Catatan Popular

Jumaat, 17 September 2021

Rela Dihina demi Kebenaran

Abdurrahman bin Mahdi adalah salah satu murid Imam Ubaidillah bin Hasan al-Anbari yang wafat pada tahun 168 Hijriyah.

Semasa kecilnya, Abdurrahman bin Mahdi pernah mengalami sebuah peristiwa mengesankan bersama sang guru yang merupakan sosok terkemuka, ahli fikih dan hakim di Bashrah ini.

Hari itu, sang guru bersama muridnya ini mengurus jenazah.

Abdurrahman bin Mahdi yang masih kecil bertanya kepada Imam Ubaidillah bin Hasan al-Anbari terkait sebuah persoalan. Namun, Imam Ubaidilah menyampaikan jawaban yang salah.

Sebagaimana dituturkan oleh Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah saat menjelaskan Risalah al-Mustarsyidin tulisan Imam al-Harits al-Muhassibi, Abdurrahman bin Mahdi mengingatkan gurunya dengan amat santun.

“Semoga Allah Ta’ala memperbaikimu. Jawabannya bukan seperti itu. Jawaban yang benar adalah begini dan begini.” tutur Abdurrahman bin Mahdi.

Sang Imam Ubaidillah al-Anbari pun diam sejenak, sembari menundukkan kepalanya. Tak lama kemudian, beliau mendongak, lalu berkata, “Kamu benar, Nak.”

“Jika demikian,” lanjut sang guru, “aku mengikutimu dan rela dihina untuk itu.”

Pungkas Imam Ubaidillah, “Menjadi ekor dalam kebenaran lebih aku sukai daripada menjadi kepala dalam keburukan.”

Kisah agung yang diriwayatkan oleh Imam Abu Nu’aim dan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani ini merupakan salah satu teladan terbaik bagi seseorang yang merasa besar.

Baik itu seorang guru, kiyai, ustadz, pejabat tinggi, orang tua, atau lainnya.

Sering kali kita merasa benar karena posisi jabatan atau strata sosial yang lebih tinggi. Karena merasa benar itu, kita malu untuk mengakui kebenaran orang lain. Padahal, kebenaran harus dijunjung tinggi di atas egoisme dan gengsi.

Dalam tataran rumah tangga, hendaknya para orang tua memperhatikan hal ini dengan baik.

Jika memang yang disampaikan oleh anak-anak jauh lebih benar, terimalah hal itu dan akuilah kesalahan diri. Tidak perlu rasa mendongak, apalagi menolak mentah-mentah kebenaran yang disampaikan anak-anak hanya karena usia mereka yang lebih muda.

Dalam lingkup yang lebih besar, hendaknya para pemimpin kita mengetahui dan menyadari hal ini dengan baik. Jika terbukti bersalah, akui saja. Tidak perlu berbelit. Tiada gunanya melakukan berbagai jenis pembelaan dengan sesuatu yang tidak berdasar, apalagi menggunakan tameng-tameng kesalahan lainnya.

Sebab, sampai kapan pun, kebenaran akan senantiasa menang.

Para pengusung keburukan akan mati seiring berlalunya zaman.

Kisah Si Penggembala Kambing

Abdullah bin Dinar berjalan bersama Khalifah Umar bin Khattab dari Madinah menuju Mekah.

Di tengah perjalanan, bertemulah mereka berdua dengan
anak gombala Khalifah hendak mencoba menguji si gembala itu
"Wahai anak gembala, juallah kepadaku seekor anak kambing dari temakmu itul" ujar Amirul Mukminin.

"Aku hanya seorang budak," jawab si gembala
Khalifah pun membujuk: "Kambing itu amat banyak. Apakah majikanmu tahu?


"Tidak, majikanku tidak tahu berapa ekor jumlah kambingnya Dia tidak tahu berapa kambing yang mati dan berapa yang lahir. Dia tidak pernah memeriksa
dan menghitungnya"


Khalifah terus mencoba membujuk "Kalau begitu hilang satu ekor kambing majikanmu tidak akan tahu. Atau katakan saja nanti pada tuanmu, anak kambing itu dimakan segala. Ini wangnya, terimalah!aAmbil saja buat kamu untuk membeli baju atau roti."


