Catatan Popular

Ahad, 27 Oktober 2019

KISAH HIKMAH TABIIN Kisah Ibnu Munkadir yang Tak Rela Dagangnya Dijual Mahal


Diriwayatkan dari Muhammad bin al-Munkadir, sesungguhnya ia memiliki kain, sebagian berharga lima (dirham), sebagian lainnya sepuluh (dirham). Ketika ia tidak ada, budaknya menjual kain seharga lima (dirham) dengan harga sepuluh (dirham). Setelah mengetahuinya, sepanjang siang ia terus mencari-cari orang Badui yang membelinya, sampai berhasil menemukannya. 

Ibnu al-Munkadir berkata padanya: “Sesungguhnya budak(ku) telah berbuat salah, ia menjual padamu barang yang harganya lima (dirham) dengan harga sepuluh (dirham).” Pembelinya (Badui) berkata: “Aku rela.”

Ibnu al-Munkadir berkata: “Jikapun kau rela, kami yang tidak rela atas (kerugian)mu, kecuali (dengan syarat yang) membuat kami rela untuk diri kami sendiri. Maka, pilihlah satu dari tiga hal ini, (pertama), silakan ambil (tukar) kain yang seharga sepuluh (dirham), (kedua), kami kembalikan uang lima (dirham) padamu, dan (ketiga), kau kembalikan kain (yang kau beli) dan silakan ambil uangmu (kembali).” 

Pembeli itu berkata: “Kembalikan saja uang lima (dirhamku).” Ibnu al-Munkadir mengembalikannya pada orang Badui itu, lalu ia pulang. Si Badui pun (penasaran) dan bertanya-tanya: “Siapakah orang tua itu?” Kemudian seseorang menjawabnya: “Ia adalah Muhammad bin al-Munkadir.” Orang Badui itu berujar: “(Pantas saja), tidak ada tuhan selain Allah. Dialah orang yang mengalirkan air di sumur-sumur ketika kami kekeringan.” (Imam Abû Hâmid al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Beirut: Darul Ma’rifah, tt, juz 2, h. 80)

****

Imam Muhammad bin al-Munkadir (w. 747 M) adalah seorang tabi’in. Ia meriwayatkan hadits dari banyak sahabat Nabi seperti Sayyidah Aisyah, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidina Abdullah bin Umar, Sayyidina Abdullah bin Abbas, Sayyidina Anas bin Malik dan masih banyak lainnya. Hampir semua imam besar hadits mengambil riwayat darinya, sebut saja Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah, Imam al-Tirmidzi, dan lain sebagainya. Di kalangan ulama, Imam Ibnu al-Munkadir memiliki kedudukan yang tinggi. Imam Malik bin Anas mengatakan:


“Muhammad (bin al-Munkadir) adalah tuannya para pembaca al-Qur’an yang hampir tidak ada seorang pun yang menanyakan hadits padanya kecuali berlinangan air mata (hampir menangis).” (Imam Ibnu ‘Asâkir, Târîkh Madînah Dimasyq, Beirut: Dar al-Fikr, 1997, juz 56, h. 42)

Kisah di atas adalah bukti keluhuran pekerti dan kejujuran lakunya. Demi keberkahan, Imam Ibnu al-Munkadir rela menghabiskan waktunya untuk mencari orang yang membeli kainnya, padahal orang yang dicarinya sudah rela dengan harga yang dibayarkan, tapi Imam Ibnu al-Munkadir bersikukuh. Katanya: “Jikapun kau rela, kami yang tidak rela atas (kerugian)mu.” Sungguh menarik, bukan? Mari kita kaji lebih dalam.

Apa yang dilakukan Imam Ibnu al-Munkadir harus kita pahami sebagai “usaha mengamalkan agama setepat mungkin.” Banyak orang mengamalkan agama sekadarnya saja, atau bahasa kerennya “yang penting ngerjain.” Imam Ibnu al-Munkadir melampaui itu, ia berusaha sekuat tenaga untuk mengamalkan agamanya setepat mungkin. Artinya, ia berusaha mengamalkan semua aspek yang melingkupi agama. 

Kita bisa skemakan seperti ini, sekadar contoh ya: pertama, ketika ia mengetahui kesalahan budaknya, ia mengamalkan “malu” kepada Allah. Kedua, ketika sepanjang hari mencari orang Badui yang membeli barangnya, ia mengamalkan “sabar”. Ketiga, ketika sudah bertemu dengan orang Badui yang dicarinya, ia mengamalkan “jujur”. Keempat, ketika orang Badui menyatakan kerelaannya, ia mengamalkan “adil”, dan seterusnya. Ini baru gambaran kecil dari pengamalan agama “setepat mungkin”, karena aspek yang melingkupinya masih lebih banyak dari contoh di atas. Masih ada “takut” (khauf), masih ada “raja’” (mengharap), dan lain sebagainya.

Misalnya, apa yang dilakukan Imam Ibnu al-Munkadir bisa juga dipahami sebagai pengamalan “khauf” (takut) atas hilangnya berkah karena menjual barang tidak sesuai harganya, dan “raja” (mengharap) kembali berkah dengan perjuangannya mencari pembeli yang dirugikan itu. Belum lagi pengamalan paling maksimal dan ideal dari setiap aspeknya, misalnya “adil”, “sabar”, “malu”, dan “jujur” dalam level terbaiknya.

Begitu pun sebaliknya, “pengamalan agama setepat mungkin” harus didampingi dengan “penghindaran dosa setepat mungkin”, yang semuanya berakar pada ketakutan. Jika menggunakan skema yang sama seperti di atas; pertama, takut bermaksiat kepada Allah; kedua, takut kehilangan rasa syukur; ketiga, takut menjadi pembohong; keempat, takut dikuasai kezaliman, dan seterusnya. Karena pada dasarnya, menabrak larangan itu lebih berbahaya daripada melanggar perintah.

Kembali pada pembahasan, di akhir kisah, setelah mengetahui identitas Ibnu al-Munkadir, orang Badui tersebut berkata: “Dialah orang yang mengalirkan air di sumur-sumur ketika kami kekeringan”. Artinya, terlepas dari semuanya, Imam Ibnu al-Munkadir adalah orang yang penuh kasih sayang. Dengan kata lain, “pengamalan agama setepat mungkin” dalam tataran tertingginya adalah kasih sayang dan cinta. Karena itu, pengamalan agama tidak memiliki batas, seperti halnya kasih sayang dan cinta. Sebanyak apapun amal yang kita lakukan, yakinlah masih banyak amal yang belum kita lakukan. Ini masih perbincangan dalam wilayah kuantitas, belum wilayah kualitas, yang mana tujuannya tidak sekadar sah atau tidaknya sebuah laku ibadah.

Maka dari itu, kita sebagai manusia harus mulai berbenah, memeluk pengamalan agama sebagai nikmat Tuhan. Orientasi ibadah kita yang mulanya berkutat di wilayah kuantitas, perlahan-lahan harus digeser memasuki wilayah kualitas, tentunya dengan tanpa mengurangi kuntitasnya, agar kita mulai memahami dunia dengan perspektif berbeda. 

Kita sering melihat, banyak orang yang rela mengeluarkan biaya besar untuk membantu masjid, tapi jarang sekali kita melihat orang yang membantu sesamanya. Sekarang lihatlah Imam Ibnu al-Munkadir, ia membantu daerah-daerah yang kekeringan dengan memberi mereka air. Dan ingat, mendapatkan air di zaman itu tidak semudah sekarang. Ia harus mengeluarkan dana besar untuk memenuhi kebutuhan mereka. 

