Catatan Popular

Rabu, 3 Januari 2024

KITAB ZIKIR : “AL LUMA” ABU NASHR AS SARRAJ

“Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf”

Judul Asli: Kitab Al-Luma‘

Oleh: Abu Nashr as-Sarraj


DZIKIR

 

Syekh Abū Nashr as-Sarrāj rahimahullāh berkata:

Saya pernah mendengar jawaban Ibnu Salīm ketika ditanya tentang dzikir:

“Ada tiga macam bentuk dzikir:

dzikir dengan lisan yang memiliki sepuluh kebaikan,

dzikir dengan hati yang memiliki tujuh ratus kebaikan dan

dzikir yang pahalanya tidak dapat ditimbang dan dihitung, yaitu puncak kecintaan kepada Allah serta perasaan malu karena kedekatan-Nya.”

Ibnu ‘Athā’ rahimahullāh ditanya: “Apa yang dikerjakan dzikir dengan berbagai rahasia?” Maka ia menjawab: “Dzikir kepada Allah, apabila sampai pada rahasia-rahasia hati dengan pancaran sinarnya maka dalam haqīqatnya akan menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan (basyariyyah) dengan segala kepentingan nafsunya.”

Sementara Sahl bin ‘Abdullāh rahimahullāh mengatakan: “Tidak setiap orang yang mengaku berzikir (mengingat Allah) mesti orang yang ingat.”

Sahl bin ‘Abdullāh juga pernah ditanya tentang makna dzikir, lalu ia menjawab: “Ialah mengaktualisasikan pengetahuan, bahwa Allah senantiasa melihat anda. Maka dengan hati anda akan menyaksikan-Nya dekat dengan anda dan anda merasa malu dengan-Nya. Kemudian anda memprioritikan-Nya daripada diri anda sendiri dan seluruh kondisi spiritual anda.”

Syekh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: Allah s.w.t. berfirman:

فَاذْكُرُوا اللهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا

“Maka berzikirlah (dengan menyabut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikir lebih banyak dari itu.” (al-Baqarah: 200).

Di ayat lain Allah s.w.t. berfirman:

اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا

“Berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak banyaknya.” (al-Aḥzāb: 41).

Ayat ini lebih ringkas dari sebelumnya. Kemudian di ayat lain Allah juga berfirman:

فَاذْكُرُوْنِيْ أَذْكُرْكُمْ

“Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (al-Baqarah: 152).

Oleh karenanya, orang-orang yang berzikir kepada Allah s.w.t. mempunyai tingkatan-tingkatan yang berbeda sebagaimana tingkatan-tingkatan perintah dzikir kepada mereka.

Sebagian guru Sufi ditanya tentang dzikir, maka ia menjawab: “Dzāt Yang diingat hanyalah satu, sedangkan dzikirnya berbeda-beda dan tempat hati orang-orang yang berzikir juga berbeda-beda tingkatannya.”

Landasan dasar dzikir adalah memenuhi panggilan al-Haq dari sisi kewajiban-kewajiban.

Sementara itu dzikir terbagi dua aspek: Pertama: at-tahlīl (membaca kalimat tauḥīd Lā ilāha illā Allāh), tasbīḥ (membaca kalimat subḥānallāh) dan membaca al-Qur’ān. Kedua: mengingatkan hati tentang syarat-syarat mengingat kemahasucian Allah s.w.t. Asmā’ (Nama-nama) dan Sifat-sifat-Nya, kebaikan-Nya yang merata dan takdir-Nya yang berlangsung pada semua makhluk.

Sehingga:

dzikirnya orang-orang yang berharap adalah ingat akan janji-Nya,

dzikirnya orang-orang yang takut adalah karena ingat ancaman-Nya,

dzikirnya orang-orang yang tawakkal adalah ingat akan kecukupan-Nya yang tersingkap oleh mereka,

dzikirnya orang-orang yang selalu murāqabah adalah mengingat akan kadar yang ditunjukkan Allah pada mereka sedangkan,

dzikirnya orang-orang yang cinta adalah mengingat akan kadar penelitian mereka akan nikmat-nikmat Allah.

Syeikh Asy-Syiblī raḥimahullāh pernah ditanya tentang haqīqat dzikir, maka ia menjawab: “Ialah melupakan dzikir. Yakni melupakan dzikir anda pada Allah s.w.t. dan melupakan segala sesuatu selain Allah ‘azza wa jalla.”

KITAB ZIKIR : DOKTRIN MEREKA AHLI SUFI TENTANG MENGINGAT ALLAH (DZIKIR).

 KITAB ASAL : At-Ta‘arrufu Li Madzhabi Ahl-it-Tasawwuf)

Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi


Haqīqat dari dzikir ialah hendaklah kamu melupakan apa-apa selain yang diingat (Allah) di dalam kamu berdzikir (mengingat), sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah:

 

“….Dan ingatlah akan Tuhan-mu di kala kamu lupa….” (al-Kahfi 18: 24).

 

Yakni, apabila kamu melupakan sesuatu selain Allah maka sungguh kamu telah mengingat Allah.

 

Nabi s.a.w. bersabda: “Orang-orang yang menyendiri (pertapa) adalah yang paling dahulu (memasuki surga).” Kemudian seorang sahabat bertanya kepada Nabi: “Wahai Rasūlullāh, siapakah pertapa itu?” Rasūlullāh menjawāb: “Pertapa ialah orang-orang yang selalu mengingat Allah (dzikir).” (Hadīts riwāyat at-Tirmidzī dan al-Hākim dari Abū Hurairah).

Seorang pemimpin Shūfī berkata: “Dzikir itu menghilangkan lupa akan Allah, dan engkau adalah orang yang ingat akan Allah walaupun engkau dalam keadaan berdiam diri.”

