Catatan Popular

Isnin, 26 Mac 2018

HIKAM ATHAILLAH SYARAH USTAZ AHMAD MUNTAHA AM KE 35 (A) : Mawas Diri Dalam Islam


Kadang di hati terbersit, ‘Mengapa kita begitu mudah melakukan maksiat? Mengapa kita sering melalaikan Tuhan? Mengapa kita sangat berhasrat memenuhi segala syahwat?’ Sementara orang lain tampak khusu’ dalam ketaatan beribadah, kesadaran mengingat Tuhan dan sangat terjaga dari maksiat?

Dalam konteks ini Ibn Abdilah as-Sakandari menyampaikan hikmah:

Menurut Kalam Hikmah ke 35 (A) Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary   

Asal setiap maksiat, kelalaian dan syahwat adalah kerelaan menuruti nafsu; dan asal setiap ketaatan, kesadaran dan terjaga maksiat adalah dirimu ketidakrelaan menuruti nafsu.”

Kenapa bisa demikian? Merujuk penjelasan Ibn ‘Abbad ar-Randi (Syarh al-Hikam, 31), sebab orang yang memandang dirinya sebagai orang baik niscaya tidak akan melihat berbagai aib dan kekurangannya, sehingga akan menuruti berbagai syahwat, semakin lupa dengan Tuhan dan terus terjebak dalam kenikmatan maksiat yang semu belaka. Jauh dari sikap mawas diri.

Lain halnya dengan orang selalu mawas diri yang memandang dirinya sebagai pribadi yang penuh kekurangan, niscaya akan selalu curiga terhadap dirinya, tidak menuruti berbagai rayuan nafsu untuk mencicipi maksiat, sehingga selalu menyadari pengawasan Tuhan serta asik khusu’ dalam ketaatan terhadap Sang Pencipta, selaras syair populer karya Abdullah bin Mu’awiyyah (w. 129 H/746 M) yang didendangkan dari penjara:

Pandangan kerelaan membutakan dari setiap kekurangan dan pandangan kebencian akan menampakkannya.”

Kita Orang Baik?
Karenanya, masihkah kita PD (percaya diri) menganggap diri kita sebagai orang baik, shaleh, alim dan suci, sementara Allah telah menfirmankan:

Maka jangan anggap diri kalian suci. Allah Maha Mengetahui siapa orang yang bertakwa.”  (QS. an-Najm: 32)

Baca Juga: Nabi: Segar Jasmani dan Ruhani untuk Melihat Allah (Hikam-33)

Begitu pula Nabi Muhammad —shallallahu ‘alaihi wa sallam— bersabda:
 Ada tiga (3) hal yang membinasakan manusia: “Kekaguman orang pada dirinya sendiri, kikir yang diikuti dan hawa nafsu yang dituruti.” (HR. al-Baihaqi dan selainnya. Dha’if)

Teladan Ulama
Selain itu, banyak pula teladan ulama yang sampai kepada kita, bagaimana mereka sibuk meneliti aib dan kekurangan diri, serta selalu mawas diri dari penyimpangan nafsu.

Dalam hal ini Abu Hafsh Umar bin Maslamah al-Haddad (w. 264 H)—radhiyallahu ‘anhu—berkata:

Sejak 40 tahun lalu, aku meyakini diriku bahwa Allah memandangku dengan pandangan kemurkaan dan berbagai amalku memang menunjukkan demikian.”

Sementara Siri as-Saqathi (w. 253 H/867 M), sufi agung guru sekaligus paman Imam al-Junaid al-Baghdadi berkata:

Sungguh tiap hari aku (bercermin) melihat wajahku berulang kali, sebab khawatir wajahku menjadi hitam pekat karena siksaan yang akan aku terima.”

Bila demikian kekhawatiran ulama terhadap diri mereka, bagaimana dengan kita? Apakah kita selalu mawas diri?

Menurut Kalam Hikmah ke 35 (B) Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary   

Manfaat Utama Pergaulan
Pergaulanmu dengan orang bodoh yang tidak menuruti nafsunya lebih baik dari pergaulanmu dengan orang pandai yang menuruti nafsunya. Karenanya, ilmu mana sebenarnya yang dimiliki orang pandai yang menuruti nafsunya? Kebodohan mana sebenarnya yang dimiliki orang bodoh yang tidak menuruti nafsunya?”
Ini berangkat dari manfaat utama pergaulan dalam persektif para sufi, yaitu bagaimana pergaulan dapat semakin mendekatkan seseorang kepada Allah. Karenanya sangat penting memilih teman sejati, sesui sabda Nabi Muhammad —shallallahu ‘alaihi wa sallam— :
Seseorang identik dengan agama kekasihnya, maka lihatlah salah seorang dari kalian siapa yang menjadi kekasihnya.” (HR. at-Tirmidzi dan ia nilaih hasan)

Seiring pula dengan untaian kata penyair kenamaan asal Damaskus Syiria, ‘Adi bin Zaid (w. 95 H/714 M):

Jangan tanya langsung seseorang, tapi tanyalah temannya. Sebab setiap orang akan mengikuti orang yang menjadi temannya.”

Dalam Syarh al-Hikam (32-33) Ibn ‘Abbad lebih lanjut menjelaskan, bergaul dengan orang yang sering menuruti hawa nafsu meskipun alim merupakan bahaya besar dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Sebab ilmunya tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri. Kebodohan yang menggiringnya hingga sering menuruti bujukan nafsu pun sangat membahayakan. Dalam kondisi seperti ini, seolah-olah ia tidak berilmu.

Sebaliknya, bergaul dengan orang bodoh yang tidak menuruti hawa nafsu merupakan kebaikan yang sangat nyata, sebab kebodohannya tidak membahayakan, sementara pengetahuan yang mengarahkannya untuk tidak menuruti nafsu sangat bermanfaat, baik untuk dirinya maupun teman sepergaulannya. Karennya, dalam kondisi seperti ini seolah-olah ia tidak bodoh sama sekali.

