Catatan Popular

Khamis, 17 Januari 2019

HIKAM ATHAILLAH SYARAH SYEIKH FATHUR KE 37 : Allah Maha Esa pada dzat-Nya, SIFATNYA DAN PERBUATANNYA


Kalam hikmah ke-37 dari Al-imam Ibnu Athoillah Askandari adalah dalam masalah itu yaitu

“Allah Maha Esa dan Tidak Ada Sesuatu Serta-Nya.”

A. Allah Maha Esa pada dzat-Nya.
Allah Maha Esa dalam arti benar – benar tunggal, tidak mempunyai anak, tidak ber ayah ibu. Bila Allah mempunyai anak ataupun ber ayah-ibu , maka dia adalah Tuhan yang lemah. Karena sedikit banyak, dia terpengaruh oleh anaknya atau ayah-ibunya. 
Sedangkan Tuhan itu harus benar-benar merdeka dari pengaruh apapun. Tuhan yang jumlahnya  1 akan menghasilkan kekacauan atau menunjukkan kelemahan dari tiap-tiap Tuhan itu. Tuhan yang bernama Douglas akan berbuat A, sedangkan Tuhan yang bernama Amir tidak setuju dengan A, tetapi ingin B. Maka akan terjadilah kekacauan. Atau Tuhan Douglas hanya mampu untuk menciptakan, sedangkan untuk merusak sesuatu dia tidak mampu, itu harus dilakukan oleh Tuhan yang bernama Amir. Sehingga tiap-tiap Tuhan mempunyai kekuatan dan kelemahan sendiri. Tuhan yang seperti itu ditolak oleh akal pikiran sehat. Begitu juga tertolak, apabila Tuhan terdiri dari unsur-unsur. Tuhan yang Maha Esa itu (Z) dikatakan terdiri dari unsur A, B dan C. Dimana setiap unsur adalah Tuhan juga. Tetapi mereka menolak akan adanya 3 Tuhan, yang ada adalah satu Tuhan (Tuhan yang bernama Z).
Masalahnya adalah apabila Tuhan Z tercipta dari unsur-unsur Tuhan A, B dan C maka siapakah yang menciptakan unsur-unsur itu? Mengatakan Tuhan Z adalah seperti 3 sisi segitiga dimana semuanya membentuk satu segitiga, juga tidaklah tepat. Karena satu sisi dari segitiga tidak dapat dikatakan sebagai segitiga. Tetapi pada masalah ketuhanan, mereka mengatakan bahwa unsur A,, B dan C adalah Tuhan juga. Dengan pola pikir itu, seharusnya mereka konsisten dengan mengatakan bahwa satu sisi dari segitiga adalah segitiga juga. Dengan contoh itu, adalah tidak mungkin bahwa Tuhan yang Maha Esa itu terdiri dari unsur-unsur.
Karena semuanya terjadi secara bersamaan. Bukan unsur-unsur dulu baru tercipta Tuhan. Manusia terdiri dari unsur-unsur darah, saraf, tulang dan organ-organ.Dengan unsur-unsur itu, maka barulah disebut manusia. Tuhan tidaklah seperti itu. Dialah yang menciptakan unsur-unsur bukan Dia yang tercipta dari unsur-unsur. Begitu juga dengan mengatakan bahwa Tuhan Z itu waktu di sawah bernama Tuhan A. Waktu di kantor Kecamatan bernama Tuhan B dan waktu bersama istrinya bernama Tuhan C. Tetapi bukan ada 3 Tuhan yaitu A, B dan C tetapi yang ada adalah satu Tuhan yang Maha Esa yaitu Tuhan Z. Menyatakan yang demikian juga tidak tepat. Karena itu adalah objek pekerjaan. Objek pekerjaan, bisa ditambah lagi dengan misalnya Tuhan Z itu menjadi Tuhan D oleh karena dia juga seorang makelar tanah. Atau menjadi Tuhan E karena dia juga mempunyai showroom mobil tempat dia menjual dan membeli mobil. Jadi kesimpulannya objek pekerjaan dari Tuhan yang Maha Esa tidak dapat dikatakan sebagai Tuhan.
B. Maha Esa Tuhan dengan sifat-Nya
Allah melihat, mendengar, maka mendengar dan melihat dari Allah tidaklah ada yang dapat menyamai-Nya atau serupa denganNya. Begitu juga dengan sifat Allah bahwa dia berkuasa, berkehendak, berilmu, dsb tidaklah ada yang menyerupai – Nya ataupun serupa dengan-Nya
C. Allah Maha Esa dengan perbuatan Nya.
Artinya apapun yang terjadi di alam semesta ini adalah karena perbuatan Allah ataupun izin Allah. Jadi bukan perbuatan Manusia lah yang menyebabkan segala sesuatunya terjadi. Bergerak manusia, bernafas, berbicara, menulis, dsb bukanlah karena kemampuan manusia itu melakukannya. Tetapi adanya izin Allah sehingga seluruh kehendak manusia tersebut dapat terjadi. Jadi manusia hanya bebas berkehendak (free will). Apa yang akan terjadi? Terserah Allooh. Alloohpun tidak terikat dengan segala hukum fisika yang diciptakan-Nya.  Bukan api itu yang membakar, bukan makan itu yang mengenyangkan, bukan pisau itu yang memutuskan, dsb tetapi izin Allah lah  sehingga segala sesuatu itu dapat terjadi. 
Pengertian seperti itu sesuai dengan firmanNya dalam Al Qur’an yg menyatakan bahwa tidak ada yang basah ataupun yang kering, tidak ada satupun   daun yang jatuh ke bumi, kecuali telah Dia tulis pada suatu kitab. Terserah Dialah segala sesuatunya, apakah Dia akan menghapus tulisan itu atau tidak .  Manusia hanya dapat berkehendak dan kemudian berusaha untuk mencapai kehendak itu. . Terserah pada Allooh sajalah, apakah kehendak itu dapat menjadi keberhasilan ataukah tidak.  Al-an’am ayat 59, Ar-Rad ayat 39.
Kesimpulan: Mutlak bahwa zat Allooh haruslah Maha Esa dalam zat-Nya,  sifat-Nya dan perbuatan – Nya.  Maha Esa dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Dan untuk mencapai keyakinan itu mutlak untuk menggunakan logika atau akal pikiran. Tanpa akal pikiran pengertian bahwa Allooh adalah Tuhan yang Maha Esa pada zat-Nya, sifat-Nya dan perbuatan – Nya dalam arti yang sebenar-benarnya tidaklah akan tercapai. Manusia tanpa akal pikiran sederajat dengan hewan. Dengan dasar hanya Islamlah yang sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.

