Catatan Popular

Rabu, 22 Mei 2013

RIYADHUS SHALIHIN BAB 1: KEIKHLASAN DAN MENGHADIRKAN NIAT

Riyadhus Shalihin (Taman Orang-orang Shalih) 

IMAM NAWAWI


Keikhlasan Dan Menghadhirkan Niat Dalam Segala Perbuatan,Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Yang Samar


Allah Ta'ala berfirman:

"Dan tidaklah mereka itu diperintahkan melainkan supaya sama menyembah Allah, dengan

tulus ikhlas menjalankan agama untuk-Nya semata-mata, berdiri turus dan menegakkan shalat sertamenunaikan zakat dan yang sedemikian itulah agama yang benar." (al-Bayyinah: 5)

Allah Ta'ala berfirman pula:

"Samasekali tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah binatang kurban itu, tetapi akan sampailah padaNya ketaqwaan dan engkau sekalian." 1 (al-Haj: 37)

Allah Ta'ala berfirman pula:

"Katakanlah - wahai Muhammad 2,sekalipun engkau semua sembunyikan apa-apa yang ada didalam hatimu ataupun engkau sekalian tampakkan, pasti diketahui juga oleh Allah." (ali-lmran: 29)

1. Dari Amirul mu'minin Abu Hafs yaitu Umar bin Al-khaththab bin Nufail bin Abdul 'Uzza

bin Riah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin 'Adi bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib al-Qurasyi

al-'Adawi r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Hanyasanya semua amal perbuatan itu dengan disertai niat-niatnya dan hanyasanya bagi

setiap orang itu apa yang telah menjadi niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya itu kepada Allahdan RasulNya, maka hijrahnya itupun kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnyaitu untuk harta dunia yang hendak diperolehinya, ataupun untuk seorang wanita yang hendak dikawininya, maka hijrahnyapun kepada sesuatu yang dimaksud dalam hijrahnya itu."

(Muttafaq (disepakati) atas keshahihannya Hadis ini)

Diriwayatkan oleh dua orang imam ahli Hadis yaitu Abu Abdillah Muhammad bin

Ismail bin Ibrahim bin Almughirah bin Bardizbah Alju'fi Albukhari, - lazim disingkat dengan

Bukhari saja -dan Abulhusain Muslim bin Alhajjaj bin Muslim Alqusyairi Annaisaburi, -

lazim disingkat dengan Muslim saja - radhiallahu 'anhuma dalam kedua kitab masingmasing

yang keduanya itu adalah seshahih-shahihnya kitab Hadis yang dikarangkan.


Keterangan:

Hadis di atas adalah berhubungan erat dengan persoalan niat. Rasulullah s.a.w.

menyabdakannya itu ialah kerana di antara para sahabat Nabi s.a.w. sewaktu mengikuti

untuk berhijrah dari Makkah ke Madinah, semata-mata sebab terpikat oleh seorang wanita

yakni Ummu Qais. Beliau s.a.w. mengetahui maksud orang itu, lalu bersabda sebagaimana di

atas.

Oleh kerana orang itu memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud

yang terkandung dalam hatinya, meskipun sedemikian itu boleh saja, tetapi sebenarnya tidak

patut sekali sebab saat itu sedang dalam suasana yang amat genting dan rumit, maka

ditegurlah secara terang-terangan oleh Rasulullah s.a.w.

Bayangkanlah, betapa anehnya orang yang berhijrah dengan tujuan memburu wanita

yang ingin dikawin, sedang sahabat beliau s.a.w. yang lain-lain dengan tujuan

menghindarkan diri dari amarah kaum kafir dan musyrik yang masih tetap berkuasa di

Makkah, hanya untuk kepentingan penyebaran agama dan keluhuran Kalimatullah.

Bukankah tingkah-laku manusia sedemikian itu tidak patut sama-sekali.