Anak gembala tetap tidak terbujuk dan mengabaikan uang yang disodorkan oleh Umar.


Si pengembala diam sejenak. Ditatapnya wajah Amirul Mukminin. Dan bibirnya terucaplah kata-kata yang menggetarkan hati Khalifah Umar, "Jika Tuan
menyuruh saya berbohong, lalu di mana Allah? Bukankah Allah Maha Melihat?


Apakah Tuan tidak yakin bahwa Allah pasti mengetahui siapa yang berdusta?


Umar bin Khattab gemetar mendengar ucapan si gembala itu. Rasa takut menjalari seluruh tubuhnya, persendian tulangnya terasa lemah. Dia menangis
mendengar kalimat tauhid itu yang mengingatkannya kepada keagungan Allah Swt dan tanggung jawabnya di hadapan-Nya kelak.

Lalu dibawanya anak gembala yang berstatus budak itu kepada tuannya, Khalifah menebusnya, dan telah berkata
kepadanya: "Telah kumerdekakan kamu, Nak."

(Sumber: 65 Cerita Teladan Sebelum Tidur, Sakha Aqila Mustofa)
pliss jawab besok di kumpul:"(

 

mmmm

 

Dari Abdullah bin Dinar berkata :

Saya pergi bersama Ibnu Umar ke Makkah, ditengah perjalanan, kami berhenti sebentar untuk untuk istirahat. Tiba-tiba ada seseorang anak gembala turun dari bukit menuju kearah kami, Ibnu Umar bertanya kepadanya: "Apakah kamu penggembala?"

"Ya…" jawabnya.

Lanjut Ibnu Umar lagi: "Juallah kepada saya seekor kambing saja." (Ibnu Umar ingin mengetahui kejujurannya)

Penggembala menjawab: "Saya bukan pemilik kambing-kambing ini, saya hanyalah seorang hamba sahaya."

"Katakan saja pada tuanmu, bahwa ia dimakan serigala." kata Ibnu Umar membujuk.

"Lalu dimanakah Allah Azza wa-Jalla?" jawab penggembala mantap.

(Ibnu Umar bangga dengan jawaban penggembala) dan bergumam: "Ya, benar dimanakah Allah?"

Kemudian beliau menangis dan dibelinya hamba sahaya tadi lalu dimerdekakan.

Mintalah Meskipun untuk Garam yang anda Butuhkan

Doa adalah senjatanya orang yang beriman, doa bukan sekedar pelengkap usaha, bukan juga pilihan terakhir dalam memecahkan masalah.

Mellaui doa, sesungguhnya seorang hamba sedang berkomunikasi dengan Rabbnya, doa adalah media bermanja dengan Allah Ta’ala.

Melalui doa, kita boleh curahkan apa saja kepada-Nya, tenang kesulitan hidup, usaha, kerja, jodoh, rezeki, dan lain sebagainya. Kita boleh ungkapkan itu semua pada saat kita berdoa, bermunajat kepada Allah Ta’ala.

Sungguh sangat disayangkan, bila kita jarang sekali berdoa kepada-Nya.

Padahal Allah Ta’ala telah menjanjikan kepada hamba-Nya, “Mintalah, niscaya akan Ku-kabulkan permintaanmu.”

Allah Ta’ala menawarkan janji yang tak mungkin Dia ingkari. Sayangnya, masih saja ada di antara kita yang mengabaikan-Nya, tidak yakin dengan janji-Nya; bahkan mungkin sampai enggan berdoa kepada-Nya, menganggap dirinya sendiri adalah yang terhebat, dan menafikan kekuasaan-Nya.

Padahal semua yang terjadi di dunia ini, pun pada diri dan kehidupan kita, tak lepas dari peranan-Nya.

