Catatan Popular

Sabtu, 26 November 2011

KUNHI ZATNYA

Zaatul Buhti…..

Yakni keadaan yang pejal. Yakni sekali-kali tiada sampai pengenal kepada Kunhi Zatnya seperti firman Allah Taala
“Wa yuhazziru kumullohu nafsahu”
Ertinya “Telah dipertakut Allah Ta’ala akan kamu daripada sampai kepada Kunhi.. Zatnya”.
Dan lagi firman Allah Ta’ala

“Wallohu Ra^uufun Bil ‘Ibaad”

Ertinya “Bahawasanya Allah jua amat menyayangi bagi segala hambanya” maka ditegahkan mengusahakan yang mustahil itu sekali-kali tiada diperolehi seperti sabda Rasulullah S.A.W:

 “Kullukum fii Zaatillah hamqun”

Ertinya “Dan sekalian kamu pada makrifat akan Zat Allah ahmaq yakni tiada sampai”.
Dan sabda Rasulullah S.A.W

“Tafakkaruu fii Kholqillah wa laa tafakkaruu fii Zaatillah”

Ertinya “Fikirkan oleh kamu pada sekalian yang dijadikan Allah dan jangan kamu fikirkan Zat Allah kerana tiada sampai fikirmu”.

Seperti kata Saidina Abu Bakar R.A:

“Al’ajzu ‘an darokal adroku idrook” 

Ertinya “Yang lemah daripada mendapat akan yang didapat itulah tanda didapatnya” 
dan seperti kata Saidina Ali Karromallahu Wajhah

 “Kullu maa takhturu fii khoyaalika wa tashowwuru fii baabika fallahu bi khilaafi zaalika” 

ertinya “Setiap apa yang kamu fikir dalam khayalan kamu dan kamu gambarkan dalam hati kamu, maka Allah bersalahan dengan semua itu”.

RENUNGKAN....HAKIKAT ALIFF IALAH


Buat renungan sesama kita yang memang berminat tentang Hakikat, agar dapat difikirkan dengan perlahan-lahan agar mencapai matlamat yang sebenar. Di sini ana coretkan sedikit tentang Hakikat Alif…..
Hakikat perkataan adalah alif, (alif adalah satu huruf dalam tulisan jawi, kalau tulisan rumi.. mestilah ‘a’ ), manakala hakikat alif pula adalah noktah, dan hakikat noktah adalah dakwat.
Jikalau dikaji selanjutnya maka hakikat dakwat pula adalah cecair, sedangkan hakikat cecair adalah debu-debu, dan hakikat debu-debu adalah unsur-unsur (atom) dan hakikat unsur adalah Cahaya Allah.
Sedangkan Gelap (tidak diketahui) ialah Cahaya Dzat, …. dalam gelap itulah adalah ‘Air Kehidupan’ (Yang Menghidupkan).
Sebagai misalan,  ….jika anda melihat kepada dakwat, maka dengan sendirinya huruf hilang,…
dan jika anda melihat huruf , maka dakwat hilang…
Sejajar dengan itu cuba difikirkan pula:
Jika ana ada Dia tiada, … dan jika Dia ada ana pula tiada…

RAHSIA AL QURAN 3: RAHSIA BERSERAH DIRI DAN BERTAWAKAL KEPADA ALLAH

Berserah diri kepada Allah merupakan ciri khusus yang dimiliki orang-orang mukmin, yang
memiliki keimanan yang mendalam, yang mampu melihat kekuasaan Allah, dan yang dekat dengan-
Nya. Terdapat rahasia penting dan kenikmatan jika kita berserah diri kepada Allah. Berserah diri
kepada Allah maknanya adalah menyandarkan dirinya dan takdirnya dengan sungguh-sungguh
kepada Allah. Allah telah menciptakan semua makhluk, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun
benda-benda tak bernyawa — masing-masing dengan tujuannya sendiri-sendiri dan takdirnya
sendiri-sendiri. Matahari, bulan, lautan, danau, pohon, bunga, seekor semut kecil, sehelai daun yang
jatuh, debu yang ada di bangku, batu yang menyebabkan kita tersandung, baju yang kita beli sepuluh
tahun yang lalu, buah persik di lemari es, ibu anda, teman kepala sekolah anda, diri anda — pendek
kata segala sesuatunya, takdirnya telah ditetapkan oleh Allah jutaan tahun yang lalu. Takdir segala
sesuatu telah tersimpan dalam sebuah kitab yang dalam al-Qur’an disebut sebagai ‘Lauhul-
Mahfuzh’. Saat kematian, saat jatuhnya sebuah daun, saat buah persik dalam peti es membusuk, dan
batu yang menyebabkan kita tersandung — pendek kata semua peristiwa, yang remeh maupun yang
penting— semuanya tersimpan dalam kitab ini.
Orang-orang yang beriman meyakini takdir ini dan mereka mengetahui bahwa takdir yang
diciptakan oleh Allah adalah yang terbaik bagi mereka. Itulah sebabnya setiap detik dalam
kehidupan mereka, mereka selalu berserah diri kepada Allah. Dengan kata lain, mereka mengetahui
bahwa Allah menciptakan semua peristiwa ini sesuai dengan tujuan ilahiyah, dan terdapat kebaikan
dalam apa saja yang diciptakan oleh Allah. Misalnya, terserang penyakit yang berbahaya,
menghadapi musuh yang kejam, menghadapi tuduhan palsu padahal ia tidak bersalah, atau menghadapi
peristiwa yang sangat mengerikan, semua ini tidak mengubah keimanan orang yang beriman,
juga tidak menimbulkan rasa takut dalam hati mereka. Mereka menyambut dengan rela apa saja
yang telah diciptakan Allah untuk mereka. Orang-orang beriman menghadapi dengan kegembiraan
keadaan apa saja, keadaan yang pada umumnya bagi orang-orang kafir menyebabkan perasaan ngeri
dan putus asa. Hal itu karena rencana yang paling mengerikan sekalipun, sesungguhnya telah
direncanakan oleh Allah untuk menguji mereka. Orang-orang yang menghadapi semuanya ini
dengan sabar dan bertawakal kepada Allah atas takdir yang telah Dia ciptakan, mereka akan dicintai
dan diridhai Allah. Mereka akan memperoleh surga yang kekal abadi. Itulah sebabnya orang-orang
yang beriman memperoleh kenikmatan, ketenangan, dan kegembiraan dalam kehidupan mereka
karena bertawakal kepada Tuhan mereka. Inilah nikmat dan rahasia yang dijelaskan oleh Allah
kepada orang-orang yang beriman. Allah menjelaskan dalam al-Qur’an bahwa Dia mencintai orangorangyang bertawakal kepada-Nya. (Q.s. Ali ‘Imran: 159) Rasulullah saw. juga menyatakan hal
ini, beliau bersabda:

“Tidaklah beriman seorang hamba Allah hingga ia percaya kepada takdir yang baik
dan buruk, dan mengetahui bahwa ia tidak dapat menolak apa saja yang menimpanya (baik
dan buruk), dan ia tidak dapat terkena apa saja yang dijauhkan darinya (baik dan buruk).”

Masalah lainnya yang disebutkan dalam al-Qur’an tentang bertawakal kepada Allah adalah
tentang “melakukan tindakan”. Al-Qur’an memberitahukan kita tentang berbagai tindakan yang
dapat dilakukan orang-orang yang beriman dalam berbagai keadaan. Dalam ayat-ayat lainnya, Allah
juga menjelaskan rahasia bahwa tindakan-tindakan tersebut yang diterima sebagai ibadah kepada
Allah, tidak dapat mengubah takdir. Nabi Ya‘qub a.s. menasihati putranya agar melakukan beberapa
tindakan ketika memasuki kota, tetapi setelah itu beliau diingatkan agar bertawakal kepada Allah.
Inilah ayat yang membicarakan masalah tersebut:

“Dan Ya‘qub berkata, ‘Hai anak-anakku, janganlah kamu masuk dari satu pintu
gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan, namun demikian aku tidak
dapat melepaskan kamu barang sedikit pun dari (takdir) Allah. Keputusan menetapkan
(sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nyalah aku bertawakal dan hendaklah kepada-Nya
saja orang-orang yang bertawakal berserah diri’.” (Q.s. Yusuf: 67).