Dengan merenungi kisah Imam Ibnu al-Munkadir, kita jadi tahu bahwa, selama ini kesalehan telah tereduksi maknanya, sebatas rajin shalat, puasa dan ibadah ritual lainnya. Padahal, untuk mencapai predikat saleh, seorang hamba harus melengkapi pengamalan agamanya, dan menaikkan level kualitasnya seperti Imam Ibnu al-Munkadir. Contoh sederhananya begini, shalat kita harus menambah kasih sayang di hati kita; puasa kita harus bisa meningkatkan kesabaran kita; zikir kita harus membuat kita lebih mawas diri, dan seterusnya. Memang tidak mudah, tapi apa salahnya mencoba.

KISAH HIKMAH TABIIN Kisah Dua Orang Paling Miskin di Kota Madinah


Al kisah seorang pria asal Baghdad bernama Abdullah hendak menunaikan ibadah haji. Pamannya kemudian menitipkan uang sebanyak 10 dirham untuk disedekahkan di Kota Madinah. Si paman berpesan kepada Abdullah,
“Jika kau sudah sampai di Kota Madinah, maka carilah keluarga yang paling miskin di sana. Berikanlah uang ini kepada mereka.”
Abdullah pun berangkat haji sambil membawa titipan sang paman. Lalu begitu sampai di Kota Madinah, Abdullah segera bertanya kepada masyarakat setempat tentang orang paling miskin di kota nabi tersebut. Abdullah lalu mendapat petunjuk untuk menuju sebuah rumah yang merupakan tempat tinggal orang paling miskin di Madinah.
Pergilah Abdullah ke rumah tersebut. Setelah mengetuk pintu, terdengar suara seorang wanita dari dalam rumah, “Siapa Anda?”
Abdullah pun menjawab pertanyaan si wanita, “Aku seorang yang datang dari Kota Baghdad. Dititipkan uang padaku sebesar 10 dirham dan aku diminta untuk memberikannya sebagai sedekah untuk keluarga yang paling miskin di Madinah. Orang-orang menceritakan keadaan keluarga kalian kepadaku. Karena itu, ambillah uang ini!”
Namun ternyata wanita itu berkata, “Orang yang menitipkan uang kepadamu memberi syarat keluarga yang paling miskin di Madinah lah yang berhak menerimanya. Keluarga yang tinggal di depan rumah kami lebih miskin dari kami. Berikan saja uang itu kepada mereka.”
Abdullah pun meninggalkan rumah tersebut, lalu pergi ke rumah di depannya. Ia mengetuk pintu dan mendengar suara seorang wanita menjawab dari dalam rumah, “Siapa Anda?”
Abdullah pun memberikan jawaban yang sama sebagaimana kepada wanita pertama, “Aku seorang yang datang dari Kota Baghdad. Dititipkan uang padaku sebesar 10 dirham dan aku diminta untuk memberikannya sebagai sedekah untuk keluarga yang paling miskin di Madinah. Orang-orang menceritakan keadaan keluarga kalian kepadaku. Karena itu, ambillah uang ini!”
Namun ternyata wanita kedua pun menjawab hal serupa dengan wanita pertama, “Orang yang menitipkan uang kepadamu memberi syarat keluarga yang paling miskin di Madinah lah yang berhak menerimanya. Keluarga yang tinggal di depan rumah kami lebih miskin dari kami. Berikan saja uang itu kepada mereka.”
Abdullah pun kebingungan. Kepada siapa uang 10 dirham harus ia berikan. Sepuluh dirham bukanlah uang yang sedikit dan Abdullah harus memenuhi amanah pamannya. Sementara dua keluarga miskin di Madinah justru saling memberi dan enggan menerima. Meski dalam kondisi ekonomi sulit, mereka tak sedikit pun memiliki sifat tamak pada harta. Mereka sangat membutuhkan uang tersebut, namun mereka tak rakus dan justru memikirkan orang lain yang juga kekurangan harta.
Akhirnya, Abdullah pun membagi uang 10 dirham tersebut menjadi dua. Lima dirham untuk keluarga pertama, dan lima dirham lagi untuk keluarga kedua. Barulah mereka bersedia menerimanya.
Sifat dua keluarga miskin di Kota Madinah tak seperti kebanyakan orang pada umumnya. Mengingat tabiat setiap manusia pastilah menyukai harta. Namun dua keluarga tersebut menjadi teladan yang sangat baik tentang sifat qana’ah dan tidak tamak pada harta.
Peristiwa tersebut terjadi di zaman yang belum jauh dari era nabi, yakni era setelah tabi’ut tabi’in. Mereka masih memegang teguh ajaran Rasulullah agar tak rakus pada harta dan dunia. Sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda,
“Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka,” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Dua keluarga miskin itu pun tinggal di Kota Madinah, kotanya Rasulullah, tempat di mana orang-orang lebih dahulu beriman kepada sang nabi. Mereka adalah keturunan kaum Ashar, sang pembela Rasulullah dan penolong kaum muhajirin dari Makkah. Allah bahkan menyebut keutamaan warga Madinah dalam firman-Nya,
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka membutuhkan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al Hasyr: 9).

KISAH HIKMAH TABIIN ATHA BIN ABI RABAH KESABARAN SEORANG PEREMPUAN YANG DIRASUK


Ata' bin Abi rabah berkata, Ibnu Abbas r.a telah bertanya kepadanya, "Mahukah aku tunjukkan kepada engkau seorang perempuan ahli syurga ?"

Jawab Ata, "Bahkan, siapakah perempuan itu ?"

Ibnu Abbas berkata, "Perempuan hitam itu telah menemui Rasulullah s.a.w mengadu ia telah dirasuk."

Sabda Rasulullah s.a.w kepada perempuan itu, "Jika engkau tahan dan sanggup bersabar maka syurga bagimu, sekiranya engkau tidak tahan dan tidak sanggup bersabar aku akan mendoakan engkau supaya engkau pulih segar."

Jawab perempuan itu, "Aku tahan dan sanggup bersabar (maka baginya syurga) sekian tercatat dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim. Dari sini dapatlah kita satu keterangan, bahawa penyakit sarak atau rasukan bukanlah ia sesuatu yang baru tetapi telah diketahui sejak zaman berzaman dan zaman Nabi dan sahabat.


