Catatan Popular

Isnin, 24 Jun 2019

SAHABIYYAH PENGUKIR SEJARAH Pengalaman Ajaib Safinah Bekas Budak Rasulullah


Safinah, seorang budak wanita pernah mengabdikan dirinya pada keluarga Rasulullah. Ia membantu pekerjaan rumah dari menumbuk gandum, membuat roti, memasak, dan lain sebagainya. Meski berstatus budak, ia dianggap seperti keluarga sendiri. Karena itulah Safinah bahagia dapat melayani Rasulullah dan keluarganya.

Bahkan meski ia telah dibebaskan Rasulullah dari statusnya sebagai budak, Safinah enggan dikenal orang kecuali sebagai budak Rasulullah. Ia mengenalkan dirinya sebagai Safinah Maula Rasulullah, yakni bekas budak Rasulullah. Kemana pun Safinah pergi, ia selalu menyebut dirinya Maula Rasulullah dengan bangga.

Suatu hari, Safinah pergi ke kawasan pantai. Ia kemudian menumpang sebuah perahu. Diarunginya lautan tanpa menduga sebuah bencana ada di hadapannya. Tiba-tiba perahu yang ditumpanginya pecah terhempas ombak. Penumpangnya berhamburan ke lautan. Ada yang tenggelam, ada yang selamat. Safinah adalah salah satu penumpang selamat.

Saat perahu yang ditumpanginya pecah, Safinah sempat tenggelam. Namun dengan cekatan ia segera mengambil salah satu papan perahu yang pecah tersebut. Ia pun terapung-apung di atas papan kayu itu.

Seorang diri, Safinah terapung di lautan. Ia hanya bisa pasrah mengikuti ke mana ombak akan membawanya. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanya bertawakal.

Lalu tiba-tiba angin bertiup sangat kencang. Ombak di lautan menjadi sangat ganas. Tubuh Safinah terpelanting mengikuti arah angin. Tak terbayangkan bagaimana wanita itu bertahan hidup seorang diri di tengah lautan.

Allah lah yang Maha Menyelamatkan. Ternyata angin itu justru membawa tubuh Safinah ke daratan. Safinah mendarat di sebuah pulau yang berisi hutan belantara. Ia pun memasuki hutan itu dengan keberaniannya.

Safinah merasa aman berada di dalam hutan. Ia tak lagi terombang-ambing di lautan. Ia terus menelusuri hutan itu mencari jalan keluar. Berharap ada sebuah kampung di balik hutan belantara yang lebat itu.

Namun Safinah terus berjalan dan berjalan. Ia tersesat tak menemukan jalan keluar. Alih-alih keluar dari hutan, Safinah justru bertemu dengan seekor singa. Sang raja hutan menghampiri Safinah hendak menerkam.

Namun Safinah ternyata sosok wanita yang sangat pemberani. Ia tahu semua hewan adalah hamba Allah dan menghormati Rasulullah. Ia pun menyeru kepada Abu Haris, julukan bangsa Arab untuk si raja hutan.

“Wahai Abu Haris, aku ini maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,” kata Safinah.

Ternyata singa itu mengerti ucapan Safinah. Ia mengangguk-angguk lalu menahan diri dari menerkam Safinah. Namun singa itu tetap mendekat, bukan untuk melahap Safinah, melainkan ingin mengantar sang maula Rasulullah.

Dengan bahunya, singa itu mendorong-dorong tubuh Safinah. Ia ingin Safinah melalui suatu jalan yang ternyata adalah jalan keluar dari hutan. Singa itu mengantar Safinah hingga ke pinggir sebuah jalan menuju pemukiman.

Setelah mengantar Safinah, singa itu pun mengaum lalu kembali memasuki hutan. Safinah memaknai auman itu sebagai ucapan selamat tinggal dari si singa. Safinah begitu takjub, senang, sekaligus bersyukur atas kekuasaan dan rahmat Allah.

Safinah pun selamat dari perjalanan yang sangat melelahkan lagi membahayakan itu. saat kembali, ia senang mengisahkan pengalaman ajaibnya. Yakni pengalaman diselamatkan singa karena statusnya sebagai maula Rasulullah. Bahkan seekor singa pun menghormati dan menyayangi Rasulullah, keluarganya, shahabatnya, bahkan maulanya.

Berikut cerita dari lisan Safinah yang termaktub dalam Kitab Al Isti’ab, dilansir kisahmuslim.com, “Ketika itu, aku menumpang perahu, tak kusangka perahuku pecah. Aku menyelamatkan diri dengan menaiki salah satu papan perahu itu. Tiba-tiba, angin kencang melemparkanku hingga aku berada dalam hutan yang dihuni seekor singa. Singa tersebut menghampiriku, maka aku berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Haris, aku ini maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.‘

Kemudian kepalanya mengangguk. Dia mendekatiku lalu mendorong-dorongku dengan bahunya hingga keluar hutan. Aku diantarkan sampai ke pinggir sebuah jalan. Setelah itu, singa tersebut mengaum. Sepengetahuanku, ia mengucapkan selamat tinggal. Demikianlah akhir pertemuanku dengan seekor singa.”

SAHABIYYAH PENGUKIR SEJARAH Ummu Haram Wanita yang Syahid di Lautan



Ummu Haram binti Milhan merupakan bibi dari Anas bin Malik, salah satu sahabat yang sejak kecil melayani keperluan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan selalu bersama Rasulullah. Haram binti Milhan juga merupakan istri dari sahabat Rasulullah, Ubadah bin Shamit.

Ummu Haram dan Ubadah tinggal di kota Kuba, Kota tepat di luar Madinah. Kota Kuba ini merupakan kota yang menjadi tempat pemberhentian Rasulullah ketika beliau hijrah ke Madinah untuk pertama kalinya. Hingga kemudian tempat ini menjadi spesial untuk beliau dan seringkali berkunjung ke kota Kuba ini. Setiap kali beliau mengunjungi kota Kuba, Beliau pun selalu berkunjung dan istirahat sejenak di rumah Ummu Haram.

Dari hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari. Dikisahkan pada suatu hari ketika beliau sedang berkunjung dan tertidur di rumah Ummu Haram, Beliau terbangun dan kemudian tersenyum.

“Mengapa engkau tersenyum, Ya Rasulullah?” Tanya Ummu haram. Beliau menjawab, “Sekelompok manusia dari umatku diperlihatkan kepadaku, mereka berperang di jalan Allah dengan berlayar di lautan sebagaimana raja-raja di atas pasukannya atau laksana para raja yang memimpin pasukannya.”

Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk golongan mereka.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Ummu Haram lalu meletakkan kepalanya dan melanjutkan tidurnya. Sebentar kemudian beliau bangun dan tertawa.

Ummu Haram bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang membuat Anda tertawa?” Rasulullah bersabda, “Sekelompok manusia dari umatku diperlihatkan kepadaku tatkala berperang di jalan Allah laksana raja bagi pasukannya.”

Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk golongan mereka.” Rasulullah kemudian bersabda, ‘Engkau termasuk golongan para pemula.”

Apa yang dimimpikan oleh Rasulullah kemudian terjadi beberapa tahun setelah beliau wafat. Saat itu Muawiyah bin Sufyan , di masa kekhalifahan Utsman bin Affan ra, menyiapkan kapal dan pasukan untuk menaklukkan Pulau Cyprus yang ketika itu berada di bawah kekuasaan Byzantium.