 

Al-Junaid bersya‘ir:

 

“Aku selalu mengingat-Mu, tidaklah sekali-kali aku melupakan-Mu walaupun hanya sekejap mata,

 

Aku memudahkan dalam mengingat-Mu (dzikir) dengan mengingat (dzikir) yang diucapkan (lisan).”

 

Saya telah mendengar Abul-Qāsim al-Baghdādī berkata:

 

 “Aku telah bertanya kepada salah seorang pemimpin Shūfī: “Bagaimana pendapatmu terhadapa orang-orang yang merasa jemu mengingat Allah (dzikir) bahkan mereka lari menuju papan perenungan (bersemedi) yang tidak dapat mendatangkan kepuasan bāthin?”

 

Maka ia pun menjawāb dengan kata-katanya: Mereka menganggap ringan terhadap hasil/pengaruh mengingat Allah (dzikir) dan menganggap bahwa dzikir itu hanya perbuatan yang sia-sia belaka; padahal sebenarnya dzikir itu merupakan perbuatan yang paling utama yang berada dibalik tafakkur dan dapat menghilangkan keresahan dan kejenuhan dari kegiatan sehari-hari.”

 

Mereka menganggap ringan perbuatan mengingat Allah (dzikir) karena mereka menyangka bahwa dzikir itu hanya merupakan kelezatan dari perasaan jiwa saja, sedangkan orang-orang yang menggunakan pemikirannya telah melarikan diri dari perasaan kejiwaan dan kelezatannya. Bagaimanapun juga mengingat Allah (dzikir) itu akan menimbulkan perasaan adanya kebesaran Allah, kekuasaan-Nya, kehebatan-Nya, dan kebaikan-Nya, kemudian dengan mengingat Allah (dzikir) akan menambah memikirkan (tafakkur) ciptaaan Allah dan menimbulkan rasa hormat kepada-Nya. Sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w. berdasarkan firman dari Allah:

 

Dari Abū Hurairah r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

 

“Barangsiapa menyibukkan diri untuk mengingat (dzikir) kepada-Ku dengan melalui permintaan (du‘ā) maka Aku (Allah) akan memberikan kepadanya kelebihan (keutamaan) sebagaimana yang telah Aku berikan kepada orang-orang yang telah meminta (membutuhkannya).” (Hadīts riwāyat at-Tirmidzī dan al-Hākim)

 

Dari hadits di atas, bahwa seseorang yang menyibukkan diri dengan mengingat Allah (dzikir) secara lisan itu dapat menyaksikan kebesaran-Ku (Allah), karena dzikir lisan itu merupakan permohonan (masalah).

 

Segolongan Shūfī lain berpendapat bahwa persaksian /penyaksian terhadap Allah (musyāhadah) itu dapat juga membawa seseorang kepada kebingungan bagi dirinyasendiri dan memutuskan dirinya dari mengingat Allah (dzikir), sebagaimana dinyatakan dalam hadīts Nabi s.a.w.:

 

“Aku tidak dapat menghitung sanjungan (pujian) kepada-Mu.”

Dan sya‘ir dari an-Nūrī:

 

Aku ingin selalu mengingat diri-Nya, karena cintaku pada-Nya,

Wahai Dia yang Mempesona yang selalu kuingat dalam hati.

Aku heran pada-Nya yang kadangkala hilang dari kalbuku,

Karena hilangnya ingatku, baik di kala dekat maupun jauh.

Al-Junaid berkata: “Barangsiapa yang menyebutkan Allah tanpa bersaksi dan menyakiti-Nya, maka kata-katanya itu bohong.” Kebenaran pernyataan ini berdasarkan firman Allah:

 

“….Mereka (orang-orang munāfiq) berkata: Kami bersaksi sesungguhnya engkau benar-benar Rasūl (utusan) Allah.” (al-Munāfiqūn 63:1).

 

“…Dan Allah menyaksikan (mengetahui) bahwa sesungguhnya orang-orang munāfiq itu benar-benar orang pembohong.” (al-Munāfiqūn 63: 1).

Allah mendustakan mereka walaupun kata-kata mereka benar, karena mereka bukan termasuk orang-orang yang benar-benar bersaksi dan yaqīn.

 

Sebagian Shūfī lain berkata: “Hati itu untuk bersaksi, dan mulut untuk menyatakan persaksiannya, sehingga barangsiapa berkata tanpa persaksian maka persaksiannya itu adalah bohong belaka.”

 

Pemimpin-pemimpin Shūfī bersya‘ir:

 

Engkau pelindungku, wahai Tuhan, tanpa aku mengingat-Mu,

Hatiku merasa takut Engkau akan menghilang dari ingatanku.

Karena ingat kepada-Mu adalah sarana yang menyingkap tabir rahasia-Mu dari pandanganku,

Apabila Dia membutakan mata-hatiku, maka Dia akan hilang dari buah pikirku.

 

Dari sya‘ir di atas dapat diartikan bahwa mengingat Allah (dzikir) adalah merupakan sifat dari orang yang ingat (dzikir), oleh karenanya apabila aku tidak ada (absen) di kala aku mengingat (dzikir) maka berarti aku tidak ada. Dan sesungguhnya seorang hamba terhalang dari penyaksian terhadap Tuhannya dan menyifat diri-Nya.

 

Sarī as-Saqathī berkata: “Aku telah menemani seorang kulit hitam (negro) di padang pasir, di kala ia sedang mengingat Allah (dzikir) maka aku pun berkata: “Oh, sungguh ini sangat aneh; di kala engkau sedang mengingat Allah (dzikir) maka pakaianmu berganti dan sifatmu pun berubah.” Maka dia pun berkata: “Wahai saudaraku, seandainya engkau bersungguh-sungguh dalam mengingat Allah (dzikir) maka pakaianmu pun akan berganti dan sifatmu pun akan berubah”, kemudian ia bersya‘ir:

 

Kami mengingat-Nya (dzikir) dan tidaklah sekali-kali kami

Melupakan-Nya maka kami pun selalu menyebut-Nya.

