Catatan Popular

Khamis, 31 Ogos 2023

KITAB AL MAWAKIF WAL MUKHOTOBAT : 20. HIJAB - HIJAB

Karya Muhammad Bin Abdul Jabbar Al-Niffari (AL NIFFARI)

Hijab-hijab Zat Ilahiat itu, dalam lima :

1.      Hijab A ‘yan (A’yan = segala mahluk yang diciptakan oleh Allah).

2.      Hijab Ilmu

3.      Hijab Huruf

4.      Hijab Asma (Nama-nama)

5.      Hijab Kejahilan (kebodohan)

 

Dunia dan akhirat dan apa yang ada di antara keduanya dari makhluk-makhluk, adalah hijab A’yan dan setiap “ain (mata) dari kesemuanya itu adalah hijab A’yan atas dirinya sendiri dan hijab atas selainnya.

 

Dan Hijab Ilmu dikembalikan pada hijab a’yan, karena ilmu itu hasil pembahasan terhadapnya dan terhadap pada peraturan-peraturannya.

Dan hijab huruf adalah hijab hukum...

Dan Asma (nama-nama) adalah hijab atas apa yang dinamai..

Terakhir adalah Hijab Kejahilan (kebodohan) yang mana tidak dapat diungkapkan melainkan pada Hari Kebangkitan (Hari kiamat).

KITAB AL MAWAKIF WAL MUKHOTOBAT : 19 KEGAIBAN, PENGLIHATAN DAN PENYAKSIAN

 Karya Muhammad Bin Abdul Jabbar Al-Niffari (AL NIFFARI)

Kegaiban (ketidak hadiran) adalah sesuatu kelalaian, hal yang demikian banyak dirasakan oleh manusia-manusia ahli dunia, disebabkan karena melihat sesuatu pada zat dirinya, maka yang demikian itu bagaikan membuka peluang untuk disambar oleh sesuatu-sesuatu itu; dan sesuatu-sesuatu itu saling panggil-memanggil hingga engkau akan terbagi-bagi di antaranya dan tercerai-beraikan oleh panggilan masing-masing itu.

 

Jelas yang demikian membuatmu gaib daripada Yang Maha Tunggal lagi Berdiri Sendiri. Hanya dengan Pertolongan Nya engkau dapat tegak berdiri, tetapi engkau alihkan penglihatanmu untuk segala sesuautu hingga engkau menerjunkan diri untuk mendapatkan agar memilikinya, atau waspada daripadanya, takut ke padanya, merendah-rendah membujuk merayunya.

 

Adapun Penglihatan, maka ia adalah: ‘Penglihatanmu kepada Allah dan Kekuasaan Nya atas segala sesuatu itu, menunjukan betapa lemahnya segala sesuatu itu dengan zat dirinya masing-masing, dan sangat sedikit sekali daya upaya, yang hanya merupakan suatu pinjaman dari Allah yang membentuknya serta mendirikannya, maka kesemuanya itu tiada berkemampuan untuk menarikmu dengan zat-zatnya, dan lemah sekali untuk membagi-bagikan kesan dan lemah pula untuk mempengaruhimu dengan segi-segi yang mencerai beraikan. Hanya Allah sajalah Zat Yang Maha Suci yang dapat menghimpun kemauan kerasmu kepada Nya. Dan menyatakan Nya di balik cela-cela sesuatu itu yang dapat melenyapkan zat-zatnya dan zat dirinya.

 

Adapun Penyaksian, maka ia adalah : “Penghapus leburan segala sesuatu dengan tata laksana ke dalam Nur Illahiat yang melimpah ruah yang meliputi segala-galanya, dan itulah yang kami istilahkan “Penyaksian dengan Hati”.

KITAB AL MAWAKIF WAL MUKHOTOBAT : 18.. BERDIRI DI ANTARA KEDUA “TANGAN ALLAH”

Karya Muhammad Bin Abdul Jabbar Al-Niffari (AL NIFFARI)

“Bila engkau didatangi Kalam (pena), lalu ia mengatakan kepadamu : “Ikutlah aku! Ketahuilah yang berada di sisi ilmu itu adalah Aku, hendaknya mendengar daripada Ku, akulah yang menggariskan rahasia-rahasia itu. Hendaklah engkau menyerahkan diri pada Ku saja, tidaklah engkau dapat melangkahi Aku dan mencapai Ku, maka katakanlah kepada “Kalam”. Enyahlah daripadaku hai kalam! Yang menyatakan aku adalah yang menyatakanmu, dan yang memeperlakukan aku adalah yang memeperlakukan engkau, yang menciptakan aku adalah yang menciptakanmu. Daripada Nya aku mendengar dan daripada mu, kepada Nya aku berserah diri, dan bukan kepadamu.

 

Jika ku dengar ucapanmu, niscaya aku terhijab, bila ku serahkan diriku padamu, niscaya aku menjadi lemah, bila aku mengikutimu nicaya akau jatuh di perbatasan dan menemui beberapa persimpangan yang tidak menetu jurusannya.

 

“Bila mendatangi engkau Arasy... dengan serba kemegahannya yang memepesonakan, diiringi pula oleh para Malaikat yang tak henti-hentinya bertasbih, lalu engkau di panggil ke arah dirinya, maka sahutilah panggilannya itu “Enyahlah engkau wahai Arasy! “Perhatianku bukan di sisimu” dan “berdiriku di sekitarmu!.

 

. Perhentianku di sisi Allah yang menciptakan dirimu, dan Ia lebih besar daripadamu di dalam arena ke Agungan dan Keindahan, lebih memukau dari keindaanmu dalam tingkatan perhiasan, maka berdirimu karena pertolongan Nya, engkau berhujat kepada Nya, memerlukan bantuan Nya.  Adapin Dia maka Dia berdiri dengan Zat Nya; Jamal Nya daripada Nya; Keindahan Nya dari pada Nya. Keagungan Nya daripada Nya, tiada dari selain Nya.

 

“Bila engkau berkehendak supaya jangan ada sesuatupun yang melintas kepadamu selain Ku, dan bila engkau berhasrat ke luar (melepaskan diri) dari segala yang nyata, maka hendaklah engkau berdiri di dalam ketiadaan (anafi) di ambang pintu  (“LA”) (tiada) Ilaha illallah (Tuhan melainkan Allah) dan ketahuilah, bahwa “an-nafi” tidak akan tercapai kecuali dengan Ku. Aku nanti yang akan menafikanmu daripada yang lain-lain dan Ku isbathkan engkau dengan karunia Ku dalam bertetangga dengan Ku dan di sisi Ku”.

 

“Hendaklah engkau berdiri di Hadirat Ku, bukan untuk mendengar daripada Ku, dan bukan untuk mendapat tahu daripada Ku, dan bukan untuk saling bertutur kata, tetapi hanyalah untuk saling pandang-memandang, tetapkanlah pendirianmu dalam pendirian ini hingga tiba saatnya Aku bersabda kepadamu, Maka apabila Aku bersabda hendaklah engkau menangis, menyesali sabda-sabda Ku yang termakan oleh usiamu yang telah lanjut berlalu.

 

“Bila engkau telah berdiri di Hadirat Ku, jangan hendaknya engkau keluar dari maqammu, sehingga andaikan engkau dijumpai, di kala menyaksikan Aku, oleh runtuhnya langit dan hancurnya bumi, engkau akan tetap juga dan tidak akan pergi menyingkir”.

 

“Bila engkau telah mengenal, bagaimana engkau berdiri di antara ke Dua Tangan Ku, demi untuk Zat Ku dan Wajah Ku semata, bukan untuk keperluan apapun, baik dari pembicaraan maupun tutur kata Ku, maka sesungguhnya engkau telah mengenal ka Agungan Hadirat Ku”.

