Catatan Popular

Isnin, 27 Julai 2020

UNAIZAH AL BAGHDADI Pelayan Wali yang Menjadi Wali

Bagi pecinta, pengabdian bukanlah paksaan, tapi kenikmatan yang tak akan selesai dengan selesainya pengabdian.

Unaizah al-Baghdadi merupakan sufi perempuan yang dipandang memiliki kecerdasan dan keindahan jiwa di atas rata-rata.

Level kerohaniannya pun diakui ketinggiannya.
Ia merupakan pelayan sekaligus murid seorang wali besar, Imam Abu Muhammad Ahmad bin Muhammad bin al-Husein al-Jariri (w. 311 H).

Imam Abdurrahman al-Sulami mengatakan: “Unaizah al-Baghdadi mengabdi kepada Abu Muhammad al-Jariri. Ia merupakan bagian dari para sufi yang cerdas. (Ia memiliki) jiwa yang indah (serta) keadaan spiritual yang tinggi”

Imam Abu Muhammad al-Jariri merupakan murid (ashâb) Imam Junaid al-Baghdadi (w. 297 H) dan Sahl bin Abdullah al-Tustari (w. 283 H).

Ia merupakan gurunya para ulama yang menggantikan Imam Junaid al-Baghdadi di majlisnya. Imam Abdurrahman al-Sulami menyebutkan:  “Abu Muhammad al-Jariri merupakan bagian dari sahabat (murid) Junaid yang utama. Ia juga murid Sahl bin Abdullah al-Tustari. Ia adalah salah satu guru dari para guru-guru manusia, yang duduk setelah Junaid (al-Baghdadi) di majlisnya karena kesempurnaan keadaan spiritual dan kebenaran pengetahuannya” (Imam Abdurrahman al-Sulami)

Dengan pengabdiannya, Unaizah al-Baghdadi mendapatkan banyak hal. Ia mempelajari keteladanan Imam Abu Muhammad al-Jariri sekaligus mendengarkan pelajarannya secara langsung.

Pengalaman ini ia bawa lebih dalam untuk menghayati kehambaannya kepada Allah, dan mengenali kenikmatan di dalamnya. Ia mengatakan:  “Barangsiapa yang mencintai-Nya, ia tak akan lelah dalam mengabdi-Nya.
Sebaliknya, ia akan merasakan kenikmatan dengan pengabdian itu” (Imam Abdurrahman al-Sulami,).  

Bagi pecinta, pengabdian bukanlah paksaan, tapi kenikmatan yang tak akan selesai dengan selesainya pengabdian. Ia akan selalu berharap untuk terus mengabdi. Apalagi yang diabdi adalah Allah, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Pengabdian dan penghambaan, bagi pecinta seperi Unaizah al-Baghdadi, tidak meninggalkan jejak lelah sama sekali, tapi kenikmatan tiada tara dan tiada tanding.  

Sebagai seorang sufi dan ulama perempuan, ia sering menyampaikan pelajarannya. Di satu waktu, ia menjelaskan tentang “al-‘arif” (orang yang telah sampai pada ma’rifat). Ia mengatakan: “Orang ‘arif bukan orang yang mendeskripsikan (Tuhan) dan bukan pula orang yang menceritakan”

Untuk orang ‘arif, Tuhan itu lebih dari segala deskripsi dan penjelasan. Bahasa terlalu lemah untuk menggambarkan kekuasaannya.

Andaikan ditulis yang maha-maha-maha hingga berjuta-juta triliun kali, deskripsi itu masih jauh dari kata mendekati, apalagi menggambarkan-Nya.  

Di samping itu, perkataan Unaizah al-Baghdadi di atas, tidak bisa dipahami secara terpisah dengan perkataannya yang lain.

Ia juga mengatakan: “Pengetahuan menyebabkan takut, sedangkan ma’rifah menyebabkan pengagungan (atau pemuliaan)”

Pengetahuan agama, menurut Unaizah al-Baghdadi, akan mendatangkan rasa takut kepada Tuhan, yang mana harus dimiliki setiap manusia. Tapi, mengenali Tuhan secara hakiki (ma’rifah) akan mendatangkan penghormatan, pengagungan, atau khusyu’ (rasa takut karena menghormati).

Ada perbedaan besar dalam dua rasa tersebut, takut karena siksa-Nya (al-‘ilm) dan mengagungkan karena kemuliaan-Nya (al-ma’rifah).

Tentu, untuk mencapai ma’rifat, seseorang harus melalui fase “pengetahuan yang menyebabkan takut.” Tanpa itu, sepertinya tidak mungkin untuk mencapai ma’rifat.  

Karena itu, dua perkataan Unaizah al-Baghdadi harus difahami dalam dua kerangka; teoritis dan praktis.

Pengetahuan tentang Tuhan secara teoritis berbicara dalam wilayah konsep, dari mulai keesaan, hukuman, sampai sifat-sifat-Nya. S

edangkan wilayah praktis, yaitu menghidupkan konsep teoritis tentang Tuhan dalam kehidupan manusia.

Dengan ketekunan secara ketat dan istiqamah menjalankannya, perlahan-lahan manusia semakin mengenali kemaha-baikan Tuhannya, hingga ia benar-benar merasakan tiada satu pun di dunia ini yang tidak berasal dari kasih sayang-Nya.

Perasaan ini kemudian meliputi seluruh relung jiwanya dan menjadi cinta. Maka, pendekatan seorang ‘arif kepada Tuhannya adalah cinta.  

Contoh sederhananya adalah hubungan anak dan orang tua. Ketika dalam masa pertumbuhan, anak biasanya takut kepada orang tuanya. Tapi, seiring berjalannya waktu, dan bertambahnya kedewasaan, anak mulai mengerti ketegasan dan kemarahan orang tuanya dulu.

Landasan ketaatannya pun berubah, yang semula karena takut atau mengharapkan imbalan, menjadi berubah karena pengagungan, penghormatan dan pemuliaan (cinta).

Ia menuruti orang tuanya bukan lagi karena takut, tapi benar-benar karena perasaannya sendiri.  

Unaizah al-Baghdadi membuktikan bahwa keadaan, kedudukan, jenis kelamin, dan profesi tidak menjadi penghalang untuk memperoleh sesuatu.

Ia juga sedang mengingatkan dan menyadarkan kita, bahwa menjadi hamba Allah, dan mengabdi kepada-Nya adalah kenikmatan tiada tara.  