Berdoalah kepada Allah Ta’ala dalam setiap sujud shalat di hamparan sajadah. Mintalah pada-Nya dengan penuh permohonan, dengan keikhlasan sebagai seorang hamba. Buanglah sikap sombong yang bercokol dalam diri. Pasrahkan semuanya hanya pada Allah Ta’ala. Yakinlah, Allah Ta’ala akan mengabulkan doa kita.

Berdoalah dengan khusuk, jangan tergesa-gesa. Pasalnya, doa yang tergesa-gesa, kecil kemungkinannya akan dikabulkan, bahkan tergesa-gesa bisa termasuk kategori meremehkan doa.

Seorang tabi’in bernama Urwah bin Zubeir pernah menegur seseorang yang tergesa-gesa ketika shalat.

Selesai shalat, Urwah bin Zubeir pun mendekatinya seraya berkata, “Wahai saudaraku, tidak kah engkau mengutarakan hajatmu kepada Allah selama shalat ?”

“Sungguh,” lanjutnya,

“Aku senantiasa meminta kepada Allah ketika sedang shalat.” Pungkasnya,

“Bahkan garam pun, aku meminta dari-Nya.”

Kita boleh minta apa saja kepada Allah Ta’ala, karena Dialah Pemilik segalanya. Tak ada yang tak boleh, jika Dia berkehendak. Kehendak-Nya mampu memupuskan kemustahilan.

Mulai saat ini, mari senantiasa berdoa kepada Allah Ta’ala. Mintalah kepada-Nya untuk semua yang menjadi hajat kita. Doakan pula kaum muslimin di seluruh belahan bumi ini, serta doa untuk negeri ini; agar terbebas dari bencana dan diberikan keberkahan tiada tara.

SALIM BIN ABDULLAH BIN UMAR, KISAH KEZUHUDANNYA

Pada suatu waktu, khalifah Sulaiman bin Abdul Malik berkunjung ke Makkah untuk berhaji.

Pada saat melakukan thawaf, beliau melihat Salim bin Abdullah bersimpuh di depan Ka'bah dengan khusyu'. Lidahnya bergerak membaca Al Qur'an dengan tartil dan khusyuk.

Sementara air matanya meleleh di kedua pipinya. Seakan ada lautan air mata di balik kedua matanya.

Usai thawaf dan shalat dua raka'at, khalifah berusaha menghampiri Salim. Orang-orang memberinya tempat, sehingga dia boleh duduk bersimpuh hingga menyentuh kaki Salim. Namun Salim tidak menghiraukannya karena asyik dengan bacaan dan dzikirnya.

Diam-diam khalifah memperhatikan Salim sambil menunggu beliau berhenti sejenak dari bacaan dan tangisnya.

 

Ketika ada peluang, khalifah segera menyapa,

Khalifah : "Assalaamu alaikum wa rahmatullah wahai Abu Umar."

Salim : "Wa'alaikassalam warahmatullahi wabarakatuh."

Khalifah : "Katakanlah apa yang menjadi kebutuhan anda wahai Abu Umar, saya akan memenuhinya."

Salim tidak mengatakan apa-apa sehingga Khalifah menyangka dia tidak mendengar kata-katanya.

Sambil merapat, khalifah mengulangi permintaannya: "Saya ingin anda mengatakan kebutuhan anda agar saya boleh memenuhinya."

Salim : "Demi Allah, aku malu mengatakannya. Bagaimana mungkin, aku sedang berada di rumah-Nya, tetapi meminta kepada selain Dia?"

Khalifah terdiam malu, tapi dia tak beranjak dari tempat duduknya.

Ketika shalat usai, Salim bangkit hendak pulang. Orang-orang memburunya untuk bertanya tentang hadits ini dan itu, dan ada yang meminta fatwa tentang urusan agama, dan ada pula yang meminta untuk didoakan.

Khalifah Sulaiman termasuk di antara kerumunan itu. Begitu mengetahui hal tersebut, orang-orang menepi untuk memberinya jalan. Khalifah akhirnya boleh mendekati Salim, lalu berkata:

Khalifah: "Sekarang kita sudah berada di luar masjid, maka katakanlah kebutuhan anda agar saya dapat membantu Anda."