 

“Dan barang siapa sudah mengenal akan ke Agungan Hadirat Ku, akan Ku haramkan apapun selain Ku, dan akan Ku jadikan menjadi ahli pemeliharaan Ku”.

 

“Bila engkau di datangi oelh pendatang (A Warid) yaitu Khatir Rabbani (lintasan hati yang datang dari Tuhan), maka hendaklah engkau ucapkan :

“Yaa man auradal waarida asy hidnii malakuuti birrikafii dzikrika wadziqnii khanaana dzikri kafii isyhaa dika”

“Wahai Allah yang mendatangkan Al Warid, persaksikan padaku ke Agungan kasih sayang Mu dalam zikirku kepada Mu, dan anugrahilah padaku rasa kerinduan dalam zikirku kepada Mu dalam engkau mempersaksikan.

KITAB AL MAWAKIF WAL MUKHOTOBAT : 17. MASUKLAH PADA “KU” SEORANG DIRI

 Karya Muhammad Bin Abdul Jabbar Al-Niffari (AL NIFFARI)

“Hendaklah engkau bekerja tanpa melihat pekerjaan itu :

Hendaklah engkau bersedekah tanpa memandang sedekah itu!

Engkau melihat amal perbuatanmu walau baik sekalipun, tidak layak bagi Ku untuk meandangnya, maka janganlah engkau masuk kepada Ku dengannya.

 

Sesungguhnya jika engkau datang kepada Ku berbekal amal perbuatanmu, maka akan Ku sambut dedatanganmu dengan penagihan-penagihan dan perhitungan. Dan jika engkau mendatangi Ku dengan ilmu pengetahuanmu, maka Ku sambut dengan tuntutan. Dan jika engkau mendatangiku dengan makrifat, sambutan Ku adalah Hujat, sedang hujat Ku lebih utama dan lebih seharusnya.

 

 Hendaklah engkau singkirkan ikhtiar (memilih), niscaya pasti Aku singkirkan tuntutan. Hendaklah engkau lepaskan ilmu pengetahuanmu, amal perbuatanmu, makrifatmu, sifatmu, namamu dan dari segala yang nyata, supaya dengan demikian engkau bertemu dengan Ku seorang diri.

 

Bila engkau menemui Ku, dan ada di antara Ku dan antaramu sesuatu dari kenyataan-kenyataan itu, sedangkan Aku-lah yang menciptakan segala yang yang nyata, Aku lebih dahulu menyingkirkan daripadanya, demi cinta.. guna mendekatimu, maka janganlah engkau membawa kenyataan-kenyataan dalam menemui Ku, jika masih saja demikian halmu, maka tiada kebaikan daripadamu.

 

Jika engkau mengethaui di kala engkau masuk kepada Ku, pastilah engkau akan memisahkan diri dari para Malaikat, sekalipun mereka itu saling bantu-membantu kepadamu, karena keenggananmu maka hendaknya jangan ada lagi penolong selain Ku.

 

Jangan engkau melangkah ke luar dari rumahmu tanpa mengharapkan keridaan Ku, karena Aku-lah yang bakal menunggumu dan menjadi petunjukmu.

 

Temuilah Aku dalam kesendirianmu, sekali atau dua kali sehabis menyelesaikan shalatmu, niscaya Ku jaga malam dan siang harimu, Ku jaga pula hatimu, Ku jaga pula urusanmu, juga kemauan kerasmu.

 

Tahukah engkau bagaimana hendaknya engkau datang menjumpai Ku seorang diri? Hendaknya engkau melihat tibanya Hidayah Ku kepadamu, karena kemurahan Ku bukan karena amalmu engkau memperoleh pengampunan Ku dan bukan pula oleh ilmu pengetahauanmu.

 

Serahkanlah kembali kepadaku buku-buku ilmu pengetahuan, dan catatan-catatan amalmu, niscaya Ku buka kedua tangan Ku, Ku terima dan Ku buahkan dengan keberkahan Ku dan Ku lebihi dengan kemurahan Ku”.

KITAB AL MAWAKIF WAL MUKHOTOBAT : 16. SETIAP YANG BERBEKAL AKAN TERKALAHKAN

Karya Muhammad Bin Abdul Jabbar Al-Niffari (AL NIFFARI)

Aku ditegakkan berdiri di atas permukaan laut, maka kulihat bahtera demi bahtera saling tenggelam, yang tersisa hanya keping-keping papan yang berserakan di sana-sini” Kemudian tiba saatnya papan-papan itu tenggelam juga. Lalu Dia berseru kepadaku : “Tiada satupun yang naik di permukaan laut itu akan selamat, dan setiap yang berbekal akan terkalahkan”.

 

Ia pun berseru pula : “Barang sapa yang mau menerjunkan dirinya dan tidak mau naik, berarti mau menghadang bahaya”.

 

Lanjutnya : “Siapa yang naik juga dan tidak mau menempuh bahaya, niscaya akan binasa!”.

 

Dan kata Nya : “Dalam menempuh bahaya masih ada sebagian darapan dari keselamatan”. Dan ombak yang ketika itu datang menggunung menganggkat pula apa-apa yang ada di bawah permukaan laut dan dihempaskan ke tepi pantai.

 

Lalu kata Nya : “Cahaya terang di atas permukan laut tak dapat di capai, dan dasar laut yang gelap gulita tak dapat dikuasai, dan di antara keduanya ikan-ikan juga tidak dapat terjamin keselamatannya”.

 

Dan lanjut Nya pula : “Jangan engkau naik ke permukaan laut, maka Aku akan menghijabmu dengan bekal bawaanmu sendiri dan jangan pula terjun ke dalam laut, yang demikian halnya sama saja; Aku tetap akan menghijab dengannya”.

 

Lalu kata Nya kepadaku : “Di laut itu ada batas-batas, maka yang mana yang akan mendukungmu?”.

 

Dan kata Nya : “Bila engkeu merelakan dirimu pada lautan, lalu engkau terjunkan dirimu ke dalamnya, tidak yang demikian menjadikan dirimu sama dengan hewan laut”.

 

Dan kata Nya : “Terperdayalah engkau! Jika Aku menunjukan engkau atas selain Ku!”

 

Kata Nya pula : “Bila engkau membinasakan dirimu berkorban untuk selain Ku, maka engkau adalah bagi siapa yang engkau rela berkorban itu”

 

Dan kata Nya : “Dunia itu bagi barangsiapa yang Ku singkairkan jauh daripada dunia, dan bagi barangsiapa yang Ku singkirkan dunia itu daripada dirinya; Dan akhirat itu bagi barangsiapa yang Ku datangkan untuk menghadap (mendekat) kepadanya, dan Ku jadikan pula ia suka menghadap kepada Ku”.

KITAB AL MAWAKIF WAL MUKHOTOBAT : 15. KHUSUS DAN UMUM

Karya Muhammad Bin Abdul Jabbar Al-Niffari (AL NIFFARI)

Allah berseru kepada hamba-Nya. (Pahami QS.Al-Insylqaq 84.6).

 

“Bukanlah suruhan Ku yang berupa ilmu pengetahuan yang Ku tujukan kepadamu, dari jurusan hatimu, itu untuk memindahkan kedudukanmu dari umum kepada khusus.

 

Bukan pula di kala Aku memerintahkan kepadamu untuk membuang segala apa yang Ku berikan padamu berupa ilmu-ilmu dan pengetahuan-pengetahuan itu demi kegairahan Ku atasmu. Dan bukan pula supaya Aku memilihmu untuk diri Ku. Itu semua adalah agar engkau keluar daripada makrifat kepada penyaksian, dan dari khusus yang tingkat khususnya khusus, supaya negkau utuh untuk Ku, sebagaimana Aku menjadi untukmu, menjadi sasaran pandanganmu dan engkau menjadi sasaran pandangan Ku”.