Hikmah Utama
Karenanya, yuk kita belajar sedikit demi sedikit untuk tidak mudah menuruti rayuan nafsu, belajar mawas diri, agar semakin ingat terhadap Ilahi dan semakin mudah melakukan ketaatan diri. Beruntung sekali bila mendapatkan atau menjadi teman sejati, teman yang menginspirasi. Semakin mawas diri semakin menginspirasi.

HIKAM ATHAILLAH SYARAH SYEIKH PASANTREN KE 35 (A) : POKOK SEGALA MAKSIAT


Menurut Kalam Hikmah ke 35 (A) Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary   

 “ Pokok dari semua maksiat dan kelalaian serta syahwat itu kerana redha kepada (ingin memuaskan) hawa nafsu. Sedang pokok dari semua keta’atan, kesedaran dan kesopanan akhlak budi ialah kerana engkau tidak redha kepada (mengekang/tidak ingin memuaskan) hawa nafsu.

Mengekor Hawa Nafsu

Mengikuti hawa nafsu ialah berjalan di belakang mengikuti keinginan nafsu. Sedangkan menurut syara’ mengikuti hawa nafsu ialah berjalan di belakang kehendak nafsu dan ambisinya tanpa pengendalian akal. Bahkan terkadang tidak rasional atau tanpa selaras dengan syara’ dan tidak diperhitungkan akibatnya.
Mengikuti hawa nafsu akan membawa manusia kepada kerusakan. Akibat pemuasan nafsu jauh lebih mahal ketimbang kenikmatan yang didapat darinya. Hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan juga dapat merusak potensi diri seseorang.
Hawa nafsu, suatu kata yang sering sekali kita mendengarnya di kehidupan kita. Al Imam Asy Sya’bi rahimahullah berkata: “Sesungguhnya kenapa dinamakan hawa nafsu adalah karena dia menyeret seorang hamba ke dalam neraka.
Banyak sekali celaan dan hinaan bagi para pengikut, penghamba, pengekor hawa nafsu, shahabat yang mulia Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Tidaklah Allah menyebutkan kata hawa di berbagai tempat di dalam Al Qur’an kecuali mencelanya!”

Mengekor kepada hawa nafsu menjadikan seseorang tenggelam kedalam keasyikan memenuhi selera rendahnya tanpa mempertimbangkan resiko yang akan diperolehnya. Orang-orang yang mengekor apa yang dimaui oleh hawa nafsu menjadikan mereka lupa diri bahwa apa yang diperbuatnya dalam memenuhi keinginan-keinginan dan kehendak-kehendak nafsunya tidak akan merasa pernah terpuaskan kecuali ajal datang menjemput. Banyak kejadian yang menimpa orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu berakhir pada ujung yang hanya memberikan kesengsaraan dan penyesalan. Berapa banyak orang-orang yang tertimpa penyakit akibat perzinahan , berapa banyak orang yang menjadi korban dari minuman keras dan narkoba, berapa banyak korban akibat tindakan korupsi, berapa banyak orang yang menjadi korban perjudian, dan berapa banyak orang-orang yang menjadi korban berbagai kasus karena hanya memenuhi tuntutan hawa nafsu.
Maka sungguh akibat yang dihasilkan oleh hawa nafsu sangat merugikan di dunia dan di akhirat, di dunia dia terhalang dari kebenaran sebagaimana yang telah dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu: “Dua perkara yang aku takutkan akan menimpa kalian panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, karena sesungguhnya panjang angan-angan melupakan kita dari akhirat adapun mengikuti hawa nafsu menghalangi seseorang dari kebenaran.”
Bahkan dengannya bisa menyeret seseorang ke dalam neraka sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam tentang seorang hakim (pengambil keputusan) ketika di dalam menjalankan tugas dan mengambil keputusan dia dikalahkan oleh hawa nafsunya, Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
Sunan Abu Daud 3102: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hassan As Samti telah menceritakan kepada kami Khalaf bin Khalifah dari Abu Hasyim dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Hakim itu ada tiga; satu orang di Surga dan dua orang berada di Neraka. Yang berada di surga adalah seorang laki-laki yang mengetahui kebenaran lalu menghukumi dengannya, seorang laki-laki yang mengetahui kebenaran lalu berlaku lalim dalam berhukum maka ia berada di Neraka, dan orang yang memberikan keputusan untuk manusia di atas kebodohan maka ia berada di Neraka." Abu Daud berkata, "Hadits ini adalah yang paling shahih dalam hal tersebut, yaitu Hadits Ibnu Buraidah yang mengatakan; Hakim ada tiga…."
Dampak Mengikuti Hawa Nafsu

Mengikuti hawa nafsu bisa berdampak negatif, membahayakan dan bahkan bisa mencelakakan terhadap manusia Adapun dampak negatif tersebut, adalah :

1.Hilangnya keta’atan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya.
Sesungguhnya, orang yang mengikuti hawa nafsu akan bersikap kaku, bahkan congkak, tidak mau taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Segala perintah syari’at diabaikan sedangkan larangan larangan syari’at yamng semestinya ditinggalkan malah jadi pekerjaan sehari-hari.

2.Tidak dapat lagi membedakan mana-mana yang halal yang dibolehkan syari’at dan mana-mana yang haram yang tidak boleh dikerjakan.

3.Menimbulkan penyakit hati, angkuh dan menjadi mati.
Seorang hamba nafsu akan tenggelam ke dalam kemaksiatan, dari ujung kepala hingg ujung kaki, hingga menimbulkan bekas yang buruk dan berbahaya pada hatinya (qalbunya). Sehingga bisa menjadi penyakit.

4.Hina dengan dosa-dosa.
Manusia yang telah menjadi budak nafsu, yang telah beku dan kaku hatinya, yang telah mati perasaannya akan menjadi terhina. Dia menjadi orang yang tidak peduli terhadap dosa dan maksiat.

