Catatan Popular

Memaparkan catatan dengan label KITAB AL ASRAR FIL AWLIYA. Papar semua catatan
Memaparkan catatan dengan label KITAB AL ASRAR FIL AWLIYA. Papar semua catatan

Ahad, 8 September 2019

KITAB AL ASRAR FIL AWLIYA BAHAGIAN KELIMABELAS : Pengalaman Kerohanian Pengarang Al-Mizan, Syekh Abdul Wahab Sya’rani


(AWAL DALAM JENJANG KEWALIAN)

Hazrat Khwaja Farīduddīn Mas'ūd Ganjshakar

Syekh Abul Mawahib Asy-Sya’rani dalam kitabnya Al-Mizan mengungkapkan:

“Cara untuk meraih derajat kasyaf dalam memahami sumber syariat adalah melalui suluk dengan bimbingan seorang yang Arif dengan syarat seseorang itu harus menyerahkan dirinya, hartanya dan keluarganya kepada pembimbing yang arif tersebut dengan hati yang lapang.

Seandainya pembimbing yang Arif itu menyatakan kepadamu: ‘Ceraikan istrimu, atau lepaskan hartamu atau pekerjaanmu’, misalnya, kemudian Engkau membangkang, maka Engkau tidak akan sampai kepada derajat kasyaf meskipun Engkau beribadah selama 1.000 tahun dengan cara biasa.

Apakah ada syarat-syarat lain dalam menempuh suluk? Ya, ada. Di antaranya tidak boleh menyandang hadats walaupun sebentar baik siang maupun malam, tidak makan selama menjalani suluk kecuali kalau sudah dalam kondisi mendesak, tidak memakan makanan yang asalnya bernyawa, tidak makan melainkan jika telah mengalami awal-awal tanda bahaya, tidak memakan makanan pemberian orang lain yang tidak wara’ dalam memperolehnya, seperti orang yang diberi makan karena ia orang baik atau karena ia zuhud, atau orang yang berjual beli dengan petani atau aparat penguasa yang tidak wara’. Syarat lainnya adalah tidak lupa kepada mengingat Allah siang malam meskipun sekejap, bahkan mesti muraqabah setiap saat.

Kalau sudah demikian, maka seseorang suatu ketika akan mencapai derajat ihsan dalam arti seolah-eoalah ia melihat Tuhannya. Atau bisa pula mencpai derajat keyakinan sesudah ihsan, sehingga ia dapat melihat Tuhannya setiap saat dengan mata iman, bukan dengan mata kepala, karena melihat Tuhan dengan mata iman itu lebih menyucikan Allah SWT daripada seolah-olah meilhat Allah dengan mata kepala yang tentunya dibayangi dengan khayalnya, padahal Allah Suci dari segala apa yang terlintas di dalam hatimu.

Jika ada orang bertanya: ‘Bagaimana pengarang kitab (Al-Mizan) ini menempuh suluknya?’ Jawabannya adalah sebagai berikut:
Pertama-tama saya mendapatkan suluk dari Nabi Khidhir As melalui ilmu, iman dan Islam. Kemudian saya mendapatkannya dari Sayid Ali Al-Khawash, sehingga saya dapat memahami sumber syariat melalui rasa (dzauq), kasyaf, dan yakin tanpa ada rasa ragu, kemudian saya bermujahadah dengan amalan-amalan tertentu selama satu tahun. Lalu saya berkhalwat berada di atas tali yang saya gantungkan ke atap sehingga tubuh saya tidak menyentuh bumi. Terus saya berupaya benar-benar dalam bersikap wara’, sehingga saya pernah memakan zat-zat tanah dengan terpaksa apabila saya tidak menjumpai makanan yang sesuai dengan maqam saya dalam ketaqwaan. Saya pun pernah memakan semacam lemak di atas tanah yang mirip dengan lemak daging atau lemak samin atau lemak susu.

Suluk semacam ini pernah ada yang menjalani sebelum saya, yakni Ibrahim bin Adham Ra. yang bertahan selama 20 hari hanya memakan zat-zat tanah ketika ia tidak menemukan makanan yang halal menurut maqamnya.

Begitu pula saya tidak lewat di bawah atau di sebelah gedung-gedung istana penguasa. Tatkala Sultan al-Ghuri As-Sabath berkuasa yang saya pernah lewati di antara madrasah dan kubahnya yang biru, saya masuk melalui pasar Warraqin dan keluar lewat pasar minuman, jadi saya tidak lewat di bawah atau di sebelah gedung istana sultan. Gedung-gedung lain milik orang yang lalim dan penguasa serta aparatnya, hukumnya sama dengan gedung istana yang penuh dengan kelaliman tersebut.

Saya tidak memakan sesuatu kecuali saya teliti terlebih dahulu dengan betul kehalalannya, tidak langsung saya memakannya dengan berdasarkan adanya rukhshah, dan al-hamdulillah saya sampai saat ini tetap seperti itu. Dulu, saya meneliti kehalalan makanan dengan melihat siapa pemilik sebenarnya, tetapi sekarang saya bisa mengetahui halal, haram, dan syubhatnya makanan dengan melihat warnanya atau melalui baunya atau rasanya. Saya merasakan bau wangi kalau makanan itu halal. Saya merasakan bau busuk kalau makanan itu haram, dan saya merasakan busuk yang tidak sebusuk bau makanan haram kalau makanan itu syubhat. Kalau ada tanda-tanda tersebut maka saya tidak memakannya tanpa harus meneliti siapa pemiliknya yang sah. Segala puji milik Allah atas karunia yang demikian itu.

Setelah saya selesai dari perjalanan suluk itu, maka mata hati saya bisa melihat sumber syari’at, yang dari sumber syari’at itu muncul beberapa pendapat Ulama yang kesemuanya bersambung ke sumber itu. Saya bisa mengetahui bahwa semua pendapat tersebut berada di dalam lingkup syara’ yang murni, dan mata hati saya bisa membuktikan bahwa semua mujtahid itu benar dengan pembuktian secara kasyaf dan yakin, bukan sekedar sangkaan dan kira-kira. Mata hati sayapun bisa mengetahui bahwa tidak ada suatu madzhab yang lebih kuat daripada madzhab lain di dalam syari’at. Kalau ada 1000 orang yang membantah saya bahwa ada satu madzhab lebih kuat dari lainnya, saya tidak terpengaruh. Anggapan tersebut hanya karena keterbatasab pemahaman seseorang terhadap sumber syari’at, dan kebenaran anggapan tersebut hanyalah berlaku sepihak.