Jadi oleh sebab niatnya sudah keliru, maka pahala hijrahnyapun kosong. Lain sekali

dengan sahabat-sahabat beliau s.a.w. yang dengan keikhlasan hati bersusah payah

menempuh jarak yang demikian jauhnya untuk menyelamatkan keyakinan kalbunya,

pahalanyapun besar sekali kerana hijrahnya memang dimaksudkan untuk mengharapkan

keridhaan Allah dan RasulNya. Sekalipun datangnya Hadis itu mula-mula tertuju pada

manusia yang salah niatnya ketika ia mengikuti hijrah, tetapi sifatnya adalah umum. Para

imam mujtahidin berpendapat bahwa sesuatu amal itu dapat sah dan diterima serta dapat

dianggap sempurna apabila disertai niat. Niat itu ialah sengaja yang disembunyikan dalam

hati, ialah seperti ketika mengambil air sembahyang atau wudhu', mandi shalat dan lain-lain

sebagainya.

Perlu pula kita maklumi bahwa barangsiapa berniat mengerjakan suatu amalan yang

bersangkutan dengan ketaatan kepada Allah ia mendapatkan pahala. Demikian pula jikalau

seseorang itu berniat hendak melakukan sesuatu yang baik, tetapi tidak jadi dilakukan, maka

dalam hal ini orang itupun tetap juga menerima pahala. Ini berdasarkan Hadis yang berbunyi:

"Niat seseorang itu lebih baik daripada amalannya."

Maksudnya: Berniatkan sesuatu yang tidak jadi dilakukan sebab adanya halangan yang

tidak dapat dihindarkan itu adalah lebih baik daripada sesuatu kelakuan yang benar-benar

dilaksanakan, tetapi tanpa disertai niat apa-apa.

Hanya saja dalam menetapkan wajibnya niat atau tidaknya,agar amalan itu menjadi

sah, maka ada perselisihan pendapat para imam mujtahidin. Imam-imam Syafi'i,Maliki dan

Hanbali mewaibkan niat itu dalam segala amalan, baik yang berupa wasilah yakni

perantaraan seperti wudhu', tayammum dan mandi wajib, atau dalam amalan yang berupa

maqshad (tujuan) seperti shalat, puasa, zakat, haji dan umrah. Tetapi imam Hanafi hanya

mewajibkan adanya niat itu dalam amalan yang berupa maqshad atau tujuan saja sedang

dalam amalan yang berupa wasilah atau perantaraan tidak diwajibkan dan sudah dianggap

sah.

Adapun dalam amalan yang berdiri sendiri, maka semua imam mujtahidin

sependapat tidak perlunya niat itu, misalnya dalam membaca al-Quran, menghilangkan najis

dan lain-lain.

Selanjutnya dalam amalan yang hukumnya mubah atau jawaz (yakni yang boleh

dilakukan dan boleh pula tidak), seperti makan-minum, maka jika disertai niat agar kuat

beribadat serta bertaqwa kepada Allah atau agar kuat bekerja untuk bekal dalam melakukan

ibadat bagi dirinya sendiri dan keluarganya, tentulah amalan tersebut mendapat pahala,

sedangkan kalau tidak disertai niat apa-apa, misalnya hanya supaya kenyang saja, maka

kosonglah pahalanya.


2. Dari Ummul mu'minin yaitu ibunya - sebenarnya adalah bibinya - Abdullah yakni

Aisyah radhiallahu 'anha, berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Ada sepasukan tentera yang hendak memerangi - menghancurkan - Ka'bah,
kemudian setelah mereka berada di suatu padang dari tanah lapang lalu dibenamkan-dalam tanah tadi -dengan yang pertama sampai yang terakhir dari mereka semuanya."

Aisyah bertanya: "Saya berkata, wahai Rasulullah, bagaimanakah semuanya
dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, sedang di antara mereka itu ada yang ahli pasaran - maksudnya para pedagang - serta ada pula orang yang tidak termasuk golongan mereka tadi - yakni tidak berniat ikut menggempur Ka'bah?"


