Catatan Popular

Rabu, 28 Ogos 2013

KITAB AQIDAH IHYA ULUMIDDIN : QAIDAH - QAIDAH AQIDAH @ IKTIQAD (FASAL 1)

KARANGAN IMAM AL GHAZALI DALAM KITAB IHYA ULUMUDDIN......FASAL 1

Fasal Pertama:

Menguhraikan 'aqidah (iktiqad) Ahlus-sunnah tentang dua kalimah syahadah, iaitu salah satu dari dasar-dasar Islam.

Maka berkatalah kami dengan memohonkan taufiq dari pada Allah Ta'ala :

Segala pujian bagi Allah yang menjadikan, yang mengembalikan, yang berbuat barang sekehendakNya, yang mempunyai 'Arasy mulia, yang gagah perkasa, yang memberi petunjuk kepada hamba-Nya yang bersih kepada cara yang betul dan jalan benar, yang memberikan nikmat kepada mereka sesudah pengakuan tauhid dengan terjaga 'aqidahnya dari kegelapan keraguan dan kesangsian, yang membawa mereka kepada mengikuti RasuLNya yang pilihan dan menuruti peninggalan para shahabatnya yang mulia, yang dikaruniai dengan kekuatan dan kebenaran, yang menampakkan kepada mereka tentang zatNya dan af'alNya dengan segala sifatNya yang baik, yang tidak akan mengetahuinya, selain orang yang dilimpahkan pendengaran dan Dia itu yang menyaksikan, yang memperkenalkan kepada mereka bahwa zatNya itu Esa, tiada seku-tu bagiNya, tunggal tiada yang menyamaiNya, lengkap rakhmatNya, tiada yang melawaniNya, sendirian tiada yang menyekutuiNya.
Bahwa Dia itu Esa, qadim tiada bepermulaan, azali tiada berpenda-huluan, berkekalan wujudNya, tiada berkesudahan, abadi tiada berpenghabisan, tegak sendiri tiada yang menghalangiNya, kekal tiada putusNya, senantiasa dan selalu bersifat dengan segala sifat kebesaran, tiada habis dengan kehabisan dan pemisahan, dengan pergantian abad dan musnahnya zaman. Tetapi Dialah yang awal dan yang akhir, yang dhahir dan yang bathin. Dia amat mengetahui dengan tiap-tiap sesuatu.


Kemahasucian (tanzih),


Bahwa Ia tidak dengan tubuh yang merupakan, tidak jauhar (benda atau barang) yang terbatas dan berhingga. Dia tidak menyerupai dengan segala tubuh, tidak pada kira-kiraan dan tidak pada dapat dibagi-bagikan.


Tidaklah Dia itu jauhar dan tidaklah Dia ditempati oleh jauhar-jauhar. Tidaklah Dia itu aradl (sifat yang mengambil tempat) dan tidaklah Dia ditempati oleh aradl-aradl. Bahkan Dia tidak menyerupai dengan yg ada (maujud) dan tidak suatu yg maujud pun menyerupai dengan Dia. Tiadalah sepertiNya sesuatu dan tidaklah Dia seperti sesuatu. Dia tidak dibatasi oleh sesuatu batas dan tidak mengandung sesuatu jurusan, tidak diliputi oleh pihak, tidak dibatasi oleh bumi dan langit.

Dia beristiwa' di atas 'Arasy menurut firmanNya dan menurut arti yang dikehendakiNya, istiwa' yang suci dari tersentuh dengan sesuatu, suci dari tetap dan tenang, suci dari mengambil tempat dan berpindah. Dia tidak dibawa oleh 'Arasy tetapi 'Arasy dan pembawa-pembawa 'Arasylah yang dibawa dengan kelemah-lembutan qudrahNya, yang digagahi dalam genggamanNya. Dia di atas 'Arasy dan langit dan di atas segala-galanya sampai kesegala lapisan bumi, keatasan yang tidak menambahkan dekatNya kepada 'Arasy dan langit sebagaimana, tidak menambahkan jauh-Nya dari bumi dan lapisan tanah. Tetapi Dia di tingkat yang maha tinggi dari 'Arasy dan langit, sebagaimana

Dia di tingkat yang maha tinggi dari bumi dan lapisan tanah. Dan pada itu, Dia dekat sekali dengan segala yang maujud (yang ada). Dan maha dekat kepada hambaNya, lebih dekat dari urat leher hambaNya itu sendiri. Dia menyaksikan tiap-tiap sesuatu. Tidak menyerupai kehampiranNya dengan kehampiran diantara tubuh-tubuh, sebagaimana tidak menyerupai zatNya dengan segala zat tubuh-tubuh itu. Dia tidak bertempat pada sesuatu dan tidak ada sesuatu ber-tempat padaNya. Maha Suci Ia dari dipengaruhi oleh tempat, sebagaimana la maha suci daripada dibataskan oleh waktu. Tetapi adalah Dia sebelum dijadikan zaman dan tempat. Dia sekarang menurut apa yang Dia ada. Dia tidak sama dengan makhlukNya dengan segala sifatNya. Tiada sesuatu yang sama dengan zatNya dan tidaklah zatNya menyamai dengan sesuatu.

Dia maha-suci dari perobahan dan perpindahan. Tidaklah bertempat padaNya segala kejadian dan tidaklah mempengaruhiNya oleh segala yang mendatang. Tetapi senantiasalah Dia dalam segala sifat kebesaran-Nya, maha-suci dari kelenyapan dan senantiasalah Dia dalam segala sifat kesempurnaanNya, tidak memerlukan kepada penam-bahan kesempurnaan lagi. Mengenai zatNya diketahui adaNya dengan akal pikiran, dilihat zatNya dengan mata-hati sebagai suatu nikmat daripadaNya sebagai kasih-sayangNya kepada orang-orang yang berbuat baik dalam negeri ketetapan nanti dan sebagai suatu kesempurnaan daripadaNya dengan kenikmatan memandang kepada wajahNya yang mulia.

Hayah (hidup) dan qudrah (kuasa).

Dia itu hidup, yang kuasa, yang gagah, yang perkasa, tidak ditimpakan kepadaNya oleh kekurangan dan kelemahan,tidak ada padaNya lupa dan tidur, tidak didatangi oleh kebinasaan dan kematian. Dialah yang mempunyai kerajaan dan kekuasaan, yang mempunyai kemuliaan dan kebesaran. KepunyaanNya kekuasaan, keperkasaan, kejadian dan segala urusan. Segala langit itu terlipat dengan kanan-Nya, segala makhluk itu digagahi dalam genggamanNya. Dia sendirian menjadikan dan mengadakan. DijadikanNya makhluk dan perbuatannya, ditentukanNya rezeki dan ajalnya. Tidak terlepas kekuasaan dari genggamanNya dan tidak luput dari kekuasaanNya segala pertukaran keadaan. Tak terhinggakan yang dikuasaiNya dan tidak berkesudahan yang diketahuiNya.

Ilmu (mengetahui).
Dia yang mengetahui segala yang diketahui, yang meliputi dengan apa yang berlaku dari segala lapisan bumi sampai kepada langit yang tinggi. Dia maha tahu, tidak luput dari ilmuNya seberat biji sawi sekalipun, di bumi dan di langit, bahkan Dia mengetahui semut yang hitam, yang berjalan di atas batu yang hitam, dalam malam yang kelam. Dia mengetahui gerakan yang paling halus di udara terbuka. Dia tahu rahasia dan yang tersembunyi.
Dan melihat segala bisikan dalam hati kecil manusia, segala gurisan dan bathin yang tersembunyi di dalam jiwa, dengan ilmu qadim aza-li.

Senantiasalah Dia bersifat demikian pada azal-azali. Tidaklah ilmuNya dengan pengetahuan yang membaru, yang terjadi pada zatNya dengan bertempat dan berpindah.

Iradah (berkehendak).
Dia itu berkehendak, menjadikan segala yang ada, mengatur segala yang baru. Maka tidaklah berlaku pada alam yang nyata ini dan yang tidak nyata, sedikit atau banyak, kecil atau besar, baik atau buruk, bermanfa'at atau melarat, iman atau kufur, pengakuan atau mungkir, kemenangan atau kerugian, bertambah atau berkurang, tha'at atau ma'siat, selain dengan qadla dan qadarNya (ketetapan dan taqdirNya), hikmah dan kehendakNya. Apa yang dikehendakiNya ada. Yang tidak dikehendakiNya tidak ada. Tak ada yang keluar dari kehendakNya meskipun palingan muka orang yang memandang dan gurisan hati dari seseorang manusia. Tetapi Dialah yang memulai dan yang mengulangi, berbuat sekehendakNya, tak ada yang menolak dari perintahNya dan tak ada yang dapat berbuat akibat bagi ketetapanNya.