Sebagaimana dapat dilihat pada ucapan Nabi Ya‘qub, orang-orang yang beriman tentu saja
juga mengambil tindakan berjaga-jaga, tetapi mereka mengetahui bahwa mereka tidak dapat
mengubah takdir Allah yang dikehendaki untuk mereka. Misalnya, seseorang harus mengikuti aturan
lalu lintas dan tidak mengemudi dengan sembarangan. Ini merupakan tindakan yang penting dan
merupakan sebuah bentuk ibadah demi keselamatan diri sendiri dan orang lain. Namun, jika Allah
menghendaki bahwa orang itu meninggal karena kecelakaan mobil, maka tidak ada tindakan yang
dapat dilakukan untuk mencegah kematiannya. Terkadang tindakan pencegahan atau suatu perbuatan
tampaknya dapat menghindari orang itu dari kematian. Atau mungkin seseorang dapat melakukan
keputusan penting yang dapat mengubah jalan hidupnya, atau seseorang dapat sembuh dari
penyakitnya yang mematikan dengan menunjukkan kekuatannya dan daya tahannya. Namun, semua
peristiwa ini terjadi karena Allah telah menetapkan yang demikian itu. Sebagian orang salah
menafsirkan peristiwa-peristiwa seperti itu sebagai “mengatasi takdir seseorang” atau “mengubah
takdir seseorang”. Tetapi, tak seorang pun, bahkan orang yang sangat kuat sekalipun di dunia ini
yang dapat mengubah apa yang telah ditetapkan oleh Allah. Tak seorang manusia pun yang memiliki
kekuatan seperti itu. Sebaliknya, setiap makhluk sangat lemah dibandingkan dengan ketetapan
Allah. Adanya fakta bahwa sebagian orang tidak menerima kenyataan ini tetap tidak mengubah
kebenaran. Sesungguhnya, orang yang menolak takdir juga telah ditetapkan demikian. Karena itulah
orang-orang yang menghindari kematian atau penyakit, atau mengubah jalannya kehidupan, mereka
mengalami peristiwa seperti ini karena Allah telah menetapkannya. Allah menceritakan hal ini
dalam al-Qur’an sebagai berikut:

“Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. Supaya kamu jangan berduka
cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap
apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong
lagi membanggakan diri. (Q.s. al-Hadid: 22-3).

Sebagaimana dinyatakan dalam ayat di atas, peristiwa apa pun yang terjadi telah ditetapkan
sebelumnya dan tertulis dalam Lauh Mahfuzh. Untuk itulah Allah menyatakan kepada manusia
supaya tidak berduka cita terhadap apa yang luput darinya. Misalnya, seseorang yang kehilangan
semua harta bendanya dalam sebuah kebakaran atau mengalami kerugian dalam perdagangannya,
semua ini memang sudah ditetapkan. Dengan demikian mustahil baginya untuk menghindari atau
mencegah kejadian tersebut. Jadi tidak ada gunanya jika merasa berduka cita atas kehilangan
tersebut. Allah menguji hamba-hamba-Nya dengan berbagai kejadian yang telah ditetapkan untuk
mereka. Orang-orang yang bertawakal kepada Allah ketika mereka menghadapi peristiwa seperti itu,
Allah akan ridha dan cinta kepadanya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak bertawakal kepada Allah
akan selalu mengalami kesulitan, keresahan, ketidakbahagiaan dalam kehidupan mereka di dunia ini,
dan akan memperoleh azab yang kekal abadi di akhirat kelak. Dengan demikian sangat jelas bahwa
bertawakal kepada Allah akan membuahkan keberuntungan dan ketenangan di dunia dan di akhirat.
Dengan menyingkap rahasia-rahasia ini kepada orang-orang yang beriman, Allah membebaskan
mereka dari berbagai kesulitan dan menjadikan ujian dalam kehidupan di dunia ini mudah bagi
mereka.

Rabu, 23 November 2011

RAHSIA AL QURAN 2: ALLAH MENAMBAHKAN NIKMATNYA KEPADA ORANG-ORANG YANG BERSYUKUR


Setiap orang sangat memerlukan Allah dalam setiap gerak kehidupannya. Dari udara untuk bernafas hingga makanan yang ia makan, dari kemampuannya untuk menggunakan tangannya hingga kemampuan berbicara, dari perasaan aman hingga perasaan bahagia, seseorang benar-benar sangat memerlukan apa yang telah diciptakan oleh Allah dan apa yang dikaruniakan kepadanya.

Akan tetapi kebanyakan orang tidak menyadari kelemahan mereka dan tidak menyadari bahwa mereka sangat memerlukan Allah. Mereka menganggap bahwa segala sesuatunya terjadi dengan sendirinya atau mereka menganggap bahwa segala sesuatu yang mereka peroleh adalah karena hasil jerih payah mereka sendiri. Anggapan ini merupakan kesalahan yang sangat fatal dan benar-benar tidak mensyukuri nikmat Allah. Anehnya, orang-orang yang telah menyatakan rasa terima kasihnya kepada seseorang karena telah memberi sesuatu yang remeh kepadanya, mereka menghabiskan hidupnya dengan mengabaikan nikmat Allah yang tidak terhitung banyaknya di sepanjang hidupnya.
Bagaimanapun, nikmat yang diberikan Allah kepada seseorang sangatlah besar sehingga tak seorang pun yang dapat menghitungnya. Allah menceritakan kenyataan ini dalam sebuah ayat sebagai berikut:

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat
menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.s. an-Nahl: 18).

Meskipun kenyataannya demikian, kebanyakan manusia tidak mampu mensyukuri
kenikmatan yang telah mereka terima. Adapun penyebabnya diceritakan dalam al-Qur’an: Setan, yang berjanji akan menyesatkan manusia dari jalan Allah, berkata bahwa tujuan utamanya adalah untuk menjadikan manusia tidak bersyukur kepada Allah. Pernyataan setan yang mendurhakai Allah ini menegaskan pentingnya bersyukur kepada Allah:

“Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur. Allah berfirman, ‘Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahanam dengan kamu semuanya’.” (Q.s. al-A‘raf: 17-8).

Dalam pada itu, orang-orang yang beriman karena menyadari kelemahan mereka, di hadapan Allah mereka memanjatkan syukur dengan rendah diri atas setiap nikmat yang diterima. Bukan hanya kekayaan dan harta benda yang disyukuri oleh orang-orang yang beriman. Karena orangorang yang beriman mengetahui bahwa Allah adalah Pemilik segala sesuatu, mereka juga bersyukur atas kesehatan, keindahan, ilmu, hikmah, kepahaman, wawasan, dan kekuatan yang dikaruniakan kepada mereka, dan mereka mencintai keimanan dan membenci kekufuran. Mereka bersyukur karena telah dibimbing dalam kebenaran dan dimasukkan dalam golongan orang-orang beriman. Pemandangan yang indah, urusan yang mudah, keinginan yang tercapai, berita-berita yang menggembirakan, perbuatan yang terpuji, dan nikmat-nikmat lainnya, semua ini menjadikan orangorang beriman berpaling kepada Allah, bersyukur kepada-Nya yang telah menunjukkan rahmat dan kasih sayang-Nya.

Sebagai balasan atas kesyukurannya, sebuah pahala menunggu orang-orang yang beriman. Ini merupakan rahasia lain yang dinyatakan dalam al-Qur’an; Allah menambah nikmat-Nya kepada orang-orang yang bersyukur. Misalnya, bahkan Allah memberikan kesehatan dan kekuatan yang lebih banyak lagi kepada orang-orang yang bersyukur kepada Allah atas kesehatan dan kekuatan yang mereka miliki. Bahkan Allah mengaruniakan ilmu dan kekayaan yang lebih banyak kepada orang-orang yang mensyukuri ilmu dan kekayaan tersebut. Hal ini karena mereka adalah orangorang yang ikhlas yang merasa puas dengan apa yang diberikan Allah dan mereka ridha dengan karunia tersebut, dan mereka menjadikan Allah sebagai pelindung mereka. Allah menceritakan rahasia ini dalam al-Qur’an sebagai berikut:

“Dan ketika Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (Q.s. Ibrahim: 7)

Mensyukuri nikmat juga menunjukkan tanda kedekatan dan kecintaan seseorang kepada
Allah. Orang-orang yang bersyukur memiliki kesadaran dan kemampuan untuk melihat keindahan dan kenikmatan yang dikaruniakan Allah. Rasulullah saw. juga menyebutkan masalah ini, beliau saw. bersabda:

Jika Allah memberikan harta kepadamu, maka akan tampak kegembiraan pada dirimu dengan nikmat dan karunia Allah itu.

Dalam pada itu, seorang kafir atau orang yang tidak mensyukuri nikmat hanya akan melihat cacat dan kekurangan, bahkan pada lingkungan yang sangat indah, sehingga ia akan merasa tidak berbahagia dan tidak puas, maka Allah menjadikan orang-orang seperti ini hanya menjumpai berbagai peristiwa dan pemandangan yang tidak menyenangkan. Akan tetapi Allah menampakkan lebih banyak nikmat dan karunia-Nya kepada orang-orang yang ikhlas dan memiliki hati nurani. Bahwa Allah menambah kenikmatan kepada orang-orang yang bersyukur, ini juga merupakan salah satu rahasia dari al-Qur’an. Bagaimanapun har us kita camkan dalam hati bahwa keikhlasan merupakan prasyarat agar dapat mensyukuri nikmat. Jika seseorang menunjukkan rasa syukurnya tanpa berpaling dengan ikhlas kepada Allah dan tanpa menghayati rahmat dan kasih sayang Allah yang tiada batas, tetapi rasa syukurnya itu hanya untuk menarik perhatian orang, tentu saja ini merupakan ketidakikhlasan yang parah. Allah mengetahui apa yang tersimpan dalam hati dan mengetahui ketidakikhlasannya tersebut. Orang-orang yang memiliki niat yang tidak ikhlas bisa saja menyembunyikan apa yang tersimpan dalam hati dari orang lain. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikannya dari Allah. Orang-orang seperti itu bisa saja mensyukuri nikmat ketika tidak menghadapi penderitaan. Tetapi pada saat-saat berada dalam kesulitan, mungkin mereka akan mengingkari nikmat.

