Catatan Popular

Selasa, 24 April 2018

MABUK CINTA KEPADA ALLAH


Dikisahkan dalam sebuah kitab karangan Imam Al-Ghazali bahwa pada suatu hari Nabi Isa a.s berjalan di hadapan seorang pemuda yang sedang menyiram air di kebun.
Bila pemuda yang sedang menyiram air itu melihat kepada Nabi Isa a.s berada di hadapannya maka dia pun berkata, “Wahai Nabi Isa a.s, kamu mintalah dari Tuhanmu agar Dia memberi kepadaku seberat semut Jarrah cintaku kepada-Nya.”
Berkata Nabi Isa a.s, “Wahai saudaraku, kamu tidak akan terdaya untuk seberat Jarrah itu.”
Berkata pemuda itu lagi, “Wahai Isa a.s, kalau aku tidak terdaya untuk satu Jarrah, maka kamu mintalah untukku setengah berat Jarrah.”
Oleh kerana keinginan pemuda itu untuk mendapatkan kecintaannya kepada Allah, maka Nabi Isa a.s pun berdoa, “Ya Tuhanku, berikanlah dia setengah berat Jarrah cintanya kepada-Mu.” Setelah Nabi Isa a.s berdoa maka beliau pun berlalu dari situ.
Selang beberapa lama Nabi Isa a.s datang lagi ke tempat pemuda yang memintanya berdoa, tetapi Nabi Isa a.s tidak dapat berjumpa dengan pemuda itu. Maka Nabi Isa a.s pun bertanya kepada orang yang lalu-lalang di tempat tersebut, dan berkata kepada salah seorang yang berada di situ bahwa pemuda itu telah gila dan kini berada di atas gunung.
Setelah Nabi Isa a.s mendengat penjelasan orang-orang itu maka beliau pun berdoa kepada Allah S.W.T, “Wahai Tuhanku, tunjukkanlah kepadaku tentang pemuda itu.” Selesai saja Nabi Isa a.s berdoa maka beliau pun dapat melihat pemuda itu yang berada di antara gunung-ganang dan sedang duduk di atas sebuah batu besar, matanya memandang ke langit.
Nabi Isa a.s pun menghampiri pemuda itu dengan memberi salam, tetapi pemuda itu tidak menjawab salam Nabi Isa a.s, lalu Nabi Isa berkata, “Aku ini Isa a.s.” Kemudian Allah S.W.T menurunkan wahyu yang berbunyi,
“Wahai Isa, bagaimana dia dapat mendengar perbicaraan manusia, sebab dalam hatinya itu terdapat kadar setengah berat Jarrah cintanya kepada-Ku. Demi Keagungan dan Keluhuran-Ku, kalau engkau memotongnya dengan gergaji sekalipun tentu dia tidak mengetahuinya.”

Barangsiapa yang mengakui tiga perkara tetapi tidak menyucikan diri dari tiga perkara yang lain maka dia adalah orang yang tertipu.
1. Orang yang mengaku kemanisan berzikir kepada Allah, tetapi dia mencintai dunia.
2. Orang yang mengaku cinta ikhlas di dalam beramal,  tetapi  dia inginmendapat sanjungan dari manusia.
3. Orang yang mengaku cinta kepada Tuhan yang menciptakannya, tetapi tidak berani merendahkan dirinya.

Rasulullah S.A.W telah bersabda, “Akan datang waktunya umatku akan mencintai lima lupa kepada yang lima :
1. Mereka cinta kepada dunia. Tetapi mereka lupa kepada akhirat.
2. Mereka cinta kepada harta benda. Tetapi mereka lupa kepada hisab.
3. Mereka cinta kepada makhluk. Tetapi mereka lupa kepada al-Khaliq(Pencipta-Nya).
4. Mereka cinta kepada dosa. Tetapi mereka lupa untuk bertaubat.
5. Mereka cinta kepada gedung-gedung mewah. Tetapi mereka lupa kepada kubur.

Moga ia menjadi pengajaran dan peringatan buat kita semua.
Sama-sama kita bermuhasabah dan memperbaiki diri.

MENCANTIKKAN WAJAH


Al Ahnaf bin Qais tergolong sebagai ulama yang terkenal di zaman hidupnya. Pada suatu hari datang seorang pemuda dari suku Taiyi berkunjung ke rumahnya. Rumah Al Ahnaf memang saban hari diziarahi oleh ramai murid-murid dan sahabat-sahabatnya. Mereka sekaliannya menziarahinya dengan tujuan peroleh pengajaran darinya.
Kedatangan pemuda dari suku Taiyi itu sangat menarik perhatian ulama besar itu. Al Ahnaf dapati pemuda itu sangat tampan serta kacak lalu ia pun bertanya, katanya;
“Wahai orang muda. Adakah engkau menghiasi wajahmu dengan sesuatu?”
“Benar tuan, sungguh saya menghiasi wajah saya dengan sesuatu,”ujarnya sopan dan pendek, lalu menyambung:
“Kalau saya bercakap tidak bohong, kalau ada orang sedang becakap, saya mendengar, kalau saya berjanji saya tepati dan kalau saya diberikan satu amanah, tidak saya khianati.”
Mendengar jawapan yang bernas itu maka berkatalah Al Ahnaf sambil memuji:
Benar seperti katamu itu hai orang muda. Sungguh engkau telah menghiasi dirimu dengan akhlak yang terpuji.”

