Catatan Popular

Ahad, 20 November 2016

PENYAIR SUFI : ABU AL ATAHIYAH (W. 211 H/ 828 M),



       Seorang penyair zuhud sezaman dengan Abu Nawas. Ia terkenal akan kezuhudannya, dengan syair-syairnya ia banak memberikan peringatan-peringatan yang jujur kepada penguasa waktu itu ( khalifah Harun Ar Rasyid), sehingga kadang sang khalifah tersedu-sedu mendengar ajaran yang diberikan lewat sair-sairnya.

       Nama Ismail bin Qosim bin Suweid al Anzi, panggilanya Abu Ishak, dan terkenal dengan nama Abul Atahiyah, karena konon sering merasa bingung. Masa kecilnya tinggal di Kufah dan kemudian menetap di Baghdad. 

       Ia selalu mempunyai hubungan yang baik dengan para khalifah, sehingga dirinya sangat dikenal oleh mereka. Ia pernah meninggalkan profesi sebagai penyair, tetapi kemudian kembali lagi menjadi penyair. Ia orang yang sangat tanggap dan dalam syair-syairnya banyak kreasi baru. Dalam sehari ia mampu membuat 100 bait. Diantara syair-syairnya yang terkenal dan sangat bagus adalah masalah kezuhudan, kata-kata mutiara, peribahasa dan nasehat.
     
 Ia meninggal di Baghdad.

Peranan & Pemikiran

      Ia merupakan penyair zuhud yang terkenal pada zaman khalifah Harun al rasyid dan sering mengingatkan sang khalifah apabila lalai.Apabila sang khalifah sudah sampai kegembiraan, sehingga lupa akan kewajibannya dan kemiskinan rakyat, ia dengan syairnya memberikan peringatan-peringatan yang jujur. Sehingga kadang-kadang Harun Al rasyid tersedu-sedu mendengarkan ajaran yang diberikannya.
      Para ahli sejarah tidak berhasil mengumpulkan semua syair-syairnya, karena jumlahnya sangat banyak. Imam Yusuf bin Abdullah al Qurthubi menulis syair-syair beliau dalam satu jilid. Manuskripnya masih ada hingga sekarang di perpustakaan Mesir dan belum diterbitkan.
      Salah seorang sastrawan kristen pernah membaca dan menyalinnya, dan menyusun syair-syairnya berdasarabjad hijaiyah dan menerangkan sebagian kata-katanya yang diberi judul Al Anwar az Zahiyah fi Diwan Abil Atahiyah.

NASEHAT ABUL 'ATAHIYAH

" ( Jangan Terpedaya dengan Gemerlapnya Dunia )

Sepotong roti kering yang engkau makan di pojokan….


Dan secangkir air dingin yang kau minum dari mata air yang jernih….


Dan kamar sempit yang meraja jiwamu kosong di dalamnya…


Atau mesjid yang terasing dan jauh dari manusia, lalu engkau berada di sudut mesjid tersebut…


Engkau membaca Al-Qur'an sambil bersandaran di sebuah tiang mesjid…


Seraya mengambil ibroh/pelajaran dari kisah-kisah orang-orang terdahulu yang telah tiada…


Itu lebih baik daripada berlama-lama di dalam istana-istana yang megah…


Yang akhirnya mengakibatkan dosa yang menyebabkan engkau masuk dalam api yang panas…
Ini adalah washiatku yang mengabarkan tentang dirinya…


Sungguh beruntung orang yang mendengarnya…demi Allah washiat ini sudahlah cukup (memberi pelajaran…)


Maka dengarlah nasehat orang yang sayang dan khawatir kepadamu yang dikenal dengan Abul 'Ataahiyah..


Sungguh indah sya'ir Abul 'Ataahiyah di atas, terutama bagi yang mengerti bahasa arab. 

Sedikit waktu yang disempatkan untuk membaca Al-Qur'an di pojokan mesjid jauh dari pandangan manusia…

Ternyata jauh lebih bernilai dari kemegahan istana yang hanya sementara.

Benarlah jika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan ;

"Sholat sunnah dua rakaat qobliah subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya"

Janganlah terpedaya dengan kenikmatan dunia…sesungguhnya ia adalah kenikmatan yg semu dan sementara…

Ingatlah akan kenikmatan akhirat yg jauh lebih baik dan abadi.

Jika seseorang di suruh memilih mendapatkan kenikmatan secangkir susu, akan tetapi kapan saja bisa ia minum dan tersedia, atau memilih kambing guling akan tetapi hanya sekali saja bisa santap, tentu orang yg berakal akan memilih secangkir susu –meskipun sedikit- akan tetapi terus tersedia selama puluhan tahun, kapan saja siap untuk diminum.

Maka bagaimana lagi jika perkaranya sebaliknya…kambing guling yg terus siap tersedia kapan saja bisa disantap, dibandingkan dengan secangkir susu yg hanya bisa sekali diminum??

Bagaimana lagi dengan hanya secangkir air putih…???

Demikianlah…kenikmatan dunia selain sedikit iapun fana dan akan sirna. 

Adapun kenikmatan akhirat sangat banyak dan abadi…

Jika engkau terpedaya dan terkagum-kagum bahkan kepingin tatkala melihat kenikmatan dan kemewahan benda-benda dunia, sedangkan engkau sedang menghadapi sulitnya kehidupan dunia maka agar engkau tidak terpedaya… ucapkanlah doa yg diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam


"Yaa Allah tidak kehidupan yg hakiki kecuali kehidupan akhirat" (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Doa ini Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ucapkan tatkala Nabi dan para sahabat kaum muhajirin dan anshor sedang menggali parit dalam perang Khandak, sementara perut-perut mereka keroncongan karena kelaparan, bahkan mereka mengikatkan batu ke perut- perut mereka untuk menahan rasa lapar.

