembar halaman karyanya Durud (Kisah-kisah):

"Ada suatu sensasi yang merupakan gairah sejati dan bisa disebut cinta. Sensasi ini berasal dari sumber kuno dan penting bagi kemanusiaan. Tanda-tanda (simbol)nya masih ada di luar kelompok-kelompok Sufi, namun sekarang hanya dalam bentuk simbol, misalnya lambang Salib, sedang bagi kami tetap mengacu pada ajaran esoteris Yesus sendiri. Sang Pencari (kebenaran) harus ingat bahwa ada beberapa kemiripan perasaan yang menipu dan seperti kegilaan, namun bukan kegilaan yang dimaksud Sufi ketika ia membicarakannya, sebagaimana si pengarang menggunakannya dalam menggambarkan dirinya sendiri (Mast Qalandar). Dari sumber tersebut, asal-usul apa yang kita sebut saripati dari anggur yang merupakan buah dari tanamannya, hasil dari pembelahan dan pertumbuhan, akan muncul pencerahan yang sejati. Setelah suatu periode pematangan dari saripati anggur atau roti, pemisahan melalui cinta, maka muncullah kekuatan Pengungkap. Kekuatan ini adalah gizi, namun bukan gizi makanan dalam pengertian wujud apa pun seperti sebuah benda fisik biasa..." 

Paragraf orisinal itu, yang kurang lebih merupakan bentuk sastra Persia, menunjukkan kepada kita apa yang sebenarnya berusaha dijelaskan oleh "darwis gila" itu. Paragraf itu selalu menggunakan akar kata tunggal yaitu FThR. Tidak ada terjemahan yang mungkin dapat diterapkan pada fakta puitis tersebut, karena makna akar kata ini tidak dapat dilingkupi dalam terjemahan. Oleh karena penterjemahan kata itu -- dalam kata "terbelah", "roti bersusun", "pengalaman religius" dan lainnya -- berasal dari akar kata yang berbeda, maka kita mudah sekali melalaikan makna dari sebuah kata tunggal.

Sebagai contoh: "Ya baradar; Fathir ast thafaththari fithrat wa dzati fithrat ..."

Di dalam paragraf terdiri dari seratus sebelas kata, kata-kata turunan FThR tidak lebih hanya dua puluh tiga kali! Pemakaian kata-kata turunan tersebut, meskipun bukannya tidak tepat, sangat tidak lazim (karena sebenarnya ada sebuah kata baku yang lebih tepat untuk digunakan menurut konteks itu) sehingga niscaya sebuah pesan yang disampaikan dengan mengibaratkan dampak dari reaksi kimiawi cendawan itu menunjukkan suatu pengalaman yang tak terbantah namun kabur.