Pertanyaannya, pernahkah kita merasa bahwa menjadi hamba adalah sebuah kenikmatan?  

Wallahu a’lam bish shawwab

SAYYIDAH TUHFAH Sepanjang Hari Menangis Serta Merintih Dalam Mengabdi Kepada Allah



Sayyidah Tuhfah adalah seorang sufi wanita yang berasal dari Irak.

Ia hidup sezaman dengan sufi terkemuka, Syeikh Sari al-Saqati.

Pada mulanya Sayyidah Tuhfah merupakan budak yang tidak mengenal tidur maupun makan.

Sepanjang hari menangis serta merintih dalam mengabdi kepada Allah. Akhirnya ketika keadaan sudah demikian gawat untuk ditangani keluarga majikannya. Mereka pun mengirim ke rumah sakit jiwa.

Sufi yang banyak bercerita tentang Tuhfah adalah Sari al-Saqati. Menurut al-Saqati, dia pergi ke rumah sakit karena kesumpekan hatinya.

Di suatu kamar, ia mendapati seorang gadis hanya saja kedua kakinya dirantai. Air matanya berlinangan sepanjang hari ia selalu melantunkan syair.

Ketika ingin tahu identiti gadis itu, seorang perawat mengatakan ia seorang budak yang gila dan bernama Tuhfah.

la dikirim oleh seseorang yang rupanya majikannya. Ketika perawat itu menerangkan kepada al-Saqati perihal dirinya. la pun berlinang matanya.

Tuhfah berkata,"Tangisanmu ini, lahir dari pengetahuanmu tentang sifat-sifat Allah. Bagaimana jadinya jika engkau benar-benar mengenal-Nya sebagaimana dibutuhkan oleh makrifat hakiki ?".

Setelah berkata begitu Sayyidah Tuhfah pingsan satu jam. Sesudah itu ia bersyair kembali.
Saqati menganggap, Sayyidah Tuhfah sebagai saudara. Ketika Saqati bertanya siapa yang memenjarakan (maksudnya mengirim) ke rumah sakit ini ?".

Orang-orang yang iri dan dengki." Jawabnya.

Mendengar jawaban itu, Saqati menganjurkan kepada petugas rumah sakit itu agar Tuhfah dilepas saja dan membiarkan ia pergi kemana saja. Melihat gelagat itu Tuhfah bereaksi.

Mendadak seseorang muncul dirumah sakit. Menurut seorang perawat, dia adalah majikan Tuhfah. Siapa yang memberitahu, kalau budaknya yang gila itu sudah bersama al-Saqati, seorang syaikh.

la sangat gembira dan mengatakan mungkin sufi yang datang itu bisa menyembuhkan budaknya. la mengaku bahwa dirinya yang mengirim kerumah sakit. Seluruh hartanya sudah banyak untuk membiayai pengobatannya. Katanya budak itu dibeli dengan harga 20.000 dirham.
Saqati tertarik rnembeli karena ketrampilannya sebagai penyanyi, sementara alat musik yang sering ia pakai adalah harpa.

la seorang sufi wanita yang begitu kuat cintanya kepada Allah.

Mendengar kisah itu Saqati kemudian dengan berani menawar berapa saja wang yang diminta jika sang majikan menjualnya

Sang majikan menukas: "Wahai Saqati, engkau benar seorang sufi, tetapi engkau sangat fakir, tidak mungkin bisa menebus harga Syayyidah Tuhfah," tukasnya.
Benar apa yang dikatakan majikan Tuhfah. Kala menawar, Saqati tak memili wang sedirham pun. Saqati pulang dengan hati menangis. Tekadnya untuk membeli Sayyidah Tuhfah begitu besar dan menggebu-gebu, namun apa dikata, wang pun ia tak punya. Kemudian ia berdoa: "Ya Allah, Engkau mengetahui keadaan lahiriah dan batiniahku. Hanya dalam rahmat dan anugerah-Mu aku percayakan diriku. Janganlah Engkau hinakan diriku kini !".

Selesai berdoa tiba-tiba pintu diketuk orang. Al Saqati pun membuka pintu. Di dapati seseorang yang mengaku bernama Ahmad Musni dengan membawa empat orang budak yang memanggul pundi-pundi.

Musni mendengar suara gaib, agar ia membawa lima pundi-pundi ke rumah Sari Al-Saqati, supaya sufi fakir itu memperoleh kebahagiaan untuk membeli Sayyidah Tuhfah. Itulah salah satu karomah yang dimiliki al-Saqati.
Mendengar cerita Musni itu, Saqati langsung sujud syukur,dilanjutkan dengan salat malam, dan bangun sampai pagi. Ketika matahari sepenggalah, Saqati me ngajak Musni ke rumah sakit.

Majikan Sayyidah Tuhfah yang mengejeknya itu sudah berada di rumah sakit lebih dahulu. Ketika hendak di bayar berapa saja harga yang diminta majikan itu malah mengelak, "Tidak Tuan, sekiranya anda memberiku seluruh dunia ini untuk membelinya, aku tidak mau menerimanya. Aku telah membebaskan Sayyidah Tuhfah. ia henar-benar bebas untuk mengikuti ke hendak Allah, "tuturnya.
Mendengar kata-kata majikan itu, Ahmad Musni yang memberi Saqati lima pundi-pundi ikut menangis.

Musni menangis karena terharu kepada majikan itu yang sudah meninggalkan duniawi, melepaskan hartanya seperti dirinya juga. "Betapa agung berkah yang diberikan Sayyidah Tuhfah, kepada kita bertiga ini."
Ujar Musni sambil menatap Sari Al Saqati dan majikan Sayyidah Tuhfah.

Ketiga orang itupun kini berperilaku seperti sufi. Ketiganya pergi haji ke Makkah dalam perjalanan Baghdad ke Makkah Musni meninggal dunia

Ketika sampai di Baitullah dan keduanya thawaf, Ketika saqati memberi tahu, bahwa Musni sudah meninggal Sayyidah Tuhfah berkomentar, "Di surga ia akan menjadi tetanggaku. Belum ada seorang pun yang melihat nikmat yang diberikan kepadanya".

Ketika Saqati memberi tahu bahwa majikannya juga melaksanakan haji bersamanya, Sayyidah Tuhfah hanya aberdoa sebentar, sesudah itu ia reboh di samping Kaabah.

Ketika majikannya datang dan melihat Sayyidah Tuhfah sudah tak bernyawa, a sangat sedih dan rebah di sampingnya.