Nasehat Syair Abu al ‘Atahiyah

Tatkala pintu-pintu rizki terbentang pada masa Abbasiyah, banyak manusia terfitnah dengan harta dan kekayaan. Mereka pun condong kepada permainan dan kemewahan serta menjauh dari amal shalih yang kelak akan memberikan manfaat pada akhirat mereka. Hal itu membuat para ulama, pemberi nasehat dan penyair untuk menyeru manusia agar beramal shalih dan bersikap zuhud di dunia ini. Karena hal itu akan mengantarkan mereka pada jalan keselamatan dari adzab di hari akhir kelak.
Dan diantara penyair yang terkanal dengan zuhud adalah Abu al ‘Atahiyah, yang mempunyai nama lengkap Ismail bin al Qasim bin Suwaid Abu Ishaq. Ia lahir pada tahun 130 H / 748 M dan meninggal di Baghdad pada tahun 211 H / 868 M. 

Dia mengajak manusia untuk memikirkan kematian dan beramal untuk akhirat dengan bait syairnya.
 Duhai, sungguh manusia sangat mengherankan!, seandainya mereka mau berfikir dan mengintrospeksi diri, mereka akan tahu (bahwa dunia adalah tempat singgah)
Dan mereka akan menyeberang dunia menuju tempat lain (akhirat), karena dunia tiada lain hanyalah jembatan!
Sesungguhnya kebaikan, yang tidak samar lagi, adalah semua hal yang diperintahkan Allah dan kejelekan adalah  segala yang diingkari
Kematian adalah suatu kepastian dan setelahnya adalah dikumpulkannya manusia di padang mahsyar (untuk dihisab), dan itulah janji terbesar..
Tidak ada kebanggaan kecuali kebanggaan ahli taqwa, esok tatkala manusia dipertemukan satu sama lain di padang mahsyar
Agar manusia mengetahui bahwasannya ketaqwaan dan kebaikan adalah harta simpanan terbaik
Sungguh aku heran terhadap manusia yang sombong lagi congkak, sementara esok mereka akan dikubur dalam tanah
Apalah artinya kesombongan bagi sesuatu yang awalnya adalah setetes mani dan akhirnya adalah bangkai ?!
Dia tidaklah mampu menyegerakan hal yang ia senangi, tidak pula mengakhirkan urusan yang ia benci !!
Dan semua urusannya kembali pada Allah, segala hal yang telah ditetapkan dan ditakdirkan


Sungguh menakjubkan,
Apabila manusia memikirkan,
Mengoreksi diri dan menghitung hitung kesalahan,
Sadar diri penuh pemaham.

      Dan niscaya mereka tinggalkan dunia,
      Menyeberang ke negeri lainnya.
      Bukankah dunia ini bagi mereka,
      Sekadar jembatan menuju kesana?

Tiada kemuliaan yang patut dibangga,
Selain kemuliaan orang yang takwa,
Esok saat berkumpul mereka,
Di padang Mahsyar yang perkasa.

       Hendaklah manusia sekalian
       Menyadari benar tentang kenyataan,
       Bahwa takwa dan kebajikan
       Adalah sebaik baik harta simpanan.
.

PENYAIR RASULULLLAH SAW : NABI HASAN IBN AL TSABIT



Ada tiga nama Sastrawan terkenal di sekeliling Nabi, yakni

1) Hasan Ibn Tsabit,

2) Ka'ab Ibn Malik dan

3) 'Abd Allah Ibn Rawahah.

Selain itu, terdapat juga sejumlah nama sahabat Nabi yang mempunyai karya dalam bidang sastra, seperti Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, dan Mu'awiyah Ibn Sufyan. 


Hassan bin Tsabit  

     Rasulullah saw seringkali memuji karya-karya Hassan bin Tsabit. Karena dengan syairnya, Hassan membela Rasulullah saw dan menangkis hinaan dan celaan orang-orang Quraisy. Bagi orang-orang Quraisy sendiri syair Hassan ibarat tombak yang merobek tabir aib dan cacat mereka sehingga mereka pun terdiam membisu tidak mampu menjawab.
       
Hassan bin Tsabit al-Anshari merupakan seorang sahabat yang berumur panjang, setengah umurnya dia habiskan pada masa jahiliyah dan setengah lagi dia jalani bersama Islam. Hassan adalah salah seorang penyair Arab papan atas pada masanya, setelah dia masuk Islam dia menggunakan syairnya untuk kepentingan Islam dan membela Rasulullah saw dari celaan musuh-musuh beliau, sampai-sampai beliau bersabda, “Balaslah hinaan mereka, ya Allah dukunglah dia dengan Ruhul Qudus.” Hassan wafat tahun 54 H.

