Catatan Popular

Isnin, 28 Jun 2021

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 75.MENGENAI AUDISI (SAMA’)

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Audisi adalah suatu istilah setelah masa bersusah-payah (Ruhaniah), dan suatu hiburan bagi mereka yang mengalami keadaan-keadaan ke (jiwa)an, juga sebagai suatu sarana untuk membangunkan kesadarn orang-orang yang menyibukkan diri mereka dengan hal-hal lain. Audisi lebih banyak diartikan demikian dariapda masa istirahat dari hal-hal alamiah, karena jiwa itu tidak mungking cenderung kepadanya atau beristirahat di situ; Sebab dia datang dan pergi menurut ketentuan Tuhan. Para Sufi, yang menikmati ilham dan pengalaman langsung tidak membutuhkan bantuan-bantuan semacam itu, sebab mereka memiliki sarana yang akan membawa hati mereka berjalan di taman ilham.

Saya mendengar Faris berkata : “Aku sedang bersama Quthah al-Maushili, yang telah tinggal selama empat puluh tahun di dekat tiang di masjid Baghdad. Kami berkata kepadanya : “Inilah penyanyi yang baik itu. Mestikah kami panggil dia untukmu? Dia menyahut : “Masalahku terlalu menyedihkan sehingga tak seorang  pun bisa membebaskan ku dan tak satu kata pun bisa merasuk ke dalam diriku. Aku terlalu kebal.”

Kalau Audisi itu menembus telinga, dia menggerakkan segala sesuatu yang ada dalam hati; dan orang itu akan bingung, karena dia terlalu lemah untuk menerima rahmat itu, atau keadaan kejiwaannya memberinya kekuatan untuk mengatasi dirinya sendiri. Abu Muhammad Ruwaim berkata : “Orang-orang itu mendengar Dzikr pertama mereka ketika Tuhan berfirman, ditujukan kepada mereka “Tidakkah Aku ini Tuhanmu?” Dzikr itu mereka sembunyikan di dalam hati, bakan saat fakta (yang dberitakan) itu tersimpan dalam akal mereka. Maka, ketika mereka  mendengar (seorang Sufi) ber-dzikr, rahasia-rahasia yang ada dalam hati mereka muncul, dan mereka dipaksa, bahkan saat rahasia-rahasia akal mereka muncul ketika Tuhan memberi tahu mereka mengenal hal ini, dan mereka percaya.”

Saya mendengar Abu’lQasim al-Baghdadi berkata : “Audisi ada dua macam. Tingkat yang satu adalah orang yang mendengarkan pelajaran-pelajaran dan dari situ mengambil suatu nasihat; orang yang semacam itu hanya mendengarkan yang dibutuhkannya saja dan dengan menyertakan hatinya di situ. Tingkat yang satunya lagi mendengarkan musik yang merupakan makanan bagi jiwa; dan ketika jiwa itu mendapatkan makanannya, maka dia pun mecapai keadaannya yang sepatutnya, dan menyingkir dari perintah jasmani; dan kemudian muncullah di dalam diri orang yang mendengar itu suatu keributan dan suatu pergerakan.”

Abu Abdillah al-Nibaji berkata : “Audisi menggerakkan pikiran dan mendatangkan nasihat; yang selebihnya adalah suatu godaan.” Al-Junaid berkata : “Belas kasih (Tuhan) diturunkan kepada orang melarat lewat tiga cara : “Ketika dia makan, sebab dia hanya makan kalau sedang lapar; Ketika dia berbicara, sebab dia hanya berbicara kalau dia merasa terpaksa; dan pada saat audisi, sebab dia hanya mendengarkan dalam keadaan Eksstase.”

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 74.MENGENAI KARUNIA-KARUNIA LAIN YANG DIBERIKAN KEPADA MEREKA

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Abu Bakr al-Qahtabi berkata : “Aku sedang berada dalam pertemuan dengan Sumnun, ketika seseorang berdiri dan menanyakan tentang cinta, dia berkata : “Aku tidak mengenal seorang pun hari ini yang kepadanya aku merasa bebas berbicara mengenai hal ini, dan yang akan bisa memahaminya.” Pada saat itu seekor burung hinggap di atas kepalanya dan jatuh di atas lututnya dan berkata, “Jika ada, inilah dia! Maka dia mulai berbicara, menunjuk kepada burung itu : “Aku telah mendengar begini dn begitu mengenai keadaan orang-orang itu, dan mereka mengalami ini dan itu, dan berada dalam keadaan begini dan begitu.” Begitulah dia terus berbicara dengan burung itu, sampai burung itu jatuh dari lututnya dan mati.”

Abu Bakr ibn Mujahid menuturkan bahwa Ahmad ibn Sinan al-Aththar berkata bahwa dia mendengar salah seorang dari kawan-kawannya berkata : “Suatu hari aku pergi ke Wasith dan melihat seekor burung putih di tenga perairan, mengatakan : “Tuhan dimuliakan di atas kealpaan manusia.”

Al-Junaid berkata : “Aku bertemu dengan seorang murid yang masih muda duduk di bawah pohon di apdang pasir, dan aku berkata kepadanya, “Anak muda, mengapa engkau duduk di sini? Dia menjawab : “Aku mencari sesuatu yang hilang.” Aku pergi meninggalkannya; dan ketika aku telah agak menjauh darinya. Lagi-lagi aku melihatnya, sebab ddia telah dipindahkan ke suatu tempat di dekatku. Aku bertanya kepadanya : “Mengapa engkau duduk di sini sekarang?

Dia menjawab : “Aku telah menemukan sesuatu yang membuatku mencari di tempat ini, dan karenanya aku terus mengikutinya.” Dan aku tidak tahu yang mana di antara kedua keadaan orang itu yang lebih mulia, pencariannya akan keadaannya, atau ketetapannya untuk berada terus di tempat dia mendpatkan keinginannya.”

Abu Abdillah Muhammad ibn Sa’dah menuturkan baha dia mendengar salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Suatu hari aku duduk di seberang Ka’bah, ketika aku mendengar suara ribut yang meratap-ratap kelaur dari banguna itu, mengatakan : “Wahai tembok! Jauhkan dirimu dari para Wali dan Karibku; sebab barang siapa mengunjungimu, maka sesungguhnya ia mengelilingi dirimu, tapi barangsiapa mengunjungi Aku, maka sesungguhnya ia berada dalam kehadiranku.”

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 73.KARUNIA TUHAN KEPADA MEREKA KETIKA MEREKA MENINGGAL DN SESUDAHNYA

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Abu’l-Hasan, yang disebut sebagai Qazzaz, berkata : “Kami sedang ada di Fajj, ketika seorang pemuda tampan mendatangi kami dengan mengenakan pakaian dari kulit kambing yang sudah terlalu usang. Dia menyalami kami dan berkata : “Adakah tempat yang besih di sini untukku menanti ajal?” Kami sangat terkejut tapi mengtataakan bahwa temapt itu ada, dan menunjukkan baginya jalan ke sebuah sumur di dekat situ.

Dia pergi dan membersihkan dirinya, dan berdoa sebentar. Kami menunggu dia selama satu jam, dan ketika dia tidak balik lagi kami mendatanginya, dan mendapai tdia telah meninggal dunia. Para sahabat Sahl ibn Abdillah menuturkan bahwa ketika Sahl sedang disucikan di atas tandu jenazah, dia melihat jari telunjuknya yang di tangan kanan menegang dan menunjuk-nunjuk.

Abu Amr al-Istakhri berkata : “Aku melihat Abu Turab al-Nakhsyabi di padang pasir, berdiri, mati, tanpa sesuatu pun menopangnya.” Ibrahim ibn Syaiban berkata : “Seorang murid datang ke rumahku dan sakit di sana, lalu mati. Setelah dia dimasukan ke kubur, aku ingin membuka pipinya dari kain yang menyelubunginya dan menempatkannya di atas tanah sebagai suatu tanda akan kesederhanaan, sehingga mungkin Tuhan akan berbelas kasihan terhadapnya.

 Dia tersenyum memandang wajhku dan berkata : “Apakah engkau merendahkan diriku di hadapan Dia yang menghabiskan waktu berssamaku?” Aku menjawab : “Tidak, kawanku; apakah memang kehidupan sesudah kematian itu ada? Dia menyahut : “Tidakkah engkau tahu bahwa karib-karib-Nya tidak mati, melainkan dipindahkan dari satu tempat ke tampat lain? Ibrahim ibn Syaiban juga berkata : “Aku mengenal seorang pemuda di kampungku, yang saleh dan tidak pernah meninggalkan masjid, dan aku senang sekali kepadanya.

Suatu hari da jatuh sakit. Pada suatu hari Jum’at aku pergi ke kota untuk berdoa; dan sudah menjadi kebiasaanku, setiap kali aku pergi ke kota, melewatkan waktu siang malam bersama saudara-saudaraku. Setelah tengah hari aku merasa gelisah, maka aku kembali ke kampung ketika senja menjelang. Aku mencari pemuda itu dan orang-orang berkata, “Kami kira dia sedang kesakitan. “Aku pergi mendatanginya lalu menyaaminya, dan berjabat tangan dengannya; dan ketika kami sedang berjabat tangan dia meninggal.

Lalu aku mendahului orang lain untuk menyucikan dirinya, dan tanpa sengaja menuangkan air ke tangan kirinya, bukannya tangan kanannnya; tangannya dijauhkan dari diriku dan daun bunga seroja yang ada di atasnya jatuh. Orang-orang di dekatku pingsan. Dia membuka matanya dan memandang kepadaku, dan aku sangat terkejut, lalu berdoa untuknya.