Rasulullah s.a.w. menjawab: "Ya, semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai

yang terakhir, kemudian nantinya mereka itu akan diba'ats - dibangkitkan dari masingmasing

kuburnya - sesuai niat-niatnya sendiri - untuk diterapi dosa atau tidaknya.

Disepakati atas Hadis ini (Muttafaq 'alaih) - yakni disepakati keshahihannya oleh

Imam Bukhari dan Imam Muslim - Lafaz di atas adalah menurut Imam Bukhari.


Keterangan:

Sayidah Aisyah diberi gelar Ummul mu'minin, yakni ibunya sekalian orang mu'min

sebab beliau adalah isteri Rasulullah s.a.w., jadi sudah sepatutnya. Beliau juga diberi nama

ibu Abdullah oleh Nabi s.a.w., sebenarnya Abdullah itu bukan puteranya sendiri, tetapi

putera saudarinya yang bernama Asma'. Jadi dengan Sayidah Aisyah, Abdullah itu adalah

kemanakannya. Adapun beliau ini sendiri tidak mempunyai seorang puterapun.

Dari uraian yang tersebut dalam Hadis ini, dapat diambil kesimpulan bahwa

seseorang yang shalih, jika berdiam di lingkungan suatu golongan yang selalu berkecimpung

dalam kemaksiatan dan kemungkaran, maka apabila Allah Ta'ala mendatangkan azab atau

siksa kepada kaum itu, orang shalih itupun pasti akan terkena pula. Jadi Hadis ini

mengingatkan kita semua agar jangan sekali-kali bergaul dengan kaum yang ahli

kemaksiatan, kemungkaran dan kezaliman.

Namun demikian perihal amal perbuatannya tentulah dinilai sesuai dengan niat yang

terkandung dalam hati orang yang melakukannya itu.

Mengenai gelar Ummul mu'minin itu bukan hanya khusus diberikan kepada Sayidah

Aisyah radhiallahu 'anha belaka, tetapi juga diberikan kepada para isteri Rasulullah s.a.w.

yang lain-lain.


3. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, berkata: Nabi s.a.w. bersabda: "Tidak ada hijrah

setelah pembebasan - Makkah - 4, tetapi yang ada ialah jihad dan niat. Maka dari itu, apabila

engkau semua diminta untuk keluar - oleh imam untuk berjihad, - maka keluarlah – yakni

berangkatlah." (Muttafaq 'alaih)

Maknanya: Tiada hijrah lagi dari Makkah, sebab saat itu Makkah telah menjadi

perumahan atau Negara Islam.


4. Dari Abu Abdillah yaitu Jabir bin Abdullah al-Anshari radhiallahu'anhuma, berkata:

Kita berada beserta Nabi s.a.w. dalam suatu peperangan - yaitu perang Tabuk - kemudian

beliau s.a.w. bersabda:

"Sesungguhnya di Madinah itu ada beberapa orang lelaki yang engkau semua tidak

menempuh suatu perjalanan dan tidak pula menyeberangi suatu lembah, melainkan orangorang tadi ada besertamu - yakni sama-sama memperoleh pahala - mereka itu terhalang oleh sakit - maksudnya andaikata tidak sakit pasti ikut berperang."

Dalam suatu riwayat dijelaskan: "Melainkan mereka - yang tertinggal itu - berserikat
denganmu dalam hal pahalanya." (Riwayat Muslim)

Hadis sebagaimana di atas, juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas r.a.,

Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Kita kembali dari perang Tabuk beserta Nabi s.a.w., lalu beliau bersabda:

"Sesungguhnya ada beberapa kaum yang kita tinggalkan di Madinah, tiada

menempuh kita sekalian akan sesuatu lereng ataupun lembah, 5 melainkan mereka itu

bersama-sama dengan kita jua -jadi memperoleh pahala seperti yang berangkat untuk

berperang itu - mereka itu terhalang oleh sesuatu keuzuran."


5. Dari Abu Yazid yaitu Ma'an bin Yazid bin Akhnas radhiallahu 'anhum. Ia, ayahnya

dan neneknya adalah termasuk golongan sahabat semua. Kata saya: "Ayahku, yaitu Yazid

mengeluarkan beberapa dinar yang dengannya ia bersedekah, lalu dinar-dinar itu ia letakkan

di sisi seseorang di dalam masjid.