Salim : "Dari kebutuhan dunia atau akhirat?"

Khalifah :"Tentunya dari kebutuhan dunia."

Salim : "Saya tidak meminta kebutuhan dunia kepada Yang Memiliki-nya, bagaimana saya meminta kepada yang bukan pemiliknya?"

Khalifah malu mendengar kata-kata Salim.

Dia berlalu sambil bergumam: "Alangkah mulianya kalian dengan zuhud dan takwa wahai keturunan Al-Khattab, alangkah kayanya kalian dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Semoga Allah memberkahi kalian sekeluarga...

Demikianlah kisah tentang Salim bin Abdullah, yang mewarisi kezuhudan dari ayah dan neneknya.

Kisah Mengharukan Ulama yang Dipenjara karena Hutang

Sebenarnya ini bukan pelajaran soal hutang dan kemampuan membayar.

Namun pelajaran tentang wara’ dan kejujuran yang dicontohkan oleh ulama.

Kisah ini sungguh mengharukan dan wajar jika membuat kita menitiskan air mata, menyaksikan keteguhan ulama memegang teguh nilai-nilai Islam yang didakwahkannya.

Ibnu Sirin (Muhammad bin Sirin). Tabi’in ini merupakan ulama ternama di Basyrah. Ia sangat dihormati karena kedalaman ilmunya serta dimuliakan karena kesungguhan ibadah dan pesona akhlaknya.

Ibnu Sirin juga sangat dihormati oleh para pemimpin muslim saat itu. Namun, ia sangat menjaga diri dari mereka.

Ahli fikih itu tak mau berdekat-dekat penguasa, apalagi menikmati fasilitas dari mereka.

Pernah pemimpin Ibnu Hubairah Al Fazari memberinya hadiah 3.000 dinar, Ibnu Sirin dengan tegas menolaknya.

Ibnu Sirin lebih memilih jalan berdagang untuk mendapatkan rezeki yang halal.

Namun sebuah insiden membuatnya menghadapi cobaan berat.

Suatu hari ia membeli minyak seharga 40.000 dinar secara kredit.

Ketika memeriksa minyak yang dikirimkan kepadanya itu, Ibnu Sirin terkejut. Ia menjumpai sesuatu yang tak ia sukai pada minyak itu yang dapat menodainya. Ibnu Sirin khawatir minyaknya rusak karena terkena najis.

“Jika aku menjual minyak ini, aku berdosa. Jika aku mengembalikan minyak ini kepada pedagang, maka ia pasti akan menjualnya kembali kepada orang-orang dan aku berdosa karena membiarkannya sementara aku tahu minyak ini telah rusak,” kata Ibnu Sirin.

Kemudian ia menumpahkan seluruh minyak itu dan menanggung hutang 40.000 dinar.

Tibalah waktu membayar. Sang pemilik minyak itu marah karena Ibnu Sirin tak mampu melunasinya. Lantas ia mengadukan Ibnu Sirin ke penguasa. Ulama kharismatik itu pun dimasukkan penjara.

“Wahai Syaikh,” kata seorang penjaga penjara yang mengetahui kedudukan Ibnu Sirin, “jika malam tiba pulanglah engkau ke rumahmu dan bermalamlah di sana. Jika pagi menjelang, kembalilah ke sini. Lakukanlah begitu hingga engkau dibebaskan.”

“Tidak!” jawab Ibnu Sirin tegas. “Aku tidak akan melakukan hal itu. Jika kulakukan itu, berarti aku membantumu untuk melakukan pengkhianatan.”

Suatu hari terdengar kabar Anas bin Malik wafat.

Seseorang datang menghadap Ibnu Hubairah Al Fazari mengabarkan hal itu seraya mengatakan bahwa sebelum Anas wafat, ia berwasiat agar yang memandikannya adalah Muhammad bin Sirin.

Ibnu Hubairah memberikan izin Ibnu Sirin keluar dari penjara, namun Ibnu Sirin menolak meskipun ia sangat ingin bertakziyah kepada sahabat Nabi itu.