Saqati kemudian memandikan, mengkafani, menyalati dan menguburkan Sayyidah Tuhfah dan majikannya.

Setelah masa berhajinya selesai, Saqati pulang sendirian ke Irak.


RABIAH BINTI ISMAIL ASY SYAMSIYAH Tujuannya Menikah Untuk Mensarufkan Hartanya Di Jalan Allah


Sufi wanita yang satu ini adalah sufi wanita yang dapat dijadikan contoh oleh para muslimah tentang bagaimana menjadi seorang istri salehah bagi suaminya.
Ia pernah berkata kepada suaminya yang sedang diliputi perasaan duka dan sedih dengan perkataan yang menghibur, "Kalau yang kamu sedihkan berhubungan dengan urusan akhirat, sesungguhnya hal itu sangat menguntungkan bagimu, tetapi jika yang kau sedihkan berhubungan dengan urusan dunia, sama sekali aku tidak membebanimu dengan perkara yang berat.”

Tidak sampai disini teladan yang baik sebagai istri yang salehah diperlihat kannya.

Dalam kisah yang lain, di sebutkan bahwa Ahmad bin Abu Huwari mempunyai istri lain selain Rabi'ah binti Ismail As-Syamsiyah.
Suatu ketika Rabi'ah memasak makanan yang enak. Masakan itu di beri campuran aroma yang harum. Setelah masak dan menyantap makanan itu, Rabi’ah berkata pada suaminya: "Pergilah kamu ke istri yang lain dengan tenaga yang baru".
Rabi’ah yang satu ini memang mirip dengan Rabi’ah Adawiyah yang mendiami di bashrah.

Rabi’ah Asy Syamsiah ini setelah menunaikan shalat ‘Isya ia berdandan lengkap dengan busananya. Setelah itu baru mendekati tempat tidur suaminya.

Ia tawarkan pada suaminya,"Apakah malam ini kamu membutuhkan kehadiranku atau tidak". Jika suaminya sedang berhasrat untuk menggaulinya, maka ia melayaninya hingga puas.

Kalau malam itu suaminya sedang tidak berminat menggaulinya, maka ia menukar pakaian yang ia kenakan tadi dan berganti dengan pakaian lain yang digunakan untuk beribadah.

Malam itu ia tenggelam di tempat shalatnya hingga subuh. Rabi’ah binti Isma’il Asy Syamsiah bersuamikan Ahmad bin Abu Huwari itu memang dikehendaki Rabi’ah sendiri. Ia pula yang pertama-tama melamar syeikh Ahmad supaya berkenan memperistri dirinya.
*****
Kisahnya bermula dari kematian suami Rabi'ah binti Ismail Asy-Syamsiyah yang meninggalkan harta warisan yang sangat besar .Ia kesulitan menafkahkan harta itu, mengingat ia seorang wanita yang terbatas gerakannya.

Maka ia bermaksud melamar syeikh Ahmad, dengan tujuan agar dapat menasarufkan (menghibahkan) hartanya demi kepentingan Islam dan diberikan kepada orang orang yang membutuhkan. Yang demikian itu karena Rabi’ah binti Ismail memandang syeikh Ahmad sebagai orang yang dapat menjalankan amanat, sedang Rabi’ah sendiri seorang yang adil.
Ketika mendapat lamaran dari Rabi’ah, syeikh Ahmad berkata, "Demi Allah, sesungguhnya aku tidak berminat lagi untuk menikah. Sebab aku ingin menumpu untuk beribadah."
Rabi’ah menjawab, "Syeikh Ahmad, sesungguhnya tumpuanku dalam beribadah adalah lebih tinggi dari pada kamu.
Aku sendiri sudah memutuskan untuk tidak menikah lagi. Tetapi tujuanku menikah kali ini tidak lain adalah agar dapat menasarufkan harta kekayaan yang kumiliki kepada saudara-saudara yang muslim dan untuk kepentingan Islam sendiri.

Aku-pun mengerti bahwa engkau itu orang yang shalih, tapi justru dengan begitu aku akan memperoleh keridhaan dari Allah."
Syeikh Ahmad berkata," Baiklah, tapi aku minta waktu, Aku hendak meminta izin dari Guruku."

Lalu syeikh Ahmad menghadap gurunya, yakni Syeikh Abu Sulaiman Ad Darani. Sebab gurunya itu dulu pernah melarang dirinya untuk menikah lagi.

Katanya: "Setiap orang yang menikah, sedikit atau banyak pasti akan terjadi perubahan atas dirinya."
Tetapi setelah Abu Sulaiman mendapat penjelasan dari muridnya mengenai rencana Rabi’ah, ia berkata: "Kalau begitu nikahilah Ia. Karena perempuan itu seorang wali."
Rabia'ah binti Ismail Asy-Syamsiyyah adalah sufi wanita yang berjaga sepanjang malam untuk beribadah dan berpuasa pada siang harinya. Ketika ia mendengar panggilan untuk beribadah shalat, ia menyamakan panggilan itu dengan tiupan terompet malaikat Izrafil tanda kiamat besar terjadi.

Bila cuaca sedang panas, maka ia menyamakannya dengan panasnya neraka.
Suaminya Ibn Abi Al-Hawari termasuk sebagai suami yang berpengertian. Dia memberitahu padanya bahwa dia mencintainya sebagaimana ia mencintai saudara laki-lakinya.

Ini bermakna bahwa dia tidak memerlukan kebutuhan yang bersifat fizik dari suaminya. Dia juga mengatakan bahwa seseorang yang tenggelam dalam beribadah, Allah akan membuka tabir kesalahannya sebelumnya dan ketika seseorang mengetahuinya maka ia tidak memiliki perhatian terhadap masalah yang lain.
Dia merasa heran bahwa ia dapat melihat jin dan bidadari yang seseorang tidak dapat melihatnya dalam keadaan normal.

Cinta Dan Rasa Takut Rabi'ah Binti Ismail Asy-Syamsiyah.
Ahmad bin Abu Huwari mengatakan bahwa istrinya adalah seorang wanita yang fikirannya saling mengalahkan antara dua hal. Terkadang dia tampak dipengaruhi oleh cinta sementara di suatu waktu dia dipengaruhi oleh ketakutan.
Ketika dipengaruhi cinta, dia akan membacakan puisi cinta seperti : "Dia adalah teman yang tiada bandingannya, Kasih-Nya menempati seluruh hatiku. Teman yang membuka penglihatanku tetapi tidak pernah hilang dari hati dan fikiranku."