 

“Tiada lagi antara Ku dan antaramu batas pemisah sesuatu pun, baik nama-nama Ku, atau ilmu-ilmu Ku apalagi nama-nama atau ilmu-ilmumu”.

 

“Hendaklah engkau titipkan namamu kepada Ku sampai tiba saatnya Aku menjumpaimu dengan (nama). Jangan ada lagi antara Ku antaramu nama, ilmu dan makrifat yang membatasai, maka untuk Hadirat Ku telah Ku bentuk engkau bukan untuk hijjab. Maka pada Hadirat Ku tidak satupun lagi yang mampu menguasaimu, karena sesungguhnya engkau adalah kemudian daripada Ku, dan sesuatu apapun yang Ku nyatakan adalah kemudian daripadamu”.

KITAB AL MAWAKIF WAL MUKHOTOBAT : 14. TENTANG “JAUH DAN DEKAT”

Karya Muhammad Bin Abdul Jabbar Al-Niffari (AL NIFFARI)

Hai hmba! “Berulang kali Ku perkenalkan diri Ku padamu, tetapi engkau belum juga mengenal Ku, hal yang demikian berarti engkau menjauhkan diri daripada Ku. Engkau sudah mendengar tutur-kata Ku dari lubuk hati sanubarimu, tetapi engkau belum juga mengetahui bahwa itu adalah kata-kata Ku, hal yang demikian sama halnya engkau telah menjauhkan diri daripada Ku”.

 

“Engkau dapat melihat dirimu, sedangkan Aku lebih dekat dari dirimu, itulah pengertian menjauh yang sebenarnya”.

 

Hai hamba! “Engkau akan tetap tinggal terhijab dengan hijab tabiatmu sendiri; Sekalipun telah Ku ajarkan padamu, ilmu pengetahuan Ku, dan kerap juga engkau mendengarkan kata-kata Ku, hingga engkau berpindah kepada kedudukan bekerja dengan Ku”.

 

Adapun si Waqif (Yang berhenti dan berdiri tegak di Hadirat Ku) maka ia telah memasuki tipa rumah, maka tiada lagi rumah-rumah yang dapat menampungnya; ia sudah merasakan segala macam minuman tetapi masih tetap merasa dahaga; lai ia sampai ke pada Ku, dan Aku adalah tempat tinggalnya, dan di sisi Ku adalah tempat penghentian dan berdirinya.

 

Al Waqwah (penghentian untuk berdiri tegak di Hadirat Allah), adalah di balik apa yang dikatakan, dan makrifat itu adalah puncak yang di katakan, sedangkan ilmu pengetahuan itu adalah apa yang dapat di katakan.

 

“Bila engkau melihat selain Ku, takan dapat lagi enggkau melihat Ku”

“Jangan putusa harapan daripada Ku... Andaikan engkau datang kepada Ku dengan segala ucapan dan tutur kata yang buruk, maka ampunan Ku lebih besar lagi. Dan jangan pula engkau bercanda dan berani pula kepada Ku. Andaikan engkau mendatangi Ku dengan semua uacapanmu dan tutur katamu yang baik, tentu hujat Ku lebih utama”.

KITAB AL MAWAKIF WAL MUKHOTOBAT : 13. PENGLIHATAN

Karya Muhammad Bin Abdul Jabbar Al-Niffari (AL NIFFARI)

Allah berseru kepada hamba-Nya. (Pahami QS.Al-Insylqaq 84.6).

 

Hai hamba! “Menundukan kepala ke bawah, adalah merupakan lalu-lintas dunia dan akhirat, dan melepaskan pandangan adalah merupakan penjara dunia dan akhirat (penglihatan adalah laksana penjara dunia dan akhirat dalam arti jika penglihatanmu engkau menjadikan sedemikian rupa, memandang wajah ayu dan cantik, maka di balik wajah ayu dan cantik terbukalah pintu penjara dan engkau menjadi budaknya, maka engkau akan luput kehilangan arah dari dunia dan akhirat)”.

 

“Orang yang menoleh ke kanan dan ke kiri sudah tidak layak lagi berjalan bersama Ku (karena dia sudah disibukan oleh pikirannya yang tidak menyatu lagi, sudah bercerai berai dan tidak lagi mendengar kata-kata Ku)”.

 

Hai hamba ! Perihalah hatimu dari jurusan matamu, kalau tidak, maka engkau tidak lagi dapat memeliharanya untuk selama-lamanya”.

 Hai hamaba! Peliharalah matamu, niscaya Ku jaga hatimu (Yakni Ku pelihara hatimu dari ketidaktetapan dan ketidakmantapan)

“Jagalah syahwatmu, niscaya Ku cukupi hajatmu”

 

“Peliharalah kedua matamu serta serahkan dan tinggalkan kesemuanya pada Ku... bila telah engkau pelihara kedua, niscaya terpeliharalah hatimu dalam puri kerajaan Ku (yakni sudah tidak lagi terpengaruh oleh perbagai macam yang menarik perhatianmu, dan tidak lagi tergoda dari ketidaktetapan dan ketidak mantapan, dan engkau Ku beri kemampuan untuk mengarahkan dan menghimpun tekad yang kuat dan kemauan yang teguh. Itulah yang Ku maksudkan dengan puri kerajaan Ku)

 

Hai hamba! “Jangan engkau memandang apapun yang Ku perlihatkan padamu dengan pandangan terpesona yang akan menyerumu kepada rasa kepuasan, dan janganlah engkau merendahkan diri terhadap pada sesuatu pun. Jika engkau telah terpesona melihat selain Ku, lalu engkau merasa tergoda, maka katakanlah :

“YA Tuhan... inilah ujian Mu! Maka Aku akan merahmatimu!”

KITAB AL MAWAKIF WAL MUKHOTOBAT : 12. DENGARKAN ISI PERJANJIAN PENGANGKATANMU

Karya Muhammad Bin Abdul Jabbar Al-Niffari (AL NIFFARI)

Aku ditegakkan berdiri di antara kedua tangan Nya; lalu ia berseru :

“Tiada kufitrahkan padamu agar engkau tunduk kepada ilmu pengetahuan, tiada pula Ku didik engkau agar berdiri di depan pintu-pintu selain pintu Ku; tida pula Aku mengambil kawan duduk semajelis agar engkau mengajukan permohonan pada Ku untuk duduk bersama selain Ku. Hendaklah engkau ketahui siapakah engkau, maka pengetahuanmu tentang dirimu adalah merupakan suatu peraturan bagimu yang tiada akan roboh, dan suatu ketenangan untuk mu yang tiada akan lenyap”.

 

“Engkau adalah hamba K”.

“Engkau hidup dengan Ku, karena tiupan roh Ku, dan kepada Ku engkau kembali, dan dengan Ku engkau akan bangkit, dan kepada Ku engkau bernasab. Ku ciptakan engkau agar engkau menjadi tatapan pandangan Ku, dan engkau akan menjadi pengurai Nama-nama Ku; Ku ciptakan dunia ini untukmu dan pula Ku sujudkan kepadamu; dan Ku ciptakan segala sesuatu demi engkau, Ku bentuk engkau demi Aku supaya engkau menjadi ahli Hadirat Ku; Ku pilih engkau demi kemuliaan himpunan Ku; Ku gemarkan engkau bersama Ku; Ku fitrahkan engkau sesuai dengan gambaran Ku”.

 

Dengarkan perjanjian wilayahmu (Pengankatanmu) :

“Jangan engkau bertakwil atas Ku dengan menggunakan ilmu pengetahuanmu, taatilah hukum-hukum Ku tanpa takwil dan tanpa saling berbantah.