Ummu Haram, yang usianya ketika itu sudah cukup tua ikut menyertai pasukan tersebut. Ini merupakan angkatan pertama pasukan Muslim yang melakukan perjalanan jihad melalui laut. Pasukan ini mendarat di kota Larnaca, di bagian selatan pulau Cyprus.

Setelah mengalahkan musuh dan bersiap untuk pulang, Ummu Haram terjatuh dari hewan yang dikendarainya. Lehernya pun patah dan beliau pun meninggal dunia disebabkan kejadian itu. Jenazah Ummu Haram kemudian dimakamkan di tempat ia mengalami kecelakaan di Cyprus, sekitar lima kilometer dari kota Larnaca. Hingga sekarang, makamnya menjadi tempat tujuan para turis yang mengunjungi Cyprusmdan menjadikan makam tersebut sebagai tempat penting bagi muslim di Cyprus.

Kerajaan Turki Utsmani menghormati makam Ummu Haram dengan membangun sebuah masjid di sebelahnya. Kompleks makam ini kemudian dikenal sebagai Hala Sultan Tekke.

SAHABIYYAH PENGUKIR SEJARAH Siapa Sosok Wanita Perisai Rasulullah


Sungguh mulia wanita di mata Islam. Faham feminis yang digembar-gemborkan jauh setelah Islam hadir di muka bumi tak sebanding dengan cara Islam memuliakan wanita. Dalam Islam, baik wanita maupun pria adalah sama di mata Allah, yang membedakan hanyalah iman dan ketakwaannya.

Tersebutlah kisah Nusaybah, seorang pejuang wanita zaman Nabi Muhammad yang turut serta terjun ke medan perang setelah melakukan bai’at atau sumpah setia kepada beliau untuk membela kebenaran. Sungguh, Islam sebagai sebenar-benarnya agama mengizinkan seorang wanita berkesempatan untuk mengembangkan potensi dalam diri dengan ilmu yang dimilikinya.

Sosok Wanita yang Menjiwai Perananya

Selain sebagai seorang wanita yang turut memanggul senjata, Nusaybah adalah seorang istri yang patuh dan taat pada suami serta seorang ibu yang harus mengurus anak-anaknya. Nusaybah atau sering dikenal dengan nama Ummu Imarah adalah wanita yang bertekad menunjukkan kemampuannya yang luar biasa mengurus rumah tangga sekaligus jaya di medan perang.

Ia ingin memberi contoh dan inspirasi bagi kaum muslimah untuk turut serta berperan aktif dalam menegakkan kebenaran sesuai kapasitasnya sebagai seorang perempuan yang diberi akal dan ilmu pengetahuan. Sebagai seorang wanita, baginya pintar saja tidak cukup. Mampu menjadi seorang yang berguna dan bermanfaat adalah pencapaian yang istimewa.

Sosok Wanita Perisai Rasulullah

Berawal saat Ummu Imarah bersama suami yang bernama Zaid bin Ashim dan kedua putranya Abdullah dan Habib melakukan bai’at kepada Rasulullah untuk turut serta membela kebenaran. Nusaybah tergabung bersama kelompok yang merawat prajurit terluka dan menjadi penyedia logistik di medan perang.

Tibalah suatu perang Uhud, para prajurit yang tengah bertempur didesak oleh prajurit musuh sehingga keselamatan Rasulullah berada di ujung tanduk. Mendengar hal itu, Nusaybah yang tengah berada di kamp logistik segera tergerak untuk mempersenjatai dirinya dan terjun ke tengah kekalutan perang.

Misinya adalah untuk menyelamatkan Rasulullah. Begitu ia mengedarkan pandangan, Ummu Imarah mendapati seorang prajurit dari kaum kafir hendak menyerang Nabi Muhammad. Dengan sigap ia mengayunkan pedangnya serta menghujani anak panah pada musuh-musuhnya demi menyelamatkan sang nabi.

Luka yang yang mengoyakkan tubuhnya tak cukup membuatnya gentar barang sedetikpun. Goresan pedang di lehernya tak ia hiraukan. Justru ia membalas dengan mendaratkan pukulan telak pada musuhnya. Kecintaannya akan utusan Allah SWT tak membuatnya lemah, malah ia bersikeras untuk melindungi dengan menjadi perisai Rasulullah.

Tangguh di Medan Perang

Suatu ketika terjadi peristiwa perang Yamamah, perang melawan kelompok musyrik yang dipimpin oleh Musailamah bin Al-Kadzab, Nusaybah pergi berperang bersama putranya yang bernama Abdullah dan pasukan umat muslim lain.

Dalam kesempatan perang itu, Nusaybah yang tangannya terputus dan terluka parah masih dengan gigih dan tekad yang kuat hendak menghabisi Musailamah yang berhadapan dengannya. Kabar gembira sampai kepadanya ketika pasukan umat muslim meraih kemenangannya dengan tumbangnya Al-Kadzab sang pemimpin perang.

Abdullah putra Ummu Imarah memapah ibunya melihat jenazah Al-Kadzab yang tergeletak, dan Ummu Imarah berkata, “tidak ada sesuatupun yang dapat menghalangiku hingga aku melihat manusia kotor ini telah dibunuh.”

Kecintaan Nusaybah akan Rasul dan agama Allah membuat ia lebih kuat dan berani. Sebagai wanita yang juga seorang istri dan ibu, Nusaybah sungguh luar biasa. Tak hanya tangguh di medan perang, tapi juga teladan bagi keluarga dan kaum muslimah.

Wanita Mulia dengan Cita-cita yang Tinggi

Suatu ketika Nusaybah mendapat kesempatan untuk mengutarakan apa yang diinginkan terhadap Rasulullah atas kegigihannya membela kebenaran. Karena Ummu Imarah ibu dua anak ini tidak gila materi dan kesenangan duniawi, maka ia tidak meminta kedudukan dan keistimewaan dunia yang hanya bisa dipandang manusia.

Nusaybah berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasul, berdoalah kepada Allah Ta’ala agar kami dapat menemanimu di surga”. Tidak ada alasan bagi Rasul untuk tidak mengabulkan permintaan itu dengan segera. Maka Rasulullah berdoa kepada Allah, “Ya Allah, jadikanlah mereka orang-orang yang akan menemaniku di surga.” 

Setelah mendengar kabar gembira atas doa Rasulullah tersebut, Nusaybah berkata, “Aku tidak akan peduli dengan apa yang akan menimpaku dari urusan dunia setelah ini.”

SAHABIYYAH PENGUKIR SEJARAH Kisah Haru Sedih Sang Syahidah Pertama


Seorang pemuda bernama ‘Ammar pulang ke rumahnya dengan bergegas. Wajahnya berseri, tak sabar menyampaikan kabar gembira pada orang tuanya. Kabar itu ialah tentang agama Islam dan diutusnya Muhammad sebagai nabi dan rasul. Hari itu adalah titik balik kehidupan Ammar dan keluarganya, yakni sang ayah bernama Yassar dan ibunya bernama Sumayyah.

Itu adalah hari di mana kebahagiaan dan kesengsaraan beradu. ‘Ammar menuntun orang tuanya untuk memeluk Islam. Dengan hidayah Allah, Yassar dan Sumayyah pun bersyahadat. Itulah mengapa hari itu menjadi hari paling bahagia dalam keluarga mereka. Lalu mengapa menjadi hari kesengsaraan pula, karena sejak mereka berislam artinya mereka siap menanggung segala penyiksaan kaum kafir Quraisy. Apalagi status Sumayyah sebagai seorang budak wanita.