Ketika dia berada dalam pengaruh kasih sayang, dia akan bergumam sendiri : "Aku telah membuatmu tersangkut dalam hatiku dan berbicara sendiri dalam pergaulanku. Aku sendiri adalah untuk hidupku dan hati adalah tempat bagi teman yang sesungguhnya."
Ketika dalam pengaruh ketakutan, dia akan berkata :"Aku memiliki ketentuan atas perjalananan yang kurang dari cukup. Haruskan aku mencoba lebih sedikit atau lebih banyak mengatur perjalanan. Akankah aku akan dibakar oleh api nerakaMu, manakah yang paling aku suka. Kemudian dimanakan akan aku letakkan rasa harap dan takut ?".

Ahmad bercerita bahwa dia berkata pada istrinya, "Aku tidak pernah melihat orang yang berdoa yang seperti itu dan shalat tahajjud sepanjang malam."
Kemuliaan hanya untuk Allah. Seseorang yang berkata sebagaimana kamu berbicara. Aku bangkit untuk beribadah diakhir malam ketika aku dipanggil." Jawabnya.

****
Lebih lanjut, Ahmad berkata, "Suatu hari, aku akan makan pada saat melakukan ibadah ketika dia mulai menasehatiku. Aku berkata, "Biarkan aku makan terlebih dahulu. Dia berkata bahwa berbicara tentang akhirat seharusnya tidak mengganggu orang-orang seperti kita.
Kemudian ia berkata bahwa setelah dia melihatku sebagai saudara bukan sebagai seorang suami, segera melayaniku secara khusus untuk mempersiapkan makanan.
Dia pernah berkata bahwa ia dapat melihat jin dan bidadari.

NAFISAH BINTI SAYYIDINA HASAN AL AL ANWAR RA Sosok Istiqamah, Pemilik Aneka Karamah


Adalah sosok yg begitu teguh memegang prinsip istiqomah sehingga wajar apabila kemudian Allah SWT memberinya beberapa karamah (kekeramatan) langka yang jarang di miliki orang lain.

Dialah Sayyidah (sebutan untuk keturunan Nabi) Nafisah puteri dari Sayyid Hasan Al Anwar bin Sayyid Zaid Al Ablaj bin Sayyidina Hasan (Cucu Nabi) bin Ali bin Abu Thalib KRW.

Sosok perempuan tegar dalam menghambakan diri kepada Sang Khaliq ini layak di jadikan panutan oleh umat Islam pada umumnya dan Kaum Hawa pada khususnya.

Wanita mulia yang lahir di Mekkah tahun 145H& tumbuh besar di Madinah ini begitu getol & Istiqomah dalam kegiatan beribadah yang total dan berperilaku Zuhud(menghindari gemerlap duniawi)

Tak jarang beliau meneteskan deraian air matanya saat bermunajat kepada Allah SWT dan memegang erat-erat satir Ka’bah seraya mengucapkan untaian doa,”Ya Tuhanku, Ya Tuanku dan Penguasaku, berikan aku anugerahMu. Dan gembirakan aku dengan ridhaMu kepadaku, tiada jalan yang aku tempuh yang akan jadi penghalang antara Engkau dan aku.”

Zainab puteri dari Yahya Al Mutawwaj (Saudara Sayyidah Nafisah) pernah mengatakan , ”Aku pernah berkhidmat kepada bibiku Nafisah selama 40 tahun. Dan selama itu pula tak pernah sekalipun aku melihatnya tidur malam atau tidak berpuasa sewaktu siang. Sehingga aku bilang kepadanya,’ Bibi, apa engkau tidak kasihan pada dirimu?’
Dia pun menjawab,
‘Bagaimana aku akan meninggalkan kebiasaanku ini. Sementara kakiku akan menjadi jejak-jejak yg tiada di tempuh melainkan orang-orang yang beruntung.’

Menurut riwayat Al-Qusha’i bahwa suatu ketika Zainab pernah di tanya mengenai cara makannya Sayyidah Nafisah.

Dia menjawab, ”Sayyidah Nafisah itu makanya satu kali setiap tiga hari. Sayyidah Nafisah memiliki keranjang yang beliau letakkan di depan Mushallanya. Dan setiap ia menginginkan seseatu maka pasti tahu-tahu telah tersedia dalam keranjang tersebut.

Dan aku juga menyaksikan hal itu sungguh tak pernah terbayangkan oleh benakku. Dan aku tak pernah tahu siap yang memberinya. Aku merasa heran sekali atas kejadian itu.”
Sayyidah Nafisah berkata, ”Hai Zainab, barangsiapa istiqamah bersama Allah niscaya dunia ini berada dalam genggamannya dan tunduk kepadanya.”

Wanita yang masih keturunan Nabi ini tidak hanya hafal Al Qur’an saja, tapi juga hafal tafsirnya. Dia begitu istiqomahnya dalam mengaji Al Qur’an seraya berdo’a, ”Ya Tuhanku, Ya Tuanku, berikan aku kemudahan untuk berkunjung ke (maqam) kekasih-Mu Ibrahim As.”

Maka tak selang lama beliau bersama suami tercintanya, Ishaq Al Mu’taman bin Ja’far As-Shadiq mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji. Dan setelah beribadah haji keduanya menuju Mesir (Kairo) untuk tinggal di sana. Untuk sementara beliau tinggal di Al-Manshushah tepatnya di rumah seorang bernama Umi Hani’ (Salah satu familinya)

Di sekitar kediaman beliau tinggallah keluarga Yahudi bersama puterinya yang lumpuh. Suatu ketika ibunya berkata, ”Saya akan pergi ke Al Hamam dan saya tidak tahu harus berbuat apa dengan mu, apakah kami harus meendukungmu?”

Anaknya menjawab, ”Saya tak bisa membiarkan ibu merepotkan diri seperti itu.” Ibunya berkata,”Atau mungkin kamu tinggal saja di rumah hingga kami kembali?” Anaknya menjawab, ”Jangan, Bu. Titipkan saja aku di rumah Sayyidah Nafisah.”
Dan ibu anak lumpuh tersebut setuju. Kemudian diapun mendatangi kedìaman Sayyidah Nafisah seraya menitipkan putrinya tersebut dan kemudian diapun berlalu pergi.

Ketika waktu shalat Dhuhur tiba, Sayyidah Nafisah mengambil air untuk berwudlu’ dan tiba-tiba dari air wudhu tersebut ada sesuatu yang keluar dan mendekati si budak lumpuh itu.

