Catatan Popular

Selasa, 26 Ogos 2014

Novel Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat....(6)



 “Terimakasih,” Syehk Siti Jenar berjalan berdampingan dengan Sunan Kalijaga menuju ruangan tengah masjid, menghampiri wali delapan yang sedang berkumpul.
“Selamat datang, Syekh.” sambut Sunan Bonang, menyodorkan kedua tangannya menyalami. “Silahkan,”
“Siapakah Syekh ini?” tanya Sunan Muria.
Syekh Siti Jenar tidak menjawab, lalu menatap mata Sunan Kalijaga, menembus batinnya, seraya berbincang dengan batin.
‘Syekh, tidak seharusnya kisanak berbicara pada wali yang lain menggunakan batin. Pergunakanlah lahiryah kisanak, karena mereka bukan saya.’ ujar batin Sunan Kalijaga.
‘Saya kira mereka sama dengan kisanak. Jika demikian berarti mata  batin mereka tuli dan buta. Hanya saudara Sunan yang paham batin saya. Baiklah jika saya harus berujar secara lahiryah, laksana orang-orang yang tidak paham pada dirinya dan….’
‘Sudahlah, Syekh saudaraku. Batin kita tidak harus berbicara seperti itu. Karena mereka bukan kita, kita bukan mereka. Punya cara masing-masing untuk memahami tentang wujud, maujud dan Allah. Mereka berlaku layaknya orang kebanyakan.’
“Apa yang sedang saudara bicarakan Sunan Kalijaga dan Syehk Siti Jenar? Sebaiknya kita kembali pada alam lahiriyah.” Sunan Bonang memecah keheningan. “Sebab yang hadir disini bukan hanya saudara berdua, ada yang lainnya.”
“Baiklah Kanjeng Sunan Bonang.” ujar Syekh Siti Jenar. Lalu dia duduk bersila disamping Sunan Kalijaga.
“Siapakah sebenarnnya Syekh ini? Apakah termasuk para wali seperti kita-kita ini?” tanya Sunan Gunung Jati.
“Saya Syekh Siti Jenar…” lalu melirik ke arah Sunan Kalijaga, seraya kembali ingin berbincang menggunakan batin.
‘Jangan, berbicaralah secara lahiryah.’ itu jawaban batin Sunan Kalijaga.
Syekh Siti Jenar mengangguk, seraya meneruskan perkataannya,”..saya hanya manusia biasa dan rakyat jelata. Namun saya secara tidak sengaja mendengar perbincangan Kanjeng Sunan Bonang dan Kanjeng Sunan Kalijaga ketika di atas perahu. Waktu itu Kanjeng Sunan Bonang sedang mengamalkan ilmu ‘saciduh metu saucaping nyata’…”
“Ilmu apa itu Kanjeng Sunan Bonang?” tanya Sunan Gunung Jati, melirik ke arah Sunan Bonang.
“Ilmu ‘kun payakun’, jadilah, maka jadi. Apa pun  yang diucapkan akan mewujud atau jadi.” terang Sunan Bonang.
“…benar. Ketika itu wujud saya berupa seekor cacing tanah. Setelah mendengar wirid ilmu tadi,lalu saya amalkan, seketika wujud saya berubah menjadi sekarang ini. Maka wajar jika saya pun disebut Syekh Lemah Abang. Cacing tadi terbungkus tanah berwarna merah, hingga saat ini saya pun masih memiliki ilmu tadi serta sekaligus mempelajari Islam secara mendalam. Ilmu Islam yang saya pelajari sudah diluar dugaan, mencapai tahap ma’rifat, tidak terduga. Namun saya tetap bukan seorang wali seperti saudara-