Tak ada yang dapat melarikan seorang hamba dari kema'siatanNya, selain dengan taufiq dan rahmatNya. Tak ada kekuatan untuk mentha'atiNya selain dengan kehendak dan iradahNya. Kalau berkumpullah insan dan jin, malaikat dan setan, untuk menggerakkan di alam ini sesuatu benda yang kecil saja atau menempatkannya tanpa iradah dan kehendakNya, maka akan lemahlah mereka itu daripadanya.
IradahNya itu berdiri pada zatNya dalam jumlah sifat-sifatNya. Senantiasalah Dia demikian, bersifat dengan iradah. Dia berkehendak pada azal untuk adanya segala sesuatu, pada waktu-waktunya yang ditaqdirkanNya. Lalu terdapatlah segala sesuatu itu pada waktunya, menurut kehendakNya pada azal, tidak terdahulu dan tidak terkemudian. Bahkan terjadi sesuai dengan ilmu dan iradahNya, tanpa pertukaran dan perubahan, Dia mengatur segala urusan, tidak dengan tartib pikiran dan pengaruh zaman Karena itu, tidaklah Dia dipengaruhi oleh apapun juga.

Sama' dan bashar (mendengar dan melihat).

Dia yang mendengar lagi yang melihat. Dia mendengar dan melihat, yang tidak luput dari pendengaranNya yang terdengar, meskipun tersembunyi. Tidak lenyap dari penglihatanNya yang terlihat, meskipun sangat halus. Tidak menghalangi pendengaranNya oleh kejauhan. Tidak menolak penglihatanNya oleh kegelapan. Dia melihat tanpa biji mata dan kelopak mata. Dia mendengar tanpa anak telinga dan daun telinga, sebagaimana Dia tahu tanpa hati dan bertenaga tanpa anggota badan dan menjadikan tanpa perkakas. Karena tidaklah sifatNya menyerupai sifat makhluk, sebagaimana zatNya tidak menyerupai zat makhluk.

Kalam (berkata-kata).
Dia yang berkata-kata, yang menyuruh dan melarang, yang berjanji balasan baik bagi orang yang berbuat baik dan yang berjanji balasan buruk bagi orang berbuat jahat, dengan kalamNya yang azali, qadim, berdiri dengan zatNya, yang tidak menyerupai dengan kalam makhluk. Tidaklah kalamNya itu dengan suara yang datang dari pembawaan udara atau penggosokan beberapa benda. Tidak dengan huruf yang berputus-putus dengan melipatkan bibir atau menggerakkan lidah. Dan sesungguhnya Al-Qur-an, Taurat, Injil dan Zabur adalah kitab-kitabNya yang diturunkan kepada para rasulNya as.

Dan Al-Quran itu dibacakan dengan lidah, dituliskan pada lembaran-Iembaran kertas dan dihafalkan di dalam hati.
Dalam pada itu, Al-Qur-an itu qadim, berdiri dengan zat Allah Ta'ala. Tidak menerima pemisahan dan penceraian dengan sebab berpindah ke dalam hati dan kertas. Nabi Musa as. mendengar kalam Allah, tanpa suara dan huruf, sebagaimana orang-orang abrar (orang-orang yang selalu berbuat kebaikan) melihat Allah Ta'ala di akhirat dengan tidak berjauhar dan ber'aradl.

Apabila segala sifat yang tersebut tadi ada pada zat Allah Ta'ala, maka adalah Allah Ta'ala itu, yang hidup dengan hidupNya(hayah), yang mengetahui dengan ilmuNya ('ilmun), yang berkuasa dengan qudrahNya, yang berkehendak dengan iradahNya, yang mendengar dengan sama'-Nya, yang melihat dengan basharNyadan yang berkata-kata dengan kalamNya. Tidak dengan semata-mata zat.


Af'al (perbuatan-perbuatan).
Tidak adalah yang maujud selain Dia. Yang lain itu ada dengan perbuatanNya, yang melimpah dari keadilanNya dengan bentuk yang sebaik-baiknya, sesempurna-sempurnanya dan seadil-adilnya.

Dia maha bijaksana dalam segala perbuatanNya, maha adil dalam segala hukumNya. Tak dapatlah dibandingkan keadilanNya dengan keadilan hambaNya. Karena hamba itu, tergambar daripadanya kedhaliman, dalam mengurus hak milik orang lain. Dan tidak tergambar kedhaliman daripada Allah Ta'ala. Sebab tidak dijumpai milik bagi yang lain, dari Allah, sehingga ada pengurusanNya itu dhalim.

Seluruhnya yang lain dari Allah, yaitu insan, jin, malaikat, setan, langit, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan, barang-beku, jauhar, 'aradl, yang diketahui dan yang dirasa, adalah baharu (haadits), yang dijadikan Allah dari tidak ada dengan qudrahNya dan yang diciptakan-Nya dari tidak ada sama-sekali. Karena pada azali hanyalah Dia yang ada yang Maha Esa dan yang lainNya tidak ada. Maka kemudian, dijadikanNya makhluk, untuk menyatakan qudrahNya, membuktikan bagi yang telah lalu dari IradahNya dan kebenaran kalimahNya pada azali. Bukan karena Dia memerlukan dan berhajat kepada yang baharu itu. Dia berkemurahan dengan menjadikan, menciptakan dan menugaskan, bukan dari kewajiban kepadaNya. Dan mengeruniakan keni'matan dan perbaikan, bukan suatu keha-rusan kepadaNya.

Maka bagiNyalah keutamaan, kebaikan, keni'matan dan kemurahan. Karena Dia berkuasa menimpakan bermacam-macam 'azab kepada hambaNya dan mencobainya dengan berbagai kesengsaraan dan malapetaka. Jika dibuatNya demikian, maka adalah itu keadilan daripadaNya, bukan kekejian dan kedhaliman. Dia memberi pahala kepada hambaNya yang mu'min atas ketha'atan adalah karena kemurahan dan janjiNya. Bukan karena menjadi hak dari orang mu'min yang tha'at itu dan bukan suatu keharusan atas Allah Ta'ala. Karena tidak wajib atasNya berbuat untuk seseorang dan tidak tergambar daripada Allah sesuatu kedhaliman. Tidak harus ada hak seseorang atas Allah. Dan hak Allah atas makhluk wajib pada mentha'atiNya, dengan diwajibkanNya disampaikan oleh lisan para nabiNya. Tidak dengan semata-mata akal, tetapi Ia mengutuskan rasul-rasul dan melahirkan kebenaran mereka dengan mu'jizat-mu'jizat yang nyata. Lalu mereka itu menyampaikan perintahNya, laranganNya, wa'adNya (janji pahala kepada yang berbuat kebajikan) dan wa'idNya (janji siksa kepada yang berbuat kejahatan). Maka wajiblah atas makhluk membenarkan rasul-rasul itu, akan apa yang dibawanya.

Erti kalimah kedua, yaitu mengakui kerasulan rasul-rasul membawa risalah :
Bahwa Allah Ta'ala mengutuskan seorang nabi yang ummi (tak tahu tulis baca) dari suku Quraisy, bernama Muhammad saw. membawa risalah kepada seluruh Arab dan 'Ajam (1), jin dan insan. Maka dengan syari'at yang dibawanya itu, menjadi mansukhlah segala syari'at yang terdahulu, kecuali hal-hal yang" ditetapkan berlakunya oleh syari'at yang baru itu. Dan dilebihkanNya Nabi Muhammad saw. atas nabi-nabi yang lain. DijadikanNya dia menjadi penghulu segala manusia dan tidak diakuiNya kesempurnaan iman dengan syahadah tauhid saja, yaitu mengucapkan "LAA ILAAHA ILLALLAAH" sebelum disambung dengan syahadah rasul. Yaitu mengucapkan "MUHAMMADUR RASUULULLAAH.

DiharuskanNya seluruh makhluk membenarkan Muhammad saw. itu dalam segala perkhabaran yang diknabarkannya, tentang urusan dunia dan akhirat. Dan tidak diterimaNya iman seseorang dari hambaNya, sebelum beriman dengan apa yang dikhabarkan Muhammad saw. tentang hal-hal sesudah mati. Yaitu yang pertama-nya, pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir (2). Kedua malaikat ini adalah dua pribadi yang hebat menakutkan, mendudukkan dengan baik akan hamba Allah dalam kuburnya dengan ruh dan jasad. Lalu menanyakan tentang tauhid dan risalah, dengan mengatakan : "Siapa Tuhanmu? Apa agamamu? Siapa Nabimu?".