Maka beliau mengurutkan sesuatu itu pada beberapa bagian tubuh si bocah dan secara ajaib dengan seizin Allah SWT si bocah sembuh  dari kelumpuhannya.

Ketika keluarganya pulang si bocahpun menyambut mereka dengan berjalan kaki dan tentu saja keluarga Yahudi tersebut terheran-heran melihat peristiwa ajaib itu.

Bagaimana anaknya yang selama lumpuh itu tiba-tiba bisa berjalan normal. Dan setelah anaknya menceritakan kejadian yang di alaminya maka mereka pun masuk islam.

Menurut Al Hasan bin Zulaq, selepas peristiwa menggemparkan itu banyak orang yang berdatangan ke kediaman Sayyidah Nafisah.

Beritapun kian tersebar dan orang-orangpun kian berdatangan. Namun hal itu malah membuat Sayyidah Nafisah merasa kurang enak, sehingga diapun meminta untuk pindah dari Kairo menuju Hijaz (Mekkah & sekitarnya), tempat di mana sanak saudaranya tinggal di sana.

Namun atas bujukan Al Sariy bin Hakam, penguasa Mesir saat itu agar Sang Sayyidah berkenan tinggal di Mesir, maka beliaupun berkenan tinggal di sana sampai wafat, di Kairo.

Menurut Ibnu Al Mulaqqin bahwa ketika Imam Syafi’i tiba di Mesir, beliau sering berkunjung ke kediaman Sayyidah Nafisah. Dan bahkan As-Syafi’i pernah shalat Tarawih di masjidnya Sayyidah Nafisah dan mengunjungi beliau dalam rangka meminta doa kepada Sayyidah yang di kenal dengan Istiqomah dan karomahnya tersebut.

Wallahu A’laam

MU’ADZAH BINTI AL ADAWIYYAH Ahli Ibadah yang Jarang Tidur Nyenyak


Mu’adzah binti Abdullah Al ‘Adawiyyah Al Bashiriyyah Radhiyallahu'anha adalah perempuan ahli ibadah pada masanya.
Tak jarang ia dipanggil Ummu Sahba. Mu’adzah dikenal sebagai sosok wanita yang terpercaya, cerdas, berilmu dan senantiasa beribadah kepada Allah.
Mu’adzah merupakan istri dari seorang tabi’in yakni Shilah bin Asyyam. Setelah sang suami wafat di medan perang, Mu’adzah hidup sendiri. Ia kemudian wafat pada usia 83 tahun.
Sebagai wanita yang dikenal sebagai sosok yang cerdas, Mu’adzah beberapa kali meriwayatkan hadits. Ahli ilmu (Al Sayyidatul alimah) ini sempet berguru dengan Aisyah Radhiyallahu’anha dan beberapa sahabat di antaranya Sayyidina Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu’anhu dan Ummu Amr binti ‘Abdillah bin Zubair.
Mu’adzah memiliki beberapa murid laki-laki, di antaranya Abu Qilabah Al Jarmiyy, Yazid Al Risyk, ‘Ashim Al Ahwal, Umar bin Dzar, Ishaq bin Suwaid, dan Ayyub Al Sikhtiyaniyy yang kemudian semuanya menjadi tabi’in. Tak sedikit pula murid Mu’adzah datang dari kalangan perempuan.
Selain cerdas, Mu’adzah juga merupakah sosok yang zuhud. Baginya, kenikmatan dunia hanyalah kenikmatan semu, sementara kenikmatan akhiratlah yang abadi. Suatu ketika ia berkata, “Aku telah menjalani kehidupan di dunia ini selama 70 tahun. Selama itu pula aku tak pernah melihat sesuatu yang dapat menggembirakan hati dan mataku.”

Mu’adzah tak akan membiarkan waktunya terbuang selain untuk beribadah kepada Allah. Bahkan pada saat malam sekalipun, Mu’adzah enggan tidur nyenyak dan memilih untuk menghidupinya dengan shalat dan dzikir. Apa yang dilakukan Mu’adzah tak lain agar ia meninggal dalam keadaan mengingat Allah.
Dalam sehari semalam, Mu’adzah mampu mendirikan shalat sebanyak 600 rakaat. Pada 40 tahun terakhir dalam hidupnya, Mu’adzah tak pernah mendongakkan pandangannya ke langit seakan takzim. Menurutnya, memandang ke langit merupakan bentuk ketidaksopanan dan sombong terhadap Allah.
Semenjak kepergian sang suami, ia tak lagi tidur beralasan kasur empuk dan memilih tidur di tanah dengan harapan dapat bertemu dengan suaminya di mimpi. Sementara bila malam datang, ia sengaja memakai pakaian tipis agar dinginnya malam membuat ia terus terjaga.

Bila kantuk menyerangnya di malam hari, ia akan berkata pada dirinya sendiri, “Hai nafsu, tidur panjang (kematian) mengintai di depanmu.” Kemudian ia akan berjalan-jalan di dalam rumah untuk menghilangkan mengantuk.
Pada riwayat lain diceritakan pada siang hari, Mu’adzah berkata, “Ini adalah hari di saat aku akan mati.” Maka ia akan melakukan ibadah dan terjaga hingga sore hari. Kemudian pada malam hari, ia berkata, “Ini adalah malam di saat aku akan mati.” Maka ia akan melakukan ibadah dan terjaga hingga subuh datang.
Suatu hari, az-Zhahabi datang dan berkata pada Mu’adzah, “Aku telah mendengar kabar engkau senantiasa melakukan ibadah malam.”
Muadzah menjawab, “Aku sungguh heran dengan mata yang senantiasa tertidur. Bagaimana tidak, padahal ia tahu seberapa lama kita akan tertidur dan tak bisa melakukan ibadah lagi saat di kubur nanti.”


Maimunah As-Sauda Si Hitam yang gila


Namanya Maimunah tapi orang memberikan julukan Maimunah As-Sauda yang ertinya Maimunah Si Hitam.

Masyarakat sekeliling hanya mengenalnya sebagai perempuan tak betul atau gila kerana dia kelihatan sangat selekeh . Bajunya berupa jubah buruk diperbuat daripada kain kasar dan bertampal-tampal. Maimunah sentiasa mengasingkan dirinya dengan mengembala kambing di padang berhampiran tanah perkuburan

Tak sesiapa pun yang mengambil tahu terhadapnya, akan tetapi disebalik keselekehannya itu tersembunyi hati yang tulus dan bersih serta tidak pernah lupa mengingati Allah. Hanya wali Allah saja yang tahu bahawa dia sebenarnya adalah wali Allah dari golongan wanita. 