Sumayyah binti Khayyat merupakan budak wanita milik Abu Hudzaifah bin Al Mughirah, Suku Quraisy dari Bani Makhzum. Tuannya lalu menikahkan Sumayyah dengan seorang pria rantau asal Yaman, Yasir bin Amir bin Malik. Pernikahan itu terjadi karena Yasir mendapat perlindungan dan menjadi sekutu Bani Makhzum sehingga dapat hidup di tanah Makkah.

Dari pernikahan Sumayyah dan Yasir itulah lahir ‘Ammar. Namun karena status Sumayyah adalah budak, anaknya pun otomatis berstatus budak. ‘Ammar pun menjadi budak Abu Hudzaifah sebagaimana ibunya. ‘Ammar sebetulnya telah dibebaskan dari status budak oleh Abu Hudzaifah. Namun keluarga Sumayyah tak pernah tinggal jauh dari Abu Hudzaifah hingga tuannya itu wafat, seakan keluarga Yasir menjadi pelayan Abu Hudzaifah selamanya.

Sumayyah bersama suaminya Yassir, mengenal Islam dari ‘Ammar yang diam-diam mendengarkan dakwah nabi. Mereka bertiga mendapat hidayah ketika Islam masih dianut segelintir orang. Jumlah pengikut Rasulullah hanya bisa dihitung jari. Saat itu, yakni di awal-awal Islam, pengikut Rasul yang berasal dari kaum Quraisy terlindungi dari siksaan, tak ada yang berani mengusik mereka. Namun mereka yang berstatus budak mendapat siksaan yang sangat berat. Sebut saja ‘Ammar, Yasir, Sumayyah, Shuhaib, Bilal, dan Al-Miqdad.

Ada yang disiksa dengan diberi pakaian dari besi yang berat lalu dibiarkan terbakar panasnya matahari di padang pasir. Ada yang ditahan kaumnya yang musyrik lalu disiksa bertubi-tubi. Siksaan demi siksaan mereka dapatkan setiap hari karena telah mengikuti ajaran sang nabi. Namun meski didera sakit yang luar biasa, tak ada satu pun dari mereka yang goyah imannya, tak ada satu pun dari mereka yang ingin kembali menyembah berhala.

Pun demikian dengan Sumayyah dan keluarganya. Mereka terus saja disiksa oleh Bani Makhzum. Sepanjang waktu mereka mendapat siksaan demi siksaan, celaan demi celaan, cambukan demi cambukan. Namun Sumayyah bersama suami dan anaknya terus saja bersabar.

Suatu hari Rasulullah berjalan bersama Utsman bin Affan. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam pun melewati keluarga Sumayyah. Rasulullah merasa sangat berduka melihat kondisi keluarga Yasir. Melihat Rasulullah, Yasir serta merta mengadukan kondisi penyiksaan Bani Makhzum yang diterima keluarganya. “Wahai Rasulullah, demikian keadaannya sepanjang waktu.”

Rasulullah pun bersabda, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir, sesungguhnya tempat yang dijanjikan bagi kalian adalah surga.” Sumayyah dan keluarganya dijanjikan langsung dari lisan utusan Allah bahwa akan mendapat surga jikalau bersabar mempertahankan keimanan. Keluarga Yasir pun kembali bersemangat mendengar janji surga untuk mereka.

Keluarga Sumayyah pun terus bersabar meski siksaan yang diterima semakin hari semakin berat. Mereka lemah tak berdaya. Hingga siksaan itu pun mencapai puncaknya. Di suatu malam, tiba-tiba Abu Jahl mendatangi keluarga Yasir. Ia menjumpai Sumayyah lalu segeralah lisan sang musuh Allah melontarkan penghinaan yang sangat kotor pada Sumayyah, muslimah hamba Allah yang shalihah.

Sumayyah hanya terdiam dengan sabar. Emosi Abu Jahl makin memuncak. Diambilnya sebuah tombak lalu ditancapkanlah tombak itu ke arah Sumayyah. Sadisnya, Abu Jahl menancapkan tombak tajam nan runcing itu ke kemaluan Sumayyah hingga darah Sumayyah keluar memancar dan ia merasakan sakit yang teramat dahsyat. Sumayyah pun meninggal dunia menghadap maghfirah-Nya.

Sumayyah menjadi muslimah pertama yang syahid di dalam Islam. Ialah wanita pertama yang meninggal karena membela agamanya. Ialah sang syahidah pertama yang meraih janji surga. Semoga Allah meridhai Sumayyah binti Khayyath.

SAHABIYYAH PENGUKIR SEJARAH Romantisme Kisah Sang Pengantin Bermaharkan Islam


Lembaran kehidupan Rumaisha binti Milhan tak pernah lekang dari ingatan muslimah. Ummu Sulaim, demikian umat mengenal sosoknya. Ialah sang wanita di belakang medan perang, sang janda bermaharkan Islam, ibu yang sangat sabar menghadapi kematian putranya, serta istri yang melapangkan hati suami saat takdir pahit kematian itu terjadi.

Betapa banyak hikmah yang bisa dipetik dari kehidupan Ummu Sulaim. Dalam berumah tangga, beliau Rhadiyallahu ‘anha merupakan sosok yang romantis dan menjadi panutan muslimah di penjuru dunia hingga hari akhir. Sikapnya di hadapan sang suami, yakni Abu Thalhah, menjadi pelajaran berharga tentang menjadi seorang istri.

Mahar Agama

Saat Abu Thalhah datang melamar, Ummu Sulaim merupakan seorang janda. Namun Ummu Sulaim tak buru-buru menerima lamaran pria. Padahal ia harus mencari nafkah untuk merawat anak-anaknya yang yatim. Sementara Abu Thalhah merupakan pria yang banyak harta.

Namun ternyata Ummu Sulaim menolak lamaran Abu Thalhah. Alasannya karena agama. Ya, Abu Thalhah masih musyrik kala itu.

Ummu Sulaim berkata saat menolak lamaran itu, “Wahai Abu Thalhah, orang sepertimu tidak semestinya lamarannya ditolak. Akan tetapi, engkau masih kafir, sedangkan aku wanita muslimah. Aku tidak boleh menikah denganmu.”

Abu Thalhah yang sudah jatuh hati pada Ummu Sulaim pun menawarkan harta. Ia tahu betul seorang janda membutuhkan nafkah untuk anak-anaknya, “Kalau kamu mau, aku akan memenuhi keinginanmu!” ujar Abu Thalhah.
Ummu Sulaim pun berkata, “Apa yang ada di benakmu tentang keinginanku?”

“Aku akan memberimu emas dan perak,” jawab Abu Thalhah.

“Bukan emas dan perak yang kuinginkan darimu. Yang kuinginkan darimu adalah Islam. Jika engkau mau masuk Islam, itulah maharku. Aku tidak meminta kepadamu selain itu,” tutur Ummu Sulaim.

Masya Allah, tak ada prosesi lamaran yang lebih romantis daripada kisah Ummu Sulaim dan Abu Thalhah. Setelah momen itu, Abu Thalhah segera menemui Rasulullah dan belajar Islam dari beliau Shallallahu‘alaihi wa sallam. Tak lama kemudian, Ummu Sulaim dan Abu Thalhah pun menikah.

Mempercantik Diri

Ummu Sulaim selalu mempercantik diri di hadapan suaminya, Abu Thalhah. Bahkan suatu hari, salah seorang putranya sakit keras hingga menemui ajal. Namun ia melarang kerabatnya untuk memberitahu Abu Thalhah tentang kabar tersebut. Pasalnya, si putra yang meninggal adalah anak kesayangan Abu Thalhah.