Saya - yakni Ma'an anak Yazid - datang untuk mengambilnya, kemudian saya

menemui ayahku dengan dinar-dinar tadi. Ayah berkata: "Demi Allah, bukan engkau yang

kukehendaki - untuk diberi sedekah itu."


Selanjutnya hal itu saya adukan kepada Rasulullah s.a.w., lalu beliau bersabda:

"Bagimu adalah apa yang engkau niatkan hai Yazid – yakni bahwa engkau telah

memperoleh pahala sesuai dengan niat sedekahmu itu - sedang bagimu adalah apa yang

engkau ambil, hai Ma'an - yakni bahwa engkau boleh terus memiliki dinar-dinar tersebut,

kerana juga sudah diizinkan oleh orang yang ada di masjid, yang dimaksudkan oleh Yazid

tadi." (Riwayat Bukhari)


6. Dari Abu Ishak, yakni Sa'ad bin Abu Waqqash, yakni Malik bin Uhaib bin Abdu

Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luai al-Qurasyi az-Zuhri r.a., yaitu

salah satu dari sepuluh orang yang diberi kesaksian akan memperoleh syurga radhiallahu

'anhum, katanya:


Rasulullah s.a.w. datang padaku untuk menjengukku pada tahun haji wada' - yakni
haji Rasulullah s.a.w. yang terakhir dan sebagai haji pamitan - kerana kesakitan yang
menimpa diriku, lalu saya berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya saja kesakitanku ini telah mencapai sebagaimana keadaan yang Tuan ketahui, sedang saya adalah seorang yang berharta dan tiada yang mewarisi hartaku itu melainkan seorang puteriku saja. Maka itu apakah dibenarkan sekiranya saya bersedekah dengan dua pertiga hartaku?" Beliau menjawab: "Tidak dibenarkan." Saya berkata pula: "Separuh hartaku ya Rasulullah?" Beliaubersabda: "Tidak dibenarkan juga." Saya berkata lagi: "Sepertiga, bagaimana ya Rasulullah?"

Beliau lalu bersabda: "Ya, sepertiga boleh dan sepertiga itu sudah banyak atau sudah besar jumlahnya. Sesungguhnya jikalau engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya-kaya, maka itu adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta pada orang banyak. Sesungguhnya tiada sesuatu nafkah yang engkau berikan dengan niat untuk mendapatkan keridhaan Allah, melainkan engkau pasti akan diberi pahalanya, sekalipun sesuatu yang engkau berikan untuk makanan isterimu."


Abu Ishak meneruskan uraiannya: Saya berkata lagi: "Apakah saya ditinggalkan - di

Makkah - setelah kepulangan sahabat-sahabatku itu?" Beliau menjawab: "Sesungguhnya

engkau itu tiada ditinggalkan, kemudian engkau melakukan suatu amalan yang engkau

maksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah, melainkan engkau malahan bertambah

derajat dan keluhurannya. Barangkali sekalipun engkau ditinggalkan - kerana usia masih

panjang lagi -, tetapi nantinya akan ada beberapa kaum yang dapat memperoleh

kemanfaatan dari hidupmu itu - yakni sesama kaum Muslimin, baik manfaat duniawiyah

atau ukhrawiyah - dan akan ada kaum lain-lainnya yang memperoleh bahaya dengan sebab

masih hidupmu tadi - yakni kaum kafir, sebab menurut riwayat Abu Ishak ini tetap hidup

sampai dibebaskannya Irak dan lain-lainnya, lalu diangkat sebagai gubernur di situ dan

menjalankan hak dan keadilan.

Ya Allah, sempurnakanlah pahala untuk sahabat-sahabatku dalam hijrah mereka itu

dan janganlah engkau balikkan mereka pada tumit-tumitnya - yakni menjadi murtad kembali

sepeninggalnya nanti.