 

Janganlah engkau menjarak daripada Ku... demi untuk kepentinganmu sendiri... manakala engkau keluar, hendaklah keluar kepada Ku; dan engkau masuk, hendaklah mesuk pula kepada Ku; dan engkau tidur, maka tidurlah dalam penyerahan kepada Ku; dan bila engkau bangun, maka hendaklah engkau bangun penuh dengan rasa tawakal kepada Ku; dan bila engkau makan hendaklah engkau menyadari bahwa makananmu itu dari tangan Ku; dan bila engkau minum, hendaklah engkau menyadari pula bahwa engkau meneguk minuman dari tangan Ku”.

 

“Mohonlah pertolongan dengan berdo’a kepada Ku, agar engkau bisa tegak berdiri di dalam maqammu di antara kedua tangan Ku... Kalau tidak ... maka diammu itu menyeru kepadamu tentang apa-apa yang telah diketahui perihal dirimu, maka waspadalah engkau kepada Ku, jangan sampai diammu itu menjadi seruan kepada dirimu, sedangkan engkau mengesankan bahwa diammu itu adalah taqarub (berhampir diri) kepada Ku”.

 

“Bagaimana engkau melepaskan pendanganmu ke arah langit dan bumi, matahari dan bulan, dan kepada segala sesuatu apapun, sedangkan engkau telah mengetahui, bahwa kesemuanya itu terang dan nyata daripada Ku.

 

Kesemuanya itu mensucikan diri Ku dengan menyampaikan puja-pujiannya kepada Ku dan mengucapkan kata tulus “Laisa Kamitslihi Syai’un... Tiada satu pun yang menyamai Nya”... Janganlah engkau menyingkir dari patokan pandangan yang demikian ini, agar tidak dirampas oleh pandangan-pandangan lain. Dan  jangan lupa engkau mengeluarkan sifatmu dari cara memandang yang demikian, karena nantinya engkau dirampas oleh sifatmu sendiri”.

 

“Bila engkau tidak melepaskan sifatmu keluar dalam pandangan ini, akan ku tan engkau akan menulis atas dahimu wilayah Ku (pemeliharaan Ku), dan akan engkau saksikan bahwa sesungguhnya Aku berada bersamamu di mana pun engkau berada. Dan akan ku dudukan engkau di dalam maqam ishmad (maqam yang tidak luput dalam penjagaan Ku), dan akan Ku tetapkan engkau dalam sopan santun dari segala syahwat keinginanmu, dan engkau kan merasakan malu untuk selalu berada di dalam tata cara adat-isitadatmu”. SesungBahwa syahwat-syahwat itu menjadi hijab penutup atasmu untuk menguji kecintaanmu, maka jika engkau menetapkan pilihan kepada Ku dan tidak memilih keinginan-keinginan lain, niscaya ku ungkapkan untukmu zatmu sendiri dan tiada lagi Aku menutupi engkau dengan aneka keinginan-keinginan syahwat. Ketahuilah, bahwa syahwat itu mendatangi engkau melalui jasad tubuhmu. Adapun zatmu maka Ku ciptakan atas dasar suci murni tiada condong melainkan hanya kepada Ku sendiri”.

 

“Katakanlah pada lubuk hati nuranimu, agar berdiri tegak di anatara kedua tangan Ku, tiada dengan sesuatu dan tiada pula untuk sesuatu, niscaya Ku bangun mahligai yang sangat besar di belakangmu, dan kekuasaan agung di bawah kedua telapak kakimu.

 

Hendaklah engkau memohon bantuan hanya dari Ku sahaja, jangan dari Ilmu Ku, dan jangan pula dari dirimu, dengan demikian engkau menjadi hamba Ku, berada di sisi Ku dan dapat pengertian perihal Ku.

 

Hendaklah halmu menjadi demikian laksana TUHAN YANG HADIR, dalam alam semesta yang gaib dan pudar. Maka inilah hiasan sifatnya barang siapa yang aku malu daripadanya”.

KITAB AL MAWAKIF WAL MUKHOTOBAT : 11 SOPAN SANTUN BERTUTUR KATA BERSAMA ALLAH

Karya Muhammad Bin Abdul Jabbar Al-Niffari (AL NIFFARI)

Hai hamba !! Janganlah engkau menentukan dan menguraikan apa-apa yang menjadi keperluanmu, tetapi hendaklah engkau menyembunyikannya, lalu ucapkanlah :

“YA Tuhan, tengoklah hambamu ini yang berdatang sembah dalam keadaan durhaka penuh dosa,... tolonglah akan daku dalam urusanku, dakulah semua kemalangan itu,,,, hanya Engkaulah yang dapat memilih mana yang baik untukku; dakulah yang bodoh terhadap masalahku di antara kedua tangan Mu. Hindarkanlah daripadaku tindak memilih atas-Mu”.

 

Hai hamba! “Tindak memohon kepada Ku hendaknya diiringi dengan pernyataan yang bijak... maka akan ku perlihatkan kepadamu apa yang selama ini engkau sembunyikan dan apa yang engkau nyatakan ... katakanlah;

 

“Ya Tuhan! Daku bersama Mu sahaja, agar tiada satu pun menyambarku dan ditarik mejauh dari Mu, daku bersama Mu sahaja, agar tidak mengenal selain Mu; ,,, Jadikanlah daku melihat Mu untuk selama-lamanya; Ku mohon apa yang Engkau Ridloi...Anugrahkanlah daku kecintaan pada Mu”.

 

“Ya Tuhan!! Daku memohon dengan segala kerendahan dan sepenuh hati, dapatlah daku menjadi hiasan antara kedua tangan Mu; pakaikan untuk ku pakaian indah yang menjadi hamparan tibanya karunia Mu; Jadikanlah pula daku selalu memandang Mu menurut kehendak dan kemauan Mu dan menjadi sasaran gairah cemburu Mu”.

 

Hai hamba! Ucapkanlah kata-katamu dengan penuh rasa penyesalan!

“Tuhanku yang melihat akan daku, maka bagaimanakah daku melihat selain Nya.

 

Telah daku lihat pula daku saksiskan, maka sekali-kali daku tidak melihat Nya; daku bersenang-senang dan bergembira ria, maka sekali-kali daku tidak melihat Nya; daku murung, daku bersedih, maka sekali-kali daku tidak melihat Nya; daku lapar dan menanggung derita, maka sekali-kali daku tidak melihat Nya; daku kenyang tidak juga sekali-kali daku melihat Nya... daku menyembah pada Nya; maka sekali-kali tidak juga melihat Nya”.

 

“Oh Tuhanku! Kemanakah seharusnys daku pergi?  Sedangkan Engkau yang melakukan segala tindak”.

 

“Tutur kata siapa lagi yang hendak daku dengarkan, bukankah setiap lesan mengucapkan tutur kata Mu?  Dengan siapa pula daku menggabungkan diri dalam himpunan?  Sedangkan Engkau berada di setiap himpunan”.

 

“Tak pelak lagi ya Tuhan, Engkau berada di setiap mata yang melihat”.

KITAB AL MAWAKIF WAL MUKHOTOBAT : 10. RAHASIA

Karya Muhammad Bin Abdul Jabbar Al-Niffari (AL NIFFARI)

As-sir (rahasia), adalah laksana sesuatu yang terselubung dalam kelembutan dan kehalusan, yang tersembunyi di dalam diri manusia, halnya seperti keadaan roh, hati dan matahati.

 

Kami biasa mengucapkan : “Naiknya sudah sampai pada pencapaian Rahasia Tuhan;  ucapan ini rumus untuk sebutan maut, yakni keluarnya roh dari tubuh.