Tetapi angin dingin sepoi-sepoi datang mengalahkan dzikirku,

Sehingga Dia lari dari ingatanku.

 

Maka lenyaplah Dia dari sisiku bersama kekekalan yang ada padanya,

 

Karena Dia Yang Maha Haq sebagaimana dikabarkan dan dinyatakan-Nya.”

Dan kami sya‘irkan juga sya‘ir Ibnu ‘Athā’:

 

Aku tahu dzikir itu bermacam-macam, ia dipenuhi rasa cinta,

Rindu-dendam yang dapat menggugah ingatan.

Dzikir itu melemahkan nafsu, karena nafsu dicampuri dengannya,

 

Dzikir itu mempengaruhi jiwa, yang pada akhirnya menghilangkan duka cita.

Dan dzikir itu dapat menyebarkan nafsu, karena sesungguhnya dzikir,

 

Dapat menggulung nafsu, baik diketahui maupun tidak diketahui.

Dan dzikir itu mempunyai tanda-tanda, pengaruh, yaitu memisahkan hawa nafsu dan melenyapkannya,

Ia dapat meningakatkan inteligensia melalui imaginasi dan perenungan.

 

Dengan dzikir dapat mengetahui Dia melalui kerlingan mata dan keyakinan dalam hati.

 

Dapat menyaksikan Dia, maka terputuslah/lenyaplah tabir atas diri-Nya.

 

Dzikir itu bermacam-macam, yaitu:

 

Pertama: dzikir dengan hati (dzikr-ul-qalb), di mana yang diingat (madzkūr) tidak dilupakan selagi seseorang berdzikir,

 

Kedua: dzikir dengan mengingat sifat-sifat yagn diingat (dzikru aushāf-il-madzkūr),

 

Ketiga: dzikir dengan menyaksikan yang diingat (syuhūd-ul-madzkūr) dengan dzikir ini seseorang dapat berlaku dari berdzikir, karena dengan sifat-sifat yang diingat dapat menyebabkan diri seseorang tidak dapat menyifati yang diingat dengan sifat-sifat yang ada pada orang itu, begitupun akan berlalu/menolak dzikir (secara lisan).

 

KITAB AN NASHA’IH KE – 24 Memperbanyak Nawafil untuk melengkapi fardhu Nawafil

SYEIKH ABU ABDILLAH AL-HARITS BIN ASAD “AL-MUHASIBI”

 

Saudara-saudaraku! Apabila orang lain melaksanakan amalan sunnah dengan berpuasa dan shalat demi untuk mencari pahala, ingat, utamakanlah niatmu dalam memperbanyak shalat sunnah demi untuk menyempurnakan shalat fardhu, karena banyak cacatnya. Sebab, cita-cita orang yang berakal dalam seluruh amalan kebajikannya dan amalan sunnahnya adalah untuk menyempurnakan yag fardhu.

Telah sampai kepada kami, sesungguhnya di atas Jahannam terdapat beberapa jembatan.

 

Pada jembatan pertama si hamba akan ditanya, maka jika imannya bebas dari nifaq, riya, keraguan dan ujub, ia akan selamat. Tetapi, jika tidak, pasti ia akan terlempar ke neraka. Lalu pada jembatan kedua ia akan ditanya tentang wudhu, mandi jinabah, tentang shalat dan puasa, maka jika ia telah menjalankannya dengan sempurna, ia akan selamat dan kalu tidak, ia akan terlempar ke neraka.

 

Kemudian, pada jembatan ketiga akan ditanya pula tentang zakat, haji, dan umrah. Maka jika ia telah melaksanakannya dengan sempurna, selamatlah ia. Kalau tidak, akan terlemparlah ia ke neraka. Semoga Allah SWT melindungi kita sekalian dari api neraka.

 

Di antara sahabat ada yang berkata : “Pertama-tama yang bakal diperhitungkan dari si hamba pada hari kiamat ialah Shalat wajib, maka jika ia sempurnakan shalatnya, ia akan selamat. Jika tidak. Akan dikatakan kepadanya ‘Lihat! Apakah ia memiliki amaan sunnah? Maka jika ia mempunyianya, akan disempurnakan kewajibannya dengan yang sunnah itu, tetapi jika kewajibannya tidak sempurna sedang ia tidak memiliki amalan yang sunnah, maka akan ditarik ujung rambut dan ujung kakinya, lalu dilemparkan ke neraka.” Semoga Allah melindungi kita sekalian dari hal demikian.

 

Telah sampai kepada kami bahwa Allah STW berfirman : Tidak selamat dari-Ku hamba Ku kecuali dengan melaksanakan apa yang telah Aku wajibkan kepadanya.” Saudara-saudaraku, kini aku yakin bahwa aku dituntut untuk melaksanakan kewajiban yang belum sempurna, bahkan tidak pula mendekati kesempurnaan, padahal aku juga menemukan kekurangan dalam amalan sunnahku lebih berlipat lagi. Maka, sempitlah dadaku sehingga aku khawatir bahwa kewajiban yang tidak pernah sempurna itu menjadi sia-sia, lalu ditambah pula dengan amalan sunnah yang ternyata lebih tidak berguna.

 

Nah, bagaimana akan menjadi baik, pakaian compang-camping yang ditambal dengan tambalan yang buruk. Maka akupun yakin tentang amalan yang jauh dari kesempurnaan dan aku pun khawatir bahwa diriku akan terlempar bersama orang-orang yang terlempar. Sehingga akhirnya terpaksa aku berusaha keras untuk menunaikan segala kewajiban dengan sesempurna mungkin, namun tetap sangat butuh kepada amalan sunnah untuk menutupi kekurangan dalam batasan-batasannya. Di sampiing itu, akupun sangat memerlukan perbuatan-perbuatan kebajikan untuk menutupi keburukan-keburukan ku, dan hal itu cukup membuatku sibuk dari tujuan mencari pahala melalui amalan sunnah.