Setelah putranya dikuburkan, Ummu Sulaim tetap berias diri. Ia berdandan untuk menyambut kepulangan Abu Thalhah. Padahal ia masih sangat berduka atas kematian putranya. Namun Ummu Sulaim tetap berdandan untuk melayani sang suami. Inilah sikap romantis dari Ummu Sulaim yang patut ditiru muslimah.

Namun fenomena yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Wanita berdandan justru bukan di hadapan suami, melainkan saat keluar rumah. Mereka menggunakan make up ketika bertemu teman-temannya, jalan-jalan, bahkan berbelanja. Akan tetapi ketika di rumah, di hadapan suami, ia justru tak merias diri. Tak heran jika kemudian muncul perselingkuhan yang merusak keharmonisan rumah tangga.

Menyiapkan Makan Malam

Saat Abu Thalhah pulang bersama teman-temannya, Ummu Sulaim telah siap menyiapkan makanan. Ia memasak untuk suaminya dan tamu yang datang. Itu adalah hari yang sama saat anaknya meninggal. Abu Thalhah tak mengetahui kabar tersebut sementara Ummu Sulaim berada di atas kesabaran yang luar biasa hingga dapat melakukan aktivitas seperti biasa.

Ia memasak untuk Abu Thalhah, bahkan tamu-tamu suaminya. Mereka pun kenyang dan merasa nikmat dengan masakan Ummu Sulaim. Meski nampak sederhana, memasakkan suami pun salah satu sikap romantis jika dilakukan degan ikhlas hati.

Menyembunyikan Duka

Satu lagi sikap romantis lain yang juga dimiliki Ummu Sulaim. Yakni bagaimana Ummu Sulaim menyembunyikan duka cita atas kematian putranya. Ia menyembunyikan duka hatinya di hadapan sang suami. Seakan tak ada masalah, Ummu Sulaim melayani Abu Thalhah sebagaimana biasa. Sampai-sampai, Abu Thalhah tak mengetahuinya dan tak menyangka kesedihan baru saja melanda rumahnya. Sebaiknya, Abu Thalhah justru merasa senang malam itu.

Ketika melihat suaminya telah tenang, barulah Ummu Sulaim memberitahu kabar duka tersebut. Cara Ummu Sulaim memberikan kabar duka pun sangat romantis. Ia berkata kepada suaminya,
“Wahai Abu Thalhah, apa pendapatmu jika ada suatu kaum meminjamkan barang kepada kaum yang lain, lalu mereka meminta kembali barang pinjaman tersebut. Apakah kaum yang dipinjami berhak untuk tidak mengembalikan barang itu?”

“Tentu saja tidak,” jawab Abu Thalhah.

Ummu Sulaim pun berkata, “Sesungguhnya Allah telah meminjamimu anak, kemudian Dia mengambilnya kembali. Oleh karena itu, bersabarlah dan harapkanlah pahala dari Allah.”

Abu Thalhah pun begitu kaget mendengarnya. Namun karena ia telah tenang, Abu Thalhah pun dapat bersabar. Ia berkata pada Ummu Sulaim, “Engkau tidak memberitahuku tentang berita kematian anakku sampai terjadi apa yang terjadi, barulah engkau memberitahukan kepadaku perihal putraku?! Inna lillahi wainna ilahi raaji’un.”

Sikap Ummu Sulaim lagi-lagi berbeda dengan muslimah di masa kini. Jangankan menyimpan duka, jika ada sedikit masalah di rumah pun rasanya ingin segera memberitahu suami. Jangankan menunggu suami tenang, saat suami masih di kantor pun sudah dikirimi pesan singkat tentang beragam masalah di rumah.

Sementara Ummu Sulaim sanggup menyimpan dukanya, bersabar, melayani sebaik mungkin sebagai istri, barulah ia memberi kabar duka pun dengan kata-kata bijaknya. Masya Allah, betapa indahnya akhlak wanita shalihah sang shahabiyyah mulia.

Demikianlah beberapa pelajaran yang bisa diambil dari kisah Rumaisha binti Milhan atau Ummu Sulaim, sang istri yang romantis dan senantiasa menjadi penyejuk hati suami. Tak hanya itu, ia pula sosok ibu yang luar biasa, pendidik yang bijaksana.

Lahir dari hasil didikannya, seorang anak yang menjadi salah satu perawi hadits nabi. Ialah Anas bin Malik. Semoga Allah meridhai Ummu Sulaim dan keluarganya.



Meninggalkan Zina Karena Takut Kepada Allah


Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Tidaklah berbicara ketika masih dalam buaian (bayi) kecuali tiga orang, Isa bin Maryam. Beliau bersabda, ‘Dulu, dikalangan Bani Israil terdapat seorang laki-laki yang ahli ibadah. Ia dipanggil dengan nama Juraij. Ia membangun tempat ibadahnya dan melakukan ibadah di dalamnya’.

Beliau bersabda, “orang-orang Bani Israil menyebut-nyebut tentang (ketekunan) ibadah Juraij, sehingga berkatalah seorang pelacur dari mereka, ‘Jika kalian mnghendaki aku akan memberinya ujian’. Mereka berkata, ‘Kami menghendakinya’. Perempuan itu lalu mendatanginya dan menawarkan diri kepadanya. Tetapi Juraij tidak mempedulikannya. Lalu ia berzina dengan seorang gembala yang meneduhkan kambing gembalaannya ke dekat tempat ibadah Juraij. Akhirnya iapun hamil dan melahirkan seorang bayi.

Orang-orang bertanya, ‘Hasil perbuatan siapa?’ Ia menjawab, ‘Juraij’. Maka mereka mendatanginya dan memaksanya turun. Mereka mencaci, memukulinya dan merobohkan tempat ibadahnya’. Juraij bertanya, apa yang terjadi dengan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Engkau telah berzina dengan pelacur ini, sehingga ia melahirkan seorang bayi’. Ia bertanya ‘Dimana dia?’ Mereka menjawab, ‘Itu dia!’ Beliau bersabda, ‘Juraij lalu berdiri dan shalat kemudian berdo’a. Setelah itu ia menghampiri sang bayi lalu mencoleknya seraya berkata, ‘Demi Allah, wahai bayi, siapa ayahmu?’ Sang bayi menjawab, ‘Aku adalah anak tukang gembala’. Serta merta orang-orangpun menghambur kepada Juraij dan menciuminya.

Mereka berkata kami akan membangun tempat ibadahmu dari emas’. Ia menjawab aku tidak membutuhkan yang demikian, tetapi bangunlah ia dari tanah sebagaimana yang semula’. Beliau bersabda, ‘Ketika seorang ibu memangku anaknya menyususi tiba-tiba lewat seorang penunggang kuda yang mengenakan tanda pangkat, maka ia pun berkata, ‘Ya Allah, jadikanlah anakku seperti dia’. Beliau bersabda, ‘Maka bayi itu meninggalakan tetek ibunya dan menghadap kepada penunggang kuda seraya berdo’a, ‘Ya Allah jangan kau jadikan aku seperti dia’. Lalu ia kembali lagi ke tetek ibunya dan menghisapnya’. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, ‘Seakan-akan aku melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menirukan gerakan si bayi dan meletakkan jarinya di mulut lalu menghisapnya.