Lalu aku memasuki kuburan untuk menutupi tubuhnya; dan ketika aku membuka wajahnya, dia membuka matanya dan terrsenyum, sampai gigi-gigi geraham dan gigi serinya kelihatan. Maka kami menutupkan tanah rapat-rapat ddi atasnya dan menaburkan debu di atasnya.”

Bahwa ini merupakan suatu fenomena yang asli, dipersaksikan oleh kisah berikut ini : “Al-Rabi’ ibn Khirasy telah bersumpah bahwa dia tidak akan tertawa lagi, sampai dia tahu apakah dia da di surga atau neraka. Maka begitulah dia menunaikan sumpahnya dan tak seorang pun melihatnya tertawa, ssampai dia meninggal. Mereka menutupkan matanya dan menutupi tubuhnya; kemudian mereka memerintahkan gara kubur digali dan kain pembungkusnya di bawa ke situ.

Saudaranya, Rab’i berkata : “Saudara kami selalu berjaga sepnjang  malam, dan berpuasa sepanjang hari yang panas.” Ketika mereka duduk di sekitarnya, kain itu dibukakan pada wajhnya, dan dia menyapa mereka dengan sebuah senyumman. Saudaranya, Ra’i bertanya : “Saudaraku, adakah kehidupan sesudah kematian? Dia menyahut : “Ya, aku telah bertemu Tuhanku, dan Dia menerima ku dengan tenang dan ridha, dan Dia bukanlah Tuhan yang pemrah. Dia telah memakaikan bagiku baju dari sutera dab brokat, dan aku telah menemukan bahwa hal itu lebih mudah daripada yang kalian sangka, maka janganlah kalian tertipu.

Dan sekrang kawanku, Muhammad, menantiku untuk berdoa bagiku, oleh karena itu bercepatlah, segerakanlah! Lalu, ketika dia telah selesai berbicara, nafasnya putus, bagaikan suara batu koral yang dilemparkan ke dalam air.

Kisah ini dituturkan kepada A’isyah, Ummul Mukminin (Ibu orang-orang beriman); dan dia berkata : “Seorang saudara dari pura-putra suku Aibs, semoga Tuhan berbelas kasih terhadap jiwanya. Akumendengar Nabi berkata : “Seseorang di antara umatku akan berbicara setelah dia maninggal, salah seorang dari pengikutku yang terbaik.”

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 72.KARUNIA TUHAN BERUPA KESULIAN-KESULITAN YANG HARUS MEREKA TANGGUNG

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Faris mengatakan kepada saya bahwa dia mendengar Abu’l Hasan al-Alawi, murid Ibrahim al-Khawwas, berkata : “Aku melihat al-Khawwas berada dalam suatu masjid di kota Dinawar, duduk di tengah-tengahnya, sementara salju berjatuhan di badannya. Tergugah rasa kasihanku kepadanya, maka aku berkata kepadanya : “Bagaimana jika  engkau pindahkan atap itu?” Dia menyahut, “Tidak” Lalu dia menyitir :

Jalan menuju Mu, jelas dan lebar,

Sebab, tak seorang pun yang mencari-Mu memerlukan penunjuk

Dalam dinginnya musim dingin Engkaulah musim semiku,

Dalam panasnya musimm panas,

Engkaulah penutup tubuhku.

Lalu dia berkata kepadaku : “Berikan kepadaku tanganmu. Aku berikan kepadanya tanganku dan dia menempatkannya ke dalam bajunya, dan lihat, dia berkeringat.” Saya mendengar Abu’l-Hasan al-Farisi berkata : “Aku sedang berada di suatu padang pasir, ketika aku merasa sangat haus, sehingga karena lemahnya badanku, aku tidak mampu berjalan.

 Aku tahu bahwa sebelum seseorang mati kehausan, matanya berair; oleh karena itu aku duduk, menunggu mataku berair. Tiba-tia ku dengar sebuah suara. Aku melihat berkeliling, lalu menampak seekor ular putih, bersinar bagai perak murni,d an bergerak cepat sekali ke arahku. Aku merasa takut hingga berjingkrak karenanya, yang malah mendatangkan kekuatan dalam diriku. Setelah lepas dari kelemahan badanku, aku mulai berjalan, sedang ular itu berdesis di belakangku. Aku terus berjalan, sampai tiba di tempat air, lalu suara itu hilang.

Aku berpaling berkeliling dan tak dapat melihat ular itu; aku minum air itu, dan aku selamat. Sekarang, kapan saja aku menderita kesedihan atau penyakit, segera setelah aku melihat ular itu di dalam mimpiku, aku mengenalinya sebagai suatu tanda bahwa kesedihanku telah teratasi dan penyakitku hilang.

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 71.KARUNIA TUHAN KEPADA MEREKA YANG TIMBUL DARI RASA CEMBURUNYA

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Sejumlah orang datang untuk mengunjungi Rabi’ah ketika perempuan itu sedang menderita suatu penyakit. Mereka berakta kepadany : “ Bagaimana keadaanmu?” Dia menjawab : “Demi Tuhan, aku tidka tahu sebab penyakitku, kecuali bahwa surga dipamerkan dihadapanku dan aku merindukan itu di dalam hatiku; dan aku menganggap bahwa Tuhanku cemburu kepadaku, dan karena itu menyalahkan diriku. Hanya Dia yang dapat membahagiaanku.”

Al-Junaid berkata : “Aku datang pada Sirri al-Saqathi dan mendapatkan sepotong mangkuk yang pecah di dalam kamarnya. Aku berkata kepadanya : “Apakah ini? Dia menyahut : “Kemarin dulu, putriku yang masih kecil membawakan sepoci air untukku, dan berkata kepadaku, “Ayah, poci itu tergantung di sini; kalau sudah dingin, minumlah, sebab malam ini panas sekali.”

Ketika aku jatuh tertidur.” Aku elihat seorang perempuan cantik masuk ke kamarku dan aku berkata, “Siapakah engkau? Dia menyahut : “Hamba-Nya yang tidak minum air dingin dari pooci. Lalu dia menyambar poci itu dengan tangannya dan poci itu pun pecahlah; dan inilah poci yang engkau lihat.” Poci itu tetap tinggal di tempat yang sama, tanpa dipindah-pindahkan, sampai tertutup debu.”

Al-Mujayyin berkata : “Sekali waktu aku pernah tinggal di sebuah tempat di padang pasir selama tujuh hari, tanpa ada sesuatu pun yang masuk ke mulutku. Kemudian seseorang mengundangku ke rumahnya dan menawarkan kepdaku kurma dan roti; tapi aku tidak dapat makan.

Ketika malam hari, aku merasa ingin makan, maka aku mengambil biji kurma dan kucoba itu untuk membuka mulutku. Biji itu mematahkan gigiku. Salah seorang di antara gadis-gadis di rumah itu berseru : “Ayah, berapa banyak tamu kita yang makan malam ini? Aku menjawab : “Tuhanku, aku kelaparan selama tujuh hari, dan kini Engkau iri hati kepadaku. Terwujudlah kehendak-Mu, aku tidak akan menikmatinya.”

Ahmad ibn al-Salim berkata : “Sekali waktu aku sedang berjalan di sepanjang jalan menuju Mekkah, ketika aku mendengar seseorang berseru, “Wahai manusia Tuhan, milik Tuhan! Aku berkata. “Apakah yang menyakitkanmu? Dia menyahut : “Ambillah dariku dirham-dirham ini; aku tidak dapat mengingat Tuhan selama uang itu ada padaku” Maka aku mengambil uang itu darinya; dan dia berseru; “Tuhan, inilah aku, di sinilah aku!” Waktu itu, Wang itu berjumlah empat belas dirham.” Abu’l Khair al-Aqtha” suatu kali pernah ditanya apa sebab tangannya terpotong.

 Dia berkata : “Aku sedang berada di Gunung Lukkam, atau mungkin di Libanon, bersama seorang temanku. Lalu datanglah seseorang yang merupakan wakil pemerintah, sedang membagikan dinar. Dia memberiku satu dinar, dan aku membuka tanganku, dia pun menempatkan dinar itu di atasnya, lalu aku menjatuhkan dinar itu ke pangkuan temanku dan berdiri. Satu jam kemudian para opsir pemerintah mencari maling; dan mereka menahanku dan memotong tanganku.”

Keaslian fenomena dipersaksikan ooleh Hadis Nabi : “

“Tuhan melindungi hamba-hamba-Nya dari dunia ini, Jika dia mencintai-Nya, bahkan seperti ketika engkau melindungi dirimu yang sakit.”

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 70.MENGENAI PERINGATAN TUHAN KEPADA MEREKA LEWAT PENGLIHATAN DAN MUKJIZAT

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Abu Bakr Muhammad ibn Ghalib berkata kepada ssaya bahwa dia diberi tahu oleh Muhammad ibn Khafif bahwa dia mendengar Abu Bakr Muhammad ibn Ali al-Kattani berkata : “Aku menemui Nabi seperti yang biasa ku lakukan  waktu itu adalah kebiasaannya untuk menemani Nabi pada setiap Senin dan Kamis malam kalau dia ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang akan dijawab oleh Nabi.” dan aku melihat beliau datang kepadakau bersama empat orang. Lalu beliau berkata kepadaku : “Wahai Abu Bakr! Kenalkah engkau dengan orang ini?” Aku menjawab : “Ya. Itu Abu Bakr.” Beliau bertanya : “Kenalkah engkau dengan orang ini?” Aku menjawab : “Ya, dia Usman,” Beliau berkata : “Kenalkah engkau dengan orang yang keempat ini?” Di situ aku ragu-ragu dan tidak menjawab.