saudaraku yang berkumpul hari ini. Saya hanyalah rakyat jelata dari pedesaan yang berada di wilayah kekuasaan kerajaan Demak “Andika tidak dianggap sebagai seorang wali karena asal-usul yang kurang jelas.” ucap Sunan Giri.     
“Saya bukan orang yang memiliki ambisi dan gila gelar, hanya  untuk mendapat sebutan wali. Hingga saya pun menganggap bahwa diri saya hanyalah manusia biasa dan lahir sebagai rakyat kebanyakan. Namun kisanak menyebutkan tanpa asal-usul yang jelas.
Padahal yang namanya manusia jelas memiliki asal-usul, jika menganggap bahwa manusia ada yang tidak memili asal-usul berarti kisanak tidak memahami siapa diri kisanak sebenarnya? Dari mana asal kisanak?” ujar Sekh Siti Jenar.
“Andika jangan memutar balikan ucapan dan bermain kata-kata!” suara Sunan Giri meninggi.
‘Syekh,’ Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar, seraya berbicara dengan batin. ‘Saudaraku sebaiknya memaklumi keadaan secara lahiryah yang terjadi sekarang ini…’
‘Baiklah,’ batin Syekh Siti Jenar memberi jawaban.
“Kanjeng Sunan Giri, sudahlah! Kita tidak harus memperbincangkan asal-usul.” Sunan Bonang memahami pembicaraan batin Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga. “Sebaiknya kita berbincang tentang upaya penyebaran agama Islam di tanah Jawa ini.”
“Baiklah, Kanjeng Sunan Bonang.” Sunan Giri menyetujui.
“Bukannya saya tidak ingin lama-lama berbincang-bincang dengan para wali yang agung di sini. Namun saya masih ada keperluan lain, disamping akan berusaha membantu para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Izinkanlah saya untuk berpamitan,” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya.
“Andika mesti ingat ketika menyebarkan agama Islam yang agung ini jangan sampai keluar dari aturan para wali.” ujar Sunan Giri.
“Mohon maaf, Kanjeng Sunan Giri. Karena saya bukan wali, tentunya tidak terikat dengan aturan wali. Mungkin saya akan mengajarkan dan menyebarluaskan agama Islam dengan cara saya sendiri.” Syekh Siti Jenar seraya menyalami semuanya, lalu Sunan Bonang dan yang terakhir Sunan Kalijaga.
‘Saudaraku selamat berjuang, mungkin pada akhirnya kita harus bertabrakan. Namun itu secara lahiryah….’ batin Sunan Kalijaga.
‘Tidak mengapa saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga…itulah tujuan menuju Allah dan jalan yang berlainan.’ Syekh Siti Jenar melepaskan tangan Sunan Kalijaga, seraya membalikan tubuhnya dan keluar dari masjid Demak diantar oleh tatapan para wali yang masih berdiri.
“Kanjeng Sunan Kalijaga, benar tadi batinmu berujar pada Syekh Siti Jenar.” Sunan Bonang menatap Sunan Kalijaga.
“Tinggal menunggu waktu, Kanjeng. Itu semua kehendaknya..” jawab Sunan Kalijaga.
“Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga, apa maksud   pembicaran andika berdua?” tanya Sunan Giri.