KISAH HIKMAH TABIIN ALI BIN AL HUSAIN Cicit Rasulullah dan Rahasia Karung Gandum


Ali bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib, cicit Rasulullah yang terkenal kesalehannya. Beliau dikenal sebagai seorang yang giat beribadah hingga dijuluki Zainul ‘Abidin, yakni hiasannya para ahli ibadah. Segala amalan saleh dilakukannya, termasuk bersedekah. Cara Ali dalam bersedekah cukup unik, yakni dengan membagikan karung berisi gandum, bukan sekarung namun seratus karung. Pun dikeluarkannya bukan hanya sekali namun setiap malam.
Dikisahkan bahwa kehidupan Ali mapan dan lapang dalam urusan harta. Sang cucu Fathimah binti Rasulullah itu sukses dalam bisnisnya hingga dilimpahi kekayaan melimpah. Bahkan ia pula memiliki pertanian dan perkebunan yang subur dan selalu panen. Namun kehidupan Zainul ‘Abidin bersahaja dan ia selalu bersikap qana’ah.
Kekayaan yang dikaruniakan Allah, ia gunakan untuk bekal di akhirat. Zainul ‘Abidin sangat gemar bersedekah secara diam-diam. Ia tak ingin seorang pun mengetahui amalannya, bahkan oleh keluarganya sendiri. Karena itulah ia memilih malam hari, seorang diri, bersedekah ke setiap rumah fakir miskin di Kota Madinah.
Di tengah kegelapan, ketika semua orang terlelap, Zainul ‘Abidin mengendap dengan sekantung karung besar berisi gandum. Ia menuju sebuah rumah seorang fakir dan meletakkan karung itu di depan pintu. Ia kemudian kembali lagi dan mengambil sekarung lain, diantarkannya karung itu ke rumah seorang miskin yang lain. Setelah itu kembali lagi membawa sekarung gandum dan memberikannya di rumah fakir yang berbeda. Demikian seterusnya hingga seratus orang fakir miskin di Kota Madinah mendapatkan sekarung gandum setiap malam.
Tak ada yang tahu dari mana karung gandum itu berasal. Yang jelas, sebagian besar kaum fakir dan miskin di Kota Madinah dapat makan setiap harinya. Mereka dapat hidup dan bersyukur atas sedekah yang entah siapa yang memberinya, tak ada seorang pun yang tahu.
Rahasia itu baru terbongkar ketika suatu malam, tak ada lagi karung gandum di depan pintu rumah fakir miskin. Rahasia karung gandum itu terbongkar di hari wafatnya Ali bin Al Husain, sang Zaiul ‘Abidin. Barulah mereka menyadari bahwa ternyata selama ini cicit Rasulullah lah yang membagikan karung-karung gandum tersebut. Setelah ia wafat, tak ada lagi karung gandum misterius itu. Setelah kepergian putra Husain, para faqir miskin tak lagi menjumpai gandum di depan rumah mereka.
Bahkan menurut seorang tabi’in yang hadir takziah saat Ali bin Al Husain wafat, terungkap pula rahasia amal saleh yang selama hidupnya dilakukan sang Zainul ‘Abidin tersebut. Ketika jenazah cicit dari Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid tersebut dibaringkan dan hendak dimandikan, nampak sebuah bekas hitam di punggungnya. Mereka para kerabat dan sahabat Ali pun bertanya-tanya, “Bekas apa ini?”
Seseorang yang hadir pun berkata, “Itu adalah bekas karung-karung gandum yang ia pikul untuk seratus orang penduduk Madinah setiap malam.”
Masya Allah, sungguh mulia akhlak Ali bin Al Husain, cucu Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Azzahra. Tak heran jika kemudian penduduk Madinah sangat menyayanginya. Bukan hanya karena ia adalah keturunan dari Rasulullah, namun juga karena akhlaknya yang luhur. Ia sangat baik hati sehingga disukai banyak orang. Ia sangat dermawan hingga semua orang menghormatinya.
Kedermawanan Zainul ‘Abidin pula nampak setiap malam Idul Fitri. Bukan hanya zakat fitrah yang dikeluarkannya, ia pula membebaskan banyak budak setiap kali malam takbir. Tak hanya dibebaskan, budak-budak itu juga diberi bekal uang yang sangat banyak agar dapat memulai hidup baru dan merayakan hari raya esok hari.
Setiap kali membebaskan budak, Zainul ‘Abidin selalu minta satu hal, “Hadaplah kiblat dan berdoalah, ‘Ya Allah, ampunilah Ali bin Al Husain’.” Tentu semua budak yang dibebaskannya dengan senang hati mendoakan sang cicit Muhammad Rasulullah. Bahkan tanpa diminta pun, mereka bersedia melakukannya.
Kedermawanan Zainul Abidin sangat terkenal dan menjadi pembicaraan banyak orang. Sampai-sampai ada seorang penyair masyhur kala itu yang berkata, “Kedua tangannya ibarat hujan bagi yang memanfaatkannya. Orang yang tidak mampu senantiasa membutuhkan uluran kedua tangannya.” Semoga Allah meridhai Ali bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib.

KISAH HIKMAH SAHABAT Kisah Menakjubkan Sahabat Rasulullah Terkaya


Dialah Abdurrahman bin 'Auf, sahabat Rasulullah yang mendapat nikmat kekayaan di dunia serta kebahagiaan di akhirat. Siapa yang tak ingin seperti beliau. Bagi akhiratnya, beliau merupakan satu dari 10 shahabat Rasul yang dijanjikan surga. Di dunia, beliau menjadi orang terkaya dengan harta melimpah.
Namun cobaan harta tidaklah mudah. Beliau seringkali menangis karena hartanya yang berlimpah. Beliau takut hartanya akan menyulitkannya di akhirat kelak. 
Suatu hari, sepinggan makanan lezat dihidangkan untuk Abdurrahman bin 'Auf. Saat itu beliau sedang berpuasa. Namun bukan memakannya, sang shahabat justru menangis tersedu. Ia pun enggan menyentuh makanan tersebut.
"Allah bukakan dan bentangkan dunia ini untuk kami semua. Aku khawatir pahala dan balasanku dipercepat di dunia ini," ujarnya.
Padahal, beliau merupakan salah satu shahabat Rasulullah yang sangat dermawan. Bagaimana mungkin harta menjadi balasan pahala jikalau harta itu diberikannya untuk kepentingan umat Islam.
Dialah shahabat yang menyumbang separuh hartanya saat Rasulullah kekurangan pasokan perang. Bahkan ia menyumbang seluruh hartanya saat Rasulullah membutuhkan perbekalan untuk Perang Tabuk. Sampai-sampai Umar bin Khattab berkata, "Sungguh aku melihat 'Abdurrahman bin 'Auf telah berdosa. Ia telah menyumbangkan seluruh hartanya tanpa menyisakannya untuk keluarga," ujar Umar kepada Rasulullah.
Maka Nabiyullah pun bertanya pada Abdurrahman mengenai kondisinya tersebut, "Apakah engkau meninggalkan sesuatu untuk keluargamu, wahai Abdurrahman?"
Dengan yakin Abdurrahman menjawab, "Ya, aku bahkan meninggalkan untuk mereka sesuatu yang lebih banyak," ujarnya.
"Berapakah jumlahnya?" tanya Rasulullah.
"Sebanyak janji Allah dan Rasul-Nya, yakni berupa balasan kebaikan, pahala dan ganjaran," jawab Abdurrahman enteng.
Kedermawanan Abdurrahman tak terkira dan tak tertandingi. Namun tidaklah hartanya habis setelah disedekahkan, justru semakin banyaklah hartanya. Allah begitu banyak melimpahkan harta kepadanya. Sehingga Abdurrahman pun terus saja memikirkan kondisinya di akhirat kelak. Ia terus saja takut bahwa hartanya akan menyulitkannya pada hari akhir.
Suatu hari di masa tuanya, Abdurrahman bin 'Auf mendengar sebuah hadits dari Aisyah. Sang ummul mukminin pernah mendengar Rasulullah berkata bahwa kelak Abdurrahman bin 'Auf akan menuju surga dengan merangkak.
Mendengarnya, Abdurrahman begitu sedih. Ia memang selalu khawatir bahwa hartanya akan menyulitkannya kelak. Beliau pun bertekad agar dapat menuju surga dengan berjalan tegak.
"Aku akan lakukan apa saja agar aku bisa masuk surga dengan berdiri, wahai Ummul Mukminin. Persaksikanlah semua kafilah dagangku ini beserta bawaan mereka dan pelana serta segalanya aku infakkan di jalan Allah," ujar Abdurrahman.
Padahal, sang shahabat Rasul ini memiliki kafilah dagang yang jumlahnya sangat banyak. Suatu hari, saat kafilah dagang Abdurrahman memasuki Kota Madinah, terhitung sebanyak 700 orang jumlahnya. Setiap dari mereka menunggang unta dan membawa segala kebutuhan manusia baik makanan hingga perhiasan. Bahkan dikisahkan, kota seakan bergoncang dengan kedatangan para kafilah dagang tersebut.
Semua harta melimpah itu kemudian dishadaqahkan di jalan Allah. Ia memenuhi kebutuhan seluruh ummul mukminin karena saat itu Rasulullah telah wafat. Ia pula memenuhi kebutuhan para mujahid yang berperang di jalan Allah. Bagi Abdurrahman, tiada hari tanpa berinfaq.
Tak hanya itu, selepas kematiannya, ia berwasiat agar memberi sebagian hartanya utuk seratus mujahidin perang Badr. Masing-masing dari mereka mendapat sebesar 400 dinar emas. Abdurrahman juga memberi harta yang banyak kepada para ummul mukminin. Ia juga membebaskan semua budak miliknya.
Setelah membagi-bagi hartanya tersebut, Abdurrahman bin 'Auf pun wafat dengan tenang. Turut mengantarkan jenazahnya, paman Rasulullah Sa'ad bin Abi Qaqqash serta Utsman bin 'Affan dan Ali bin Abi Thalib. 
Semoga Allah merahmati beliau.