Perlu diperhatikan, bahwa orang-orang mukmin sejati tetap bersyukur kepada Allah sekalipun mereka berada dalam keadaan yang sangat sulit. Seseorang yang melihat dari luar mungkin melihat berkurangnya nikmat pada diri orang-orang yang beriman. Padahal, orang-orang beriman yang mampu melihat sisi-sisi kebaikan dalam setiap peristiwa dan keadaan juga mampu melihat kebaikan dalam penderitaan tersebut. Misalnya, Allah menyatakan bahwa Dia akan menguji manusia dengan rasa takut, lapar, kehilangan harta dan jiwa. Dalam keadaan seperti itu, orang-orang beriman tetap bergembira dan merasa bersyukur, mereka berharap bahwa Allah akan memberi pahala kepada mereka berupa surga sebagai pahala atas sikap mereka yang tetap istiqamah dalam menghadapi ujian tersebut. Mereka mengetahui bahwa Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kekuatannya. Sikap istiqamah dan tawakal yang mereka jalani dalam menghadapi penderitaan tersebut akan membuahkan sifat sabar dan syukur dalam diri mereka. Dengan demikian,ciri-ciri orang yang beriman adalah tetap menunjukkan ketaatan dan bertawakal kepada-Nya, dan Allah berjanji akan menambah nikmat kepada hamba-hamba-Nya yang mensyukuri nikmat-Nya, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.

Sabtu, 19 November 2011

SYARAH KITAB AL HIKAM KE 2 : SYAHWAT YANG TERSEMBUNYI

Kata Sheikh R.A yang bermaksud :

Berkehendak engkau akan tajrid beserta mendirikan Allah akan dikau pada segala asbab adalah setengah daripada syahwat yang tersembunyi.

Terjemahannya

Barangsiapa yang telah ditentukan oleh Allah hidup dalam keadaan membina dan mencorak kehidupan mereka dengan cara berusaha dan bekerja tetapi bercita-cita ia mahu keluar daripada jalan usaha atau asbab ini dengan tujuan untuk semata-mata beribadat secara khususiah kepada Allah tanpa memikirkan tentang kehidupan dunianya maka yang demikian itu adalah timbul dari nafsu keinginan jahat yang tersembunyi. Hanyasanya adalah ia daripada syahwat kerana tidak mahu menerima hakikat bahawa itulah ketetapan Allah yang dikehendakiNya sedangkan kehendak hamba itu menyalahi yang demikian itu.

Terjemahannnya oleh Tok Pulau Manis

Hanyasanya adalah syahwat itu tersembunyi kerana bahawasanya pada zahirnya menampakkan seakan hamba itu bercita-cita untuk keluar daripada nafsu dan sememangnya hal yang demikian itu adalah dituntut dan dikehendaki oleh Allah Taala. Tetapi satu hal yang perlu dingat ialah sesuatu kehendak atau cita-cita besar itu hendaklah berlandaskan dengan keredhaan Allah bukannya daripada keredhaan nafsu.

Sesungguhnya apa yang diredhoi oleh Allah Taala akan dirimu ialah berdiam(tetap) pada apa yang telah didirikan Allah atas engkau sama ada pada makam asbab(golongan yang bekerja dan beribadat)atau makam tajrid(semata-mata beribadat kepada Allah tanpa memikirkan usaha dan tanggungjawab kepada ahli keluarga).

Kata Muallif(pengarang) Kitab Tanwir Qulub bermula yang dikehendaki hak Allah Taala akan dikau ialah bahawa diam(tetap dalam sesuatu hal) kepada yang telah didirikan Allah akan dikau hinggalah ke satu masa di mana Allah memerintahkan keluar engkau ke satu hal atau maqam yang lain sebagaimana Allah memerintahkan masuk engkau kepadaNya dulu.

Dan kata Sheikh Hijazi bermula Iradat(kehendak) itu tiga perkara iaitu;

Iradat Al-Tob'i iaitu kehendak yang takluk dengan kepada bahagian nafsu dan keluar daripadanya adalah WAJIB. Bahagian nafsu ini ialah seperti kehendak kepada kemasyhuran, pangkat, kedudukan atau berlazat-lazat pada makanan dan pakaian serta lain-lain lagi.
Iradat Al-Tamni iaitu kehendak bagi segala Ahli Tawajuh(yang selalu berhadap hati kepada Allah) yang Salik(mereka yang dalam permulaan perjalanan menuju kepada Allah). Mereka ini hanya berkehendakkan kepada kurnia Allah semata-mata.

Iradat Al-Haq iaitu kehendak yang takluk pada keikhlasan dan hakikatnya itu menyucikan amalan yang mereka kasih daripada syirik Jali(nyata) dan syirik khofi(tersembunyi).

Maka syirik khofi itu ialah seperti bahawa engkau jadikan kehendak bagimu itu serta Allah atau engkau lihat bagimu wujud(kita ada Allah ada=dua wujud). Maka apabila telah ikhlas engkau daripada penyakit lalai itu dan telah Allah hapuskan hukum maksiat pada sekalian itu maka jadilah engkau serta Allah tiada dengan kun(terhijab dengan alam benda).
Sesungguhnya menetapkan Allah akan dikau dalam segala asbab dan berkehendak engkau tajrid menunjukkan masih lagi tinggal syahwat dan nafsu yang tersembunyi. Tiada dinyatakan(diketahui) di atas seseorang hamba melainkan kepada segala orang yang Ahli 'Inayah kerana bahawasnya syahwat itu tiada jadi ia melainkan daripada nafsu sama ada yang bangsa(bersifat) dunia atau bangsa(bersifat) akhirat.


AHLI ASBAB  DAN AHLI TAJRID

KEINGINAN KAMU UNTUK BERTAJRID PADAHAL ALLAH MASIH MELETAKKAN KAMU  DALAM SUASANA ASBAB ADALAH SYAHWAT YANG SAMAR, SEBALIKNYA KEINGINAN KAMU UNTUK BERASBAB PADAHAL ALLAH  TELAH MELETAKKAN KAMU  DALAM SUASANA TAJRID BERERTI TURUN DARI SEMANGAT DAN TINGKAT YANG TINGGI.

SYARAH HIKAM  VERSI TO’ FAKIR AN NASIRIN

Hikmat 1 menerangkan tanda orang yang bersandar kepada amal. Bergantung kepada amal adalah sifat manusia biasa yang hidup dalam dunia ini. Dunia ini dinamakan alam asbab. Apabila perjalanan hidup keduniaan dipandang melalui mata ilmu atau mata akal akan dapat disaksikan kerapian susunan sistem sebab musabab yang mempengaruhi segala kejadian. Tiap sesuatu berlaku menurut sebab yang menyebabkan ia berlaku. Hubungan sebab dengan akibat sangat erat. Mata akal melihat dengan jelas keberkesanan sebab dalam menentukan akibat. Kerapian sistem sebab musabab ini membolehkan manusia  mengambil manfaat daripada anasir dan kejadian alam. Manusia dapat menentukan anasir yang boleh memudaratkan kesihatan lalu menjauhkannya dan manusia juga boleh menentukan anasir yang boleh menjadi ubat lalu menggunakannya. Manusia boleh membuat ramalan cuaca, pasang surut air laut, angin, ombak, letupan gunung berapi dan lain-lain kerana sistem yang mengawal perjalanan anasir alam berada dalam suasana yang sangat rapi dan sempurna, membentuk hubungan sebab dan akibat yang padu.

Allah s.w.t mengadakan sistem sebab musabab yang rapi adalah untuk kemudahan manusia menyusun kehidupan mereka di dunia ini. Kekuatan akal dan pancaindera manusia mampu mentadbir kehidupan yang dikaitkan dengan perjalanan sebab musabab. Hasil daripada pemerhatian dan kajian akal itulah lahir berbagai-bagai jenis ilmu tentang alam dan kehidupan, seperti ilmu sains, astronomi, kedoktoran, teknologi maklumat dan sebagainya. Semua jenis ilmu itu dibentuk berdasarkan perjalanan hukum sebab-akibat.
 Kerapian sistem sebab musabab menyebabkan manusia terikat kuat dengan hukum sebab-akibat. Manusia bergantung kepada amal (sebab) dalam mendapatkan hasil (akibat). Manusia yang melihat kepada keberkesanan sebab dalam menentukan akibat serta bersandar dengannya dinamakan ahli asbab.