HIKAM ATHAILLAH SYARAH SYEIKH SYEIKH ZUHUD HIKAM 37 : Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR Bukhari)
Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata “Allah ada dan belum ada tempat dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula ada tanpa tempat”

Menurut Kalam Hikmah ke 37 Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary berkata:
“Allah ada, dan tiada sesuatu besertaNya. Dia kini adalah tetap sebagaimana adanya”

Rasulullah bersabda
“Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertaiNya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu”.
Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut (istilah Ama` adalah), (Allah ada) tanpa sesuatu apapun yang menyertaiNya (termasuk tempat)
Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi,)
Al-Imam al Baihaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata :
“Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wasallam
“Ya Allah, Engkaulah, Azh-Zhahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bathin, tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya)
Rasulullah bersabda:
“Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (HR. al Bukhari, al Baihaqi dan Ibn al Jarud)
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
 “Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu”
Imam asy-Syafi’i berkata: “Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Berdasarkan riwayat dan penjelasan para ulama terdahulu di atas maka dapat kita simpulkan bahwa
“Allah Ta’ala ada tanpa sesuatu apapun yang bersamaNya (menyertaiNya) dan Allah Ta’ala sekarang adalah tetap sebagaimana adanya atau seperti semula (ada tanpa tempat)”
Kesimpulan tersebut sesuai dengan firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir” (QS Al Hadiid [57]:3)
Jadi Allah Ta’ala tidak berubah !!! dan mustahil disifatkan berubah (huduts)
Allah Ta’ala ada sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya.
Allah Ta’ala ada sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan ciptaanNya.
Allah Ta’ala ada sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ’Arsy
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :“Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya (sifat qadim), sebagaimana Dia ada sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. [Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2].
Al-Imam al-Qurthubi menuliskan: “Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an,)
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)
Oleh karenanya para ulama terdahulu mengatakan bahwa
Allah Ta’ala maujud bilaa makan (Allah ada tanpa tempat dan arah).
Allah Ta’ala suci dari enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang). Allah Ta’ala dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak.
Dalam perkara aqidah atau i’tiqad mereka ngeyel atau keukeuh (bersikukuh) menempatkan Tuhan mereka di langit atau di atas arsy , salah satunya akibat mereka berpegang pada hadits riwayat Imam Muslim dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami.
Hadits yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami adalah hadits panjang yang terdiri dari beberapa bagian.
Imam Muslim tidak meletakkan hadits tersebut pada bab aqidah atau keimanan karena hal pokok yang shahih dan tidak diperselisihkan adalah pada bagian sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.”
Sedangkan pada bagian kisah budak Jariyah, Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami meriwayatkan pertanyaan Rasulullah adalah “di mana Allah” namun jalur yang lain meriwayatkan pertanyaan Rasulullah adalah “Siapakah Tuhanmu” lalu kemudian budak perempuan tersebut berisyarat dengan telunjuknya ke arah langit dan sebagaimana yang dikatakan oleh hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali bahwa budak itu adalah seorang yang bisu dan ia tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan ketinggian Allah Yang Maha Kamal kecuali dengan menggunakan bahasa isyarat menunjuk langit.
Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami meriwayatkan hadits tidak dengan matan (redaksi) asli sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, ia meriwayatkannya dengan ma’nan (hanya kandungan maknanya saja).
Jadi pertanyaan “di mana Allah” adalah matan (redaksi) dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami secara pribadi berdasarkan penyaksiannya terhadap percakapan secara isyarat sehingga ia terjatuh dalam kesalahan yang dapat pula dipengaruhi oleh keadaannya yang baru masuk Islam sebagaimana yang disampaikan
Hal ini dapat diketahui dari pernyataan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami, “Wahai Rasul shallallahu alaihi wasallam sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang Islam”
Ahli hadits seperti Imam Muslim pada umumnya menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya kemudian mengumpulkan, meneliti dan menyampaikan dalam kitab-kitab hadits atau menyusunnya berdasarkan nama perawi sehingga menjadi kitab-kitab musnad atau menyusunnya berdasarkan klasifikasi masalah sehingga menjadi kitab-kitab sunan.
Sedangkan yang berhak menganalisa, menilai dan memaknai matan (redaksi) hadits adalah para fuqaha (ahli fiqih)
Para fuqaha (ahli fiqih) berpendapat bahwa matan (redaksi) hadits yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami khususnya pada bagian kisah budak Jariyah adalah hadits mudhtharib, hadits kacau (guncang) matan (redaksinya) dan salah satu alasannya adalah bahwa pertanyaan “Di mana” tidak boleh ditujukan kepada Allah Ta’ala.
Imam sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata,
“Sesungguhnya yang menciptakan aina (tempat) tidak boleh dikatakan baginya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan baginya bagaimana” (diriwayatkan oleh Abu Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din)