 

Sungguh aku telah banyak sekali mengabaikan batasan-batasan kewajiban. Maka, renungkanlah urusan kalian, dan jika apa-apa yang telah menimpaku berupa kelalaian telah menimpa kalian pula meski hanya sebagiannya, perbanyaklah amalan sunnah untuk menyempurnakan kewajiban tersebut! Sebab, telah sampai kepada kami bahwa Allah SWT tidak menerima amalan sunnah sebelum kewajiban (yang fardhu) dilaksanakan. Dan telah sampai kepada kami pula bahwa kekurangan dalam kewajiban bakal ditutupi bilangannya dengan amalan-amalan sunnah bila amalan sunnah itu memadai.

 

Demikian pula dengan kekurangan yang terdapat pada zakat, dapat ditutupi dengan sedekah bila memang sedekah itu memadai, dan seperti inilah seterusnya seluruh amalan kebajikan yang lainnya.

 

Dapun orang-orang berakal yang selalu menjungjung tinggi hukum-hukum Allah, maka jika ia sangat gemar melaksanakan amalan sunnah, biasanya yang dominan dalam hati dan niatnya adalah melaksanakan kewajiban terhadap Allah, kemudian ia sempurnakan kekurangannya dengan amal kebajikan yang banyak tersebut. Tidak hanya memperrbanyak, namun sudah seharusnya bahwa tujuan dan niatnya adalah untuk menyempurnakan hak-hak Allah SWT dengan rasa prihatin terhadap kekurangannya. Itulah akal yang paling utama, niat yang paling baik, dan amalan yang paling tinggi nilainya serta paling berat bobotnya. Rasulullah saw. Telah mensifati orang-orang seperti itu melalui sabdanya :  “Ingatlah, sesungguhnya orang-orang yang beramal itu, mereka adalah Ulama Allah, yang memahami Allah dan mengerti tetang-Nya serta menjalankan kewajiban mereka terhadapt-Nya.”

 

Sampai kepada ucapan Beliau : “Merekalah orang-orang pilihan Allah di antara makhluk-Nya.” Inilah pperbedaan keutamaan antara dua orang, yang satu, tujuan dan niatnya adalah untuk menyempurnakan amal perbuatan demi Junjungannya, tidak peduli akan diberi pahala atau tidak untuk hal demikian. Sedang yang lain bagaikan orang upahan jahat yang hanya menuntut upah, padahal sebenarnya ia hanya merusak pekerjaan-pekerjaan orang yang mengupahnya. Tentu saja orang seperti ini sebenarnya lebih pantas untuk mendapatkan ssangsi dari upah, karena amemang selamanya ia hanya meminta upah pada sesuatu yang dapat mendatangkan sangsi.

 

Seorang tokoh Ilmu Pengetahuan berkata : “Sekelompok orang merasa telah telah mengerjakan perbuatan-perbuatan taat yang banyak, tetapi ketika berada di hadapan Allah, mereka mencari-cari pahala dari perbuatan mereka dahulu, namun mereka malah menemukan bahwa ternyata Allah SWT telah membuat perhitungan dengan mereka sampai kepada hal kecil seberat atom. Sehingga nampaklah bagi mereka dari Allah SWT apa yang tidak mereka kira sebelumnya.”

Oleh karena itu, Wahai saudara-saudaraku, jadikanlah tujuan utamamu dalam memperbanyak amalan sunnah hanya untuk menutupi kekurangan pada amal perbuatan yang wajib. Karena itulah niat yang paling utama, tujuan yang paling mulia dan paling cocok dengan kecintaan Allah SWT. Dari titik inilah sebagian orang dapat mengungguli sebagian yang lain dan mereka saling melebihi dalam keutamaan. Semoga Allah memberikan Taufik kepada kita sekalian untuk setiap kebaikan melalui rahmat-Nya. Aamiin.

KITAB AN NASHA’IH KE – 23 Puasa dari Hal-hal Yang Diharamkan oleh Allah SWT

SYEIKH ABU ABDILLAH AL-HARITS BIN ASAD “AL-MUHASIBI”

 

Sahabatku! Jika orang lain berpuasa dengan menahan diri dari makanan dan minuman, ingat, jagalah puasamu agar jangan sampai berbuka dengan barang haram, dan waspadalah terhasdap dampak-dampak yang bakal merusak puasamu. Sebab, telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah saw. Bersabda : “Orang yang berpuasa ialah orang yang meniggalkan omong kosong, menggunjing, adu domba, dusta, kebodohan dan kekejian; yang memelihara, berjaga-jaga dan menahan pandangan.

 

Maka siapa yang tidak melakukan itu, sesungguhnya ALLAH SWT berfirman : Tidak ada artinya ia meninggalkan makanan dan minuman.” Inilah perbedaan keutamaan antara dua orang, yang satu menjaga anggota tubuhnya dalam puasa, berhati-hati terhadap makanan berbukanya, serta mengawasi seluruh keadaannya.

 

Tentu saja, orang yang satu ini akan mendapatkan amal perbuatan yang lebih berat bobotnya daripada orang yang hanya meninggalkan makan serta minum dikala berpuasa, namun dalam berpuasa ia tidak bersikap wara’ terhadap efek-efek buruk. Sebab, barangkali saja dia mengkonsumsi warna-warni syahwat yang bercampur dengan hal-hal haram di kala berbukanya. Rasulullah saw. Bersabda : “Andaikan engkau shalat sampai engkau menjadi bongkok dan berpuasa sampai seperti tali senar, tidaklah diterima darimu hal demikian kecuali dengan wara’ yang tulus.” Berhati-hatilah terhadap Allah, dan jagalah batas-batas agama dengan ketulusan sikap wara’. Semoga Allah memberikan kepada kita taufik untuk setiap kebaikan dengan Rahmat-Nya.