Kedua malaikat itu adalah pembawa cobaan di dalam kubur. Pertanyaannya tadi, adalah cobaan yang pertama sesudah mati.
Dan bahwa diimani dengan adanya 'azab kubur (1) Dan Allah itu benar, hukumNya adil menurut sekehendakNya atas tubuh dan ruh.

Dan bahwa diimani dengan adanya neraca timbangan amal yang mempunyai dua daun dan lidah neraca (2). Tentang besarnya adalah seumpama lapisan langit dan bumi, yang ditimbang padanya segala amalan dengan qudrah Allah Ta'ala. Yang pokok pada masa itu, meskipun seberat semut yang kecil dan biji-bijian yang halus, adalah untuk membuktikan kesempurnaan keadilanNya.

Dan diletakkan lembaran amal yang baik dalam bentuk yang bagus pada daun neraca dari nur. Lalu beratlah neraca dengan amalan itu, menurut derajat nya di sisi Allah Ta'ala dengan karuniaNya, dan dilemparkanlah lembaran amal yang keji dalam bentuk yang buruk pada daun neraca kegelapan. Maka ringanlah daun neraca itu dengan keadilan Allah.

Dan bahwa diimani, bahwa titian A sh-shiraatal-mustaqlim (3) itu benar adanya. Yaitu titian yang memanjang, melalui neraka jahannam, lebih tajam dari pedang, lebih halus dari ram but, terpe-leset kaki orang-orang kafir di atasnya dengan hukum Allah Ta'ala. Lalu mereka jatuh tersungkur ke dalam neraka. Dan tetaplah di atasnya kaki orang-orang mu'min dengan karunia Allah. Lalu mereka dibawa ke negeri ketetapan (sorga).

Dan bahwa diimani dengan al-haudl-al-mauruud. Yaitu kolam Nabi Muhammad saw., di mana orang-orang mu'min akan minum padanya, sebelum masuk sorga dan sesudah melewati titian Ash-shiraatal-mustaqiim (4).

Barangsiapa meminum padanya sekali minum, maka tidak akan haus sesudahnya lagi selama-lamanya. Kolam itu lebarnya seperjalanan sebulan. Airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu.Sekeliling nyacerek-cerek, jumlah-nya se ban yak bin tang di langit. Dalam kolam itu terdapat dua pancuran(1)yang memancur padanya air dari sungai Al-Kausar.

Dan bahwa diimani dengan hitungan amalan (hisab) dan berlebih kurangnya manusia di dalam penghisaban itu yang terbagi kepada : orang yang diminta keterangan pada hisab, yang diperlunak pada hisab dan orang yang masuk sorga tanpa hisab.
Yaitu orang-orang muqarrabun (orang-orang yang mendekati Allah dengan beramalan banyak).

Maka Allah menanyakan siapa yang dikehendakiNya dari para nabi tentang penyampaian risalah dan siapa yang dikehendakiNya dari orang-orang kafir tentang pendustaan mereka kepada rasul-rasul. Allah menanyakan orang-orang yang berbuat bid'ah dari sunnah dan menanyakan orang muslim tentang amalan.

Dan bahwa diimani, bahwa orang-yang bertauhid itu dikeluarkan dari neraka sesudah habis penyiksaan, sehingga tidak tinggal di dalam neraka jahannam seorangpun yang bertauhid dengan karunia Allah Ta'ala. Maka tidak ada orang yang bertauhid kekal di dalam neraka.

Dan bahwa diimani,akan memperoleh syafa'ah iz) nabi-nabi, kemudian syafa'ah ulama-ulama, kemudian syafa'ah syuhada', kemudian syafa'ah orang mu'min yang lain menurut kemegahan dan kedudukannya di sisi Allah Ta'ala. Dan orang mu'min lainnya, yang tak ada baginya yang memberikan syafa'ah, maka dia dikeluarkan dari neraka dengan karunia Allah 'Azza wa Jalla. Maka tak ada seorang mu'minpun yang kekal dalam neraka. Siapa saja yang dalam hatinya seberat biji sawi keimanan akan dikeluarkan dari neraka itu.

Dan bahwa diimani kelebihan para shahabat ra. dan urutannya.

Bahwa manusia yang terutama sesudah Nabi saw., ialah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Usman, kemudian Ali, diridhai Allah kiranya mereka itu sekalian. p)
Dan sesungguhnya hendaklah berbaik sangka dengan sekalian shahabat Nabi saw. dan memberi pujian kepada mereka, sebagaimana Allah swt. dan Rasulullah saw. memberi pujian kepada mereka itu sekalian.


Semuanya itu, termasuk diantara apa yang dibawakan hadits dan disaksikan oleh kata-kata peninggalan dari shahabat dan orang-orang yang terdahulu (atsar).

Barangsiapa mempercayai yang demikian itu dengan penuh keyakinan, maka adalah dia diantara ahli kebenaran, pendukung sunnah, terpisah dari rombongan kesesatan dan golongan bid'ah.
Kepada Allah Ta'ala kita meminta kesempurnaan keyakinan dan kebagusan ketetapan dalam Agama, untuk kita sendiri dan untuk kaum muslimin seluruhnya dengan rakhmat Allah. Dia amat mengasihani dari segala yang mengasihani. Kiranya Allah mencu-rahkan rakhmat kepada penghulu kita Muhammad dan kepada segala hambaNya yang pilihan.

TEROPONG ASAL USUL YAHUDI (FASAL 1)

Bahasan kali ini merupakan kelanjutan dari bahasan yang lalu yang berjudul “Yahudi dan Percaturan Dunia”, yaitu agar kita dapat memahami lebih jauh dan secara mendasar apakah yang menjadi sebab Yahudi itu sampai hari ini sedemikian “ganas”-nya kepada masyarakat dunia. Hendaknya kita mempelajari akar permasalahannya berdasarkan Al Qur’an.

Allah سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Hadiid (57) ayat 26 sebagai berikut:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحاً وَإِبْرَاهِيمَ وَجَعَلْنَا فِي ذُرِّيَّتِهِمَا النُّبُوَّةَ وَالْكِتَابَ فَمِنْهُم مُّهْتَدٍ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ

Artinya:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrohim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka fasiq.”

Ayat tersebut maksudnya menjelaskan kepada kita bahwa Nabi Nuh عليه السلام dan Nabi Ibrahim عليه السلام adalah bapak para Nabi dan para Rasuul. Tetapi sayangnya, karunia Allah سبحانه وتعالى yang sedemikian besarnya itu, hanya sedikit daripada keturunannya itu yang mengikuti petunjuk Allah سبحانه وتعالى. Kebanyakan dari mereka adalah fasiq.

Apabila kita renungkan, maka sampai sekarang pun adalah lebih banyak kaum Muslimin yang tidak mengindahkan apa yang menjadi aturan Allah سبحانه وتعالى dan Rasuulullah صلى الله عليه وسلم, mereka lebih cenderung kepada hawa nafsunya. Bahkan ada kecenderungan bahwa Islam saat ini sudah mulai dianggap aneh.

Keanehan itu disebabkan karena orang kebanyakan, pada dasarnya tidak mengenal Islam dengan cara yang benar (– sesuai Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Pendahulu Ummat yang shoolih –). Lalu yang mengenal Islam pun banyak yang tidak tahan dalam mengamalkan Islam-nya secara istiqomah. Bagaimana tidak, karena orang yang berusaha untuk mengamalkan ajaran Islam sesuai tuntunan Allah سبحانه وتعالى dan Rasuulullah صلى الله عليه وسلم mengalami berbagai macam tuduhan. Dituduh “terorisme”, dituduh “terbelakang”, dituduh “ketinggalan zaman” atau “kuno” atau “ikut zaman onta”, dan berbagai tuduhan buruk lainnya yang memang sengaja dihembuskan oleh musuh-musuh Islam agar kaum Muslimin itu takut kepada ajaran Islam-nya sendiri. Semua itu menyebabkan orang Islam menjadi tidak istiqomah (teguh) dalam mengamalkan dien-nya, apalagi kalau orang itu imannya pas-pasan.

Sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas, bahwa Nabi Ibrohim عليه السلام adalah bapak dari sekian banyak para Nabi dan Rasuul. Dari silsilah para nabi sejak Nabi Adam عليه السلام, ternyata asal-usul Yahudi itu berasal dari Nabi Ibrahim عليه السلام dan Nabi Ishaq عليه السلام. Sebagaimana kita pelajari dari sejarah, bahwa Nabi Ibrahim عليه السلام memiliki anak bernama Ismail عليه السلام dan Ishaq عليه السلام.

Nabi Ismail عليه السلام tidak banyak menurunkan nabi-nabi, hanya dalam urutan keturunan Nabi Ismail عليه السلام yang terakhir lalu muncul keturunannya yang merupakan seorang Nabi dan Rasuul Penutup yakni Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.

Sedangkan Nabi Ishaq عليه السلام langsung menurunkan secara berturut-turut para nabi dan Rosuul, yakni Nabi Ya’qub عليه السلام, Nabi Yusuf عليه السلام, Nabi Ayyub عليه السلام, Nabi Musa عليه السلام, Nabi Harun عليه السلام, Nabi Ilyas عليه السلام, Nabi Ilyasa عليه السلام dan seterusnya hingga sampai kepada Nabi ‘Isa عليه السلام.

Pada kali ini, kita akan membahas tentang Nabi Ibrohim عليه السلام, Nabi Ismail عليه السلام dan Nabi Ishaq عليه السلام terlebih dahulu. Lalu pada kajian mendatang insya Allooh akan kita bahas tentang Nabi Ya’qub عليه السلام dan Nabi Yusuf عليه السلام; kemudian Nabi Musa عليه السلام dan Nabi Harun عليه السلام; dan selanjutnya adalah Nabi Daawud عليه السلام dan Nabi Sulaiman عليه السلام. Dan dari mereka itulah akan kita kenal apa yang disebut dengan Haikal Sulaiman. Dalam rangka membangun Haikal Sulaiman itulah maka Yahudi sampai saat ini memiliki rencana yang Mega-Besar (antara lain dengan meruntuhkan Masjid Al Aqsa milik kaum Muslimin  Maka segala sesuatu itu tergantung kepada landasan dasar filosofi berfikir yang pada akhirnya adalah menjadi suatu ideologi.

Sesuai ayat diatas, maka asal usulnya adalah bermula dari Nabi Nuh عليه السلام dan Nabi Ibrohim عليه السلام. Nabi Nuh tidak akan kita bahas karena keturunan-keturunannya tidak bermasalah dan tidak bersambung kepada Israil (Bani Israil).

Adapun Isroil adalah nama lain dari Nabi Ya’qub عليه السلام, putra dari Nabi Ishaq عليه السلام dan yang merupakan cucu dari Nabi Ibrahim عليه السلام.

Kajian kita ini adalah berdasarkan ‘Aqidah kita sebagai ummat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.

Allooh سبحانه وتعالى memberitahukan kepada kita dalam Al Qur’an bahwa Nabi Ismail عليه السلام adalah putra dari Nabi Ibrahim عليه السلام. Namun dalam Kitab Perjanjian Lama (Taurat), ada upaya dari Yahudi untuk melakukan Tahriif (mengubah, mengganti dan menukar) serta membalikkan fakta agar terkesan bahwa Nabi Ismail عليه السلام bukanlah putra Nabi Ibrohim عليه السلام. Oleh karenanya ketika pada akhirnya muncul Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, maka kaum Yahudi tidak mau mengakui kenabian dan ke-rasuulan beliau صلى الله عليه وسلم, karena beliau صلى الله عليه وسلم adalah berasal dari keturunan Nabi Ismail عليه السلام, dan bukan berasal dari keturunan Nabi Ishaq عليه السلام sebagaimana para Nabi dan Rosuul lainnya.

Dalam Al Qur’an Surat Ibrahim (14) ayat 39, Allooh سبحانه وتعالى berfirman:

الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاء

Artinya:

“Segala puji bagi Allooh yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Robb-ku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do`a.”

Jadi jelaslah bahwa Nabi Ismail عليه السلام adalah putera Nabi Ibrahim عليه السلام. Dan dalam urutannya adalah bahwa Nabi Ismail عليه السلام adalah anak pertama dan Nabi Ishaq عليه السلامadalah anak kedua.

Kemudian perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Huud (11) ayat 71:

وَامْرَأَتُهُ قَآئِمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِن وَرَاء إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ

Artinya:

“Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari Ishaq (akan lahir puteranya) Ya`qub.”

Yang dimaksud “istrinya” dalam ayat diatas adalah Sarah, istri pertama Nabi Ibrohim عليه السلام. Dari Sarah, Nabi Ibrohim عليه السلام memiliki putra bernama Ishaq عليه السلام, yang kemudian dari Ishaq عليه السلام akan lahir cucunya yang bernama Ya’qub عليه السلام. Maka kita mengenal bahwa Nabi Ya’qub عليه السلام adalah putra dari Nabi Ishaq عليه السلام dan cucu dari Nabi Ibrahim عليه السلام. Bayangkan, betapa besar ni’mat Allah سبحانه وتعالى kepada Nabi Ibrahim عليه السلام; dimana mulai dari bapak, anak lalu cucu itu semuanya adalah menjadi Nabi.

Kemudian dalam QS Maryam (19) ayat 49, Allah سبحانه وتعالى berfirman :

فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ وَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَكُلّاً جَعَلْنَا نَبِيّاً

Artinya:

“Maka ketika Ibrohim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allooh, Kami anugerahkan kepadanya Ishaq, dan Ya`qub. Dan masing-masingnya Kami angkat menjadi nabi.”

Juga dalam QS. Al Anbiyaa (21) ayat 72 :

وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ نَافِلَةً وَكُلّاً جَعَلْنَا صَالِحِينَ

Artinya:

“Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrohim) Ishaq dan Ya`qub, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). Dan masing-masing Kami jadikan orang-orang yang shoolih.”

Dan dalam QS Al An’aam (6) ayat 84-86 :

وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ كُلاًّ هَدَيْنَا وَنُوحاً هَدَيْنَا مِن قَبْلُ وَمِن ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ ﴿٨٤﴾ وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَى وَعِيسَى وَإِلْيَاسَ كُلٌّ مِّنَ الصَّالِحِينَ ﴿٨٥﴾ وَإِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطاً وَكُلاًّ فضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِينَ ﴿٨٦﴾

Artinya:

(84) Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya`qub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Ibrohim) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik,

(85) dan Zakaria, Yahya, `Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang shoolih.

(86) dan Ismail, Alyasa`, Yunus dan Luth. Masing-masingnya Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya).

Demikianlah, ayat-ayat tersebut diatas memberikan bukti kepada kita bahwa Nabi Ibrahim عليه السلام memiliki 2 putra, yakni dari istri pertamanya (Sarah) terlahir Nabi Ishaq عليه السلام dandari istrinya yang kedua (Haajar) terlahir Nabi Ismail عليه السلام.

Kemudian dalam QS. Al Baqarah (2) ayat 133, Allah سبحانه وتعالى berfirman :

أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي قَالُواْ نَعْبُدُ إِلَـهَكَ وَإِلَـهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَـهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Artinya:

“Adakah kamu hadir ketika Ya`qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya (Muslimun).”

Dari ayat diatas, sangatlah jelas bahwa Allah سبحانه وتعالى memberitakan kepada kita (termasuk juga kepada seluruh ummat manusia) bahwa keturunan Nabi Ya’qub عليه السلام itu TIDAK ADA yang beragama Yahudi atau Nashrani; tetapi semuanya adalah Islam (Muslimun).

Nabi Ibrahim عليه السلام pada mulanya berasal dari Iraq (Babylonia), kemudian beliau pergi keMesir. Istri Nabi Ibrahim عليه السلام (Sarah) adalah sangat cantik jelita. Raja Mesir ketika itu tertarik kepada Sarah عليه السلام. Maka Nabi Ibrahim عليه السلام sangat khawatir dan cemburu (– dan itu memang haknya untuk cemburu, karena Sarah adalah istrinya –). Nabi Ibrohim عليه السلام sadar kalau seandainya ia mengaku sebagai suami Sarah, maka ia pasti akan dibinasakan oleh Raja Mesir tersebut. Maka ia pun menyuruh kepada Sarah : “Wahai Sarah, bila Raja bertanya, maka katakanlah olehmu bahwa kamu adalah saudaraku.”

Menurut para ‘Ulama Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud “saudara” diatas, dalam hal ini bisa berarti “saudara se-‘aqidah” atau bisa pula berarti “saudara sekandung”.