Ibnu Hajar al Asqallani dalam Fathu al Bari-nya:“Karena sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan Dzat-Nya: Di mana?.”
Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan: “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.
Begitupula pertanyaan “Di mana Allah” melanggar larangan Rasulullah untuk memikirkan atau menanyakan Dzat Allah
Rasulullah bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat Allah“.
Jadi berdasarkan hadits tersebut dapat kita ketahui bahwa sunnah Rasulullah untuk meyakini keberadaan Allah adalah dengan memikirkan nikmat-nikmat yang telah diberikanNya atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Azza wa Jalla.
Oleh karenanya ungkapan-ungkapan seperti,
“Allah wujud (ada) di mana mana”
atau
“apa yang terlihat di mana mana adalah wujud (keberadaan) Allah” bukan berarti Allah Ta’ala bertempat di mana mana namun maknanya adalah bahwa kita bisa mengetahui dan meyakini keberadaan dan kebesaran Allah Ta’ala serta mengenal Allah (makrifatullah) adalah dengan memperhatikan alam dan isinya atau semua yang terlihat oleh mata yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya atau disebut juga ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat yang meliputi segala macam ciptaan Allah,baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos).
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53)
“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS Yunus [10] : 101).
Para fuqaha (ahli) fiqih telah sepakat bahwa budak Jariyah berisyarat menunjuk langit adalah untuk tujuan mengagungkan
Ibn Al Jawzi berkata “Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Para ulama (Ahlussunnah Wal Jama’ah) telah menetapkan bahwa Allah tidak diliputi oleh langit dan bumi serta tidak diselimuti oleh segala arah. Adapun bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan mengatakan di arah langit adalah untuk tujuan mengagungkan.
Imam Syafi’i rahimahullah tentang hadits Jariyah berkata : “Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan nya (hadits jariyah), dan seandainya shahih Hadits tersebut, maka adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya, karena bahwa dia (hamba) dan kawan- kawannya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanannya,maka Nabi bertanya : “Dimana Allah ?” sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam, maka manakala ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi, atau Nabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datang dalam Al-Quran”.
Begitupula Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan untuk menanyakan kedudukan atau derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah sangat tinggi).
Mereka yang merasa atau mengaku mengikuti Salaf namun pada kenyataannya mereka adalah penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan sebelumnya
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah (W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis)
Berikut kutipan tulisan ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dari tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah) sebagaimana contoh yang termuat

**** awal kutipan ****

Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’ di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara akal kita terbatas untuk melliputi ilmu Allah Ta’ala”
**** akhir kutipan ****
Pemahaman “tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” tentu bukanlah pemahaman para Sahabat atau Salafush Sholeh namun pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat ketika beliau membaca dan menjelaskan hadits shahih berikut
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)
Berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah tersebut, mereka mengatakan bahwa walaupun Tuhan mereka berada atau bertempat atau menetap tinggi atau bahkan melayang tinggi di atas ‘Arsy (karena menafikan menempel di atas ‘Arsy) dan setiap sepertiga malam terakhir turun ke langit dunia namun ‘Arsy tidak kosong sebagaimana yang telah disampaikan
Tidak ada satupun ulama yang mengaitkan hadits nuzul dengan syubhat tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala
Jumhur ulama telah sepakat bahwa hadits nuzul dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya pada saat itu. Oleh karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah.
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.
Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat sebagaimana yang dipubllikasikan

Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****

Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.
3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”

***** akhir kutipan ******
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah.
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata: “Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara (berfirman) dengan huruf dan suara”.
7. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
8. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.
9. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam Rasulullah.
Fawq dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan.
Contoh, bila dikatakan dalam bahasa Arab: “al-Khalifah Fawq as-Sulthan wa as-Sulthan Fawq al-Amir”, maka artinya: “Khalifah lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau bila dikatakan: “Jalasa Fulan Fawq Fulan”, maka artinya: “Si fulan yang pertama kedudukannya di atas si fulan yang kedua”, atau bila dikatakan: “al-‘Ilmu Fawq al-‘Amal” maka artinya: “Ilmu kedudukannya di atas amal”.
Contoh makna ini dalam firman Allah: “Wa Rafa’na Ba’dlahum Fawqa Ba’dlin Darajat” (QS. Az-Zukhruf: 32), artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya berada di atas pundak sebagian yang lain.
Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan para pengikut Fir’aun: “Wa Inna Fawqahum Qahirun” (QS. Al-A’raf: 127).
Yang dimaksud ayat ini adalah bahwa para pengikut yang setia kepada Fir’aun -merasa- menguasai dan lebih tinggi kedudukannya di atas Bani Isra’il. Makna ayat ini sama sekali bukan berarti para pengikut Fir’aun tersebut berada di atas pundak-pundak atau di atas punggung-punggung Bani Isra’il”
Al-Imam Badruddin ibn Jama’ah berkata “فوق ” , “fawq” bukanlah dalam pengertian tempat karena adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu yang batil, maka pemaknaan fawq pada hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya, Maha Menguasai dan Maha Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala , wa huwa al-qaahiru fawqa ‘ibaadihi
Jika yang dimaksud fawq dalam pengertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan indikasi kemuliaan dan keistimewaan karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya – Apakah itu menunjukan bahwa pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri ?
Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang disangkakan oleh orang awam karena ulama Hanbali Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi membuat kitab khusus berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaff at-tanzih untuk membersihkan atau meluruskan dan menjelaskan kesesatan tiga ulama yang semula bermazhab dengan Imam Ahmad bin Hambal yang kemudian menjadi imam firqah atau kaum mujassimah akibat pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Dalam kitab tersebut, Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi dalam penjelasan firman Allah: “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa ‘Ibadih” (QS. Al-An’am: 18), menuliskan sebagai berikut:

Mereka lupa bahwa pengertian “fawq”, “
فوق ” dalam makna indrawi (makna dzahir) hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja.
Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “علوّ المرتبة ”; “derajat yang tinggi”.
Padahal dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan: “فلان فوق فلان ”; artinya; “derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas pundak si fulan (B).