Di antara yang bisa saya lihat secara kasyaf adalah bahwa ada saluran-saluran parit dari para Imam Mujtahid sebagai tokoh madzhab, di mana parit-parit itu bermuara sampai ke sumber syari’at bagai lautan yang luas. Tetapi parit-parit tersebut mongering airnya dan membatu / menjadi batu, hanya ada 4 parit yang airnya terus mengalir (4 madzhab). Saya memberikan takwil bahwa madzhab 4 Imam tersebut akan bertahan kekal hingga menjelang kiamat. ….

Ketika saya menunaikan ibadah haji pada tahun 957 H. saya berdoa di dalam Ka’bah, memohon kepada Allah agar diberi tambahan ilmu, kemudian saya mendengar suara dari atas sebagai berikut: “Belum cukupkah kitab Al-Mizan yang telah Kami anugerahkan kepadamu, yang dengan kitab itu kamu meyakini kebenaran semua pendapat para Mujtahid dan para pengikut mereka sampai hari kiamat, yang anugerah tersebut tidak diberikan kepada orang lain pada zamanmu?” Kemudian saya mengatakan: “Cukuplah kepada Allah saya berharap tambahan rahmat”. ……

Jika engkau yang bertanya: “Apakah orang yang memakan makanan yang halal dan meninggalkan maksiat lalu menempuh suluk dengan dirinya sendiri tanpa pembimbing yang Arif bisa sampai ke tingkat kasyaf sehingga mampu melihat sumber syari’at dengan mata hati?”

Jawabannya adalah 2 hal:

1. Adakalanya karena jadzab (tarikan) yang langsung diberikan oleh Allah.
2. Adakalanya dengan menempuh suluk di bawah asuhan dan bimbingan Guru yang Arif, agar bisa membuang cacat dan kotoran di dalam batinnya.

Bahkan seandainya ia bisa menghilangkan aib dan kotoran batinnya melalui ibadahnya sendiri, ia tetap tidak akan sampai ke maqam kasyaf yang mampu melihat sumber syarai’at dengan mata batin, karena ia terkurung di dalam sikap taklid terhadap imam madzhabnya. Jadi imam madzhabnya itulah sebagai penghalang untuk melihat sumber syari’at, padahal imamnya sendiri mampu melihat sumber syari’at tersebut……

Apabila engkau ingin sampai ke tingkat yang setara dengan kitab Al-Mizan ini secara dzauq (rasa) dan engkau ingin mempunyai kemantapan bahwa semua madzhab itu benar sebagaimana yang diakui oleh para Imam madzhab itu benar sebagaimana yang diakui oleh para Imam madzhab itu sendiri, maka tempuhlah melalui suluk dan riyadhah dengan asuhan seorang Guru yang Arif yang mengajarkan bagaimana cara engkau agar bisa menjadi orang yang ikhlas dan jujur dalam memahami ilmu dan amal, bagaimana cara engkau agar terhindar dari kotoran-kotoran yang mengotori batin yang menghambat dan menghalangi perjalanan taqarub kepada Allah SWT dan mematuhi anjuran Gurumu, agar engkau bisa sampai ke maqam kesempurnaan yang tertentu, sehingga engkau berperasaan bahwa semua manusia itu selamat kecuali dirimu sendiri, seolah-olah engkau melihat bahwa dirimu celaka. Kalau engkau sudah sampai di mana engkau bisa melihat sumber syari’at secara seksama dengan mata batin, yang dari sumber itu mengalir beberapa pendapat Ulama.

Adapun suluk yang engkau tempuh tanpa bimbingan Guru yang Arif, biasanya tidak bisa menyelamatkan dan membebaskan engkau dari sifat riya’, perdebatan, dan cenderung mencintai harta benda, walaupun sifat-sifat tersebut hanya ada di dalam hati tanpa diucapkan, sehingga tidak bisa mengantarkan engkau ke maqam kasyaf tersebut, walaupun teman-temanmu sudah terlanjur menjulukimu sebagai Wali Quthub.
Dalam masalah ini, Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi memberikan penjelasan di dalam kitab Al-Futuhat al-Makiyyah pada Bab 73 sebagai berikut: ‘Barang siapa menempuh suatu cara taqarub kepada Allah tanpa bimbingan seorang Guru yang Arif dan tanpa bersikap wara’ dalam menghadapi hal-hal yang diharamkan Allah SWT, maka ia tidak akan sampai ke maqam makrifat seperti yang telah dicapai oleh para Ulama yang Arif, walaupun ia telah beribadah kepada Allah selama umur Nabi Nuh As.

Kalau seseorang sudah sampai ke tingkat makrifat maka tidak ada lagi penghalang antara dia dengan Allah SWT, sehingga ia bisa mengetahui Asma-asma Allah secara kasyaf dan yakin, mampu memehami bahwa semua pendapat mujtahid itu tidak menyimpang dari Asma-asma Allah tersebut, sehingga tidak ada lagi pertentangan dan perbedaan di antara madzhab, karena kesemuanya bermuara dari satu sumber yang sama’.

(Petikan Kitab Al-Mizan, Syekh Abul Mawahib Abdul Wahab Asy-Sya’rani)

KITAB AL ASRAR FIL AWLIYA BAHAGIAN KEEMPATBELAS : Cinta melupakan lainnya


(AWAL DALAM JENJANG KEWALIAN)
Hazrat Khwaja Farīduddīn Mas'ūd Ganjshakar
Rasulullah Saw bersabda:

Cintamu pada sesuatu akan membuatmu buta dan tuli”. (HR. Abu Daud dari Abu Darda & Ahmad)

Inilah yang membuktikan sifat ke-ummy-an seorang murid, bahkan pada diri seorang Syekh yang Kamil. Kita dapat memahami apabila seorang Syekh yang dipilih Allah itu bukan berdasarkan apa yang ia ketahui. Dan tiada yang mengetahuinya mengapa. Hanya yang dapat kita simak berdasarkan hadits ini, Syekh yang Ummi ditutup dari hal-hal ‘yang lainnya’ karena cintanya kepada Allah.

Rasulullah Saw dengan sifat ke-ummi-an Beliau mengungkapkan, ‘Kalian lebih mengetahui apa-apa yang menjadi perkara duniamu’. Antum A'lamu bi-umuuri dun-yaakum.

Kita mungkin bisa memandang seorang murid itu kelihatan bodoh (menurut jangkauan pengetahuan kita) tapi kita tidak mampu mengukur kedalaman cintanya kepada Syekh-nya, kerinduan hatinya kepada Allah. Bahkan seorang Nabi pun tiada mampu mengukurnya. Sesungguhnya kebodohan di sisi Allah adalah kebodohannya dari sisi Tauhid (tidak mengenal Allah), bukan kebodohan pengetahuan lahir.