       Imam Muslim dalam kitab Fadhail Ashhab al-Nabi, Bab Fadhlu Hassan Ibn Tsabit meriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Kritiklah orang-orang Quraisy karena ia lebih berat bagi mereka daripada lemparan anak panah.” Nabi saw mengundang Ibnu Rawahah, beliau bersabda, “Kritiklah mereka.” Lalu Ibnu Rawahah melakukan tetapi tidak memuaskan Rasulullah saw.
Kemudian Nabi beliau meminta Kaab bin Malik, namun Rasul pun belum merasa puas. Maka datanglah Hassan bin Tsabit, Rasulullah pun berkata, “Saatnya bagi kalian mengutus kepada singa yang memukul dengan ekornya ini.” Hassan pun termenung sejenak mencari inspirasi, tak lama kemudian lidahnya bergerak dan dia berkata, “Demi dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku akan mencincang mereka dengan lisanku seperti kulit yang dicincang.” Rasulullah saw bersabda, “Jangan terburu-buru, Abu Bakar adalah orang Quraisy yang paling mengetahui nasab Quraisy, nasabku berasal dari mereka, biarkan Abu Bakar menjelaskan nasabku kepadamu.” Lalu Hassan datang kepada Abu Bakar, kemudian dia kembali dan berkata, “Ya Rasulullah, dia telah menjelaskan nasabmu kepadaku, demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku akan mengeluarkanmu dari mereka seperti sehelai rambut yang dikeluarkan dari adonan.” Aisyah berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda kepada Hassan, “Sesungguhnya Ruhul Qudus selalu mendukungmu selama kamu membela Allah dan rasulNya.”
Aisyah berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Hassan mengkritik mereka dan mereka terdiam tanpa mampu membalas.” Hassan berkata,
Kamu menghina Muhammad maka aku membelanya
Dan di sisi Allah-lah balasan dari semua itu

Kamu menghina Muhammad yang baik lagi bertakwa
Seorang utusan Allah yang selalu menepati janji

Sesungguhnya bapakku, ibuku dan kehormatanku
Adalah pelindung bagi kehormatan Muhammad dari kalian

Aku kehilangan anak perempuanku jika kalian tidak melihat
Kuda-kuda kami mengepulkan debu di dataran Kada`

Kuda-kuda itu terbang berlomba dengan tali kekangnya
Dengan tombak haus darah yang terhunus di balik lehernya

Kuda-kuda kami terus berpacu dengan kencang
Membuat para wanita mengibaskan debu dari kerudung mereka

Jika mereka membiarkan maka kami berumrah
Dan itulah kemenangan serta tersingkapnya tabir

Jika tidak maka hadapilah peperangan suatu hari
Di mana Allah akan memuliakan siapa yang Dia kehendaki

Allah berfirman, Aku telah mengutus seorang hamba
Yang berkata benar tanpa ada kesamaran

Allah berfirman, Aku telah mengirim pasukan
Orang-orang Anshar yang terbiasa berperang

Apakah orang yang menghina Rasulullah dari kalian
Dengan orang yang memuji dan menolongnya adalah sama

Jibril Utusan Allah ada di pihak kami
Ruhul Qudus yang tidak memilki tandingan.

Hassan ibnu Tsabit - Penyair pembela Rasulullah


Ibnu Abuz Zanad meriwayatkan dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a, dari Aisyah r.a, bahawa Rasulullah S.a.w telah meletakkan sebuah mimbar di dalam masjid khusus buat Hassan ibnu Tsabit r.a, tempat untuk bersyair bagi membela Rasulullah S.a.w; dan Rasulullah S.a.w berdoa untuknya;

"Ya Allah, perkuatkanlah Hassan dengan Ruhul Qudus (Malaikat Jibril), sebagaimana dia berjuang membela Nabi-Mu (melalui syair-syairnya)."

Lafaz hadis ini yang dari Imam Bukhari secara ta'liq. Akan tetapi, Imam Abu Daud meriwayatkannya pula di dalam kitab Sunan-nya dari Ibnu Sirin, dan Imam Turmudzi meriwayatkannya dari Ali ibnu Hujr dan Ismail ibnu Musa Al-Fazzari. Ketiga-tiganya mengenengahkan hadis ini dari Abu Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari ayahnya dan Hisyam ibnu Urwah; keduanya meriwayatkan hadis ini dari Urwah, dari Aisyah dengan lafaz yang sama. Imam Turmudzi mengatakan bahawa sanad hadits ini berstatus hasan atau sahih, yakni hadits Abuz Zanad.

Di dalam kitab Shahihain disebutkan dari hadits Sufyan ibnu Uyainah, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah r.a, bahawa Khalifah Umar ibnul Khattab melewati Hassan ibnu Tsabit yang sedang mendendangkan syair di dalam masjid, maka Umar r.a mendesaknya, lalu Hasan berkata, 

"Sesungguhnya aku pernah mendendangkan syair di dalam masjid ini, sedangkan di dalamnya terdapat orang yang lebih baik daripada kamu (yakni Nabi Saw.)." 

Kemudian Umar ibnul Khattab r.a. menoleh kepada Abu Hurairah dan berkata, "Kumohon atas nama Allah, pernahkah engkau mendengar Rasulullah S.a.w bersabda;

"Perkenankanlah bagiku, ya Allah, kuatkanlah dia (Hassan) dengan Ruhul Qudus (Malaikat Jibril)?" 

Maka Abu Hurairah menjawab, "Allahumma, na'am (ya)." 

Menurut sebahagian riwayat, Rasulullah S.a.w pernah bersabda kepada Hassan; 

"Seranglah mereka atau hinakanlah mereka dengan syairmu, semoga Jibril membantumu."

Di dalam syair Hassan terdapat ucapan berikut;

Dan Jibril utusan Allah berada bersama kami,
dia adalah Ruhul Qudus yang tidak diragukan lagi. 