Novel Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat...(5)



 “Hentikan!” si Tambun berteriak, matanya terbelalak.
“Diam kamu prajurit!” tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan, beberapa saat kemudian muncul sosok lelaki berjubah hitam, mengenakan blangkon.
“Kanjeng Sunan Kalijaga,” si Tambun menahan kedip. Kemunculan Sunan Kalijaga yang baru keluar dari mesjid Demak sangat mengagetkan. Padahal Sunan Kalijaga tidak berbuat apa-apa hanya berteriak tidak terlalu keras, tapi si Kerempeng mematung sambil mengayunkan pedang. “Hebat Kanjeng Sunan…” si Tambun menggeleng-gelengan kepala seraya menarik nafas dalam-dalam.
“Selamat datang saudaraku, maafkan kelancangan prajurit Demak yang kurang memahami sopan-santun.” Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar yang tidak bergeming. “Tidak memilikinya sopan-santun karena keterbatasan ilmu dan kedangkalan pengetahuan.”
“Benar, Sunan.” tatapan Syekh Siti Jenar beradu dengan mata Sunan Kalijaga yang sejuk dan berwibawa, lalu menembus ke dalam batin. Maka berbincanglah mereka melalui batin.
Sejenak keduanya saling tatap, lantas terlihat ada senyum tipis yang tersungging. Lalu saling peluk dan saling tepuk bahu. Setelah itu terlihat gerakan tangan Sunan Kalijaga mempersilahkan tamunya untuk menuju masjid.
Prajurit Tambun mengerutkan dahi, “Apa yang sedang mereka bicarakan? Kenapa berbincang-bincang tanpa suara? Mungkinkah dengan saling menatap saja bisa berbincang-bincang?”
“Sudahlah Saudaraku sesama muslim, kita berbicara secara lahiryah saja, sebab akan membingungkan orang yang melihat.” ujar Sunan Kalijaga, seraya berjalan berdampingan menuju masjid Demak.
“Baiklah, Sunan.” Syekh Siti Jenar mengamini.
“Ilmu apa yang mereka miliki?” si Tambun mengikuti langkah keduanya dengan tatapan mata, hingga menghilang di balik pintu gerbang masjid Demak. Lalu tatapan matanya berputar ke arah temannya yang baru saja bisa menggerakan tubuhnya.
“Gendut, kenapa aku tidak bisa bergerak waktu terjadi pertemuan antara Kanjeng Sunan dan tukang sihir.” si Kerempeng mengelus dada, sambil menyarungkan lagi pedang ditempatnya. Kemudian duduk, setengah menjatuhkan pantatnya di atas ruput hijau, kakinya dilentangkan, nafasnya ditarik dalam-dalam.
“Itu semua pengaruh ilmu yang mereka miliki. Kita sebagai prajurit biasa tidak mungkin bisa mencapai ilmu para wali. Berbincang-bincang juga cukup dengan tatapan mata, orang lain  tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Sangat
hebat.” si Tambun garuk-garuk kepala. Otaknya tidak sanggup memikirkan, apalagi menganalisis perilaku Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.
“Gendut, sebenarnya apa yang tadi terjadi ketika  saya jadi patung?” si Kerempeng masih belum paham. “Kenapa si tukang sihir itu disambut baik oleh Kanjeng Sunan Kalijaga? Bukakah kita tidak boleh mempelajari apalagi mengamlakan ilmu sihir, hukumnya
musrik!” si Kerempeng memijit-mijit keningnya.
“Tentu saja, sihir itu musrik dan tidak boleh dipelajari. Hanya saya tidak yakin kalau yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar itu ilmu sihir.” jawab si Tambun, mencoba memprediksi.
“Lantas ilmu apalagi kalau bukan sihir? Lagi pula pembicaraannya melantur. Dia bilang Allah saja punya prajurit, itu aneh. Para Wali saja tidak pernah mengajarkan.” si Kerempeng garuk-garuk kepala.
“Sudahlah, kita tidak boleh berburuk sangka! Mungkin ilmu yang si Tambun, seakan tidak peduli.
***
“Silahkan masuk saudaraku, inilah masjid tempat kami berkumpul dan beribadah.” ujar Sunan Kalijaga, seraya mendapingi Syekh Siti Jenar memasuki masjid Demak.

KISAH ABU YAZID TIDAK MAHU MENERIMA APA-APA DARI MAKHLUK



Apabila Abu Yazid telah tua, datanglah seoarang hamba Allah mengirim kepadanya sebuah kerusi kusyen untuk tempat duduk. Beliau enggan menerimanya dan berkata:” Orang yang ada disisinya kerusi kurniaan dan rahmat Allah, tidak perlu kepada kerusi empuk yang rendah mutunya, dan juga saya tidak mahu meneriama apa-apa dari makhluk”

KISAH DUA PUCUK SURAT YAHYA MUAZ KEPADA ABU YAZID BUSTAMI




Yahya bin Mu’adz Ar-Razi pernah menulis surat kepada Abu Yazid demikian: ”Apakah pendapat tuan mengenai seseorang yang telah meminum air lalu mabuk dan kekal mabuk selamanya”
Abu Yazid menjawab: ”Aku tidak tahu”, ”Yang aku ketahui hanyalah bahawa di sini ada seseorang yang sehari semalam telah meneguk isi lautan yang luas yang tiada bertepi , pun begitu masih merasa kehausan dan dahaga”
Yahya Ar Razi mengirim sepucut surat lagi:
“Ada sebuah rahsia yang hendak kukatakan kepada mu tetapi tempat pertemuan kita adalah di dalam syurga. Di sana di bawah naungan pohon akan ku katakan rahsia itu kepada mu”. Bersamaan dengan surat itu, Yahya mengirimkan sepotong roti dengan pesan: ” Syeikh harus memakan roti ini kerana aku telah membuatnya dari air zam-zam”
Lalu Abu yazib menjawab: ” mengenai tempat pertemuan yang engkau katakan, Dengan hanya mengingatNya, pada saat itu juga aku dapat menikmati syurga, tetapi roti yang engkau kirimkan itu tidak dapat ku nikmatinya, kerana aku tidak tahu sama ada kandungan tepungnya itu dibuat benar-benar diperolehi secara halal. Saya syak wasangka terhadap kebersihannya, Engkau memang mengatakan air apa yang telah engkau gunakan, tetapi engkau tidak mengatakan benih gandum apa yang telah engkau taburkan”