KITAB AN NASHA’IH KE – 22 Khusuk dalam Shalat

SYEIKH ABU ABDILLAH AL-HARITS BIN ASAD “AL-MUHASIBI”

 

Saudara-saudaraku! Jika orang lain hanya menghadirkan jasad mereka ketika melaksanakan shalat dan hanya berlaku khusyuk dengan anggota tubuh, sedang hati mereka lalai dari Tuhan-nya, ingat! Hati-hatilah kepada Allah; hadirkanlah hatimu bersama jasadmu dan berdirilah menghadap Allah SWT bagaikan seorang hamba yang sedang berdiri di hadapan majikannya, yang diliputi oleh suana khusyuk, segan, tenang, serta penuh takzim.

 

Seringkali sebagian kami menghormati sebagian yang lain, dan berbicara lemah lembut kepada mereka dengan tutur kata penuh hormat dan malu atau berharapharap atau merasa cemas. Kalau begitu, wahai manusia, bukankah Allah SWT lebih utama untuk dihadapi dengan penuh rasa tkazim dan malu? Atau, apakah memang kalian bodoh terhadap karunia Allah atas hamba-hamba-Nya? Kalau begitu, kenapa engkau tidak mengagungkan Yang Maha Perkasa dengan keagungan yang jauh lebih besar daripada semua makhluk? Lalu, tidak kurang pentingnya daripada itu pula, yaitu engkau harus menyimak penuh perhatian terhadap Kalam Allah SWT sebagaimana engkau memperhatikan pembicaraan orang yang kau hormati. Hal demikian agar Tuhan tidak menjadi lebih rendah di matamu daripada makhluk-Nya, Maha Suci Allah dari hal demikian. Ingat, berhati-hatilah kepada Allah SWT.

Kemudian daripada itu, wahai saudara-saudaraku! Kenalilah kedudukan Dzat yang kau hadapi itu! Diriwayatkan dari salah seorang tokoh ilmu pengetahuan tentang firman Allah yang berbunyi :“Berdirilah karena Allah (dlaam shalatmu) dengan khusyuk (QS. Al-Baqarah : 238), Ia berkomentar : “Qunut” dalam ayat tersebut khusyuk di kala rukuk dan sujud, menahan pandangan, serta merendahkan diri karena takut kepada Allah SWT.”

 

Para Ulama, apabila mereka berdiri untuk melakukan shalat, mereka merasa segan untuk menoleh, atau melakukan kesia-siaan dengan apapun, atau berbicara kepada diri sendiri tentang sesuatu di antara urusan dunia, keccuali bila lupa.

Salah seorang ahli ilmu berkata : “Shalat dua rakaat yang dilakukan dengan ringan (sebentar) dan diniatkan untuk berfikir, lebih baik daripada sjalat malam dengan hati dalam keadaan lalai.”Yang lain berkata : Sesungguhnya sekelompook orang yang menunaikan shalat yang sama tetapi mereka memiliki keutamaan yang berbeda bagaikan perbedaan antara langit dan bumi. Salah seorang diantara mereka shalat dengan khusyuk serta menghadap kepada Allah SWT, sedangkan yang lain lalai.”

 

Telah sampai kepada kami sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa, jika seseorang berdiri untuk menunaikan shalat dan mengucapkan Allahu Akbar setan mendatanginya dan berkata kepadanya : Ingatlah ini, ingatlah itu. Ia menyebutkan keperluan-keperluannya, menfitnahnya, serta membisikan kesibukannya. Lalu Malaikat berkata kepadanya : Pusatkan perhatian terhadap shalatmu. Malaikat itu memanggil melalui telinga kanan dan setan menyerunya melalui telinga kiri, sedang hatinya berada di antara dua seruan itu. Maka jika ia taat kepada Malaikat, malaikat itu akan memukul setan dengan sayapnya dan mengusirnya. Namun jika ia taat kepada setan.

 

Malikat berkata : Celaka! Celaka! Seandainya engkau menuruti kataku, tentu tidaklah engkau berdiri untuk melaksanakan shalat melainkan Allah mengampunimu untuk setiap dosa.”Kemudian telah sampai pula kepada kami cerita lain yang menyebutkan bahwa hamba tidak mendapatkan sesuatu dari shalatnya kecuali apa yang ia pahami darinya.

 

Di antara salah seorang khalifah ada yang berkata : “Apabila salah seorang di antaramu berada dalam shalat, hendaklah ia menjadikan shalat itu sebagai tujuannya serta memusatkan perhatian kepadanya, dan janganlah kalian seperti kuda yang dikepalanya terdapat keranjang kosong yang diangkat dn diturunkannya padahal tidak ada apa-apa di dalamnya.” Ingat, jadilah engkau takut terhadap sikap menganggap ringan urusan Allah supaya engkau tidak keluar dari setiap shalat dalam keadaan sia-sia. Semoga Allah melindungi kita semua dari kerugian semacam itu.

Nah inilah perbedaan di antara dua orang, salah satunya bila ia mendirikan shalat, jasad bersama hatinya lali dari Allah SWT, sedang yang lain, hatinya hadir bersama jasadnya dalam keadaan takut kepada Allah SWT. Ingat, berhati-hatilah kepada Allah SWT.

 

Saudaraku! Berusaha keraslah untuk menghadirkan hatimu dalam shalat dan janganlah kamu terperdaya oleh wakil-wakil setan. Sebab, mereka hanya menghadirkan jasad-jasad mereka tatkala shalat namun hati mereka terbuai oleh geemerlapnya dunia serta angan-angannya, lalu mereka mencari-ceri alasan utuk diri mereka. Mereka menduga bahwa para sahabat pilihan pun pernah lengah dalam shalat mereka, dengan tujuan untuk memperoleh pembenaran atas kelalaian mereka dari mengingat Allah SWT, sekalipun dalam hal ini mereka harus mengumpat orang-orang pilihan.