Demikianlah, ketika Sarah didekati oleh Raja Mesir, maka ia pun berpura-pura sedih, bahkan menangis, tidak mau berhias dan sebagainya; sehingga sang Raja pun tidak lagi berselera kepadanya karena Sarah selalu murung dan hal itu menjadikannya tidak menarik lagi bagi sang Raja. Pada akhirnya mereka disuruh pulang saja oleh Raja Mesir tersebut, dengan dihadiahi 100 (seratus) ekor kambing dan seorang perempuan pembantu (seorang wanita Mesir) bernama Haajar (– “Haajar” artinya adalah “Orang yang hijrah” –).

Mereka bertiga kemudian pulang ke daerah yang sekarang dikenal sebagai Palestina. Setelah mereka kembali ke tempatnya (Palestina), maka beberapa tahun kemudian Nabi Ibrahim عليه السلام sangat menginginkan anak. Sarah pun menganjurkan kepada Nabi Ibrahim عليه السلام untuk menikahi Haajar agar memiliki anak keturunan. Ternyata dengan kehendak Allah سبحانه وتعالى maka Haajar pun hamil, dan tidak lama kemudian lahirlah Ismail عليه السلام.

Setelah Ismail lahir, ternyata Sarah merasa iri. Lalu Sarah meminta kepada suaminya, Nabi Ibrohim عليه السلام, agar suaminya membawa Haajar dan anaknya Ismail عليه السلام pergi menjauh.

Sebagaimana dalam Hadits Riwayat Imaam Al Bukhary no: 3364 dijelaskan sebagai berikut;

Artinya:

Dari Shahabat Ibnu Abbas رضي الله عنه , beliau berkata, “Cara berfikir wanita pertama kali diambil dari Ummu Ismail (Haajar) ketika ia mengambil taktik agar terbebas dari Sarah. Kemudian Ibrahim عليه السلام membawanya serta anaknya Ismail عليه السلام yang dikala itu Haajar masih menyusuinya.

Kemudian Ibrahim عليه السلام meninggalkannya di Ka’bah, di suatu bukit diatas Zam-Zam, disebelah atas dari Masjid, dimana ketika itu disana tidak dihuni seorang pun dan tidak ada air. Kemudian Ibrahim عليه السلام meninggalkan mereka berdua disana, dengan memberi bekal sedikit kurma dan sekantong air. Lalu Ibrahim عليه السلام beranjak kembali mengarah ke negeri asalnya.

Maka Ummu Ismail pun mengikuti dari belakang seraya berkata, “Wahai Ibrahim kemana engkau hendak pergi meninggalkan kami di lembah ini, yang tak ada manusia dan apa pun?”

Dikatakannya lah hal ini pada Ibrohim عليه السلام berkali-kali. Dan Ibrahim عليه السلام sama sekali tidak menggubrisnya. Maka Haajar berkata, “Apakah Allooh سبحانه وتعالى yang menyuruhmu begini?”

Ibrohim عليه السلام menjawab, “Ya.”

Maka Haajar berkata, “Kalau begitu Allah سبحانه وتعالى tidak akan menyia-nyiakan kita.”

Lalu Haajar pun kembali ke tempat semula, dan Ibrohim عليه السلام melanjutkan perjalanannya.

Dan ketika Ibrahim عليه السلام sampai diantara perbukitan, dimana tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka Ibrohim عليه السلام lalu menghadap kearah Ka’bah dan berdoa sembari mengangkat kedua tangannya, “Ya Allah, Robb kami, sungguh aku tinggalkan keturunanku di suatu lembah yang tak bertetumbuhan… hingga mereka bersyukur.”

Kemudian Ummu Ismail menyusui Ismail عليه السلام dan meminum dari air bekalnya. Ketika air yang ada didalam kantong tersebut habis, maka hauslah dia dan hauslah anaknya. Sembari memandang Ismail عليه السلام yang tengah menggerak-gerakkan kakinya, maka ia pun pergi meninggalkan Ismail عليه السلام karena tidak suka melihat Ismail عليه السلام dalam keadaan kehausan. Maka pergilah ia (Haajar) kearah Bukit Shofa dan diatasnya dia berdiri kemudian menghadap kearah lembah untuk melihat adakah seseorang disana. Namun ternyata tidak ada seorang pun yang didapatinya. Maka ia pun pergi meninggalkan Shofa hingga ke dasar bukit, lalu dia menyingsingkan bajunya kemudian berlari kecil seolah orang yang sedang dikejar sesuatu, sehingga ia melewati bukit tersebut dan sampai di Marwah. Kemudian ia berdiri diatas Bukit Marwah dan melihat apakah ada seseorang disana. Juga ternyata ia tak melihat seorang pun. Lalu dilakukannya hal itu bolak-balik sebanyak 7 kali.

Kemudian Ibnu Abbas رضي الله عنه berkata, bahwa Rasuulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Karena itu, manusia diajarkan untuk Sa’i diantara keduanya.”

Ketika sampai di Bukit Marwah, tiba-tiba Haajar mendengar suatu suara, yang dikiranya suara itu tertuju padanya. Maka ia pun berupaya untuk kembali mendengarkan suara tersebut. Maka benar lah bahwa ia mendengar suara itu kembali. Maka Haajar pun berkata, “Sungguh engkau telah memperdengarkan suaramu, jika engkau penolong.”

Ternyata sumber suara itu adalah malaikat yang sedang berada di lokasi Zam-Zam yang tengah menggerak-gerakkan sayapnya untuk membantu mencarikan air, sehingga muncullah air (Zam-Zam) tersebut. Kemudian Ummu Ismail (Haajar) berusaha menampung air tersebut dengan tanah kemudian memasukkannya kedalam kantung airnya hingga membasahi tangannya.

Ibnu Abbas رضي الله عنه berkata, bahwa Rasuulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Allah سبحانه وتعالىmenyayangi Ummu Ismail. Kalau seandainya Ummu Ismail meninggalkan Zam-Zam atau seandainya dia tidak menciduk air tersebut maka Zam-Zam tidak akan menjadi mata air.”

Maka Haajar meminum air tersebut dan menyusui anaknya. Lalu malaikat berkata pada Haajar, “Janganlah kalian takut disia-siakan, sebab disini adalah Rumah Allah سبحانه وتعالى yang anak ini dan ayahnya kelak akan membangunnya. Dan sesunggunya Allah سبحانه وتعالى tidak akan menyia-nyiakan penghuni Baitullah ini.”

Pada mulanya Baitullah (Ka’bah) terletak di tanah tinggi, mirip bukit, kemudian ditimpa oleh banjir sehingga melongsorkan sebelah kanan dan kirinya. Dan terus dalam keadaan seperti ini sehingga lewatlah segerombolan orang dari Jurhum (– arah Yaman – pent.) atau penduduk dari Jurhum, datang dari arah Kada, lalu mereka turun sampai dibawah Makkah. Dan ketika mereka melihat burung yang terbang mengerumuni air, maka mereka pun berkata, “Sesungguhnya burung ini terbang diatas air. Mari kita menuju ke lembah ini dan mengambil air yang ada di dalamnya.”

Dengan mengutus seorang atau dua orang utusan yang berlari ke tempat tersebut, ternyata mereka (para utusan itu) menemukan air, sehingga mereka pun kembali ke kabilah tadi dan memberitakan hal itu. Maka mereka semuanya bergerak menuju ke sumber air, sememtara Ummu Ismail berada disana. Maka kabilah itu pun berkata, “Apakah anda mengizinkan kami untuk singgah disini?”

Kemudian Haajar menjawab, “Ya, akan tetapi kalian tidak memiliki air ini.”

Kabilah itu menjawab, “Ya.”

Ibnu Abbas رضي الله عنه berkata, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda, “Haajar menyukai keadaan itu.”

Akhirnya kabilah itu pun singgah di sana, dan memberitahukan kepada keluarga mereka sehingga akhirnya mereka semua pun singgah di tempat itu pula. Dan diantara mereka pun bermukim disekitar Baitulllah. Ismail عليه السلام pun tumbuh menjadi pemuda. Belajar bahasa Arab dari mereka dan membuat mereka (kabilah itu) kagum padanya. Sehingga ketika Ismail عليه السلام menginjak usia pemuda, maka mereka pun menikahkannya dengan seorang wanita dari kalangan mereka. Lalu meninggallah Ummu Ismail. Kemudian setelah Ismail عليه السلام menikah, datanglah Ibrahim عليه السلام untuk melihat keadaan keluarganya, namun tidak sempat menemui Ismail عليه السلام.