Jumhur ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa istawa (bersemayam), fiis samaa-i (di langit), al-‘uluw (tinggi) , ‘ala (tinggi) , fawq (di atas) jangan dimaknai dengan makna dzahir dalam pengertian arah atau tempat namun dimaknai dalam pengertian ketinggian kekuasaan, derajat, keagungan dan kemuliaan-Nya.
Dalam kitab-kitab terjemahan Al Qur’an, para mufassir (ahli tafsir) menterjemahkan arti kata Istawa adalah bersemayam bukanlah kekeliruan karena kata bersemayam mempunyai dua makna yakni makna dzahir dan makna majaz (makna kiasan).
Kita harus dapat membedakan antara arti dengan makna.
Makna yang mendekati kata Istawa adalah makna kata bersemayam dalam makna majaz (makna kiasan) atau makna yang tersirat (makna di balik yang tertulis) terkait dengan hati yakni menguasai hati.
Contohnya “sudah lama dendam itu bersemayam di hatinya” atau “cinta bersemayam di hatinya”.
”Bersemayam di hatinya” dapat dimaknai dengan “menguasai hatinya”
Jika hal buruk bersemayam di hati atau menguasai hati maka akan buruk pula tingkah lakunya sebaliknya jika hal baik bersemayam di hati atau menguasai hati maka akan baik pula tingkah lakunya.
Hati adalah inti dan pusat kendali seluruh gerak dan aktivitas . Bersih dan kotornya hati seseorang akan segera berdampak pada perilaku dan perbuatannya
Rasulullah bersabda “Ketahuilah kamu di dalam badan manusia terdapat segumpal darah. Apabila baik maka baiklah keseluruhan segala perbuatannya dan apabila buruk maka buruklah keseluruhan tingkah lakunya. Ketahuilah kamu bahwa ia adalah hati”.
Al-Qushayri dalam Lata’if al-Isharat, telah menyebutkan : Adapun mengenai singgasana Qalbu, “Kami angkut mereka di daratan dan di lautan” . telah disimpulkan pula bahwasanya : “Dia (Allah) Yang Maha Rahman menetapkan Dirinya sendiri atasnya (`alayhi istawa); sedang mengenai arsy di hati: Yang Maha Rahman menguasainya (`alayhi istawla). Arsy di langit adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk, sedang arsy di hati adalah tempat melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi. Sehingga, ada ada perbedaan besar antara kedua arsy itu” (Lata’if al-Isharat jilid 4 hal:118)”
Para ulama terdahulu membolehkan memaknai istawa dengan makna majaz (makna kiasan) seperti istawla (menguasai) karena tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh.
Contohnya Imam al-Hafizh al-Lughawiy Muhammad Murtadla az-Zabidi al Hanafi (w 1205 H) dalam kitabnya, Ithaf as-Sadah al-Muttaqîn menyebutkan bahwa seorang yang menafsirkan Istawa dengan Istawla tidak berbuat kesalahan apapun dan tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh. Menurut Imam az-Zabidi penafsiran semacam ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan keagungan Allah.
Ibn Battal mengatakan, “pengartian pengaturan dan kekuasaan”, “menguasai” dan “penaklukan” tidak dianggap berlawanan dengan Sang Pencipta (Al-Khalik) sebagaimana “Zahir”, “Qahhar”, “ghalib”atau “Qahir”, tidak dianggap berlawanan atas bagian zat lainnya. Hal ini diperkuat oleh ayat, “Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi (Al-Qahir) atas semua hamba-Nya” (6:18, 6:61) dan “ Allah berkuasa (Al-Ghalib) terhadap urusan-Nya” (12:21).
Dalam Shubah al-Tashbih hal:23 , Ibn al Jawzi juga membolehkan menafsirkan istiwa sebagai “al-qahr”, menguasai.
Para ulama terdahulu telah melarang jika kata istawa yang artinya bersemayam dimaknai dengan makna dzahir seperti istaqarra yakni berada, bertempat, menetap tinggi karena pemaknaan seperti itu sama dengan menghina atau durhaka kepada Allah.
Contohnya Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Hasyiyah al-‘Allaamah Ibn Hajar al-Haitami ‘alaa Syarh al-Idhah fii Manasik al-Hajj menuliskan:

“Jangan tertipu dengan pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah, karena sesungguhnya dia adalah manusia yang telah disesatkan oleh Allah.
Penghinaan Ibnu Taimiyah terhadap Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh.
Oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan.
Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji.
Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilanNya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini.”
Oleh karenanya para ulama terdahulu telah melarang untuk membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya sebagaimana yang telah disampaikan
Contohnya Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, ” Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjadikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah : 203)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami menyampaikan dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 116)
Kontrofersi pemahaman Ibnu Taimiyyah lainnya dapat dibaca dalam tulisan yang kami arsip

Begitupula pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari meneruskan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, pendiri firqah Wahabi dan penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Abdul Hadi, sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6 selengkapnya
Diantara mereka (sekte yang muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan Islam.”
Maka wajib menanggalkan/menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular. Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf
Mereka menyatakan: “Para ulama bukanlah orang-orang yang terbebas dari dosa, maka tidaklah layak mengikuti mereka, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal.” Mereka menyebarkan (pandangan/asumsi) ini pada orang-orang bodoh agar tidak dapat mendeteksi kebodohan mereka
Maksud dari propaganda ini adalah munculnya permusuhan dan kericuhan. Dengan penguasaan atas jaringan teknologi, mereka membuat kerusakan di muka bumi. Mereka menyebarkan kebohongan mengenai Allah, padahal mereka menyadari kebohongan tersebut. Menganggap dirinya melaksanakan amar makruf nahi munkar, merecoki masyarakat dengan mengajak untuk mengikuti ajaran-ajaran syariat dan menjauhi kebid’ahan. Padahal Allah Maha Mengetahui, bahwa mereka berbohong.

