Catatan Popular

Rabu, 6 Mac 2019

UNTAIAN KISAH PARA WALI ALLAH KE 50 TAUBAT SEORANG IBU DI TANGAN PUTERINYA


Empat tahun yang silam salah seorang ahli ilmu yang bernama Syaikh Ali al-Hindi meriwayatkan kisah nyata berikut ini kepada Syaikh Abdurrahman al-Makki, seraya mengatakan:

Ada seorang ibu yang merasa geram terhadap putrinya kerena ia tidak lagi seperti dulu dalam menghormati para tamu. Pekan ini, ia tidak menghormati tamu-tamu ibunya. Sang ibu merasa terheran-heran karena putrinya adalah seorang gadis yang multazimah, kuat beragama.

Di hari terakhir dari pekan ini sang gadis duduk ketika ibunya menyambut tetangganya yang datang berkunjung. Hampir saja sang ibu pingsan ketika melihat anaknya tetap terpaku duduk tidak bergerak dari tempat duduknya; tidak berdiri untuk menyambut tetangganya yang baik hati lagi mulia. Lebih-lebih ketika tetangga itu mendekati si putri sambil mengulurkan tangannya. Akan tetapi sang putri Fatimah namanya, pura-pura tidak tahu dan tidak menyambut uluran tangan tetangganya. Ia membiarkan saja sang tetangga berdiri beberapa saat sambil mengulurkan tangannya didepan ibunya yang geram dan kebingungan. Hingga ibunya berteriak: “Berdiri! Dan jabat tangannya!” Sang putri hanya membalas dengan pandangan ketidak pedulian tanpa bergeser sedikitpun dari tempat duduknya seolah-olah ia tuli tidak mendengar kata-kata ibunya.

Sang tetangga merasa sangat tidak enak terhadap kelakukan sang putri dan ia menganggap bahwa kehormatannya telah diinjak-injak dan dihina. Maka segera ia menarik tangannya kembali dan berbalik ingin segera pulang kerumahnya sambil mengatakan: “Sepertinya, saya mengunjungi kalian pada waktu yang tidak tepat.”

Disini sang putri tiba-tiba meloncat dari tempat duduknya dan memegangi tangan tetangganya lalu mencium kepalanya sambil mengatakan: “Maafkan saya, demi Allah saya tidak bermaksud berbuat buruk kepadamu.” Sang putri menuntun tangannya dengan lembut penuh dengan rasa sayang dan penghormatan dan mengajaknya duduk seraya mengatakan: “Tahukah engkau wahai bibi, betapa saya mencintaimu dan menghormatimu.”

Sang putri berhasil menenangkan perasaan tetangganya dan menghapus goresan yang telah melukai hatinya karena sikapnya yang aneh dan tidak terfahami. Sementara sang ibu menahan amarahnya jangan sampai termuntahkan dihadapan putrinya.

Sang tetanggapun berpamitan untuk pulang dan sang putri segera bangkit mengulurkan tangan kanannya sedangkan tangan kirinnya memegangi tangan kanan tetangganya agar tidak mengulurkannya kepadanya. Dia mengatakan: “Seyogyanya tangan kanan saya harus tetap terulur tanpa engkau mengulurkan tanganmu kepadaku agar saya dapat melunasi keburukan apa yang telah aku perbuat terhadapmu.” Akan tetapi sang tetangga langsung mendekap sang putri kedadanya dan menciumi kepalanya seraya mengatakan: “Tidak apa-apa anakku, karena kamu telah bersumpah bahwa kamu tidak bermaksud buruk kepadaku.”

Begitu sang tetangga meninggalkan rumah, sang ibu langsung menegur putrinya dalam kemarahan yang tertahan: “Mengapa kamu bertindak seperti ini?” Fathimah menjawab: “Saya tahu kalau saya menyebabkan ibu merasa tidak enak seperti ini, maafkan saya ibu.” Ibunya bertanya: “Ia mengulurkan tangannya kepadamu, tetapi kamu tetap duduk tidak berdiri, dan tidak menjabat tangannya?!” Putri menjawab: “Engkau wahai ibu, juga melakukan yang demikian!” Ibu berteriak dengan penuh rasa heran: “Apa? Aku melakukannya?!” Ia menjawab: “Ibu melakukannya siang dan malam.” Ibunya semakin marah terheran-heran: “Apa? Aku melakukannya siang dan malam?” Ia menjawab: “Betul bu, Dia menjulurkan tangannya kepada ibu, tapi ibu tidak pernah menjabat tangan-Nya.” Ibunya semakin marah tidak faham: “Siapa yang mengulurkan tangan-Nya kepadaku dan aku tidak menyambutnya?!” Fathimah menjawab: “Allah bu, Allah yang Maha Suci mengulurkan tangan-Nya kepada ibu di siang hari agar ibu bertaubat, dan Dia mengulurkan tangan-Nya kepada Ibu di malam hari agar ibu bertaubat, akan tetapi ibu tidak mau bertaubat. Ibu tidak mengulurkan tangan kepada-Nya.” Ibu terdiam. Ucapan putrinya membuatnya terperanjat dan tertegun. Sang putri melanjutkan perkataannya: “Bukankah ibu merasa bersedih, ketika saya tidak mengulurkan tangan untuk menjabat tetangga kita? Dan ibu khawatir jika dia berpresepsi buruk kepadaku? Saya wahai ibu, merasa bersedih setiap hari ketika mendapati ibu tidak mengulurkan tangan untuk bertaubat kepada Allah yang Maha Suci yang mengulurkan tangan-Nya kepada ibu di siang hari dan di malam hari.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadits shahih:

“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya dimalam hari agar bertaubat orang yang berbuat kesalahan di siang hari, dan membentangkan tangan-Nya di siang hari agar bertaubat orang yang berbuat kesalahan di malam hari hingga matahari terbit dari tempat terbenamnya.” (HR. Muslim)