OBAT SAKIT MATA

Suatu hari syeikh Junaid Al-Banghdadi sakit mata. Ia diberitahu oleh seorang tabib, jika ingin cepat sembuh jangan sampai matanya terkena air.

Ketika tabib itu pergi, ia nekad berwudhu membasuh mukanya untuk sholat kemudian tidur. Anehnya, sakit matanya malah menjadi sembuh. Saat itu terdengar suara "Junaid menjadi sembuh matanya kerana ia lebih ridha kepada-Ku". Seandainya ahli neraka minta kepada-Ku dengan semangat Junaid niscaya Aku luluskan permintaannya." Kata suara itu.

Tabib yang melihat mata Junaid sembuh itu menjadi keheranan, "Apa yang telah engkau lakukan?"

"Aku telah membasuh muka dan mataku kemudian sholat", ujarnya."

Tabib itu memang beragama Nashrani, dan setelah melihat peristiwa itu, dia beriman. "Itu obat dari Tuhan yang menciptakan sakit itu. Dia pulalah yang menciptakan obatnya. Aku ini sebenarnya yang sakit mata hatiku, dan Junaidlah tabibnya."


PENYAKIT RIYA MEMBINASAKAN AMAL IBADAH

Pada suatu waktu sahur, seorang abid membaca Al-Quran, surah "Thoha", di biliknya yang berhampiran dengan jalan raya. Selesai membaca, dia berasa amat mengantuk, lalu tertidur. Dalam tidurnya itu dia bermimpi melihat seorang lelaki turun dari langit membawa senaskah Al-Quran.

Lelaki itu datang menemuinya dan segera membuka kitab suci itu di depannya. Didedahkannya surah "Thoha" dan dibaliknya halaman demi halaman untuk tatapan si abid. Si abid melihat setiap kalimah surah itu dicatatkan sepuluh kebajikan sebagai pahala bacaannya kecuali satu kalimah saja yang catatannya dipadamkan.

Lalu katanya, "Demi Allah, sesungguhnya telahku baca seluruh surah ini tanpa meninggalkan satu kalimah pun". "Tetapi kenapakah catatan pahala untuk kalimah ini dipadamkan?" Lelaki itu berkata.

"Benarlah seperti katamu itu. Engkau memang tidak meninggalkan kalimah itu dalam bacaanmu tadi. Malah, untuk kalimah itu telah kami catatkan pahalanya, tetapi tiba-tiba kami terdengar suara yang menyeru dari arah 'Arasy : 'Padamkan catatan itu dan gugurkan pahala untuk kalimah itu. Maka sebab itulah kami segera memadamkannya".

Si abid menangis dalam mimpinya itu dan berkata, "Kenapakah tindakan itu dilakukan?".

"Puncanya engkau sendiri. Ketika membaca surah itu tadi, seorang hamba Allah melewati jalan di depan rumah mu. Engkau sadar hal itu, lalu engkau meninggikan suara bacaanmu supaya didengar oleh hamba Allah itu.

Kalimah yang tiada catatan pahala itulah yang telah engkau baca dengan suara tinggi itu".

Si abid terjaga dari tidurnya. "Astaghfirullaahal-'Azhim! Sungguh licin virus riya' menyusup masuk ke dalam kalbu ku dan sungguh besar kecelakaannya. Dalam sekelip mata sahaja ibadahku dimusnahkannya.

Benarlah kata alim ulama', serangan penyakit riya' atau ujub, boleh membinasakan amal ibadah seseorang hamba Allah selama tujuh puluh tahun".


DOSANYA LEBIH BESAR....


Pada suatu senja yang lenggang, terlihat seorang wanita berjalan terhuyung-huyung. Pakaiannya yang serba hitam menandakan bahwa ia berada dalam dukacita yang mencekam. Kerudungnya menangkup rapat hampir seluruh wajahnya.

Tanpa hias muka atau perhiasan menempel di tubuhnya. Kulit yang bersih, badan yang ramping dan roman mukanya yang ayu, tidak dapat menghapus kesan kepedihan yang tengah meruyak hidupnya. Ia melangkah terseret-seret mendekati kediaman rumah Nabi Musa a.s. Diketuknya pintu pelan- pelan sambil mengucapkan uluk salam. Maka terdengarlah ucapan dari dalam "Silakan masuk".

Perempuan cantik itu lalu berjalan masuk sambil kepalanya terus merunduk. Air matanya berderai tatkala ia Berkata, "Wahai Nabi Allah. Tolonglah saya. Doakan saya agar Tuhan berkenan mengampuni dosa keji saya."
"Apakah dosamu wahai wanita ayu?" tanya Nabi Musa a.s. terkejut.
"Saya takut mengatakannya."jawab wanita cantik. "Katakanlah jangan ragu-ragu!" desak Nabi Musa.

Maka perempuan itupun terpatah bercerita, "Saya... telah berzina.
"Kepala Nabi Musa terangkat, hatinya tersentak. Perempuan itu meneruskan,

"Dari perzinaan itu saya pun...lantas hamil. Setelah anak itu lahir,langsung saya... cekik lehernya sampai... tewas," ucap wanita itu seraya menangis sejadi-jadinya.