[Imam Ibnu Katsir - Tafsir Ibnu Katsir, surah al-Baqarah : ayat 87]


Rasulullah tidak pandai bersyair, dan benci syair yang melalaikan

"Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad), dan bersyair itu tidak layak baginya, yang Kami wahyukan kepadanya itu tidak lain melainkan nasihat pengajaran dan Kitab Suci yang memberi penerangan." [Surah Yasin : ayat 69]

Allah memberitahu bahawa Dia tidak mengajari Nabi Muhammad S.a.w syair. Yakni, syair itu bukan bakatnya sehingga dia bukanlah ahli, tidak menyukai, dan tidak menjadi tuntutan nalurinya. Kerana itu ada hadits yang mengungkapkan bahawa Nabi S.a.w tidak mampu menggubah satu bait pun. Bahkan, bila baginda S.a.w menyenandungkannya, malah mengubah nadanya atau baginda tidak menyelesaikannya.

Said ibnu Abi Urwah meriwayatkan dari Qatadah, Aisyah r.a ditanya, "Apakah Rasulullah S.a.w pernah menyenandungkan syair?" Aisyah menjawab, "Syair (yang buruk) merupakan pembicaraan yang sangat dibencinya. Memang beliau pernah menyenandungkan sebuah bait karya saudara Bani Qais. Namun beliau menjadikan permulaannya sebagai akhir dan akhirnya sebagai permulaan. Kemudian Abu Bakr r.a berkata, "Wahai Rasulullah, puisi itu bukan begitu." Kemudian beliau bersabda, "Demi Allah, aku bukan seorang penyair dan syair itu tidak layak bagiku."  [HR Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir]

Namun ada pula syair yang disyariatkan, iaitu yang ditujukan untuk mengejek kaum Musyrik. Puisi sedemikian digubah oleh penyair Islam seperti Hassan ibnu Tsabit, Ka'ab ibnu Malik, Abdullah ibnu Rawahah dan sebagainya. Semoga Allah meredhai mereka semua. Di dalam syair (puisi) pun terdapat hikmah, nasihat dan etika, sebagaimana isi sebegini pun dijumpai dalam syair-syair jahiliyah, di antaranya dalam syair Umayah ibnu Abi ash-Shalut yang dikomen oleh Rasulullah S.a.w dengan, "Syairnya beriman, namun hatinya kafir."

[Imam Ibnu Katsir - Tafsir Ibnu Katsir, surah Yasin : ayat 69]



"Dan ahli-ahli syair itu, diturut oleh golongan yang sesat. Tidakkah engkau melihat mereka merayau-rayau dengan tidak tentu hala di tiap-tiap lembah (khayal dan angan-angan kosong)?  Dan mereka memperkatakan apa yang mereka tidak melakukannya. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh (dari kalangan penyair-penyair itu), dan mereka pula mengingati Allah banyak-banyak, serta mereka membela diri sesudah mereka dianiaya, dan (ingatlah), orang-orang yang melakukan sebarang kezaliman, akan mengetahui kelak ke tempat mana mereka akan kembali." [Surah as-Syua'raa' : ayat 224 - 227]

KITAB RAHSIA ZAKAT IHYA ULUMUDDIN: FASAL 8 Tentang yang lebih utama dari menerima sedekah & zakat.



PENJELASAN: tentang yang lebih utama dari menerima sedekah & zakat.

Adalah Ibrahim Al-Khawwash, Al-Junaid dan segolongan ulama, berpendapat bahwa mengambil sedekah adalah lebih utama. Karena pada mengambil zakat itu, adalah berdesak-desakan dan menyempitkan orang-orang miskin. Dan kadang-kadang tidak lengkap sifat untuk berhak mengambil zakat, seperti yang disifatkan dalam Kitab Suci. Adapun sedekah, urusannya adalah lebih luas. Ada segolongan yang mengatakan, dengan mengambil zakat, tidak sedekah, karena menerima zakat itu, adalah menolong kepada yang wajib.

Kalau sekiranya semua orang miskin, menolak menerima zakat, maka berdosalah semuanya. Dan karena pada zakat, tak ada menyebut-nyebut padanya. Dia adalah hak yang diwajibkan karena Allah Ta’ala, sebagai rezeki kepada segala hambaNya yang memerlukan. Dan karena zakat itu diambil dengan keperluan. Dan manusia itu tahu dengan pasti, akan keperluan dirinya. Dan mengambil zakat, adalah mengambil dengan jalan agama. Biasanya, orang yang bersedekah, memberikan kepada orang yang diyakininya baik. Dan karena berteman dengan orang-orang miskin, memasukkan ke dalam kehinaan dan kemiskinan dan amat jauh dari takabur. Karena kadang-kadang manusia itu, menerima sedekah dalam tontonan pemberian hadiah, maka tak berbedalah sedekah daripadanya. Dan ini menegaskan atas kehinaan orang yang menerima dan keperluannya. Perkataan yang benar mengenai ini, ialah bahwa hal itu, berlainan menurut keadaan orang, menurut keadaan yang biasa terjadi kepadanya dan menurut apa yang hadir di dalam niatnya. Kalau ada keraguan, mengenai dirinya bersifat dengan sifat yang berhak menerima zakat, maka tidak seyogyalah ia mengambil zakat. Dan apabila ia mengetahui bahwa benar-benar ia berhak, seperti apabila ada utangnya yang dipergunakannya pada jalan kebajikan dan tak ada jalan baginya untuk membayarnya, maka benar-benarlah ia berhak menerima zakat. Apabila disuruh pilih antara zakat dan sedekah, maka kalau orang yang bersedekah itu, tidak mau bersedekah dengan harta tadi, bila orang yang diserahkan itu, tak mau mengambilnya, maka hendaklah ia mengambil sedekah itu. Sesungguhnya zakat wajib, adalah diserahkan oleh pemiliknya kepada yang berhak menerimanya. Maka pada yang demikian itu, membanyakkan kebajikan dan melapangkan orang-orang miskin. Dan kalau harta itu dikemukakan untuk sedekah dan tak ada pada pengambilan zakat itu, menyempitkan orang-orang miskin, maka dia boleh memilih. Dan keadaan pada keduanya itu berlebih kurang. Dan dalam banyak hal, menerima zakat adalah lebih menghancurkan dan menghinakan diri. Wallaahu a’lam ! Allah Maha Tahu !. Telah sempurna “Kitab rahasia-rahasia Zakat” dengan pujian, pertolongan dan kebaikan taufiq Allah Ta’ala. Dan insya Allah, akan disambung oleh “Kitab Rahasia-rahasia Puasa”. Segala pujian bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. Diberi Allah rahmat kepada penghulu kita Muhammad, kepada sekalian nabi dan rasul, kepada para malaikat dan yang dekat dengan Allah, dari penduduk langit dan bumi, kepada segala keluarga dan sahabatnya. Diberi Allah kiranya kesejahteraan yang sebanyak-banyaknya, yang berkekalan terus-menerus sampai kepada hari qiamat. Dan segala pujian bagi Allah Tuhan Yang Maha Esa. Hanya Allah yang mencukupkan bagi kami dan sebaik-baik untuk menyerahkan diri !. 