Sistem sebab musabab atau perjalanan hukum sebab-akibat sering membuat manusia lupa kepada kekuasaan Allah s.w.t. Mereka melakukan sesuatu dengan penuh keyakinan bahawa akibat akan lahir daripada sebab, seolah-olah Allah s.w.t tidak ikut campur dalam urusan mereka. Allah s.w.t tidak suka hamba-Nya ‘mempertuhankan’ sesuatu kekuatan sehingga mereka lupa kepada kekuasaan-Nya. Allah s.w.t tidak suka jika hamba-Nya sampai kepada tahap mempersekutukan diri-Nya dan kekuasaan-Nya dengan anasir alam  dan hukum sebab-akibat ciptaan-Nya. Dia yang meletakkan keberkesanan kepada anasir alam berkuasa membuat anasir alam itu lemah semula. Dia yang meletakkan kerapian pada hukum sebab-akibat berkuasa merombak hukum tersebut. Dia mengutuskan rasul-rasul dan nabi-nabi membawa mukjizat yang merombak hukum sebab-akibat bagi mengembalikan pandangan manusia kepada-Nya, agar waham sebab musabab tidak menghijab ketuhanan-Nya. Kelahiran Nabi Isa a.s, terbelahnya laut dipukul oleh tongkat Nabi Musa a.s, kehilangan kuasa membakar yang ada pada api tatkala Nabi Ibrahim a.s masuk ke dalamnya, keluarnya air yang jernih dari jari-jari Nabi Muhammad s.a.w dan banyak lagi yang didatangkan oleh Allah s.w.t, merombak keberkesanan hukum sebab-akibat bagi menyedarkan manusia tentang hakikat bahawa kekuasaan Allah s.w.t yang menerajui perjalanan alam maya dan hukum sebab-akibat. Alam dan hukum yang ada padanya seharusnya  membuat manusia mengenal Tuhan, bukan menutup pandangan kepada Tuhan. Sebahagian daripada manusia diselamatkan Allah s.w.t daripada waham sebab musabab.

Sebagai manusia yang hidup dalam dunia mereka masih bergerak dalam arus sebab musabab tetapi mereka tidak meletakkan keberkesanan hukum kepada sebab. Mereka sentiasa melihat kekuasaan Allah s.w.t yang menetapkan atau mencabut keberkesanan pada sesuatu hukum sebab-akibat. Jika sesuatu sebab berjaya mengeluarkan akibat menurut yang biasa terjadi, mereka melihatnya sebagai kekuasaan Allah s.w.t yang menetapkan kekuatan kepada sebab tersebut dan Allah s.w.t juga yang mengeluarkan akibatnya. Allah s.w.t berfirman:


Segala yang ada di langit dan di bumi tetap mengucap tasbih kepada Allah; dan Dialah Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. Dialah sahaja yang menguasai dan memiliki langit dan bumi; Ia menghidupkan dan mematikan; dan Ia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. ( Ayat 1 & 2 : Surah al-Hadiid )

Maka Kami (Allah) berfirman: “Pukullah si mati dengan sebahagian anggota lembu yang kamu sembelih itu”. (Mereka pun memukulnya dan ia kembali hidup). Demikianlah Allah menghidupkan orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepada kamu tanda-tanda  kekuasaan-Nya, supaya kamu memahaminya. ( Ayat 73 : Surah al-Baqarah )
Orang yang melihat kepada kekuasaan Allah s.w.t menerajui hukum sebab-akibat tidak  meletakkan keberkesanan kepada hukum tersebut. Pergantungannya kepada Allah s.w.t, tidak  kepada amal yang menjadi sebab. Orang yang seperti ini dipanggil ahli tajrid.

Ahli tajrid, seperti juga ahli asbab, melakukan sesuatu menurut peraturan sebab-akibat. Ahli tajrid juga makan dan minum  Ahli tajrid memanaskan badan dan memasak dengan menggunakan api juga. Ahli tajrid juga melakukan sesuatu pekerjaan yang berhubung dengan rezekinya. Tidak ada perbezaan di antara amal ahli tajrid dengan amal ahli asbab. Perbezaannya terletak di dalam diri iaitu hati. Ahli asbab melihat kepada kekuatan hukum alam. Ahli tajrid melihat kepada kekuasaan Allah s.w.t pada hukum alam itu. Walaupun ahli asbab mengakui kekuasaan Allah s.w.t tetapi penghayatan dan kekuatannya pada hati tidak sekuat ahli tajrid.

Dalam melakukan kebaikan ahli asbab perlu melakukan mujahadah. Mereka perlu memaksa diri mereka berbuat baik dan perlu menjaga kebaikan itu agar tidak menjadi rosak. Ahli asbab perlu memperingatkan dirinya supaya berbuat ikhlas dan perlu melindungi keikhlasannya agar tidak dirosakkan oleh riak (berbuat baik untuk diperlihatkan kepada orang lain agar dia dikatakan orang baik), takbur (sombong dan membesar diri, merasakan diri sendiri lebih baik, lebih tinggi, lebih kuat dan lebih cerdik daripada orang lain) dan sama’ah (membawa perhatian orang lain kepada kebaikan yang telah dibuatnya dengan cara bercerita mengenainya, agar orang memperakui bahawa dia adalah orang baik). Jadi, ahli asbab perlu memelihara kebaikan sebelum melakukannya dan juga selepas melakukannya. Suasana hati ahli tajrid berbeza daripada apa yang dialami oleh ahli asbab. Jika ahli asbab memperingatkan dirinya supaya ikhlas, ahli tajrid tidak melihat kepada ikhlas kerana mereka tidak bersandar kepada amal kebaikan yang mereka lakukan. Apa juga kebaikan yang keluar daripada mereka diserahkan kepada Allah s.w.t yang mengurniakan kebaikan tersebut. Ahli tajrid tidak perlu menentukan perbuatannya ikhlas atau tidak ikhlas. Melihat keihklasan pada perbuatan sama dengan melihat diri sendiri yang ikhlas. Apabila seseorang merasakan dirinya sudah ikhlas, padanya masih tersembunyi keegoan diri yang membawa kepada riak, ujub (merasakan diri sendiri sudah baik) dan sama’ah. Apabila tangan kanan berbuat ikhlas dalam keadaan tangan kiri tidak menyedari perbuatan itu baharulah tangan kanan itu benar-benar ikhlas. Orang yang ikhlas berbuat kebaikan dengan melupakan kebaikan itu. Ikhlas sama seperti harta benda. Jika seorang miskin diberi harta oleh jutawan, orang miskin itu malu mendabik dada kepada jutawan itu dengan mengatakan yang dia sudah kaya. Orang tajrid yang diberi ikhlas oleh Allah s.w.t mengembalikan kebaikan mereka kepada Allah s.w.t. Jika harta orang miskin itu hak si jutawan tadi, ikhlas orang tajrid adalah hak Allah s.w.t. Jadi, orang asbab bergembira kerana melakukan perbuatan dengan  ikhlas, orang tajrid pula melihat Allah s.w.t yang mentadbir sekalian urusan. Ahli asbab dibawa kepada syukur, ahli tajrid berada dalam penyerahan.

Kebaikan yang dilakukan oleh ahli asbab merupakan teguran agar mereka ingat kepada Allah s.w.t yang memimpin mereka kepada kebaikan. Kebaikan yang dilakukan oleh ahli tajrid merupakan kurniaan Allah s.w.t kepada kumpulan manusia yang tidak memandang kepada diri mereka dan kepentingannya. Ahli asbab melihat kepada keberkesanan hukum sebab-akibat. Ahli tajrid pula melihat kepada keberkesanan kekuasaan dan ketentuan Allah s.w.t. Dari kalangan ahli tajrid, Allah s.w.t memilih sebahagiannya dan meletakkan kekuatan hukum pada mereka. Kumpulan ini bukan sekadar tidak melihat kepada keberkesanan hukum sebab-akibat, malah mereka berkekuatan menguasai hukum sebab-akibat itu. Mereka adalah nabi-nabi dan wali-wali pilihan. Nabi-nabi dianugerahkan mukjizat dan wali-wali dianugerahkan kekeramatan. Mukjizat dan kekeramatan merombak keberkesanan hukum sebab-akibat.

Di dalam kumpulan wali-wali pilihan yang dikurniakan kekuatan mengawal hukum sebab-akibat itu terdapatlah orang-orang seperti Syeikh Abdul Kadir al-Jailani, Abu Hasan as-Sazili, Rabiatul Adawiah, Ibrahim Adham dan lain-lain. Cerita tentang kekeramatan mereka sering diperdengarkan. Orang yang cenderung kepada tarekat  tasauf  gemar menjadikan kehidupan aulia Allah s.w.t tersebut sebagai contoh, dan yang mudah memikat perhatian adalah bahagian kekeramatan. Kekeramatan biasanya dikaitkan dengan perilaku kehidupan yang zuhud dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Timbul anggapan bahawa jika mahu memperolehi kekeramatan seperti mereka mestilah hidup sebagaimana mereka. Orang yang berada pada peringkat permulaan bertarekat  cenderung untuk memilih jalan bertajrid iaitu membuang segala ikhtiar dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah  s.w.t. Sikap melulu bertajrid membuat seseorang meninggalkan pekerjaan, isteri, anak-anak, masyarakat dan dunia seluruhnya. Semua harta disedekahkan kerana dia melihat Saidina Abu Bakar as-Siddik telah berbuat demikian. Ibrahim bin Adham telah meninggalkan takhta kerajaan, isteri, anak, rakyat dan negerinya lalu tinggal di dalam gua. Biasanya orang yang bertindak demikian tidak dapat bertahan lama. Kesudahannya dia mungkin meninggalkan kumpulan tarekatnya dan kembali kepada kehidupan duniawi. Ada juga yang kembali kepada kehidupan yang lebih buruk daripada keadaannya sebelum bertarekat   dahulu kerana dia mahu menebus kembali apa yang telah ditinggalkannya dahulu untuk bertarekat. Keadaan yang demikian berlaku akibat bertajrid secara melulu. Orang yang baharu masuk ke dalam bidang latihan kerohanian sudah mahu beramal seperti aulia Allah s.w.t yang sudah berpuluh-puluh tahun melatihkan diri. Tindakan mencampak semua yang dimilikinya secara tergesa-gesa membuatnya berhadapan dengan cabaran dan dugaan yang boleh menggoncangkan imannya dan mungkin juga membuatnya berputus-asa. Apa yang harus dilakukan bukanlah meniru kehidupan aulia Allah s.w.t yang telah mencapai makam yang tinggi secara melulu. Seseorang haruslah melihat kepada dirinya dan mengenalpasti kedudukannya, kemampuanya dan daya-tahannya. Ketika masih di dalam makam asbab seseorang haruslah bertindak sesuai dengan hukum sebab-akibat. Dia harus bekerja untuk mendapatkan rezekinya dan harus pula berusaha menjauhkan dirinya daripada bahaya atau kemusnahan.