5.Tidak menerima nasihat dan petunjuk
.Sungguh, tidaklah bakal ada kebaikan dalam suatu masyarakat apabila tidak saling menasihati, memberi petunjuk dan menerima petunjuk. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
 Maka jika mereka tidak menjawab (panggilan) ketahuilah bahwa sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesung- guhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS.Al Qashash :50).

6.Melakukan bid’ah dalam agama Allah.
Sesunggguhnya budak hawa nafsu itu lebih dekat kepada perbuatan yang membahayakan. Mereka tidak menyukai cara beragama yang benar sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan agar apa yang menjadi kecenderungan nafsu mereka bisa terlaksana, maka mereka melakukan perbuatan bid’ah (mengada-ada) dalam urusan agama. Mereka membuat aturan-aturan sendiri, diluar syari’at yang telah digariskan. Asalkan sesuai dengan hawa nafsu atau selera mereka.

7.Sesat dan tiadanya hidayah kepada jalan yang lurus.
Orang yang mengikuti hawa nafsu sangat mudah diperlakukan oleh syahwat dan berbagai keinginannya. Maka, diapun akhirnya bersikap menyimpang dari petunjuk agama.

8.Menyesatkan manusia, menjauhkan dari jalan-Nya.
Bahaya lain yang ditimbulkan pelaku yang mengikuti hawa nafsu,yaitu bisa menular kepada orang lain sehingga menambah jumlah para pelaku ittiba’ul hawa.

9.Akhir dari semua perbuatan mengikuti hawa nafsu adalah berujung kepada masuk kedalam neraka jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Mengontrol dan Melawan Hawa Nafsu
.
Dalam kitabnya Manejemen Qalbu Ulama salaf Syaikh DR. Ahmad Farid mengemukakan bahwa cara mengatasi dominiasi nafsu amarah terhadap hati orang mukmin adalah dengan cara mengontorolnya dan melawannya. Disebutkan pula bahwa Imam Ahmad ada meriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab radhyallahu’anhu berkata : Hisablah dirimusebelum kamu dihisab. Timbanglah amalmuj sebelum kami ditimbang. Karena akan lebih mudah bagimu kelak pada waktu dihisab itubila sedkarang kamu memngisab dirimu sendiri. Dan berhiaslah untuk menghadapi hari dimana kamu akan ditampilkan di muka umum tanpa ada sedikit pun yang tersembunyi darimu.
Kemudian dikemukakan pula bahwa Al-Hasan berkata : “Orang mukmin adalah orang yanmg selalu mengendalikan nafsunya. Ia mengontrol n afsunya karena Allah. Sesungguhnya hisab ( perhitungan amal ) pada hari kiamat akan terasa ringan bagi orang yang menyikapi masalah ini dengan penuh perhitungan.
Lebih lanjut disebutkan bahwa mengontor nafsu itu ada dua macam yaitu sebelum dan sesudah berbuat. Kontrol yang pertama adalah berhenti pada awal memikirkan dan menginginkan sesuatu. Ia tidak tergesa-gesa berbuat sebelum ia mendapat kepastian bahwa melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya.
Al-Hasan rahimahullah berkata : “ semoga Allah menyayangi orang yang berhenti pada keinginannya; bila ternyata untuk Allah, ia akan melaksanakannya dan bila ternyata untuk selain Allah, ia akan mundur “
Sedangkan kontrol yang kedua adalah mengontrol nafsu setelah melakukan sesuatu tindakan. Ini dibedakan menjadi 3 macam yaitu :

1.Mengontrol nafsu atas ketaatan ( baca : ibadah ) yang dilaksanakannya dengan tidak semestinya, dimana dalam pelaksaan ibadahnya ia telah mengurangi hak Allah di dalamnya. Antara lain mungkin ia tidak ikhlas, tidak mengikuti sunnah. Jadi dalam hal ini ia mengontrol nafsunya apakah ia telah memenuhi hak Allah tersebut. Dan apakah ia menunaikan hak-hak tersebut di dalam ketaatan.

2.Mengontrol nafsunya atas setiap amal perbuatan yang sebenarnya lebih baik ditinggalkan dari pada dilakukan.

3. Mengontrol nafsu atas perbuatan mubah yang dilakukannya, mengapa ia melakukannya ? Apakah perbuatan itu ditujukan untuk meraih ridha Allah dan kebahagiaan di akhirat, sehingga ia menjadi orang yang beruntung ? Ataukah ditujukan untuk kepentingan dunia, sehingga ia merugi dan tidak dapat keuntungan dari apa yang dikerjakannya tersebut.

Selain itu ada pula orang yang teledor, tidak melakukan control , lepas kendali, meremehkan masalah dan beradaptasi dengannya. Kondisi semacam ini akan berakhir dengan kebinasaan. Ini adalah kondisi orang yang terlena, menutup matga terhadap apa yang terjadi di kemudian hari dan mengandalkan hanya pengampunan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga ia tidak mau mengontrol nafsunya dan enggan melihat akibat perbuatannya.

Inti dari seluruh apa yang diutarakan diatas adalah bahwa setiap orang harus mengontrol nafsunya terlebih dahulu dalam melaksanakan ibadah-ibadah yang fardhu. Jika diketemujkan kekurangan, ia harus menambalnya dengan perbaikan. Kemudian ia mengontrol nafsunya dalam hal larangan –larangan, jika ternyata terdapat perbuatan yang melanggar larangan ia harus menambalnya dengan taubat, istighfar dan melaksanakan kebajikan –kebajikan yang bisa menghapus keburukan.

Setelah itu ia harus mengontrol nafsunya atas kelalaiannya. Jika ia telah lalai dari tujuan diciptakannya manusia , ia harus menambalnya dengan dzikir dan menghadap Allah subhanahuj wa ta’ala . Selanjutnya ia harus mengontrol nafsunya atas apa yang diucapkannya, langkah yang dijalani kakinya, kekerasan yang dilakukan tangannya, atau apa yang didengar telinganya ; apa yang diinginkannya dengan perbuatan itu? Untuk apa ia melakukannya? Dan Bagaimana ia melakukannya ?