Apakah engkau mengetahui wahai ibu, Tuhan kita membentangkan tangan-Nya kepada ibu dua kali dalam setiap hari sementara ibu tetap menggenggam tangan tidak menyambut tangan-Nya dengan taubat.” Maka berlinanglah kedua mata sang ibu. Sang putri melanjutkan ucapannya, semakin menajamkan nasihatnya: “Saya sangat mengkhawatirkan ibu, ketika ibu tidak shalat, karena pertama kali yang akan ditanyakan kepada ibu di hari kiamat adalah shalat. Saya sangat bersedih ketika melihat ibu keluar dari rumah tanpa menutup aurat yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukankah ibu merasa tidak enak ketika melihat tindakanku terhadap tetangga kita? Saya wahai ibu sangat merasa tidak enak dihadapan teman-temanku ketika mereka mempertanyakan kepadaku tentang keluarnya ibu tanpa hijab dan tanpa memperhatikan aturan-aturan agama sementara saya adalah gadis yang berhijab.” Maka air mata taubat semakin deras mengalir membasahi kedua pipi sang ibu dan putripun

ikut menangis karena tidak bisa menahan rasa harunya melihat ibunya memperhatikan nasihat dan menerima kebenaran. Maka iapun bangkit dan memeluk ibunya dengan penuh kasih sayang yang amat dalam. Sementara ibunya dengan isak tangisnya mengatakan: “Aku bertaubat kepada-Mu ya Rabb… Aku bertaubat kepadamu ya Rabb…”

Oleh karena itu wahai para ibu, wahai para bapak, wahai para gadis, wahai para pemuda bertaubatlah kepada Allah. Allah mengetahui keadaan kalian. Allah mengetahui apa yang tersirat dalam hati kalian. Dan Allah menunggu taubat kalian. Dan Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat. Maka, apakah kita bertaubat kepada-Nya? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 “Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosa selain daripada Allah?” (QS. Ali Imran: 135)

UNTAIAN KISAH PARA WALI ALLAH KE 49 KELAB ORANG KAYA YANG BERTAQWA


Anas bin Malik menceritakan sebagaiman disebutkan dalam Sahih Bukhari bahawa ketika Abdurrahman bin Auf wafat beliau mewariskan setiap seorang isterinya 100, 000 dinar. Ini bersamaan   RM 700, 000, 000 dalam perkataan tujuh juta ringgit sahaja. Untuk setiap isteri. Dalam Islam harta warisan bagi isteri ialah 1/8 . Itu belum lagi ditambah semula dengan harta yang telah beliau infakkan ketika masih hidup.

Abdullah bin Zubair menjelaskan jumlah harta bapanya Zubair al-Awwam  salah seorang sahabat yang Nabi janjikan syurga, “Zubair mempunyai empat isteri, maka sepertiga dari hartanya disimpan, dan setiap dari isterinya mendapatkan bahagian satu juta dua ratus ribu, semua hartanya ada lima juta dua ratus ribu (dinar).” (riwayat Imam Bukhari)

Dalam riwayat yang lain disebutkan Zubair memiliki 1000 orang hamba.

Zubair al-Awwam merupakan sahabat yang rapat dengan Nabi sehingga digelar sebagain pendamping Nabi.

Beliau paling awal menghunuskan pedang dalam Islam dan hayatnya berakhir dihujung pedang.

Namun Allah tidak pernah menyisakan bahagian untuknya di dunia. Hartanya melimpah-ruah, keluarganya diberkati Allah. Anaknya Abdullah bin Zubair seorang ahli hadis yang alim lagi faqih. Anaknya Urwah bin Zubair juga perawi hadis yang disegani dari generasi tabi’in.

Benar janji Allah, “Sesiapa yang mentaati Allah dan Rasul, maka mereka itulah orang-orang yang berjaya.”

UNTAIAN KISAH PARA WALI ALLAH KE 48 MIMPI HASAN BASRI


SUATU ketika antara Hasan Bashri dan Ibnu Sirin muncul perasaan sentimen. Keduanyatak mau saling menyapa. Setiap kali mendengar orang lain menyambut nama Ibnu Sirin, Hasan Bashri merasataksuka. "Jangan sebut nama orang yang berjalan dengan lagak sombong itu di hadapanku," ujarnya.

Suatu malam Hasan Bashri bermimpi, seolah-olah sedang bertelanjang di kandang binatang sambil membuat sebatang tongkat. Pagi hari ketika bangun, ia merasa bingung dengan mimpinya itu. Tiba-tiba ia ingat bahwa Ibnu Sirin yang kurang ia sukai, pandai menafsirkan mimpi.

Merasa malu dan gengsi bertemu sendiri, ia meminta tolong seorang teman dekatnya untuk menemui Ibnu Sirin. "Temui Ibnu Sirin, dan ceritakan mimpiku ini seakan-akan kamu sendiri yang mengalami," pesannya.

Teman dekat Hasan Bashri itu segera menemui Ibnu Sirin. Begitu selesai menceritakan isi mimpi tersebut, Ibnu Sirin langsung berkata, "Bilang pada orang yang mengalami mimpi iniJangan menanyakannya kepada orang yang berjalan dengan lagak sombong. Kalau berani suruh iadatang sendiri kemari."

Mendengar laporan yang disampaikan temannya ini, Hasan Bashri kesal. la bingung, dan merasatertantang. Setelah berpikirsejenak, akhirnya ia memutuskan untuk bertemu langsung dengan Ibnu Sirin. la tidak peduli dengan rasa malu atau gengsinya.

"Antarkan aku ke sana," katanya. Begitu melihat kedatangan Hasan Bashri, Ibnu Sirin menyambutnyadengan baik. Setelah saling mengucap salam dan berjabat tangan, masing- masing lalu mengambil tempat duduk yang agak berjauhan.

"Sudahlah, kita tidak usah berbasa-basi. Langsung saja! Aku bingung memikirkan dan menafsirkan mimpiku," kata Hasan Bashri. Lalu, ia menuturkan sekilas tentang mimpinya.