Darjat Maimunah Sauda di sisi Allah diketahui apabila seorang wali Allah Syeikh Abdul Wahid bin Zaid memohon kepada Allah agar diperlihatkan pasangannya di syurga kelak.

Selama tiga malam berterusan dia berdoa kepada Allah dan pada malam ketiga dia mendengar suara :"Wahai Abdul Wahid! pasanganmu di syurga kelak adalah Maimunah Si Hitam. 

'Ada dimana dia?"tanya Abdul Wahid


"Dia di Kufah" 


Abdul Wahid segera berangkat ke Kufah da menuju ke tempat seperti mana yang diberitahu. Abdul Wahid bin Zaid bertanya kepada seseorang perihal Maimunah dan dia ingin berjumpa dengannya. Orang itu menyatakan Maimunah Si Hitam adalah seorang pengembala berhampiran perkuburan. 


Abdul Wahid segera ke tempat yang dimaksudkan di sana dia berjumpa dengan Maimunah Si Hitam sedang solat Di hadapannya ada sebatang tongkat dan di bajunya ada tulisan yang tertulis 

"Tidak boleh dijual beli". 

Anehnya kambing-kambing yang digembalakan oleh Maimunah bercampur baur dengan serigala. Kambing tidak merasa takut pada serigala dan serigala pula tidak mahu makan kambing tersebut. Apabila Maimunah mengetahui ada orang datang dia mempercepatkan solatnya. 


"Wahai anak si Zaid! Pulanglah perjanjian kita bukan di sini tetapi di akhirat kelak"kata Maimunah sebaik sahaja selesai solatnya. 

"Semoga Allah merahmatimu. Siapakah yang memberitahu engkau tentang aku?"

"Apakah engkau tidak tahu bahawa roh itu dipasang-pasangkan , mana yang akan berkawan rapat atau berjauhan antara satu sama lain"jawab Maimunah. 


"Wahai Maimunah berilah aku nasihat pinta Abdul Wahid. 


"Aneh betul. Engkau adalah orang yang memberi nasihat, mengapa engkau meminta nasihatku"kata Maimunah. "Tapi tak apalah. Aku telah mendengar bahawa tidak ada seorang hamba yang telah diberikan sesuatu nikmat dunia oleh Allah, kemudian meminta lagi yang kedua kecuali setelah Allah cabut kemanisan beribadah. Kemudian dia akan jauhkan dari Allah setelah sebelumnya dekat kepadaNya, dan digantikannya sifat berjinak-jinak menjadi kebencian. 


"Aku lihat kambing-kambing yang engkau gembala bercampur baur dengan  serigala. Anehnya serigala tidak makan kambing dan kambing tidak takut kepada serigala. Mengapa demikian?"tanya Abdul wahid. 


"Pergilah engkau dari sini. Aku memperbaiki hubungan aku dengan Allah dan Allah jualah yang menjinakkan antara kambing dengan serigala ini" jawab Maimunah

JAWHAR BRATHYAH sufi wanita terkemuka dari abad ke tiga hijriyah


Jawhar Brathyah adalah sufi wanita terkemuka dari abad ke tiga hijriyah.

Dia lahir tahun 237 hijiryah di Baghdad. Dia budak dari beberapa penguasa Abassiyah.

Suatu hari ia melewati sekelompok majelis ilmu. Dia melihat seseorang yang lemah lembut perangainya sedang mengajar dengan kata-kata penuh hikmah. Dia mendengarkannya hingga datang terlambat menemui tuannya.

Selanjutnya,perlahan-lahan keadaan di dalam masjid tempat mengajar ilmu hadist itu begitu mempesonanya. Dia terkesan atas apa yang dilihatnya.

Beberapa murid mencatat penjelasan dari seorang Syaikh yang memberikan pelajaran. Ketika akhirnya dia kembali pada tuannya, dia terkihat sebagai pribadi yang sangat berbeda dari sebelumnya.Dia memilih untuk sikap diam dan cenderung pada kebaktian sepanjang waktu.

Sesama hamba sahaya mengejeknya tetapi dia tetap diam saja.Suatu hari dia didesak untuk membuka rahasia keteguhan hati dan ketenangan jiwanya.Dia berkata,"Aku adalah hamba Allah dan menjadi kewajibanku untuk taat pada perintah-Nya."Mereka bertanya, "Bagaimana kamu menjelaskannya pada Khalifah ?" Dia menjawab, "Sebagaimana yang telah aku berikan selama ini,sudah aku berikan."Perlahan berita ini sampai pada Khalifah dan akhirnya ia mendapatkan ke bebasannya.

Dia mempelajari ilmu hadits dengan sungguh-sungguh dan mengkhususkan diri untuk beribadah dan mengajarkan ilmu hadist.Dia menikah dengan Abu Abdullah Brathi,bapak ilmu hadist dan ahli hukum Islam.Kini Jawhar Brathiyah merasakan kelegaan diri dan melepaskan diri dari kesenangan dunia.

Suatu ketika,Khalifah mengirimkan kantong yang berisi uang sebesar sepuluh ribu dinar tetapi dia mengembali kannya seraya berkata,"Kekayaan membawa pada kebanggan dan kesombongan jadi aku tidak membutuhkannya."

Khalifah mengirmkan lagi kantong uang dalam jumlah dua kali lipatnya dan memintanya untuk menyedekahkan uang itu untuk orang-orang miskin dan kaum papa.Tetapi ia menolak untuk menerimanya dan berkata pada utusan Khalifah tersebut bahwa ia hidup di lingkungan yang terpencil dan dia tidak mengetahui siapa yang pantas untuk ditolong dan bila sedekah itu diberikan pada orang yang salah maka ia akan dimintai pertanggung jawaban di hari akhirat. Maka,ia menya rankan pada Khalifah untuk menyerahkan sedekah itu pada orang-orang yang pernah berjasa pada agama.

Suatu ketika Khalifah mengundangnya datang ke istana agar istana merasa terberkati dengan kehadirannya. Tetapi dia mengirimkan kata bahwa dia bahagia dengan kehidupannya dan dia takut kedatangan akan menganggu ketenangan hidupnya.