Tetapi yang miskin - rugi - itu ialah Sa'ad bin Khaulah.”

Rasulullah s.a.w. merasa sangat kasihan padanya sebab matinya di Makkah.

(Muttafaq 'alaih)


Keterangan:

Sa'ad bin Khaulah itu dianggap sebagai orang yang miskin dan rugi, kerana menurut

riwayat ia tidak mengikuti hijrah dari Makkah, jadi rugi kerana tidak ikutnya hijrah tadi.

Sebagian riwayat yang lain mengatakan bahwa ia sudah mengikuti hijrah, bahkan pernah

mengikuti perang Badar pula, tetapi akhirnya ia kembali ke Makkah dan terus wafat di situ

sebelum dibebaskannya Makkah saat itu. Maka ruginya ialah kerana lebih sukanya kepada

Makkah sebagai tempat akhir hayatnya, padahal masih di bawah kekuasaan kaum kafir. Ada

lagi riwayat yang menyebutkan bahwa ia pernah pula mengikuti hijrah ke Habasyah,

mengikuti pula perang Badar, kemu-dian mati di Makkah pada waktu haji wada' tahun 10,

ada lagi yang meriwayatkan matinya itu pada tahun 7 di waktu perletakan senjata antara

kaum Muslimin dan kaum kafir. Jadi kerugiannya di sini ialah kerana ia mati di Makkah itu,

kerana kehilangan pahala yang sempurna yakni sekiranya ia mati di Madinah, tempat ia

berhijrah yang dimaksudkan semata-mata sebab Allah Ta'ala belaka.


7. Dari Abu Hurairah, yaitu Abdur Rahman bin Shakhr r.a., katanya: Rasulullah s.a.w.

bersabda:

"Sesungguhnya Allah Ta'ala itu tidak melihat kepada tubuh-tubuhmu, tidak pula

kepada bentuk rupamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hatimu sekalian." (Riwayat Muslim)


8. Dari Abu Musa, yakni Abdullah bin Qais al-Asy'ari r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w.

ditanya perihal seseorang yang berperang dengan tujuan menunjukkan keberanian, ada lagi

yang berperang dengan tujuan kesombongan - ada yang artinya kebencian - ada pula yang

berperang dengan tujuan pameran - menunjukkan pada orang-orang lain kerana ingin

berpamer. Manakah di antara semua itu yang termasuk dalam jihad fi-sabilillah?


Rasulullah s.a.w. menjawab:

"Barangsiapa yang berperang dengan tujuan agar kalimat Allah - Agama Islam - itulah

yang luhur, maka ia disebut jihad fi-sabilillah." (Muttafaq 'alaih)


Keterangan:

Hadis di atas dengan jelas menerangkan semua amal perbuatan itu hanya dapat dinilai

baik, jika baik pula niat yang terkandung dalam hati orang yang melakukannya.

Selain itu dijelaskan pula bahwa keutamaan yang nyata bagi orang-orang yang

berjihad melawan musuh di medan perang itu semata-mata dikhususkan untuk mereka yang

berjihad fisabilillah, yakni tiada maksud lain kecuali untuk meluhurkan kalimat Allah, yaitu

Agama Islam.


9. Dari Abu Bakrah, yakni Nufai' bin Haris as-Tsaqafi r.a. bahwasanya Nabi s.a.w.

bersabda:

"Apabila dua orang Muslim berhadap-hadapan dengan membawa masing-masing

pedangnya - dengan maksud ingin berbunuh-bunuhan - maka yang membunuh dan yang

terbunuh itu semua masuk di dalam neraka."

Saya bertanya: "Ini yang membunuh - patut masuk neraka -tetapi bagaimanakah

halnya orang yang terbunuh - yakni mengapa ia masuk neraka pula?"