KITAB RAHSIA ZAKAT IHYA ULUMUDDIN: FASAL 7 menyembunyikan sedekah dan melahirkannya



PENJELASAN: Menyembunyikan sedekah dan melahirkannya.

Berselisih jalan dari orang-orang yang mencari keikhlasan tentang itu. Suatu golongan daripada mereka, condong kepada lebih utama menyembunyikan. Dan suatu golongan lain condong kepada lebih utama melahirkan. Dan kami menunjukkan, bahwa pada masing-masing daripada keduanya, terdapat pengertian-pengertian dan bahaya-bahaya. Kemudian, kami akan bukakan tutup yang benar padanya.

Adapun menyembunyikan, maka padanya 5 pengertian:

1.                 Menyembunyikan itu, menetapkan tertutup kepada si penerima. Kalau diterimanya secara terang-terangan, maka itu merusakkan untuk menutupkan kehormatan pribadi, terbuka terang keperluan diri, keluar daripada keadaan menjaga nama dan memeliharakannya yang amat disenangi, yang disangka oleh orang bodoh, bahwa orang-orang yang menjaga nama itu adalah orang-orang kaya.

2.                 Menyembunyikan itu, menyelamatkan hati dan lidah manusia. Karena manusia itu, kadang-kadang dengki atau membantah berhaknya si penerima zakat itu. Dan mereka menduga bahwa si penerima itu mengambilnya tanpa memerlukan atau mengambilnya melebihi dari yang sebenarnya. Dengki, jahat sangka dan upat adalah dosa besar. Dan menjaga manusia dari segala dosa yang tersebut tadi, adalah lebih utama. Berkata Abu Ayub As-Sakhtayani: “Sesungguhnya aku meninggalkan memakai pakaian baru, karena takut mendatangkan iri hati pada tetanggaku”. Berkata setengah orang zahid: “”Kadang-kadang aku tinggalkan memakai sesuatu, karena teman-temanku akan menanyakan: “Dari manakah engkau memperoleh ini ?”. Diriwayatkan dari Ibrahim At-Taimi, bahwa ia dilihat orang memakai kemeja baru, lalu bertanyalah sebahagian teman-temannya: “Dari manakah engkau memperoleh ini ?”. Menjawab Ibrahim: “Aku diberikan pakaian oleh temanku Khaitsamah. Kalaulah aku ketahui bahwa familinya tahu, niscaya tidaklah aku terima pemberiannya itu”.

3.                 Menolong si pemberi untuk merahasiakan amalannya. Karena keutamaan merahasiakan pemberian daripada melahirkan, adalah lebih banyak. Dan menolong kepada menyempurnakan perbuatan yang baik, adalah baik. Menyembunyikan itu, tidak sempurna, kecuali dengan dua orang (si pemberi dan si penerima). Manakala dilahirkan oleh si penerima, niscaya terbukalah pekerjaan si pemberi. Seorang laki-laki menyerahkan suatu barang, kepada setengah ulama dengan terang-terangan. Lalu ulama itu mengembalikannya. Kemudian seorang laki-laki lain menyerahkan kepadanya secara tersembunyi, maka diterimanya. Lalu orang bertanya kepada ulama tadi, mengapa beliau bertindak demikian ?. Beliau menjawab: “Orang laki-laki ini beramal secara adab, menyembunyikan pemberiannya, maka aku terima. Dan orang laki-laki itu, merusakkan adab kesopanannya pada amalannya, maka aku kembalikan kepadanya”. Seorang laki-laki menyerahkan suatu barang di muka orang banyak kepada setengah orang shufi, lalu orang shufi itu mengembalikannya. Maka laki-laki itu bertanya: “Mengapakah tuan kembalikan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, apa yang telah diberikanNya kepada tuan ?”. Menjawab orang shufi tadi: “Engkau telah menyekutukan selain Allah swt, pada milik Allah dan tidak engkau merasa puas dengan Allah ‘Azza Wa Jalla saja. Dari itu, aku kembalikan kepada engkau persekutuan engkau”. Sebahagian orang ‘arifin (orang yang mendalam ma’rifahnya kepada Allah) menerima sesuatu yang diberikan secara rahasia dan menolaknya kalau diberikan secara terang-terangan. Lalu ia ditanyakan tentang yang demikian, maka ia menjawab: “Aku mendurhakai Allah, dengan cara terang-terangan, maka aku tidak menolong engkau pada ma’siat. Dan aku mentaatiNya dengan cara menyembunyikan, maka aku menolong engkau kepada kebajikan”. Berkata Ats-Tsuri: “Kalau aku ketahui bahwa seseorang mereka, tiada menyebutkan dan tiada menceritakan akan sedekahnya, niscaya aku terima sedekahnya”.