Begitupula Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia menegaskan bahwa pengharaman penyebarluasan ajaran Wahabi (wahabiyyah) yang dipelopori oleh Majlis Agama Islam Negeri Sembilan tidak akan menjejaskan (mempengaruhi) hubungan negara dengan Arab Saudi sebagaimana kabar yang telah diarsip
Dalam kabar tersebut Pengerusi Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan, Prof Emeritus Tan Sri Dr Abdul Shukor Husin menyampaikan

“Hak mengeluarkan fatwa adalah hak negeri masing-masing. Contoh seperti apa dilakukan Majlis Agama Islam Negeri Sembilan yang mengeluarkan fatwa mengharamkan penyebaran Wahabi di negeri itu, sememangnya ia tidak bertentangan.
“Saya fikir, negeri tersebut mengharamkan Wahabi kerana tidak mahu berlaku kacau bilau dalam masyarakat Islam negeri itu,” katanya.
Dalam pada itu, Abdul Shukor berkata, tindakan negeri tersebut juga tidak akan menjejaskan hubungan negara dan Arab Saudi kerana sememangnya itu hak negeri tersebut.
“Jika perkara itu akan menjejaskan hubungan, maknanya tiada hak kepada negeri untuk membuat keputusan sendiri.
“Malahan Jakim dan Majlis Fatwa Kebangsaan telah membincangkan perkara tersebut lebih awal sebelum isu ini kembali disensasikan,” katanya.

Sejak tahun 2012, mufti Negeri Perak Darul Ridzuan telah memelopori mengeluarkan fatwa pelarangan ajaran (paham) Wahabisme sebagaimana informasi pada 
Berikut daftar link arsip fatwa para fuqaha dari negara tetanga terhadap paham Wahabisme yang disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi
Fatwa Pehin Datu Seri Maharaja Dato Seri Utama Dr Ustaz Awang Haji Ismail bin Omar Abdul Aziz , Mufti Kerajaan Brunei Darussalam silahkan baca
Fatwa Pehin Datu Seri Maharaja Dato Seri Utama Dr Ustaz Awang Haji Ismail bin Omar Abdul Aziz , Mufti Kerajaan Brunei Darussalam yang dibukukan dan diterbitkan oleh Pusat Da’wah Islamiah, Kementerian Hal Ehwal Ugama, Negara Brunei Darussalam
Dalam mukasurat 155-156 di mana Pehin Mufti menulis:-
Adalah mazhab as-Salafiyah yang dihidupkan oleh al-Allamah Ibnu Taimiyah dan yang dipakai serta diamalkan oleh al-Wahhabiyah itu bukan mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah dan ia keluar dari mazhab yang empat. Mazhab as-Salafiyah berdasarkan Allah berjisim dan menyerupai makhluk.
Fikiran Ibnu Taimiyah dan mazhab as-Salafiyah yang dibawanya itu dan yang diamalkan sekarang oleh al-Wahhabiyah di tanah Arab, telah diperangi oleh ulama Islam pada kurun keempat Hijriah, dan dilawan oleh ulama Islam sepanjang kurun Islam…………..

Mufti Haji Said bin Haji Ibrahim, mantan mufti Sabah silahkan baca
Berhubung dengan fahaman Ibnu Taimiyyah, beliau menulis mengenai penyelewengannya secara khusus dalam Fasal ke-18, Fasal ke -19 dan Fasal ke-20. Mufti Haji Said adalah antara ulama yang tegas dalam pernyataannya bahawa fahaman Ibnu Taimiyyah adalah menyeleweng daripada Ahlus Sunnah wal Jama`ah.
Wasiat ulama Kelantan, Syaikh ‘Utsman Jalaluddin bin Muhammad bin ‘Abdus Shamad al-Kelantani atau lebih dikenali sebagai Syaikh Utsman Jalaluddin Penanti silahkan baca pada 
Berikut kutipan Syaikh Abdullah bin Ibrahim yang terkenal dengan gelaran Syaikh Abdullah Fahim merupakan ulama terkenal Tanah Melayu dan mufti pertama Pulau Pinang memasukkan mazhab atau pemahaman Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya yang bertemu langsung seperti Ibnu Qoyyim Al Jauziyah maupun yang tidak bertemu langsung seperti Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai mazhab khawarij artinya mazhab yang menyempal keluar (kharaja) dari mazhab Imam Mazhab yang empat.
***** awal kutipan *****

Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendak mengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyim al-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.


HIKAM ATHAILLAH SYARAH Ustaz Barry KE 37 : ALLAH TELAH ADA SEBELUM SEGALANYA

Menurut Kalam Hikmah ke 37 Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary:

" ALLAH TELAH ADA DAN TIADA SESUATU BERSAMA-NYA , DAN DIA KINI SEBAGAIMANA DIA TELAH ADA "

Pelajaran yang boleh diambil dari hikmah ini :

Allah pencipta segalanya , Dia telah ada sebelum segalanya.
Segalanya adalah makhluk kepada- Nya. Dia adalah Rabb , Tuhan ,Pencipta, Pengatur, Penguasa, Penjaga , Pemberi rezeki dan Pemilik segalanya. Allah adalah wujud yang hakiki, sementara manusia ada kerana diciptakan oleh-Nya.

Demikianlah hakikat yang tidak akan berubah , manusia akan tetap menjadi hamba, dan Allah akan selama-lamanya menjadi satu-satunya yang haq untuk disembah. Sedar atau tidak, beriman ataupun tidak manusia tetaplah hamba kepada Allah, jika hati manusia tidak ingin mendengar perintah Allah, maka jantungnya akan sentiasa berdenyut dan berhenti atas perintah-Nya.

"Tidak ada sesiapapun dilangit dan dibumi melainkan ia akan datang kepada ( Allah) Ar-Rahman , sebagai hamba "
~ surah Maryam : 93

Jika demikian hakikat kita sebagai manusia dan hakikat segala benda yang ada di dunia ini jika dibandingkan dengan Allah, maka patutkah kita menyembah selain Allah, mengharap kepada selain Allah, meminta kepada selain Allah, meyakini keabadian selain Allah.