Kita tidak bisa meremehkan seseorang berdasarkan keilmuannya, karena kita tidak mampu mengukur kecintaannya kepada Allah. Itulah rahasia Allah yang tidak bisa kita ungkap.

Syekh Abu Ali ad-Daqqaq Rhm. menuturkan, ‘Suatu ketika Syu’aib menangis hingga matanya buta. Allah SWT mengembalikan penglihatannya. Dia menangis lagi sampai matanya buta kembali, dan Allah SWT mengembalikan lagi penglihatannya.

Kemudian dia menangis sampai buta, lantas Allah SWT mewahyukan, ‘Jika engkau menangis karena syurga, maka Aku pun memperkenankannya. Jika engkau menangis karena neraka, maka Aku pun telah menjadikanmu selamat darinya’. Syu’aib menjawab, ‘Bukan itu. Aku menangis karena rindu kepada-Mu!’ Lalu Allah berfirman padanya, ‘Karena itu Aku menunjuk Nabi-Ku dan Kalim-Ku (Musa) untuk melayanimu selama 10 tahun’. Inilah kerinduan.

Inilah Mahabbah yang tidak bisa dijangkau kedalamannya oleh akal. Yang hanya dapat dibeberkan dengan logika ruhani. Semua indera menjadi buta, hanya rasa cinta yang menuntun.
Saat perintah [dalam Tarekat Idrisiyyah] untuk melaksanakan kegiatan di tengah laut pertama kali (P. Untung Jawa), betapa berat menyesuaikan diri dengan instruksi tersebut bagi murid-murid yang baru bergabung dengan Syekhnya. Mereka mesti mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk diri dan keluarganya agar ikut serta beribadah bersama Syekh-nya tersebut.

Tapi cinta menghilangkan penat yang mereka rasakan. ... Akhirnya Safari Dakwah dan Dzikir tersebut menandai hikmah Tragedi Tsunami tidak melanda P. Jawa, tetapi terjadi di Aceh beberapa tahun silam. Inilah bukti lahir yang nyata. Sedangkan bukti ruhani amat subyektif jika diungkapkan.

Begitu pula kita tidak akan mengerti apabila musibah yang akan mengancam P. Jawa ini dapat dicegah dengan kehadiran seorang Awliya yang dipilih-Nya, yang menetap di tempat tersebut. Lalu apakah kita sembrono untuk segera menyimpulkan bahwa upaya penyelamatan nyawa ribuan bahkan jutaan manusia itu, kita katakan sebagai buang-buang uang dan waktu serta tidak menghasilkan apapun. Pada saat manusia-manusia tidak menggubris tindakan Syekh Mursyid ini, penghuni alam ghaib bereaksi menunjukkan simpati. Ternyata mereka lebih teliti terhadap langkah yang dilakukan seorang Pewaris Nabi.

Saat ini kita diperintahkan untuk terlibat dalam Gerakan Moral Massa berupa Karnaval Rahmatan lil Alamin. Seluruh Ruhani para Nabi dan Rasul ingin mendukung perjuangannya. Kegiatannya ditunggu oleh penghuni langit (kalau pun penduduk bumi tidak menghiraukannya). Jika petinggi-petinggi ruhani turun ke bumi, maka ruhani-ruhani kelas bawah pun berpesta menyambutnya. Tidak ada yang sia-sia dari langkah ini, karena semuanya merupakan tuntutan amanah yang Allah berikan kepada Pewarisnya.

Para malaikat akan menaungi dengan sayap-sayapnya rombongan Birokrasi Ilahiyyah ini. Jika kita diinformasikan bahwa para malaikat akan turun ke bumi, lalu menghamparkan mutiara di sepanjang perjalanan Karnaval, maka apakah kita mengernyitkan kening, dan bergumam, ‘Bagaimana mungkin?’
Kita akan menggunakan logika yang sama jika diinformasikan, ‘Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum dari bau kesturi’. Mana mungkin mulut yang bau dikatakan lebih harum dari kesturi? Inilah bahasa ruhani! Bukan bahasa lahir!

Apapun informasi ruhani seperti Lailatul Qadr, tidak akan mengubah pengalaman inderawi kita. Karena kita tidak melihat dan merasakan gegap gempita penghuni ruhani di langit turun ke bumi menyenandungkan tasbih dan dzikir. Kenyataan ruhani terkubur oleh kenyataan lahiri.

Kenyataan-kenyataan ruhani merupakan wilayah keimanan yang hanya dapat disentuh melalui dzauq (rasa) jiwa. Dan fenomena tersebut merupakan Busyra (kabar gembira) bagi para Awliya dalam kehidupan dunianya, sebagai bukti ketundukannya kepada apa yang diperintahkan.

Apa yang dibijaki oleh seorang Syekh Mursyid yang menjadi penerus Nabi Saw (sekalipun dijumpai kekurangan manusiawinya) merupakan ujian kecintaan murid kepada Gurunya. Kecintaan yang tulus tidak akan melahirkan kekecewaan dan kerugian. Al-Mar’u ma’a man Ahabb.

Seseorang akan beserta dengan orang yang ia cintai (Al-Hadits).

Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu”. (Q.S. Maryam: 25)

Dan saya katakan, “Dan goyanglah pangkal pohon kecintaan Syekh-mu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kecintaan yang manis kepadamu”.
Hanya kerinduan atau kecintaan yang membuahkan tangisan-tangisan. Dan itulah yang tampak pada beberapa majelis di Tarekat Idrisiyyah, karena luapan kegembiraan dan kedahsyatan rindu yang tidak bisa diuraikan dengan kata-kata. Dan ilmu-ilmu tidak mampu menjangkaunya. Ilmu manusia tidak cukup untuk mengukurnya. Dengan kecintaannya ia menggenggam perintah tanpa bahasa penolakan, atau diam karena ketidakberdayaan.
Seorang ahli hikmah berkata, “Diam adalah bahasa ketabahan”

“Diamnya orang awam adalah dengan mengekang lidahnya untuk tidak berbicara, sementara diamnya orang Arifin dengan mengendalikan hatinya. Sedangkan diamnya para Pencinta (Al-Muhibbin) dengan mengendalikan bersitan-bersitan hati nuraninya”.

“Manusia diciptakan hanya dengan satu lidah, namun dianugerahi dua mata dan dua telinga. Mengapa?..... Agar ia mendengar dan mau memperhatikan lebih banyak daripada berbicara”.