HIKAM ATHAILLAH SYARAH SYEIKH PASANTREN KE 35 B

Dan sekiranya engkau berkawan seorang bodoh yang tidak menurutkan hawa nafsunya, lebih baik daripada berkawan dengan orang alim yang selalu menurutkan hawa nafsunya. Maka ilmu apakah yang dapat digelarkan bagi seorang alim yang selalu menurutkan hawa nafsunya itu, sebaliknya kebodohan apakah yang dapat disebutkan bagi seorang yang sudah dapat mengekang (menahan) hawa nafsunya.

Sufyan Astsaury berkata, 

“Siapa yang bergaul dengan orang banyak harus mengikuti mereka, dan siapa mengikuti mereka harus bermuka-muka pada mereka, dan siapa yang bermuka-muka kepada mereka, maka binasalah seperti mereka pula.”

Hati-hatilah atau tinggalkan sahaja sahabat seperti di bawah:
1.    Sahabat yang tamak   : ia sangat tamak, ia hanya memberi sedikit dan meminta      yang banyak, dan ia hanya mementingkan diri sendiri.
2.    Sahabat yang hipokrit: ia menyatakan bersahabat berkenaan dengan hal-hal lampau, atau hal-hal mendatang; ia berusaha mendapatkan simpati dengan kata-kata kosong; dan jika ada kesempatan membantu, ia menyatakan tidak sanggup.
3.    Sahabat pengampu    : Dia setuju dengan semua yang kamu lakukan tidak kira betul atau salah, yang parahnya dia setuju dengan hal yang tidak berani untuk menjelaskan kebenaran, di hadapanmu ia memuji dirimu, dan di belakangmu ia merendahkan dirimu.
4.    Sahabat pemboros dan suka hiburan: ia menjadi kawanmu jika engkau suka pesta, suka berkeliaran dan ‘melepak’ pada waktu yang tidak sepatutnya, suka ke tempat-tempat hiburan dan pertunjukan.


KITAB AL- HIKAM ATHAILLAH SYARAH SYEIKH ABDEL MAGUUEB AL AZHARY KE 35 : ASAL MUASAL MAKSIAT


Menurut Kalam Hikmah ke 35 Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary

Asal setiap dosa, pengawasan, dan keinginan, sukacitanya dengan diri sendiri, dan asal-usul setiap ketaatan, wawasan dan kesucian adalah rasa tidak puas hati dengannya. Untuk mengiringi rasa tidak puas hati sendiri dan buta terhadap faedah anda lebih daripada mengiringi seorang ulama sendiri gembira. Apa ilmu tidak seorang ulama yang gembira dengan dirinya ? dan bagaimana dia jahil rasa tidak puas hati yang buta  dengan dirinya?

Mengenai diri sendiri dengan kepuasan , kandungan dan keseronokan memerlukan menghadap kelemahan dan berpura-pura keburukan adalah baik. Sebagai rasa tidak puas hati dan tidak berpuas hati dengan ia adalah yang berlawanan, dan ia berkata:

Mata kandungan adalah buta kepada setiap kecacatan
dan mata rasa tidak puas hati memaparkan semua kesilapan.

Sesiapa yang berpuas hati dengan dirinya akan suka apa keadaan ia  dan akan meluluskan segala-galanya ia. Dia akan mengabaikan Tuhan, dan hatinya akan mengabaikan Tuhan-Nya, dan keinginan akan mengatasi dan dia pasti akan melampaui batas dan sesat, kerana kekurangan pemantauan dan kawalan dari hati.
Pengawasan dan keinginan adalah untuk dosa sebagai sebab kepada kesan dan begitu juga adalah wawasan dan kesucian kepada ketaatan. Mengingatkan diri kepada apa yang dikehendakiNya Tuhan dan kesucian menaikkan wasiat di atas nafsu.
Mereka kedua-duanya membawa kepada ketaatan, berikutan perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Rasa senang dengan diri adalah asal-usul setiap dosa dan maksiat.
Diri ini menghasut kepada kejahatan, dan sentiasa ada musuh yang sentiasa menemani, seperti dalam Hadis: "Musuh terburuk anda adalah diri anda yang berada di antara dua lambung anda".

Dan merenungkan apa yang  Nabi Yusuf as berkata: "Aku tidak membebaskan diriku dan sesungguhnya jiwa sentiasa menghasut kepada kejahatan,, ... [00:53]".
Dan semoga Tuhan memberkati Al-Buseiry yang berkata:
Dan menentang diri dan syaitan dan mereka menderhaka
dan jika kedua-dua menasihati anda, menjadi yang mencurigakan,
dan tidak taat kepada mereka, sama ada sebagai musuh atau sebagai hakim untuk anda tahu  musuh dan hakim-hakim.

Senang dengan keputusan diri dari ilmu duniawi yang tidak menunjukkan kelemahan diri ini.
Mengiringi yang rasa tidak puas hati sendiri buta faedah anda lebih daripada untuk mengiringi seorang sarjana dalam ilmu duniawi yang gembira dengan 'diri' beliau.
Pahala dari persahabatan hasil daripada pengetahuan Kehebatan Tuhan, Mungkin, dan Kemuliaan, yang menyebabkan dari mengetahui diri dan kelemahan dan kekurangannya.
Apa ilmu yang bermanfaat tidak seorang sarjana ilmu duniawi yang gembira dengan diri beliau mempunyai? Dan apa kejahilan berbahaya mempunyai buta huruf yang tidak puas hati dengan dirinya mengetahui kelemahan dan kekurangannya? Walaupun pengetahuan adalah terhad, ia pasti akan berkembang dengan masa.
Mureed perlu hanya menemani dia yang mengetahui kecacatan dirinya dan ketidaksempurnaan dan rasa tidak puas hati dengan itu, untuk mengikuti bimbingan beliau dalam perbuatan, kerana tabiat dalam berjangkit. Sebagai sebahagian berkata:
tidak menanyakan tentang orang itu tetapi bertanya tentang kawannya
untuk setiap teman berikut syarikatnya
dan jika anda adalah antara orang-orang, kemudian menemani terbaik
dan janganlah kamu mengikuti terburuk mereka supaya kamu tidak binasa dengan mereka yang jahat