HIKAM ATHAILLAH SYARAH USTAZ MUHAMAD WAFI ke 37 : KEWUJUDAN DAN KEMAHAESAAN ALLAH


Menurut Kalam Hikmah ke 37 Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary:

“Sememangnya Allah SWT itu tetap ada dan tidak ada sesuatu bersama kewujudanNya. Dia sekarang ini Maha Wujud dan Maha Tunggal kewujudanNya itu.”

       Sifat yang wajib di sisi Allah SWT ialah kemahaesaanNya dan ketunggalanNya.Kemahaesaan itu pada zatNya,pada sifatNya dan pada perbuatanNya.
       Kemahaesaan dan ketunggalan Allah itu sendiri selaras dengan logika akal manusia lantaran sifat yang berbilang-bilang akan mencetuskan kekeliruan dan perbalahan.Mustahil di sisi akal bahawa ketuhanan itu berbilang,bersekutu dan bersyarikat dengan pihak yang lain.

Sehubungan ini Allah SWT berfirman :

Maksudnya : Kalau ada di langit dan di bumi Tuhan-tuhan yang lain dari Allah,nescaya rosaklah pentadbiran kedua-duanya.Maka bertauhidlah kamu kepada Allah dengan menegaskan : Maha Suci Allah,Tuhan yang mempunyai ‘arasy,dari apa yang mereka sifatkan. ( Surah al-Anbiya` ayat 22 )

Akal kita sendiri tidak dapat menerima bahawa zat Allah tersusun sebagaimana makhlukNya.Umpamanya manusia tersusun dari daging,tulang,darah dan sebagainya.Lantaran sifat yang tersusun adalah sifat benda yang baharu,sedangkan Allah bukan benda.Dia tidak mengambil ruang dan masa.Sedangkan masa dan ruang adalah makhluk ciptaanNya belaka.

Wahdaniah atau keesaan pada sifat Allah bermaksud bahawa tidak ada pada sekalian makhluk yang maujud ini bersifat dengan sifat-sifat yang menyerupai Allah.Misalnya sifat kudrat Allah adalah tetap satu.Demikian juga sifat-sifat kesempurnaan Allah yang lain juga satu dan tidak ada suatu juapun yang menyerupaiNya.
Wahdaniah atau keesaan pada perbuatan Allah bermaksud bahawa Allah SWT itu Maha Esa pada seluruh perbuatanNya,yakni seluruh perbuatan yang terjadi ke atas seluruh makhlukNya.

Seluruh perbuatan makhluk bersifat baharu dan disebut al-kasbu yang berertu usaha dan ikhtiar.Usaha dan ikhtiar makhluk tidak akan memberi bekas.Tetapi apa yang memberi bekas ialah ketentuan dan kudrat Allah SWT semata-mata.

Usaha dan ikhtiar makhluk sentiasa dipertimbangkan oleh kudrat  dan iradat Allah yang menentukan keberhasilan sesuatu perkara.Sehubungan ini Allah SWT menegaskan :

 Maksudnya : Dan bahawa sesungguhnya tidak ada balasan bagi seseorang itu melainkan hasil apa yang diusahakannya;Dan bahawa sesungguhnya usahanya itu akan diperlihatkan kepadanya pada hari qiamat kelak;Kemudian usahanya itu akan dibalas dengan balasan yang amat sempurna;Dan bahawa sesungguhnya kepada hukum Tuhanmulah kesudahan segala perkara. ( Surah al-Najm ayat 39-42 )

HIKAM ATHAILLAH SYARAH TOK FAKIR AN NASIRIN 37: ALLAH MAHA ESA, SEDIA DAN KEKAL


Menurut Kalam Hikmah ke 37 Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary:

"TELAH ADA ALLAH  DAN TIADA SESUATU BESERTA-NYA. DAN, DIA KINI ADALAH TETAP SEBAGAIMANA ADANYA.”

Pada martabat zat, segala sifat, nama dan semua kewujudan lenyap di dalamnya, tidak boleh disaksi dan ditakbir lagi. Selagi boleh disaksi dan ditakbir ia masih lagi sifat bukan zat. Apabila sampai kepada perbatasan: “Lemah mengadakan pendapat tentang zat Ilahiat”, seseorang tidak ada pilihan melainkan mengakui wujudnya zat Wajibul Wujud (Wajib Wujud) kerana jika tidak wujud zat nescaya tidak ada sifat dan tidak ada kejadian atau perbuatan.
Seorang bukan ahli kasyaf bermakrifat dengan akalnya dan beriman kepada zat Wajibul Wujud setelah terjadi kebuntuan  akalnya mengenai hal ketuhanan pada suasana yang diistilahkan sebagai Wahadiyyah atau suasana pentadbiran Ilahi yang juga dipanggil Rububiah. Akal menyaksikan Rububiah atau hal ketuhanan yang menggerakkan sekalian makhluk. Peringkat kesudahan pencapaian akal dan ilmu makhluk dinamakan Hijab al-‘Izzati atau benteng keteguhan. Ilmu sekalian orang alim dan arif terhenti di sini. Zat Allah s.w.t tidak diketahui oleh makhluk kerana Dia tidak termasuk di dalam sempadan maklumat, pendapat dan kenyataan. Allah berfirman :
Dan Allah perintahkan supaya kamu beringat-ingat terhadap kekuasaan diri-Nya (menyeksa kamu). ( Ayat 30 : Surah a-li ‘Imran )

Rasulullah s.a.w bersabda:
“Semua kamu (yang berfikir) tentang Zat Allah adalah orang dungu.”
Percubaan akal untuk menembusi Hijab Keteguhan adalah sia-sia. Jika dipaksa juga tidak ada yang ditemui melainkan kemungkinan menjadi gila.

Begitulah makrifat Allah s.w.t melalui akal. Makrifat dengan akal menjadi asas kepada makrifat melalui zauk atau pandangaan mata hati. Ahli Allah s.w.t meningkatkan imannya dengan membenamkan dirinya ke dalam ibadat dengan bersungguh-sungguh. Mereka berpuasa pada siang hari dan bersembahyang pada malam hari. Ada antara mereka yang bersembahyang lebih 500 rakaat sehari, khatam membaca al-Quran tiap-tiap hari dan berpuasa sepanjang tahun. Sekiranya Allah s.w.t izinkan, mereka akan mengalami hakikat wujud Zat Allah s.w.t yang sukar untuk dihuraikan.