Dan Allah berseru kepada hamba-Nya :

Hai hamba!!” Sir mu yang tersembunyi itu berkekuatan melebihi kekuatan bumi dan langit.

 

Sir mu dapat memandang tanpa biji mata, mendengar tanpa daun telinga, Sirmu tidak bertempat tinggal di dalam rumah-rumah dan tidak pula makan buah-buahan”. Sirmu tidak mengenal malam dan tidak mengembara di siang hari”.

 

“Sirmu tidak diketahui oleh akal dan pikiran, dan tidak pula berhubungan dengan hukum sebab-akibat.”.

“Sirmu hidup dalam abad demi abad, sedang jasadmu hidup dlam waktu yang ditentukan”.

“Aku berada di belakang sirmu;.. Pengetahuan sirmu tidak mengetahui akan Daku, dan isyarat-isyarat sirmu tidak sampai menyaksikan Daku”.

“Bila telah engkau yakin tentang sirmu, maka engkau bukan lagi engkau.... sedangkan engkau-engkau itu adalah tetap engkau”.

“Engkau daripada Ku”.... “Engkau kemudian daripada Ku”

‘Sedangkan segala sesuatu di alam wujud ini datangnya kemudian daripadamu dapat mengalahkan engkau asalkan engkau mengenal kedudukanmu dan membiasakan (melazimi) duduk di dalam maqammu, maka yang demikian itu engkau lebih kuat dari kandungan huruf dan asma; lebih kuat dari segala apa yang nyata di dalam dunia dan akhirat”.

 

“Jika engkau telah meyakini akan sirmu, maka yakin pulalah engkau akan Daku; daripada Ku lah adanya segala sesuatu. Akulah yang menyatakan segala sesuatu; Akulah yang DIA itu AKU”.

 

“Aku tidak berada di dalam sesuatu, dan aku berlepas diri dari pada sesuatu, dan tidak pula Aku berdiam di dalam sesuatu; dan tidaklah Aku di dalam Aku, dan tidaklah Aku daripada siapa pun, dan Aku tidak terjawab oleh pertanyaan “Bagaimana?? Dan tidak pula oleh ucapan tanya “Apa” pun”.

 

“Aku adalah Yang Maha Esa, Maha Tunggal dan menjadi kembalinya segala macam pinta (Shomad) tidak ada yang dapat menyatakan adanya menjadi nyata selain Ku”.

“Aku telah mendhahirkan alam semesta, yang bersifat teguh-tetap (alam benda) dan apa bila Aku bernyata niscaya Aku akan melenyapkannya, dan apabila Aku berkehendak; niscaya Aku mengembalikannya kepada mendahirkannya pula dengan pakaian-pakaian sementara , serta aneka ragam logam-logam yang terdapat di mana-mana (Yakni pakaian ruang dan waktu ... masa dan mana).

 

“Maka peliharalah batasmu antara Ma’nawiyah dan tsabatiyah (yang tidak tetap dan yang tetap) antara roh dan jasad.

 

“Segala sesuatu akan dituntut oleh dari mana ia berasal (jasad barasal dari tanah, maka tanah itu akan menuntut) dan tiadalah Aku dengan sesuatu, maka sesuatu itu akan berkhusus dengan Ku; Tiadalah Aku ditentukan, dan sesungguhnya Aku mutlak (bebas)”.

KITAB AL MAWAKIF WAL MUKHOTOBAT : 9. ILMU PENGETAHUAN

 Karya Muhammad Bin Abdul Jabbar Al-Niffari (AL NIFFARI)

ILMU adalah merupakan satu upaya untuk mencapai sesuatu yang terdiri dari bagian-bagian dalam ulah lingkungannya, dan penempuhannya diperlukan adanya gerak dan perjalanan disertai tata tertib dan peraturan-peraturannya yang tertentu yang ada padanya; Yaitu ilmu pengetahuan yang membahas tentang ketentuan-ketentuan.

 

-          Bilmaqadir = tentang kadar banyaknya.

-          Alkammiyat = dan tentang hubungan-hubungannya

-          Al ‘ilaqat = Akan tetapi ilmu itu agak lemah terutama untuk mencapai teka-teki yang memerlukan pemecahan, “Apakah ini dan apakah itu (Almahiyat), dan pula untuk mencapai hakikat-hakikat yang ada taraf kesudahannya. Dan ilmu itu dalam persoalan ini kedudukannya tidak lebih dari alat yang kurang mempunyai kesempurnaan yang malahan kadang-kadang menyesatkan.

 

Al Imam An Nafri berkata :

“Ilmu itu sendiri merupakan tirai penutup atas apa yang sudah menjadikan pengetahuannya; yang seyogyanya tidak demikian halnya.

Seorang yang banyak berilmu (“Ulama) terdinding oleh kesadarannya sendiri, sama halnya dengan si dungu terdinding oleh kelengahannya. Sungguh pun begitu ilmu itu mencerai-beraikan  akal si alim, disebabkan karena ilmu itu terpetak-petak dalam beberapa bidang dan arah tujuan pemikiran”.

 

Ilmu itu sendiri memiliki jalan-jalan dan saluran-saluran, lalu sampai kepada cabang-cabang. Tiap-tiap cabang mempunyai jalan keluar sendiri-sendiri, sampai di sini tidak dapat dielakkan lagi akan terjadinya perselisihan, dan dari perselisihan menjurus ke arah kesesatan.

 

Akal, setelah mengetahui kesemuanya itu, lalu mengadakan penyaringan di antara pelbagai macam kemungkinan-kemungkinan, maka terperosoklah ia ke dalam aneka ragam kesimpang-siuran.”.

 

Dan Allah dalam seruan-Nya menyampaikan :

“Seorang yang berilmu masih dalam ikatan serba dua “Menyaksikan dan disaksikan”, begitu pula halnya seorang pengenal (Arifin) ... yang tidak... dan yang lain halnya... adalah seorang Waqif di Hadirat Ku (orang yang berdiri tegak di tempat penghentian pencapaian), ia adalah tunggal... karena dia telah sirna (fana) meniadakan ke serba-duaan lagi, menyadari dan kembali pada pribadinya sendiri dalam kesederhanaan dan kesatuannya (ringan lunglai terlepas dari daya tarik apappun dan senyawa-menyatu)”.

 

“Maka seharusnya puncak dari ilmu, akal dan pikiran itu mengembalikan pada kedudukan asalnya dari segi bagian-bagian dan kenyataan-kenyataan kepada Yang “SATU” ialah Allah Maha Penciptanya. Dari sini bertolak ke arah pengenalan (Makrifah) baru dapat disebut orang arif. Tetapi pandang pengenalan seorang sufi jauh dari kesemuanya ini, lebih tinggi menjulang dan tidak menilai ilmu, karena pengenalannya kepada Allah semata-mata, makrifat yang tunggal, mengenal ke Esaan-Nya, dalam sifat-sifat-Nya, Asma-Nya, Af-al-Nya, Taqdis-Nya dan ke Maha Sucian-Nya”.

 

Selanjutnya Allah berseru :

Hai hamba yang berilmu! “Bilamana ilmumu dapat melepaskan engkau dari ilmu mu, maka engkau akan tiba pada perjalanan pengenalan (Makrifat), tetapi kalau engkau menyatu dengan ilmu mu, maka ilmu itu akan menjadi penghijab bagimu; Dudukkan ilmu itu pada tempat yang seyogyanya menjadi penghantar ke arah makrifat dan bukan engkau yang menyatu dengan ilmu mu”.

 

“Setelah engkau tiba di ambang pintu makrifat, dan memasukinya, maka engkau akan terheran-heran dan menginsafi kebodohanmu di hadapan Zat Illahiat dan inti mula pertamanya.