Nabi mengulang pertanyaan itu dan aku tetap ragu-ragu; beliau bertanya untuk yang ketiga kalinya dan aku tetap ragu-ragu, sebab aku cemburu kepadanya. Lalu Nabi mengepalkan tangannya dan menunjuk aku dengan itu; lalu beliau melepaskan kepalannya dan memukul dadaku sambil berkata : “Wahai Abu Bakr, katakanlah! Inilah Ali ibn Abi Thalib.”

Nabi kemudian mengenalkan diriku kepada Ali yang memegang tanganku dan mengatakan : “Bangunlah Abu Bakr, dan pergilah ke Al-Safa.” Dan aku pergi ke Al-Safa bersamanya, sementara aku masih tidur di kamarku; dan aku terbangun, dan lihat, aku berada di Al-Safa.

Amsnyur ibn Abdillah mengatakan kepada saya bahwa dia mendengar Abu Abdillah ibn al-Jalla berkata : “Aku memasuki kota Madinah dalam keadaan merasa lapar. Aku pergi ke kubur (Nabi) dan memberi salam kepada Nabi dan kedua sahabt beliau, Abu Bakr dan Umar; lalu aku berkata : “Wahai Nabi Tuhan! Aku sedang merasa lapar dan aku menjadi tamumu malam ini.”

Lalu aku berpaling ke samping dan tidur di antara batu kubur dan mimbar; dan lihat, Nabi mendatangiku dan memberiku sepotong makanan. Aku memakannya separuh, lalu terbangun dan menemukan dalam tanganku separuhnya lagi.” Yusuf ibn al-Husain berkata : “Kami  sedang bersama seorang pemuda yang telah mempelajari hadis sebelum dia selesai mempelajari Al-Qur’an, seseorang mendatanginya ketika sedang tidur, dan berkata kepadanya :

Jika engkau tidak sebegitu jahat

Padaku, lalu mengapa kitabku engkau hinakan?

Pikirkanlah, jika engkau tidak buta,

Kata-kataku nan halus yang terkandung di situ.”

Bahwa penglihatan itu merupakan suatu fenomena asli, dipersaksikan oleh kisah berikut yang diceritakan oleh Al-Hasan al-Basri : “Aku memasuki Masjid Basrah dan mendapati sejumlah sahabat kami duduk di sana. Aku duduk bersama mereka dan mendengarkan mereka memperkatakan seseorang, dan mempermalukan dia. Aku melarang mereka untuk memperkatakan dia dengan membawakan berbagai hadis yang menuturkan tentang masalah pergunjingan yang kudengar sebagai berasal dari Nabi dan Isa Putra Maryam.

Orang-orang itu kemudian menahan diri dan mulai membicarakan masalah lain; tapi tak lama kemudian nama orang itu muncul lagi, dan mereka kembali membicarakannya sedang aku ada bersama mereka.

 Lalu mereka pergi ke rumah mereka masing-masing dan aku kembali ke rumahku sendiri. Ketika aku tidur, seorang laki-laki hitam datang dalam mimpiku. Ia memegang sebuah mangkuk anyaman yang diatasnya ada sekerat daging babi. Dia berkata kepadaku : “Makan.” Aku berkata : “Aku tidak mau makan, ini adalah daging babi.” Dia berkata : “Makan” Aku berkata : “Aku tak mau makan, itu daging babi yang haram.”

Dia berkata : “Engkau harus memakannya.” Lagi-lagi aku menolaknya. Lalu dia membuka rahangku dan memasukan daging itu ke mulutku, dan aku mulai mengunyahnya sementara dia terus berdiri di hadapanku; aku takut membuangnya, tapi aku tidak juga mau menelannya.

Dalam keadaan itu aku bangun; dan sejak saat itu selama tiga puluh hari tiga puluh malam tak sesuatu pun kuminum atau kumakan mendatangkan kesenangan bagiku, sebab aku merasakan dalam mulutku rasa daging itu dan membauinya dengan hidungku.

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 69.MENGENAI PERINGATAN TUHAN KEPADA MEREKA MELALUI PEMIKIRAN

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Abu Bakr ibn Mujahid al-Muqri menuturkan kisah berikut ini. Abu Amr ibn al-Ala pada suatu hari datang untuk memimpin para jamaah untuk berdoa. Waktu itu dia bukan seoarng imam, sehingga dia harus didatangkan. Setelah melangkah, dia berkata kepada orang-orang itu : “Tempatkan diri kalian masing-masing.”

Lalu dia pingsan dn tidak sadar sampai keesokan harinya. Ketika ditanyakan kepadanya mengenai hal ini dia berkata : “Pada saat aku berkata pada kalian, “Tempatkan diri kalian msing-masing,” suatu pemikiran dari Tuhan merasuki hatiku, seolah-olah Tuhan berfirman kepadaku : “Wahai hamba-Ku! Sudahkah engkau tempatkan dirimu bersamaku kecuali hanya sekejap mata saja, dan engkau telah berani memerintah orang lain untuk menempatkan diri mereka?”

Al-Junaid berkata : “Suatu kali aku sakit, dan mohon pada Tuhan agar Dia berkenan menyembuhkanku. Dia bersabda kepadaku di dalam kesadaranku : “Jangan masuk di antara Aku dan jiwamu.”

Salah seorang sahabt kami mendengar Muhammad ibn Sa’dan menuturkan bahwa dia mendengar salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Setiap kali aku tidur sebentar, aku mendengar sebuah suara memanggilku dan berkata : “Apakah engkau tidur dari-Ku? Jika engkau tidur dari-Ku, sesungguhnya aku akan melecutmu dengan cambuk.”

 

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 68.MENGENAI PERINGATAN TUHAN KEPADA MEREKA DENGAN PEMBERIAN WAWASAN BATIN

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

Abu’l Abbas ibn al-Muhtadi berkata : “Suatu kali pernah aku berada di padang pasir, dan akumelihat seorang laki-laki berjalan di hadapanku dengan kaki telanjang dan kepala tanpa penutup, dan dia tidak membawa dompet.

Aku berkata kepada diriku sendiri : “Bagaimana orang ini berdoa ? Dia tidak memiliki kesucian, maupun doa.” Orang itu berpaling kepadaku dan berkata : “Dia tau apa yang ada di dalam hatimu, karena itu takutlah padanya.”

Segera sesudah itu aku pingsan; dan ketika sadar, aku mohon ampun kepada Tuhan akrena telah salah menganggap orang itu. Dan ketika aku sedang berjalan sepanjag jalan itu, dia datang lagi di hadapanku; ketika aku melihatnya, aku merasa takut, dan berhenti berjalan. Tapi dia berpaling kapdaku dan menyitir ayat suci : “Allahlah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan mengampuni perbuatan-perbuatan buruk mereka.”

Lalu dia menghilang, dan aku tidak pernah melihatnya lagi.” Abu’l Hasan al-Farisi mengatakan kepada saya bahwa dia mendengar Abu’l Hasan al-Muzayyin berkata : “Aku pergi sendirian ke apdang pasir dan memisahkan diri dari orang-orang. Ketika aku ada di Al-Umaq, aku duduk di pinggir sebuah kolam di sana, dan jiwaku mulai berbicara kepadaku mengenai cara dia memisashkan diri dari umat manusia, dan berkelana di padang pasir, dan suatu rasa bangga merasukinya. Kemudian, lihat, Al-Kattani muncul di hadapanku “atau mungkin juga orang lain saya masih ragu”  di seberang kolam; dia memanggilku sambil berkata : “Wahai tukang melamun! Berapa lama engkau berbicara dengan dirimu sendiri mengenai hal-hal yang ssia-sia?

Juga diriwayatkan bahwa suara itu mengatakan : “Wahai tukang melamun! Janganlah engkau berbicara dengan dirimu sendiri mengenai hal-hal yang sia-sia.” Dzu’l Nun berkata  : “Suatu kali aku melihat seorang pemuda mengenakan baju rombengan dan jiwaku memberontak terhadapnya, tapi hatiku berssaksi bahwa dia seorang wali. Maka aku pisahkan hatiku dari jiwaku, merenung. Pemuda itu melihat apa yang ada dalam benakku, sebab dengan melihat kepadaku dia berkata : “Waai Dzu’l Nun, jangan melihat kepadaku dengan maksud untuk mengetahui sifatku. Mutiara itu hanya bsia ditemukan di dalam kerangnya.” Kemudian dia berpaling pergi seraya menyitir puisi :

“Aku melihat dunia ditelantarkan dikarenakan kecongkakan,

Kerajaanku tak seorang pun mengurus;

Aku seorang pemuda berakal,

Aku mengenal nilai diriku dan nilai mereka,

Aku seorang pengausa dan raja.

Biar saja nasib tersenyum atau meerengut,

Sebab kebebasan selubungku

Kepuasan hati adalah pakaianku.”

 Wawasan kejiwaan itu merupakan suatu fenomena asli yang dipersaksikan oleh hadits berikut ini : “Takutlah pada wawasan orang yang beriman, sebab sesungguhnya dia melihat dengan cahaya Tuhan.”

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 67.MENGENAI ANUGERAH TUHAN KEPADA PARA SUFI DAN PERINGATANNYA TERHADAP MEREKA LEWAT SUARA-SUARA GHAIB

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Pada mala Arafah, perasaan akan dekatnya Tuhan memutuskan diriku dari hasrat untuk berdoa kepada Tuhan. Kemudian jiwaku menentangku agar aku berdoa kepada Tuhan; dan aku mendengar sebuah suara berkaa : “Setelah engkau menemukan Tuhan, apakah engkau akan berdoa kepada yang selain Tuhan?”