KISAH HIKMAH SAHABAT Tsalabah Bin Abdurrahman Dan Ketakutannya Akan Dosa


Seorang pemuda dari kaum Anshar yang bernama Tsa’labah bin Abdurrahman telah masuk Islam. Dia sangat setia melayani Rasulullah SAW. Suatu ketika Rasulullah SAW mengutusnya untuk suatu keperluan.

Dalam perjalanannya dia melalui rumah salah seorang dari Anshar, maka terlihat dirinya seorang wanita Anshar yang sedang mandi. Dia takut akan turun wahyu kepada Rasulullah SAW menyangkut perbuatannya itu. Maka dia pun pergi kabur. Dia menuju ke sebuah gunung yang berada di antara Mekkah dan Madinah dan terus mendakinya.

Selama empat puluh hari Rasulullah SAW kehilangan dia. Lalu Jibril AS turun kepada Nabi SAW dan berkata, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam buatmu dan berfirman kepadamu, “Sesungguhnya seorang laki-laki dari umatmu berada di gunung ini sedang memohon perlindungan kepada-Ku.””

Maka Nabi SAW berkata, “Wahai Umar dan Salman! Pergilah cari Tsa’laba bin Aburrahman, lalu bawa kemari.”

Keduanya pun lalu pergi menyusuri perbukitan Madinah. Dalam pencariannya itu mereka bertemu dengan salah seorang penggembala Madinah yang bernama Dzufafah.

Umar bertanya kepadanya, “Apakah engkau tahu seorang pemuda di antara perbukitan ini?” Penggembala itu menjawab, “Jangan-jangan yang engkau maksud seorang laki-laki yang lari dari neraka Jahanam?” “Bagaimana engkau tahu bahwa dia lari dari neraka Jahanam?” tanya Umar. Dzaufafah menjawab, “Karena, apabila malam telah tiba, dia keluar kepada kami dari perbukitan ini dengan meletakkan tangannya di atas kepalanya sambil berkata, “Mengapa tidak cabut saja nyawaku dan Engkau binasakan tubuhku, dan tidak membiarkan aku menanti keputusan!” “Ya, dialah yang kami maksud,” tegas Umar. Akhirnya mereka bertiga pergi bersama-sama.

Ketika malam menjelang, keluarlah dia dari antara perbukitan itu dengan meletakkan tangannya di atas kepalanya sambil berkata, “Wahai, seandainya saja Engkau cabut nyawaku dan Engkau binasakan tubuhku, dan tidak membiarkan aku menanti-nanti keputusan!”

Lalu Umar menghampirinya dan mendekapnya. Tsa’labah berkata, “Wahai Umar! Apakah Rasulullah telah mengetahui dosaku?” “Aku tidak tahu, yang jelas kemarin beliau menyebut-nyebut namamu lalu mengutus aku dan Salman untuk mencarimu.” Tsa’labah berkata, “Wahai Umar! Jangan kau bawa aku menghadap beliau kecuali dia dalam keadaan sholat”

Ketika mereka menemukan Rasulullah SAW tengah melakukan sholat, Umar dan Salman segera mengisi shaf. Tatkala Tsa’laba mendengar bacaan Nabi saw, dia tersungkur pingsan. Setelah Nabi mengucapkan salam, beliau bersabda, “Wahai Umar! Salman! Apakah yang telah kau lakukan terhadap Tsa’labah?”

Keduanya menjawab, “Ini dia, wahai Rasulullah saw!”

Maka Rasulullah berdiri dan menggerak-gerakkan Tsa’labah yang membuatnya tersadar. Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Mengapa engkau menghilang dariku?” Tsa’labah menjawab, “Dosaku, ya Rasulullah!”

Beliau mengatakan, “Bukankah telah kuajarkan kepadamu suatu ayat yang dapat menghapus dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan?” “Benar, wahai Rasulullah.”

Rasulullah SAW bersabda, “Katakan Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat serta peliharalah kami dari azab neraka.”

Tsa’labah berkata, “Dosaku, wahai Rasulullah, sangat besar.”

Beliau bersabda,”Akan tetapi kalamullah lebih besar.” Kemudian Rasulullah menyuruh agar pulang ke rumahnya. Di rumah dia jatuh sakit selama delapan hari. Mendengar Tsa’labah sakit, Salman pun datang menghadap Rasulullah SAW lalu berkata,

“Wahai Rasulullah! Masihkah engkau mengingat Tsa’labah? Dia sekarang sedang sakit keras.” Maka Rasulullah SAW datang menemuinya dan meletakkan kepala Tsa’labah di atas pangkuan beliau. Akan tetapi Tsa’labah menyingkirkan kepalanya dari pangkuan beliau.

“Mengapa engkau singkirkan kepalamu dari pangkuanku?” tanya Rasulullah SAW. “Karena penuh dengan dosa.” Jawabnya.

Beliau bertanya lagi, “Bagaimana yang engkau rasakan?” “Seperti dikerubuti semut pada tulang, daging, dan kulitku.” Jawab Tsa’labah. Beliau bertanya, “Apa yang kau inginkan?” “Ampunan Tuhanku,” Jawabnya.

Maka turunlah Jibril as. dan berkata, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya Tuhanmu mengucapkan salam untukmu dan berfirman kepadamu, “Kalau saja hamba-Ku ini menemui Aku dengan membawa sepenuh bumi kesalahan, niscaya Aku akan temui dia dengan ampunan sepenuh itu pula.” Maka segera Rasulullah SAW memberitahukan hal itu kepadanya. Mendengar berita itu, terpekiklah Tsa’labah dan langsung ia meninggal.

Lalu Rasulullah SAW memerintahkan agar Tsa’labah segera dimandikan dan dikafani. Ketika telah selesai disholatkan, Rasulullah SAW berjalan sambil berjingkat-jingkat. Setelah selesai pemakamannya, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah! Kami lihat engkau berjalan sambil berjingkat-jingkat.”

Beliau bersabda, “Demi Zat yang telah mengutus aku sebagai seorang nabi yang sebenarnya! karena, banyaknya malaikat yang turut menziarahi Tsa’labah.”

KISAH HIKMAH SAHABAT Sahabat Abu Bakar dengan Jubah Tua


Pada suatu hari, Abu Bakar r.a duduk di sisi Rasulullah saw dengan menggunakan jubah yang lusuh, tua, dan robek-robek, bahkan hingga pinggir-pinggirnya disambung dengan pelepah kurma dan ranting pepohonan.