HIKAM ATHAILLAH SYARAH PROF KH DR WALY KE 35 : Pokok Pangkal Taat dan Maksiat


Menurut Kalam Hikmah yang ke 35, Al-Imam Ibnu Atha'illah Askandary:

"Pokok pangkal setiap maksiat, setiap syahwat dan setiap kelalaian itu ialah redha terhadap nafsu. Dan pokok pangkal setiap taat, terpelihara dari dari syahwat dan bangun pada taat iaitu tidak redha anda terhadap nafsu.

Demi sesungguhnya jika anda bersahabat dengan orang jahil yang tidak redha ia terhadap nafsu adalah lebih baik bagimu daripada bersahabat dengan orang alim yang menjadikan nafsu sebagai tunggangan."

Definisi maksiat ialah:
"perlanggaran terhadap perintah Allah yang wajib."
Misalnya Allah memerintahkan kita mengerjakan sembahyang, puasa dan lain-lain, tetapi tidak dipatuhi, ia dikatakan sedang bermaksiat, iaitu durhaka terhadap perintah Allah.

Namun apabila tidak mengakui bahawa itu perintah Allah, maka hukumnya bukan sekadar maksiat sahaja tetapi telah kufur. Maka berhati-hati dalam hal ini.

Definisi Syahwat ialah :
"melepaskan keinginan (berserta nafsu) pada mencari sesuatu yang dirasakan enak dan lazat."

Jadi yang dimaksud dengan syahwat ialah lepas hati dan perasaan dari tanggungjawab terikat dengan agama. Ayat paling mudah dijelaskan ialah, setiap keinginan berpunca dari syahwat, ia mesti dikawal mengikut kehendak agama. Syahwat keinginan bersetubuh, dikawal melalui pernikahan.

Boleh tidur sepuas-puasnya tetapi dikawal dalam landasan agama dengan tidak mengabaikan solat dan kewajiban lainnya.

Definisi Al-Ghaflatu (kelalaian) ialah:
"melengahkan segala hak yang diwajibkan."

Perkataan paling mudah ialah tidak ada perhatian terhadap hak-hak agama, baik yang sifatnya sunnat maupun yang disifatkan wajib. Dan semua hak itu dianggap sebagai tidak ada, kerana dorongan hawa nafsu yang menimbulkan malas untuk beramal dan beribadat.

Apabila kita telah tahu definisi maksiat, syahwat dan kelalaian, dari manakah pokok pangkalnya tiap-tiap hal keadaan ini?

Pokok pangkalnya ialah apabila kita redha kepada hawa nafsu, menurut hawa nafsu, memenuhi tuntutannya diluar landasan agama.

Pada ketika itu kita tidak melihat kekurangan diri, keaiban diri dan ini akan menyebabkan :

1) kita akan merasa diri kita sentiasa benar.
2) kita sayang pada diri dan bukan sayang pada agama dan kepentingan masyarakat.

HIKAM ATHAILLAH SYARAH USTAZ BESTARI KE 35 : AKAR PUNCA KEPATUHAN DAN KEINGKARAN


Menurut Kalam Hikmah ke 35 Al - Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary:

Mafhumnya : Asal usul setiap maksiat atau keengkaran, setiap keinginan syahwat dan setiap kelalaian ialah redha atau berpuas hati dengan runtunan nafsu.Sementara itu asal usul setiap kepatuhan,pengendalian keinginan nafsu dan kesedaran batin adalah lantaran ketidakrelaan anda terhadap runtunan nafsu.

Justeru itu seandainya anda bertemankan seseorang yang jahil yang tidak redha dengan runtunan nafsunya adalah lebih baik daripada anda bertemankan  seorang yang ‘alim tetapi  yang tunduk kepada keinginan nafsunya. Sehubungan ini manakah ilmu yang boleh memberi manfaat kepada seseorang yang ‘alim tetapi masih redha dengan nafsunya. Demikian juga apakah jenis kejahilan yang boleh merosakkan orang yang jahil, tetapi dia tidak redha dengan runtunan nafsunya.

       Maksiat atau keengkaran menurut istilah syara’ ialah;
Ertinya : Pelanggaran terhadap perintah Allah yang wajib dilaksanakan.
       Syahwat pula ialah :
Bermaksud: Melepaskan keinginan beserta nafsu di dalam mengejar sesuatu yang dirasakan enak dan lazat.
       Al-Ghaflah atau kelalaian ialah :
bererti : Mengabaikan dari melaksanakan hak-hak yang wajib dan sunat akibat daripada digoda oleh hawa nafsu.

       Tiga tanda bahawa seseorang itu telah ditimpa oleh penyakit redha dan cenderung mengikut runtunan nafsu yang mengaibkan itu;
1.     Keegoan atau keakuan yang menyebabkan seseorang itu sentiasa menyangka dirinya benar.
2.     Mementingkan diri lebih daripada menyayangi agama dan masyarakat.
3.     Selalu memaafkan diri walaupun telah bergelumang dengan kemaksiatan tanpa merasa kesal,jauh sekali daripada usaha untuk bertaubat.
       Kepatuhan atau ketaatan ialah :
Maknanya:  Mengakuri dan merelai segala perintah Allah yang meliputi perkara-perkara wajib dan sunat.
       Al-’Iffah pula ialah :
Ertinya : Sentiasa memelihara diri daripada sifat-sifat yang merendahkan mertabat serta daripada sifat-sifat yang hina dan tercela atau meninggikan hemah daripada semua syahwat
       Al-Yaqazah ialah  :
Ertinya : Memasuki pekarangan hadirat Allah dan sentiasa berkesedaran untuk mencapai keredhaanNya.
       Al-Quran mengemukakan garis panduan untuk mengenalpasti siapakah yang berjaya mengendalikan nafsu ? dan siapa pula yang kecundang menghadapinya ?