4.                 Bahwa pada melahirkan penerimaan itu, adalah penghinaan dan kerendahan diri. Tidaklah bagi seorang mu’min itu menghinakan dirinya. Ada sebahagian ulama mau menerimanya secara rahasia dan tidak mau menerima secara terbuka, seraya mengatakan: “Bahwa dengan terbuka itu, menghinakan ilmu dan merendahkan ahli ilmu. Maka tidaklah aku bersama orang yang meninggikan sesuatu dari dunia, dengan merendahkan ilmu dan menghinakan ahli ilmu”.

5.                 Menjaga daripada keraguan perkongsian. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang dihadiahkan kepadanya suatu hadiah, di muka orang banyak, maka orang banyak itu berkongsi pada hadiah tadi”. Dan dengan adanya barang itu perak atau emas, maka tidak keluar ia daripada bernama hadiah. Bersabda Nabi saw: “Sebaik-baik benda yang dihadiahkan seseorang kepada saudaranya, ialah perak atau diberinya makanan roti”. Perak itu dijadikan hadiah dengan terasing. Maka apa yang diberikan di muka orang banyak adalah makruh, selain dengan kerelaan mereka semuanya dan tidak terlepas daripada syubhat. Apabila diberikan dengan terasing (tidak di muka orang banyak), maka terhindarlah daripada syubhat itu.


Adapun melahirkan dan memperkatakan dengan sedekah yang diberikan itu, maka padanya terdapat 4 pengertian:

1.       Keikhlasan, kebenaran dan kesejahteraan daripada yang meragukan antara keadaan dan pandangan.

2.       Menghilangkan kemegahan dan kedudukan, melahirkan kehambaan dan kemiskinan, melepaskan diri daripada kesombongan dan dakwaan tidak memerlukan, menjatuhkan diri sendiri daripada pandangan orang banyak. Berkata setengah ahli ma’rifah kepada muridnya: “Lahirkan penerimaan sedekah dalam segala hal, kalau engkau yang menerima. Maka sesungguhnya engkau tidak terlepas dari salah satu dua orang: orang yang terjatuh engkau daripada hatinya, apabila engkau berbuat demikian. Dan itulah yang dimaksud. Karena dia menyerahkan, karena agama engkau dan mengurangkan bahaya bagi diri engkau. Atau orang yang bertambah derajat engkau dalam hatinya, dengan engkau lahirkan kebenaran. Dan itulah yang dimaksudkan oleh saudara engkau. Karena dia bertambah pahalanya dengan bertambah sayangnya kepada engkau dan penghormatannya akan engkau. Maka adalah engkau membuat pahala, karena engkaulah sebab bertambah pahala baginya”.

3.       Bahwa orang yang berma’rifah kepada Allah, tak ada penglihatannya, selain kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Rahasia dan terang padanya satu. Memperbedakan keadaan, adalah syirik dalam tauhid. Berkata setengah mereka: “Kami tidak memperdulikan dengan doa orang yang mengambil dalam cara rahasia dan menolak dalam cara terang. Memandang kepada makhluk yang hadir atau yang tak hadir, adalah suatu kekurangan dalam keadaan. Tetapi seyogyalah, bahwa pandangan itu tertuju kepada Yang Maha Esa dan Maha Tunggal”. Diceritakan, bahwa sebahagian dari guru (syaikh), adalah amat tertarik kepada seseorang dari sejumlah muridnya yang banyak. Maka keadaan yang demikian, menyusahkan perasaan murid-murid yang lain. Lalu bermaksudlah tuan guru itu melahirkan kelebihan muridnya yang seorang tadi kepada murid-muridnya yang lain. Maka beliau serahkan kepada masing-masing muridnya, seekor ayam, seraya berkata: “Hendaklah masing-masing kamu pergi sendiri-sendiri, membawa ayamnya dan sembelihkanlah tanpa dilihat oleh seorang manusia”. Maka pergilah masing-masing mereka, menyembelihkan ayamnya, kecuali murid yang seorang itu. Dia mengembalikan ayamnya, seraya bertanya kepada kawan-kawannya, murid-murid yang lain. Lalu mereka menjawab: “Kami telah mengerjakan apa yang disuruhkan kami oleh tuan guru !”. Lalu tuan  guru itu bertanya kepada murid yang seorang tadi: “Mengapakah tidak engkau sembelihkan ayam itu, sebagaimana disembelihkan oleh teman-temanmu ?”. Menjawab murid itu: “Tak sanggup aku memperoleh tempat, yang aku tidak dilihat oleh seseorang, karena Allah melihat aku pada tiap-tiap tempat”. Menyambung tuan guru: “Karena inilah, aku tertarik kepadanya, karena dia tidak memandang, selain kepada Allah ‘Azza Wa Jalla”.