Nabi Musa berapi-api matanya. Dengan muka berang ia mengherdik, "Perempuan bejad, enyah kamu dari sini! Agar siksa Allah tidak jatuh ke dalam rumahku karena perbuatanmu. Pergi!"... teriak Nabi Musa sambil memalingkan mata karena jijik.

Perempuan berwajah ayu dengan hati bagaikan kaca membentur batu, hancur luluh segera bangkit dan melangkah surut. Dia terantuk-antuk keluar dari dalam rumah Nabi Musa. Ratap tangisnya amat memilukan.Ia tak tahu harus ke mana lagi hendak mengadu. Bahkan ia tak tahu mau dibawa kemana lagi kaki-kakinya. Bila seorang Nabi saja sudah menolaknya, bagaimana pula manusia lain bakal menerimanya? Terbayang olehnya betapa besar dosanya, betapa jahat perbuatannya. Ia tidak tahu bahwa sepeninggalnya, Malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa.

Sang Ruhul Amin Jibril lalu bertanya, "Mengapa engkau menolak seorang wanita yang hendak bertaubat dari dosanya? Tidakkah engkau tahu dosa yang lebih besar daripadanya?" Nabi Musa terperanjat. "Dosa apakah yang lebih besar dari kekejian wanita pezina dan pembunuh itu?" Maka Nabi Musa dengan penuh rasa ingin tahu bertanya kepada Jibril. "Betulkah ada dosa yang lebih besar daripada perempuan yang nista itu?"

"Ada!" jawab Jibril dengan tegas. "Dosa apakah itu?" tanya Musa kian penasaran."Orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja dan tanpa menyesal.

Orang itu dosanya lebih besar dari pada seribu kali berzina"

Mendengar penjelasan ini Nabi Musa kemudian memanggil wanita tadi untuk menghadap kembali kepadanya. Ia mengangkat tangan dengan khusuk untuk memohonkan ampunan kepada Allah untuk perempuan tersebut. Nabi Musa menyedari, orang yang meninggalkan sembahyang dengan sengaja dan tanpa penyesalan adalah sama saja seperti berpendapat bahwa sembahyang itu tidak wajib dan tidak perlu atas dirinya. Berarti ia seakan-akan menganggap remeh perintah Tuhan, bahkan seolah-olah menganggap Tuhan tidak punya hak untuk mengatur dan memerintah hamba-Nya.

Sedang orang yang bertobat dan menyesali dosanya dengan sungguh-sungguh berarti masih mempunyai iman di dadanya dan yakin bahwa Allah itu berada di jalan ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya Tuhan pasti mau menerima kedatangannya. (Dikutip dari buku 30 kisah teladan - KH Abdurrahman Arroisy)

Dalam hadis Nabi SAW disebutkan : Orang yang meninggalkan sholat lebih besar dosanya dibanding dengan orang yang membakar 70 buah Al-Qur'an, membunuh 70 nabi dan bersetubuh dengan ibunya di dalam Ka'bah. Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa orang yang meninggalkan sholat sehingga terlewat waktu, kemudian ia mengqadanya, maka ia akan disiksa dalam neraka selama satu huqub. Satu huqub adalah delapan puluh tahun. Satu tahun terdiri dari 360 hari, sedangkan satu hari diakherat perbandingannya adalah seribu tahun di dunia.

SIKAP WARA MEMBAWA...BERKAH


Jangan sekali-kali berfikir bahwa orang yang sempurna adalah orang yang mengenakan imamah terbaik dan pakaian mewah. Akan tetapi orang yang sempurna adalah yang menjauhi maksiat, menekuni wirid-wirid, beramal saleh, dan menuntut ilmu dengan penuh adab, karena ilmu akan menuntun pemiliknya mencapai kemuliaan.

Abdullah bin Mubarak suatu hari berkata, "Aku akan mengerjakan perbuatan yang akan membuatku mulia." Ia lalu menuntut ilmu hingga menjadi seorang yang alim. Waktu ia memasuki kota Madinah, masyarakat berbondong-bondong menyambutnya hingga hampir-hampir saja mereka saling bunuh karena berdesak-desakan. Ibu suri raja yang kebetulan menyaksikan kejadian itu bertanya, "Siapakah orang yang datang ke kota kita ini?"

"Ia adalah salah seorang ulama Islam," jawab pelayannya.

Ia kemudian berkata kepada anaknya, "Perhatikanlah, bagaimana masyarakat berbondong-bondong mendatanginya. Raja yang satu ini tidak seperti kamu. Kamu, jika menginginkan sesuatu, harus memerintah seseorang untuk melakukannya. Tetapi, mereka mendatanginya dengan sukarela."

Abdullah sesungguhnya adalah anak seorang budak berkulit hitam bernama Mubarak. Budak ini betisnya kecil, bibirnya tebal dan telapak kakinya pecah-pecah. Walaupun demikian, ia adalah seorang yang sangat wara`. Kewara'annya ini akhirnya membuahkan anak yang saleh.Mubarak bekerja sebagai penjaga kebun. Suatu hari tuannya datang ke kebun.