Abu Hamzah al-Khurasani berkata : “Suatu saat, pada saat aku melaksanakan perjalanan haji, aku sedang berjalan sepanjang jalan itu ketika tiba-tiba aku jatuh ke dalam sebuah sumur. Jiwaku menentangku agar berteriak minta tolong; tapi aku berkata : “Tidak, demi Tuhan, aku tidak akan berteriak! Aku baru saja akan selesai dengan renungan itu ketika dua orang lewat di ujung sumur, dan salah seorang dari mereka berkata kepada yang satunya : “Mari kita isi mulut sumur ini agar rata dengan jalan .’ Maka mereka membawa sebuah tongkat dan sebuah tikar alang-alang; aku tergerak untuk berteriak; lalu aku berkata : “Wahai Engkau yang lebih dekat kepadaku dibanding mereka!” Dan aku merasa tenang ssampai mereka selesai mengisi sumur dan pergi.

Lalu aku melihat sebilah kaki tejuntai ke sumur dan berkata, “Tangkap aku dan pegang erat-erat.” Maka aku memegangnya dan melihat bahwa ia adalah seekor singa; dan aku mendengar sebuah suara berkata : “Wahai Abu Hamzah, luar biasa! Kami telah menyelamatkan engkau dari kebinasaan di dalam sumur lewat seekor singa.” Salah seorang sahabt kami bercerita kepada saya bahwa dia mendengar Abu Walid menuturkan kisah berikut ini : “Suatu hari sahabat-sahabat kami membawakan susu dan aku berkata : “Itu akan mencelakakan diriku.” Lalu suatu hari aku berdoa kepada Tuhan dengan mangatakan : “Wahai Tuhan,ampuni aku, sebab Engkau tahu bahwa aku tidak pernah menyekutukan Engkau denagn Tuhan- tuhan lain, walaupun hanya sekejap mata !”

Aku mendengar sebuah suara berkata : “Tidak juga pda malam hari kisah susu itu?” Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Suatu kali pernah aku berada di padang pasir dan benar-benar kelaparan.

Jiwaku menuntutku agar minta makanan kepada Tuhan; dan aku berkata : “Itu bukan tindakan orang yang mempercayai Tuhannya.” Lalu jiwaku menuntutku agar aku berdoa kepada Tuhan meminta kesabaran; dan ketika aku akan melakukan ini, aku mendengar sebuah suara berkata :

‘Lihat, akulah malam!’ Dia berseru dengan congkak;

Tapi tak seorang pun pernah datang

Untuk mencari pertolongan kami ditolak,

Dan diusir dalam kehinaan.

Begitu lirih manusia kuasa itu menangis

 Dalam kelemahan yang menyedihkan

Seakan-akan kami tak pernah terlihat

Olehnya, ataupun dia terlihat oleh kami.

Bahwa fenomena dari suara gaib itu asli, dipersaksikan oleh cerita berikut ini : “Ketika mereka ingin membasuh (tubuh) Nabi, mereka berselisih dengan mengatakan : “Demi Tuhan, kami tidak tahu apakah kai mesti melepaskan seluruh pakaian Nabi sebagaimana yang kami lakukan dengan orang-orang mati lainnya di antara kami, atau kemi basuh beliau dengan pakaian masih menempel.”

Ketika mereka sedang berselisih paham itu, Tuhan menidurkan mereka, hingga dagu setiap yang hadir tersampir di atas dada mereka. Lalu sebuah suara yang ditujukan kepada mereka dari arah Ka’bah, yang tak seorang pun tahu suara siapa itu, mengatakan : “Basuhlah Nabi dengan pakaiannya masih menempel.”

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 66.MENGENAI KETAKWAAN DAN AMAL-AMALNYA

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Al-Harits al-Muhasibi mendapat warisan dari bapaknya lebih dari 30.000 dinar, tapi tidak mau menyentuhnya sepeser pun, dan mengatakan : “Dia seorang Qadariah.”

Abu Usman berkata : “Aku sedang di rumah Abu Bakr ibn Abi Hanifah bersama Abu Hafs. Kebetulan kami memperkatakan tentang seorang teman yang tidak hadir, dan Abu Hafs berkata : “Jika aku memiliki secarik kertas, akan ku tulis kepadanya.” Aku berkata, “Inilah, ada secarik.”

Saat itu Abu Bakr sedang pergi ke pasar. Abu Hafs menyahut, “Barangkali Abu Bakr telah meninggal dunia, tanpa kita ketahui, dan kertas itu telah menjadi milik pewarisnya. Oleh karena itu dia tidak jadi menulis.”

Abu Usman juga berkata : “Aku sedang bersama Abu Hafs, ketika dia menyimpan sejumlah kismis. Aku mengambil kismis itu dan memasukannya ke dalam mulutku. Dia tiba-tiba menyambar leherku dan berkata, “Engkau penipu, engkau makan kismisku.” Aku menjawab. “Aku yakin akan ketidakhadiranmudalam masalah-masalah dunia ini, sebab aku tahu bahwa engkau tidak memetingkan dirimu sendiri, dan karena itulah aku mengambil kismis itu.”

Dia menjawab : “Wahai orang tolo! Engkau mempercayai hati yang tidak dikuasai oleh tuannya!” Saya mendengar banyak dari syekh itu berkata : “Syekh itu akan menghindar dari behubungan dengan orang yang melarat dikarenakan salah satu dari ketiga alasan ini: Jika ddia melaksanakan perjalanan haji setelah menerima uang dari orang lain: Jika dia pergi ke Khurasan; Dan jika dia memasuki Yaman.

Mereka mengatakan : “Jika dia pergi ke Khurasan, dia melakukan hal itu hanya untuk memperoleh kemudahan, dan di Khurasan tidak ada apa pun yang halal atau baik untuk dimakan; dan mengenai Yaman, ada banyak jalan di sana menuju kerusakan,” Abu’l Mughith tidak pernah beristirahat atau tidur dengan berbaring, tapi sepanjang malam dia berdiri mendoa; dan setiap kali matanya terasa letih, dia akan duduk dan meletakkan keningnya di atas lututnya, dan tidur sebentar. Seseorang bertanya kepadanya : “Berbaik hatilah terhadap dirimu sendiri.”

Dia menyahut : “Tuhan yang Baik belum berbuat baik kepadaku sehingga aku belum juga mendapatkan kemudahan. Apakah engkau belum mendengar bahwa Tuhan Para Utusan itu berkata, Orang  yang paling susah adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang benar-benar percaya, dan sesudah itu yang semacamnya dan yang semacamnya.”

Dikatakan bahwa Abu Amr al-Zajjaji tinggal di Mekkah selam bertahun-tahun, dan tidak pernah melaksanakan kebutuhan alamiahnya di daerah Haram, tapi selalu pergi keluar untuk melakukan hal itu dan kemudian kembali dalam keadaan suci untuk beribadah.

Saya mendengar Faris menuturkan anekdot berikut ini : “Abu Abdillah yang dikenal sebagai Syikthal, tidak mau berbicara dengan orang-orang , tapi memencilkan diri di padang pasir di daerah Kufah, tanpa makan apa-apa kecuali makanan yang dihalalkan.

Aku bertemu dengannya pada suatu hari, dan dengan mendekatinya aku berkata : “Aku mohon kepadamu demi nama Tuhan, maukah engkau mengatakan padaku apa yang mencegah dirimu dari megajar orang? Dia menyahut : “Wahai manusia! Kemaujudan ini bukan lain daripada suatu khayalsan di tengah hakikat, dan adalah tidak sah bagi kita untuk berbicara mengenai sesuatu yang tidak mengandung hakikat. Dan mengenai Yang Nyata itu, kata-kata tak mampu memerikannya; lalu apa gunanya mengajar?

Kemudian meninggalkanku dn belalu.” Faris juga mengatakan kepadaku bahwa dia mendengar Al-Husain al-Maghazili berkata : “Aku melihat Abdullah al-Qasysya’ suatu malam berdiri di tepi sungai Tigris dan berkata, “Tuhanku, aku haus; Tuhanku, aku haus.” Begitulah dia terus menerus sampai pagi; lalu dia berkata ‘Aduh! Engkau membuat sesuatu  menjadi halal bagiku tapi mencegahku untuk mengambilnya; dan Engkau membuat sesuatu haram bagiku tapi memberiku kebebasan untuk mendapatkannya; lalu apa yang mesti kulakukan?” Maka dia kembali, dan tidak minum.”

Saya mendengar juga orang yang sama menuturkan bahwa dia mendengar seorang laki-laki melarat berkata : “Pada tahun sulit, aku berada bersama beberpa orang; aku meninggalkan mereka, dan kemudian kembali dan memerinksa orang-orang yang luka. Aku melihat Abu Muhammad al-Jurairi, yang waktu itu usianya lebih dari seratus tahun, dan berkata kepadanya : “Tuan, mengapa engkau tidak berdoa, agar (kesedihan) yang engkau lihat ini bisa dihilangkan?” Dia menyahut : “Aku telah melakukan itu.”

Dan kemudian ia menambah kan : “Sesungguhnya, aku melakukan apapun yang hendak kulakukan. Aku mengulangi permohonanku kepadanya dan dia berkata : “Saudaraku, ini bukan waktunya berdoa, kini adalah waktu untuk patuh dan pasrah.” Aku berkata kepadanya : “Apakah engkau membutuhakn sesuatu?” Dia menjawab : “Aku haus’.