Kemudian Jibril as turun kepada mereka dan berkata, “ Wahai Muhammad, mengapa Abu Bakar mengenakan jubah dengan kayu-kayu?”

Maka Rasulullah saw menjawab pertanyaan itu,”Wahai Jibril, ia telah menginfaqkan semua hartanya untukku sebelum kejadian fathu Mekkah”.

Kemudian Jibril as kembali berkata,”Allah memberikan salam kepadamu dan memerintahkan aku bertanya kepadamu, apakah kamu ridha denganKu dengan kondisi kemiskinanmu ini ataukah kamu merasa marah?”

Mendengar perkataan jibril itu, Rasulullah saw berkata kepada Abu Bakar,”Wahai Abu Bakar, Allah memberikan salam kepadamu dan bertanya kepadamu, apakah kamu ridha denganku dengan kondisi kemiskinanmu ini ataukah kamu merasa marah?”

Maka Abu Bakar r.a menjawab pertanyaan Rasulullah itu dengan suara yang dipenuhi rasa cinta yang meluap-luap, “Bagaimana aku bisa marah dengan Tuhanku?” setelah itu ia melanjutkan kata-katanya, “ Aku merasa ridha dengan ketentuan Tuhanku….Aku merasa ridha dengan ketentuan Tuhanku……Aku merasa ridha dengan semua ketentuan Tuhanku”.

KISAH HIKMAH SAHABAT Kisah Taubat Yang Mengagumkan

Tiba-tiba datanglah seorang wanita berhijab masuk ke pintu masjid. Kemudian Rasul pun diam, dan diam pula para sahabat beliau .

Wanita tersebut menghadap dengan perlahan, dia berjalan dengan penuh gentar dan takut, dia lemparkan segenap penilaian dan pertimbangan manusia, dia lupakan aib dan keburukan, tidak takut kepada manusia, atau mata manusia dan apa yang akan dikatakan oleh manusia.

Hingga dia sampai kepada Rasulullah , kemudian dia berdiri di hadapan beliau, dan mengabarkan kepada beliau bahwa dia telah berzina!!

Dia berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah melakukan (maksiat yang mewajibkan adanya) hukuman had (atasku), maka sucikanlah aku!”

Apa yang diperbuat oleh Rasulullah ?! Apakah beliau meminta persaksian dari para sahabat atas wanita tersebut? Tidak, bahkan memerahlah wajah beliau hingga hampir-hampir meneteskan darah. Kemudian beliau mengarahkan wajah beliau ke arah kanan, dan diam, seakan-akan beliau tidak mendengar sesuatu. Rasulullah berusaha agar wanita ini mencabut perkataannya, akan tetapi wanita tersebut adalah wanita yang istimewa, wanita yang shalihah, wanita yang keimanannya telah menancap di dalam hatinya. Maka Nabi bersabda kepadanya: “Pergilah, hingga engkau melahirkannya.”

Berlalulah bulan demi bulan, dia mengandung putranya selama 9 bulan, kemudian dia melahirkannya. Maka pada hari pertama nifasnya, diapun datang dengan membawa anaknya yang telah diselimuti kain dan berkata: “Wahai Rasulullah, sucikanlah aku dari dosa zina, inilah dia, aku telah melahirkannya, maka sucikanlah aku wahai Rasulullah!”

Maka Nabipun melihat kepada anak wanita tersebut, sementara hati beliau tercabik-cabik karena merasakan sakit dan sedih, dikarenakan beliau menghidupkan kasih sayang terhadap orang yang berbuat maksiat.

Siapa yang akan menyusui bayi tersebut jika ibunya mati? Siapakah yang akan mengurusi keperluannya jika had (hukuman) ditegakkan atas ibunya? Maka Nabi bersabda: “Pulanglah, susuilah dia, maka jika engkau telah menyapihnya, kembalilah kepadaku.”

Maka wanita itupun pergi ke rumah keluarganya, dia susui anaknya, dan tidaklah bertambah keimanannya di dalam hatinya kecuali keteguhan, seperti teguhnya gunung. Tahunpun bergulir berganti tahun. Kemudian wanita itu datang dengan membawa anaknya yang sedang memegang roti. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah menyapihnya, maka sucikanlah aku!”

Dia dan keadaannya sungguh sangat menakjubkan! Iman yang bagaimanakah yang membuatnya berbuat demikian. Tiga tahun lebih atau kurang, yang demikian tidaklah menambahnya kecuali kekuatan iman.

Nabi mengambil anaknya, seakan-akan beliau membelah hati wanita tersebut dari antara kedua lambungnya. Akan tetapi ini adalah perintah Allah, keadilan langit, kebenaran yang dengannya kehidupan akan tegak.

Nabi bersabda: “Siapa yang mengkafil (mengurusi) anak ini, maka dia adalah temanku di sorga seperti ini…” Kemudian beliau memerintahkan agar wanita tersebut dirajam.

Dalam sebuah riwayat bahwa Nabi memerintahkan agar wanita itu dirajam, kemudian beliau menshalatinya. Maka berkatalah Umar : “Anda menshalatinya wahai Nabi Allah, sungguh dia telah berzina.” Maka beliau bersabda:

“Sungguh dia telah bertaubat dengan satu taubat, seandainya taubatnya itu dibagikan kepada 70 orang dari penduduk Madinah, maka taubat itu akan mencukupinya. Apakah engkau mendapati sebuah taubat yang lebih utama dari pengorbanan dirinya untuk Allah ?” (HR. Ahmad)

Sesungguhnya ini adalah rasa takut kepada Allah. Sesungguhnya itu adalah perasaan takut yang terus menerus berada pada diri wanita mukminah tersebut saat dia terjerumus ke dalam jerat-jerat syetan, dia menjawab jerat-jerat tersebut pada saat lemah. Ya, dia telah berbuat dosa, akan tetapi dia berdiri dari dosanya dengan hati yang dipenuhi oleh iman, dan jiwa yang digerakkan oleh panasnya maksiat. Ya, dia telah berdosa, akan tetapi telah berdiri pada hatinya tempat pengagungan terhadap Dzat yang dia bermaksiat kepada-Nya. Sesungguhnya ini adalah taubat sejati wahai hamba-hamba Allah

KISAH HIKMAH SAHABAT Kisah Menakjubkan Sahabat Nabi Julaibib


Namanya Julaibib, begitulah dia biasa dipanggil. Nama ini sendiri mungkin sudah menunjukkan ciri fisiknya yang kerdil dan pendek. Nama Julaibib adalah nama yang tidak biasa dan tidak lengkap. Nama ini, tentu bukan ia sendiri yang menghendaki. Bukan pula orangtuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan ibunya. Demikian pula orang-orang, semua tidak tahu, atau tidak mau tahu tentang nasab Julaibib. Bagi masyarakat Yatsrib, tidak bernasab dan tidak bersuku adalah cacat sosial yang sangat besar.

Tampilan fisik dan kesehariannya juga menjadi alasan sulitnya orang lain ingin berdekat-dekat dengannya. Wajahnya jelek terkesan sangar, pendek, bunguk, hitam, dan fakir. Kainnya usang, pakaiannya lusuh, kakinya pecah-pecah tidak beralas. Tidak ada rumah untuk berteduh, tidur hanya berbantalkan tangan, berkasurkan pasir dan kerikil. Tidak ada perabotan, minum hanya dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan telapak tangan. Abu Barzah, pemimpin Bani Aslam, sampai-sampai berkata tentang Julaibib, “Jangan pernah biarkan Julaibib masuk diantara kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang mengerikan padanya!” demikianlah keadaan Julaibib pada saat itu.