“Aku tidak akan keluar hingga mendapat izin dari pemilik minyak. Sebab aku berada di sini atas kesalahanku padanya.”

Maka mereka pun mendatangi pemilik minyak itu untuk meminta izin. Setelah mendapat izin dari pemilik minyak itu, barulah Ibnu Sirin mau keluar untuk mengurus jenazah Anas bin Malik.

Selesai urusan jenazah, Ibnu Sirin kembali ke penjara, bahkan tak sempat mampir ke rumahnya.

NABI PALSU TAKUT MEMBAKAR IMAM ABU MUSLIM AL KHAULANI

Di Jazirah Arab tersebar luas berita bahwa sakit Rasulullah SAW bertambah berat. Syetan mengambil kesempatan itu dengan membujuk Aswad al-Ansi untuk kembali murtad.

 

Dia memimpin kaumnya di Yaman dan menyatakan bahwa dia adalah “Nabi” yang diutus dari sisi Allah.

 

Aswad al-Ansi adalah seorang lelaki yang sangat gigih, kuat secara fizik, tapi busuk jiwanya dan selalu berbuat jahat. Ia sangat meyakini pengaruh tenung dan pandai bermain sulap.

 

Lebih dari itu, ia fasih berbicara, menarik bila menerangkan, cerdik otaknya, mampu bermain licik, dan jika berkawan dan berbuat baik selalu mengharapkan imbalan. Ia selalu menutup mukanya dengan kain hitam, bila tampil di hadapan umum untuk menutupi dirinya dari kejahatan dan kekejian.

 

Seruan Aswad al-Ansi telah tersebar di Yaman bagaikan menjalarnya api di kayu kering. Pengikutnya adalah dari suku-suku Yaman. Merekalah yang paling luas pengaruhnya dan paling besar kekuatannya dalam membantu al-Ansi menciptakan kebohongan dan penipuan.

 

Ia mengaku dirinya raja yang turun dari langit dan membawa wahyu. Dia mengaku juga mampu mengabarkan hal ghaib.

 

Bermacam cara ia tempuh untuk meyakinkan masyarakat.

 

Di antaranya dengan menyebarkan mata-mata di setiap tempat untuk memberitahukan berbagai persoalan yang menimpa masyarakat. Lalu mata-mata itu mencoba membuka rahasia-rahasia mereka dan memberi kabar pada mereka.

 

Mata-matanya juga menyampaikan masalah mereka, berupa harapan-harapan atau cita-cita maupun berupa keluhan-keluhan penyakit. Pada waktu itulah, mata-matanya menipu orang-orang dan merayu agar berlindung dan meminta pertolongan kepada Aswad al- ‘Ansi.


Jika salah seorang warga datang, al-Ansi memberitahukan padanya bahwa dia mengetahui apa yang tersembunyi dari permasalahan yang mereka rasakan. Bahkan dia mengetahui yang terbetik dalam jiwa mereka. Lalu dia menampakkan di hadapan mereka hal-hal aneh dan ajaib yang dapat menyedot perhatian mereka. Ia pun semakin populer. Pengikutnya semakin banyak.

 

Akhirnya, dia pindah ke Shan’a. dari Shan’a, ia pindah ke daerah lain. Ia berhasil menguasai daerah yang letaknya di antara Hadramaut dan Thaif, juga daerah di antara Bahrain dan ‘Adn.



Ketika Aswad al-Ansi makin kuat kedudukannya, tampillah para Mukmin. Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh pada Islam, dan benar-benar yakin pada Nabi-Nya, betul-betul tunduk kepada Allah dan RasulNya. Pengikut al-Ansi mengambil tindakan kejam terhadap mereka.

 

Di antara orang-orang yang menentang itu, yang paling menonjol adalah Abdullah bin Tsuwab yang kemudian lebih dikenal dengan Abu Muslim al-Khaulani (seorang Tabi’in).

 

Setelah mengetahui bahwa Abu Muslim menentangnya, Aswad al-Ansi ingin bertindak kejam pada Abu Muslim. Al-Ansi berharap tindakannya itu dapat menimbulkan rasa takut dan gelisah dalam jiwa para penentang ajarannya, baik yang secara sembunyi maupun terang-terangan. Dengan begitu, ia berharap mereka berhenti menentangnya.