Maka aku bawakan dia air, dan dia mengambilnya serta ingin meminumnya, lalu dia melihat kepadaku dan berkata : “Orang-orang ini haus, dan aku minum. Tidak, itu keserakahan.” Maka dia kembalikan air itu kepadaku dan segera sesudah itu dia mati.” Faris juga menuturkan bahwa dia mendenegar salah seorang sahabat Al-Jurairi berkata : “Selama dua puluh tahun aku tidak pernah memikirkan tentang makanan sampai pemikiran akan hal itu dibawa ke dalam hatiku; dan selama dua puluh tahun aku melakukan sembahyang fajar pada saat aku baru saja menyelesaikan sembahyang malamku, yang kedua; dan selama dua puluh tahun aku tidak pernah memendekkan doa-doa-ku kepada Tuhan, karena takut jangan-jangan Dia nanti akan membuktikan kesalahanku lewat mulutku sendiri.

Selama dua puluh tahun, lidahku hanya mendengarkan hatiku; Lalu keadaanku berubah, dan selama dua puluh tahun hatiku hanya mendengarkan lidahku.” Arti perkataannya, “Lidahku hanya mendengarkan hatiku” adalah :Aku hanya berbicara atas dasar hakikat yang aku miliki.”

Dan “hatiku hanya mendengarkan lidahku” adalah “Tuhan menjadikan lidahku, seperti yang dituliskan dalam hadis (Qudsi): “Lewat Aku dia mendengar, lewat Aku dia melihat dan lewat Aku dia berbicara.” Salah seorang Syekh kami mengatakan kepada saya bahwa dia mendengar Muhammad ibn Sa’dan berkata : “Selama dua puluh tahunaku membaktikan diri kepada Abu’l Maghith dan tak sekali pun aku melihatnya menyesali apa pun miliknya yang ketinggalan.”

Dikatakan bahwa Abu’l Sauda melaksanakan perjalanan haji kecil enam puluh kali, dan Ja’far ibn Muhammad alj-Khuldi lima puluh kali. Salah seorang syekh kami – saya cenderung beranggapan bahwa dia  adalah Abu Hamzah al-Khurasani --- melaksanakan perjalanan suci sepuluh kali demi Nabi, sepuluh kali demi para sahabat Nabi. Dan satu kali perjalanan suci demi dirinya sendiri; dan dia berharap perjalanan-perjalanan sucinya yang lain bisa membuat perjalanan sucinya sendiri diterima oleh Tuhan.

 

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 65.AJARAN KAUM SUFI MENGENAI MENGAJAR ORANG LAIN

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Seseorang berkata kepada Al-Nuri : “Kapan seseorang itu boleh mengajar sesamanya?”

Dia menjawab : “Ketika dia telah memahami masalah ke-Tuhanan, pada waktu itu barulah dia boleh mengajari hamba-hamba Tuhan; tapi kalau dia tidak memahami masalah ke-Tuhan-an, maka penderitaan dirinya itu diderita pula oleh seluruh negeri, dan ditanggung oleh semua orang.” Sirri al-Saqathi berkata : “Aku ingat ketika orang-orang datang kepadaku, dan aku berkata, “Wahai Tuhan!” Berilah mereka pengetahuan yang akan menjauhan mereka dariku, sebab aku tidak suka mereka datang kepadaku.”

Sahl berkata : “Selama tiga puluh tahun aku berbicara dengan Tuhan, dan orang-orang itu mengira aku berbicara dengan mereka.” Al-Junaid berkata kepada Al-Syibli : “Kami mempelajari ilju ini sedalam-dalamnya, dan kemudian menyembunyikannya dalam ruangan-ruangan di bawah tanah; tapi engkau telah datang dan memamerkannya di atas kepala orang-orang itu.” Al-Syibli menyahut : “Aku berbicara, dan aku mendengarkan; adakah sesuatu di dunia ini selain diriku?

Salah seorang tokoh besar Sufi berkata kepada Al-Junaid, ketika dia sedang berbicara dengan orang-orang itu : “Wahai Abu’l Qasim! Tuhan tidak senang kepada orang yang memiliki satu pengetahuan tertentu sampai Dia melihat dia hidup dalam pengetahuan itu, tetaplah tinggal di situ, tapi jika  tidak, turunlah.” Maka Al-Junaid bangkit, dan tidak berbicara dengan orang-orang selama dua bulan.

Sesudah itu dia muncul lagi dan berkata : “Kalau bukan karena aku telah mendengar Nabi berkata : “ Pada hari akhir pemimpin orang-orang itu akan menjadi yang paling hina di antara mereka, maka aku tidak akan muncul di hadapanmu.”

Al-Junaid juga berkata : “Aku tidak pernah berbiicara dengan orang-orang itu, sampai tiga puluh orang yang paling terpandang itu menunjukku, berkata : “Engkau pantas memanggil (orang-orang lain) mendekati Tuhan.” “Seseorang bertanya kepada salah seorang Sufi itu : “”Mengapa engkau tidak mengajar?” Dia menjawab : “Inilah suatu dunia yang telah berbalik dan pergi; dan orang yang mengikuti dia yang telah berbalik itu lebih terbelakang dari yang lain.”

Abu Mansur al-Panjakhini berkata kepada Abu’l Qasim al-Hakim : “Dengan tujuan apa aku mesti berbicara dengan orang-orang itu.” Dia menjawab : “Aku tidak mengenal tujuan yang berkaitan dengan keingkaran, kecuali meninggalkannya,” Abu Usman Sa’id ibn Isma’il al-Razi minta izin kepada Abu Hafsh al-Haddad, yang waktu itu menjadi gurunya, untuk mengajar orang-orang. Abu Hafs bertanya kepadanya : “Dan apa yang mendorongmu untuk berbuar itu?”

Dia menjawab : “Aku kasihan terhadap mereka, dan akan menasehati mereka.” Yang lain bertanya : “Apakah ukuran dari rasa kasihanmu terhadap mereka?” Dia menjawab : “Jika aku ahu bahwa Tuhan akan menghukum diriku sebagai ganti semua orang yang beriman kepada-Nya, dan akan membawwa mereka ke surga, aku akan merasa senang.” Maka Abu Hafs memberikan izin. Nah, diapu menghadapi ujian-ujian; dan ketika Abu Usman telah menyelesaikan pelajarannya, seseorang berdiri untuk mengemis.

Abu  Usman mencegah orang itu dengan memberikan baju yang dipakainya. Lalu Abu Hafs berkata : “Engkau menipu, waspadalah dalam mengajar orang-orang ini, selama hal itu masih ada dalam dirimu.” Abu Usman bertanya : “Hal apa itu, tuan?” Dia menjawab : “Bukankah engkau begitu ingin untuk menasehati mereka. Dan bukankah engkau ingin begitu ingin mengasihani mereka, sehingga engkau lebih suka kalau mereka mendapatkan pahala lebih dahulu daripada engkau, dan engkau mengikuti mereka?”

Saya mendengar penuturan yang berikut ini dari Faris, yang mendaptkannya dari Abu Amr al-Anmati dan menyalaminya.” Al-Junaid menyahut : “Dan damai untukmmu, wahai Panglima Hati. Berbicaralah!” Al-Nuri berkata : “Wahai Abu’l Qasim! Engkau telah menipu mereka, dan mereka menempatkan engkau di atas mimbar; aku telah menasehati mereka dan mereka telah membuangku ke tumpukan sampah.”

Al-Junaid berkata : “Aku tidak pernah merasakan kesedihan melebihi kesedihan waktu itu.” Pada hari Jum’at berikutnya dia datang pada kami dan berkata : “Kalau engkau melihat seorang Sufi mengejar orang-orang itu, ketahuilah bahwa dia kosong.” Ibn Atha berkata : “Firman Tuhan, “Dan katakanlah kepada mereka ucapan-ucapan yang bisa merasuk ke dalam jiwa mereka.” Yang berarti, (katakanlah kepada mereka) menurut kemampuan pemahaman mereka dan batas akal mereka.” Yang lain berkata : “Firman Tuhan” Andaikata dia membaut-buat sebagian perkataan atas nama Kami, niscaya Kami ikat persendiannya.”

 Berarti jika dia telah menatakan mengenai hal-hal ekstasis (spiritual) dari orang –orang materialis,” Penafsiran ini dibenarkan dalam firman lain : “katakan kepada mereka apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Tuhanmu.” Tuhan tidak berfirman, “Katakan kepada mereka sesuatu yang dengannya Kami membuat diri Kami kamu kenal.” Al-Husain al-Maghazili melihat Ruwaim ibn Muhammad sedang mengajar orang-orang mengenai masalah kemelaratan; dia berhenti, dan berkata padanya :

Mengapa engkau kenakan pisau yang berkilau itu,

Yang dengan itu tak seorang pun pernah dikuliti?

Congkak nian engkau dengan senjata terhunus.

Pergi, ambillah gelang kaki yang tersepuh emas!

Dia bermaksud memerikan suatu keadaan yang belum pernah dialaminya. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Jika seseorng mengajar tanpa mengetahui arti yang di bicarakannya, dia mirip seekor keledai dalam kepura-puraannya itu. Tuhan berfirman : “Bagai keledai yang membawa kitab-kitan tebal.”