Namun jika Allah berkehendak menurunkan rahmatNya, tidak satu makhluk pun bisa menghalangi. Julaibib menerima hidayah, dan dia selalu berada di shaf terdepan dalam shalat maupun jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah ia tiada, tidak begitu dengan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam Shollallahu ‘alaihi wasallam sang rahmat bagi semesta alam. Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Sang Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam, “Julaibib…”, begitu lembut beliau memanggil, “Tidakkah engkau menikah?” “Siapakah orangnya Ya Rasulallah Shollallahu ‘alaihi wasallam”, kata Julaibib, “yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?” Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum. Tidak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah pada kata-kata maupun air mukanya. Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam juga tersenyum. Mungkin memang tidak ada orang tua yang berkenan pada Julaibib. Tapi hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam menanyakan hal yang sama. “Julaibib, tidakkah engkau menikah?”. Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut. Dan di hari ketiga itulah, Sang Nabi menggamit lengan Julaibib dan membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Anshar. “Aku ingin menikahkan putri kalian.”, kata Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam pada si empunya rumah, “ “Betapa indahnya dan betapa barakahnya”, begitu si wali menjawab berseri-seri, mengira bahwa sang Nabi lah calon menantunya. “Ooh.. Ya Rasulallah Shollallahu ‘alaihi wasallam, ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram di rumah kami.” “Tetapi bukan untukku”, kata Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam, “ku pinang putri kalian untuk Julaibib” “Julaibib?”, nyaris terpekik ayah sang gadis “Ya. Untuk Julaibib.” “Ya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam”, terdengar helaan nafas berat. “Saya harus meminta pertimbangan istri saya tentang hal ini” “Dengan Julaibib?”, istrinya berseru, “Bagaimana bisa? Julaibib berwajah lecak, tidak bernasab, tidak berkabilah, tidak berpangkat, dan tidak berharta. Demi Allah tidak. Tidak akan pernah putri kita menikah dengan Julaibib” Perdebatan itu tidak berlangsung lama. Sang putri dari balik tirai berkata anggun, “Siapa yang meminta?” Sang ayah dan sang ibu menjelaskan. “Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam? Demi Allah, kirim aku padanya. 

Dan demi Allah, karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam yang meminta, maka tiada akan dia membawa kehancuran dan kerugian bagiku”. Sang gadis yang shalehah lalu membaca ayat ini : “Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. Al Ahzab : 36) Dan sang Nabi dengan tertunduk berdoa untuk sang gadis shalihah, “Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atasnya, dalam kelimpahan yang penuh barakah. Jangan Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah..” Doa yang indah.

Maka benarlah doa sang Nabi. Maka Allah karuniakan jalan keluar baginya. Maka kebersamaan di dunia itu tidak ditakdirkan terlalu lama. Meski di dunia sang istri shalehah dan bertaqwa, tapi bidadari telah terlampau lama merindukannya. Julaibib telah dihajatkan langit mesti tercibir di bumi. Ia lebih pantas menghuni surga daripada dunia yang bersikap tidak terlalu bersahabat padanya. Saat syahid, Sang Nabi begitu kehilangan. Tapi ia akan mengajarkan sesuatu kepada para sahabatnya. Maka ia bertanya diakhir pertempuran. “Apakah kalian kehilangan seseorang?” “Tidak Ya Rasulallah Shollallahu ‘alaihi wasallam!”, serempak sekali. Sepertinya Julaibib memang tidak beda ada dan tiadanya di kalangan mereka. “Apakah kalian kehilangan seseorang?”, Sang Nabi bertanya lagi. Kali ini wajahnya merah bersemu. “Tidak Ya Rasulallah Shollallahu ‘alaihi wasallam!”. Kali ini sebagian menjawab dengan was-was dan tidak seyakin tadi. Beberapa menengok ke kanan dan ke kiri. Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam menghela nafasnya. “Tetapi aku kehilangan Julaibib”, kata beliau. 

Para sahabat tersadar,“Carilah Julaibib!” Maka ditemukanlah dia, Julaibib yang mulia. Terbunuh dengan luka-luka, semua dari arah muka. Di sekitarnya tergolek tujuh jasad musuh yang telah ia bunuh. Sang Rasul, dengan tangannya sendiri mengafani Sang Syahid. Beliau Shollallahu ‘alaihi wasallam menshalatkannya secara pribadi. Dan kalimat hari berbangkit. “Ya Allah, dia adalah bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari dirinya.” Di jalan cinta para pejuang, biarkan cinta berhenti di titik ketaatan. Meloncati rasa suka dan tidak suka. Melampaui batas cinta dan benci. Karena hikmah sejati tidak selalu terungkap di awal pagi. Karena seringkali kebodohan merabunkan kesan sesaat. Tapi yakinlah, di jalan cinta para pejuang, Allah lebih tahu tentang kita. Dan Dialah yang akan menyutradarai pentas kepahlawanan para aktor ketaatan. Dan semua akan berakhir seindah surga. Surga yang telah dijanjikanNya.

“Apalah artinya rupa yang cantik dan kedudukan yang tinggi, tapi rumah tangga porak peranda. Suami curang terhadap isteri, manakala isterinya juga bermain kayu tiga di belakang suami. Apalah yang dibanggakan dengan harta kekayaan yang melimpah ruah tetapi hati tetap tidak senang malah selalu bimbang dan cemas kerana diburu orang ke mana pergi. Memadailah rezeki yang sedikit yang Allah kurniakan tetapi berkat. Memadailah dengan suami yang dijodohkan tiada rupa asalkan suami tersebut dapat memberi kebahagiaan di dunia dan lebih-lebih lagi Akihrat.”

KISAH HIKMAH SAHABAT Kisah Abdullah Bin Umar dan Penggembala Domba


Suatu hari, Abdullah bin Umar r.a. pergi ke Mekah. Waktu ia beristirahat di tengah perjalanan, datanglah seorang penggembala domba dengan piaraannya. Ibnu Umar berkata,

“Wahai Penggembala, saya mau membeli satu domba dari domba-domba yang engkau pelihara?” “Saya hanyalah hamba sahaya yang tidak punya hak untuk menjual domba-domba ini. “Jawab penggembala. “Katakan saja kepda tuanmu bahwa salah satu dombanya dimakan binatang buas. “Abdullah bin Umar r.a.memberi solusi. Lalu Penggembala itu menjawab “Ya tuanku memang tidak tahu kalau saya berbohong, tetapi Bukankah ada ALLAH yang mengetahui segalanya?”

Mendengar perkataan penggembala tersebut Abdullah bin Umar r.a. meneteskan air mata. Keesokan harinya ia pergi ke tuan pemilik domba dengan maksud untuk memerdekakan penggembala itu. Tidak cuma itu, ia juga membeli domba-domba yang ada dan dihadiahkanlah domba-domba itu kepada si penggembala.

Barangsiapa meninggalkan keharaman karena Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan yang halal. Penggembala tersebut tidak mau menjual satu domba karena takut kepada Allah, namun akhirnya ia mendapatkan ganti domba dengan jumlah yang lebih banyak dan halal.

KISAH HIKMAH SAHABAT Adzan Terakhir Sahabat Bilal


Semua pasti tahu, bahwa pada masa Nabi, setiap masuk waktu sholat, maka yang mengkumandankan adzan adalah Bilal bin Rabah. Bilal ditunjuk karena memiliki suara yang indah. Pria berkulit hitam asal Afrika itu mempunyai suara emas yang khas. Posisinya semasa Nabi tak tergantikan oleh siapapun, kecuali saat perang saja, atau saat keluar kota bersama Nabi.