 

Dia menyuruh untuk menumpuk kayu bakar di depan masyarakat Shan’a lalu menyalakannya. Lalu dia mengundang orang-orang untuk menyaksikan dialog agama ahli fiqh Yaman dengan Abu Muslim al-Khaulani. Ini dilakukan agar dia dapat mengukuhkan kenabiannya.

 

Pada waktu yang telah ditentukan, al-Ansi datang di halaman yang telah dipenuhi warga. Dia didampingi oleh para algojo dan pengikutnya dengan diapit oleh ajudan dan komandan pasukannya. Lalu dia duduk di kursi kebesarannya yang mengahadap ke api.

 

Waktu itulah, Abu Muslim diseret kedepannya, agar dapat dilihat orang banyak.

 

Setelah Abu Muslim berada di hadapannya, para pengikut al-Ansi yang berbohong dan sombong melihat padanya.

 

Al-Ansi melihat api yang berkobar di hadapan Abu Muslim, lalu menoleh kepadanya seraya berkata,

 

“Apakah engkau masih bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?”

 

“Benar,” jawab Abu Muslim, “Aku masih tetap bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusanNya. Dan dia juga adalah penghulu para utusan Allah dan penutup para Nabi.”



Wajah Aswad al-Ansi mengerut, merah penuh dengan kemarahan. Dia bertanya, “Dan apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”


“Sesungguhnya telingaku tuli sehingga aku tidak mendengar apa yang kau katakan,”
 jawab Abu Muslim.


“Kalau begitu aku akan melemparkanmu ke dalam api itu,” kata al-Ansi.


“Kalau engkau melakukannya, maka sebenarnya yang paling aku takuti adalah api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu-batuan, yang para penjaganya adalah malaikat yang keras dan menakutkan. Ia tidak pernah berbuat durhaka kepada Allah terhadap perintah-perintahNya; bukan kepada api yang bahan bakarnya dari kayu bakar,”
 kata Abu Muslim.


Al-Aswad berkata, “Aku tak akan terburu-buru melemparkanmu ke dalam api itu. Aku masih memberikan kesempatan untuk memikirkan dan menarik kembali pemikiran itu.”


Al-Ansi kembali mengulangi pertanyaannya, “Apakah engkau masih bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?”

 

Abu Muslim tetap pada pendiriannya.



Hal itu membuat kemarahan al-Ansi bertambah. Dia bertanya lagi, “Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”


“Bukankah aku telah memberitahukan kepadamu bahwa telingaku ini tuli sehingga tidak mendengar perkataanmu?” jawab Abu Muslim.


Meledaklah kemarahan Aswad al-Ansi karena pedasnya jawaban, tenangnya jiwa dan tegarnya Abu Muslim. Ia pun memerintahkan agar Abu Muslim segera dilemparkan ke dalam api yang sedang berkobar-kobar itu.

 

Pada waktu itulah kepala pengawalnya datang kepada al-Ansi dan berbisik-bisik di dekat telinganya.

 

“Orang ini, sebagaimana yang engkau ketahui adalah orang yang suci jiwanya dan dikabulkan doanya.

 

Sesungguhnya Allah sekali-kali tak akan memberikan pertolongan kepadamu atas seorang mukmin. Dia betul-betul tak akan membiarkan hamba-hambaNya dalam kekejaman dan penyiksaan walau, hanya satu detik. Jika engkau telah melemparkannya ke dalam api, kemudian Allah menyelamatkan, berarti engkau telah menghancurkan apa yang telah engkau bangun selama ini dalam sekejap saja. Juga berarti engkau mendorong orang untuk mengingkari kenabianmu dengan cepat. Tapi kalau api itu dapat membakarnya, maka orang bertambah kagum kepadanya dan tambah memuliakan dan mengagungkannya.”