Maka bertanyalah Ibrahim عليه السلام pada istri Ismail عليه السلام tentang keadaan Ismail عليه السلام. Kemudian istri Ismail عليه السلام menjawab, “Ismail sedang keluar mencari sesuatu untuk kami.”

Kemudian Ibrohim عليه السلام bertanya lagi, “Bagaimana kehidupan kalian?”

Istri Ismail عليه السلام menjawab, “Kami dalam keadaan buruk, kami dalam keadaan sempit, kesulitan.”

Dan ia pun berkeluh kesah pada Ibrahim عليه السلام.

Maka Ibrahim عليه السلام berkata, “Sampaikan pada suamimu jika ia datang, salamku untuknya dan katakanlah olehmu padanya agar dia merubah posisi pintu rumahnya.”

Ketika Ismail عليه السلام pulang ke rumahnya, seolah dia merindukan sesuatu, kemudian bertanya lah ia pada istrinya, “Apakah ada seseorang yang datang pada kalian?”

Istrinya menjawab, “Ya. Telah datang pada kita seorang kakek, begini dan begitu, menanyakan pada kami tentang engkau. Maka aku beritakan padanya. Kemudian kakek itu bertanya padaku bagaimana kehidupan kita, maka aku pun beritakan padanya bahwa kita dalam keadaan kesulitan.”

Ismail عليه السلام bertanya lagi, “Apakah dia berwasiat padamu sesuatu?”

Istrinya menjawab, “Ya. Dia memerintahkanku untuk menyampaikan salam darinya untukmu dan mengatakan, ‘Ubahlah posisi pintu rumahmu’.”

Ismail عليه السلام berkata, “Itu adalah ayahku dan memerintahkanku untuk menceraikanmu. Maka pulanglah engkau pada keluargamu.”

Maka ia pun menceraikannya, kemudian ia menikah dengan wanita yang lain.

Selang beberapa waktu Ibrahim عليه السلام kembali mengunjungi mereka, akan tetapi kembali ia tidak bertemu Ismail عليه السلام. Kemudian ditemuinya istri Ismail عليه السلام dan bertanya tentang Ismail عليه السلام. Maka istri Ismail عليه السلام (– yang baru – pent.) menjawab, “Ia sedang keluar mencari sesuatu untuk kami.”

Kemudian Ibrohim عليه السلام bertanya lagi, “Bagaimanakah kalian dan kehidupan kalian?”

Maka istri Ismail عليه السلام menjawab, “Alhamdulillah kami baik-baik saja dan dalam keadaan lapang.”

Dan ia pun memuji Allah سبحانه وتعالى.

Kemudian Ibrahim عليه السلام bertanya, “Bagaimana makanan kalian?”

Istri Ismail عليه السلام menjawab, “Daging.”

Kemudian Ibrahim عليه السلام bertanya, “Apa minuman kalian?”

Istri Ismail عليه السلام menjawab, “Air.”

Maka Nabi Ibrahim عليه السلام berdoa, “Ya Allooh, berkahilah daging dan air mereka.”

Rasuulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Pada saat itu mereka tidak memiliki tepung. Seandainya Ibrahim عليه السلام berdoa agar mereka diberi tepung, niscaya Allah سبحانه وتعالى akan mengabulkannya.”

Kemudian Ibrahim عليه السلام berkata kepada istri Ismail عليه السلام ini, “Jika suamimu pulang, sampaikan padanya salam dariku dan perintahkan padanya agar mengokohkan posisi pintu rumahnya.”

Ketika Ismail عليه السلام pulang ke rumahnya, kemudian ia bertanya pada istrinya, “Apakah ada seseorang yang datang pada kalian?”

Istrinya menjawab, “Ya. Telah datang pada kita seorang kakek, penampilannya baik.”

Dan istrinya pun memuji ayah Ismail عليه السلام.

Kemudian istri Ismail عليه السلام berkata, “Lalu ia menanyakan padaku tentang engkau. Maka aku beritakan padanya. Kemudian kakek itu bertanya padaku bagaimana kehidupan kita, maka aku pun beritakan padanya bahwa kita dalam keadaan baik.”

Ismail عليه السلام bertanya lagi, “Apakah dia berwasiat padamu sesuatu?”

Istrinya menjawab, “Ya. Dia memerintahkanku untuk menyampaikan salam darinya untukmu dan memerintahkan agar engkau ‘mengokohkan posisi pintu rumahmu’.”

Ismail عليه السلام berkata, “Itu adalah ayahku dan engkau adalah posisi pintu rumah. Dia memerintahkanku agar aku mempertahankanmu.”

Kemudian selang beberapa lama Ibrohim عليه السلام datang kembali untuk ketiga kalinya. Sedangkan Ismail عليه السلام sedang mempersiapkan tombaknya dibawah bukit, didekat Zam-Zam. Maka ketika melihatnya, Ismail عليه السلام pun menyambutnya. Maka mereka melakukan apa yang dilakukan seorang ayah terhadap anaknya dan melakukan apa yang dilakukan seorang anak terhadap ayahnya.

Kemudian Ibrahim عليه السلام berkata, “Wahai Ismail, sesungguhnya Allah سبحانه وتعالىmemerintahkanku dengan suatu perintah.”

Dan Ismail عليه السلام pun menjawab, “Lakukan apa yang Allah سبحانه وتعالى perintahkan padamu.”

Ibrohim عليه السلام berkata, “Maukah engkau menolongku?”

Ismail عليه السلام menjawab, “Aku akan menolongmu.”

Ibrahim عليه السلام berkata, “Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى memerintahkanku untuk membangun disini rumah (Baitullah), sembari menunjuk ke tempat yang tinggi (Ka’bah).”

Rasuulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Pada saat itulah mereka berdua meninggikan pancangan-pancangan Baitullah dimana Ismail عليه السلام membawa batu dan Ibrohim عليه السلام membangunnya sehingga bangunan pun menjadi tinggi. Dan kemudian datang dengan membawa batu ini serta meletakkannya dan kemudian berdiri diatasnya dan membangunnya. Sedangkan Ismail عليه السلام yang membawa batu. Kemudian keduanya berdoa, “Ya Allooh, Robb kami, terimalah ini dari kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Rasuulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Keduanya membangun hingga mengelilingi seputar Ka’bah, sembari keduanya berdoa, “Ya Allah, Robb kami, terimalah ini dari kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (HR Imaam Al Bukhary no: 3364)

Jadi kembali kepada bahasan kita semula, jelaslah bahwa Nabi Ismail عليه السلام itu lahir terlebih dahulu daripada Nabi Ishaq عليه السلام. Karena Sarah merasa iri dengan lahirnya seorang anak bagi Nabi Ibrahim عليه السلام dari Haajar, maka ia pun meminta Nabi Ibrohim عليه السلام untuk membawa Haajar yang telah memiliki anak yakni Nabi Ismail عليه السلام untuk pergi menjauh. Artinya, dikala itu Sarah belum memiliki anak.

Setelah ditinggal pergi jauh dengan membawa Haajar dan anaknya (Ismail عليه السلام) ke Mekkah, maka Nabi Ibrahim عليه السلام pun pulang kembali ke Palestina kepada Sarah, dan setelahnya Sarah pun dikaruniai seorang putera yang bernama Ishaq عليه السلام. Dengan demikian, jelaslah bahwa urutan yang terlebih dahulu lahir adalah Nabi Ismail عليه السلام, barulah kemudian Nabi Ishaq عليه السلام.

Namun, berita ini diputarbalikkan oleh kaum Yahudi dengan melakukan Tahriif (pemutarbalikan fakta) sehingga dalam Kitab Perjanjian Lama (Taurat) mereka maka tidak disebutkan seperti diatas kejadiannya. Melainkan yang diunggulkan dalam Kitab itu adalah bahwa anak yang dilihat oleh Nabi Ibrohim عليه السلام dalam mimpinya untuk disembelih itu adalah Ishaq عليه السلام, dan bukannya Ismail عليه السلام. Padahal didalam Al Qur’an dijelaskan bahwa putera yang hendak disembelih oleh Nabi Ibrohim عليه السلام (atas perintah Allooh سبحانه وتعالى), sebagaimana dalam mimpinya itu, adalah Nabi Ismail عليه السلام.

Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Maryam (19) ayat 54 :

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولاً نَّبِيّاً

Artinya:

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rosuul dan nabi.”