 

Ketahuilah wahai kaum! Sesungguhnya para sahabat itu, apabila mereka dicoba dengan kelalaian, mereka menganggap besar masalah itu, mereka khawatir terhadapnya dan tidak rela dengan kenyataan seperti itu yang menimmpa diri mereka.

 

Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah saw. Mencela orang-orang yang lalai dalam shalatnya, maka peringatan inilah yang sangat menakutkan mereka sehingga berusaha untuk menutupi kelalaian itu dengan kembali kepada ingatan semula. Mereka berjuang keras menghadirkan hati, memahami tentang Allah SWT, merasa takut kepada-Nya, serta tidak pernah mencari-cari alasan untuk menutupi kesalahan tersebut seperti yang kamu lakukan dengan berdalih atas kelaian mereka.

 

Kemudain, apakah kamu juga mengira-ngira kelalaian sahabt dan pikiran yang terlintas dalam shalat mereka sama dengan kelalaian dan pikiran yang terlintas dalam pikiranmu yang selalu membayangkan kesibukan berbisnis, berdebat, berangan-angan dan berandai-andai itu? Dan jika memang kalian berprasangka demikian terhadap mereka, sungguh kalian telah berburuk sangka kepada mereka dan ini berarti kalian melecehkan dengan diri kalian. Apalagi jika kalian mengira bahwa kelalaianmu dalam shalat tidak seberapa bila dibandingkan dengan kelalaian pra sahabat.

 

Sungguh kalian telah menganggap baik diri sendiri dan mengangkatnya kepada tingkatan para wali, maka alangkah buruknya godaan jiwa terhadap kalian itu! Tidakkah pernah sampai kepada kalian bahwa di antara tabi’in ada yang berkata : “Kami mendapatkan bisikan ketika shalat.” Kemudian yang lainnya menimpali : “Aku juga mendapatkan itu.” Lalu ada yang bertanya : “Apa yang anda dapatkan itu?” Ia menjawab : Aku mendapatkan bisikan yang mengingatkan surga dan neraka! Sedang aku se akan-akan berdiri di hadapan Tuhanku.” Yang lain berkata  : “Kami mendapatkan bisikan yang mengingatkan dunia dan kebutuhannya.” Lantas yang pertama mnimpali : “Anddai aku jatuh dari langit ke bumi, hal ini lebih aku sukai daripada Allah mengetahui bisikan-bisikan tadi dari hatiku.”

 

Nah, demikianlah keadaan orang-orang pilihan tersebut.

Wahai kaum penempuh jalan kebenaran, renungkanlah apa yang telah diperbuat oleh setan untuk mencelakakanmu ketika ia berusaha untuk menjadikan hatimu lalai dari mengingat Allah SWT, dalam shalat, lalu dia memperindah untukmu bentuk dalih dengan mengatasnamakan kelalaian orang-orang suci. Celakalah engkau, seandainya engkau kembali menghina diri sendiri tatkala lalai itu, kemudian mengakui keburukan dan kesalahan pribadi, tentu hal demikian untuk kalian akan lebih dekat kepada ampunan daripada mencari-cari alasan dengan menyebut-nyebut kelengahan orang-orang lain yang lebih suci. Kenapa engkau tidak menganggap besar kesalahanmu saja sebagaimana para sahabat menganggap berat kelalaian mereka.

 

Telah sampai kepada kami bahwa slah seorang sahabat melaksanakan shalat di kebun kormanya. Maka ia pun disibukan oleh pikiran tentang kebunya itu sehingga ia lupa dalam shalat, latas ia pun menganggap besar hal itu dan meratap : Aku telah terkena fitnah dalam hartaku.”Kemudian ia menyedekahkan buah kormanya itu di jalan Allah hingga nilainya mencapai lima puluh ribu dirham.

 

Nah, siapa di antara kalian yang pernah mengaanggap besar kelalaiannya dalam shalat dan bersedekah untuk menutupinya dengan setumpuk harta? Ah, kau! Tidakkah kalian merasa malu dengan pembadingan kalian itu sehingga berani berkata : “Kalian menyerupakan mereka dengan diri kalian! Wahai kaum, alangkah buruknya qiyas itu dan alangkah mentahnya alasanmu itu?

 

Tidakkah lebih baik bila kalian mau meneladani kehusukan umat-umat pilihan itu dan mencoba mereka dalam mengagungkan urusan Allah SWT. Telah sampai kepada kami bahwa sebagian mereka, ketika shalat, bagaikan pakaian yang tergeletak, di antara mereka ada yang laksana kayu kering, ada yang selalu merasa gentar dan berubah warna karena berdiri di hadapan Allah SWT, ada lagi yang tidak bisa mengenal orang yang di sebelah kiri maupun kanannya, dan ada pula apabila ia berdiri untuk shalat seolah-olah ia tonggak kayu yang menacap saking khusyuknya.

 

Ada sebuah cerita tentang ‘Ali bin Abi Thalib ra. Bahwa apabila ia berwudhu terlihat perubahan warna di mukanya menjadi pucat. Lalu ditanyakan kepadanya : “Wahai Amir al Mu’minin, kami perhatikan bila engkau berwudhu berubahlah keadaanmu?” Ia menjawab : “Aku sadar dihadapan siapa aku akan berdiri menghadap?” Demikian juga halnya dengan seorang tabi’in, apabila ia hendak shalat berubahlah roman mukanya, dan ia berkata : “Tidakkah kalian tahu di hadapan siapa aku berdiri?” Kepada siapa aku bermunajat?” Nah, siapa di anatara kalian, karena Allah, bisa mengalami haibah (Ketakjuban dan ketakutan dengan penuh takzim) seperti ini? Kemudian pernah pula sampai kepada kami bahwa di antara sikap mereka dalam mengagungkan perkara Allah itu, yaitu apabila ia tidak sempat mengikuti takbir pertama dalam shalat berjamaah, ia berkabung selama tiga hari karena mengganggap besar urusan itu. Demi Allah, demikiankah dengan dirimu?