Al-Ansi mulai bermusyawarah dengan para pengikutnya. Hasil musyawarah itu memutuskan untuk mengeluarkan dan mengusir Abu Muslim al-Khaulani dari daerah itu selama-lamanya.


Abu Muslim al-Khaulani pergi ke Madinah dengan harapan dapat bertemu langsung dengan Nabi SAW. Dia sangat gembira menjadi sahabat Rasulullah SAW. Tapi ketika hampir sampai ujung Madinah, berita duka atas wafatnya Rasulullah SAW sampai padanya.

 

Sampai pula berita kepadanya bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq telah terpilih sebagai khalifah kaum muslimin setelah wafatnya Rasulullah SAW.



Berita itu membuat Abu Muslim sangat sedih. Dia merasakan kerinduan kepada Rasulullah saw yang amat dalam di hatinya.



Setelah Abu Muslim sampai ke Madinah, ia langsung menuju ke Masjid Rasulullah SAW. Sesampainya di sana, dia pun menambatkan untanya lalu masuk ke masjid Nabi dan mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW. Dia terus berdiri di salah satu tiang masjid dan mulai shalat.



Setelah selesai shalat, Umar bin Khaththab menghampirinya dan bertanya kepadanya, “Dari manakah engkau?”



“Dari Yaman,” jawab Abu Muslim



“Bagaimana pertolongan Allah kepada sahabat kita yang dilemparkan ke dalam api oleh musuh Allah, apakah Allah menyelamatkannya?” tanya Umar lagi.



“Itu adalah berkat kebaikan dan nikmat Allah yang paling baik” jawab Abu Muslim.



“Demi Allah, andakah orang itu?” tanya Umar.

“Benar,” jawab Abu Muslim.

 

Umar langsung mencium dahi Abu Muslim, dan berkata, “apakah engkau mengetahui balasan Allah terhadap musuh-Nya dan musuhmu itu?”



“Tidak” jawab Abu Muslim. “Karena berita-berita tentang orang itu telah lama putus dariku sejak aku meninggalkan Yaman.”



Umar menerangkan, “Allah telah membunuhnya melalui tangan sisa-sisa orang mukmin yang benar dan Dia telah merampas kekuasaannya dan mengembalikan para pengikutnya pada agama Allah,”



Abu Muslim berkata, “Segala puji Allah yang tidak mengeluarkan aku dari dunia sampai merasakan bahagia karena para penipu dari penduduk Yaman kembali pada Islam.”



“Aku memuji Allah yang telah mempertemukanku dengan salah satu umat Muhammad yang mengalami siksaan seperti Khalil ar-Rahman, bapak kita Ibrahim,” kata Umar.



Umar memegang tangan Abu Muslim dan membimbingya untuk menemui Abu Bakar. Setelah masuk, Abu Muslim mengucapkan salam kepada sang khalifah dan membaiatnya.



Abu Bakar mempersilahkan Abu Muslim untuk duduk di antara dia dengan Umar dan memintanya untuk menceritakan kejadian yang menimpanya, akibat perbuatan al-Ansi.



Begitulah. Abu Muslim tinggal di Madinah al-Munawwarah selama beberapa waktu. Selama di sana, ia mengisi waktu dengan mendatangi masjid Rasulullah SAW.

 

Shalatnya selalu dilakukan di Raudhah al-Muthahharah dengan kekhusyu’an yang mengagumkan. Dia banyak belajar dari keluasan pengalaman para sahabat yang mulia, seperti Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Abu Dzar al-Ghifari, Ubadah bin Shamit, Mu’adz bin Jabal dan Auf bin Malik al-Asyja’i.



Begitulah keteguhan dan kecintaan mereka kepada baginda kita Muhammad SAW. Karena mereka mengetahui bagaimana hakikat sebenarnya risalah yang dibawa oleh makhluk yang paling baik yaitu Muhammad Rasulullah SAW.

 

Sehingga hati mereka terus istiqamah dalam mengikuti sunnah dan membela beliau SAW walaupun dengan taruhan nyawa.  Itulah suri tauladan yang patut kita contoh, dikarenakan mereka adalah manusia-manusia dari generasi terbaik umat ini.