"Jangan bingung," kata Ibnu Sirin. "Telanjang dalam mimpimu itu adalah Ketelanjangan dunia. Artinya Anda sama sekali tidak bergantung padanya karena Anda memang zuhud. Kandang binatang adalah lambang dunia yang fana itu sendiri. Anda telah melihat dengan jelas . keadaan yang sebenarnya. Sedangkan sebatang tongkat yang Anda buat itu adalah lambang hikmah yang Anda katakan, dan mendatangkan manfaat bagi banyak orang."

Sesaat Hasan Bashri terkesima. la kagum pada kehebatan Ibnu Sirin sebagai ahli penafsir mimpi, dan percaya sekali pada penjelasannya.

"Tetapi bagaimana Anda tahu kalau aku yang mengalami mimpi itu?"tanya Hasan Bashri. "Ketika temanmu menceritakan mimpi tersebut kepadaku, aku berpikir menurutku hanya engkau yangpantas mengalaminya," jawab lbnuSirin.

UNTAIAN KISAH PARA WALI ALLAH KE 47 SEGELAS AIR KISAH ABU AS SAMMAK


Suatu  hari tampak Khalifah Harun AI-Rasyid salah seorang Khalifah dari Dinasti Bani Abbasiyah yang terkenal dengan kebaikan dan kesolehannanya, seorang khalifah yang sangat tawaddu'.
Suatu hari beliau duduk dengan gelisah dan tidak tahu apa sebabnya, tampak duduknya tidak tenang, sekali-kali berdiri dan kemudian duduk kembali begitu seterusnya. Khalifah Harun Al- Rasyid memerintahkan salah seorang pengawalnya untuk mengundang seorang ulama 'yang sholeh dan tawaddu' pada masa itu, seorang ulama' yang tidak pernah mau dekat dan menerima jabatan apapun dari Khalifah dan hal itu membuat Khalifah Harun AI-Rasyid sangat menghormatinya, yaitu Abu As Sammak.

Ketika Abu As Sammak datang kehadapannya, Khalifah langsung berkata "nasehatilah aku, wahai Abu As Sammak, ulama' yang baik dan berpendirian teguh," demikian mulia permohonan dari Khalifah yang mempunyai kekuasaan tiada banding kala itu kepada seorang ulama yang sangat bersahaja datang kehadapannya dengan berjalan kaki.

Pada saat itu datang seorang pelayan dengan membawa segelas air untuk Khalitah Harun AI-Rasyid, dan ketika dia bersiap untuk meminumnya, Abu As-Sammak berkata : "Tunggu sebentar wahai Amirul Mukminin. Demi Allah, aku mengharap agar pertanyaanku dijawab dengan kejujuranmu. Seandainya anda berada dalam kehausan yang tak tertahan lagi, tapi segelas air ini tak dapat anda minum, berapa harga yang bersedia anda bayar demi melepaskan dahaga?".

"Setengah dari yang kumiliki," ujar sang Khalifah dan langsung meminum segelas air tersebut. Beberapa saat kemudian setelah sang Khalifah meminum segelas air tersebut, Abu As- Sammak bertanya kembali, "seandainya apa yang telah anda minum tadi tak dapat keluar kembali, sehingga mengganggu kesehatan anda, berapakah anda bersedia membayar untuk kesembuhan anda?".

"Setengah dari yang kumiliki," jawab Khalifah Harun AI- Rasyid tegas. "Ketahuilah bahwa seluruh kekayaan dan kekuasaan di dunia yang nilainya hanya seharga segelas air tidak wajar diperebutkan atau dipertahankan tanpa hak dan kebenaran," kata Abu As Sammak kepada Khalifah Harun AI-Rasyid.

Khalifah Harun AI-Rasyid yang kekuasaannya meliputi negara yang amat luas dan Bani Abbasiyah dalam puncak kejayaan membenarkan ucapan Abu As Sammak, demikian agung dan jujur Khalifah Harun Al- Rasyid begitu juga dengan Abu As Sammak yang berani dan tegas terhadap penguasa.

UNTAIAN KISAH PARA WALI ALLAH KE 46 BEKERJA ITU IBADAH


Bekerja bukan hanya kebutuhan, tapi juga kewajiban. Berpahala jika dilakukan, berdosa kalau ditinggalkan. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa seorang lelaki dari kaum Anshar datang menghadap Rasulullah saw dan meminta sesuatu kepada beliau. Rasulullah saw bertanya, “Adakah sesuatu di rumahmu?”

“Ada, ya Rasulullah!” jawabnya, “Saya mempunyai sehelai kain tebal, yang sebagian kami gunakan untuk selimut dan sebagian kami jadikan alas tidur. Selain itu saya juga mempunyai sebuah mangkuk besar yang kami pakai untuk minum.”

“Bawalah kemari kedua barang itu,” sambung Rasulullah saw. Lelaki itu membawa barang miliknya dan menyerahkannya kepada Rasulullah. Setelah barang diterima, Rasulullah saw segera melelangnya. Kepada para sahabat yang hadir pada saat itu, beliau menawarkan pada siapa yang mau membeli. Salah seorang sahabat menawar kedua barang itu dengan harga satu dirham. Tetapi Rasulullah menawarkan lagi, barangkali ada yang sanggup membeli lebih dari satu dirham, “Dua atau tiga dirham?” tanya Rasulullah kepada para hadirin sampai dua kali. Inilah lelang pertama kali yang dilakukan Rasulullah.

Tiba-tiba salah seorang sahabat menyahut, “Saya beli keduanya dengan harga dua dirham.”

Rasulullah menyerahkan kedua barang itu kepada si pembeli dan menerima uangnya. Uang itu lalu diserahkan kepada lelaki Anshar tersebut, seraya berkata, “Belikan satu dirham untuk keperluanmu dan satu dirham lagi belikan sebuah kapak dan engkau kembali lagi ke sini.”

Tak lama kemudian orang tersebut kembali menemui Rasulullah dengan membawa kapak. Rasulullah saw melengkapi kapak itu dengan membuatkan gagangnya terlebih dahulu, lantas berkata, “Pergilah mencari kayu bakar, lalu hasilnya kamu jual di pasar, dan jangan menemui aku sampai dua pekan.”