Antara firman Allah SWT yang sejajar dalam hal ini ialah ;
 1.Maksudnya: Adapun orang yang yang takutkan keadaan semasa dia berdiri di mahkamah Tuhannya untuk dihisab,serta dia menahan dirinya dari menurut hawa nafsu,maka sesungguhnya syurgalah tempat kediamannya ( di akhirat kelak ).(Surah al-Nazi’at ayat 40-41).

Mafhumnya : Dengan yang demikian,bagaimana fikiranmu ( wahai Muhammad ) terhadap orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan yang dipatuhinya,dan dia pula disesatkan oleh Allah kerana diketahuinya bahawa dia tetap kufur engkar,dan dimeterikan pula atas pendengarannya dan hatinya,serta diadakan lapisan penutup atas penglihatannya ? Maka siapakah lagi yang dapat memberi hidayah pertunjuk kepadanya  selain daripada Allah ? Oleh itu ,mengapakah kamu wahai orang-orang yang engkar tidak mahu beringat dan insaf ? ( Surah al-Jathiah aya 23 )

Mafhumnya : Dan tiadalah aku berani membersihkan diriku;sesungguhnya nafsu manusia itu sangat menyuruh melakukan kejahatan,kecuali orang-orang yang telah diberi rahmat oleh Tuhanku.Sesungguhnya Tuhanku amat pengampun,lagi amat mengasihani.” ( Surah Yusuf ayat 53 ).

Mafhumnya : Dan aku bersumpah  dengan nafsu lawwamah ( bahawa kamu akan dibangkitkan semula selepas mati ) Surah al-Qiyamah ayat 2.

       Orang yang wajar kita mengikat tali persahabatan dengannya perlu memiliki kreiteria berikut ; *Sentiasa menginsafi diri dan bertaubat*Tidak bersifat sombong dan membesarkan diri*Berjuang dan bermujahadah untuk mencari kebenaran dengan kaedah yang betul dan sahih.
       Ammar bin Yasir r.a. menyatakan hakikat keimanan akan terkumpul ke atas diri seseorang,antaranya;*Menginsafi diri*Mengucapkan salam kepada orang yang dikenal atau tidak dikenal sekalipun*Membelanjakan harta pada jalan Allah.
Apabila seseorang memiliki pergaulan yang sedemikian,iaitu menurut kod etika atau akhlak di atas ,hasilnya ialah ;*Pergaulannya membawa rahmat*Tenteramlah jiwanya dari sebarang gangguan duniawi*Selamatlah kehidupannya di dunia dan akhirat.

       Sahl bin Abdullah rh memperingatkan kita dalam soal pergaulan dan persahabatan, katanya ; Maksudnya : Hindarilah diri anda dari bergaul dengan tiga golonan manusia,iaitu;
1.     Orang yang mengerti tentang agama tetapi mencampuradukkan hak dan batil
2.     Orang yang mengamalkan tasawuf tetapi jahil dalam ilmu-ilmu keagamaan
3.     Golongan penguasa yang lalai daripada menunaikan hak keagamaan dan kemasyarakatan.

       Abul Abbas Basyruq rh ketika menjelaskan intisari sebenar ilmu dan amal dengan katanya ;
Maksudnya : Cukuplah bahawa takut akan kemurkaan Allah itu sebagai ilmu pengetahuan yang hakiki dan cukuplah sifat lalai dan tertipu yang menyingkirkan kita dari jalan Allah itu sebagai kejahilan.
       Syair berikut menjelaskan hakikat persahabatan ;
Maksudnya : Janganlah anda bertanya seseorang itu tentang dirinya tetapi tanyalah sahabatnya,lantaran seorang teman itu sentiasa mengikut gelagat temannya.Apabila anda berada ditengah sekelompok manusia,bersahabatlah dengan orang yang terbaik daripada kelompok itu,dan janganlah anda memilih teman dari kalangan yang tidak baik dari kelompok itu,maka anda akan menempuh kebinasaan bersama dengan orang-orang yang binasa.


KITAB AL- HIKAM ATHAILLAH SYARAH TOK FAKIR AN NASIRIN KE 35 : REDHA ATAU TIDAK KEPADA NAFSU PUNCA MAKSIAT ATAU TAAT


Menurut Kalam Hikmah ke 35 Al Aribillah Syeikh Ahmad Ibnu athaillah As kanadary:

“INDUK SEGALA MAKSIAT, SYAHWAT DAN KELALAIAN ADALAH REDA TERHADAP NAFSU DAN SUMBER SEGALA TAAT, TERPELIHARA DIRI (DARI SYAHWAT) DAN BANGUN (PADA TAAT) ADALAH TIDAK REDA KEPADA NAFSU.