 

(Kunhiha) serta apa sebenarnya DIA (Manhiat) terungkaplah di sini lunglainya pencapaian, itulah pencapaian dan kedunguan adalah puncak makrifat, maka terhujamlah dalam sanubarimu akan arti sebenarnya dari “ Tiada satupun yang menyamai-Nya”.

 

Seorang sufi mewejang : “Kebodohan, kedunguan adalah tirai penutup yang asli dan tak mungkin tersingkap tentang Zat Ilahiat, kecuali pada Hari Kebangkitan (Kiamat) kala seorang hamba dikehendaki-Nya untuk memandang dengan pandangan mata.

 

Adapun sebelum itu maka tiadalah mungkin melihat Allah dengan terang-terangan, dan apa yang dialami seorang abid ialah menyaksikan Allah pada sesuatu yang di dalamnya terdapat bekas dari tangan pembuatnya, ayat-ayat-Nya, hikmah-Nya, tadbir-Nya (yang diuraikan-Nya). Dan itu merupakan penglihatan akal serta matahati atau melihat Nur-Nya.

Adapun Zat, akan tetap tinggal terselubung oleh selimut gaib yang mutlak.

 

Dan di kala seorang abid mencapai puncak makrifat, maka ia menyadari akan kebodohannya di hadapan Zat itu; Dan menyadari pula akan kelemahan semua usaha-usaha dan cara-cara yang selama ini diandalkan; ia akan memulai perjalanannya kepada Allah dengan menempuh penyaksian. Maka akan keluarlah ia dari alam nyata selain Allah. Keluar dari ilmunya, amalnya, makrifatnya, sifatnya, namanya dan juga keluar huruf dan ibarat, dan apa saja yang diibaratkan oleh huruf dan oleh ucapan ibarat.

 

Dengan pelepasan, penanggalan segalanya itu tadi adalah pintu untuk mencapai “Penglihatan” serta jalan masuk menuju “Hadirat-Nya” dan penghentian jalan terakhir dari “penyaksian” maka ia masuk didorong oleh kekuatan cahaya yang menetap (tidak membiarkan dan tidak meninggalkan).

 

Yang demikian adalah, apa yang diuraikan dalam gambaran seorang sufi “Penglihatan hati (Ru’yah Qolbiah) terhadap Zat yang tertutup terselubung dan terhijab dengan Nur demi Nur-Nya; dan itu merupakan permulaan disertai kenyataan yang dikawani oleh poros tempat persembunyian segala sesuatu dan (dikawani) pula oleh keadaan dari kelenyapan yang sepenuh-penuhnya... tiada sesuatu... selain Nur itu.

 

Ketahuilah bahwa Nur itu bukanlah Zat, tetapi hanyalah suatu ayat (tanda bukti) dari sekian banyaknya tanda-tanda bukti, dan juga sebagai hijab dari sekian banyaknya hijab-hijab dan juga isim dari berbagai Asma-Nya (nama-nama-Nya) dan Asma adalah hijab atas yang bernama dan yang dinamai.

 

Dan ini bukanlah penyaksian pandangan mata. Dalam hal ini penyaksian pandangan mata tidak mungkin sama sekali selagi di dunia ini, dan tidaklah bagi insan yang memiliki bentuk jasad insani. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan dari apa yang terjadi, dan apa yang dialami Nabi Musa As. Yang tidak memiliki daya kemampuan memandang, hingga jatuh pingsan; dan bukit yang dijadikan contoh tidak pula memiliki kemampuan tersebut hingga hancur lumat berbutir-butir,

 

Di dalam Al Qur’an surat Al A’raf 7:143 :

“Dan tatkala Musa datang di tempat yang telah ditentukan, dan Tuhannya berkata-kata dengannya, lalu berkatalah Musa :”Wahai Tuhanku! Perlihatkanlah diri-Mu padaku supaya aku dapat memandang-Mu”. Ia pun berfirman : “Tidak sekali-kali engkau dapat melihatk-Ku, tetapi pandanglah ke bukit itu; jika ia dapat tetap di tempatnya, maka engkau akan melihat pada-Ku”, Maka tatkala Allah “memperlihatkan diri” kepada bukit tadi, bukit itupun hancur luluh menjadi lumat dan jatuhlah Musa dalam keadaan tak sadar diri. Maka tatkala sadar, berkatalah Musa “Maha Suci Engkau! Aku taubat kepada-Mu, dan aku adalah orang pertama yang beriman kepada Mu”.

 

Perhatikan! Musa tidak jatuh pingsan karena melihat Zat Ilahy, tetapi ia baru melihat tajallinya Zat atas sesuatu yang lain, yakni bukit itu, baru tajalli-Ny saja, dapatkah engkau membayangkan betapa mungkin terjadi jika sekiranya Musa melihat Zat-Nya.

 

Dalam ilmu penegtahuan insani terdapat segi tantangan, karenanya setiap sesuatu tujuan pemikiran diiringi oleh pemikiran akal yang menguraikan kebalikannya. Demikian juga kejahilan insani, yang di dalam kejahilannya terdapat tantangan (dari kebalikannya). Tidak demikian halnya dengan ilmu pengetahuan Rabbani (Ilahy) yang Ladunni (Ilmu yang didapat langsung dari Alloh), maka ilmu yang demikian, begitu juga kebodohan yang berupa “pengetahuan ketidaktahuan”, maka ia adalah suatu kejahilan yang asli, yang tiada tantangan kebalikannya, karena kejahilan terhadap Zat Ilahiat adalah merupakan sampainya kepada hakikat yang terakhir, yang berkesudahan (nihaiyah), justru Allah itu Yang Maha Suci (Majhul al-Hawiyah) yang tak dapat diketahui karena tiada siapapun yang menyerupai-Nya (Dan itulah sifat Zatiyah).

 

Allah berseru kepada hamba-Nya :

“Keluarlah engkau dari ilmumu yang kebalikannya adalah kejahilan, keluarlah engkau dari makrifat yang kebalikannya adalah pengingkaran... niscaya engkau akan jinak terhadap apa yang engkau ketahui, Ilmu itu berseteru dengan kejahilan, dan kejahilan itu adalah huruf... kejahilan itu menjadi seteru ilmu dalam kejahilannya terdapat huruf”.

 

Keluarlah engkau dari huruf, niscaya engkau mengetahui ilmu yang tiada seterunya, yaitu Ilmu Rabbani (jika engkau sudah sampai ke taraf ilmu ini), maka engkau akan menjahili suatu kejahilan yang tiada lagi berseteru dengan kejahilan yang berupa pengetahuan. (Al Jahlul Irfani)”.

 

“Jika engkau telah mengetahui suatu ilmu yang tiada seteru, dan jika engkau menjahili kejahilan yang tiada bersetru pula, maka engkau bukan lagi tergolong dari penduduk bumi dan langit”.

 

“Jika engkau sudah bukan lagi menjadi penduduk bumi, maka Aku tidak akan membebani engkau pekerjaan ahli bumi; Juga kalau engkau tidak lagi menjadi peduduk langit, maka Akupun tidak lagi membebani engkau menjadi pekerja ahli langit”.

 

Pekerjaan-pekerjaan ahi bumi adalah keserakahan dan kerakusan, kelengahan dan menghambakan diri pada hawa nafsu dan kepada semua yang nampak di permukaan bumi ini, yang saling kejar mengejar memperebutkan aneka perhiasan. Sedangkan pekerjaan ahli langit adalah Zikir dan ta’dziem (membesarkan Nama Tuhan) dan itulah penghambaan ahli langit terhadap Tuhan, dan itulah yang menjadikan mereka jinak dengan ketenangan kepada Allah.