Lalu ibunya melalui seorang wanita hamba sahaya yang sedang dipukuli. Sang ibu berkata, ‘Ya Allah, jangan jadikan anakku seperti dia’. Beliau bersabda, ‘Bayi itu lalu meninggalkan tetek ibunya dan menghadap kepada wanita hamba sahaya itu seraya berdo’a, ‘Ya Allah jadikanlah aku seperti dia’. Beliau bersabda, ‘Dan pembicaraan itu berulang. Sang ibu berkata (kepada anaknya), ‘Dibelakangku berlalu seorang penunggang kuda yang mengenakan tanda pangkat lalu aku berkata, ‘Ya Allah, jadikanlah anakku seperti dia’. Lantas engkau berkata, ‘Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia’. Lalu aku berlalu dihadapan wanita hamba sahaya ini dan aku katakan, ‘Ya Allah, jangan jadikan anakku seperti dia’. Lalu engkau berkata, ‘Ya Allah jadikanlah aku seperti dia’. Bayi itu berkata, ‘Wahai ibu, sesungguhnya penunggang kuda yang mengenakan tanda pangkat itu adalah orang yang sombong di antara orang-orang yang sombong. 

Sedang terhadap hamba sahaya wanita itu, orang-orang berkata, ‘Dia berzina, padahal ia tidak berzina. Dia mencuri, padahal ia tidak mencuri’. Sedang hamba sahaya tersebut berkata, ‘cukuplah Allah sebagai pelindungku’. (HR. Al-Bukhari, 6/511, Ahmad dan ini adalah lafazh beliau, Muslim dalam Al-Adab.)

Balasan Kesabaran


Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata: “Anak laki-laki Abu Thalhah dari Ummu Salamah meninggal dunia. Maka isterinya berkata kepada keluarganya, ‘Jangan kalian beritakan kepada Abu Thalhah tentang kematiannya, sam-pai aku sendiri yang mengabarkannya!’ Anas bin Malik berkata, ‘Abu Thalhah datang dan dihidangkan kepadanya makan malam, maka ia pun makan dan minum’.

Anas berkata, ‘Sang isteri kemudian berdandan indah bahkan lebih indah dari waktu-waktu yang sebelumnya. Setelah dia merasa bahwa Abu Thalhah telah kenyang dan puas dengan pelayanannya, sang isteri bertanya, ‘Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu tentang suatu kaum yang meminjamkan sesuatu kepada sebuah keluarga, lalu mereka mengambil barang yang dipinjamkannya, apakah mereka berhak menolaknya?’ Ia berkata, ‘Tidak (berhak)!’ ‘Jika demikian, maka mintalah pahalanya kepada Allah tentang puteramu (yang telah diambilNya kembali)’, kata sang isteri. Suaminya menyergah, ‘Engkau biarkan aku, sehingga aku tidak mengetahui apa-apa, lalu engkau beritakan tentang (kematian) anakku?’

Setelah itu, ia berangkat mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia ceritakan apa yang telah terjadi. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua tadi malam’. Anas berkata, ‘Lalu isterinya mengandung dan melahirkan seorang anak. Kemudian Abu Thalhah berkata kepadaku, ‘Bawalah dia kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam’. Lalu aku bawakan untuknya beberapa buah kurma. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengambil anak itu seraya berkata, ‘Apakah dia membawa sesuatu?’ Mereka berkata, ‘Ya, beberapa buah kur-ma’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengam-bilnya dan mengunyahnya, lalu diambilnya dari mulutnya, kemudian diletakkannya di mulut bayi itu dan beliau meng-gosok-gosokkannya pada langit-langit mulut bayi itu, dan beliau menamainya Abdullah’.” (HR. Al-Bukhari, 9/587 dalam Al-Aqiqah, Muslim no. 2144).

Dalam riwayat Al-Bukhari, Sufyan bin Uyainah berkata: “Seorang laki-laki dari sahabat Anshar berkata, ‘Aku me-lihat mereka memiliki sembilan anak. Semuanya telah hafal Al-Qur’an, yakni dari anak-anak Abdullah, yang dilahirkan dari persetubuhan malam itu, yaitu malam wafatnya anak yang pertama, yaitu Abu Umair yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencandainya seraya berkata, ‘Hai Abu Umair, apa yang sedang dilakukan anak burung pipit?’

Dalam riwayat lain disebutkan: “Ia berkata, ‘Maka isterinya pun hamil mengandung anaknya, lalu anak itu ia beri nama Abdullah, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam umatku orang yang memiliki kesabaran seperti kesabaran seorang wanita dari Bani Israil’. Kepada beliau ditanyakan, ‘Bagaimana beritanya wahai Rasulullah?’ Be-liau bersabda, ‘Dalam Bani Israil terdapat wanita bersuami yang memiliki dua anak. Suaminya memerintahkannya menyediakan makanan untuk orang-orang yang ia undang.

Para undangan berkumpul di rumahnya. Ketika itu kedua anaknya keluar untuk bermain, tiba-tiba mereka terjatuh ke dalam sumur dekat rumahnya. Sang isteri tidak hendak mengganggu suaminya bersama para tamunya, maka ke-duanya ia masukkan ke dalam rumah dan ditutupinya dengan pakaian. Ketika para undangan sudah pulang, sang suami masuk seraya bertanya, ‘di mana anak-anakku?’ Isterinya menjawab, ‘Di dalam rumah’. Ia lalu mengenakan minyak wangi dan menawarkan diri kepada suaminya sehingga mereka melakukan jima’.

Sang suami kembali bertanya, ‘Di mana anak-anakku?’ ‘Di dalam rumah’, jawab isterinya. Lalu sang ayah memanggil kedua anaknya. Tiba-tiba mereka keluar memenuhi panggilan. Sang isteri terperanjat, ‘Subhanallah, Mahasuci Allah, demi Allah ke-duanya telah meninggal dunia, tetapi Allah menghidupkannya kembali sebagai balasan dari kesabaranku’.”

Mendahulukan Kepentingan Orang Lain


Al-Waqidy bercerita:
“Suatu saat, saya berada dalam himpitan ekonomi yang begitu keras. Hingga tiba bulan Ramadhan, saya tidak mempunyai uang sedikit pun. Saya bingung, lalu aku menulis surat kepada teman saya yang seorang alawy (keturunan Ali bin Abi Thalib). Saya memintanya meminjami saya uang sebesar seribu dirham. Dia pun mengirimkan kepada saya uang sebesar itu dalam sebuah kantong yang tertutup. Kantong itu saya taruh di rumah … Malam harinya saya menerima sepucuk surat dari teman saya yang lain. Dia meminta saya meminjaminya uang sebesar seribu dirham untuk kebutuhan bulan puasa. Tanpa pikir panjang, saya kirim untuknya kantong uang yang tutupnya masih utuh.

Besok harinya, saya kedatangan teman yang meminjamiku uang, juga teman alawy yang saya berhutang pada-nya. Yang alawy ini menanyakan kepada saya perihal uang seribu dirham itu. Saya jawab, bahwa saya telah mengeluar-kannya untuk suatu kepentingan. Tiba-tiba dia mengeluarkan kantong itu sambil tertawa dan berkata, ‘Demi Allah, bulan Ramadhan sudah dekat, saya tidak punya apa-apa lagi kecuali 1000 dirham ini. Setelah kau menulis surat pada saya, saya kirim uang ini kepadamu. Sementara saya juga menulis surat pada teman kita yang satu ini untuk pinjam uang seribu dirham. Lalu dia mengirimkan kantong ini kepada saya. Maka saya bertanya, bagaimana ceritanya hingga bisa begini? Dia pun bercerita kepada saya. Dan sekarang ini, kami datang untuk membagi uang ini, buat kita bertiga. Semoga Allah akan memberikan kelapangan kepada kita semua.’”