Ahli asbab perlu berbuat demikian kerana dia masih lagi terikat dengan sifat-sifat kemanusiaan. Dia masih lagi melihat bahawa tindakan makhluk memberi kesan kepada dirinya. Oleh yang demikian adalah wajar sekiranya dia mengadakan juga tindakan yang menurut pandangannya akan mendatangkan kesejahteraan kepada dirinya dan orang lain. Tanda Allah s.w.t meletakkan seseorang pada kedudukan sebagai ahli asbab ialah apabila urusannya dan tindakannya yang menurut kesesuaian hukum sebab-akibat tidak menyebabkannya mengabaikan kewajipan terhadap tuntutan agama. Dia tetap berasa rengan untuk berbakti kepada Allah s.w.t, tidak gelojoh dengan nikmat duniawi dan tidak berasa iri hati terhadap orang lain. Apabila ahli asbab berjalan menurut hukum asbab maka jiwanya akan maju dan berkembang dengan baik tanpa menghadapi kegoncangan yang besar yang boleh menyebabkan dia berputus asa dari rahmat Allah s.w.t. Rohaninya akan menjadi kuat sedikit demi sedikit dan menolaknya ke dalam makam tajrid secara selamat. Akhirnya dia mampu untuk bertajrid sepenuhnya.

Ada pula orang yang dipaksa oleh takdir supaya bertajrid. Orang ini asalnya adalah ahli asbab yang berjalan menurut hukum sebab-akibat sebagaimana orang ramai. Kemungkinannya kehidupan seperti itu tidak menambahkan kematangan rohaninya. Perubahan jalan perlu baginya supaya dia boleh maju dalam bidang kerohanian. Oleh itu takdir bertindak memaksanya untuk terjun ke dalam lautan tajrid. Dia akan mengalami keadaan di mana hukum sebab-akibat tidak lagi membantunya untuk menyelesaikan masalahnya. Sekiranya dia seorang raja, takdir  mencabut kerajaannya. Sekiranya dia seorang hartawan, takdir  menghapuskan hartanya. Sekiranya dia seorang yang cantik, takdir  menghilangkan kecantikannya itu. Takdir memisahkannya daripada apa yang dimiliki dan dikasihinya. Pada peringkat permulaan menerima kedatangan takdir yang demikian, sebagai ahli asbab, dia berikhtiar menurut hukum sebab-akibat untuk mempertahankan apa yang dimiliki dan dikasihinya. Jika dia tidak terdaya untuk menolong dirinya dia akan meminta pertolongan orang lain. Setelah puas dia berikhtiar termasuklah bantuan orang lain namun, tangan takdir tetap juga merombak sistem  sebab-akibat yang terjadi ke atas dirinya. Apabila dia sendiri dengan dibantu oleh orang lain tidak mampu mengatasi arus takdir maka dia tidak ada pilihan kecuali berserah kepada takdir. Dalam keadaan begitu dia akan lari kepada Allah s.w.t dan merayu agar Allah s.w.t menolongnya. Pada peringkat ini seseorang itu akan kuat beribadat dan menumpukan sepenuh hatinya kepada Tuhan. Dia benar-benar berharap Tuhan akan menolongnya mengembalikan apa yang pernah dimilikinya dan dikasihinya. Tetapi, pertolongan tidak juga sampai kepadanya sehinggalah dia benar-benar terpisah dari apa yang dimiliki dan dikasihinya itu. Luputlah harapannya untuk memperolehinya kembali. Redalah dia dengan perpisahan itu. Dia tidak lagi merayu kepada Tuhan sebaliknya dia menyerahkan segala urusannya kepada Tuhan. Dia menyerah bulat-bulat kepada Allah s.w.t, tidak ada lagi ikhtiar, pilihan dan kehendak diri sendiri. Jadilah dia seorang hamba Allah s.w.t yang bertajrid. Apabila seseorang hamba benar-benar bertajrid maka Allah s.w.t sendiri akan menguruskan kehidupannya. Allah s.w.t menggambarkan suasana tajrid dengan firman-Nya:


Dan (ingatlah) berapa banyak binatang yang tidak membawa rezekinya bersama, Allah jualah yang memberi rezeki kepadanya dan kepada kamu; dan Dialah jua Yang Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui. ( Ayat 60 : Surah al-‘Ankabut )
Makhluk Allah s.w.t seperti burung, ikan, kuman dan sebagainya tidak memiliki tempat simpanan makanan. Mereka adalah ahli tajrid yang dijamin rezeki mereka oleh Allah s.w.t. Jaminan Allah s.w.t itu meliputi juga bangsa manusia. Tanda Allah s.w.t meletakkan seseorang hamba-Nya di dalam makam tajrid ialah Allah s.w.t memudahkan baginya rezeki yang datang dari arah yang tidak diduganya. Jiwanya tetap  tenteram sekalipun terjadi kekurangan pada rezeki atau ketika menerima bala ujian.

Sekiranya ahli tajrid sengaja memindahkan dirinya kepada makam asbab maka ini bermakna dia melepaskan jaminan Allah s.w.t lalu bersandar kepada makhluk . Ini menunjukkan akan kejahilannya tentang rahmat dan kekuasaan Allah s.w.t. Tindakan yang jahil itu boleh menyebabkan berkurangan atau hilang terus keberkatan yang Allah s.w.t kurniakan kepadanya. Misalnya, seorang ahli tajrid yang tidak mempunyai sebarang pekerjaan kecuali membimbing orang ramai kepada jalan Allah s.w.t, walaupun tidak mempunyai sebarang pekerjaan namun, rezeki datang kepadanya dari berbagai-bagai arah dan tidak pernah putus tanpa dia meminta-minta atau mengharap-harap. Pengajaran yang disampaikan kepada murid-muridnya sangat berkesan sekali. Keberkatannya amat ketara seperti makbul doa dan ucapannya biasanya menjadi kenyataan. Andainya dia meninggalkan suasana bertajrid lalu berasbab kerana tidak puas hati dengan rezeki yang diterimanya maka keberkatannya akan terjejas. Pengajarannya, doanya dan ucapannya tidak seberkesan dahulu lagi. Ilham yang datang kepadanya tersekat-sekat dan kefasihan lidahnya tidak selancar biasa.

Seseorang hamba haruslah menerima dan reda dengan kedudukan yang Allah s.w.t kurniakan kepadanya. Berserahlah kepada Allah s.w.t dengan yakin bahawa Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah s.w.t tahu apa yang patut bagi setiap makhluk-Nya. Allah s.w.t sangat bijak mengatur urusan hamba-hamba-Nya.

Keinginan kepada pertukaran makam merupakan tipu daya yang sangat halus. Di dalamnya tersembunyi rangsangan nafsu yang sukar disedari. Nafsu di sini merangkumi kehendak, cita-cita dan angan-angan. Orang yang baharu terbuka pintu hatinya setelah lama hidup di dalam kelalaian, akan mudah tergerak untuk meninggalkan suasana asbab dan masuk ke dalam suasana tajrid. Orang yang telah lama berada dalam suasana tajrid, apabila kesedaran dirinya kembali sepenuhnya, ikut kembali kepadanya adalah keinginan,  cita-cita dan angan-angan. Nafsu mencuba untuk bangkit semula menguasai dirinya. Orang asbab perlulah menyedari bahawa keinginannya untuk berpindah kepada makam tajrid itu mungkin secara halus digerakkan oleh ego diri yang tertanam jauh dalam jiwanya. Orang tajrid pula perlu sedar keinginannya untuk kembali kepada asbab itu mungkin didorong oleh nafsu rendah yang masih belum berpisah dari hatinya. Ulama tasauf  mengatakan seseorang mungkin dapat mencapai semua makam nafsu, tetapi nafsu peringkat pertama tidak kunjung padam. Oleh yang demikian perjuangan atau mujahadah mengawasi nafsu sentiasa berjalan.