KITAB AL ASRAR FIL AWLIYA BAHAGIAN KETIGABELAS : Prasangka yang meremehkan


(AWAL DALAM JENJANG KEWALIAN)

Hazrat Khwaja Farīduddīn Mas'ūd Ganjshakar

Imam Qusyairi Rhm. berkata, ‘Tidak satupun zaman dalam periode Islam, melainkan selalu ada seorang Syeikh dari para tokoh Shufi ini, yang mempunyai ilmu tauhid dan kepemimpinan spiritual. Tokoh-tokoh panutan umat dari kalangan para ulama pada waktu itu benar-benar telah berpasrah diri kepada Syeikh tersebut, bertawadhu’ dan menyerap barakah darinya. Kalau saja tiada keistimewaan dan citra khususiyyah-nya niscaya akan terjadilah persoalan sebaliknya. Inilah yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal ketika bersama asy Syafi’i Ra. datanglah Syaiban ar Ra’yi’.
Ahmad bin Hanbal berkata: “Wahai Abu Abdullah , aku ingin mengingatkan orang ini akan kekurangan ilmunya, agar mau tekun meraih sebagian pengetahuan”. Maka asy Syafi’i berkata, “Jangan anda lakukan!”

Namun Ahmad tetap saja berupaya. Ahmad berkata kepada Syaiban, “Apa pendapatmu bila ada orang lupa akan shalatnya dari shalat lima waktu sehari semalam. Sementara ia tidak mengerti shalat mana yang terlupakan? Apa kewajiban bagi orang tersebut, wahai Syaiban?” Syaiban menjawab, “Wahai Ahmad, itulah hati yang lupa kepada Allah SWT. Kewajibannya ia harus belajar adab, sehingga ia tidak lupa Tuannya”. Seketika itu pula Ahmad pingsan mendengar jawaban Syaiban. Ketika sadar, as-Syafi’i berkata kepada Ahmad, “Bukankah sudah kukatakan, jangan mengganggunya! Syaiban ini orang yang buta huruf.

Apabila orang yang buta huruf (ummy) seperti dia dari kalangan mereka (kaum Shufi)) saja demikian itu, lalu bukankah betapa hebat imam-imam mereka?”
Hasan al-Bashry masuk sebuah masjid untuk shalat Maghrib. Ternyata imam masjid tersebut adalah orang ’Ajam (non Arab). Al-Bashry tidak mau shalat bermakmum di belakangnya, karena khawatir logat Ajam imam itu tidak fasih.

Ketika tidur al-Bashry bermimpi bertemu dengan seseorang yang bertanya, “Kenapa Anda tidak shalat di belakangnya? Sungguh, jika engkau shalat di belakangnya, dosamu yang telah lalu akan diampuni semua”.

Syaikh Yusuf Tajul Khalwati al Makassari dalam risalahnya yang berjudul Zubdatul Asrar menulis, Sekali-sekali saya peringatkan dengan hati-hati, peliharalah baik-baik jangan sampai timbul kekhawatiran dan keraguan untuk mengikuti Syaikhmu itu, walaupun engkau melihatnya ia berbuat sesuatu pekerjaan yang bukan mengarah pada taqarrub kepada Allah SWT.

Akhirnya, dalam hal ini dikatakan oleh Syaikh Besar dan Imam yang terkenal Muhyiddin ‘Ibnu ‘Arabi Rahimahullahu’anhu: “Andaikata engkau telah menyaksikan Syaikhmu bahwa ia berbuat yang bertentangan dengan hukum syari’at, maka jelas manusia sesudah Nabi-nabi tidak ada yang sunyi dari dosa. Adapun berdosa itu tidak menjadi syarat dan fungsi Syaikh dan tidak pula menjadi syarat bagi orang-orang ‘Arif (makrifat) terhadap Allah Ta’ala”. Telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:”Barangsiapa mengaku dirinya ma’shum (merasa bebas akan dosa) setelahku bukanlah ia dari umatku”.

Rasulullah Saw yang ma’shum saja pernah bersabda:

Yaa Allah, sesungguhnya aku adalah manusia biasa yang bisa marah sebagaimana orang lain marah. Maka jika ada orang yang aku lecehkan atau aku laknat, maka jadikanlah itu sebagai kaffarat (tebusan) dosanya”. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah, & Ahmad)

Jika Beliau Saw sebagai teladan umat mengungkapkan kekurangannya dari sisi manusiawinya, apalagi seorang Waratsatul Anbiya’ (pewarisnya). Meskipun begitu kita tidak menampakkan ketidakpercayaan kepada Beliau Saw. Beliau bahkan dianggap sebagai sosok manusia yang utama di antara manusia lainnya. Apakah kita tidak menaruh kepercayaan pula kepada petugasnya yang juga memiliki kekurangan dari sisi manusiawi? Orang yang bersahabat dengan rasa cinta tidak akan menemui kekurangan apalagi bersahabat dengan Kekasih Allah.

Dikisahkan bahwa ada seorang yang bersahabat dengan Ibrahim bin Adham. Ketika orang tersebut mau berpisah berkata, ‘Bila engkau melihat diriku ada cacat, maka ingatkanlah diriku’. Ibrahim menjawab, ‘Aku tidak pernah melihat cacatmu, karena aku melihatmu dengan mata Mahabbah, sehingga aku selalu memandangmu dengan mata pandangan qalbuku. Tanyakan saja selain diriku tentang cacatmu’.

Rasulullah Saw menyatakan: “Aku wasiatkan kalian agar bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, hendaknya kalian (mau) mendengar dan taat, meskipun budak hitam legam yang memerintahmu (menjadi pemimpinmu)” [H.R. Thabrani].

Ketakwaan diwujudkan dengan ketundukan kepada orang yang memimpin kita, walau (menurut kacamata) kita ia banyak kekurangan. Bahkan Rasulullah Saw mengisyaratkan kriteria pemimpin itu dalam keadaan yang di bawah standar keinginan kita.

KITAB AL ASRAR FIL AWLIYA BAHAGIAN KEDUABELAS : NIAT MENJADI MURID


(AWAL DALAM JENJANG KEWALIAN)

Hazrat Khwaja Farīduddīn Mas'ūd Ganjshakar

Rasulullah Saw bersabda,

Rasulullah Saw bersabda,
Sesungguhnya setiap amal (bergantung) kepada niatnya, dan setiap perkara menurut apa yang ia niatkan.....
HR. Bukhari dan Muslim dari Amar, Muwatha dari Muh. bin Hasan.

Di antara para Ahli Fiqih menyatakan bahwa hadits ini masuk dalam 30 Bab ilmu pengetahuan. Kita tidak mengetahui kedalaman niat seorang Syekh terhadap penerapan suatu kebijakan kepada murid-muridnya. Kecintaan murid kepadanya melupakan mereka untuk bertanya mengapa? Mereka telah mengutamakan menjaga perasaan Syekh dari pada ungkapan-ungkapan yang lahir dari bersitan-bersitan hatinya yang dikhawatirkan bercampur dengan syahwatnya.
Memendam pertanyaan bagi orang yang diberi pengetahuan adalah ujian yang lebih berat dari pada lainnya dalam perkara ini. Para Imamaini (pangkat kewalian setelah Sulthan Awliya) yang ada dalam Tarekat Idrisiyyah sangat teguh penjagaannya berkenaan masalah menjaga perasaan Syekh ini.