Al-Waqidy berkata:
“Saya berkata pada kedua teman itu, ‘Saya tidak tahu siapa di antara kita yang lebih dermawan.’ Kemudian kami membagi uang itu bertiga. Bulan Ramadhan pun tiba dan saya telah membelanjakan sebagian besar hasil pembagian itu. Akhirnya perasaan gundah datang lagi, saya berfikir, aduhai bagaimana ini?

Tiba-tiba datanglah utusan Yahya bin Khalid Al-Barma-ky di pagi hari, meminta saya untuk menemuinya. Ketika saya menghadap pada Yahya Al-Barmaki, dia berkata, ‘Ya Waqidy! Tadi malam aku bermimpi melihatmu. Kondisimu saat itu sangat memprihatinkan. Coba jelaskan ada apa denganmu?’

Maka saya menjelaskannya sampai pada kisah tentang teman saya yang alawy , teman saya yang satunya lagi dan uang 1000 dirham. Lalu dia berkomentar, ‘Aku tidak tahu siapa di antara kalian yang lebih dermawan.’ Selanjutnya, dia memerintahkan agar saya diberi uang tiga puluh ribu dirham dan dua puluh ribu dirham untuk dua teman saya. Dan dia meminta saya untuk menjadi Qadhi.

Tinggalkan Sifat Dengki Meraih Surga


Diriwayatkan dari Anas bin Malik, dia berkata:
“Saat kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, ‘Akan datang kepada kalian sekarang ini seorang laki-laki penghuni Surga’. Tiba-tiba ada seorang laki-laki dari kaum Anshar yang datang sementara bekas air wudhu masih mengalir di jenggotnya, sedang tangan kirinya memegang terompah. Keesokan harinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan seperti perkataannya yang kemarin.

Lalu muncullah laki-laki itu lagi persis seperti kedatangannya perta-ma kali. Di hari ketiga Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya lagi dan datanglah laki-laki itu lagi seperti kedatangannya pertama kali. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak, Abdullah bin Amr bin Ash membuntuti laki-laki tadi sampai ke rumahnya. Lalu Abdullah berkata, ‘Aku telah bertengkar dengan ayahku, kemudian aku bersumpah untuk tidak mendatanginya selama tiga hari. Bila kau setuju, aku mau tinggal bersamamu sampai tiga hari.’ Dia menjawab, ‘Ya, boleh.’”

Anas berkata: “Abdullah menceritakan bahwa dia telah menginap di tempat laki-laki itu selama tiga hari. Dia lihat orang itu sama sekali tidak bangun malam (tahajjud). Hanya saja, setiap kali dia terjaga dan menggeliat di atas ranjangnya, dia selalu membaca dzikir dan takbir sampai dia bangun untuk melaksanakan shalat subuh. Selain itu -kata Abdullah-, ‘aku tidak pernah mendengarnya berbicara kecuali yang baik-baik.

Setelah tiga malam berlalu dan hampir saja aku menyepelekan amalnya, aku terusik untuk bertanya, ‘Wahai hamba Allah, sesungguhnya tidak pernah terjadi pertengkaran dan tak saling menyapa antara aku dengan ayahku, aku hanya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang dirimu tiga kali, bahwa akan datang kepada kalian sekarang ini seorang laki-laki penghuni Surga dan sebanyak tiga kali itu kaulah yang datang.

Maka aku pun ingin bersamamu agar aku bisa melihat apakah amalanmu itu dan nanti akan aku tiru. Tetapi ternyata kau tidak terlalu banyak beramal. Apakah sebenarnya yang membuatmu bisa mencapai apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’. Maka dia menjawab, ‘Aku tidak mempunyai amalan kecuali yang telah kau lihat sendiri’. Ketika aku hendak berpaling pergi, dia memanggilku, lalu berkata, ‘Benar amalanku hanya yang kau lihat sendiri, hanya saja aku tidak mendapatkan pada diriku sifat curang terhadap seorang pun dari kaum muslimin. Aku juga tidak iri pada seseorang atas karunia yang telah diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya’. Maka Abdullah bin Amr berkata, ‘Inilah amalan yang telah menyampaikanmu pada derajat tinggi dan inilah yang berat untuk kami lakukan.’”

Perniagaan Yang Menguntungkan


Kita tahu bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang telah membela dan banyak berkorban demi agama Islam yang agung ini. Mereka adalah sebaik-baik penolong untuk agama ini. Mereka juga sebaik-baik pejuang di jalannya. Hal ini terjadi pada mereka, karena mereka menjadikan ajaran Islam sebagai sebuah realita dalam perilaku mereka dan sebagai sesuatu yang begitu terasa berada dalam hati mereka. Hingga hal itu menjadi tabiat mereka dengan seikhlas-ikhlasnya dan berani membela agama ini walaupun harus membayar dengan harga yang mahal.

Islam mengajak mereka untuk hijrah. Dengan cepat mereka menyambut seruan itu; meninggalkan Makkah walau hati mereka penuh kerinduan kepadanya dan jiwa mereka dihiasi dengan kecintaan padanya. Mereka lebih mengutamakan aqidah dibanding tempat-tempat main mereka saat masih kanak-kanak, tempat yang penuh dengan kenangan indah.

Islam mengajak mereka untuk berjihad. Ternyata me-reka adalah prajurit-prajurit tangguh yang tidak dihinggapi rasa takut. Mereka berhijrah karena Allah dan karena RasulNya, dan mereka berhasil memberikan tauladan baik yang monumental dan indah dalam pengorbanan dan keimanan mereka yang sejati. Simaklah kisah berikut ini.

Ketika Shuhaib pergi menyusul Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berhijrah, ada beberapa orang Quraisy yang membuntutinya. Mereka berkata pada Shuhaib: “Dulu kau datang pada kami dalam keadaan tidak punya apa-apa, kemudian kau hidup bersama kami dan mendapat-kan harta yang banyak dan kau menjadi orang seperti sekarang ini. Tahu-tahu kau ingin keluar dengan membawa semua hartamu? Demi Allah, hal itu tidak akan pernah terjadi”.

Lalu Shuhaib turun dari tunggangannya, dikeluarkannya anak panah dari tempatnya, seraya berkata: “Wahai kaum Quraisy, kalian sudah tahu bahwa aku termasuk orang paling pandai memanah di antara kalian. Demi Allah, kalian tidak akan menyentuhku kecuali akan aku bidik dengan semua anak panahku, kemudian aku akan menebas dengan pedangku ini selama dia berada di tanganku. Ayo lakukan apa yang kalian inginkan!” Akan tetapi Shuhaib setelah itu berkata: “Bagaimana bila aku tinggalkan semua hartaku untuk kalian, apakah kalian akan membiarkan aku pergi?” Mereka menjawab: “Ya.” Maka Shuhaib meninggal-kan semua hartanya untuk mereka. Dan ketika sampai ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madi-nah, beliau bersabda: “Telah beruntung perniagaanmu hai Abu Yahya. Telah beruntung perniagaanmu hai Abu Yah-ya.” Dan turunlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan di antara manusia itu ada seseorang yang mengor-bankan dirinya karena mencari keridhaan Allah.” (Al-Baqarah: 207).

Memberi Satu Dirham Lalu Allah Memberinya Seratus Dua Puluh Ribu Dirham


Dari Al-Fudhail bin ‘Iyadh ia berkata, seorang laki-laki menceritakan kepadaku: “Ada laki-laki yang keluar membawa benang tenun, lalu ia menjualnya satu dirham untuk membeli tepung. Ketika pulang, ia melewati dua orang laki-laki yang masing-masing menjambak kepala kawannya. Ia lalu bertanya, ‘Ada apa?’ Orang pun memberitahunya bahwa keduanya bertengkar karena uang satu dirham. Maka, ia berikan uang satu dirham kepada keduanya, dan ia pun tak memiliki sesuatu.