 

Para pembaca budiman! Jika anda tidak sempat mendapatkan takbir pertama dalam shalat berjamaah atau jika anda melewatkan kesempatan untuk berbuat baik, sungguh, adakah anda mau berkabung? Justru sebaliknya, jika diantara kalian ditimpa musibah pada hartanya, maka itulah yang dianggap musibah besar di mata kalian sehingga kalian saling menghibur dengan musibah dunia itu.

 

Kalian meminta pertolongan karenanya, kalian menjadi terhadap takdir dari Allah, dan mengeluh kepada sesama manusia tentang perbuatan Allah SWT! Tetapi lain halnya, jika kalian terlewatkan kesempatan untuk beramal baik dan terjerumus kepada perbuatan dosa, malah tidak pernah terlihat kalian saling menghibur ssatu sama lain, seakan-akan peristiwa itu bukanlah musibah menurut kalian. Kalau begitu, sangat jauh bahkan alangkah jauhnya kalian dari kemiripan dengan orang-orang salaf pilihan tadi! Celakalah kalian, karena telah meninggalkan sikap meneladani keutamaan orang-orang yang takwa, tetapi berdalih dengan kesalahan sepele mereka, seakan-akan kesalahan dan kelalaian kalian sama dengan kesalahan dan kelalaian mereka. Sungguh kalian telah berbohong, wahai orang-orang lalai. Ingat, hati-hatilah kepada Allah, tinggalkan sikap mencari-cari alasan dan dalih yang sangat lemah; berjuang keraslah untuk menhadirkan hati di kala shalat, memahami tentang Allah SWT, dan menjunjung tinggi urusan-Nya agar kau tidak keluar dari shalatmu dalam keadaan sia-sia. Semoga Allah menjadikan kita sekalian di antara orang-orang yang beramal salih yang selalu mersakan haibah terhadap-Nya. Amin.

KITAB AN NASHA’IH KE – 21 Berseberanganlah dengan Orang-orang yang Gemar pada Sesuatu yang Menyebabkan Allah Benci

SYEIKH ABU ABDILLAH AL-HARITS BIN ASAD “AL-MUHASIBI”

 

Saudara-saudaraku! Apabila engkau melihat orang-orang menggemari perbuatan yang menyebabkan Allah benci, meski di antara mereka terdapat sekelompok orang yang mengira bahwa mereka hanya benci kepada hal-hal yang akan merusak agama,padahal sebenarnya tidak, karena sesungguhnya mereka itu menyukai hal-hal yang menyebabkan Allah marah dan mereka bergembira dengan sesuatu yang merusak agama, maka jadilah engkau orang yang berseberangan dengan mereka.

 

Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang terbuai dalam pujian, sanjungan, dan kedudukan di dunia, padahal Allah tidak menyukai hal demikian dan juga tidak menyukai oarng yang menyukainya?

 

Orang yang bodoh pasti mendambakan sesuatu yang tidak disukai oleh Allah SWT, berupa sanjungan dan sikap berlebih-lebihan, seakan-akan ia senang terhadap kebencian Allah kepadanya, sedang ia tidak merasakan. Semoga Allah melindungi kita dari hal demikian. Demikian pula keadaannya dengan seseorang yang tergila-gila terhadap harta, kemegahan dan perhiasan di dunia, padahal Allah SWT membenci hal demikian dan membenci orang yang menyukainya.

 

Telah sampai kepada kami bahwa Alah SWT berfirman : “ Hamba-Ku bergembiralah bahwa aku melapangkan baginya di dunia, padahal yang demikian adalah sesuatu yang membuatnya lebih jauh dari-Ku dan lebih tidak Aku sukai.” Seorang haba selalu  mendambakan sesuatu yang dibenci oleh Allah seakan-akan ia menyukai kebencian Allah kepadanya, sementara ia tidak menyadarinya. Contoh seperti ini banyak : Ia dibenci oleh Allah SWT dan dibenci oleh orang-orang yang mencintai Allah SWT. Sementara hamba tersebut tetap tergila-gila kepada hal demikian.

 

Itulah perbedaan di antara dua tipe hamba. Salah satunya senang akan perhatian Allah kepadanya, menyukaia apa yang disukai-Nya dan membenci apa yang dibenci oleh Nya SWT. Yang lainnya membenci banyak hal yang disukai oleh Allah SWT; sebaliknya ia menyenangi hal-hal yang justru dibenci oleh Allah SWT. Ia tertarik kepada hal-hal yang bakal merusak agamanya dan membenci hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya di akhirat. Ia bersedih terhadap perlakuan Allah kepadanya, padahal ia tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya.

 

Cukuplah hal demikian sebagai musibah yang menimpa seorang hamba ketika sore dan pagi hari, yaitu berupa kelakuannya yang membenci apa yang  sesungguhnya dibenci oleh Allah SWT dan ia pun terus-terusan berbuat demikian sepanjang umurnya.

 

Celakalah dirimu, sesungghuhnya hal demikian merupakan puncak sikapmu yang menentang Allah SWT sekaligus merupakan puncak permusuhanmu terhadap diri sendiri jika engkau memahami.

 

Saudara-saudaraku! Bermawas dirilah kepada Allah SWT. Janganlah engkau hanya bersandar pada ibadah tetapi tetap tekun menggemari hal-hal yang tidak disukai oleh Allah SWT, berusaha keraslah untuk menyalahi kemauan rendah jiwa, juga berusaha keraslah untuk bersesuaian dengan Allah SWT dalam segala sesuatu yang disukai dan tidak disukai oleh-Nya, karena usaha demikian adalah wajib dan pahalanya pun jelas sekali; sebaliknya bahaya menyia-nyiakannya tidak kalah besar pula.