4.       Bahwa melahirkan itu, adalah menegakkan sunnah bersyukur. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan kurnia Tuhan engkau, hendaklah siarkan !”. S 93 Adh Dhuhaa ayat 11. Menyembunyikan, adalah kufur (menutupkan) nikmat. Dan Allah ‘Azza Wa Jalla tidak menyukai orang yang menyembunyikan apa yang dianugerahiNya dan diletakkanNya orang itu dengan kekikiran. Maka berfirman IA: “Yaitu orang-orang yang kikir, menyuruh manusia supaya bersifat kikir dan menyembunyikan kurnia yang diberikan Allah kepadanya”. S 4 An Nisaa’ ayat 37. Bersabda Nabi saw: “Apabila Allah Ta’ala menganugerahkan suatu nikmat kepada hambaNya, niscaya suka IA, agar nikmat itu kelihatan pada hambaNya”. Seorang laki-laki memberikan sesuatu kepada setengah orang salih, secara tersembunyi. Lalu tidak mau menerimanya, seraya mengatakan: “Ini adalah dari dunia dan secara terang-terangan adalah lebih utama padanya. Dan cara tersembunyi, adalah lebih utama pada urusan akhirat”. Dari itu, berkata sebahagian mereka: “Apabila diberikan kepada engkau di muka orang banyak, maka ambillah ! kemudian kembalikan secara rahasia !”. Bersyukur pada pemberian orang itu, dianjurkan. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang tidak mensyukuri manusia, maka dia tidak mensyukuri Allah ‘Azza Wa Jalla”. Syukur itu, adalah sama dengan pembalasan atas pemberian, sehingga Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menyerahkan kepadamu suatu pemberian, maka balasilah ! kalau tidak sanggup, maka pujilah dia dengan kebaikan dan berdoalah kepadanya, sehingga kamu mengetahui bahwa kamu telah membalasi kebaikannya”. Tatkala berkata kaum Muhajirin (orang-orang yang berhijrah ke Madinah mengikuti Nabi saw), tentang syukur: “Wahai Rasulullah ! belum pernah kami menjumpai orang yang sebaik kaum (penduduk), yang kami tempati pada mereka (orang Madinah). Maka bagi-bagikan hartanya kepada kami. Sehingga kami takuti, mereka habiskan semuanya untuk memperoleh pahala”. Menjawab Nabi saw: “Tiap-tiap apa yang kamu syukuri kepada mereka dan kamu pujikan, adalah itu pembalasan namanya”. Sekarang, apabila anda telah mengetahui segala pengertian ini, maka ketahuilah, bahwa apa yang telah dinukilkan, tentang berbeda pendapat para alim ulama tentang menyembunyikan atau melahirkan dari sedekah itu, sebetulnya tidaklah perbedaan pendapat tentang masalahnya, tetapi hanyalah perbedaan keadaan saja. Maka di sini, membuka kulit, tampak isi, kami menegaskan, bahwa tidaklah kami menetapkan suatu hukum dengan tegas, bahwa menyembunyikan itu, adalah lebih utama dalam segala hal atau melahirkan itu adalah lebih utama. Tetapi hal itu berbeda menurut perbedaan niat yang diniatkan. Dan niat itu berbeda, dengan berlainan keadaan dan orang. Dari itu, seyogyalah bagi orang yang ikhlas, mengintip dirinya sendiri, sehingga dia tidak terikat dengan tali tipuan dan tidak tertipu dengan kesangsian tabiat dan dayaan setan. Dayaan dan tipuan itu, lebih banyak pada pengertian menyembunyikan daripada melahirkan, dimana sebetulnya dayaan dan tipuan itu terdapat pada kedua-duanya. Jalan masuknya tipuan pada dirahasiakan, ialah dari kecondongan tabiat manusia kepadanya. Karena padanya kurang kemegahan dan kedudukan, jatuh derajat pada pandangan manusia dan pandangan makhluk kepadanya dengan mata penghinaan. Dan kepada si pemberi, dengan mata pemberi nikmat, yang berbuat kebaikan. Inilah dia suatu penyakit yang tertanam dan membenam di dalam jiwa. Dan dengan perantaraan penyakit itu, setan melahirkan pengertian-pengertian kebajikan, sehingga dia membuat alasan kebenarannya dengan pengertian yang lima, yang telah kami sebutkan dahulu. Ukuran dan sipatan itu semuanya, adalah satu. Yaitu: perasaan sakitnya dengan terbuka berita penerimaannya akan sedekah, adalah seperti sakitnya dengan terbukanya sedekah yang diterima oleh sebahagian teman-teman dan kawan-kawannya. Sehingga, kalau ia bermaksud menjaga manusia daripada mengupat, dengki dan buruk sangka atau menjaga rusaknya yang tertutup atau menolong si pemberi kepada merahasiakan atau memeliharakan ilmu daripada pemberian, maka semuanya itu, termasuk yang berhasil dengan membukakan sedekah temannya.