Kemudian dalam QS. Shad (38) ayat 48, Allooh سبحانه وتعالى berfirman:

وَاذْكُرْ إِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَذَا الْكِفْلِ وَكُلٌّ مِّنْ الْأَخْيَارِ

Artinya:

Dan ingatlah akan Ismail, Ilyasa’ dan Zulkifli. Semuanya termasuk orang-orang yang paling baik.”

Dan dalam QS. Al Anbiyaa (21) ayat 85, Allah سبحانه وتعالى berfirman:

وَإِسْمَاعِيلَ وَإِدْرِيسَ وَذَا الْكِفْلِ كُلٌّ مِّنَ الصَّابِرِينَ

Artinya:

Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar.”

Juga dalam QS. Al An’aam (6) ayat 86, dimana Allah سبحانه وتعالى berfirman:

وَإِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطاً وَكُلاًّ فضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِينَ

Artinya:

“dan Ismail, Ilyasa`, Yunus dan Luth. Masing-masingnya Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya).”

Dari ayat-ayat diatas dijelaskan bahwa Nabi Ismail عليه السلام, Nabi Ilyasa عليه السلام, Nabi Yunus عليه السلام, Nabi Nuh عليه السلام, Nabi Idris عليه السلام, Nabi Dzulkifli عليه السلام dan Nabi Luth عليه السلام; mereka itu masing-masing memiliki keunggulan di alam semesta ini diantara ummat manusia karena mereka para nabi itu adalah orang-orang yang baik, tepat janji dan orang-orang yang sabar.

Berikutnya kita ketahui dari firman Allah سبحانه وتعالى bahwa Nabi Ismail عليه السلام dan Nabi Ishaq عليه السلام adalah menyeru kepada Islam; dan bukan menyeru agar menjadi Yahudi ataupun Nashrani.

Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqarah (2) ayat 135-136 :

وَقَالُواْ كُونُواْ هُوداً أَوْ نَصَارَى تَهْتَدُواْ قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ﴿١٣٥﴾ قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ ﴿١٣٦﴾

Artinya:

(135) Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nashroni, niscaya kamu mendapat petunjuk”. Katakanlah: “Tidak, bahkan (kami mengikuti) agama Ibrohim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrohim) dari golongan orang musyrik”.

(136) Katakanlah (hai orang-orang mu’min): “Kami beriman kepada Allooh dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrohim, Ismail, Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan ‘Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Robb-nya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya (Muslimun)“.

Jadi, semua nabi dan rosuul adalah Muslimun (Islam). Dan kita (Muslim) tidak membeda-bedakan diantara Nabi Ismail عليه السلام dan Nabi Ishaq عليه السلام karena mereka adalah dalam posisi yang sama yakni hanya berserah diri kepada Allah سبحانه وتعالى dan hanya beriman kepada apa yang Allah سبحانه وتعالى firmankan dalam ayat tersebut.

Nabi Ismail عليه السلام dan Nabi Ishaq عليه السلام adalah meneruskan millah Ibrahim; dan mereka bukanlah menjadi Yahudi ataupun Nashrani !

Kemudian dalam QS. Al Baqarah (2) ayat 140, Allah سبحانه وتعالى berfirman:

أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطَ كَانُواْ هُوداً أَوْ نَصَارَى قُلْ أَأَنتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللّهُ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَتَمَ شَهَادَةً عِندَهُ مِنَ اللّهِ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Artinya:

“Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nashrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nashrani? Katakanlah: “Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah* dari Allah yang ada padanya?” Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan.”

*] Syahadah dari Allah سبحانه وتعالى adalah persaksian Allah سبحانه وتعالى yang tertera dalam Taurat dan Injil bahwa Ibrahim عليه السلام dan anak cucunya bukanlah penganut agama Yahudi ataupun Nashrani dan bahwa Allah سبحانه وتعالى akan mengutus Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.

Allooh سبحانه وتعالى tahu benar bahwa mereka (Yahudi dan Nashroni) memalsukan ayat-ayat Taurat dan Injil, sehingga bahwa seolah-olah Nabi Ibrahim عليه السلام, Nabi Ismail عليه السلام dan Nabi Ishaq عليه السلام adalah Yahudi atau Nashrani. Padahal yang benar adalah bahwa mereka (Ibrahim عليه السلام, Ismail عليه السلام, Ishaq عليه السلام) adalah Muslimun (Islam), satu millah, satu ajaran sebagaimana ajaran yang dibawakan oleh Nabi Ibrahim عليه السلام.

Juga dalam QS. An Nisaa’ (4) ayat 163, Allah سبحانه وتعالى berfirman:

إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِن بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأَسْبَاطِ وَعِيسَى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُوراً

Artinya:

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma`il, Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya, `Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.”

Ayat tersebut menunjukkan bahwa semua nabi-nabi yang Allah سبحانه وتعالى beritakan itu adalah diberi wahyu oleh Allah سبحانه وتعالى, dan mereka semua berdakwah dengan dakwah yang satu yakni Dienul Islam; dan bukan Yahudi atau Nashroni.

Lalu didalam Al Qur’an, Allah سبحانه وتعالى pun menjelaskan kepada kita bahwa Nabi Ibrahim عليه السلام dan puteranya bernama Ismail عليه السلام lah yang membangun (merenovasi) Ka’bah. Jadi jelaslah bahwa tidak ada dari Yahudi ataupun Nashrani yang membangun Ka’bah, karena Yahudi itu berasal dari putera Ishaq عليه السلام. Dan Ishaq عليه السلام bertempat tinggal di wilayah sekitar Palestina, sehingga para nabi-nabi yang merupakan anak keturunannya pun juga bertempat tinggal di sekitar wilayah Palestina. Sementara Nabi Isma’il عليه السلام lah yang bertempat tinggal di Mekkah yakni di Jazirah ‘Arab.

Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqarah (2) ayat 125-129:

Artinya:

(125) Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullooh) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqom* Ibrohim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrohim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i`tikaaf, yang ruku` dan yang sujud“.

(126) Dan (ingatlah), ketika Ibrohim berdo`a: “Ya Robbku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizqyi dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allooh dan hari kemudian.” Allooh berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”.

(127) Dan (ingatlah), ketika Ibrohim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullooh bersama Ismail (seraya berdo`a): “Ya Robb kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui“.

(128) Ya Robb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami ummat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

(129) Ya Robb kami, utuslah untuk mereka seorang Rosuul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

*] Maqam adalah tempat berdiri Nabi Ibrahim عليه السلام diwaktu membangun Ka’bah.

Dalam ayat 129 QS. Al Baqarah diatas, jelaslah bahwa Allah سبحانه وتعالى mengabulkan do’a Nabi Ibrahim عليه السلام dan Nabi Ismail عليه السلام yang memohon untuk didatangkan seorang Rasuul yakni Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, dari kalangan mereka (bangsa ‘Arab, keturunan dari Ismail عليه السلام) yang kemudian akan membacakan ayat-ayat Allooh سبحانه وتعالى dan mengajarkan Al Qur’an, As Sunnah serta mensucikan mereka.

Adapun penjelasan Allooh سبحانه وتعالى di dalam Al Qur’an bahwa yang diperintahkan untuk disembelih (dikurbankan) oleh Nabi Ibrahim عليه السلام adalah puteranya yang bernama Ismail عليه السلام; dan bukannya Ishaq عليه السلام sebagaimana yang telah diputarbalikkan faktanya oleh kaum Yahudi dalam Kitab mereka; maka perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Ash Shaffaat (37) ayat 101-113 :

Artinya:

(101) Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.*]

(102) Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar“.

(103) Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).

(104) Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim,

(105) sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu”**], sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

(106) Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.

(107) Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

(108) Kami abadikan untuk Ibrohim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian,

(109) (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”.

(110) Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

(111) Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.

(112) Dan Kami beri dia kabar gembira dengan kelahiran Ishaq, seorang nabi yang termasuk orang-orang yang shalih.

(113) Kami limpahkan keberkahan atasnya dan atas Ishaq. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang dzalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata.

*] Yang dimaksud adalah Nabi Ismail عليه السلام.

**] Yang dimaksud dengan membenarkan mimpi itu adalah mempercayai bahwa mimpi itu benar berasal dari Allooh سبحانه وتعالى dan wajib untuk melaksanakannya

***] Sesudah nyata kesabaran dan ketaatan Ibrohim عليه السلام dan Ismail عليه السلام, maka Allooh pun melarang Ibrohim عليه السلام untuk menyembelih Ismail عليه السلام dan menyuruhnya untuk menggantinya denga berkurban seekor sembelihan (kambing). Peristiwan inilah yang menjadi dasar disyari’atkannya Ibadah Qurban untuk dilakukan pada Hari Raya Haji (Iedul Adha).