BERSAHABAT DENGAN ORANG JAHIL YANG TIDAK MENURUT HAWA NAFSU  LEBIH BAIK DARIPADA BERSAHABAT DENGAN ORANG ALIM YANG TUNDUK KEPADA NAFSU. ILMU APAKAH YANG DAPAT DIPANGGIL BAGI ORANG ALIM YANG DITAWAN OLEH NAFSUNYA, SEBALIKNYA KEJAHILAN APAKAH YANG DAPAT DISEBUTKAN BAGI SESEORANG YANG SUDAH DAPAT MENGEKANG NAFSUNYA.”
                                                                               
Hikmat ini pula akan menghuraikan nafsu, yang biasa dipanggil hawa nafsu. Terdapat perbezaan antara sifat iblis dengan hawa nafsu. Sifat iblis adalah pendatang haram sementara hawa nafsu adalah tuan rumah yang mengizinkan pendatang haram tinggal di rumahnya. Tidak mungkin ada sifat yang menyalahi ubudiyah jika tidak ada hawa nafsu. Malaikat tidak mempunyai hawa nafsu, sebab itu mereka sentiasa taat dan menjalankan tugas mereka dengan sempurna, malah mereka tidak tahu berbuat derhaka kepada Allah s.w.t. Matahari tidak ada hawa nafsu, sebab itu ia tidak menyimpang dari orbitnya. Manusia mempunyai hawa nafsu sebab itu manusia boleh berbuat tidak taat dan boleh lari dari jalan lurus yang dibentangkan kepada mereka.

Iblis dan kuncu-kuncunya iaitu syaitan bertindak memberi saranan dan cadangan tetapi tidak berkuasa menggerakkan mana-mana anggota manusia supaya  melakukan sesuatu yang dia ingini. Tetapi, jika hawa nafsu menerima saranan dan cadangan iblis itu maka hawa nafsu berkuasa memaksa anggota tubuh badannya supaya berbuat sebagaimana yang disarankan oleh iblis itu. Iblis menyalurkan sifat-sifat, dan hawa nafsulah yang menerima serta memakai sifat-sifat tersebut. Satu perkara yang ketara adalah saranan atau idea yang disampaikan oleh iblis dan syaitan kepada hawa nafsu itu dirasai oleh hawa nafsu bahawa saranan itu datang dari dirinya sendiri, bukan disalurkan kepadanya dari sumber lain. Hawa nafsu akan mempertahankan pendapat iblis dan syaitan yang diterimanya itu seperti dia mempertahankan pendapatnya sendiri bahkan dia mendabik dada mengakui bahawa pendapat tersebut adalah pendapatnya sendiri. Karl Marx yang menyebarkan fahaman tidak bertuhan tidak mengatakan fahaman itu sebagai rencana iblis tetapi dia mengakui bahawa dialah yang menemui fahaman tersebut. Peter yang menyebarkan fahaman Tuhan tiga dalam satu tidak mengatakan iblis yang mengajarnya tetapi mengatakan dia menerima wahyu dari Tuhan. Begitulah kebodohan dan kesombongan hawa nafsu yang tidak sedar dirinya ditunggangi oleh iblis dan syaitan. Apabila dia menerima cadangan dari iblis dan syaitan dia derhaka kepada Tuhan dan melakukan syirik terhadap-Nya.

Hawa nafsu bukan setakat mampu menerima rangsangan dari iblis dan syaitan malah dia sendiri berupaya merangsang dirinya sendiri tanpa dirangsang oleh iblis dan syaitan. Rangsangan yang muncul dari hawa nafsu sendiri mengarah kepada melakukan maksiat, memenuhi tuntutan syahwat dan asyik dengan perkara yang melalaikan. Apabila iblis dan syaitan memberi rangsangan yang sesuai dengan sifat nafsu itu sendiri mudahlah dia melakukan maksiat dan kemunkaran. Dia tidak berasa sedih bila berbuat kejahatan dan tidak berasa rugi bila hanyut di dalam lautan kelalaian. Apa yang penting baginya ialah memenuhi apa yang dia ingini tanpa menghiraukan akibatnya.

Seseorang yang diistilahkan sebagai jahil tetapi tidak menurut hawa nafsu, tidak ada padanya sifat megah, sombong, takbur dan bodoh. Dia boleh tunduk kepada kebenaran jika kebenaran dibentangkan kepadanya. Dia boleh juga menyampaikan kebenaran yang diketahuinya kepada orang lain. Jadi, kebodohan apakah yang boleh dikatakan kepada orang seperti ini yang bersedia menerima dan menyampaikan kebenaran. Orang yang diistilahkan sebagai alim pula, bagaimana boleh dikatakan alim jika dia menurut hawa nafsunya, memakai sifat bodoh dan sombong, menolak kebenaran jika datang dari orang lain atau tidak secucuk dengan kehendak nafsunya. Orang alim yang menurut hawa nafsu tidak mengajak manusia menyembah Allah s.w.t sebaliknya mengajak mereka menyembah ilmunya. Manusia lain menjadi alat baginya untuk menaikkan ego dirinya sendiri. Oleh yang demikian adalah lebih baik jika bersahabat dengan orang jahil yang tidak tunduk kepada hawa nafsunya. Kejahilan tidak menghalangnya untuk mengenali kebenaran dan dia juga mampu memberi sokongan ke arah kebenaran.

Sifat iblis adalah hijab diluar hati dan hawa nafsu adalah hijab di dalam hati. Jika hijab diluar disingkapkan dengan tenaga kebenaran, maka hijab di dalam ini juga perlu disingkapkan dengan tenaga kebenaran. Nafsu mesti ditundukkan kepada kebenaran. Pekerjaan ini bukanlah mudah kerana nafsu kita adalah diri kita sendiri. Tidak ada beza pada hakikatnya diantara nafsu, hati dengan diri. Memerangi hawa nafsu bererti memerangi diri sendiri. Di dalam diri sendiri itu berkumpul kemahuan, cita-cita, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Apabila mahu berperang dengan diri sendiri tidak boleh meminta pertolongan kepada diri sendiri. Ilmu tidak berdaya menentang hawa nafsu kerana ilmu adalah alatnya dan alat akan patuh kepada tuannya. Perbahasan ilmu yang berlarutan akan menambahkan kekeliruan dan akan meneguhkan nafsu. Makrifat juga tidak boleh digunakan untuk melawan hawa nafsu kerana jika makrifat digunakan ia akan menarik ke dalam ilmu, maka terjadilah yang serupa. Oleh itu jangan meminta tolong kepada ilmu  dan jangan meminta bantuan makrifat untuk melawan nafsu tetapi larilah kepada Allah s.w.t. Menjeritlah sekuat-kuat hati, pintalah pertolongan-Nya. Istiqamah atau tetap di dalam ubudiyah, menunaikan kewajipan sambil terus berserah diri kepada-Nya, itulah kekuatan yang dapat menumpaskan hawa nafsu. Jangan sekali-kali menuntut kekeramatan kerana ia juga menjadi alat hawa nafsu. Tetaplah di dalam ubudiyah, tidak berubah keyakinan terhadap Allah s.w.t, kekuasan-Nya, kebijaksanaan-Nya dan ketuhanan-Nya baik ketika sihat atau sakit, senang atau susah, kaya atau miskin, suka atau duka. Apabila wujud sifat reda kepada ketentuan Allah s.w.t, itu tandanya hawa nafsu sudah tunduk kepada kebenaran.