Ada sebuah kisah yang yang tidak ada pada literatur tertulis, bahwa Syekh al-Akbar Abdul Fattah Ra. Mengawali perjalanannya mengembara mencari Syekh Mursyid (dengan pijakan Q.S. Al-Kahfi: 17).

Kegigihan pencariannya itu bertahan begitu lama hingga ia ditakdirkan dapat menjumpai Syekh Mursyid yang ia cari, yakni Sidi Ahmad Syarif as-Sanusi al-Khathabi al-Hasani di Jabal Abu Qubais, Mekah al-Mukarramah.

Setelah sekian tahun ia bersama dengan Syekh-nya, kecintaannya itu melahirkan ujian-ujian yang cukup berat bagi dirinya. Di antara ujian yang terberat adalah berita-berita ruhaniyah yang sering dialaminya, khususnya perjumpaan dengan Rasulullah Saw.

Beliau Saw suatu ketika menginformasikan kepadanya bahwa Khilafah Tarekat yang dipegang oleh Syekh Ahmad Syarif ini akan dilimpahkan kepada Abdul Fattah. Kabar ini (setelah beliau mengalami beberapa kejadian) akhirnya beliau ungkapkan kepada gurunya, Sidi Ahmad Syarif. Asy-Syekh berkata, ‘Apa niatmu pertama kali datang ke sini? Ingin menjadi murid atau ingin menjadi Guru’. ‘Ingin menjadi murid ya Sayyidi!’ jawab Abdul Fattah. ‘Maka, luruskan niatmu itu!’ Gurunya menegaskan.

Dengan jawaban Gurunya tersebut Abdul Fattah tidak kecewa, bahkan apa yang membayanginya itu selalu ia buang jauh-jauh dari angan-angannya (bahasa Sunda-nya dikepret-kepret keun). Abdul Fattah senantiasa bersangka baik bahwa bukanlah perkataan itu menandakan ketidaktahuan Gurunya, melainkan bimbingan kasih sayangnya kepadanya agar perjalanannya bermakrifatullah tidak terjegal di tengah jalan.

Jawaban itu menimbulkan renungan yang mendalam dan mengakhiri kegelisahan Abdul Fattah muda yang ketika itu dipercaya menjadi Wakil Talqin bagi murid-murid baru, bahkan kerap kali menggantikan posisi Gurunya tersebut mengajar. Ia menjadi fokus, dan tiada mempedulikan berita apapun.

Inilah niat. Kita tidak mengetahui niat seseorang, apalagi kekhususan niat seorang Syekh yang dipilih-Nya yang kita andalkan dapat meluruskan niat-niat kita selama ini dalam berguru kepadanya. Yang perlu kita perbuat adalah mengosongkan niat kita dari keinginan lain, yang kita harapkan adalah menjadi murid yang tulus, yang mendapat curahan air petunjuk Allah yang lahir dari lisan dan Ahwal Syekh. Hal tersebut tidak akan diperoleh melainkan mengosongkan ‘wadah’ yang ada pada diri kita agar makanan jiwa yang masuk kepada kita begitu murni dan menyehatkan.

Inilah sejalan dengan apa yang dikatakan Syekh Abu Nashr Sarraj (Thaus al-Fuqara), yang meriwayatkan perkataan seorang Shufi besar, ‘Awal perjalanan (Bidayah) sama seperti akhir perjalanan (Nihayah). Dan begitu pula akhir perjalanan sama seperti permulaan. Maka barang siapa di akhir perjalanannya meninggalkan sesuatu yang ia lakukan (perjuangkan) seperti awal perjalanannya itu, maka sebenarnya ia telah tertipu’.

KITAB AL ASRAR FIL AWLIYA BAHAGIAN KESEBELAS : MENJAGA PERASAAN HATI SYEKH


(AWAL DALAM JENJANG KEWALIAN)

Hazrat Khwaja Farīduddīn Mas'ūd Ganjshakar

Allah SWT berfirman:

 “Musa berkata kepada Khidhir, Bolehkah aku mengikutimu agar kamu mengajarkan kepada ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu”. (Q.S. Al-Kahfi: 66)

Al-Junaid berkata, “Ketika Musa ingin berguru kepada Khidhir, beliau menjaga syarat-syarat etika. Pertama, mohon izin dalam berguru, lantas Al-Khdhir memberi syarat kepadanya agar tidak menentangnya dalam segala hal, dan tidak mengajukan protes atas keputusannya. Namun ketika Musa As mulai kontra terhadapnya, dibiarkanlah sikapnya yang pertama dan kedua. Tetapi ketika kontra untuk ketiga kalinya – dan yang ketiga merupakan batas minim dari jumlah banyak dan awal dari batas banyak – maka terjadilah perpisahan.

Khidhir berkata:
Inilah perpisahan antara aku dan antara kamu!” (Q.S. Al-Kahfi: 78)

Rasulullah Saw bersabda:

 Tiadalah orang muda yang menghormati seorang Guru (Syekh) karena usianya, melainkan Allah akan menakdirkan baginya kelak orang akan menghormati dirinya saat usianya sudah tua”. (HR. Tirmidzi)

[Berkata Imam Qusyairi]: Saya mendengar Syekh Abu Ali ad-Daqqaq Ra. Berkata, “Awal segala perpisahan adalah pertentangan. Yakni, orang yang kontra dengan Syekhnya,berarti ia tidak menetapi tarekatnya. Hubungan antara keduanya telah terputus, walaupun keduanya terkumpul dalam satu bidang tanah. Barang siapa berguru kepada salah satu Syekh, kemudian dalam hatinya ada konflik, maka janji pertalian Guru dan murid telah rusak, dan ia wajib bertobat”.
Salah satu Syekh berkata, “Menyakiti para guru, tidak ada lagi tobatnya”.

[Berkata Imam Qusyairi]: Saya mendengar Abu Abdurrahman as-Sulamy berkata, “Aku pergi ke Merw pada saat Syekh-ku, Abu Sahl ash-Shu’luky masih hidup. Sebelum aku keluar dulu, pada hari-hari Jum’at pagi selalu ada majelis Khatmul Quran. Tetapi ketika aku kembali, majelis tersebut telah tiada. Diganti dengan suatu forum diskusi yang dipimpin oleh Abul ghaffany. Kenyataan itu membuatku gelisah, dan aku berkata pada diriku sendiri, “Ini sebuah majelis Khatmul Quran telah diganti dengan majelis diskusi”. Kemudian suatu hari Syekh berkata kepadaku, “Hai Abu Abdurrahaman, apa yang diperbincangkan banyak orang tentang diriku?”