Kalau membukakan urusannya sendiri, adalah lebih berat kepadanya, daripada membuka urusan orang lain. Maka diumpamakan dengan berhati-hati daripada segala pengertian tersebut, adalah lebih salah dan lebih batil lagi daripada tipuan dan godaan setan. Penghinaan kepada ilmu, haruslah diawasi, dari segi dia itu ilmu, tidak dari segi, dia itu ilmu si Zaid atau ilmu si Umar umpamanya. Mengupat, haruslah diawasi, dari segi dia itu mendatangkan kerusakan nama yang harus dipelihara. Tidak dari segi mengupat itu mendatangkan kerusakan nama baik si Zaid khususnya. Siapa yang memperhatikan persoalan yang seperti ini dengan sebaik-baiknya, mungkinlah setan tak berdaya terhadapnya. Kalau tidak, maka selalulah kebanyakan amal dan sedikitlah keuntungan. Adapun segi melahirkan, maka tabiat condong kepadanya, dari segi menyenangkan hati si pemberi dan membangkitkan semangat orang lain untuk menirukannya. Dan melahirkan kepada orang lain, bahwa si penerima itu, termasuk orang yang  bersungguh-sungguh benar mensyukuri pemberian orang. Sehingga orang banyak ingin memuliakan dan merasa kehilangan, bila si pemberi itu tidak ada. Inipun suatu penyakit yang tertanam di dalam bathin. Dan setan tidak berdaya terhadap orang yang beragama, selain dengan melakukan kekejian ini, dalam bidang melaksanakan sunnah Nabi saw. Dan berkatalah setan itu kepadanya: “Syukur itu, sebahagian daripada sunnah dan menyembunyikan itu sebahagian daripada ria”. Lalu setan itu mengemukakan pengertian-pengertian yang telah kami sebutkan dahulu, untuk dibawanya kepada melahirkan. Dan tujuannya yang mendalam, ialah apa yang telah kami sebutkan itu. Ukuran dan sipatan itu semuanya, yaitu hendaklah melihat kepada kecondongan diri kepada bersyukur, di mana kabar itu tidak berpenghabisan kepada si pemberi dan kepada orang yang suka dengan pemberiannya. Di muka orang banyak, mereka tidak suka melahirkan pemberian itu dan ingin menyembunyikannya. Kebiasaan mereka, tidak mau memberikan, selain kepada orang yang menyembunyikannya dan tidak mensyukurinya. Apabila segala hal keadaan ini bersamaan padanya, maka hendaklah ia ketahui, bahwa penggeraknya ialah menegakkan sunnah tentang syukur dan memperkatakan nikmat. Kalau tidak demikian, maka adalah ia tertipu. Kemudian, apabila telah diketahui, bahwa penggeraknya, adalah sunnah tentang bersyukur, maka tidak seyogyalah ia melupakan tentang menunaikan hak si pemberi. Maka hendaklah ia perhatikan: kalau si pemberi itu, termasuk orang yang menyukai syukur dan berita pemberiannya, maka seyogyalah ia menyembunyikan dan tidak mensyukurinya. Karena menunaikan hak si pemberi itu, adalah tidak menolongnya kepada kezhaliman.

Dan dimintanya kesyukuran itu, adalah suatu kezhaliman. Apabila ia mengetahui hal keadaan si pemberi, tidak menyukai syukur dan tidak bermaksud supaya pemberiannya disyukuri (diucapkan terima kasih), maka ketika itu, hendaklah si penerima mensyukuri akan si pemberi dan melahirkan sedekahnya. Dari itulah bersabda Nabi saw terhadap orang yang dipujikan dihadapan beliau: “Kamu pukul lehernya. Kalau didengarnya, tentu ia tidak merasa senang”. Dalam pada itu, Nabi saw sendiri memujikan suatu kaum dihadapan mereka itu sendiri. Karena Nabi saw percaya atas keyakinan mereka dan Nabi saw tahu, bahwa yang demikian itu, tidak mendatangkan melarat kepada mereka. Bahkan Nabi saw menambahkan kesukaan mereka kepada kebajikan, lalu Nabi saw mengatakan kepada salah seorang daripadanya: “Bahwa dia itu penghulu penduduk dusun”. Bersabda Nabi saw mengenai seorang yang lain: “Apabila datang kepadamu seorang mulia dari suatu kaum, maka muliakanlah dia !”. Pernah Nabi  saw mendengar perkataan seorang laki-laki, lalu mena’jubkan Nabi saw, maka bersabdalah beliau: “Sesungguhnya dari jelasnya perkataan itu menjadi sihir yang menarik”. Bersabda Nabi saw: “Apabila seorang daripada kamu mengetahui dari saudaranya, akan yang baik, maka hendaklah menceritakannya, karena bertambahlah kegemarannya kepada kebajikan”. Bersabda Nabi saw: “Apabila dipujikan seorang mu’min, maka bertambahlah iman di dalam hatinya”. Berkata Ats-Tsuri: “Siapa mengenal dirinya, niscaya tidaklah memberikan melarat pujian manusia kepadanya”. Berkata pula Ats-Tsuri kepada Yusuf bin Asbath: “Apabila aku serahkan kepadamu suatu pemberian, adalah aku rahasiakan dia daripadamu. Dan aku melihat itu, suatu nikmat daripada Allah ‘Azza Wa Jalla kepadaku, maka bersyukurlah ! kalau tidak demikian, maka janganlah engkau bersyukur !”.

Yang halus-halus daripada segala pengertian ini, seyogyalah diperhatikan oleh orang yang memeliharakan hatinya. Karena segala amal perbuatan anggota badan, serta melengahkan segala yang halus-halus ini, adalah tertawaan dan makian setan kepadanya. Karena banyaklah kepayahan dan kurangnya manfaat. Ilmu yang seperti ini, adalah ilmu yang dikatakan, bahwa mempelajari suatu permasalahan daripadanya, adalah lebih utama daripada ibadah setahun. Karena dengan ilmu ini, hiduplah ibadah seumur hidup. Dan dengan tak mengetahui ilmu ini, mati dan kosonglah ibadah seumur hidup. Pendek kata, mengambil sedekah di muka umum dan menolaknya yang secara rahasia, adalah jalan yang paling baik dan yang paling selamat. Maka tidak wajarlah ditolak dengan kata-kata yang terhias, kecuali diketahui benar, di mana secara rahasia dan terang-terangan itu sama. Itulah dia belerang merah, yang selalu diperkatakan dan tak pernah bersua. Kita bermohon akan Allah Yang Maha Pemurah, kebagusan pertolongan dan taufiq !.