SYARAH KITAB AL HIKAM KE 1 : TANDA-TANDA BERGANTUNG PADA AMALAN

Kata Sheikh Sheikh Ibnu Athoillah As-Kanddari   R.A yang bermaksud :

Setengah daripada alamat orang yang bergantung(bersandar) atas amal itu ialah kurang harapannya apabila melakukan kesalahan(maksiat).
 
Terjemahannya oleh Tok Pulau Manis

Sebahagian daripada tanda-tanda hamba Allah yang bersandar dirinya pada kekuatan amal usahanya ialah berkurangnya pengharapan terhadap rahmat kurnia Allah dan apabila mereka membuat sesuatu kesalahan atau dosa disisi Allah dan akan sempurna harapannya kepada Allah apabila beliau banyak melakukan ketaatan. Adalah yang demikian itu hal segala orang yang jahil yang menilik bagi dirinya berbuat amal dan orang-orang-orang Arif tiada sekali-kali menilik dirinya berbuat sesuatu amalan.

Adalah segala hal manusia itu terbahagi kepada beberapa bahagi seperti di bawah:

Yang pertamanya ialah golongan yang bersandar atas amalan yang mereka lakukan dan alamatnya ialah berkurangan harapannnya kepada Allah apabila tiada hasil baginya apa yang dimaksudkan seperti untuk memperolehi sesuatu perkara yang luar biasa daripada amalan-amalan dan ibadat yang dilakukan.
Yang keduanya ialah mereka yang bersandar kepada anugerah taufik dan hidayah daripada Allah dan alamatnya ialah sentiasa rujuk (melihat kehendak dan kekuasaan Allah) kepada Allah sama ada dalam nikmat kesukaan atau bala(kesakitan). Apabila mereka suka mereka berkata Alhamdulillah dan bersyukur kepadanya dan apabila duka (ditimpa dbencana) kepada Allahlah mereka minta tolong dan berlindung.

Yang ketiganya ialah mereka yang bersandar atas bahagian yang telah terdahulu iaitu apa-apa yang telah ditentukan pada azali lagi. Alamatnya ialah tiada gundah(bimbang) dengan ketiadaan asbab(seperti makan atau pekerjaan). Maka tiadalah bertambah harapanya kerana sesuatu dan tiada kurang harapannya kerana sesuatu. Sama sahaja ada dan tiada sesuatu dan jikalau ditimbang harapan dan takutnya nescaya bersamaan dalam tiap-tiap waktu dan hal malahan mereka ini sentiasa SUKA DENGAN ALLAH.

Kata setengah daripada kaum sufiah adalah golongan yang ketiga itu ialah mereka yang menyerahkan dirinya dan diam dibawah perintah segala hukum Allah iaitu mereka yang sentiasa menilik dan musyahadah kepada fi'li(perbuatan) Allah dan FANA daripada dirinya.
Berkata pula setangah daripada orang-orang MUHAQQIQIN R.A, barangsiapa yang sampai kepada HAKIKAT ISLAM (pengakuan zohir) maka tidaklah kuasa dia daripada berhenti untuk sentiasa melakukan amal dan ibadat dan barangsiapa samapai kepada HAKIKAT IMAN maka tiadalah berupaya untuk berpaling(lari) daripada amal dan ibadat dan barangsiapa sampai kepada HAKIKAT IHSAN maka tiadalah kuasa dia berpaling kepada sesuatu lain daripada Allah(sentiasa musyahadah dengan Allah).

Berkata pula pengarang kitab Hikam :

Ketahui olehmu wahai Salik !!.
bahawasanya adab kepada orang yang AHLI THORIQ dalam sesuatu waktu(detik/saat) itu boleh jadi

ADAB AL-SYARIAT dan dalam sesuatu waktu boleh jadi
ADAB-AL-HIKMAT dan sesuatu waktu yang lain boleh jadi
ADAB-AL-HAQ.
Maka maksud ADAB-AL-SYARIAT itu ialah berdiri yakni buat amal dan menunaikannya mengikut kehendak hukum syarak. Ini adalah langkah permulaan bagi segala orang yang menjalani jalan menuju kepada Allah.
Maka maksud ADAB-AL-KHIDMAT ialah fana(hilang/hapus) daripada melihat segala amalan yang dikejakannya dan tiadalah mereka memandang kepada yang demikian itu melainkan kepada anugerah Allah Taala jua kerana bagi oarang yang dalam makam ahli khidmat, WAJIB bagi mereka tidak bersandar di atas amalan yang mereka kerjakan.

Maksud ADAB-AL-HAQ ialah seperti "kuketahui barang yang bagimu dan barang yang hak Allah. (hilang dan tenggelam jiwanya dalam lautan musyahadah dengan Allah). Inilah makam atau kedudukan orang yang AHLI TAHKIQ kerana hamba itu apabila mengenal ia hakikat sifat-sifat hamba iaitu FAKIR, DHOIF, LEMAH, HINA dan KURANG di samping mengenal suatu yang tuhannya yang bersifat dengan GHONI(KAYA), QAWI(KUAT/KUASA), QADIR(PEKEHENDAK), 'AZIZ(MULIA) DAN KAMALAT(KESEMPURNAAN).... maka hamba yang ahli-tahkiq ini fanalah ia daripada tiap-tiap barang yang lain daripada Allah. (tidak nampak susautu ini melainkan melihat akan kewujudan Allah yang MAHA SEMPURNA).

INILAH... bagi hamba-hamba pilihan yang berupaya melihat akan kamalat kudrat tuhannya kerana bahawasanya barangsiapa tiada melihat akan kamalat kudrat tuhannya dalam MAKRIFAT maka gugurlah(turun) ia makam atau keadaan yang sempurna (INSANUL KAMIL). Maka apabila telah engkau lihat akan kamalat kudrat tuhamnu maka fanalah engkau daripada tiap-tiap perkara yang lain daripadaNya. Sesungguhnya hendaklah engkau ketahui bahawasanya kehendak Allah daripamu dalam tiap-tiap hal dan tiap-tiap perkataan dan tiap-tiapa makam.

INILAH... kesudahan-kesudahan adab kerana bahawanya yang dikehendaki oleh hak Allah ialah bahawa engkau itu tiada berdaya dan hendaklah engkau menggugurkan segala ikhtiarmu (iaitu tidak pandang dan mengira-gira) dan hendaklah engkau memutuskan kehendakmu(jangan nampak kekuasaanmu) pada tiap-tiap perkara yang Allah telah tetapkan engkau di dalamnya, sama ada di dalam Maqam Tajrid(semata-mata beribat kepada Allah tanpa memikirkan usaha) atau di dalam Maqam Asbab.