Lelaki itu taat melaksanakan perintah Rasulullah. Setelah dua pekan berlalu ia menemui Rasulullah melaporkan hasil kerjanya. Lelaki itu menuturkan bahwa selama dua pekan ia berhasil mengumpulkan uang sepuluh dirham setelah sebagian dibelikan makanan dan pakaian. Mendengar penuturan lelaki Anshar itu, Rasulullah bersabda, “Pekerjaanmu ini lebih baik bagimu daripada kamu datang sebagai pengemis, yang akan membuat cacat di wajahmu kelak pada hari kiamat.”

Rasulullah saw memberikan pelajaran menarik tentang pentingnya bekerja. Dalam Islam bekerja bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut, tapi juga untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Karenanya, bekerja dalam Islam menempati posisi yang teramat mulia. Islam sangat menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri. Rasulullah saw pernah ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan terbaik adalah usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perjualbelian yang dianggap baik,” (HR Ahmad dan Baihaqi).

Sedemikian tingginya penghargaan itu sehingga orang yang bersungguh-sungguh bekerja disejajarkan dengan mujahid fi sabilillah. Kerja tak hanya menghasilkan nafkah materi, tapi juga pahala, bahkan maghfirah dari Allah SWT. Rasulullah saw bersabda, “Jika ada seseorang yang keluar dari rumah untuk bekerja guna mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itu pun di jalan Allah. Tetapi jika ia bekerja untuk berpamer atau bermegah-megahan, maka itulah ‘di jalan setan’ atau karena mengikuti jalan setan,” (HR Thabrani).

Kerja juga berkait dengan martabat manusia. Seorang yang telah bekerja dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya akan bertambah martabat dan kemuliannya. Sebaliknya, orang yang tidak bekerja alias menganggur, selain kehilangan martabat dan harga diri di hadapan dirinya sendiri, juga di hadapan orang lain. Jatuhnya harkat dan harga diri akan menjerumuskan manusia pada perbuatan hina. Tindakan mengemis, merupakan kehinaan, baik di sisi manusia maupun di sisi Allah SWT. Orang yang meminta-minta kepada sesama manusia tidak saja hina di dunia, tapi juga akan dihinakan Allah kelak di akhirat.

Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, dengan bekerja itu Allah mencukupi kebutuhanmu, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain,” (HR Bukhari dan Muslim).

Bekerja juga berkait dengan kesucian jiwa. Orang yang sibuk bekerja tidak akan ada waktu untuk bersantai-santai dan melakukan ghibah serta membincangkan orang lain. Ia akan menggunakan waktunya untuk meningkatkan kualitas kerja dan usaha.

Begitu pentingnya arti bekerja, sehingga Islam menetapkannya sebagai suatu kewajiban. Setiap Muslim yang berkemampuan wajib hukumnya bekerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Abu Hanifah adalah seorang ulama besar yang sangat dihormati. Ilmunya luas dan muridnya banyak. Di tengah kesibukannya belajar dan mengajar, ia masih menyempatkan diri untuk bekerja sehingga tidak jelas apakah ia seorang pedagang yang ulama atau ulama yang pedagang. Baginya, berusaha itu suatu keharusan. Sedangkan berjuang, belajar dan mengajarkan ilmu itu juga kewajiban.

Tentang nilai usaha ini, Islam tidak hanya bicara dalam tataran teori, tapi juga memberikan contohnya. Rasulullah saw adalah seorang pekerja. Para sahabat yang mengelilingi beliau juga adalah para pekerja. Delapan sahabat Rasulullah saw yang dijamin masuk surga adalah para saudagar yang kaya.

Kenapa orang yang bekerja itu mendapatkan pahala di sisi Allah SWT? Jawabannya sederhana, karena bekerja dalam konsep Islam merupakan kewajiban atau fardhu. Dalam kaidah fiqh, orang yang menjalankan kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yang meninggalkannya akan terkena sanksi dosa. Tentang kewajiban bekerja, Rasulullah bersabda, “Mencari rezeki yang halal itu wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa dan sebagainya),” (HR ath-Thabrani dan al-Baihaqi)

Karena bekerja merupakan kewajiban, maka tak heran jika Umar bin Khaththab pernah menghalau orang yang berada di masjid agar keluar untuk mencari nafkah. Umar tak suka melihat orang yang pada siang hari tetap asyik duduk di masjid, sementara sang mentari sudah terpancar bersinar.

UNTAIAN KISAH PARA WALI ALLAH KE 45 KASIH IBU SEPANJANG ZAMAN


Alqomah merupakan seorang pemuda yang sangat rajin beribadat. Pada suatu, dia jatuh sakit secara tiba-tiba. Isterinya menyuruh seseorang memberitahu Nabi Muhammad tentang keadaan suaminya yang sakit kuat dan dalam keadaan nazak sakaratul maut.

Apabila menerima berita ini, Nabi menyuruh Bilal, Ali, Salama dan Amma melihat keadaan Alqomah. Apabila mereka sampai di rumah Alqomah, mereka membantunya membacakan kalimah Lailaaha¬illah tetapi Iidah Alqomah tidak mampu menyebutnya.

Setelah melihat keadaan Alqomah yang semakin menghampiri akhir usia, mereka menyuruh Bilal memberitahu Nabi. Apabila Bilal sampai di rumah Nabi, maka Bilal menceritakan segala hal yang berlaku di rumah Alqomah.

Lalu Nabi bertanya kepada Bilal, “Apakah ayah Alqomah masih hidup?”

Jawab Bilal, “Tidak, ayahnya sudah meninggal, tetapi ibunya masih hidup dan sangat tua usianya.”

Kemudian Nabi berkata lagi, “Pergilah kamu menemui ibunya dan sampaikan salamku. Katakan kepadanya kalau dia dapat berjalan, suruh dia datang berjumpaku. Kalau dia tidak dapat berjalan, katakan aku akan ke rumahnya.”