"Mubarak, petikkan aku anggur yang manis," perintah tuannya.
Mubarak pergi sebentar lalu kembali membawa anggur dan menyerahkannya kepada tuannya.
"Mubarak, anggur ini masam rasanya, tolong carikan yang manis!" kata tuannya setelah memakan anggur itu.

Mubarak segera pergi, tak lama kemudian ia kembali dengan anggur lain. Anggur itu dimakan oleh tuannya.
"Bagaimana kamu ini, aku suruh petik anggur yang manis, tapi lagi-lagi kamu memberiku anggur masam, padahal kamu telah dua tahun tinggal di kebun ini," tegur tuannya dengan perasaan kesal.

"Tuanku, aku tidak dpt membedakan anggur yang manis dengan yang masam, karena kamu mempekerjakan aku di kebun ini hanya sebagai penjaga. Sejak tinggal di sini aku belum pernah merasakan sebutir anggur pun, bagaimana mungkin aku dapat membedakan yang manis dan yang masam?" jawabnya.

Tuannya tertegun mendengar jawaban Mubarak. Ia seakan-akan memikirkan sesuatu. Kemudian pulanglah ia ke rumah.
Pemilik kebun itu memiliki seorang anak gadis. Banyak pedagang kaya telah melamar anak gadisnya.

Sesampainya di rumah, ia berkata kepada istrinya, "Aku telah menemukan calon suami anak kita."
"Siapa dia?" tanya istrinya.
"Mubarak, budak yang menjaga kebun."
"Bagaimana kamu ini?! Masa puteri kita hendak kamu nikahkan dengan seorang budak hitam yang tebal bibirnya. Kalau pun kita rela, belum tentu anak kita sudi menikah dengan budak itu."
"Coba saja sampaikan maksudku ini kepadanya, aku lihat budak itu sangat wara' dan takut kepada Allah."

Kemudian sang istri pergi menemui anak gadisnya, "Ayahmu akan menikahkanmu dengan seorang budak bernama Mubarak. Aku datang untuk meminta persetujuanmu."

"Ibu, jika kalian berdua telah setuju, aku pun setuju. Siapakah yang mampu memperhatikanku lebih tulus daripada kedua orang tuaku? Lalu mengapa aku harus tidak setuju?"

Sang ayah yang kaya raya itu kemudian menikahkan anak gadisnya dengan Mubarak. Dari pernikahan ini, lahirlah Abdullah bin Mubarak.


KEYAKINAN DAN PRASANGKA BAIK

Seorang murid mendambakan syeikh yang akan menyampaikannya kepada Allah. Meski sudah berusaha keras, ia tak berhasil menemukan syeikh yang diidamkan.
Suatu hari ada yang berkata kepadanya bahwa ia tidak akan menemukan seorang syeikh yang dapat menyampaikannya kepada Allah kecuali Fulan bin Fulan yang tinggal disuatu kota.
Ia pun segera berangkat ke kota itu. Setelah sampai di sana, ia menanyakan tentang orang yang dimaksud. Penghuni kota menunjukkan kepadanya seorang lelaki yang berperangai buruk dan suka bermaksiat. Ia mendatangi rumah orang itu dan mengetuk pintunya.
"Siapa?" tanya pemilik rumah.
"Fulan," jawabnya.
Pemilik rumah sedang menunggu orang yang kebetulan namanya sama dengan nama si murid. Ia telah berjanji kepadanya untuk bersenang-senang dengan wanita dan minuman memabukkan. Ia lalu membukakan pintu karena mengira bahwa tamu itu adalah temannya.
Si murid masuk ke dalam rumah. Ketika menatap wajah pemilik rumah, ia lalu duduk bersimpuh dan menangis. Pertemuan dengan sang calon syeikh ini begitu mengharukannya sehingga ia tidak melihat wanita-wanita dan minuman keras yang ada di situ.
"Apa yang terjadi denganmu?" tanya pemilik rumah keheranan.
"Aku ingin agar kamu menyampaikan aku kepada Allah. Aku telah berusaha mencari guru, tetapi tidak menemukan selain kamu," kata si murid dengan suara sendu.
Karena ingin segera terbebas dari orang yang tampak aneh ini, lelaki itu berkata sekenanya, "Pergilah ke tempat A, di bawah gunung B. Di sana akan kamu temukan air. Berwudhulah dengan air itu kemudian beribadahlah di situ sampai Allah memberimu fath."
Si murid segera keluar melaksanakan perintah syeikhnya. Ia beribadah dengan sungguh-sungguh sampai akhirnya Allah memberinya fath. Setelah menerima fath dari Allah, ia akhirnya tahu bahwa orang yang selama ini dianggap sebagai syeikhnya ternyata adalah manusia yang berperangai buruk dan suka bermaksiat kepada Allah.
Si murid kemudian mulai dikenal orang. Kesalehannya menjadi buah bibir masyarakat. Manusia mulai berdatangan, ada yang ingin menuntut ilmu, ada juga yang sekedar ingin memperoleh keberkahan. Bertambah hari muridnya bertambah banyak. Suatu hari ia jatuh sakit. Ketika penyakitnya menjadi semakin parah, para muridnya bertanya, "Guru, siapa yang akan kamu angkat untuk mengantikan kedudukanmu jika kamu wafat."
"Fulan bin Fulan yang suka bermaksiat. Karena itu, bertawajuhlah kalian kepada Allah, berdoalah, agar sebelum aku meninggal dunia, Allah telah merubah keadaannya menjadi yang terbaik, dan memberinya petunjuk, karena sesungguhnya aku tidak akan mencapai kedudukan ini kalau bukan karena dia. Bertawajuhlah kepada Allah!"
Allah mengabulkan doa mereka. Lelaki itu bertobat dan menjadi murid dari mantan muridnya.
Ia berusaha sungguh-sungguh untuk mendekatkan diri kepada Allah di bawah bimbingan gurunya. Sepeninggal sang guru, ia dipercaya untuk menggantikan kedudukannya.
Barangsiapa bertobat, Allah akan menerima tobatnya. Karena lelaki tadi mendekatkan diri kepada Allah dengan sidq (kesungguhan), ia mencapai kedudukan yang tinggi. Barang siapa menghadap Allah dengan sidq, ia akan mencapai apa yang telah dicapai oleh orang-orang yang sempurna. (I:136)