 

Maka cukuplah kiranya sebagai dosa bahwa Allah menyukai suatu perkara tetapi engkau malah membencinya; Bahwa Dia tidak menyukai sesautu, justru engkau menyukainya, yaitu suatu bentuk perselisihan antara makhluk dan khaliq-nya. Padahal Allah SWT Maha Mengetahui isi hati hamba-Nya. Mahasuci Allah, alangkah bijaknya Dia terhadap hamba yang mampu mengenali hal demikian melalui nuraninya. Duhai fitnah yang menimpa kebanyakan orang, suatu persitiwa yang dapat saksikan dengan mata kepala kita, dan hanya sedikit yang selamat. Semoga Allah SWT melindungi kita sekalian sebagaimana Dia melindungi para kekasih-Nya. Amin ya rabbal Alamin.

 

KITAB AN NASHA’IH KE – 20 Berusaha keraslah untuk menyenangi Apa-apa yang Disukai oleh Allah SWT.

SYEIKH ABU ABDILLAH AL-HARITS BIN ASAD “AL-MUHASIBI”

 

Saudara-saudaraku!Apabila engkau melihat orang lain tidak senang kepada hal-hal yang disukai oleh Allah SWT dan membenci sesuatu yang bermanfaat buat mereka di akhirat, ingat, hati-hatilah kepada Allah. Jadilah engkau berseberangan dengan mereka dan berjuang melawan kiwamu untuk menyenangi hal-hal yang disukai oleh Allah SWT. Kadang kala ada suatu golongan yang mengaku senang kepada apa-apa yang disukai oleh Allah, padahal sebenarnya mereka tidaklah demikian.

 

Sebenarnya mereka tidak menyukai banyak hak yang disukai oleh Allah dan membenci banyak hal yang bermanfaat bagi mereka. Karena itu, renungkanlah permasalahan kalian! Kemudian, bagaimana menurutmu tentang seorang terpelajar yang ditakdirkan oleh Allah SWT memiliki seorang teman yang juga berilmu dan suka memberi nasihat untuk menuntunnya menuju kecintaan Allah SWT, membantu membeberkan aib dirinya serta tidak lupa pula mengarahkannya kepada tata cara berobat dari seluruh aibnya tersebut, agar ia beralih dari kesesatan kepada tuntunan, sedangkan hal demikian termasuk di antara kecintaan Allah? Seorang yang bodoh merasa keberatan apabila diberitahu aib dirinya, atau bila ada orang yang mengetahui keburukannya, sehingga ia merasa tersinggung terhadap orang yang suka membimbingnya, padahal ia tidak sadar bahwa dirinya telah membenci orang yang ditakdirkan Allah untuk menuntunnya.

 

Berteman dengan juru nasihat yang mau merupakan rahmat bagi seseorang. Oleh karena itu, kenapa harus merasa berat untuk menerimanya dan kenapa harus merasa jengkel terhadap bimbingan yang diberikan kepadanya. Demikian pula halnya bila ada seseorang yang simpati kepadanya, itu juga merupakan rahmat dari Tuhan kepada hamba=Nya. Sehingga, ia akan menghindarkan darinya fitnah kedudukan, yaitu perasaan memiliki status sosial terhormat serta perasaan memiliki pengikut setia dari kalangan masyarakat.

 

Maka, juru nasihat itulah yang berperan menyelamatkannya dari fitnah tersebut, dengan membuat dirinya menjadi tidak terkenal sehingga bila ia tidak ada, tidak ada yang perlu mencarinya, sebaliknya, bila ia ada juga tidak ada yang gmengenalinya. Hal demikian adalah lebih selamat untuk agamanya, dan merupakan salah satu di antara karunia Allah SWT. Kepadanya.

 

Telah sampai kepada kami bahwa Allah SWT berfirman : “Hamba-Ku! Aku tidak menyembunyikan sebutanmu di dunia sebagai perhatian dari Ku kepada mu.”

 

Padahal orang yang terperdaya bersedih terhadap rendahnya nilai dirinya di kalangan masyarakat. Ia berduka karena tidak terkenal dan merasa benci lantaran perhatian dan pilihan Allah untuk dirinya itu, padahal ia tidak mengetahui hal demikian dari dirinya.

 

Demikian juga seseorang yang diperhatikan oleh Allah dengan dipalingkan darinya fitnah harta agar tidak melampaui batas dan tidak menjadi sibuk dengan dunianya dan lupa pada perkara-perkara akhirat. Allah Yang Maha Pengasih menjadikannya sedikit harta, lapang dada, selamat dalam agamanya, jarang berbaur, ringan bebannya, sebentar tertahannya, sedikit hisab nya, sedikit yang ditanyakan kepadanya, segera menyeberang di atas shirath, dan semua itu merupakan bentuk kasih sayang Allah kepadanya.

 

Allah SWT berfirman : “Hamba-Ku berduka karena Aku memalingkan dunia darinya, padahal yang demikian justru yang paling dekat kepada-Ku dan sesuatu yang lebih Aku sukai.”Hamba yang berduka lantaran dunia dipalingkan darinya seakan-akan ia tidak menyukai kecintaan Allah SWT kepadanya sedangkan ia tidak merasakan. Tetapi ia selalu merasa pesimis dengan sedikit harta dan menganggap perbuatan Allah kepadanya sebagai pertanda buruk, padahal ia tidak memahami apa sebenarnya yang terjadi dengan dirinya.”

 

Orang seperti ini banyak jumlahnya, ia dicintai oleh Allah SWT dan dicintai oleh orang-orang yang mencintai-Nya, sedang dirinya benci kepada semua itu. Semoga Allah melindungi kita semua dari perilaku demikian.