Ia lalu mendatangi isterinya seraya mengabarkan apa yang telah terjadi. Sang isteri lalu mengumpulkan beberapa perkakas rumah tangga. Laki-laki itu pun berangkat kembali untuk menggadaikannya, tetapi barang-barang itu tidak laku. Tiba-tiba kemudian ia berpapasan dengan laki-laki yang membawa ikan yang menebar bau busuk. Orang itu lalu berkata kepadanya, ‘Engkau membawa sesuatu yang tidak laku, demikian pula dengan yang saya bawa. Apakah Anda mau menukarnya dengan barang (daganganku)?’ Ia pun mengiakan. Ikan itu pun dibawanya pulang. Kepada isterinya ia berkata, ‘Dindaku, segeralah urus (masak) ikan ini, kita hampir tak berdaya karena lapar!’ Maka sang isteri segera mengurus ikan tersebut. Lalu dibelahnya perut ikan tersebut. Tiba-tiba sebuah mutiara keluar dari perut ikan tersebut.
Wanita itu pun berkata gembira, ‘Suamiku, dari perut ikan ini keluar sesuatu yang lebih kecil daripada telur ayam, ia hampir sebesar telur burung dara’.

Suaminya berkata, ‘Perlihatkanlah kepadaku!’ Maka ia melihat sesuatu yang tak pernah dilihatnya sepanjang hidupnya. Pikirannya melayang, hatinya berdebar. Ia lalu berkata kepada isterinya, ‘Saya kira ini adalah mutiara!’ Sang isteri menyahut, ‘Tahukah engkau berapa nilai mutiara ini?’ ‘Tidak, tetapi aku mengetahui siapa orang yang pintar dalam hal ini’, jawab suaminya. Ia lalu mengambil mutiara itu. Ia segera pergi ke tempat para penjual mutiara.

Ia menghampiri kawannya yang ahli di bidang mutiara. Ia mengucapkan salam kepadanya, sang kawan pun menjawab salamnya. Selanjutnya ia berbicara kepadanya seraya mengeluarkan sesuatu sebesar telur burung dara. ‘Tahukah Anda, berapa nilai ini?’, ia bertanya. Kawannya mem-perhatikan barang itu begitu lama, baru kemudian ia berkata, ‘Aku menghargainya 40 ribu. Jika Anda mau, uang itu akan kubayar kontan sekarang juga kepadamu. Tapi jika Anda menginginkan harga lebih tinggi, pergilah kepada si fulan, dia akan memberimu harga lebih tinggi dariku’.

Maka ia pun pergi kepadanya. Orang itu memperhatikan barang tersebut dan mengakui keelokannya. Ia kemudian berkata, ‘Aku hargai barang itu 80 ribu. Jika Anda menginginkan harga lebih tinggi, pergilah kepada si fulan, saya kira dia akan memberi harga lebih tinggi dariku’.

Segera ia bergegas menuju kepadanya. Orang itu berkata, ‘Aku hargai barang itu 120 ribu. Dan saya kira, tidak ada orang yang berani menambah sedikit pun dari harga itu!’ ‘Ya’, ia pun setuju. Lalu harta itu ditimbangnya. Maka pada hari itu, ia membawa dua belas kantung uang. Pada masing-masingnya terdapat 10.000 dirham. Uang itu pun ia bawa ke rumahnya untuk disimpan. Tiba-tiba di pintu rumahnya ada seorang fakir yang meminta-minta. Maka ia berkata, ‘Saya punya kisah, karena itu masuklah!’ Orang itu pun masuk. Ia berkata, ‘Ambillah separuh dari hartaku ini. Maka, orang fakir itu mengambil enam kantung uang dan dibawanya. Setelah agak menjauh, ia kembali lagi seraya berkata, ‘Sebenarnya aku bukanlah orang miskin atau fakir, tetapi Allah Ta’ala telah mengutusku kepadamu, yakni Dzat yang telah mengganti satu dirhammu dengan 20 qirath. Dan ini yang diberikanNya kepadamu adalah baru satu qirath daripadanya, dan Dia menyimpan untukmu 19 qirath yang lain.

Perniagaan Yang Menguntungkan

Tetap Selamat Walaupun Dua kali Dilemparkan Dari Tempat Yang Tinggi


Asy-Syarif Abul Hasan Muhammad bin Umar Al-Alawy bercerita: “Ketika aku diisolir oleh pihak pemerintah di benteng Khast di pinggiran kota Naisabur, Persia, pemilik benteng tersebut menemani aku dengan cerita-ceritanya. Suatu hari dia bercerita, bahwa benteng ini dulu dimiliki oleh seorang pria yang sebelumnya adalah penggembala, kemudian dia menjadi ketua sebuah kelompok perampok dan berhasil menguasai benteng ini. Dia menjadikan benteng ini sebagai markas.

Banyak pencuri yang bergabung dengannya. Dia bersama kelompoknya sering mengincar daerah-daerah pinggiran. Mereka keluar bersama-sama, membajak harta orang di jalan dan merampas barang milik orang-orang kampung. Mereka membuat kerusakan, ke-mudian kembali ke benteng ini. Tidak ada yang berani menangkap mereka sampai akhirnya datang Abul Fadl Ibnul ‘Amid yang berhasil mengepung mereka beberapa waktu hingga berhasil menaklukkan benteng ini dan menyerahkannya kepada pemerintah.

Saat di kepung oleh Abul Fadl, mereka tidak tinggal diam, mereka turun dan mengadakan perlawanan. Tetapi Abul Fadl -akhirnya- berhasil menguasai mereka dalam sebuah pertarungan yang terjadi antara Abul Fadl dan mereka yang berjumlah kurang lebih 50 orang. Abul Fadl ingin membunuh mereka dengan cara yang dapat membuat takut semua orang yang tinggal di benteng itu. Benteng itu terletak di sebuah gunung yang besar dan berhadapan dengan sebuah gunung lain tempat Abul Fadl singgah per-tama kali sebelum masuk ke dalamnya.

Abul Fadl membawa semua orang yang berhasil ditawan itu ke puncak gunung tempat benteng itu berada. Kemudi-an melemparkan mereka satu per satu. Di antara mereka yang dilempar itu ada yang tiba di tanah dalam keadaan terpotong-potong karena berbenturan keras dengan batu-batu gunung yang runcing. Tak satu pun dari mereka yang selamat. Tetapi anehnya, ada seorang anak muda yang baru tumbuh jenggot dan kumisnya-, ketika dilemparkan dari atas gunung dia tiba di tanah dalam keadaan selamat. Tidak cidera sedikit pun, sementara tali yang mengikatnya putus bercerai-berai. Anak muda ini terus bangun ingin menyelamatkan diri.

Abul Fadl beserta kawan-kawannya meneriakkan takbir dan tahlil kala melihat bagaimana anak muda itu bisa sela-mat. Semua yang tinggal di dalam benteng juga ikut bertahlil.

Abul Fadl jadi penasaran dan murka. Dia memerintahkan agar anak muda itu dibawa lagi ke hadapannya. Ditangkaplah anak muda itu kembali dan diikat tangannya, kemudian Abul Fadl memerintahkan untuk dilemparkan lagi. Akan tetapi orang-orang yang bersamanya meminta agar dia diampuni saja. Abul Fadl menolak permintaan itu, bahkan dia bersumpah agar anak muda itu dilemparkan lagi. Mereka pun diam. Dilemparkanlah anak muda itu, ketika dia tiba di tanah, ternyata dia bangun, berjalan tanpa ada cidera. Saat itu, gema takbir dan tahlil lebih keras dari yang pertama.