HIKAM ATHAILLAH SYARAH SYEIKH AL BUTHI KE 35 : Pangkal Segala Maksiat, Kelalaian Dan Syahwat Adalah Ridha Terhadap Nafsu


Menurut Kalam Hikmah ke 35 Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary:

 “Pangkal segala maksiat, kelalaian dan syahwat adalah ridha terhadap nafsu. Dan pangkal dari segala ketaatan, kewaspadaan dan kesucian adalah engkau tidak ridha terhadap hawa nafsu.

Bersahabat dengan orang jahil yang tidak memperturutkan hawa nafsunya lebih baik bagimu daripada bersahabat dengan orang alim yang tunduk pada hawa nafsunya. Ilmu macam apa yang disandang si alim yang tunduk pada hawa nafsunya itu? Sebaliknya, kejahilan apa yang dapat disandangkan pada orang jahil yang tidak memperturutkan hawa nafsunya?”

Intinya, untuk meraih ridha Allah haruslah tak menuruti hawa nafsu, sebaliknya, orang yang menuruti hawa nafsunya, akan peroleh murka dari Allah. Hal itu tentu sudah jelas. Yang perlu kita perjelas sekarang adalah, apakah yang dimaksud "nafsu" itu?

Yang dimaksud "nafsu" adalah watak hewani yang ada dalam diri manusia, pendorong bagi keinginan-keinginannya. Makna "nafsu" inilah yang dimaksud dalam semisal ayat al-Quran berikut  QS. 12 : 53

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”

Jadi yang dimaksud "nafsu" di sini adalah perasaan, watak, dorongan, dan tabiat yang dimiliki manusia dan seluruh hewan, penjelasan di atas telah mudah, seperti telah dibahas pada bab sebelumnya.

Kini, mari kita bertanya tentang hal-hal berikut:

[a] apa landasan Ibnu Athaillah bilang bahwa pangkal maksiat, kelalaian dan syahwat itu menuruti nafsu? dan apa pula landasan bahwa taat bersumber dari ketidakrelaan / tidak menuruti nafsu?

[b] apa sebab menuruti hawa nafsu jadi pangkal maksiat, dan tak menuruti nafsu jadi pangkal taat?

[c] bagaimana cara agar orang Islam tidak menuruti nafsunya, hingga bisa meraih ridha Allah?

Jawaban untuk pertanyaan
[a], landasan Ibnu Athaillah adalah ayat berikut  QS.04:49

”Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?. Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak aniaya sedikitpun.

Dan diperkuat dengann ayat berikut ~QS.53:32

“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”

Jawaban untuk pertanyaan poin [b], tentang sebab menuruti hawa nafsu jadi pangkal maksiat, adalah sebagai berikut:

Bahwa nafsu, seperti kita tahu, adalah potensi hewani yang terletak di dalam masing-masing diri kita, coba perhatikan ayat berikut ~QS.03:14

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”

Artinya, Allah menciptakan nafsu itu dalam diri tiap manusia, jika manusia berhasil melawan nafsunya, tak menuruti nafsunya, maka ia akan dimudahkan untuk taat pada Allah. Sebaliknya, jika manusia justru terlena dengann nafsu yang memang mewatak dalam dirinya, pasti ia akan jatuh pada kemaksiatan. Itu sebabnya mengapa para nabi, para wali, para ulama, semua berusaha melawan nafsu dalam diri mereka

Selanjutnya, berikut jawaban dari poin [c]: bagamana cara agar kita tak menuruti hawa nafsu? Jawabannya adalah, bahwa Allah telah menyediakan obat untuk tiap penyakit yang diciptakanNya. Tadi telah dijelaskan, bahwa manusia telah diwatak untuk senang menuruti hawa nafsunya. Itu sebabnya manusia lemah di hadapan nafsunya sendiri, cenderung mengikuti nafsunya.

Al-Quran menjelaskan watak manusia yang lemah dan tak punya daya kekuatan apa-apa, sebagai berikut ~QS.04:28

“ Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”

Nah, jika manusia tahu bahwa dirinya lemah untuk melawan kekuatan nafsu yang terpendam dalam dirinya. Maka manusia yang menyadari sepenuhnya akan hal ini, tentu ia tak akan bersikap sombong dan ujub. Sebaliknya, ia akan selalu bersikap rendah di hadapan Allah, memohon kepada-Nya untuk diselamatkan dari nafsu yang buruk, dengan bersikap sedemikian, maka ia akan menjadi hamba Allah yang sejati. Tidak jadi hamba nafsunya.

Nah, jika menuruti nafsu itu asas kemaksiatan, jadi apa bagusnya orang berilmu yang tenggelam dalam nafsunya? Itu sebabnya kenapa Ibnu Athaillah mewarning kita agar menghindari orang berilmu yang seperti itu. Bahaya!

Sebaliknya, apa buruknya kebodohan yang disertai kewaspadaan dan usaha tak menuruti hawa nafsunya? Berteman dengan orang jenis ini tentu sangat bermanfaat bagi kita, bisa bimbing kita untuk taqwa kepada Allah.