Rasulullah s.a.w. menjawab:

"Kerana sesungguhnya orang yang terbunuh itu juga ingin sekali hendak membunuh

kawannya." (Muttafaq 'alaih)


10. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Shalatnya seseorang lelaki dengan berjamaah itu melebihi shalatnya di pasar atau

rumahnya - secara sendirian atau munfarid - dengan duapuluh lebih - tiga sampai sembilan

tingkat derajatnya. Yang sedemikian itu ialah kerana apabila seseorang itu berwudhu' dan

memperbaguskan cara wudhu'nya, kemudian mendatangi masjid, tidak menghendaki ke

masjid itu melainkan hendak bersembahyang, tidak pula ada yang menggerakkan

kepergiannya ke masjid itu kecuali hendak shalat, maka tidaklah ia melangkahkan kakinya

selangkah kecuali ia dinaikkan tingkatnya sederajat dan kerana itu pula dileburlah satu

kesalahan daripadanya - yakni tiap selangkah tadi - sehingga ia masuk masjid.

Apabila ia telah masuk ke dalam masjid, maka ia memperoleh pahala seperti dalam

keadaan shalat, selama memang shalat itu yang menyebabkan ia bertahan di dalam masjid

tadi, juga para malaikat mendoakan untuk mendapatkan kerahmatan Tuhan pada seseorang

dari engkau semua, selama masih berada di tempat yang ia bersembahyang disitu. Para

malaikat itu berkata: "Ya Allah, kasihanilah orang ini; wahai Allah, ampunilah ia; ya Allah,

terimalah taubatnya." Hal sedemikian ini selama orang tersebut tidak berbuat buruk -yakni

berkata-kata soal keduniaan, mengumpat orang lain, memukul dan lain-lain - dan juga

selama ia tidak berhadas - yakni tidak batal wudhu'nya.

Muttafaq 'alaih. Dan yang tersebut di atas adalah menurut lafaznya Imam Muslim.

Sabda Nabi s.a.w.: Yanhazu dengan fathahnya ya' dan ha' serta dengan menggunakan

zai, artinya: mengeluarkannya dan menggerakkannya.


11. Dari Abul Abbas, yaitu Abdullah bin Abbas bin Abdul Muththalib, radhiallahu

'anhuma dari Rasulullah s.a.w. dalam suatu uraian yang diceriterakan dari Tuhannya

Tabaraka wa Ta'ala - Hadis semacam ini disebut Hadis Qudsi - bersabda:

"Sesungguhnya Allah Ta'ala itu mencatat semua kebaikan dan keburukan, kemudian
menerangkan yang sedemikian itu - yakni mana-mana yang termasuk hasanah dan manamana yang termasuk sayyiah.

Maka barangsiapa yang berkehendak mengerjakan kebaikan, kemudian tidak jadi

melakukannya, maka dicatatlah oleh Allah yang Maha Suci dan Tinggi sebagai suatu

kebaikan yang sempurna di sisiNya, dan barangsiapa berkehendak mengerjakan kebaikan itu

kemudian jadi melakukannya, maka dicatatlah oleh Allah sebagai sepuluh kebaikan di

sisiNya, sampai menjadi tujuh ratus kali lipat, bahkan dapat sampai menjadi berganda-ganda

yang amat banyak sekali.

Selanjutnya barangsiapa yang berkehendak mengerjakan keburukan kemudian tidak

jadi melakukannya maka dicatatlah oleh

Allah Ta'ala sebagai suatu kebaikan yang sempurna di sisiNya dan barangsiapa yang

berkehendak mengerjakan keburukan itu kemudian jadi melakukannya, maka dicatatlah oleh

Allah Ta'ala sebagai satu keburukan saja di sisiNya." (Muttafaq 'alaih)


Keterangan:

Hadis di atas menunjukkan besarnya kerahmatan Allah Ta'ala kepada kita semua

sebagai ummatnya Nabi Muhammad s.a.w.

Renungkanlah wahai saudaraku. Semoga kami dan anda diberi taufik (pertolongan)

oleh Allah hingga dapat menginsafi kebesaran belas-kasihan Allah dan fikirkanlah kata-kata

ini.

Ada perkataan Indahuu (bagiNya), inilah suatu tanda kesungguhan Allah dalam

memperhatikannya itu.