Apabila tiba di rumah ibu Alaqomah, ibunya mengatakan bahawa dia ingin menemui Nabi. Lalu ibu Alqomah mengambil tongkat dan terus berjalan menuju ke rumah Nabi. Sebaik tiba, dia memberi salam dan duduk di hadapan Nabi.

“Ceritakan kepadaku perkara yang sebenar tentang Alqomah. Jika kamu berdusta, nescaya akan turun wahyu kepadaku,” kata Nabi kepada ibunya.

Berkata Nabi lagi, “Bagaimana keadaan Alqomah?”

Jawab ibunya, “Alqomah sangat rajin beribadat, menunaikan sembahyang, berpuasa dan sangat suka bersedekah sehingga tidak diketahui banyaknya.”

Nabi bertanya lai, “Bagaimana hubungan kamu dengan dia?”

Jawab ibunya, “Aku sangat marah kepadanya.”

Lalu Nabi bertany, “Mengapa?”

“Kerana dia lebih mengutamakan isterinya daripada diriku dan menuruti kata-kata isterinya sehingga dia menentangku.”

“Atas kemarahan kamu itulah, lidahnya telah terkunci dari mengucap kalimah Lailahaillallah,” kata Nabi.

Kemudian Nabi menyuruh Bilal mencari kayu api utuk membakar Alqomah. Apabila ibu Alqomah mendengar perintah tersebut, dia bertanya, “Wahai Rasullullah, kamu hendak membakar anakku di depan mataku? Bagaimana hatiku dapat menerimanya?”

Nabi berkata “Siksa Allah itu lebih berat dan kekal, oleh itu jika kamu mahu Allah ampunkan dosa anakmu itu, maka hendaklah kamu mengampuninya. Demi Allah yang jiwaku di tangannya, tidak akan berguna sembahyangnya, sedekahnya, selagi kamu murka kepadanya.”

Maka berkata ibu Alqomah sambil mengangkat kedua tangannya, “Ya Rasullullah, aku persaksikan kepada Allah di langit dan kau ya Rasullullah dan mereka-mereka yang hadir di sini bahawa aku redha pada anakku Alqomah.”

Kemudian Nabi mengarahkan Bilal pergi melihat Alqomah sambil berkata, “Pergilah kamu wahai Bilal, lihat sama ada Alqomah dapat mengucap La ilaha illallah atau tidak.”

“Aku khuatir, kalau-kalau ibu Alqomah mengucapkan itu semata-mata kerana pada aku dan bukan dan hatinya,” sambung Nabi.

Apabila Bilal sampai di rumah Alqomah tiba-tiba terdengar suara Alqomah menyebut, “La ilaha illallah.”

Lalu Bilal masuk sambil berkata, “Wahai semua orang yang berada di sini. Ketahuilah sesungguhnya kemarahan seorang ibu menghalang Alqomah dari mengucapkan kalimah La ilaha illallah. Dan kerana redha ibunyalah maka Alqomah dapat menyebut kalimah syahadat.” Maka matilah Alqomah pada waktu sebaik sahaja dia mengucap.

Apabila Nabi sampai di rumah Alqomah, mereka segeralah mandi dan kafankan lalu disembahyangkan oleh Nabi. Sesudah dikuburkan maka Nabi berkata sambil berdiri dekat kubur, “Wahai sahabat Muhajirin dan Ansar. Sesiapa yang mengutamakan isterinya daripada ibunya, maka dia dilaknat oleh Allah dan ibadat fardu dan sunatnya tidak diterima Allah.”

UNTAIAN KISAH PARA WALI ALLAH KE 44 KISAH MASYITAH DAN BAYINYA


Sebagaimana maklum, Firaun dengan segala kesombongan dan kebongkakannya telah mengaku dirinya Tuhan dan memaksa semua rakyat jelata menyembah dan memperhambakan diri kepadanya.

Barangsiapa yang ingkar akan disiksa dan dibunuh. Begitulah kejamnya Firaun dan kerajaannya. Namun begitu terdapat beberapa orang yang telah sedar dan beriman kepada Allah di antaranya Siti Asiah, isteri Firaun dan keluarga Masyitah. Masyitah adalah pelayan raja dan lebih terkenal sebagai tukang sikat Firaun.

Mereka terpaksa menyembunyikan iman mereka kepada Allah, dengan itu mereka tidak akan diganggu.Tetapi pada satu hari, sewaktu Masyitah sedang menyikat rambut salah seorang daripada puteri Firaun, tiba-tiba sikat itu terjatuh dan dia dengan tidak sengaja melatah dan menyebut "Allah". Puteri tersebut apabila mendengar perkataan "Allah", dia pun bertanya kepada Masyitah siapakah"Allah" itu. Masyitah pada mulanya enggan untuk menjawab pertanyaan itu tetapi setelah didesak berkali-kali, Masyitah memberitahu bahawa Allah itu adalah Tuhan yang Esa dan Tuhan sekalian Alam.

Puteri itu dengan serta-merta mengadu pada Firaun akan hal Masyitah itu. Firaun agak terperanjat bila mendengar Masyitah menyembah Tuhan selain daripadanya. Maka Firaun dengan kekuasaan yang ada padanya telah memerintahkan menterinya yang bernama Hamman untuk membunuh Masyitah dan kaum keluarganya yang telah menyembah Allah. Firaun sedikit pun tidak mengenang jasa Masyitah terhadap keluarganya. Selain menjadi tukang sikat, Masyitah juga mengasuh dan menguruskan istana Firaun. Tetapi tanpa usul periksa dan kejam Firaun menjatuhkan hukuman kepada Masyitah.