MASUK NERAKA SEBAB LALAT DAN MASUK SYURGA PUN SEBAB LALAT


"Thariq bin Syihab menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Ada seseorang yang masuk surga sebab seekor lalat, dan ada pula seseorang yang masuk neraka sebab seekor lalat ...." (HR Ahmad).


Lebih lengkapnya, marilah kita simak lanjutan hadis di atas.

"Para sahabat bertanya, 'Bagaimana hal itu, wahai Rasulullah saw.?' Beliau menjawab, 'Ada dua orang berjalan melewati suatu kaum yang mempunyai berhala, yang tidak seorang pun diperkenankan melewati berhala itu sebelum mempersembahkan kepadanya suatu kurban (persembahan).


Ketika itu, mereka berkata kepada salah satu dari dua orang tersebut. 'Persembahkanlah kurban untuknya!' Dia menjawab, 'Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat aku persembahkan untuknya.' Mereka berkata kepadanya, 'Persembahkanlah meskipun seekor lalat.' Lalu, orang itu mempersembahkan seekor lalat dan mereka memperkenankan orang itu untuk meneruskan perjalanannya. Maka, dia masuk neraka karenanya.


Kemudian, mereka berkata kepada seorang yang lainnya, 'Persembahkanlah kurban kepadanya.' Dia menjawab, 'Aku tidak patut mempersembahkan suatu kurban kepada selain Allah.' Kemudian, mereka memenggal lehernya. Oleh sebab itu, orang tersebut masuk surga'." (HR Ahmad).


Kita harus meyakini bahwa Allah adalah yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya, termasuk manusia. Banyak sekali bukti yang mendukung kebenaran hal tersebut. Di antaranya bahwa sesuatu yang ada di muka bumi ini tidak mungkin ada dengan sendirinya, tetapi pasti ada yang menciptakannya atau ada yang menjadikannya dari yang tidak ada menjadi ada. Tidak mungkin kita, manusia, ada dengan sendirinya, atau tidak mungkin manusia yang telah menciptakan dirinya. Allah SWT menerangkan, "Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang telah menciptakan diri mereka sendiri? Atau, merekakah yang telah menciptakan langit dan bumi …?" (Ath-Thur: 35--36).

Bahkan, ada seorang sahabat Rasulullah saw. yang menerima Islam hanya sebab ayat ini.


Yaitu, ketika Jabir bin Muth'im masih dalam keadaan musyrik, ia mendengarkan Rasulullah saw. membaca surat Ath-Thur hingga ketika sampai pada ayat tersebut dia merasa bahwa jiwanya seakan-akan terbang melayang. Itulah awal tertancapnya keimanan di hatinya. Gambaran tersebut kiranya cukup menjadi bukti bahwa hanya Allahlah pencipta langit dan bumi beserta isinya. Karena, selain Allah tidak ada yang mampu.


Selain menciptakan semua makhluk-Nya, Dia juga telah menyediakan rezeki untuk seluruh makhluk-Nya. Rezeki itu adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh mereka. Allah sungguh Maha Adil dan Bijaksana.
Tidak ada satu makhluk pun tercipta, melainkan sudah ditentukan rezekinya. Kita bisa saksikan semut hitam yang kecil berjalan mondar-mandir dalam rangka mencari rezeki hingga akhirnya mendapatkannya.


Setelah menciptakan dan memberi rezeki kepada makhluknya, khususnya manusia, ternyata Allah tidak membiarkan mereka begitu saja. Akan tetapi, Dia mengutus seorang rasul yang membawa risalah bagi mereka pada tiap-tiap masa. Barang siapa menaati rasul itu, niscaya dia akan selamat dan masuk surga, tetapi barang siapa yang mendurhakai dan membangkangnya, maka dia akan celaka dan pasti masuk neraka. Hal inilah yang seharusnya disadari oleh manusia.


Allah telah menciptakan manusia, Allah juga memberi kesempatan kepada manusia untuk menikmati kehidupannya, namun Allah juga mengutus seorang rasul dengan membawa ajaran, aturan, dan pedoman hidup. Jadi, manusia tidak dibiarkan hidup begitu saja untuk melampiaskan hawa nafsunya tanpa aturan dan petunjuk. Jika demikian, apakah perbedaan antara manusia dan binatang. Di sinilah pentingnya seorang rasul yang diutus oleh Allah kepada manusia dengan membawa suatu risalah (ajaran). Maka, rasul harus dijadikan sebagai petunjuk bagi manusia agar manusia tidak keliru dalam menempuh dan menjalani kehidupannya.