Juga ada perkataan kaamitah (sempurna), ini adalah untuk mengokohkan artinya dan

sangat perhatian padanya.

Dan Allah berfirman di dalam kejahatan yang disengaja (di-maksud) akan dilakukan,

tetapi tidak jadi dilakukan, bagi Allah ditulis menjadi satu kebaikan yang sempurna

dikokohkan dengan kata-kata "sempurna". Dan kalau jadi dilakukan, ditulis oleh Allah "satu

kejahatan saja" dikokohkan dengan kata-kata "satu saja" untuk menunjukkan kesedikitannya,

dan tidak dikokohkan dengan kata-kata "sempurna".

Maka bagi Allah segenap puji dan karunia. Maha Suci Allah, tidak dapat kita

menghitung pujian atasNya. Dan dengan Allah jualah adanya pertolongan.


12. Dari Abu Abdur Rahman, yaitu Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiallahu

'anhuma, katanya: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Ada tiga orang dari golongan orang-orang sebelummu sama berangkat bepergian,

sehingga terpaksalah untuk menempati sebuah gua guna bermalam, kemudian merekapun

memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu atas

mereka. Mereka berkata bahwasanya tidak ada yang dapat menyelamatkan engkau semua

dari batu besar ini melainkan jikalau engkau semua berdoa kepada Allah Ta'ala dengan

menyebutkan perbuatanmu yang baik-baik.

Seorang dari mereka itu berkata: "Ya Allah. Saya mempunyai dua orang tua yang

sudah tua-tua serta lanjut usianya dan saya tidak pernah memberi minum kepada siapapun

sebelum keduanya itu, baik kepada keluarga ataupun hamba sahaya. Kemudian pada suatu

hari amat jauhlah saya mencari kayu - yang dimaksud daun-daunan untuk makanan ternak.

Saya belum lagi pulang pada kedua orang tua itu sampai mereka tertidur. Selanjutnya

sayapun terus memerah minuman untuk keduanya itu dan keduanya saya temui telah tidur.

Saya enggan untuk membangunkan mereka ataupun memberikan minuman kepada

seseorang sebelum keduanya, baik pada keluarga atau hamba sahaya. Seterusnya saya tetap

dalam keadaan menantikan bangun mereka itu terus-menerus dan gelas itu tetap pula di

tangan saya, sehingga fajarpun menyingsinglah, Anak-anak kecil sama menangis kerana

kelaparan dan mereka ini ada di dekat kedua kaki saya. Selanjutnya setelah keduanya

bangun lalu mereka minum minumannya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang

sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan keridhaanMu, maka lapanglah

kesukaran yang sedang kita hadapi dari batu besar yang menutup ini." Batu besar itu tibatiba

membuka sedikit, tetapi mereka belum lagi dapat keluar dari gua.

Yang lain berkata: "Ya Allah, sesungguhnya saya mempunyai seorang anak paman

wanita - jadi sepupu wanita - yang merupakan orang yang tercinta bagiku dari sekalian

manusia - dalam sebuah riwayat disebutkan: Saya mencintainya sebagai kecintaan orangorang

lelaki yang amat sangat kepada wanita - kemudian saya menginginkan dirinya, tetapi

ia menolak kehendakku itu, sehingga pada suatu tahun ia memperoleh kesukaran. lapun

mendatangi tempatku, lalu saya memberikan seratus duapuluh dinar padanya dengan syarat

ia suka menyendiri antara tubuhnya dan antara tubuhku -maksudnya suka dikumpuli dalam

seketiduran. Ia berjanji sedemikian itu. Setelah saya dapat menguasai dirinya - dalam sebuah

riwayat lain disebutkan: Setelah saya dapat duduk di antara kedua kakinya - sepupuku itu

lalu berkata: "Takutlah engkau pada Allah dan jangan membuka cincin - maksudnya cincin

di sini adalah kemaluan, maka maksudnya ialah jangan melenyapkan kegadisanku ini -

melainkan dengan haknya - yakni dengan perkawinan yang sah -, lalu sayapun

meninggalkannya, sedangkan ia adalah yang amat tercinta bagiku dari seluruh manusia dan

emas yang saya berikan itu saya biarkan dimilikinya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan

yang sedemikian dengan niat untuk mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah

kesukaran yang sedang kita hadapi ini." Batu besar itu kemudian membuka lagi, hanya saja

mereka masih juga belum dapat keluar dari dalamnya.