Aku katakan kepadanya, “Mereka mengatakan, majelis al-Quran al-Karim telah dihilangkan dan diganti dengan majelis diskusi”. Lantas Syekh berkata, “Siapa saja yang berkata kepada Gurunya mengapa? Maka dia tidak akan bahagia selamanya”.

Ucapan yang populer dari al-Junaid, antara lain, “Aku memasuki rumah Sary as-Saqathy pada suatu hari. Dia memerintahkan sesuatu padaku, dan aku bergegas memenuhi kebutuhannya. Maka di saat aku kembali kepadanya, ia memberikan aku secarik kertas, sembari berkata, “Inilah kedudukan pemenuhanmu atas kebutuhanku yang begitu cepat”, lalu aku kubaca pada kertas itu, ternyata di sana tertulis:
Aku mendengar orang yang berjalan di padang pasir menyanyi,
Aku menangis, dan tahukah engkau mengapa?
Aku menangis karena ketakutan
bila engkau (Syekh) memisahkan diriku
bila engkau memutuskan ikatan-ikatan hatiku
bila engkau menghindar dariku

Diriwayatkan dari Abul Hasan al-Hamadzany al-Alawy yang berkata, “Suatu malam aku berada di tempat Ja’far al-Khuldy.

Padahal waktu itu aku diperintah untuk menggantungkan burung di atas dapur. Hatiku sangat berkait dengan burung itu. Ja’far berkata kepadaku, “Bangunlah malam ini”. Aku merasa ada yang mengganjal dan aku pun pulang. Ku keluarakan burung dari dapur dan ku letakkan di sisiku. Tiba-tiba ada anjing masuk dari arah pintu. Anjing itu langsung meraih burung,di saat orang-orang yang hadir alpa. Ketika esok paginya aku datang ke Ja’far, sejenak pandang matanya tertuju padaku, dan berkata, “Siapa yang tidak menjaga perasaan hati para Syekh, ia akan dipaksa oleh anjing yang menyakitinya”.

Abdullah ar-Razy mendengar abu Utsman Said al-Hiry sedang menjelaskan sifat Muhammad ibnul Fadhl al-balkhy, dan memuji-mujinya. Tiba-tiba Abdullah sangat rindu pada al-Balkhy, kemudian pergi berziarah padanya. Namun hatinya tidak berkenan pada Muhammad bin Fadhl.

Lalu ia kembali kepada Abu Utsman, dan Abu Utsman bertanya, “Bagaimana, anda sudah menemuinya?” Abdulah menjawab, “Aku tak menemui apa-apa sebagaimana kuduga”.Lantas Abu Utsman berkata, “Karena Anda menganggapnya remeh. Dan tak ada seorang pun yang menganggap rendah seseorang, melainkan ia terhalang dari sari faedah. Kembalilah padanya dengan penuh hormat”. Abdullah pun kembali kepadanya dan banyak mengambil manfaat dari ziarahnya itu.

Syekh Abu Ali ad-Daqqaq Ra. Berkata, “Ketika penduduk Balkh mengusir Muhammad ibnul Fadhl dari daerahnya, dia mendo’akan mereka, “Ya, Allah, cegahlah kejujuran dari mereka”. Maka setelah itu tak seorang jujur pun yang muncul dari daerah Balkh.

Saya mendengar Ahmad bin Yahya al-Aiwardy Rhm. berkata, “Barang siapa Syekhnya ridha, ia tidak akn menyimpang pada saat hidupnya, dengan maksud agar rasa takzimnya kepada Syekh tersebut hilang. Apabila Syekh telah meninggal dunia, Allah SWT akan menampakkan balasan ridhanya Syekh kepadanya. Namun,barang siapa membuat hati Syekh-nya berubah, maka ia tidak akan menyimpang pada zaman Syekh tersebut hidup, karena ia tak ingin membelenggunya. Mereka senantiasa memiliki karakter untuk menghormati. Apabila Syekh tersebut meninggal dunia, maka pada saat itulah muncul suatu penyimpangan sepeninggalnya”.

KITAB AL ASRAR FIL AWLIYA BAHAGIAN KESEPULUH : Fadhilah (keutamaan) BerTasawuf

(AWAL DALAM JENJANG KEWALIAN)
Hazrat Khwaja Farīduddīn Mas'ūd Ganjshakar
Sayyidi Syaikh Abdul Wahhab as Sya’rani Rhm bercerita: “Aku melihat Nabi SAW di dalam tidurku, maka aku berkata: ‘Ya Rasulullah! Bahwasanya hamba sekarang ini seperti kanak-kanak yang baru belajar Ilmu Tasawuf”.

Maka sabda Nabi SAW: “Baca (perhatikan) olehmu akan perkataan kaum Ahlus shufi itu, maka bahwasanya orang yang mubtadi (pemula) yang baru belajar Ilmu Tasawuf itu, yaitu Wali Allah. Adapun orang yang berilmu Tasawuf ini, maka yaitu seperti bintang yang tiada dapat dihinggakan akan dia (ketinggiannya)”.

Imam al Ghazali menukil dalam kitab Ihya’nya daripada perkataan sebagian ‘Arifin:

“Barang siapa yang tiada mengetahui bagian-bagian dari Ilmu kaum Shufi dikhawatirkan mati dalam keadaan Su-ul Khatimah dan sekurang-kurangnya bagian itu adalah membenarkan (Tashdiq) dan berserah diri terhadap ahlinya (Taslim)”.

Syaikh Junaid al Baghdadi Rhm berkata:

 “Orang yang membenarkan Ilmu kami ini (yakni Ilmu Tasawuf ini adalah termasuk daripada Wali Allah yang kecil”.

Syaikh Abu Yazid al Busthami Qs. Berkata:

“Jika engkau melihat seseorang berhusnuz-zhan dengan perkataan Ahli Thariqah ini (Shufi), maka katakanlah agar engkau dido’akan, karena sesungguhnya ia menjadi mustajab do’anya”.

Ruwaim Rhm berkata:

“Barang siapa mempercayai perkataan kami ini (Ahli Shufi) ini meskipun ia berada di belakang 70 hijab (dinding), maka sesungguhnya ia termasuk daripada Ahlinya”.

Syaikh Zakaria Khandalawi dalam kitab Fadhilah Tabligh-nya mengemukakan beberapa keterangan hadits:
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Luqman al Hakim berkata kepada anaknya: '‘Wahai anakku, hendaknya engkau menyertai para Ulama dan dengarkan ucapan-ucapan ahli, karena sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana Dia menghidupkan tanah yang mati dengan air hujan”.

 Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW: “Siapakah sahabat yang paling baik bagi kami?” Jawabnya: “Seseorang yang apabila kamu melihatnya,
 kamu akan teringat kepada Allah. Apabila kamu mendengar pembicaraannya, pengetahuanmu mengenai Islam akan bertambah. Dan apabila kamu melihat kelakuannya, kamu akan teringat hari kiamat”.
 Dalam hadits lain disebutkan bahwa hamba Allah yang terbaik adalah orang yang apabila kamu melihatnya, kamu akan teringat kepada Allah, Allah SWT berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama Shiddiqin (orang-orang yang benar)”. (At Taubah: 119)

Para ahli tafsir telah menafsirkan bahwa orang-orang Shiddiqin dalam ayat ini maksudnya adalah para Ulama Ahli Shufi dan para kekasih Allah (Awliya). Karena barang siapa berdekatan dengan mereka dan berkhidmah kepada mereka, akan mendapatkan tarbiyah dan kekuatan iman.

Dan masih banyak lagi keutamaan orang-orang yang menjalani Ilmu Tasawuf itu, yang tak dapat diuraikan di sini, dan mencukupilah kiranya apabila kita lihat uraian imam al Ghazali dalam kitab-kitabnya.
(Hikayat)

Syaikh Abdul Wahhab as Sya’rani di dalam kitabnya Madarijus Salikin mengisahkan suatu suatu peristiwa yang terjadi pada diri Syaikh Junaid Rhm, bahwa suatu jama’ah yang menuntut ilmu di Baghdad meninggalkan Guru fiqihnya, dan bergabung duduk bersama dalam halaqah Sufi al Junaid, sehingga membuat marah gurunya itu, sampai-sampai menghina dengan kata-katanya atas golongan Shufi. Maka disuruhlah gurunya itu untuk datang kepada al Junaid.

Maka berkatalah al Junaid kepada guru tersebut: “Wahai saudaraku, jika seorang hamba yang ingin bermaksud bertemu dengan kekasihnya memiliki 2 pilihan, ada yang sampai kepada kekasihnya dengan perjalanan kira-kira 30 tahun lamanya dan pilihan lainnya sampai kepada kekasihnya itu dengan waktu singkat kira-kira setahun lamanya. Maka manakah yang anda pilih?” Guru syariat itu berkata: “Tentu aku memilih jalan yang paling dekat dan cepat”. Berkata al Junaid: “Benar”. Lalu berkata guru tersebut: “Thariqah (jalan) kami adalah jalan yang paling dekat kepada Hadhrat Allah Ta’ala Al Haqq daripada thariqah (jalan)mu”. Maka berkatalah al Junaid: “Jalan dzikir kepada Allah itu lebih dekat/ mudah sampai kepada Allah daripada jalan mengetahui hukum-hukumNya, dikarenakan jalan syariat itu berhubungan dengan makhluk, sedangkan ‘jalan’ dengan dzikrullah itu berhubungan langsung dengan Allah Ta’ala Al Haqq”.

Guru syariat itu akhirnya berkata: “Apakah bukti kebenaran ucapan kamu itu?” Maka seru al Junaid kepada yang hadir: “Ambillah batu ini dan lemparlah kepada orang-orang Sufi yang faqir yang sedang berdzikir”. Maka ketika dilempar, berteriaklah mereka disertai ucapan ‘Allah, Allah’, dikarenakan asyiknya akan dzikrullah. Kemudian al Junaid memerintahkan mengambil batu yang lain untuk dilempar ke tengah-tengah jama’ah fuqaha. Dan ketika dilempari batu itu, maka terlihatlah jama’ah itu marah semuanya sambil berkata: ‘Tidak boleh engkau melakukan pelemparan seperti tadi, perbuatanmu itu haram!’

Menyaksikan perbedaan mencolok tadi, akhirnya sang guru syariat mengakui keunggulan dan kebenaran al Junaid: ‘Aku mohon ampun kepada Allah atas apa-apa yang menyalahi akan engkau, sekarang benarlah perbuatanmu tadi’. Lalu ia menjadi sahabat al Junaid dan mengambil thariqah daripada al Junaid, sampai ia menjadi sahabatnya yang paling dekat.

************
Imam Qusyairi mengatakan: “Manusia adakalanya terpukau pada ayat dan hadits, adakalanya cenderung pada penggunaan akal dan pikirannya. Bagi manusia pada umumnya, sesuatu yang tampak ghaib bagi mereka menjadi tampak jelas bagi kalangan Shufi. Bagi khalayak, pengetahuan merupakan tumpuan, namun bagi kalangan Shufi pengetahuan itu didapat dari Al Maujud, Allah Al Haq. Mereka adalah sekumpulan hamba yang senantiasa berjumpa dengan Allah SWT (Ahlul Wishal), sementara manusia pada umumnya berpihak pada pencarian bukti (Ahlul Istidlal). Para Shufi itu adalah sebagaimana yang diungkapkan penyair:

Malamku, bersama WajahMu, cemerlang
Sedang kegelapan menyelimuti manusia
Manusia dalam kegelapan yang gulita
Sedang kami dalam cahaya siang benderang.

Tidak satupun zaman dalam periode Islam, melainkan selalu ada seorang Syeikh dari para tokoh Shufi ini, yang mempunyai ilmu tauhid dan kepimpinan spiritual. Tokoh-tokoh panutan umat dari kalangan para ulama pada waktu itu benar-benar telah berpasrah diri kepada Syeikh tersebut, bertawadhu’ dan menyerap barakah darinya. Kalau saja tiada keistimewaan dan citra khususiyyahnya niscaya akan terjadilah persoalan sebaliknya. Inilah yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal ketika bersama asy Syafi’i Ra. Datanglah Syaiban ar Ra’yi.

Ahmad bin Hanbal berkata: “Wahai Abu Abdullah , aku ingin mengingatkan orang ini akan kekurangan ilmunya, agar mau tekun meraih sebagian pengetahuan”. Maka asy Syafi’i berkata, “Jangan anda lakukan!” Namun Ahmad tetap saja berupaya. Ahmad berkata kepada Syaiban, “Apa pendapatmu bila ada orang lupa akan shalatnya dari shalat lima waktu sehari semalam. Sementara ia tidak mengerti shalat mana yang terlupakan? Apa kewajiban bagi orang tersebut, wahai Syaiban?” Syaiban menjawab, “Wahai Ahmad, itulah hati yang lupa kepada Allah SWT. Kewajibannya ia harus belajar adab, sehingga ia tidak lupa Tuannya”. Seketika itu pula Ahmad pingsan mendengar jawaban Syaiban. Ketika sadar, as Syafi’i berkata kepada Ahmad, “Bukankah sudah kukatakan, jangan mengganggunya! Syaiban ini orang yang buta huruf. Apabila orang yang buta huruf seperti dia dari kalangan mereka (kaum Shufi)) saja demikian itu, lalu bukankah betapa hebat imam-imam mereka?”