Suatu ketika,permaisuri Khalifah memanggilnya dan memintanya untuk datang ke istananya tetapi dia menolak dan berkata kepada permaisuri bahwa ia adalah wanita biasa dan lebih senang hidup di tengah-tengah kaumnya sendiri. Lebih jauh ia mengatakan bahwa kepuasan batin dimana dia sangat menikmati hidupnya tidak akan pernah dapat dinikmati dari tempat lain.

Ini sudah menunjukkan gambaran bahwa Jawhar Brathyah lebih senang hidup sederhana dan kumpul dengan orang-orang miskin.Cara hidupnya ini telah membuat batinnya tenang dan bahagia.Ia juga bias beribadah dengan khusyu` tanpa memikirkan kemewahan duniawi.inilah jalan hidup yang dipilih oleh Jawhar Brathyah hingga akhir hayatnya.

Jawhar Brathiyah meninggal di tahun 397 hijriyah.

HABIBAH AL ADAWIYAH Waktu Malamnya Untuk Beribadah Dan Bermunajat Kepada Allah


Habibah Al-Adawiyah adalah wanita sufi yang banyak menghabiskan waktu malamnya untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah.Disaat ia sedang ibadah maka tidak ada kenikmatan yang bisa menyejukkan hatinya kecuali bermunajat kepada Allah.Hal ini ia lakukan setiap malam sampai pagi hari disaat dirinya tidak mendapat halangan (haidl),karena itu ia jarang tidur malam.

Rupanya Habibah telah menemukan kebahagiaan batinnya dengan berlama-lama dalam menjalankan shalat nya.  
Apabila shalat Isya' pada akhir waktu,dia mengerjakannya lama sekali sambil mengetatkan baju dan kerudung.Setelah shalat,dia berkata: "Ilahi, bintang gemintang telah terbenam,orang-orang telah tertidur,pintu-pintu istana raja telah di tutup dan setiap orang berduaan dengan kekasihnya; inilah aku berdiri dihadap an-Mu."Kemudian dia shalat lagi.Pada akhir malam dan terbit fajar,ia berkata, "Ilahi,malam telah berlalu dan siang akan menjelang.Apakah Engkau menerima ibadahku pada malam ini sehingga aku berbahagia,ataukah Engkau menolaknya sehingga aku berduka ?.Demi keagungan-Mu,inilah kebiasaanku supaya Engkau memberikan kehidupan padaku. Demi keagungan-Mu,jika Engaku mengusirku dari pintu-Mu,aku tidak akan pergi,karena aku yakin akan kemurahan dan kemulia an-Mu."

Demikianlah munajat yang dilakukan oleh Habibah Al-Adawiyah setiap malam setelah melakukan shalat malam.Dia bermunajat demikian karena merasa dirinya belum sempurnah dalam menjalankan ibadahnya.

ABIDAH AL MADANIYYAH HAMBA YANG MENJADI ULAMA WANITA


Ilmu agama yang mengangkat derajat hidup Abidah al-Madaniyyah.
Ia awalnya hanya seorang hamba sahaya budak dari saudagar bernama Muhammad bin Yazid. Namun kegigihannya mempelajari ilmu sangat kuat. Pada akhir hayatnya, ia terus dikenang sebagai ulama wanita dan ahli Hadis terkemuka.
Al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad dan Ibn Hibban dalam ats-Tsiqaat memasukkan Abidah sebagai satu dari tiga nama perawi Hadis wanita pada kurun abad 3 Hijriyah.
Ia dikenal memiliki hafalan yang kuat dan kecerdasan di atas rata-rata.
Abidah kecil adalah budak di rumah Muhammad bin Yazid di Madinah. Namun statusnya sebagai hamba sahaya tak menghalanginya untuk menuntut ilmu. Ia aktif  belajar dari ulama Hadis Madinah. Setiap hari selepas menyelesaikan pekerjaan rumah, ia berangkat menuju majelis ilmu. Aktivitas itu terus ia lakukan hingga ia bisa menghafal hampir 10.000 Hadis yang memiliki sanad dari guru-gurunya di Madinah. Subhanallah.
Suatu ketika, Muhammad bin Yazid bertemu dengan ulama Hadis dari Andalusia bernama Habib Dahhun, saat menunaikan ibadah haji. Muhammad bin Yazid menceritakan tentang sosok Abidah yang sangat cerdas dan menguasai banyak jalur periwayatan Hadis. Habib Dahhun tertarik dengan sosok Abidah. Ia pun meminta agar Abidah mengikuti majelis ilmu yang digelar Habib Dahhun selama menunaikan ibadah haji.
Mengetahui bakat dan kecerdasan budaknya, Muhammad bin Yazid merasa sosok Habib Dahhun tepat menjadi guru Abidah. Ia pun memerdekakan Abidah. Setelah merdeka, Habib Dahhun lantas menikahi Abidah. Sepasang  suami istri ahli Hadis ini pun kembali ke Andalusia, Spanyol, serta menjalani kehidupan di sana. Abidah meninggalkan tempat kelahirannya untuk mengembangkan ilmu bersama suaminya.
Berkat bimbingan sang suami, keilmuan Abidah di bidang Hadis kian diakui. Dr. Mohammad Akram Nadwi dalam bukunya Al-Muhaddithat: The Women Scholars in Islam mengungkapkan ada hampir 8.000 Muslimah yang menjadi perawi Hadis. Ia menempatkan sosok Abidah sebagai wanita dari kalangan atba’ tabiin keempat yang paling banyak meriwayatkan Hadis setelah Rubiyya Muawidh, Ummu Darda’ dan ‘Amrah binti Abdurrahman.
Periwayatan Hadis dari Abidah diterima karena ia adalah sosok perawi yang tepercaya. Abidah tumbuh menjadi ulama yang saleh, alim, jujur, dan jauh dari dusta. Pada masanya, banyak sosok perempuan yang mengukir prestasi sebagai ulama Hadis. Mereka berasal dari latar belakang yang sangat beragam, termasuk Abidah yang awalnya adalah seorang budak.
Sosok seperti Abidah dan perawi Hadis wanita dari eranya, semisal Abdah bin Bishr, Ummu Umar ath-Thaqafiyyah, Khadijah Ummu Muhammad, Abdah binti Abdurrahman dan lainnya, membuktikan ilmu Islam bisa dipelajari siapa saja. Termasuk dari kalangan wanita. Tidak sedikit laki-laki yang berguru untuk mengambil Hadis dari para perawi Hadis Muslimah ini. Bahkan Imam asy-Syafi’i pun berguru Hadis kepada Sayyidah Nafisah binti al-Hasan.
Abidah kerap menjadi teladan bagi umat Islam agar memberikan porsi besar kepada wanita dalam hal pendidikan. Ilmu Hadis yang mensyaratkan sosok perawi secara ketat membuktikan, Abidah dan perawi Hadis Muslimah lainnya bisa menyamai laki-laki dalam hal ilmu.
Setelah hidup di Andalusia, tidak banyak catatan yang mengisahkan kehidupan Abidah ini hingga akhir. Dalam kitab-kitab biografi, tidak diketahui secara pasti, kapan Abidah wafat dan di mana tempat dia dimakamkan.
Dari uraian di atas, terbuka satu cakrawala baru bahwa dalam konteks khazanah keilmuan Islam, perempuan juga memainkan peran penting transmisi informasi ilmu pengetahuan agama, khususnya Hadis, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perempuan juga tidak hanya menjadi murid. Mereka juga menjadi guru dari para ulama laki-laki terkemuka. Terakhir, sebagai ulama para wanita ini juga dikenal sangat menjaga akhlak, syariah dan perilaku Islam yang ideal.