 Pengalaman makrifat menurut akal berhenti pada kenyataan: “Semata-mata zat, yang maujud hanya Wajibul Wujud”. Pengalaman makrifat secara zauk pula berakhir pada: “Zat yang kosong dari makhluk, yang maujud hanya Allah s.w.t. Telah ada Allah s.w.t dan tiada sesuatu beserta-Nya. Dia kini adalah tetap sebagaimana dahulunya ”.

 Ungkapan ini bukan untuk dibahaskan atau dihuraikan dengan terperinci kerana ia telah melepasi sempadan ilmu. Ia adalah pengalaman rohani, dinamakan penyaksian hakiki mata hati, tatkala  hilang rasa wujud diri dan sekalian yang maujud, hanya Wujud Allah s.w.t yang nyata, semata-mata Allah s.w.t dan segala-galanya Allah s.w.t. Keadaan ini dicapai setelah melepasi makam-makam ilmu, amal, berserah diri, reda, ikhlas, lalu masuk ke dalam makam tauhid yang hakiki dan pengalaman tauhid yang hakiki itulah yang dinyatakan oleh Hikmat 46 di atas.

Telah ada Allah s.w.t dan tiada sesuatu beserta-Nya.
Allah s.w.t kini adalah Allah s.w.t yang dahulu juga.
Pengalaman rohani adalah aneh menurut kacamata akal. Ia adalah satu keadaan terlepasnya ikatan  kesedaran terhadap diri sendiri dan dikuasai oleh kesedaran yang lain. Jika mahu memahami akan kesedaran-kesedaran yang mempengaruhi kesedaran manusiawi itu terlebih dahulu perlulah difahami tentang kejadian manusia itu. Manusia yang bertubuh badan boleh diistilahkan sebagai alam jasad. Alam jasad mendiami alam dunia. Hubungan yang rapat antara alam jasad dengan alam dunia menyebabkan pengaruh alam dunia kepada alam jasad sangat kuat. Alam jasad menerima pengaruh alam dunia dan menganggapnya sebagai kesedaran dirinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membezakan antara kesedaran jasad yang asli dengan kesedaran duniawi yang menguasainya.

Alam dunia pula berada di dalam Alam Malakut (alam malaikat). Alam Malakut menguasai alam dunia dan alam jasad. Tenaga malaikat-malaikat menjadi tenaga kepada dunia dan jasad yang menyebabkan dunia dan jasad boleh bergerak. Sistem yang berjalan rapi di dunia dan jasad adalah disebabkan oleh tenaga malaikat yang bekerja dengan tepat mengawalnya. Sedutan udara, kerlipan mata, peredaran darah, pertumbuhan rambut dan kuku, pergerakan otot dan semuanya adalah hasil daripada tindakan malaikat walaupun manusia tidak menyedarinya. Perjalanan matahari, penurunan hujan, tiupan angin dan semua aktiviti benda-benda dunia terhasil daripada tindakan malaikat-malaikat. Perkaitan antara jasad, dunia dan malakut adalah umpama sebatang pokok kelapa di atas sebuah pulau di dalam laut. Pokok kelapa tidak terpisah dari pulau dan tidak terpisah dari laut. Air laut meresap ke dalam tanah pulau dan air yang sama juga meresap ke dalam akar, batang, daun dan seluruh pokok kelapa. Pokok kelapa memperolehi tenaga pertumbuhan dari air laut yang meresap ke dalamnya. Begitulah ibaratnya tenaga malaikat yang menjadi sistem aktiviti manusia.

Alam Malakut dengan segala isinya termasuklah dunia dan jasad berada di dalam Alam Jabarut. Jabarut bukanlah alam seperti yang difahamkan. Jabarut bermakna sifat Allah s.w.t. Ini bermakna malakut, dunia dan jasad adalah kesan daripada keupayaan sifat atau dikatakan juga perbuatan yang dihasilkan oleh sifat. Jabarut pula dikuasai oleh Lahut iaitu Zat Ilahiat. Malakut, dunia dan jasad diistilahkan sebagai sekalian alam, merupakan perbuatan yang dikuasai oleh sifat dan sifat pula dikuasai oleh zat. Ini bermakna tidak putus perkaitan di antara Lahut kepada Jabarut kepada malakut kepada dunia dan kepada jasad.

Jika dilihat kepada lapisan yang paling luar akan kelihatanlah pergerakan benda-benda. Jika direnungkan kepada lapisan yang lebih mendalam sedikit kelihatanlah pula pergerakan benda-benda dihasilkan oleh tenaga malaikat. Jika dilihat kepada lapisan yang lebih mendalam akan kelihatan pula pergerakan benda-benda dan tenaga malaikat merupakan perbuatan Tuhan. Jika dilihat kepada lapisan yang lebih dalam akan kelihatan pula sekalian perbuatan Tuhan itu adalah kesan daripada keupayaan sifat Allah s.w.t. Jika dilihat kepada lapisan yang paling dalam akan kelihatanlah bahawa sekalian alam yang muncul kerana perbuatan Tuhan, perbuatan pula lahir daripada keupayaan sifat Tuhan dan sifat pula bersumberkan zat Ilahiat. Jika dilihat semuanya tanpa terdinding antara satu dengan yang lain maka kelihatanlah bahawa zat Ilahiat menguasai segala sesuatu.