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 64.AJARAN KAUM SUFI MENGENAI UPAYA KERAS (MUJAHADAH) DAN IBADAH

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Ibadah yang sesungguhnya adalah melaksanakan apa yang telah dibebankan oleh Tuhan sebagai suatu tugas, asal itu diartikan sebagai suatu kewajiban; yaitu, bahwa tugas tersebut harus dilaksanakan tanpa mengharapkan balasan, meskipun engkau tahu bahwa itu merupakan suatu karunia (Tuhan); tugasmu kepada Tuhan itu sudah cukup, ketika engkau melaksanakan tindakan itu, untuk membuang segala pengharapan akan karunia dan balas-jasa.

 Sebab Tuhan berfirman : “Sesungguhnya Allh telah membeli jiwa dan harta orang mukmin,” yaitu bahwa mereka boleh membaktikan diri mereka sebagai hamba, bukan dengan jiwa yang loba.”

Seseorang berkata kepada Abu Bakr al-Wasithi : “Dengan cara  bagaimana sang Sufi melaksanakan perbuatannya?” Dia menjawab : “Dengan cara meluruh dari tindakan-tindakannya, yang menjadi ada didkarenakan sesuatu yang selain dia.” Abu Abdillah al-Nibaji mengatakan : “Kesenangan dalam kepatuhan itu merupakan buah permisahan dari Tuhan. Seseorang itu tidak disatukan dengan Tuhan dikarenakan hal itu, atau dijauhakan (Dari Tuhan, dikarenakan tiadk adanya hal itu); dia tidak mempercayainya sebagai sesuatu yang patut diandalkan, dia pun tidak meninggalkannya karena dorongan semangat  penentangan. Dia melaksanakan tugas-tugasnya semata-mata demi Tuhan, sebagai seorang budak dan hamba, bersandar pada apa (yang ditakdirkan oleh Tuhan) di dalam masa pra-kekekalan.” Yang dimaksudkannya dengan “Kesenangan dalam kepatuhan” adalah menganggap hal itu mendahului dirinya, tanapa menyadari karunia Tuhan dalam membantu orang itu (untuk patuh).

Firman Tuhan : “Sesungguhnya seruan dari Tuhanitu lebih baik.” Ditafsirkan bahwa itu lebih baik daripada di dalam akalmu, atau yang dapat diutarakan oleh lidahmu. Zikir yang sesungguhnya berarti meluakan yang selain Tuhan, sebab, Tuhan berfirman : “Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika engkau lupa.”

Maka Firman Tuhan : “Makan minumlah sesenang hatimu, berkat perbuatan kebajikan yang telah kamu lakukan pada masa silam.” Ditafsirkan bahwa pada masa silam itu mereka tidak mengingat Tuhan, sehingga kamu harus tahu bahwa apa yang kamu peroleh itu dikarenakan kebaikan Tuhan; bukan didkarenakan tindakan-tindakan sendiri.

Abu Bakr al-Qahtabi berkata : “Jiwa orang yang percaya kepada, pada keesaan Tuhan itu muak dengan segala gelar sifat-sifat mereka yang teelah ternyatakan, dan segala sesuatu yang muncul dari sifat-sifat itu mereka anggap menjijikan. Mereka terrpisah dari kesaksian-kesaksian mereka, perolehan-perolehan mereka, dan keuntungan-keuntungan mereka, dan mereka tidak mampu menyatakan tuntutan apa pun di hadapan-Nya, sebab mereka telah mendengarkan-Nya berfirman : “Dan jangan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan dalam peribadatan.” Dengan “kesaksian” yang dimaksudkannya adalah kemanusiaan, dengan “keuntungan” adalah balas jasa, dengan “perolehan-perolehan” adalah benda-benda material.

Abu Bakr al-Wasithi berkata : “Arti perkataan Tuhan Maha Besar” pada saat berdoa adalah “Engkau terlalu besar untuk bisa digabungkan dengan doa, atau untuk dipisahkan dengan jalan menghapuskan doa.” Sebab, pemisahan dan penyatuan itu bukan merupakan tindakan-tindakan (pribadi), melainkan menuruti suatu ketetapan yang ditakdirkan di dalam kekekalan.”

Al-Junaid berkata : “Janganlah hendaknya tujuanmu dalam berdoa, melaksanakannya tanpa ikut bersenang dan berrgembira di dalam kesatuan dengan Dia yang tak bisa didekati dengan alat apa pun kecuali lewat Dia sendiri.”

Ibn Atha berkata : “Janganlah hendaknya tujuanmu dalam berdoa, melaksanakannya tanpa rasa takjub dan hormat kepada Dia yang telah melihat engkau melaksanakannya.” Yang lain berkata : “akna doa adalah pelepasan dari segala rintangan, dan pemissahan dengan hakikat-hkikat.” Rintangan-rintangan itu adalah segala sesuatu yang selain Tuhan, hakikat-hakikat adalah segala sesuatu yang dipersembahkan kepada Tuhan dan dari Tuhan. Yang lain berkata : “Berdoa adalah menyatu.”

Saya mendengar Faris berkata : “Makna puasa adalah mangkir dari penglihatan manusia di dalam penglihatan Tuhan. Sebab Tuhan berfirman di dalam kisah Maryam : “Sesungguhnya aku telah berjanji kepada Tuhan Yang Mahapengasih untuk berdiam diri, maka aku tiak akan berbicara dengan siap pun pada hari ini.” Yaiitu karena aku mangkir dari mereka di dalam penglihatan Tuhan, dan karenanya aku tidak akan dapat, dalam keadaanku itu. Menggubris sesuatu yang bisa membingungkan diriku atau melepaskanku dari Dia.”

Hal ini terbukti dalam perkataan Nabi : “Puasa itu suat penjagaan.” Yaitu suatu selubung yang menutupi segala sesuatu kecuali Tuhan.

Tuhan pun berfirman : “Puasa itu bagian-Ku, dan Aku akan memberi pahala untu itu.” Salah seorang tokoh Sufi berekata : “Itu berarti, Aku yang menjadi pahala untuk itu.”

Abu’l Hasan ibn Abi Dzarr berkata : “Itu mengandung arti, ma’rifat-Ku menjadi pahala bagi orang yang berpuasa.” Sudah tentu itu merupakan pahala yang cukup, sebab tidak ada sesuatupun yang dapat memperoleh ma’rifat Tuhan, atau bahkan mendekatinya saja.”

Saya mendengar Abu’l Hasan al-Hasani al-Hamadani mengatakan : “Arti firman Tuhan “Puasa itu bagian-Ku” adalah bahwa hasrat-hasrat itu meninggalkannya; yaitu pertama hasrat dari setan, kalau-kalau dia akan merusak-kannya, sebab setan itu tidak berhasrat akan sesuatu yang menjadi milik Tuhan; yangg berikutnya adalah hasrat dari jiwa, kalau-kalau jiwa itu menyombongkan diri, sebab jiwa itu hanya menyombongkan apa yang menjadi miliknya; yang berikutnya lagi, hasrat dari musuh-musuh di dunia mendatang, sebab mereka hanya mengambil apa yang menjadi milik manusia, bukan yang menjadi milik Tuhan.” Inilah arti firman Tuhan itu, sepanjang yang saya pahami.

Seorang tokoh Sufi berkata : “Kesulitan penderitaan adalah keinginan akan kesenangan dan pengharapan yang ditempatkan pada setiap tindakan pribadi, jika seseorang percaya kepada kesenangan dan pengharapan itu, maka akibatnya adalah kesedihan; dan kesedihan yang diperolehnya itu merupakan kesengan bagi musuh-musuhnya.”

Al-Nuri menulis :

“Hari ini aku hampir mencapai tujuanku!” aku berseru;

Sayang,.. tujuan yang hampir tercapai itu masih ssangat jauh.

Aku tak berjuang, tapi jatuh; tapi, untuk nerusaha

Dan kalah dalam perang, itu pun suatu pertempuran

Kini, segala harapan pupus, tapi kasih-Mu..

Akan selalu memberi ampun, sifat pemurah-Mu menyetujui;

Kalau tidak, maka surga kan kering; aku mesti terbuang.

Yang lain menulis :

Sungguh, bahwa aku memuja dan mengingat Engkau..

Dalam pengharapan akan pencapaian;

Begitu rindu anak-anak ketakmanatapan itu

Akan kesenangan yang sia-sia

Tuhan, bagaiman Wahyu-Mu yang cemerlang

Akan kutanggung,

Dan meninggalkan dunia ini, nan penuh selubung dan godaan

Dengan cara tak biasa?

Dia berkata : “Jika dalam tindakan dan usahaku aku mencari pahala – dan inilah yang dicari oleh orang-orang yang berusaha dan bersusah payah mencari (mutu) ketuhanan itu  bagaimana aku akan memikirkan wahyu yang membawaku dari ketakutan akan kabr-kabar mengenai keadaan-keadaan dan saat-saatku yang berubah, dan dari anggapan akan perbuatan-perbuatan serta usaha-usahaku sendiri, yang merupakan hal-hal yang menyelubungi diriku dari-Mu?

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 63.AJARAN KAUM SUFI MENGENAI YANG MENCARI DAN YANG DICARI

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Yang mencari itu dalam kenyataanya adalah yang dicari, dan Yang Dicari Yang Mencari; sebab orang yang mencari Tuhan itu hanya mencari-Nya karena mula-mula Tuhan mencarinya lebih dulu. Maka Tuhan berkata : “Dia mencintai mereka, dan mereka mencintai-Nya.”