Karena beliau tak pernah berpisah dengan Nabi, kemanapun Nabi pergi. Hingga Nabi menemui Allah ta’ala pada awal 11 Hijrah. Semenjak itulah Bilal menyatakan diri tidak akan mengumandangkan adzan lagi. Ketika Khalifah Abu Bakar Ra. memintanya untuk jadi mu’adzin kembali, dengan hati pilu nan sendu bilal berkata: “Biarkan aku jadi muadzin Nabi saja. Nabi telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.”

Abu Bakar terus mendesaknya, dan Bilal pun bertanya: “Dahulu, ketika engkau membebaskanku dari siksaan Umayyah bin Khalaf. Apakah engkau membebaskanmu karena dirimu apa karena Allah?.” Abu Bakar Ra. hanya terdiam. “Jika engkau membebaskanku karena dirimu, maka aku bersedia jadi muadzinmu. Tetapi jika engkau dulu membebaskanku karena Allah, maka biarkan aku dengan keputusanku.” Dan Abu Bakar Ra. pun tak bisa lagi mendesak Bilal Ra. untuk kembali mengumandangkan adzan.

Kesedihan sebab ditinggal wafat Nabi Saw., terus mengendap di hati Bilal Ra. Dan kesedihan itu yang mendorongnya meninggalkan Madinah, dia ikut pasukan Fath Islamy menuju Syam, dan kemudian tinggal di Homs, Syria. Lama Bilal Ra tak mengunjungi Madinah, sampai pada suatu malam, Nabi Saw hadir dalam mimpi Bilal, dan menegurnya: “Ya Bilal, wa maa hadzal jafa’? Hai Bilal, kenapa engkau tak mengunjungiku? Kenapa sampai begini?.” Bilal pun bangun terperanjat, segera dia mempersiapkan perjalanan ke Madinah, untuk ziarah pada Nabi. Sekian tahun sudah dia meninggalkan Nabi.

Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Nabi Saw., pada sang kekasih. Saat itu, dua pemuda yang telah beranjak dewasa, mendekatinya. Keduanya adalah cucunda Nabi Saw., Hasan dan Husein. Sembari mata sembab oleh tangis, Bilal yang kian beranjak tua memeluk kedua cucu Nabi Saw itu. Salah satu dari keduanya berkata kepada Bilal Ra.: “Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan buat kami? Kami ingin mengenang kakek kami.” Ketika itu, Umar bin Khattab yang telah jadi Khalifah juga sedang melihat pemandangan mengharukan itu, dan beliau juga memohon Bilal untuk mengumandangkan adzan, meski sekali saja.

Bilal pun memenuhi permintaan itu. Saat waktu shalat tiba, dia naik pada tempat dahulu biasa dia adzan pada masa Nabi Saw masih hidup. Mulailah dia mengumandangkan adzan. Saat lafadz “Allahu Akbar” dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh Madinah senyap, segala aktifitas terhenti, semua terkejut, suara yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok nan agung, suara yang begitu dirindukan, itu telah kembali. Ketika Bilal meneriakkan kata “Asyhadu an laa ilaha illallah”, seluruh isi kota madinah berlarian ke arah suara itu sembari berteriak, bahkan para gadis dalam pingitan mereka pun keluar.

Dan saat bilal mengumandangkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat memilukan. Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Nabi, Umar bin Khattab yang paling keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan adzannya, lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai. Hari itu, madinah mengenang masa saat masih ada Nabi Saw. Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti Nabi Saw. Dan adzan itu, adzan yang tak bisa dirampungkan itu, adalah adzan pertama sekaligus adzan terakhirnya Bilal Ra, semenjak Nabi Saw wafat. Dia tak pernah bersedia lagi mengumandangkan adzan, sebab kesedihan yang sangat segera mencabik-cabik hatinya mengenang seseorang yang karenanya dirinya derajatnya terangkat begitu tinggi. Semoga kita dapat merasakan nikmatnya Rindu dan Cinta seperti yang Allah karuniakan kepada Sahabat Bilal bin Rabah Ra. Aamiin

KISAH HIKMAH SAHABAT Pesan Rahasia Rasulullah Kepada Muadz bin Jabal


 

Nabi Muhammad saw. adalah orang yang sangat memahami dan mengetahui keadaan sahabatnya. Beliau memberikan sebuah pengajaran atau informasi kepada mereka sesuai dengan kadar pemahaman masing-masing. Nabi Muhammad tidak memberikan materi yang berat kepada sahabat yang baru bergabung di majelisnya. Begitupun sebaliknya.

Nabi Muhammad terkadang juga memberikan pesan atau informasi khusus kepada salah seorang sahabatnya. Karena suatu hal, Nabi Muhammad melarang sahabatnya itu untuk memberitahukan pesan atau informasi itu kepada sahabatnya yang lain. Hal ini pernah dialami salah seorang sahabat senior Nabi, Muadz bin Jabal. 

Suatu ketika Nabi Muhammad naik unta bersama dengan Muadz bin Jabal dalam sebuah perjalanan. Tiba-tiba beliau memanggil Muadz bin Jabal hingga tiga kali. Muadz bin Jabal menjawab panggilan Nabi Muhammad. Setelah Muadz berkonsentrasi, Nabi Muhammad kemudian menyampaikan sebuah pesan tentang orang yang diharamkan Allah dari siksa api neraka.

“Tiada seorang pun hamba yang bersaksi dengan sungguh-sungguh dari dalam hatinya bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kecuali Allah akan haramkan dirinya disentuh api neraka,” kata Nabi Muhammad dalam kita al-Ilm karya Bukhari.

Muadz bin Jabal gembira dengan pesan yang disampaikan Nabi Muhammad itu. Hingga kemudian dia meminta izin untuk menyebarluaskan kabar gembira itu kepada para sahabat yang lainnya agar mereka juga ikut senang. Namun, Nabi Muhammad langsung melarangnya. Beliau berdalih, jika kabar itu diberitahukan kepada sahabat yang lainnya maka dikhawatirkan mereka akan ‘mengandalkan’ informasi itu.

Lalu mengapa Nabi Muhammad melarang Muadz bin Jabal untuk memberitahukan kabar gembira itu kepada yang lainnya? Para ulama berpendapat, Muadz bin Jabal dilarang menyampaikan itu agar orang-orang tidak bergantung dan mengandalkan dua kalimat syahadat itu. Pendapat lain menyebutkan, hadits-hadits yang memuat tentang keringanan (rukshah) seperti agar tidak disampaikan kepada orang awam. Dikhawatirkan, mereka akan salah memahami dari maksud yang terkandung dari hadits tersebut.

Semula Muadz bin Jabal memegang erat sabda Nabi Muhammad itu untuk dirinya sendiri. Hingga suatu ketika menjelang hari wafatnya, Muadz bin Jabal tidak sanggup lagi menyimpan informasi itu. Ia kemudian membocorkan ‘pesan rahasia’ dari Nabi Muhammad kepasa yang lainnya. Hal itu dilakukan karena Muadz bin Jabal ingin menghindari dosa karena telah menyimpan ilmu pengetahuan untuk dirinya sendiri.

Tidak hanya Muadz bin Jabal, para sahabat dan ulama setelahnya juga melakukan hal yang sama. Yaitu tidak menyampaikan suatu ilmu pengetahuan kepada semua orang, terutama orang awam, karena dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahpahaman. Sikap seperti itu sudah menjadi kebiasaan diantara mereka. 