Apabila semuanya sudah sempurna kedudukannya maka Allah s.w.t mengwujudkan sesuatu yang sangat istimewa. Ia adalah roh manusia. Roh manusia adalah sesuatu yang dari Allah s.w.t, tiupan Roh Allah s.w.t, berkait dengan Zat Allah s.w.t, tidak boleh dinisbahkan kepada apa sahaja melainkan kepada Allah s.w.t, tetapi ia bukanlah Allah s.w.t kerana “Tiada sesuatu yang menyamai-Nya”. Roh manusia yang dinisbahkan kepada Allah s.w.t inilah yang paling mulia:
Kemudian apabila Aku sempurnakan kejadiannya (Adam), serta Aku tiupkan padanya roh dari (ciptaan)-Ku maka hendaklah kamu sujud kepadanya. ( Ayat 72 : Surah Saad )

Kemuliaan roh manusia yang Allah tiupkan dari Roh-Nya menyebabkan malaikat-malaikat kena sujud kepada Adam. Roh pada martabat ini adalah urusan Allah s.w.t:

Katakanlah: “Roh itu dari perkara urusan Tuhanku”. ( Ayat 85 : al-Israa’ )

Bagaimana atau apakah perkaitan roh dengan Allah s.w.t? Perkaitannya adalah Rahsia Allah s.w.t yang manusia tidak diberi pengetahuan mengenainya kecuali sedikit sahaja. Roh pada martabat Rahsia Allah s.w.t inilah yang sudah mengenal Allah s.w.t dan menyaksikan bahawa:
Sesungguhnya Allah Maha Esa. Tiada sesuatu beserta-Nya.

Roh yang berkait dengan Allah s.w.t menghadap kepada Allah s.w.t dan dikuasai oleh kesedaran yang hakiki atau penglihatan rohani yang hakiki atau kesedaran tauhid yang hakiki.

Roh urusan Allah s.w.t itu kemudiannya berkait pula dengan perbuatan Allah s.w.t iaitu alam. Unsur alam yang menerima perkaitan dengan roh urusan Allah s.w.t itu dinamakan roh juga. Roh jenis kedua ini menghuni alam seperti makhluk Tuhan yang lain juga. Tempat roh tersebut ialah Alam Arwah {alam roh}. Roh yang mendiami Alam Arwah ini kemudiannya berkait pula dengan jasad. Jasad yang berkait dengan roh menjadi hidup dan dipanggil manusia. Perjalanan dari atas ke bawah ini dinamakan:

Kami datang dari Allah s.w.t.
Oleh sebab manusia datang dari Allah s.w.t mereka berkewajipan pula kembali kepada Allah s.w.t.

Kepada Allah s.w.t kami kembali.

Perjalanan kembali kepada Allah s.w.t hendaklah dilakukan ketika jasad masih lagi diterangi oleh roh iaitu ketika kita masih hidup di dalam dunia. Apabila roh sudah putus hubungannya dengan jasad, tidak ada lagi peluang untuk kembali kepada Allah s.w.t. Sesiapa yang buta (hati) di dunia akan buta juga di akhirat, malah lebih buruk lagi. Hamba Allah s.w.t yang menyedari kewajipannya akan berusaha bersungguh-sungguh untuk kembali kepada Allah s.w.t ketika kesempatan masih ada. Syariat diturunkan supaya manusia tahu jalan kembalinya. Orang yang berjuang untuk kembali kepada asalnya melepaskan kesedaran alam bawah yang menguasainya. Dia masuk kepada kesedaran malaikat. Kemudian dia keluar dari kesedaran malaikat dan masuk kepada kesedaran roh yang murni dan seterusnya masuk kepada kesedaran roh yang menjadi Rahsia Allah s.w.t dan kembali menyaksikan Yang Hakiki sebagaimana telah disaksikannya sebelum berkait dengan jasad dahulu. Keluarlah ucapannya:
Telah ada Allah s.w.t (sebagaimana ia menyaksikan sebelum berkait dengan jasad) dan tiada sesuatu yang menyertai-Nya (sebagaimana disaksikannya dahulu). Dan Dia kini (sedang disaksikannya semula) sama seperti ada-Nya (seperti yang disaksikannya dahulu).

Keadaannya adalah seperti orang yang melihat kepada sesuatu, kemudian dia memejamkan matanya seketika. Bila dia membuka matanya  semula dia melihat sesuatu yang sama berada dihadapannya. Tahulah dia bahawa pengalaman semasa memejam mata itu sebenarnya gelap, majazi atau khayalan. Dia kembali melihat yang benar setelah matanya terbuka. Jadi, seseorang hanya boleh melihat Yang Hakiki setelah kembali kepada keasliannya iaitu dia kembali melihat dengan penyaksian hakiki mata hati.

Hikmat 46 di atas walaupun pendek tetapi  menggambarkan perjalanan datang dan pergi yang sangat jauh, bermula dari Allah s.w.t, sampai kepada dunia dan jasad, kemudian kembali semula kepada Allah s.w.t.

Perjalanan yang telah diceritakan di atas adalah pengalaman rohani bukan perpindahan jasad dari satu tempat kepada tempat yang lain. Orang yang sedang mengalami hal yang demikian masih berada di bumi, masih bersifat sebagai manusia, bukan ghaib daripada pandangan orang lain. Hanya perhatian dan kesedarannya terhadap yang selain Allah s.w.t ghaib dari alam perasaan hatinya. Pengalaman rohani tersebut memberinya kefahaman dan pengenalan tentang Tuhan. Makrifatullah melalui pengalaman rohani jauh lebih kuat kesannya kepada hati daripada makrifatullah melalui pandangan akal. Akal yang mengenali Allah s.w.t bersifat Maha Melihat dan Mendengar melahirkan kewaspadaan pada tindakan dan tingkah-laku. Makrifat tentang Allah Maha Melihat dan Mendengar yang dialami secara kerohanian menyebabkan gementar dan kecut hati sehingga ketara pada tubuh badan seperti pucat mukanya dan menggigil tubuhnya.

Pengalaman kerohanian tentang Allah Maha Esa menanamkan pengertian pada hati mengenai keesaan Allah s.w.t. Pengertian yang lahir secara demikian menjadi keyakinan yang teguh, tidak boleh dibahas atau ditakwilkan lagi.