 

Dan penghambaan itu merupakan hijab yang terdekat, yang mana Aku dari balik-Nya berhijab pula dengan sifat keperkasaan; dan kelengahan itu pun suatu hijab yang jauh, yang mana Aku dari baliknya berhijab dengan semua dan apa-apa yang telah Ku ciptakan dari segala sesuatu saling pengaruh-mempengaruhi.

KITAB AL MAWAKIF WAL MUKHOTOBAT : 8. SEBUTAN “AKU”

Karya Muhammad Bin Abdul Jabbar Al-Niffari (AL NIFFARI)

 “Tidak akan diucapkan kalmiat “AKU” melainkan oleh orang yang berkawan dengan kelengahan dan oleh setiap orang yang terhijab oleh hakikat :

 

Ku, pesona dunia masih mencengkeram dirimu, masing-masing akan menyambar dirimu dengan seruan kepada zat dirinya, engkau masih saja dalam kegaiban yang kelam daripada Ku.

Maka apabila engkau telah melihat “AKU” dan “Aku” pun telah bernyata di hadapanmu, tetapkan keteguhanmu, maka tiada Aku lagi malinkan “AKU”.

 

“Telah ku ciptakan untukmu dan untuk sesuatu menjadi tujuan, antara lain tujuan itu adalah “Cintamu kepada dirimu sendiri” itulah tetesan faham (kalimat) yang engkau warisi, kata-katamu “aku” adalah egomu sendiri (AKU berlepas diri dari anggapan yang demikian). Dan tidak lain Zat itu melainkan kepunyaan Ku, dan tidak lain “Aku” itu kecuali untuk Ku semata. AKULAH yang DIA itu AKU, adapun hakikatmu, bukanlah zat dan bukan pula persoalan, hanya sesungguhnya engkau berada pada pembagian yang bersifat wahami (dugaan), hal ini disebabkan karana caramu berpikir dan pencapaianmu pada pendakian jiwa dan persoalan.

 

Engkau dalam setiap saat terbagi kepada “menyaksikan dan disaksikan”, dua menjadi satu dalam bentuk penyatuan... jiwa yang mencapai dan persoalan yang dicapai... adapun hakikatmu sendiri tersembunyi jauh di balik penyatuan ini, meninggi atasnya, jauh dari segala itu semua. Engkau bukan lagi zat dan penyatuan, tetapi engkau hanyalah roh dari Roh Ku, tiada nisbah bagimu melainkan pada-Ku”.

 

Engkau tidak mengungkapkan hakikat ini, kecuali di kala terangkat daripadamu tirai penutup dan engkau memandang Ku, ketika itulah lenyap keadaan dirimu yang menyatu, penyatuan yang bersifat serba duga (wahami), lalu engkau menyadari atas hakikat dirimu dan engkau dapati dirimu yang sebenarnya yang bukan zat dan bukan pula dari persoalan, tetapi hanya semurni-murninya roh; yang sederhana (Basithah) satu yang tidak terbagi, (Jauhar) tunggal, meninggi, tiada nisbah melainkan kepada Ku, maka engkau tidak lagi mengulangi dan mengatakan “AKU” tetapi mengatakan “Engkaulah Tuhanku”, dan telah engkau ketahui, bahwa “AKU” adalah untuk Ku semata, dan bahwa engkau adalah hamba Ku”.

 

Seruan Allah kepada para arifin : Jikau engkau sudah tiba kepada melihat Ku, maka tidak akan ada tuntutan, dan apabila tidak ada tuntutan maka hilanglah sebab,  dan jika sebab telah musnah maka tiada lagi nisbah, sempai di sini sirnalah hijab”.

KITAB AL MAWAKIF WAL MUKHOTOBAT : . 7 ARTI MAKNA “ISLAM”

Karya Muhammad Bin Abdul Jabbar Al-Niffari (AL NIFFARI)

Allah berseru kepada hamba-Nya. (Pahami QS.Al-Insylqaq 84.6).

“Hendaklah engkau menyerahkan kepada Ku dengan sepenuh hatimu, dan menyerah kepada perantara-perantara dengan tubuhnmu; Supaya engkau bersama Ku dengan kemauan kerasmu, dan bersama selain Ku dengan akal budimu.

 

Maka engkau senantiasa menghimpun kemauan kerasmu atas Ku, tiada bagian bagi selain Ku terhadap dirimu kecuali hanya kehadiranmu bersamanya, dengan akal budimu saja, maka jangan engkau bersukaria atas karunia yang dianugrahkan-Nya kepadamu dan jangan cepat-cepat marah kepada orang yang menyakiti hatimu, jangan pula bermegah karena kejayaanmu dan menepuk dada menyombongkan ilmu pengetahuanmu.

 

Waspadalah, jangan terperdaya terhadap karunia-Ku dan jangan putus harapan karena Ujian dan cobaan Ku, dan jangan jinak bermanja dengan sesuatu selain Ku”.

“Laksanakan saja apa yang menjadi perintah Ku tanpa menoleh ke belakang, halmu jika demikian sama dengan Malaikat Ku yang berkemauan teguh”.

“Bila negkau berlengah-lengah menanti perintah Ku, sedangkan engkau sudah mengetahui, maka hal yang demikian terang-terangan engkau melanggar perintah Ku”.

KITAB AL MAWAKIF WAL MUKHOTOBAT : 6. ARTI AYAT : “Dan Bahwa Hanya Kepada Tuhanlah Kesudahan Segala Sesuatu” (Qs. An Najm 53:42)

Karya Muhammad Bin Abdul Jabbar Al-Niffari (AL NIFFARI)

Allah berseru kepada hamba-Nya. (Pahami QS.Al-Insylqaq 84.6).

“Engkau berhasil mendapatkan segala sesuatu daripada Ku, maka dimanakah kekayaanmu???

“Engkau ku luputkan dari segala sesuatu, maka dimanakah kefakiranmu??

“Aku yang melindungi engkau dari api neraka, maka dimana letak ketenengan dirimu??

“Ku menangkan engkau dari Surga, maka dimana pula letak kenikmatanmu??

“Hanya Aku ketenangan mu, dan di sisi Ku kediamanmu, dan di anatara kedua tangan Ku tempat berdirimu, andaikan engkau ingin mengetahui”.

“Akulah, kesudahn itu”.

“Dan tiada kebahagiaan tana kesudahan itu”.

“Ku ciptakan engkau untuk Ku... berada di sanding Ku... supaya engkau menjadi tatapan pandangan Ku dan Aku menjadi tujuan pandangan mu”.

 

“Aku tidak rela engkau hanya berada dalam kedudukan berdzikir saja, atau ibadah saja, maka Ku dirikan pintu-pintu dan jalan-jalan. Aku sampaikan engkau agar dapat mencapai untuk melihat Ku, sebagaimana ayat di bawah ini :

 

“Hai manusia, sesungguhnya engkau telah bersusah payah dengan kegiatan kerjamu untuk menuju Tuhan mu, maka pastilah engkau akan menjumpai Nya” (QS. Al-Insyqaq 84:6).

Tafsiran dari “Kad khu ilallahi” adalah kerja giat penuh dengan kesungguhan untuk tujuan menemui “Nya”. Tanpa jumpa dengan DIA, tiadalah arti ketenangan dan kebahagiaan.

KITAB AL MAWAKIF WAL MUKHOTOBAT : 5. HURUF

Karya Muhammad Bin Abdul Jabbar Al-Niffari (AL NIFFARI)

Allah berseru kepada hamba-Nya. (Pahami QS.Al-Insylqaq 84.6).