Jika tidak mengikuti ajaran rasul, sangat mungkin dia akan melakukan kekeliruan dan kesalahan yang berakibat fatal. Baik hal tersebut dia sadari maupun tidak. Seperti kisah dari hadis tentang lalat di atas.


Hanya seekor lalat bisa menyebabkan seseorang masuk neraka.

Sebaliknya, lalat juga bisa menyebabkan orang yang lain masuk surga.


Meskipun kelihatan remeh, hal tersebut pada hakikatnya merupakan hal yang sangat prinsip. Yaitu menyangkut masalah akidah. Jika manusia yang beriman tidak berhati-hati dalam menjalani kehidupan dan menentukan sikap, tidak menutup kemungkinan ia akan sangat mudah terjerumus kepada hal-hal syirik yang bisa menggugurkan keimanannya.


Ketika Rasulullah saw. mengabarkan kepada para sahabat bahwa ada seorang yang masuk neraka karena lalat, mereka merasa heran karena seakan-akan hal tersebut adalah remeh. Tetapi, setelah diterangkan oleh Rasulullah saw., mereka menyadari bahwa sebab yang kecil bisa mengakibatkan seseorang terjerumus dalam kemusyrikan.


Ini menunjukkan besarnya bahaya syirik, dan bahwa syirik itu memastikan pelakunya masuk neraka.


Dalam hadis tersebut di atas diterangkan bahwa orang yang pertama masuk neraka karena ia mempersembahkan seekor lalat untuk sebuah berhala. Berhala adalah shanam, yaitu sesuatu yang dipahat dalam bentuk tertentu. Namun, di dalam kitab An-Nihayah disebutkan bahwa segala sesuatu yang disembah selain Allah, dan segala sesuatu yang menyibukkan manusia sehingga ia melupakan Allah, hal itu juga disebut berhala. Mempersembahkan sesuatu kepada (berhala dan lain-lainnya) selain Allah adalah kesyirikan yang nyata.


Mengapa pelaku syirik dipastikan masuk neraka, di dalam kitab Qurratu A'yun disebutkan bahwa karena ia menuju kepada selain Allah dengan hatinya dan tunduk kepadanya lewat amalannya, maka sudah pasti neraka akan menjadi bagiannya. Dalam sebuah hadis marfu dari Jabir disebutkan, "Barang siapa yang bertemu Allah tanpa syirik kepada-Nya sedikit pun, maka dia masuk surga. Dan barang siapa yang bertemu Allah dalam keadaan syirik kepada-Nya, maka dia masuk neraka." Jika hal ini berlaku untuk orang yang memberikan persembahan kepada berhala dengan seekor lalat, bagaimana dengan yang lebih dari itu.


Kita lihat fenomena kemusyrikan dewasa ini. Mereka tidak sekadar mempersembahkan seekor lalat, akan tetapi berupa onta, sapi, kambing, kerbau, dan lain-lainnya, yang mereka persembahkan untuk apa yang mereka sembah selain Allah, seperti untuk orang yang telah mati, untuk makhluk gaib, untuk para thaghut, untuk monumen, pohon, batu-batu, tempat-tempat keramat, dan lain-lainnya. Dan, mereka melakukan persembahan itu lebih hebat daripada perayaan persembahan kurban yang disyariatkan.


Jika dengan lalat saja bisa memasukkan pelakunya ke neraka, apalagi dengan sesuatu yang lebih besar darinya.


Terkadang seseorang jatuh ke dalam syirik yang menyebabkan dia akan masuk neraka tetapi tidak disadari, meskipun orang itu melakukannya hanya karena ingin terbebas dari kejahatan orang-orang yang durhaka dari para pemuja berhala maupun dari yang lainnya.


Di dalam kitab Fathul Majid diterangkan bahwa awalnya orang yang pertama itu adalah muslim. Tetapi, keislamannya batal akibat perilakunya itu.


Lain halnya dengan orang yang kedua, mereka menunjukkan keutamaan tauhid, keikhlasan, serta ketabahan dalam memegangi agama. Yaitu, ketika ia harus mengorbankan jiwa dan raganya demi mempertahankan akidahnya.


Hendaknya kita bisa mengambil hikmah dari kisah di atas. Kapan pun dan di mana pun juga kita harus tetap memegangi prinsip akidah kita meskipun nyawa taruhannya. Sebagai orang yang beriman, kita harus berani mengambil risiko keimanan seperti yang dilakukan oleh orang yang kedua. Walaupun harus mati, tetapi ia adalah yang utama, karena justru dengan kematiannya itu, ia akan mendapatkan balasan surga di sisi Allah SWT.


Tetapi, sebagian orang memilih kehidupan dunia ini dan membuang jauh-jauh kebahagiaan akhirat, seperti orang yang pertama dalam kisah di atas. Manusia melakukan hal tersebut bisa jadi karena ketidaktahuan mereka karena tidak mengikuti petunjuk yang dibawa oleh seorang rasul yang diutus kepada mereka.