************
Dikisahkan bahwa Ahmad bin Hanbal sangat sering mengunjungi Bisyr Harits al Hafi. Ia begitu mempercayai kata-kata Bisyr sehingga murid-muridnya pernah mencela sikapnya itu.

“Pada saat ini tidak ada orang yang menandingimu di bidang hadits, hukum, teologi, dan setiap cabang ilmu pengetahuan, tetapi saat engkau menemani seorang berandal. Pantaskah perbuatanmu itu?”
“Mengenai setiap bidang yang kalian sebutkan tadi, aku memang lebih ahli daripada Bisyr”, jawab Ahmad bin Hambal, “Tetapi mengenai Allah ia lebih ahli daripadaku”.

************
Diriwayatkan bahwa ada seorang ahli fiqih dari kalangan Fuqaha besar mempunyai majelis halaqah yang berdekatan dengan halaqah Dulaf asy Syibli di Masjid al Manshur. Faqih besar itu dipanggil dengan nama Abu Amran, yang meremehkan halaqah dan ucapan-ucapan asy Syibli. Suatu hari para murid Abu Amran bertanya kepada asy Syibli tentang masalah haid, dengan tendensi (maksud) ingin mempermalukannya.

Asy Syibli menjawab dengan berbagai pandangan ulama mengenai masalah tersebut serta menyebutkan soal khilafiyah dalam masalah haid. Abu Amran langsung berdiri, mencium kepala asy Syibli sambil berkata, “Wahai Abu Bakar , engkau telah menyerap sepuluh pandangan tentang masalah haid yang belum pernah aku dengar sama sekali. Sedangkan yang kuketahui hanya tiga pandangan saja”.

Dikatakan, “Abul Abbas Suraij adalah seorang ulama fiqih yang pernah menghadiri majelis al Junaid Ra. Dan mendengarkan penuturannya. Kemudian Abul Abbas ditanya, “Apa pendapatmu tentang ucapan itu?” Ia menjawab, “Aku tidak mengerti apa yang diucapkan al Junaid. Namun aku tahu ucapan itu merupakan lompatan, yang bukan tergolong lompatan kebatilan”.
Dikatakan kepada Abdullah bin Sa’id bin Kilab, Anda berbicara pandangan masing-masing ulama. Lalu di sana ada seorang tokoh yang dipanggil dengan nama al Junaid. Lihatlah, apakah anda kontra atau tidak?” Abdullah lalu menghadiri majelis al Junaid. Ia bertanya kepada al Junaid tentang tauhid, lalu Junaid menjawabnya. Namun Abdullah kebingungan. Lantas kembali bertanya kepada al Junaid, “Tolong anda ulang ucapan tadi bagiku!”

Al Junaid mengulangi, namun dengan ungkapan yang lain. Abdullah lalu berkata, “Wah, ini lain lagi, aku tidak mampu menghafalnya. Tolonglah anda ulangi sekali lagi!” Lantas al Junaid pun mengulanginya, tetapi dengan ungkapan yang lain lagi. Abdullah berkata, “Tidak mungkin bagiku memahami apa yang anda ucapkan. Tolonglah anda uraikan untuk kami!” Al Junaid menjawab, “Kalau anda memperkenankannya, aku akan menguraikannya”. Setelah dijelaskan dengan uraian panjang lebar, lalu Abdullah berdiri, dan berkata akan keutamaan al Junaid beserta keunggulan moralnya. “Apabila prinsip-prinsip kaum Shufi merupakan prinsip yang paling shahih, dan para Syeikhnya merupakan tokoh besar manusia, ulamanya adalah yang paling alim di antara manusia.

Bagi para murid yang tunduk kepadanya, jika sang murid itu termasuk ahli salik dan penempuh tujuan mereka, maka para Syeikh inilah yang menjaga apa yang teristimewa, berupa terbukanya keghaiban. Karenanya, tidak dibutuhkan lagi bergaul (terkait) dengan orang yang ada di luar golongan ini. Bila ingin mengikuti jalan Sunnah, sementara dirinya tidak sanggup untuk mandiri dalam hujjah, lalu ingin menahapi wilayah bertaklid agar bisa sampai pada kebenaran, hendaknya ia bertaklid kepada Ulama salafnya. Dan hendaknya melintasi jalan generasi Shufi ini, sebab mereka lebih utama dari yang lain”.
Al Junaid berkata, “Jika anda mengetahui bahwa Allah memiliki ilmu di bawah atap langit ini yang lebih mulia daripada ilmu Tasawuf, di mana kita berbicara di dalamnya dengan sahabat-sahabat dan teman kita, tentu aku akan berjalan dan mencari ilmu tadi”.

************
Adapun tujuan utama mendalami Tasawuf adalah untuk mencapai Ma’rifatullah yang sebenar-benarnya (hakiki), dan faedahnya sampai kepada Allah Ta’ala dengan tersingkapnya hijab (dinding) yang membatasi dirinya yang dhaif dengan Allah Yang Quddus. Jadi bisa dikatakan bahwa tujuan terakhir dan utama dari semua pelaksanaan ibadah seorang hamba adalah mengenal Tuhan yang sebenar-benarnya yang dikatakan sebagai Makrifatullah.

Dan dengan mempelajari ilmu Tasawuf itulah merupakan kunci mengenal Allah melalui pengenalan dirinya yang dhaif lagi faqir.

Adapun jalan untuk bermakrifat itu ada 2 cara:
1. Mulazamatudz Dzikri, terus menerus berada dalam dzikir (ingat) akan Alah Ta’ala.
2. Mukhalafa, yakni terus menerus menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat melupakan Allah Ta’ala.

Sebagian ahli Tasawuf berkata: “Permulaan Tasawuf adalah ilmu pengetahuan, pertengahannya kekal mengerjakan ibadah dan akhirnya adalah mauhibiyyah, yaitu turunnya pemberian/ karunia Allah”.
Maka ilmu pengetahuan itu untuk membukakan kehendak. Amal ibadah menolong segala apa yang dimaksud. Dan pemberian (anugerah Allah) menyampaikan kepada apa yang dicita-citakan.
Nama-nama lain ilmu Tasawuf itu antara lain: ilmu Batin, ilmu Qalbi (hati), ilmu Laduni, ilmu Mukasyafah, ilmu Asrar, ilmu Maknun, ilmu Hakikat, dan lain-lain.