Orang yang ketiga lalu berkata: "Ya Allah, saya mengupah beberapa kaum buruh dan

semuanya telah kuberikan upahnya masing-masing, kecuali seorang lelaki. Ia meninggalkan

upahnya dan terus pergi. Upahnya itu saya perkembangkan sehingga ber-tambah banyaklah

hartanya tadi. Sesudah beberapa waktu, pada suatu hari ia mendatangi saya, kemudian

berkata: Hai hamba Allah, tunaikanlah sekarang upahku yang dulu itu. Saya berkata: Semua

yang engkau lihat ini adalah berasal dari hasil upahmu itu, baik yang berupa unta, lembu

dan kambing dan juga hamba sahaya. Ia berkata: Hai hamba Allah, janganlah engkau

memperolok-olokkan aku. Saya menjawab: Saya tidak memperolok-olokkan engkau.

Kemudian orang itupun mengambil segala yang dimilikinya. Semua digiring dan tidak

seekorpun yang ditinggalkan. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian ini

dengan niat mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah kita dari kesukaran yang

sedang kita hadapi ini." Batu besar itu lalu membuka lagi dan merekapun keluar dari gua itu.

(Muttafaq 'alaih)


Keterangan:

Ada beberapa kandungan yang penting-penting dalam Hadis di atas, yaitu:

 (a) Kita disunnahkan berdoa kepada Allah di kala kita sedang dalam keadaan

yang sulit, misalnya mendapatkan malapetaka, kekurangan rezeki dalam kehidupan,

sedang sakit dan lain-lain.

(b) Kita disunnahkan bertawassul dengan amal perbuatan kita sendiri yang shalih,

agar kesulitan itu segera lenyap dan diganti dengan kelapangan oleh Allah Ta'ala.

Bertawassul artinya membuat perantaraan dengan amal shalih itu, agar permohonan kita

dikabulkan olehNya. Bertawassul dengan cara seperti ini tidak ada seorang ulamapun yang

tidak membolehkan. Jadi beliau-beliau itu sependapat tentang bolehnya.

Juga tidak diperselisihkan oleh para alim-ulama perihal bolehnya bertawassul dengan

orang shalih yang masih hidup, sebagai-mana yang dilakukan oleh Sayidina Umar r.a.

dengan bertawassul kepada Sayidina Abbas, agar hujan segera diturunkan.

Yang diperselisihkan ialah jikalau kita bertawassul dengan orang-orang shalih yang

sudah wafat, maksudnya kita memohonkan sesuatu kepada Allah Ta'ala dengan perantaraan

beliau-beliau yang sudah di dalam kubur agar ikut membantu memohonkan supaya doa kita

dikabulkan. Sebagian alim-ulama ada yang membolehkan dan sebagian lagi tidak

membolehkan.

Jadi bukan orang-orang shalih itu yang dimohoni, tetapi yang dimohoni tetap Allah

Ta'ala jua, tetapi beliau-beliau dimohon untuk ikut membantu mendoakan saja. Kalau yang

dimohoni itu orang-orang yang sudah mati, sekalipun bagaimana juga shalihnya, semua

alim-ulama Islam sependapat bahwa perbuatan sedemikian itu haramhukumnya. Sebab hal

itutermasuksyirikatau menyekutukan sesuatu dengan Allah Ta'ala yang Maha Kuasa

Mengabulkan segala permohonan.

Namun demikian hal-hal seperti di atas hanya merupakan soal-soal furu'iyah (bukan

akidah pokok), maka jangan hendaknya menyebabkan retaknya persatuan kita kaum Muslimin.