Orang-orang yang hadir saat itu berkata, ‘Apa yang kau inginkan setelah ini?’ Kemudian mereka memohon agar dia diampuni, sampai-sampai ada di antara mereka yang menangis. Abul Fadl menjadi malu campur heran. Dia berkata, ‘Kalau begitu, bawalah dia ke mari dalam keadaan aman!’ Setelah anak muda itu berada di hadapannya, dia memerintahkan agar tali pengikatnya dilepas dan diberi hadiah baju. Abul Fadl berkata, ‘Ceritakanlah dengan jujur tentang rahasiamu bersama Allah sehingga kau bisa diselamatkan seperti ini!’

Anak muda itu menjawab, ‘Aku tidak tahu amal apa yang telah menjadikanku berhak mendapatkan ini. Hanya saja, dulu, saat aku masih muda sekali belum ada bulu yang tumbuh di wajahku aku pernah bersama guruku “Fulan” yang termasuk korban yang terbunuh hari ini. Pria itu sering membawaku keluar bersamanya. Kami meram-pok orang di jalan, membunuh, merampas harta orang, mencemari kehormatan wanita, memperkosa mereka dan mengambil semua apa yang kami dapati. Bila aku tidak menuruti perintahnya, maka dia akan menyiksaku atau mungkin sampai membunuhku.’ Abul Fadl bertanya, ‘Apakah kamu melalukan puasa dan shalat?’ Anak muda itu menjawab, ‘Aku tidak tahu apa yang namanya shalat. Aku tidak pernah puasa dan memang tidak ada satu pun di antara kami yang berpuasa.’

Abul Fadl kaget, ‘Hei, kalau begitu, amal apa yang kamu kerjakan hingga Allah bisa menyelamatkanmu? Apakah kamu dulu bersedekah?’ Anak muda itu menjawab, ‘Siapakah orang yang mau atau berani mendatangi kami hingga kami bisa bersedekah kepadanya?’

Abul Fadl kembali bertanya, ‘Coba pikirkan dan ingat-ingatlah sebuah amal yang kamu kerjakan ikhlas karena Allah, walaupun amal yang kecil.’

Sejenak pemuda itu berfikir, kemudian berkata, ‘O ya, dulu, guruku pernah menyerahkan kepadaku -dua tahun yang lalu-seorang pria yang dia tawan di sebuah jalan setelah semua barangnya dilucuti dan dibawanya ke dalam benteng ini. Guruku berkata kepadanya, ‘Kau boleh mene-bus dirimu dengan harta yang kau simpan di keluargamu. Kalau tidak, kau akan kubunuh.’ Tapi orang itu menjawab, ‘Aku tidak mempunyai apapun dari dunia ini selain apa yang telah kau ambil dariku.’

Berhari-hari orang tersebut disiksa, tetapi tetap tidak mau mengaku. Suatu saat, dia merasakan siksa yang dideritanya begitu kuat, akhirnya dia bersumpah demi Allah dan dengan sumpah-sumpah berat lainnya untuk meyakinkan bahwa dia tidak mempunyai apa-apa selain yang telah diambil oleh guruku, dan bahwa di keluarganya dia hanya meninggalkan harta yang cukup untuk kebutuhan sebulan saja sampai dia nanti kem-bali kepada mereka. Dia juga menjelaskan, bahwa kondisi-nya sekarang telah memungkinkan dia dan keluarganya untuk menerima zakat. Untuk selanjutnya si pria itu pasrah untuk mati. Setelah guruku yakin bahwa pria itu tidak ber-dusta, dia berkata kepadaku, ‘Keluarkan dia dan bawalah ke tempat itu, lalu sembelihlah dia di sana dan bawa kepala-nya padaku.’

Maka aku pun membawa pria itu turun dari benteng. Ketika dia melihatku menarik-narik tubuhnya, dia berta-nya, ‘Kemana kau membawaku? Apa yang kau inginkan?’ Lalu aku jelaskan kepadanya perintah guruku. Mendengar itu, dia menangis sambil memukul-mukul dirinya minta dikasihani. Dia memohon agar aku tidak melaksanakan perintah itu dengan menyebut-nyebut Asma’ Allah Subha-nahu wa Ta’ala. Dia mengatakan, bahwa dia mempunyai putri-putri yang masih kecil dan tidak ada yang memberikan nafkah pada mereka selain dia. Dia juga meminta agar aku takut kepada Allah, kemudian menjelaskan pahala bagi orang yang mengeluarkan seorang muslim dari musibah dunia ini… dan akhirnya dia memintaku melepaskannya.

Kemudian Allah menurunkan rahmat ke dalam hatiku. Lalu aku katakan padanya, ‘Bila aku tidak kembali kepadanya dengan membawa kepalamu, dia pasti akan membunuhku dan dia akan mengejar dan membunuhmu juga.’

Dia menjawab, ‘Lepaskanlah aku, dan kau jangan lang-sung kembali kepadanya. Berdiamlah dulu beberapa saat, sementara aku akan lari sehingga dia tidak akan bisa menyusulku. Dan kalaupun dia nanti berhasil menyusulku, kau telah terlepas dari darahku (tidak membunuhku) dan temanmu itu juga tidak akan membunuhmu serta tetap senang kepadamu. Di sini kau akan mendapatkan pahala, dan Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan balasan orang yang berbuat kebajikan.’

Saat itu, rasa kasihanku kepadanya bertambah besar, lalu aku bertanya kepadanya, ‘Ambilkan batu dan pukulkan ke kepalaku hingga berdarah. Setelah itu kau lari, semen-tara aku akan duduk di sini sampai aku perkirakan kau telah menempuh perjalan beberapa kilo meter. Setelah itu, baru aku akan kembali ke benteng.’

Dia menjawab, ‘Aku rasa tidak baik bila aku membalasmu untuk pembebasan ini dengan memukul kepalamu sampai berdarah.’ Aku berkata, ‘Tidak ada cara untuk menyelamatkan kita berdua kecuali begini.’

Akhirnya dia mau melakukan, setelah memukul kepala-ku dia lari dengan cepat. Sementara aku tak beranjak dari tempat dudukku. Setelah aku perkirakan dia telah berada di jarak beberapa kilo meter, aku kembali kepada guruku dengan kepala bersimbah darah.

Guruku bertanya, ‘Apa yang terjadi denganmu, mana kepala orang itu?!’ Aku jawab, ‘Kau telah menyerahkan syaitan kepadaku, bukan orang. Ketika sampai di tanah lapang, dia langsung memukulku dan berhasil merobohkan aku di tanah serta menghantamku dengan batu seperti yang kau lihat sendiri. Kemudian dia lari sementara aku pingsan. Aku tidak bisa beranjak dari tempatku sampai darahku kering dan kekuatanku pulih kembali, lalu aku datang kepadamu.’

Kemudian guruku mengutus orang-orangnya untuk mengejar, dan keesokan harinya tanpa ada hasil. Dan bila Allah memang akan menyelamatkanku dengan amal yang pernah aku perbuat, maka barangkali inilah amal itu.’

Setelah mendengar cerita itu, Abul Fadl menjadikan anak muda itu termasuk teman-teman dekatnya.

Masuk Surga Setelah Meninggalkan Kekufuran Padahal Belum Pernah Sujud Kepada Allah