Inilah masanya untuk menguji Masyitah, seorang wanita yang lemah fizikalnya tetapi memiliki kekuatan jiwa yang luar biasa. Beliau dengan lapang dada menerima apa sahaja yang hendak dilakukan oleh manusia yang tidak berhati perut itu. Hamman telah memaksa pengawal-pengawalnya untuk menyediakan sebuah kawah yang besar untuk mencampakkan Masyitah dan keluarganya yang ingkar dengan Firaun seandainya mereka tidak mahu kembali kepada Firaun. Masyitah bersama dengan suami dan empat orang anaknya termasuk seorang anaknya yang masih bayi dihadapkan ke hadapan Firaun untuk diberi kata dua sama ada hendak menyembah Firaun atau dicampakkan ke dalam kawah yang berisi air panas yang mendidih. Maka dengan tegas Masyitah dan suaminya tetap mempertahankan keimanan mereka dengan mengatakan Allah itulah Tuhan yang Esa dan Firaun hanyalah manusia biasa.

Dengan keputusan itu, Hamman dengan tiada rasa peri kemanusiaan mencampaksatu persatu keluarga Masyitah ke dalam kawah yang berisi air panas yang mendidih. Sambih ketawa terbahak-bahak dengan nada yang menyindir, Hamman mencampakkan suami Masyitah dahulu diikuti dengan anak-anaknya yang lain.Masyitah melihat sendiri dengan mata kepalanya bagaimana anak-anaknya terkapai-kapai di dalam air yang panas menggelegak itu. Kini tinggal Masyitah dan bayinya yang akan dicampakkan ke dalam kawah tersebut.Syaitan membisikkan ke telinga Masyitah rasa was-was dan kasihan melihat anaknya yang masih kecil itu disiksa sedemikian rupa. Masyitah mula ragu-ragu samada hendak terjun ataupun tidak. Tetapi dengan kekuasaanAllah, tiba-tiba anak yang masih bayi itu berkata-kata kepada ibunya, Masyitah : "Wahai ibu, marilah kita menyusul ayah, sesungguhnya syurga sedang menanti kita".Bila mendengarkan kata-kata yang sangat ajaib dari anaknya yang masih bayi itu, dengan rasa

kehambaan dan cinta kepada Allah, Masyitah terjun bersama anaknya ke dalam kawah yang berisi air panas itu dan matilah mereka sekeluarga demi mempertahankan iman mereka kepada Allah.Tetapi Allah tidak membiarkan manusia berbuat durjana sesuka hati.

Allah datangkan kepada Firaun, Hamman dan para pengawalnya yang membunuh Masyitah dengan azab siksa yang sangat pedih. Allah runtuhkan kerajaan Firaun dan Hamman mati di dalam runtuhan tersebut. Tentera dan para pengawalnya ditenggelamkan di dalam dasar laut. Mereka mati di dalam keadaan kafir. Sebaliknya Masyitah sekeluarga mati di dalam keadaan yang mulia dan bahagia di dalam syurga. Sewaktu Rasulullah s.a.w Isra' dan Mikraj, baginda telah melalui sebuah makam. Makam itu sangat wangi dengan bauan kasturi. Lantas Rasulullah s.a.w bertanya kepada Jibril yang mengiringinya, maka jawab Jibril a.s : "ItulahMakam Masyitah, salah seorang wanita penghulu syurga." Begitulah keistimewaan yang Allah berikan kepada Masyitah.

Walaupun tubuhnya dan tubuh keluarganya hancur, namun di sisi Allah mereka sangat mulia. Wahai wanita yang mukmin, bersabarlah menghadapi hidup di dunia ini. Kesusahan dan kekurangan, kata nista manusia dan kejian di dalam membangunkan Islam itu hanyalah sementara. Bersabarlah dan tenangkan hati dengan banyak mengadu dan mengharapkan keredhaan Allah.

Kuatkan iman dan sematkan di dalam hati kecintaan kepada Allah dan Rasul itu melebihi dari segalanya. Patuh dan taat akan perintah suami, didik anak-anak dengan Islam. Insya Allah kita akan selamat di dunia dan akhirat. Marilah sama-sama mencontohi Masyitah yang sanggup mengorbankan nyawanya dan nyawa keluarganya demi mendapatkan cinta kepada Allah. Tidakkah kita ingin mengikut jejaknya?

UNTAIAN KISAH PARA WALI ALLAH KE 43 ANDAIKATA LEBIH PANJANG LAGI


Seperti yang telah biasa dilakukannya ketika salah satu sahabatnya meninggal dunia Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengantar jenazahnya sampai ke kuburan.  Dan pada saat pulangnya disempatkannya singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga almarhum supaya tetap bersabar dan tawakal menerima musibah itu.

Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, "Tidakkah almarhum mengucapkan wasiat sebelum wafatnya?"
Istrinya menjawab, saya mendengar dia mengatakan sesuatu diantara dengkur nafasnya yang tersengal-sengal menjelang ajal."
"Apa yang di katakannya?"
"Saya tidak tahu, ya Rasulullah, apakah ucapannya itu sekedar rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih karena dahsyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sulit difahami lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong."
"Bagaimana bunyinya?" desak Rasulullah.

Istri yang setia itu menjawab,"suami saya mengatakan "Andaikata lebih panjang lagi....andaikata yang masih baru....andaikata semuanya...." hanya itulah yang tertangkap sehingga kami bingung dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu igauan dalam keadaan tidak sadar,ataukah pesan-pesan yang tidak selesai?"
Rasulullah tersenyum,"Sungguh yang diucapkan suamimu itu tidak keliru,"ujarnya.
Kisahnya begini. pada suatu hari ia sedang bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan shalat jum'at.  

Di tengah jalan ia berjumpa dengan orang buta yang bertujuan sama. Si buta itu tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntun.  Maka suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas penghabisan, ia menyaksikan pahala amal sholehnya itu, lalu ia pun berkata "andaikan lebih panjang lagi".

Maksudnya, andaikata jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, pasti pahalanya lebih besar pula.

"Ucapan lainnya ya Rasulullah?"t anya sang istri mulai tertarik.
Nabi menjawab, "Adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala, ia melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi, sedangkan cuaca dingin sekali, di tepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan. Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia mencopot mantelnya yang lama, diberikannya kepada lelaki tersebut.  Dan mantelnya yang baru lalu dikenakannya. Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, "Coba andaikan yang masih yang kuberikan kepadanya dan bukan mantelku yang lama, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi".Itulah yang dikatakan suamimu selengkapnya.