KISAH HIKMAH SAHABAT Kisah Sayyidina Ali Menjadi Buruh Seorang Yahudi


Para sahabat begitu perhatian dan cinta kepada Nabi Muhammad. Mereka siap melakukan apapun untuk sekedar meringankan beban yang dialami Nabi Muhammad. Mereka juga siap mengorbankan harta, tenaga, dan bahkan nyawanya demi orang yang dicintainya itu. Bahkan, kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad lebih besar daripada kecintaan mereka terhadap diri sendiri ataupun keluarganya. 

Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah salah seorang yang sangat mencintai Nabi Muhammad. Saking cintanya, ia lebih mendahulukan kepentingan Nabi Muhammad dan mengakhirkan kepentingan pribadi. Salah satu bentuk kecintaan Sayyidina Ali bin Abi Thalib kepada Nabi Muhammad adalah dengan memberikan bantuan manakala yang dicintainya itu mengalami kesulitan. 

Merujuk buku Hayatush Shahabah , suatu ketika Nabi Muhammad mengalami kesulitan ekonomi. Keadaan itu membuat Nabi Muhammad tidak makan karena memang tidak ada yang bisa dimakan. Lambat laun kabar itu sampai ke telinga Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Setelah mengetahui kabar itu, Sayyidina Ali langsung pergi mencari pekerjaan sehingga mendapatkan upah. Nantinya upah itu akan diberikan kepada Nabi Muhammad.

Sayyidina Ali mendatangi seorang Yahudi yang memiliki kebun kurma. Kepada seorang Yahudi tersebut, ia mengaku siap bekerja untuk mengairi kebun kurmanya. Terjadi diskusi antara mereka berdua soal imbalan. Akhirnya disepakati, setiap Sayyidina Ali menimba satu ember dari sumur maka ia akan mendapatkan imbalan satu butir kurma.

Ia berhasil menimba 17 ember air. Sesuai kesepakatan, maka Sayyidina Ali menerima 17 butir kurma. Dia memilih kurma ajwah sebagai upahnya. Kurma-kurma tersebut kemudian diberikan kepada Nabi Muhammad. Hal itu membuat Nabi Muhammad bertanya kepada Sayyidina Ali perihal darimana asalnya kurma-kurma itu. 

“Aku pergi bekerja demi memperoleh makanan untukmu,” jawab Sayyidina Ali.

Ketika Nabi menanyakan perihal apa yang mendorong melakukan itu, Sayyidina Ali menjawab bahwa rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya lah yang mendorongnya bekerja dan memberikan upahnya kepadanya.

“Barang siapa mencintai Allah, hendaklah ia mempersiapkan perlindungan yang langgeng dari kemalangan,” kata Nabi Muhammad saw.


Dari kisah di atas bisa ditarik beberapa poin penting. 

Pertama, para sahabat sangat mencintai Nabi Muhammad. Tidak hanya sahabat, seluruh umat Islam juga begitu cinta dengan Nabi Muhammad. Mereka mencintai Nabi Muhammad begitu dalam, hingga mengalahkan cintanya kepada diri dan sanak famili sendiri.

Kedua, siapa yang mencintai Nabi maka ia akan bersamanya di akhirat kelak. Dalam sebuah riwayat Anas disebutkan, suatu ketika ada seorang yang bertanya kepada Nabi Muhammad tentang datangnya hari kiamat. Nabi bertanya balik, ‘Apa yang sudah disiapkan untuk menghadapi kiamat?’ Kata orang tersebut, dia tidak mempersiapkan apapun kecuali mencintai Allah dan Rasul-Nya. 

“Engkau bersama orang yang engkau cintai,” kata Nabi Muhammad. 

Ketiga, tidak ada larangan bekerja di tempat non-Muslim. Sayyidina Ali bekerja di kebun kurma miliki seorang Yahudi dan Nabi Muhammad tidak menegurnya. Jadi tidak ada larangan bagi seorang Muslim bekerja pada non-Muslim, asal pekerjaannya tersebut dalam bidang yang halal dan sesuai dengan ketentuan Islam. 


Rabu, 9 Oktober 2019

Ibnu Abbas Melihat Malaikat


Ada banyak keistimewaan dimiliki sahabat Abdullah Ibnu Abbas. Yang paling menonjol adalah kedekatannya dengan Rasulullah serta pernah melihat malaikat sang penyampai wahyu, Jibril.

Yang pertama, ia pernah didekap Rasulullah SAW seraya mendoakan kepada Ibnu Abbas: "Ya Allah, ajarkan kepadanya hikmah, yang dimaksud hikmah adalah pemahaman terhadap Alquran." (HR. at-Tirmidzi) 

Kedua, Ibnu Abbas pernah melihat Malaikat Jibril dalam dua kesempatan, seperti dikisahkan dalam satu riwayat berikut. Ibnu Abbas berkata: "Aku bersama bapakku di sisi Rasulullah, dan di samping Rasulullah ada seorang laki-laki yang membisikinya. Maka beliau seakan-akan berpaling dari bapakku. Kemudian kami beranjak dari sisi Rasulullah seraya bapakku berkata: 'Wahai anakku, tahukah engkau kenapa anak laki-laki pamanmu (Rasulullah) seperti berpaling (menghindar) dariku?' Maka aku menjawab, "Wahai bapakku, sesungguhnya disisi Rasulullah ada seorang laki-laki yang membisikinya." 

Ibnu Abbas berkata, "Kemudian kami kembali menghadap Rasulullah lantas bapakku berkata, 'Wahai Rasulullah, aku berkata kepada Abdullah begini dan begitu, kemudian Abdullah menceritakan kepadaku ada seorang laki-laki di sampingmu yang berbisik-bisik kepadamu. Apakah benar memang ada seseorang di sisimu?' Rasulullah balik bertanya, "Apakah engkau melihatnya, ya Abdullah?' Kami menjawab, 'Ya'. Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya ia adalah Jibril alaihissalam. Dialah yang menyibukkanku dari kamu sekalian'." (HR. Ahmad). 
esempatan kedua adalah ketika Abbas mengutus Abdullah kepada Rasulullah dalam suatu keperluan, dan Abdullah menjumpai seorang laki-laki bersama Rasulullah. Maka tatkala ia kembali dan tidak berbicara kepada Rasulullah, sang Nabi SAW bersabda, "Engkau melihatnya?" Abdullah menjawab, "Ya," Nabi bersabda, "Ia adalah Jibril. Ingatlah sesungguhnya ia tidak akan mati sehingga hilang pandangannya (buta) dan diberi (didatangkan) ilmu" (HR. At-thobroni). 

Nabi SAW lantas mendo'akannya dua kali. Yang pertama memberikan hikmah atau mengajarkan kitab - ketika Rasulullah mendekap dadanya. Kedua mendoakan dengan mengajarkan kepandaian dalam ilmu agama. Yaitu ketika ia melayani Rasulullah dengan mengambil air wudlu.
Warqa' bin Umar Al-Yasykari berkata: "Kami mendengar Ubaidillah bin Abi Yazid menceritakan tentang Ibnu Abbas, bahwa nabi di dalam kamar kecil dan kami meletakkan air wudhu' untuk beliau, maka tatkala keluar Rasulullah bertanya, "Siapakah yang menyiapkan air wudhu ini? Mereka menjawab, "Ibnu Abbas," kemudian Nabi mendo'akannya, "Ya Allah, fahamkanlah ia" (HR. Muslim).