Dan lagi : “Allah senang kepada mereka dan mereka pun senang pula kepada Allah>” dan agi : “Kemudian Allah menerima tobat mereka, agar mereka selalu kembali kepada-Nya” Pencarian-Nya akan mereka merupakan penyebab pencarian mereka akan Dia; sebab penyebab dari segala sesuatu itu adalah tindakan-tindakan Tuhan, sedang tindakan-tindakan-Nya tidak bersebab. Jika Tuhan mencari seseorang, tidak akan mungkin bagi orang itu untuk tidak mencari Tuhan; Maka Tuhan telah membuat orang yang mencari menjadi yang dicari. Yang Dicari menjadi Yang Mencari. Sekali pun begitu (dalam bahasa orang-orang sufi), orang yang mencari adalah yang tindakannya mendahului perkataannya, sedang yang dicari adalh dia yang perkataannya mendahului tindakannya.

Orang yang mencari itu dilukiskan dalam firman Tuhan : “Orang-orang yang berjuang di pihak Kami akan Kami tunjuki jalan-jalan Kami” Orang semacam itulah yang dicari Tuhan, Yang memalingkan hatinya dan menanamkan di dalamnya suatu karunia, untuk menggerakan hatinya agar berjuang demi Dia dan berpaling kapda-Nya serta mencari-Nya.

Lalu Dia ungapkan baginya keadaan kejiwaan itu. Begitulah halnya dengan haritsah, yang berkata : “Aku memalingkan diriku dari dunia ini, dan berpuasa di siang hari serta berjaga di malam hari” lalu dia berkata : “Dan seolah-oleh aku melihat Singgasana Tuhan tampi.” Dengan kata-kata ini dia menunjukan bahwa ilham dari yang tak terlihat itu mendatangi dirinya, setelah dia berpaling dari dunia ini. Orang yang “dicari” sebaliknya, dijauhkan secara paksa dari dunia ini oleh Tuhan, dan diungkapkan baginya keadaan itu, sehingga lewat kekuatan pewawasan itu dia bisa digerakan untuk berjuang demi Tuhan-nya, dan berrpaling kepaa-Nya serta menanggung beban yang ditempatkan oleh Tuhan atas dirinya. Maka begitulah halnya dengan kemampuan sihir Fir’aun sebab mereka berkata : “Kami tidak akan mengutamakan daripada keterangan-keterangan nyata .... Karena itu hukumlah kamu sesuka hatimu.”

Begitu pula halnya dengan Umar ibn Al-Khattab. Ketika dia datang untuk membunuh Nabi; sebab Tuhan mencegahnya dalam perjalanannya. Sama halnya juga kisah Ibrahim ibn Adham, dia pergi untuk memburu kesenangan, dan sebuah suara memanggilnya, berkata : “Bukan untuk ini kamu diciptakan, dan bukan untuk ini kamu diperintah.” Dua kali suara itu memanggilnya, dan pada kali ketiga panggilan itu datang dari bagian depan sadel kudanya. Lalu dia berkata : “Demi Tuhan, aku tidak akan ingkar dari Tuhan sesudah ini, sepanjang Tuhanku selalu melindungiku dari dosa.” Maka inilah yang dimaksudkan dengan “dijauhkan secara paksa.” Orang-orang ini diberi ilham mengenai keadaan kejiwaan, dan dengan begitu dijauhkan dari keinginan-keinginan dan kekayaan-kekayaan duniawi mereka. Ahli Hukum Abu Abdillah al-Baraqi pernah mengutip puisi, karangannya sendiri, ini untuk saya :

Hati si pencari itu tertancap dalam kesucian,

Dan hasrat itu membawa langkahnya menuju setiap celah pegunungan;

Ke sepanjang lembah mana pun tujuannya,

Tempatnya satu-satunya adalah Tuhan segala manusia.

Dia membayar dengan kesucian, dengan cara suci pula,

Dan kesucianlah yang dibawa ke dalam hati oleh lentera,

Yang dicarinya adalah tempat tinggal Sang Pencari:

Lipat tigalah rahmat si pencari yang dicari!.

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 62.AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PEMBERIAN MA’RIFAT

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Al-Hasan ibn Ali ibn Yazdaniyar ditanya : “Kapankah ahli ma’rifat itu bersama Tuhan?” Dia menjawab : “Ketika kesaksian itu muncul dan kesaksian-kesaksian itu hilang, indera-indera itu lenyap dan ketulusan musnah.” Ketia dia mengatakan : “Kesaksian itu muncul. Maksudnya adalah kesaksian Tuhan, yaitu apa yang dilakukan-Nya terhadap Sufi itu sebelumnya, kebaikan-Nya dan pemberian-pemberian ma’rifat, pengesaan dan iman kepada-Nya yang begitu banyak, pemikiran akan hal ini akan menyebabkan tindakan-tindakan para Sufi itu sendiri, kesalehan dan kepatuhannya sendiri, akan lenyap dari benaknya. Lalu dia akan melihat bahwa sebagian besar dirinya tertelan dalam sebagian kecil dari Tuhan, meski yang demikian Tuhan itu banyak dan yang dimilikinya sedikit. Keluruhan kesaksian adalh hilangnya pemikiran akan orang-orang lain, apakah mereka akan merugikan atau menguntungkan, menyalahkan ayau memuji, sementara lenyapnya indera-indera itu dicontohkan di dalam hadits (Qudsi) ini : “Lewat aku dia berkata dan lewat aku dia melihat.”. Musnahnya ketulusan berati bahwa ketika Sufi itu memikirkan sifatnya sendiri --- sebab sifatnya tunduk kepada penyebab, seperti dirinya sendiri – dia tiak lagi menganggap dirinya tulus, dan tidak lagi menganggap tindakan-tindakannya pernah atau kan tulus.

Dzul Nun ditanya : “Bagaimanakah kesudahan ahli Ma’rifat itu?” Dia menjawab : “Ketika dia tetap seperti dia sebelumnya di tempat dia sebelumnya di hadapan sesuatu yang dihadapinya sebelumnya.” Dengan ini, yang dimaksudkannya adalah bahwa dia merenungkan Tuhan dan tindakan-tindakan-Nya, bukannya merenungkan dirinya sendiri dan tindakan-tindakannya.

Yang lain berkata : “orang yang paling mengenal Tuhan adalah orang yang paling bingung.” Dzu’l Nun ditanya : “Apakah langkah pertama yang harus diambil oleh ahli ma’rifat?” Dia menjawab : “Kebingungan, sesudah itu kebutuhan, sesudah itu penyatuan, sesudah itu kebingungan.” Kebingungan yang pertama adalah pada tindakan-tindakan dan karunia-karunia Tuhan terhadap dirinya; sebab, dia merasa bahwa rasa syukurnya kepada Tuhan tidak sesuai dengan karunia Tuhan itu, dan dia tahu bahwa dia perlu bersyukur lantaran karunia-karunia itu; bahkan, jika dia bersyukur, kesyukurannya merupakan suatu karunia yang harus disyukurinya. Dia merasa bahwa tindakan-tindakannya tidak cukup patut untuk membawanya bertemu Tuhan; sebab dia mengecilkan arti tindakan-tindakan itu, menganggap tindakan-tindakan itu sebagai kewajibannya, yang tidak akan terhapuskan dalam keadaan apapun.

 Dikatakan bahwa Al-Syibli pada suatu kesempatan berdiri untuk bersembahyang, dan menanti lama sekali, sesudha itu bersembahyang; dan setelah dia selesai bersembahyang dia berkata : “Aduh! Jika aku berdoa, aku menyangkal, dan jika aku tidak berdoa, aku tidak bersyukur.” Yang dimaksudkannya : “ Aku menyangkal besarnya kebaikan dan sempurnanya karunia (Tuhan), kalau aku bandingkan itu dengan tindakan bersyukurku yang buruk itu. Lalu dia mulai bersyair :

Kini, terrpujilah Tuhan, bahwa aku bagaikan seekor kodok

Yang makanan pokonya tersedia di air dalam

Dan membuka mulutnya, dan segera penuh;

Ia mempertahankan kedamaiannya, dan pasti mati dalam kesedihan

Kebingungan yang kedua adalah di dalam keliaran tanpa penyatuan yang tak berarah, yang di dalamnya pengertian ahli ma’rifat itu lenyap dan akalnya menciut di hadapan kebesaran kekuasaan, pesona dan keagungan Tuhan. Telah dikatakan : “Di sisi pengesaan ini terdapat keliaran yang di dalamnya pikiran-pikiran itu lenyap.”

Abu’l-Sauda bertanya kepada salah seorang tokoh besar Sufi : “Apakah ahli ma’rifat itu memiliki kesempatan (waqt)?” Dia menjawab : “Tidak,” Yang lain bertanya : “Mengapa tidak?”

Tokoh Sufi itu menjawab : “Sebab, kesempatan adalah suatu jarak waktu untuk penyegaran setelah kemarahan, dan ma’rifat itu (bagaikan) ombak yang menarik (ahli ma’rifat), terkadang mengangkatnya, terkadang membantingnya, dan kesemepatannya itu hitam dan gelap.” Lalu dia berkata :

Ma’rifat membuat satu tuntutan, dan hanya satu;

Bahwa, segala sesuatu darimu harus dihapuskan.

Maka, ketika penyelidikan panjang itu dimulai pertama kali,

Yang mencari, belajar menjaga kemurnian pandangannya

Faris berkata : “Ahli ma’rifat adalah seseornag yang pengetahuannya merupakan suatu keadaan kejiwaan, dan yang geraknnya berlimpah-limpah.”