GHUFAIRAH Tidak Melihat Langit Selama 40 Tahun


Ahmad ibn Ali berkata bahwa suatu kali permisi untuk mendatangi rumahnya, tetapi dia menolak. Meskipun demikian, aku tetap mendatanginya dan berdiri di dekat pintu.
Ketika dia mengetahui,dia membuka pintu dan berkata, "Ya Allah,aku berlindung pada Engkau dari orang-orang yang membuatku lupa kepadaMu. Dia mempersilahkan aku masuk.Ia masuk ke rumah dan mengatakan sedang beribadah.
Dia berkata, "Semoga Allah memuliakan saya yang mudah memberi maaf."
Kemudian ia melanjutkan ceritanya : "Ghufairah tidak melihat langit selama 40 tahun ini yang manyebabkan saat melihatnya ia merasa ketakutan. Setelah 40 tahun dia melihat langit dan merasa lemah dan tak sadarkan diri. Kemudian ia berharap bahwa Allah akan memanggilnya."
Aku lantas bertanya : "Kapan kamu akan berhenti meratap dan menangis ?. Matamu akan buta."
Dia berkata, "Jika mataku buta, aku akan meminta gantinya pada Allah, maka tidak ada kerugian yang aku derita. Jika ini tidak mendapatkan keridhaan Allah, aku akan menangis lebih banyak lagi. "
Dan setelah itu ia memalingkan wajahnya.
Dia seorang wanita ahli ibadah dari Bashrah,yang tidak pernah tidur malam. Nuh bin Salamah Al-Warraq pernah berkata kepadanya,“Kudengar engkau tidak pernah tidur malam”.
Maka Ghufairah menangis dan berkata: “Sebenarnya aku juga ingin tidur, tetapi aku tidak bisa.Bagaimana mungkin orang yang tidak bisa tidur harus tidur, karena dia ingin menjaga matanya agar tetap terjaga siang dan malam ?”.
Nuh bin Salamah berkata, “Demi Allah, dia telah membuatku menangis." Lalu dia berkata di dalam hati, “Aku melihat tidak seperti yang engkau lihat”.
Orang-orang pernah bertanya kepadanya tentang pengertian perwalian.
Maka dia menjawab, “Waktu-waktu yang dilalui para wali adalah waktu-waktu yang disibukkan dengan urusan selain dunia.
Seorang wali tidak mempunyai peluang menyisihkan waktu untuk sesuatu selain Allah selagi di dunia. Siapa yang mengabarkan kepadamu bahwa seorang wali Allah mempunyai kesibukan selain Allah, maka sesungguhnya dia adalah wali palsu

Ahad, 12 Julai 2020

KITAB RISALAH AL QUSYAIRI BAB 2 TERMINOLOGI TASAWWUF (SIRR)


Al-Faqih ila-Llah Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi

(IMAM AL QUSYAIRI)

27. SIRR

Sirr juga temasuk nuansa halus dalam hati manusia, sebgaimana arwah. Akarnya menunjukkan bahwa sirr adalah temepat musahadah, sebagaimana arwah temWApat mahabbah. Sedangkan kalbu tempat ma’rifat.

Para Sufi berkata: “Sirr adalah sessuatu yang membuat Anda mulia. Sedangkan rahasia sirr, adalah sesuatu yang tidak bisa terungkap selain Allah Yang Haq.”

Dari kesimpulan para kaum Sufi, kita memandang bahwa sirr lebih lembut dibanding ruh. Dan ruh lebih mulia dibanding kalbu.

Mereka berkata : “Sirr selalu merdeka dari belenggu tipudaya, baik dari pengaruh dunia maupun kesenangan.”

Kata sirr diucapkan bagi segala hal yang terjaga dan termasuk antara hamba dengan Allah swt. dalam ihwal ruhani. Dalam hal ini, ucapan seseorang yang mengatakan, “Rahasia-rahasia kami adalah keperawwanan yang masih suci. Sedang mereka ragu,” masuk kategori ucapan sirr.

Mereka mengatakan : “Hati orang-orang merdeka, selalu menerima rahasia-rahasia jiwa (asraar).


KITAB RISALAH AL QUSYAIRI BAB 2 TERMINOLOGI TASAWWUF (R U H)

Al-Faqih ila-Llah Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi

(IMAM AL QUSYAIRI)

26. R U H

Ahli hakikat dari kalangan Ahli Sunnah berbeda pandangan soal Ruh. Ada yang berpendapat, ruh adalah kehidupan. Yang lain berpandangan, ruh adalah kenyataan yang ada dalam hati, yang bernuansa lembut. Allah swt. menjalankan kebiasaan makhluk dengan mencipta kehidupan dalam hati, sepanjang arwahnya menempel di badan.

Manusia hidup dengan sifat kehidupan. Tetapi arwah selalu tercetak di dalam hati, dan bisa naik ketika tidur dan berpisah dangan badan, kemudain kembali kepada-Nya.

Manusia terdiri dari ruh dan jasad. Karenanya Allah swt. menundukkan keduanya secara keseluruhan, baik ketika di Mahsyar, diberi pahala maupun disiksa. Ruh adalah makhluk.
Bagi sementara pihak yang berkata bahwa ruh adalah qadim, merupakan kekeliruan besar Beberpa hadits