Selain itu, hendaklah kita mengingat bahwa salah satu dari tiga hal yang apabila diamalkan oleh seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman. Yaitu, "Dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya darinya, sebagaimana ia membenci kalau dilemparkan ke dalam api neraka."



KISAH SI KUSTA, SI BOTAK, DAN SI BUTA.


DARI Abu Hurairah r.a. bahawa dia mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sesungguhnya ada tiga orang dari Bani Israil, iaitu: seorang penderita sakit kusta, seorang berkepala botak, dan seorang buta. Allah ingin menguji mereka bertiga, maka diutuslah kepada mereka seorang Malaikat. Pertamanya datanglah Malaikat itu kepada si penderita sakit kusta dan bertanya kepadanya, “Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?’ Ia menjawab, “Rupa yang elok, kulit yang indah, dan apa yang telah menjijikkan orang-orang ini hilang dari tubuhku.” Maka diusap-usapnya kulit penderita sakit kusta itu dan hilanglah penyakit yang dideritanya, serta diberilah ia rupa yang elok dan kulit yang indah.

Malaikat pun bertanya lagi kepadanya, “Lalu kekayaan apa yang paling kamu senangi?” Jawabnya, “Unta atau sapi.” Maka diberilah ia seekor unta yang bunting dan didoakan, “Semoga Allah melimpahkan berkah~Nya kepadamu dengan unta ini.”
Kemudian Malaikat itu mendatangi orang berkepala botak dan bertanya kepadanya, “Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?” Ia menjawab, “Rambut yang indah yang hilang dari kepalaku apa yang telah menjijikkan orang-orang.” Saat Malaikat itu mengusap kepala orang yang botak itu, maka hilanglah penyakitnya serta tumbuhlah rambut yang indah. Malaikat pun bertanya lagi kepadanya, “Kekayaan apa yang paling kamu senangi?” Jawabnya, “Sapi atau unta.” Maka diberilah ia seekor sapi bunting dan didoakan, “Semoga Allah melimpahkan berkah~Nya kepadamu dengan sapi ini.”

Selanjutnya Malaikat tadi mendatangi si buta dan bertanya kepadanya, “Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?” Ia menjawab, “Semoga Allah berkenan mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat.’ Maka diusap-usapnya wajah orang buta itu, dan ketika itu dikembalikan oleh Allah penglihatannya. Malaikat pun bertanya lagi kepadanya, “Lalu, kekayaan apa yang paling kamu senangi?” Jawabnya, “Kambing.” Maka diberilah seekor kambing bunting kepadanya.

Waktu berselang, maka berkembang biaklah unta, sapi dan kambing tersebut, sehingga orang pertama mempunyai selembah unta, orang kedua mempunyai selembah sapi, dan orang ketiga mempunyai selembah kambing.
Dengan perintah Allah datanglah Malaikat itu lagi kepada orang yang sebelumnya menderita sakit kusta dengan menyerupai dirinya dan berkata, “Aku ini seorang miskin, telah terputus segala jalan bagiku (untuk mencari rezeki) dalam perjalananku, sehingga aku tidak akan dapat meneruskan perjalananku hari ini kecuali dengan pertolongan Allah, kemudian dengan pertolongan kamu. Demi Allah yang telah memberi kamu rupa yang elok, kulit yang indah, dan kekayaan ini, aku meminta kepada kamu seekor unta saja untuk bekal melanjutkan perjalananku.” Tetapi dijawab, “Hak-hak (tanggunganku) banyak.”

Malaikat yang menyerupai orang penderita sakit kusta itu pun berkata kepadanya, “Sepertinya aku mengenal kamu. Bukankah kamu ini yang dulu menderita sakit kusta, orang-orang jijik kepada kamu, lagi pula orang melarat, lalu Allah memberi kamu kekayaan?’ Dia malah menjawab, “Sungguh, harta kekayaan ini hanyalah aku warisi turun-temurun dari nenek moyangku yang mulia lagi terhormat.” Maka Malaikat itu berkata kepadanya, “Jika kamu berkata dusta, nescaya Allah akan mengembalikan kamu kepada keadaan kamu dahulu.” Setelah malaikat meninggalkannya, maka dengan serta merta Allah mengembalikan penyakitnya dulu semula dan segala kekayaannya lenyap.
Kemudian Malaikat tersebut mendatangi pula orang yang sebelumnya botak dengan menyerupai dirinya berkepala botak, dan berkata kepadanya seperti yang dia katakan kepada orang yang pernah menderita sakit kusta. Namun ia ditolaknya sebagaimana telah ditolak oleh orang pertama itu. Maka berkatalah Malaikat yang menyerupai dirinya itu kepadanya, “Jika kamu berkata dusta, nescaya Allah akan mengembalikan kamu kepada keadaan seperti dahulu.” Bila Malaikat itu beredar, demikianlah juga Allah mengembalikan keadaan orang itu seperti dulu berkepala botak dan miskin.

Akhirnya, Malaikat tadi mendatangi pula orang yang sebelumnya buta dengan menyerupai dirinya pula, dan berkatalah kepadanya, “Aku adalah seorang miskin, kehabisan bekal dalam perjalanan dan telah terputus segala jalan bagiku (untuk mencari rezeki) dalam perjalananku ini, sehingga aku tidak akan dapat lagi meneruskan perjalananku hari ini kecuali dengan pertolongan Allah, kemudian dengan pertolongan kamu. Demi Allah yang telah mengembalikan penglihatan kamu, aku meminta seekor kambing saja untuk bekal melanjutkan perjalananku.”