"Kemudian, ucapannya yang ketiga, apa maksudnya, ya Rosulullah?" tanya sang istri makin ingin tahu.
Dengan sabar Nabi menjelaskan, "ingatkah kamu pada suatu ketika suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan? Engkau menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur dengan daging. Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba- tiba seorang musyafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong, yang sebelah diberikan kepada musyafir itu. 

Dengan demikian, pada waktu suamimu akan nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalannya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata ' kalau aku tahu begini hasilnya, musyafir itu tidak hanya kuberi separoh. Sebab andaikata semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti ganjaranku akan berlipat ganda.

Memang begitulah keadilan Tuhan. Pada hakekatnya, apabila kita berbuat baik, sebetulnya kita juga yang beruntung, bukan orang lain. Lantaran segala tindak-tanduk kita tidak lepas dari penilaian Allah. Sama halnya jika kita berbuat buruk. Akibatnya juga akan menimpa kita sendiri.Karena itu Allah mengingatkan: "kalau kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula."  (surat Al Isra': 7).

Ahad, 3 Mac 2019

UNTAIAN KISAH PARA WALI ALLAH KE 42 IBRAHIM BIN ADHAM DAN SEOARANG PEMABUK


Suatu senja, ibrahim bin adham berjalan  di sebuah pasar. Tiba-tiba, langkahnya berhenti oleh seorang pemuda yang menubruk tubuhnya dari belakang. Ibrahim membalikkan tubuhnya. Tubuh pemuda itu limbung dan hampir saja terjerembab ke tanah. Beruntung ibrahim sigap menyambutnya. Dari aroma mulutnya, tercium bau minuman keras. Rupanya, pemuda itu dalam kondisi mabuk berat. Mulutnya meracau tidak karuan. Sekilas, pemuda  itu menatap ibrahim bin adham. Matanya merah dan sayu.
“antarkan aku pulang,” katanya.

Ibrahim bin adham merangkul tangan pemuda itu ke pundaknya , lalu berjalan. Anehnya, ibrahim tidak bertanya kemana ia harus mengantar pemuda itu pulang, ia terus berjalan sambil membopong pemuda tersebut. si pemuda menurut saja kemana pun ibrahim melangkah. Kaki ibrahim lalu berhenti di sebuah tanah lapang . disana , terdapat batu-batu nisan. Ternyata, ibrahimbin adham membawa pemuda tiu ke area makam.
“bangunlah, kita sudah sampai di rumahmu” ujar ibrahim bin adham sambil menepuk-nepuk bahu pemuda itu.

Si pemuda mencoba membuka matanya yang terasa berat. Berlahan. Matanya dapat melihat keadaan sekeliling .matanya menyapu  pemandangan sekitar  tempat berdiri. Ia mengumpulkan segenap kesadaran yang tersisa. Tiba-tiba, raut mukanya memerah dan menyalak tajam.
“ apa maksudmu membawa aku kesini?” gertak pemuda itu.
“ kau memintaku mengantarmu pulang, inilah rumahmu yang sesungguhnya. Rumahmu di dunia ini hanya sementara. Akhiratlah rumah yang sesungguhnya,” jawab ibrahim bin adham tenang.
Pemuda itu tersenta. 

Kata-kata ibrahim bin adham seperti bilah pedang yang menusuk jantungnya dan membangunkan kesadarannya. Pelan-pelan kata kata itu berubah menjadi secercah cahaya  yang menelusup ke kalbunya. Pemuda itu tersadar. Ia telah terlena oleh pesona dunia. Padahal,  dunia bukan rumah sesungguhnya . akhirat rumah yang sebenarnya. Pemuda itu pun bertobat dan menggunakan sisa waktu  hidupnya  untuk beribadah dan beramal shaleh.

UNTAIAN KISAH PARA WALI ALLAH KE 41 BALASAN MENCELA PARA SAHABAT


Al-Qairuni berkata, “Seorang syaikh yang termasuk orang-¬orang yang utama mengabarkan kepada saya, dia berkata, ‘Abu Al-Hasan Al-Mathlabi (Imam Masjid Nabawi) mengabarkan kepadaku, dia berkata, ‘Suatu hari ketika saya di Madinah melihat suatu keajaiban, ada seorang laki-laki mencaci Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘Anhum. Kemudian, pada hari lainnya ketika kami selesai shalat subuh, tiba-tiba kami bertemu seorang lelaki yang air matanya mengalir deras membasahi kedua pipinya, lalu kami tanyakan bagaimana ceritanya sehingga ia bernasib seperti itu?
Lelaki itu menjawab, ‘Tadi malam aku bermimpi bertemu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sedang di depan beliau ada Ali bersama Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘Anhuma. Lalu Abu Bakar dan Umar berkata kepada Rasulullah, ‘Inilah orangnya yang menyakiti dan mencaci kami wahai Rasulullah! Kemudian, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepadaku, ‘Siapa yang menyuruhmu berbuat seperti ini wahai Abu Qais?’ Aku menjawab, ‘Ali’, dan aku pun menunjuk kepadanya’.

Kemudian, Ali mengarahkan wajah dan tangannya kepadaku dengan mengepalkan jari-jarinya dan mengisyaratkan dia menampar mataku, lalu berkata, Jika kamu berdusta, semoga Allah membutakan matamu. Kemudian, Ali mencolok jarinya ke mataku, lalu aku terbangun dari tidurku dan aku dapati diriku seperti ini. Kemudian, lelaki itu menangis dan memberitahukan kepada masyarakat, lalu bertaubat di hadapan mereka.”
Diriwayatkan dari Abu Hatim Ar-Razi dari Muhammad bin Ali, dia berkata, “Ketika kami berada di Makkah dan duduk¬-duduk di Masjidil Haram, ada seorang lelaki dengan wajah separuh hitam dan separuhnya putih, lalu dia berkata, ‘Wahai segenap manusia, ambillah i’tibar dari diriku, aku pernah berbuat buruk dan mencaci dua orang shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kemudian pada suatu malam, ketika aku tidur, tiba-tiba ada seseorang yang mengangkat tangan lalu menampar wajahku sambil berkata kepadaku, ‘Wahai musuh Allah, wahai orang yang fasik, bukankah kamu yang selama ini mencela Abu Bakar dan Umar, kemudian menjadi seperti inilah keadaanku.”