TOK PULAU MANIS : TOKOH SUFI NUSANTARA


TOKOH yang acap kali memperkenalkan pelbagai aspek ulama besar Terengganu, Syeikh Abdul Malik Terengganu yang digelar dengan Tok Pulau Manis ini ialah Shafie Abu Bakar.
Namun, tulisan ini penulis mulai dari penemuan sebuah salasilah yang penulis peroleh daripada salah seorang keturunan adik-beradik Syeikh Abdul Malik Terengganu.
Tertulis pada bahagian atas salasilah, “Bismillahir Rahmanir Rahim Syarif Muhammad, satu raja yang memerintah akan negeri Baghdad kerana mengambil ... (tak dapat dibaca) lalu pergi ke Mekah. Kemudian diturut orang akan dia. Maka lari ke Terengganu, lalu duduk di Ulu Pauh. Dan wafatlah ia di Pauh. Maka meninggalkan anak dua orang, satu Abdullah dan kedua Abdul Malik. Maka Abdul Malik itulah Datuk Pulau Manis yang keramat itu”.
Daripada salasilah di atas, ternyata terdapat kelainan dengan tulisan-tulisan sebelum ini, iaitu semua penulis termasuk penulis sendiri, menyebut bahawa nama ayah Syeikh Abdul Malik Terengganu ialah Abdullah. Ada pun dalam salasilah di atas, ayahnya ditulis Syarif Muhammad yang berasal dari Baghdad.
Nama Abdullah itu adalah adik-beradik Syeikh Abdul Malik (Tok Pulau Manis). Adik-beradiknya yang seorang lagi bernama Abdul Qahhar. Tetapi sebelum ini ada salah seorang keturunan ulama ini meriwayatkan kepada penulis bahawa datuk dan nenek kepada Syeikh Abdul Malik ialah Syarif Abdul Qahhar. Anak lelaki Syarif Abdul Qahhar itu bernama Abdullah, iaitulah ayah bagi Syeikh Abdul Malik.
Salasilah versi yang lain memberikan maklumat bahawa Syeikh Abdul Malik bin Abdullah bin Abdul Qahhar bin Saiyid Muhammad. Sangat sukar untuk mentahqiqkan riwayat yang bersimpang-siur seperti ini, tulisan-tulisan yang terdahulu masih belum dapat dimansuhkan sedang salasilah yang bertulis, yang baru diperoleh juga sukar ditolak.
Berdasarkan salasilah yang baru diperoleh, bahawa dari tiga orang adik beradik ulama yang berasal dari Baghdad itu, hanya Abdul Qahhar saja yang tidak tercatat meninggalkan anak dan zuriat. Abdullah iaitu adik beradik yang kedua, memperoleh seorang anak bernama Sulaih.
Sulaih menurunkan zuriat hingga kepada pemilik salasilah, iaitu Jamaluddin bin Yusuf Terengganu. Dicatat pada sudut kanan, “Pada tiap-tiap satu daripada keturunan Abdullah ini banyak lagi pecahan saudara dan anak-anaknya”.
Catatan dalam salasilah bahawa yang ramai meninggalkan zuriat ialah Syeikh Abdul Malik (Tok Pulau Manis), yang berpunca dari tiga orang anaknya.
Sebagaimana disebutkan bahawa yang paling banyak memperkenalkan Syeikh Abdul Malik ialah Shafie Abu Bakar, oleh itu dapat dirujuk tulisan-tulisannya. Dalam Pesaka II dengan judul Syeikh Abdul Malik Bin Abdullah dan Karangan-karangannya.
Dalam Pesaka IV, dengan judul Hikam Melayu (HM) di Dalam Perkembangan Tasawuf Kedudukan dan Penetapan Pengarangnya. Juga tulisan Shafie bin Abu Bakar dimuat dalam buku Ulama Terengganu Suatu Sorotan, dengan judul Tok Pulau Manis Dan Pengasasan Pendidikan Islam.
Penulis sendiri telah memperkenalkan ulama tersebut dalam Katalog Pameran Manuskrip Melayu terbitan Perpustakaan Negara Malaysia dalam rangka Sempena Persidangan Antarabangsa Tamadun Melayu kedua 15-20 Ogos 1989. Tulisan penulis pula dimuat dalam Jurnal Dewan Bahasa, Julai 1990.
Ismail Che Daud pula dalam majalah Pengasuh bilangan 509, Februari 1991 memunculkan judul Tok Pulau Manis (1650an - 1736 M) Penulis Syarah Hikam. Pengakuan Kitab Syarah Hikam Melayu sebagai karya Tok Pulau Manis Terengganu mulai diragukan pertama sekali dikemukakan oleh Abdur Razak Mahmud ditulis dalam majalah Pengasuh bilangan 511, April 1991 sebagai tanggapan terhadap tulisan lsmail Che Daud. Ia sekali gus menyentuh tulisan-tulisan Shafie bin Abu Bakar yang tersebut.
Dalam Seminar Warisan Kitab-Kitab Melayu Lama pada 28 Safar 1412/7 September 1991, anjuran Bahagian Hal Ehwal Islam Jabatan Perdana Menteri, pembentang kertas kerja Abdul Aziz bin Ismail sangat banyak menyebut nama Tok Pulau Manis dan Kitab Hikam Melayu, dan lain-lain sangat banyak untuk disebutkan. Oleh itu, beberapa perkara yang telah banyak dibicarakan, penulis sentuh serba ringkas saja. Bagaimanapun, beberapa penemuan baru dirasakan perlu diulas agak panjang terutama mengenai keturunannya yang menjadi ulama atau tokoh yang berpengaruh dalam masyarakat.

PENDIDIKAN
Tahun kehidupan Syeikh Abdul Malik (Tok Pulau Manis) Terengganu tercatat antara tahun 1089 H/1676 M-1149 H/1736 M, demikian tersurat di atas kubur beliau, yang menurut salah satu tulisan Misbaha. Tetapi penyelidikan terakhir memberikan maklumat bahawa beliau lahir lebih awal dari tahun yang tersebut itu, iaitu kira-kira 1650 M.

Setelah mendapat pendidikan di kampung sendiri dan dari beberapa ulama di Terengganu, beliau meneruskan pelajarannya ke Aceh. Di antara gurunya di Aceh ialah Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Dipercayai sewaktu belajar di Aceh bersahabat dengan beberapa orang yang akhirnya menjadi tokoh dan ulama besar. Mereka ialah Syeikh Yusuf Tajul Khalwati al-Mankatsi dari Bugis-Makasar, Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan dan Syeikh Burhanuddin Ulakkan dari Sumatera Barat dan ramai lagi.
Mereka telah menerima talqin baiah Tarekat Syathariyah daripada ulama Aceh yang terkenal itu. Mereka melanjutkan pelajaran ke Mekah dan Madinah. Sewaktu di Mekah bersahabat pula dengan Syeikh Abdus Syukur bin Abdul Karim Batani al-Fathani dan belajar kepada Syeikh Ibrahim al-Kurani.
Syeikh Ibrahim al-Kurani ini juga guru kepada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri.

KARYA-KARYA
Mengenai karya beliau semuanya dapat dirujuk kepada tulisan-tulisan Shafie bin Abu Bakar, kecuali kitab Syarah Hikam Melayu dalam penyelidikan terkini dimunculkan sebagai bukan karya Tok Pulau Manis oleh Abdur Razak Mahmud yang beliau tulis dalam majalah Pengasuh yang telah disebutkan.
Dalam tulisan terdahulu, penulis menyatakan kitab yang dipertikaikan itu termasuk dalam senarai. Ada dua kitab yang penulis bicarakan dalam Jurnal Dewan Bahasa, Julai 1990, yang sebuah lagi ialah Kitab Kifayah manuskrip salinan Tok Kelaba yang tersimpan di Pusat Manuskrip Melayu dengan nombor kelas MS 517. Tok Kelaba cukup jelas menyebut kitab tersebut adalah karya Tok Pulau Manis. Akan tetapi ada sebuah manuskrip koleksi penulis yang ditemui di Kampung Kepala Bukit Senggora (Mei 1993) dengan judul Al-Kitabul Kifayah, selain judulnya sama juga kandungannya adalah sama, bahawa dinyatakan sebagai karya Imam Syafie (maksudnya bukan Imam Syafie imam mazhab) yang diselesaikan penulisannya pada hari Khamis, 2 Safar 1180 H/1766 M.
Ada pun salinan Tok Kelaba tidak tersebut tahun selesai menulisnya, hanya disebutkan tahun selesai penyalinan saja iaitu pada 13 Zulkaedah 1297 H/1879 M (kira-kira 117 tahun kemudian).
Ingin penulis sebutkan di sini bahawa penulis menemui sebuah manuskrip karya beliau di Patani (hadiah seorang Tuan Guru, Julai 1991). Manuskrip yang telah penulis miliki itu belum pernah disebut dalam semua tulisan sebelum ini. Risalah tersebut nipis saja, hanya enam halaman tetapi lengkap. Di akhir risalah tertulis, “Maka adalah yang memindahkan dan yang menjadikan segala perkataan ini semuanya fakir yang hina iaitu Haji Abdul Malik ibnu Abdullah al-Jawi ...”. Kandungan kitab ini ialah jawapan beliau atas beberapa pertanyaan yang bersangkutpaut dengan nikah kahwin.
Ada pun mengenai kitab Syarah Hikam Melayu, pada mulanya telah sepakat dikatakan sebagai karya Syeikh Abdul Malik Terengganu (Tok Pulau Manis). Kemudian dibantah oleh Abdur Razak Mahmud, mengenai ini telah penulis bahas dengan agak panjang dimuat dalam buku Penjelasan Nazham Syair Shufi Syeikh Ahmad Al-Fathani (terbitan pertama Khazanah Fathaniyah, September 1993).
Adapun penulis mempunyai pelbagai edisi cetakan Syarah Hikam Melayu, termasuk cetakan pertama yang ditashhih oleh Syeikh Ahmad al-Fathani di bawah perkataan dalam bahasa Arab cetakan pertama, dinyatakan, “Inilah terapan yang pertama daripada kitab ini”.

Di bawahnya lagi dijelaskan, “Diterapkan dia dengan peterapan Miri pada negeri Mekah al-Mukarramah”. Cetakan pertama yang tersebut adalah tahun 1302 H. Ukuran cetakan 28.8 x 20.8 cm, tebal 208 halaman.
Pada akhir cetakan Syeikh Ahmad al-Fathani, mencatatkan, “Dengan Tolong Al-Malikul Wahhab. Telah sempurnalah menthaba’kan ini kitab yang mustathab, iaitu Syarah Hikam Ibni ‘Athaullah dengan bahasa Melayu. Dan adalah pada tharah kitab ini dahulu hamba sebutkan hal keadaannya nuqil daripada setengah manusia, bahawa kitab ini karangan bagi setengah daripada ulama Terengganu. Kemudian nyata bagi hamba, kemudian daripada periksakan aturan ibaratnya dan pilikkan (pelat) cakapannya, bahawasanya bukan ia bagi orang Terengganu. Maka ada pula orang yang mengkhabar bahawasanya ia karangan orang Aceh adanya. Dan adalah yang muqabalahkan dia atas sekira-kira barang yang ada pada asal naskhahnya al-faqir al-fani Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani musyarakan li anisihi al-fadhil Daud ibni almarhum Ismail al-Fathani.
Dan selesai men(ge)capkan dia pada pertengahan bulan Syawal sanah 1302 daripada hijrah Nabi kita ‘Alais Shalatu was Salam .... Oleh itu, pembahasan kitab Syarah Hikam Melayu dan lapan bait puisi Syeikh Ahmad al-Fathani yang terletak di bahagian depan semua cetakan kitab tersebut telah cukup jelas dalam buku Penjelasan Nazham Syair Shufi Syeikh Ahmad Al-Fathani, maka ditutup sampai di sini saja.