 

Huruf dirangkai menjadi perkataan, dari perkataan menjadi pendapatan; Pendapatan bersama dengan perkataan akan menjadi bilangan. Pendapatan disatukan dengan bilangan perkataan, dan bilangan perkataan disatukan dengan bilangan pendapatan menimbulkan kekuatan magis. Dan atas dasar hukum “Peringatan” hal yang demikian adalah masuk dalam kekufuran.

 

Hukum bilangan kata adalah hukum bantah-membantah (sengketa) yang satu berlawanan dengan yang lain, hal demikian membawa kepada kepiluan dan kecemasan, hal yang demikian adalah kemustahilan belaka dan menjadikan ketergantungan dan ke guncangan.

 

Asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat dan Af’al (perbuatan-perbuatan) adalah hijab belaka atas Zat Ilahiat. Karena sesungguhnya Zat Illahiat itu tidak dapat menerima pembatasan. Zat Illahiat itu berada pada tingkat ketinggian, sedang pelepasan (Penanggalan  -  Tajried) dan Asma’ dan Sifat adalah urut-urutan yang menurun (Tanazzilat).

 

Asma’ dengan zat asmanya berdiri tanpa perbuatan, asma’ dapat berbuat hanya dikarenakan Zat Allah semata. Dan... sesungguhnya persoalannya berkisar bagaikan perkakas dan alat-alat. Dan Huruf di dalam Surga adalah merupakan alat-alat dan perkakas.

 

Para Malaikat yang membangun Mahligai-mahligai dan memancarkan sumber-sumber mata air, yang menciptakan makanan-makanan dan menyediakan minuman-minuman, kesemuanya adalah huruf. Dan huruf itu adalah Maqam (kedudukan) yang diberikan kepada para Malaikat, dan pra Malaikat tiada kesanggupan untuk melampauinya (melangkah lebih dari batas yang ditugaskan padanya).

 

Adapun manusia, maka ia memperoleh kesanggupan untuk lewat melalui dan melangkah serta melampaui lalu keluar daripadanya agar bisa sampai kepada maqam bersanding “Kedudukan bertetangga dekat” kepada Zat Illahiat sepenuhnya.

 

Allah berseru kepada hamba-Nya :

“Huruf itu sifatnya lemah, tidak berkesanggupan untuk memberitakan tentang dirinya, apalagi memberitakan tentang-Ku.

 

Akulah pencipta huruf dan mahruf – apa yang diberitakan oleh huruf.

Aku jadikan dari rangkaian huruf itu menjadi Asma, dan susunannya menjadi bahasa dan beberapa ibarat agar dengannya manusia yang menjadi penghuni alam ini dapat berbicara. Jangan dilupakan bahwa kesemuanya ini Aku yang menjadikan dan Aku berada di atas segala.

 

Apa yang Aku ciptakan sebagaimana halnya huruf, tidaklah mempunyai kemampuan hukum apapun atas Ku dan tiada menyentuh sedikit pun atas Zat Ku”.

 

Telah kukatakan kepada huruf dengan gaya huruf itu sendiri, maka tiadalah lesan (penyalur huruf) itu dapat menyaksikan Daku dan tiadalah Aku dikenal oleh huruf itu.

“Barangsiapa yang telah kucintai daripada penyanding-penyanding Ku dan pencinta-pecintaKu, maka Aku pun berkenan berkata-kata kepadanya, kata-kataku tanpa ibarat (tanpa bahasa dan tanpa rangkaian huruf); Dan orang itu pun akan diajak bicara oleh batu-batu dan bata-bata, dan bagi orang itu cukup mengatakan terhadap sesuatu “Jadilah” maka “Jadi”.

 

Andaikan Ku katakan dengan ibarat, tentu saja ucapan Ku itu akan dikembalikan oleh ibarat kepada diri ibarat itu tentang apa-apa yang diibaratkan dan dengan apa-apa yang diibaratkan. Dan pastilah hal yang demikian menjadikan tirai pendinding karena kembalinya itu dan sekalipun yang mana berarti tidak dapat berbuat apa-apa”.

 

Allah berseru kepada seorang bijak (yang sudah mencapai pengenalan sejati) :

“Enyahkan jauh-jauh dari dirimu segala apa yang engkau lihat, lepaskan dirimu dari daya tarik apapun dan dari pengaruh yang bagaimanapun juga, terutama dari rangsangan-rangsangan. Keluarlah engkau dari ilmu pengetahuan, amal-amalmu, pengenalan ma’rifatmu, bahkan dari dirimu dan namamu sekalipun. Keluarlah engkau dari huruf dan mahruf.

 

Lemparkan segala ibarat ke belakang punggungmu dan campakan arti makna ke belakang ibarat, dan lemparkan pendapat ke belakang arti makna dan masuklah engkau seorang diri (tunggal), niscaya engkau akan melihat Aku sendiri. (Itulah kebenaran pandangan mata hati) Selanjutnya untuk mencapai tingkat yang demikian bagi si salik (orang yang berjalan menuju kepada Allah) memerlukan melepas-bebaskan dirinya dari segala sesuatu, baik pengetahuannya, ama perbuatannya, sifatnya bahkan diri dan namanya dalam ari keluar dari kebanggan diri. Janagan hendaknya sampai terucapkan dari lesan “Aku si anu yang telah mencapai derajat demikian, aku adalah seorang arif yang bijak, yang berilmu dan yang telah membuat karangan-karangan”. Bukan hanya itu saja, tetapi ia harus keluar dari sihirnya, kalimat dan fitnahnya ibarat (ucapan) ... keluar dari tabiat dan keinginan-keinginan (syahwat)... keluar dari adat istiadatnya, dan dari kesemuanya itu dikembalikan apapun yang ada pada dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (Semata-mata). Ia harus mencuci tangannya (sebersih-bersihnya) baik dari pangkat dan kejayaannya serta kekuasaannya.

 

Itulah sebenarnya penelenjangan yang sewajibnya untuk dapat masuk ke Hadirat Illahy, dan itu adalah suatu perjalanan rohani yang tidak dapat dicapai oelah setiap orang, malainan oleh orang-orang tertentu.

  

Allah berseru kepada seorang yang Arif :

“Andaikan perjalananmu berhenti hanya sampai kepada huruf, lalu engkau dikuasainya sebagaimana tawanan, dan terpengaruhlah oleh rahasia-rahasianya,  dan tergoda oleh teka-tekinya, agar supaya engkau dapat merajalela atas manusia-manusia, niscaya akan Ku catat engkau dari golongan ahli sihir yang tidak berjaya, dan dari penyembah-penyembah huruf yang mereka itu adalah (terang-terangan) berlaku syirik kepada Ku  mereka adalah penyembah-penyembah huruf selain daripada Ku, dan menuntut nama itu dari selain Ku”.

 

“(Bila) Aku memberitahukan kepadamu tentang rahasia huruf, maka itu adalah suatu malapetaka yang gawat segawat-gawatnya.

Engkau dapat mengenal rahasia huruf, sedang engkau berada di dalam kemanusiaanmu, niscaya gilalah akal budimu.

Engkau dapat mengenal rahasia Asma (Nama-nama), sedangkan engkau berada di dalam kemanusiaanmu, biscaya gilalah akal budimu.

 

Hai hamba!! “Tiada ijin bagimu, kemudian tiada ijin bagimu, kemudian tujuhpuluh kali tiada ijin bagimu untuk membeberkan terhadap apa yang Daku percayakan kepadamu dari rahasia-rahasia huruf-Ku dan nama-nama Ku. Dan ... bagaimana engkau masuk ke dalam khazanah Ku, dan bagaimana engkau mengambil dari huruf-huruf itu satu huruf dengan keperkasaan Ku dan Kekuasaan Ku, dan... bagaimana engkau melihat Ku???”