Seorang syaikh dari suku Quraisy berkata, “Di Syam (Syiria) aku melihat seorang lelaki yang setengah wajahnya hitam dan ditutupi tangannya. Aku menanyakan kenapa dia menutupinya seperti itu? Lelaki itu menjawab, ‘Aku telah bersumpah kepada Allah siapa yang menanyakan sebab sikapku seperti ini, maka pasti akan aku jawab. Ketika itu aku sangat memusuhi Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu. Pada suatu malam ketika aku lelap tidur, ada seorang lelaki mendatangiku lalu berkata, ‘Kamukah orangnya yang selalu memusuhi aku?’ Kemudian, ia menampar sebelah pipiku sehingga menjadi seperti inilah wajahku, hitam sebelah sebagaimana kamu lihat’.”

Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin Rahimahullah, dia berkata, “Ketika itu aku sedang melakukan thawaf di Ka’bah. Tiba-tiba aku berpapasan dengan seorang lelaki yang memanjatkan doa seperti ini, ‘Ya Allah ampunilah aku, dan aku tidak yakin Engkau akan mengampuniku!’ Seketika itu aku sangkal, ‘Wahai Abdullah, selama ini aku tidak pernah mendengar sese¬orang berdoa sebagaimana yang kamu panjatkan!’ Lelaki itu men¬jawab, ‘Ketika itu aku pernah berjanji, sekiranya aku dapat me¬nampar wajah Utsman, pasti aku lakukan’. Kemudian, ketika Utsman Radhiyallahu ‘Anhu terbunuh dan diletakkan di atas tempat tidurnya di dalam rumah, sementara orang-orang berda¬tangan untuk menyalatkan jenazahnya, aku pun masuk ruangan itu lalu berpura-pura ikut menyalatkan jenazahnya. Ketika itu sedang sepi, maka aku tarik pakaianku untuk menutupi wajah dan jenggot Utsman, lalu aku berhasil menamparnya. Setelah kejadian itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan tanganku kering dan kaku seperti kayu yang tidak dapat digerakkan’ .”

Ibnu Sirin berkata, “Benar, aku telah melihat tangannya kering.”
Utsman Radhiyallahu ‘Anhu adalah seorang shahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mendapat gelar Dzun Nuraini; khalifah ke-3. Dia mendapat perlakuan zalim dan menyerahkan urusannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah menurunkan hukumannya yang berlaku atas orang yang menzaliminya sebagai ibrah. Sungguh Allah adalah Maha mulia dan Mendendam.

Diriwayatkan dari Amir bin Sa’ad Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata, “Ketika Sa’ad berjalan, tiba-tiba ia berjumpa dengan seorang lelaki yang sedang mencaci Ali, Thalhah, dan Zubair Radhiyallahu Anhuma. Sa’ad berkata kepada lelaki itu, ‘Sungguh, baru saja kamu mencaci suatu kaum yang telah berhasil mendahului dalam kebaikan dari yang selainnya. Kamu akan berhenti mencaci mereka atau aku doakan kamu supaya Allah menurunkan musibah untukmu!’
Lelaki itu menantang, ‘Kenapa kamu menakut-nakuti aku, seolah-olah kamu seorang nabi?’

Sa’ad menjawab, ‘Ya Allah, sesungguhnya orang itu men¬caci sejumlah shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang lebih dahulu berbuat kebaikan daripada orang lain, maka turunkan siksa untuk orang itu?!’

Tiba-tiba datang seekor unta betina, orang-orang membiarkan unta tersebut berjalan dan mencederai lelaki itu.
Aku sendiri menyaksikan orang-orang menyusul Sa’ad sambil berkata, ‘Wahai Abu Ishaq, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doamu’ .” (Diriwayatkan Thabrani)
Diriwayatkan dari Qais, dia berkata, “Seorang laki-laki mencaci Ali Radhiyallahu ‘Anhu, kemudian Sa’ad berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya laki-laki ini mencaci salah seorang wali¬Mu, maka jangan bubarkan pertemuan ini” sehingga Engkau memperlihatkan kekuasaan-Mu’.
Demi Allah, kami tidak meninggalkan pertemuan kami itu sehingga lelaki tersebut terpelanting dan pingsan dari ken¬daraan yang dinaikinya dan kepalanya terbentur bebatuan sehingga gegar otak dan mati.” (Diriwayatkan Al-Hakim),Ada seseorang yang mencaci shahabat Rasulullah Sha¬lallahu Alaihi wa Sallam yang tergolong masyhur, dan tidaklah mungkin ada seseorang yang berani mencaci shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam selain orang-orang zindik ekstrim, yang di dalam hatinya diliputi rasa iri dan dendam kepada para shahabat. Telah cukup kita jadikan pelajaran ucapan seorang tabiin yang bernama Abu Zur’ah Rahimahullah, ‘jika kamu melihat ada seseorang yang berani mencaci salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tentulah ia zindik.”

Orang-orang yang berani mencaci para shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang Allah telah ridha kepada mereka, tentu Allah akan menurunkan laknat, menjauh¬kan rahmat-Nya, dan tidak dimasukkan ke dalam surga serta hidup di dunia penuh dengan kehinaan sebelum merasakan siksa¬an di akhirat.
Apakah pantas seseorang mencaci para shahabat yang kepada mereka pula diturunkan Al-Qur’an. Bahkan, mereka memperoleh pujian langsung dari Allah?!

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“‘Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang¬-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari” karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dan” bekas sujud Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat, lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di alas pokoknya; tanaman itu menyenang¬kan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang Mukmin). “(Al-Fath: 29)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa mencaci para shahabatku, maka baginya laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia. (Diriwayatkan Thabrani).