Sebagaimana didalam penjelasan Tafsir Imaam Ibnu Katsiir رحمه الله, bahwa yang dimaksud sebagai anak yang sabar (halus) tersebut adalah Ismail عليه السلام, yang merupakan anak pertama yang diberikan oleh Allah سبحانه وتعالى kepada Nabi Ibrahim عليه السلام sebagai kegembiraan baginya.

Terdapat secara redaksional dalam Kitab mereka bahwa Ismail عليه السلام adalah anak dari Nabi Ibrahim عليه السلام yang ketika itu umur Nabi Ibrohim عليه السلام adalah 86 tahun. Dan ketika Ishaq عليه السلام lahir, umur Nabi Ibrahim عليه السلام adalah 99 tahun. Jadi selisihnya adalah tidak kurang dari 15 tahun dimana Nabi Ismail عليه السلام adalah lebih tua daripada Nabi Ishaq عليه السلام.

Lalu sesuai dengan ayat 102 QS. Ash Shoffaat diatas, Qurban itu diperintahkan oleh Allooh سبحانه وتعالى kepada Nabi Ibrahim عليه السلام untuk melakukan penyembelihan terhadap puteranya yang bernama Ismail عليه السلام, dan bukannya Ishaq عليه السلام. Kemudian setelah Nabi Ibrahim عليه السلام berhasil melalui ujian itu maka di ayat 112 QS. Ash Shaffaat diatas, barulah Allah سبحانه وتعالى memberitakan tentang kelahiran Nabi Ishaq عليه السلام. Artinya, bahwa Nabi Ishaq عليه السلام adalah terlahir belakangan, sesudah Nabi Ismail عليه السلام. Sungguh berita ini sangatlah jelas!

Adapun adanya berita-berita syubhat yang dihembus-hembuskan oleh kaum Yahudi dalam Kitab Perjanjian Lama, bahwa yang diperintahkan untuk disembelih itu adalah Nabi Ishaq عليه السلام yang merupakan anak tunggal (satu-satunya) dari Nabi Ibrahim عليه السلام; maka ini adalah Tahriif (manipulasi fakta) yang terjadi akibat kedengkian, atau rasa hasad (iri) terhadap orang-orang Arab, yang merupakan keturunan dari Ismail عليه السلام.

Orang Arab mengatakan bahwa Mesir adalah Ummul ‘Arab, karena Haajar, ibu daripada Ismail عليه السلام adalah wanita yang berasal dari Mesir. Adapun Ismail عليه السلام menikah dengan wanita dari Bani Jurhum (orang Yaman); sehingga Ismail عليه السلام disebut sebagai Abul ‘Arab.

Demikianlah, oleh karena itu dapatlah kita ketahui asal-usul dari kebencian kaum Yahudi terhadap orang-orang Islam yang berlangsung terus sampai hari ini.

Bahkan bila anda membuka internet, dapat ditemukan Website atau Blog “Anti Arabisasi”,yang isinya adalah menyiarkan paham Pluralisme. Syubhat-syubhat itulah yang mereka katakan dalam Kitab-Kitab mereka (Yahudi ataupun Nashroni), karena kedengkian mereka terhadap Nabi Ismail عليه السلام dan keturunannya orang-orang ‘Arob yang daripadanya muncul Nabi Penutup yakni Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم serta terhadap orang-orang Islam; sehingga mereka pun bertekad untuk berpisah dari ajaran Nabi Ibrahim عليه السلام yang sejak semula senantiasa menyerukan Islam kepada ummat manusia.

Dari sinilah sesungguhnya Yahudi itu mulai menjauh dari kebenaran dan mulai berani untuk memalsukan dan mengubah-ubah Kitab mereka ataupun memutar balikkan fakta-fakta. Jadi asal muasal Yahudi itu terlahir antara lain atas dasar kedengkian (hasad), sehingga mereka pun mengubah-ubah Kitab mereka sesuai selera mereka, serta melakukan manipulasi dan penggelapan demi penggelapan sejarah. Hal ini akan terus berlangsung dalam berbagai tahapannya. Perjuangan dan kiprah kaum Yahudi akan nampak jelas dalam perkara ini. Bukan saja sekedar “gen”-nya Yahudi, namun memang segala upaya Yahudi tidaklah terlepas dari bibit karakter yang demikian. Benarlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam ayat 113 QS. Ash Shoffaatdiatas, bahwa diantara anak cucu keturunan Nabi Ishaq عليه السلام ada yang berbuat kedzoliman dengan kedzaliman yang nyata.

Selanjutnya didalam sejarah, Nabi Ishaq عليه السلام memiliki putera yang bernama Ya’qub عليه السلام. Dalam QS. Huud (11) ayat 71, Allah سبحانه وتعالى berfirman:

وَامْرَأَتُهُ قَآئِمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِن وَرَاء إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ

Artinya:

“Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari Ishaq (akan lahir puteranya) Ya`qub.”

Kemudian dari Nabi Ya’qub عليه السلام akan terlahir keturunannya yang bernama Yusuf عليه السلام, sebagaimana difirmankan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Yusuf (12) ayat 4-6:

Artinya:

(4) (Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku*],sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.”

(5) Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”

(6) Dan demikianlah Robb-mu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta`bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya ni`mat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya`qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan ni`mat-Nya kepada dua orang bapakmu**] sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishaq. Sesungguhnya Robb-mu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

*] Bapak Yusuf عليه السلام adalah Ya’qub عليه السلام, putera dari Ishaq عليه السلام, dimana Ishaq عليه السلام adalah putera dari Ibrahim عليه السلام.

**] Yang dimaksud dengan “dua orang bapak” disini, adalah kakek dan ayah dari kakek.

Perhatikanlah betapa terhadap Yusuf عليه السلام pun Yahudi hendak berbuat makar yang diakibatkan oleh rasa dengki (hasad) mereka.

Demikianlah, tentang Nabi Ya’qub عليه السلام dan Nabi Yusuf عليه السلام; kemudian Nabi Musa عليه السلام dan Nabi Harun عليه السلام; dan berikutnya adalah Nabi Sulaiman عليه السلام dan Nabi Daawud عليه السلام akan kita bahas lebih lanjut dalam kajian-kajian mendatang; agar lebih jelas bagaimana kaitannya dengan Bani Israil, Fir’aun dan berbagai kerusakan yang terjadi hingga zaman kita sekarang ini. Pada intinya, makar-makar Yahudi yang merupakan karakter mereka akan senantiasa terlihat dalam berbagai tahapannya. Dan hendaknya kita sebagai kaum Muslimin mewaspadai hal ini, agar janganlah kita menjadi korban mereka; karena kaum Yahudi telah berketetapan bahwa selain Yahudi akan dijadikan sebagai korban oleh mereka.

 

TANYA JAWAB

Pertanyaan:

Dalam kisah perjalanan Nabi Ibrahim عليه السلام dan Nabi Luth عليه السلام ke Mesir, beliau singgah di suatu tempat dimana kaum Sabi’in hidup. Mohon dijelaskan bagaimana tentang ‘Aqidah kaum Sabi’in tersebut. Dan bagaimanakah dakwah Nabi Luth عليه السلام?

Jawaban:

Tentang kaum Sabi’in atau Saba’iyyah yang ada di Mesir, erat kaitannya dengan ‘aqidah yang memanjang dan mata-rantainya tidak terputus dengan Yahudi hari ini, yaitu penyembah berhala. Misalnya piramida-piramida di Mesir adalah bagian kisah yang tidak terpisahkan dengan kaumSabi’in ini. Insya Allah nanti dalam kajian-kajian berikutnya akan kita amati dan kita bahas bahwa semua yang berkaitan dengan segitiga 60 derajat (logo segitiga piramid bersudut 60 derajat) adalah perpanjangan dari misi dan ideologi Yahudi, yang sebenarnya hal ini tidak boleh ada dalam jiwa kaum Muslimin. Kalau kita rangkaikan ketiga huruf “W” tersebut, maka akan membentuk enam bintang yang merupakan simbol dari Bintang David (Bintang Daud) yang merupakan simbol daribendera Yahudi (Israel). Seolah kalau kita memasuki internet maka kita sudah masuk kedalam dunia Yahudi.