KETURUNAN
Syeikh Abdul Malik Terengganu memperoleh tiga orang anak iaitu: Imam Yusuf Kesuma, Badruddin dan Mik Tok Bungkuk. Ada pun Imam Yusuf Kesuma itu memperoleh anak dua orang, ialah: Abdur Rahman dan Ali. Sampai di sini salalsilah terputus, tidak terdapat sambungan keturunannya. Malahan salasilah Mik Tok Bungkuk terputus juga. Yang teramai memperoleh anak dan keturunan ialah anak Tok Pulau Manis yang kedua, iaitu Badruddin. Badruddin memperoleh lapan anak iaitu tujuh lelaki dan hanya seorang saja yang perempuan. Mereka ialah; Daud, Husein, Hasan, Muhammad, Musa, Isa, Maimunah dan Ya’qub.
Huraian ringkas salasilah sebagai yang berikut: Daud (No. 1) bin Badruddin bin Syeikh Abdul Malik, memperoleh anak; Sulaiman, Fatimah, Usman, Badruddin, Husein, Umar, Abu Bakar, Idris dan Khatib Muhammad Shalih
Salasilah terputus kecuali Khatib Muhammad Shalih dikatakan memperoleh anak bernama Ali.
Husein (No. 2) bin Badruddin bin Syeikh Abdul Malik, memperoleh anak hanya dua orang, ialah Yusuf dan Aisyah. Salasilah juga terputus.
Hasan (No. 3) bin Badruddin bin Syeikh Abdul Malik, memperoleh anak hanya seorang, ialah Zainab. Salasilah juga terputus.
Muhammad (No. 4) bin Badruddin bin Syeikh Abdul Malik, memperoleh dua anak orang, ialah Wan Abdul Qadir dan Wan Semik. Salasilah juga terputus.
Musa (No. 5) bin Badruddin bin Syeikh Abdul Malik, salasilah juga terputus.
Isa (No. 6) bin Badruddin bin Syeikh Abdul Malik, memperoleh lima anak iaitu; Aminah, Aisyah, Habibah, Salamah dan Haji Abdul Malik.
Aminah (No. 1) binti Isa bin Badruddin bin Syeikh Abdul Malik, memperoleh lima anak iaitu; Muhammad, Imam, Usman, Aisyah dan Asiah.
Salasilah terputus dan nama suami Aminah tidak tercatat dalam salasilah.

Aisyah (No. 2) binti Isa bin Badruddin bin Syeikh Abdul Malik juga memperoleh lima anak iaitu; Syarifah, Haji Ahmad, Shafiyah, Sa’diyah dan Abdur Rahman.
Salasilah juga terputus dan nama suami Aisyah juga tidak tercatat dalam salasilah.
Habibah (No. 3) binti Isa bin Badruddin bin Syeikh Abdul Malik dan Salamah (No. 4) binti Isa bin Badruddin bin Syeikh Abdul Malik, keturunannya tidak tercatat dalam salasilah. Yang ramai anak dan ramai keturunan yang tercatat dalam salasilah ialah Haji Abdul Malik (No. 5) bin Isa bin Badruddin bin Syeikh Abdul Malik. Sebelum menyebut keturunan beliau, perlu dicatatkan di sini bahawa Haji Abdul Malik bin lsa bin Syeikh Abdul Malik Terengganu ini adalah salah seorang murid Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.
Jadi Haji Abdul Malik bin Isa cucu Tok Ku Pulau Manis Terengganu tersebut adalah termasuk ulama besar Terengganu pada zamannya. Haji Abdul Malik (No. 5) memperoleh enam anak; Haji Muhammad al-Qadhi, Encik Ahmad, Haji Abdur Rahim, Abdur Rahman, Abdullah dan Maryam.
Haji Muhammad al-Qadhi (No. 1) memperoleh empat anak iaitu; Kaltsum, Abdullah, Abdul Malik dan Musa
Encik Ahmad (No. 2) bin Haji Abdul Malik bin lsa bin Syeikh Abdul Malik memperoleh anak hanya 2 orang, ialah: Muhammad dan Haji Abdullah.
Haji Abdur Rahim (No. 3) bin Haji Abdul Malik bin lsa bin Syeikh Abdul Malik memperoleh anak hanya 4 orang, ialah; Muhammad Encik Da, Ahmad Encik Hitam, Halimah Encik Wok dan Khadijah Encik Nik
Muhammad Encik Da (No. 1) bin Haji Abdur Rahim bin Haji Abdul Malik bin lsa bin Syeikh Abdul Malik memperoleh anak hanya seorang, ialah: Abdullah Encik Awang. Abdullah Encik Awang memperoleh anak 3 orang, ialah: Isa Encik Long, Khadijah Encik Wok dan Shafiyah Encik Nik. Salasilah terputus hingga sampai di sini.
Ahmad Encik Hitam (No. 2) bin Haji Abdur Rahim bin Haji Abdul Malik bin 'lsa bin Syeikh Abdul Malik tidak tercatat nama anak dan keturunannya, yang tercatat hanya "Kubur keduanya (maksudnya Muhammad Encik Da dan Ahmad Encik Hitam) di maqam Tuan Syeikh Abdul Qadir".
Selanjutnya Halimah Encik Wok (No. 3) bin Haji Abdur Rahim bin Haji Abdul Malik bin lsa bin Syeikh Abdul Malik juga tidak tercatat nama anak dan keturunannya, sedang adiknya Khadijah Encik Nik (No. 4) anak-anaknya ialah: Ismail Encik Su, Maimunah Encik Wok, Aisyah Encik Tih dan Satidah Encik Hitam.
Selain itu, penulis masih meragui bahawa ditarik garis ke bawah sesudah Khadijah Encik Nik juga disebut nama Tuan Syeikh Abdul Qadir (maksudnya Syeikh Abdul Qadir Bukit Bayas). Mengenai ini tidak jelas, kerana menurut sejarah yang terkenal, Syeikh Abdul Qadir Bukit Bayas, ulama besar yang sangat terkenal itu adalah anak Syeikh Abdur Rahim yang berasal dari Patani. Mungkin saja Haji Abdur Rahim, ayah Khadijah Encik Nik adalah betul datuk/nenek Syeikh Abdul Qadir al-Fathani Bukit Bayas itu dari pihak sebelah ibunya, dan secara kebetulan serupa nama dengan ayah beliau iaitu Syeikh Abdur Rahim yang berasal dari Patani itu. Ini dapat diketahui dengan jelas kerana Haji Abdur Rahim (ayah Khadijah) nama ayahnya ialah Haji Abdul Malik bin Isa bin Syeikh Abdul Malik Terengganu, sedang Syeikh Abdur Rahim al-Fathani (ayah Syeikh Abdul Qadir) nama ayahnya ialah Wan Deraman bin Wan Abu Bakar bin Wan Ismail bin Faqih Ali.

SIFAT- SIFAT ORANG ARIFF


Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Ma’rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba.”
Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, “Orang arif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih karenanya.”
Ahmad bin ‘Atha’ – rahimahullah – berkata, “Ma’rifat itu ada dua: Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq adalah ma’rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya.
Sedangkan ma’rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman: “Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya”.” (Q.s. Thaha: 110).
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskan: Makna ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju ke sana,” yakni ma’rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka.
Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma’rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?
Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah swt. berfirman: “Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).
Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.”
Asy-Syibli – rahimahullah – pernah ditanya, “bila seorang arif berada dalam tempat kesaksian al-Haq?”
Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.”
“Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?” Ia menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya.”
Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat adalah melihat dirinya berada dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma’rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”
Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami – rahimahullah – pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna hitam.
Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat Yang memiliki dan menguasainya.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskannya: ertinya, – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya.
Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya.
Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika “bersama” Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna. Al-junaid – rahimahullah – pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang arif (al-’arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”
Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya.”
Al-Junaid – rahimahullah – ditanya, “Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?” Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi – rahimahullah – berkata, “Akan tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya.” Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ” Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?”
Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan boleh sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah.”
Yahya bin Mu’adz – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang arif, maka ia menjawab, “Ia dapat masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.”
Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia menjawab, “Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan mereka.” Abu al-Husain an-Nuri – rahimahullah – ditanya, “Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal”
Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas boleh memahami Dzat Yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri.
Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama dan mana yang terakhir.”
Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan (‘ubudiyyah).
Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan.”
Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri, “mengetahui-Nya secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi.
Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.
Ahmad bin Atha’ – rahimahullah – pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma’rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya (tidak ada nilai-nilai Ketuhanan).
Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak.
Mereka yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata, pent.).”
Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha’ maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata, “Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci.
Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.”
Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang menyatakan, “Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadis:
Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitab: Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka.
Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka.” (H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).
Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah – mengenalkan dirinya kepada kaum  Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.”
Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).”