Junaid, ketika ditanya mengenai ahli ma’rifat berkata : “Warna air itu adalah warna wadahnya.” Yang dimaksudkannya adalah bawa dalam setiap keadaan dia mengikuti apa yang lebih patut; nah, keadaan-keadaannya itu berbeda-beda, maka dia disebut :Putera sang waktu>”

Dzu’l Nun berkata, utnuk menjawab pertanyaan yang sama : “Dia ada di sisi dan kemudian pergi,” yang berarti bahwa ahli ma’rifat itu tak pernah terlihat pada dua kesempatan dalam keadaan yang sama, sebab dia diawasi oleh Yang lain. Puisi berikut ini dianggap sebagai gubahan Ibn Atha :

Andaikan waktu punya lidah ‘tuk berbicara, maka ‘kan bertutur..

Bahwa dalam selubung hasrat aku senang;

Tapi, waktu tak tau tingkatku yang sejati lagi tinggi,

Karena kuselalu bergerak ke suatu ketinggian..

Sahl ibn Abdillah berkata : “Keadaan pertama dalam ma’rifat adalah ketika sang Sufi mendapatkan suatu kepastian di dalam hatinya, yang dengan itu anggota-anggota tubuhnya menjadi tenang, dan suatu sifat kebenaran di dalam anggota-anggota tubuhnya yang dengannya dia merasa aman di dunia ini, serta suatu kehidupan di dalam jiwanya yang dengannya dia mencapai kemenangan di dalam keadaannya yang mendatang.”

Oleh karena itu, ahli ma’rifat telah berusaha keras untuk melaksanakan tugasnya terhadap Tuhan, dan ma’rifatnya merupakan suatu perwujudan apa yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya, oleh karena itu dia sungguh-sungguh berpaling dari segala sesuatu dami Tuhan. Tuhan berfirman  : “Engkau melihat air mata mereka bercucuran, disebabkan apa yang mereka ketahui sebagai kebenaran.” Barangkali, yang mereka maksud dengan “mereka diketahui sebagai kebenaran” adalah yang telah mereka ketahui sebagai kebaikan Tuhan dan pencarian-Nya akan diri mereka, berpalingnya Dia kepada mereka serta terpilihnya mereka di antara kerabat-kerabat mereka.

Begitulah halnya dengan Ubai ibn Ka’ab. Nabi berkata kepadanya : “Sesungguhnya, Tuhan telah memerintahkan aku untuk menyitir (ayat-ayat suci) di hadapanmu.” Ubai berkata : “Wahai Rasul Allah! Adakah aku disebutkan di situ?” Nabi berkata : “Ya”.

Maka Ubai lalu meratap, sebab dia tidak melihat ada keadaan yang di dalamnya dia bisa menghadap Tuhan, tak ada syukur yang bisa menyamai karunia Tuhan, tak cukup ingatannya akan Dia; oleh karena itu dia bungkam sja, lalu meratap. Nabi juga berkata kepada haritsah : “Kau telah tahu, maka berpeganglah erat-erat (padanya).” Beliau menuturkan kepadanya ma’rifat itu, dan menyuruhnya berpegang erat-erat padanya, tanpa memberi tanda kepadanya dengan tindakan apa pun.

Ketika ditanya mengenai ahli ma’rifat, Dzu’l Nun berkata : “Dia adalah orang yang meskipun menyatu dengan ma’rifat itu, terpisah darinya.” Sahl berkata : “Mereka yang memiliki ma’rifat Tuhan adalah sebagai oarng-orang dari A’raf, yang mengenal satu sama lain dengan tanda-tanda; Tuhan telah menempatkan mereka pada keadaan mereka, dan mengangkat mereka tinggi-tinggi melebihi kedua tempat itu, memberi mereka pengetahuan mengenai dua kerajaan itu.” Salah seorang tokoh Sufi menulis baris-baris puisi ini :

Sayang nian, mereka yang telah menjalani

Kehdipan dunia ini, dan pergi di jalan mereka sendiri!

Bertahun-tahun sudah ku berlomba dengan mereka;

Bagian yang mereka mainkan tak bisa kumainkan;

Kehdupan mereka penuh rahasia dan terpencil.

Di tengah suasana kesombongan atau keningratan,

Manusia-manusia berseru, yang melihat mereka dilucuti

Mereka tak terbentuk, tak bernyawa!

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 61.AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PENGESAAN (TAUHID)

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Pengesaan itu memiliki tujuh unsur : pemisahan yang kekad dari yang sementara,

Menempatkan Yang Kekal di atas persepsi makhluk, tidak lagi menyekutukan gelar-gelar-Nya, menghlangkan prinsip sebab akibat dari gelar ketuhanan, mengangkat Tuhan di atas kekuasaan (makhluk) yang sementara untuk mempengaruhi atau mengubah Dia, dan memuliakan Dia atas segala pembedaan dan penghitungan (mental) serta menyatakan bahwa Dia lepas dari prinisp kias.

Muhammad ibn Musa al-Wasithi berkata : “Pengesaan itu adalah bahwa segala kemampuan lidah untuk berkata, atau segala kata untuk mengungkapkan, suatu pemuliaan atau pelepasan atau pemisahan itu, ada penyebabnya; padahal, hakikatnya jauh dari itu semua.” Maksudnya, semua ini termasuk dalam sifat-sifat atau gelar-gelar pribadi, yang seperti manusia juga, ada pembuatnya dan penyebabnya; sedangkan hakikat Tuhan itu adalah penyifatan oleh Dia Sendiri.

Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Pengesaan itu merupkana pemencilan dirimu sebagai seorang individu tunggal, dan itu berarti Tuhan membautmu tidak menyaksikan dirimu sendiri.”

Faris berkata : “Pengesaan itu tidak benar sepanjang masih ada dalam dirimu kaitan pelepasan. Jika pengesaan itu ada dalam pembicaraan, Tuhan tidak melihat hati orang yang esa itu menyatu dengan-Nya, dan jika pengesaan itu ada dalam keadaan (hal), maka orang yang percaya kepada yang esa itu mangkir dari segala pembicaraan; tapi penglihatan akan Tuhan itu merupakan suatu keadaan yang menyebabkan para Sufi melihat segala sesuatu yang menjadi milik Tuhan.

Bagaimana pun juga, tidak ada cara lain untuk mencapai pengesaan Tuhan, kecuali dengan pembicaraan atau keadaan. Salah seorang tokoh Sufi berkata : “Pengesaan berarti pemisahan dari diri sendiri sepenuhnya, tapi dengan satu syarat, yaitu melaksanakan sepenuhnya segala sesuatu yang dibebankan atas dirimu dan bahwa tak ada sesuatu pun yang akan kembali kepadamu untuk memisahkanmu dari Tuhan.”

 Maksudnya, seseorang harus berusaha keras untuk melaksanakan tugasnya terhadap Tuhan, sesudah itu membebaskan dirinya dari adanya kenyataan bahwa dia telah melaksanakan tugasnya; pengesaannya melepaskannya dari sifat-sifatnya sendiri, dan karena itu tidak ada sesuatu pun yang akan kembali kepadanya, sebab sifat-sifatnya itu akan memishakannya dari Tuhan.

 Al-Syibli berkata : “Para Sufi itu tidak mencapai pengesaan yang sesungguhnya, sampai dia merasa dilepaskan dari kesadarannya sendiri. Sebab Tuhan mengejawantah dalam dirinya.” Yang lain berkta : “Orang yang mempercayai keesaan Tuhan adalah orang yang dipisahkan oleh Tuhan sepenuhnya dari kedua dunia itu, sebab Tuhan melindunginya, dan Dia telah berfirman : “Kami adalah teladan-teladan kamu dalam kehidupan di dunia ini dan nanti.” Oleh karena itu Kami tidak menegembalikan kamu kepada wujud (ma’na) yang laind dari Kami, di dunia kini maupun nanti. Inilah tanda orang yang percaya kepada keesaan Tuhan itu; dalam dirinya tidak pernah melintas suatu ingatan penghargaan kepada apa pun yang  tidak mengandung hakikat di hadapan Tuhan. Segala kesaksian terpaling dari kesadarannya dan segala keinginan akan balas jasa terlepas dari hatinya.” Dia tak melihat satu kesaksian pun, tak mengharapkan satu balas jasa pun, tak mempelajari satu rahasia pun dan tak mengacuhkan satu kebaikan pun. Sedangkan dalam( melaksanakan) tugas-tugasnya dia terselubung dari (memperhitungkan bahwa dia telah melaksanakan) tugas-tugasnya; dan meskipun dia teikat pada hasrat, ia mampu lepas dari hasrat itu.

Dia tidak memiliki bagian dalam setiap bagian, sebab dia terkurung di dalam kecukupan dari segala bagian. Tuhan adalah bagian yang paling mencukupi; kalau dia merasa kurang  dekat dengan Tuhan, maka dia kekuarangan segala sesuatu; walaupun mungkin dia memiliki segala sesuatu, dan kalau ddia menemukan Tuhan, dia merasa memiliki segala sesuatu, walau pun mungkin dia tidak memiliki benda sebesar atom pun.”

Yang dimaksudkan penulis itu adalah bahwa sementara dia melaksanakan tugas-tugasnya, dia tidak melihat bahwa dia sedang melaksanakan tugas-tugasnya; dia juga melepaskan dari segala hasratnya, sementara dia melihat jiwanya mematikan hasrat-hasrat itu. Bagian untuk dirinya dari Tuhanadalah kemaujudan Tuhan; dia terkurung di situ, dan tak memiliki kekuatan untuk maju atau mundur. Salah seorang tokoh Sufi menulis puisi ini :

Maka, Kebenaran diketahui dalam ekstase,

Sebab, Kebenaran itu akan ada di mana-mana;

Dan bahkan akal yang paling cerdas pun gagal

Memahami rahasia ini