Orang itu menjawab, “Sungguh, dahulu aku buta, lalu Allah mengembalikan penglihatanku. Maka, ambillah apa yang kamu suka dan tinggalkan apa yang kamu tidak suka. Demi Allah, sekarang ini aku tidak akan mempersulit kamu dengan memintamu mengembalikan sesuatu yang telah kamu ambil kerana Allah.” Malaikat yang menyerupai orang buta itupun berkata, “Peganglah kekayaan kamu, kerana sesungguhnya kalian ini hanyalah diuji oleh Allah. Allah telah redha kepada kamu, dan murka kepada kedua teman kamu.”


Rabu, 18 April 2018

UNTAIAN KISAH PARA WALI KE 31 : SYEIKH FUDZAIL BIN IYADH DENGAN KHALIFAH HARUN AR RASYID


Pada suatu malam, Harun ar-Rasyid memanggil Fazl Barmesid, salah seorang di antara pengawal kesayangannya. Harun ar-Rasyid berkata kepada Fazl: “Malam ini bawalah aku kepada yang boleh menunjukkan kapadaku siapakah aku ini sebenarnya. Aku telah jemu dengan segala kebesaran dan kebanggaan.”

Fazl membawa Harun ar-Rasyid ke rumah Sufyan al-Uyaina. Mereka mengetuk pintu dan dari dalam Sufyan menyahut: “Siapakah itu?”

“Pemimpin kaum Muslimin,” jawab Fazl.

Sufyan berkata: “Mengapa sultan mahu menyusahkan diri. Mengapa tidak diberitahu sahaja padaku sehingga aku datang sendiri menemuinya?”

Mendengar ucapan tersebut Harun ar-Rasyid  berkata: “Ia bukan orang yang kucari. Ia pun mengagungkanku seperti orang lain.”

“Jika demikian, Fudzail bin ‘Iyaz adalah orang yang engkau cari. Pergilah kepadanya.” Kemudian Sufyan membacakan ayat: “Apakah orang-orang yang perbuat aniaya menyangka bahawa Kami akan menyamakan mereka dengan orang-orang yang beriman serti melakukan perbuatan-perbuatan yang soleh?”

Harun ar-Rasyid mengatakan: “Seandainya aku menginginkan nasihat-nasihat yang baik nescaya ayat itu telah mencukupi.”

Kemudian mereka mengetuk pintu rumah Fuzail. Dari dalam Fuzail bertanya: “Siapakah itu?”

“Pemimpin kaum Muslimin,” jawab Fazl.

“Apakah urusannya dengan aku dan apakah urusanku dengan dia?” tanya Fudzail.

“Bukankah suatu kewajipan untuk mematuhi orang yang memegang kuasa?” sela Fazl.
“Jangan kamu menggangguku,” seru Fudzail.

“Perlukah aku menolak pintu dengan kekuasaanku sendiri atau dengan perintah sultan?” tanya Fazl.

“Tidak ada sesuatu  hal yang disebut kekuasaan,” jawab Fuzail. “Jika engkau secara paksa menceroboh masuk, engkau tahu apa yang engkau lakukan.”

Harun ar-Rasyid melangkah masuk, Begitu Harun menghampirinya, Fudzail meniup lampu sehingga padam agar ia tidak dapat melihat wajah sultan. Harun ar-Rasyid menghulurkan tangannya dan disambut oleh tangan Fuzail yang kemudian berkata: “Betapa lembut dan halus tangan ini! Semoga tangan ini terhindar dari api neraka!”

Setelah berkata demikian Fudzail berdiri dan berdoa. Harun ar-Rasyid meresa hatinya sangat tersentuh dan tidak dapat menahan tangisannya.

“Katakanlah sesuatu kepadaku,” Harun bermohon kepada Fuzail.

Fudzail mengucapkan salam kepadanya dan berkata: “Sebelum ini, bapa saudara Nabi Muhammad, pernah meminta kepada beliau: “Jadikanlah aku pemimpin bagi sebahagian umat manusia.” Nabi menjawab: “Pak cik, untuk sesaat aku pernah mengangkatmu menjadi pemimpim dirimu sendiri.” Dengan  jawapan ini yang dimaksudkan Nabi adalah: Sesaat mematuhi Allah adalah lebih baik daripada seribu tahun dipatuhi oleh manusia. Kemudian Nabi menambah lagi: “Kepimpinan akan menjadi penyesalan pada hari kebangkitan nanti.”

“Ceritakanlah,” Harun ar-Rasyid meminta.

“Ketika diangkat menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz memanggil Salim bin Abdullah, Raja’ bin Hayat, dan Muhammad bin Kaab. Umar berkata kepada mereka: “Hatiku sangat gelisah kerana ujian ini. Apakah yang harus kulakukan? Aku tahu bahawa kedudukan yang tinggi ini adalah satu ujian walaupun orang-orang lain menganggapnya sebagai satu kurnia. Salah seorang di antara ketiga sahabat Umar itu berkata: “Jika engkau ingin terlepas dari hukuman Allah di akhirat nanti, pandanglah setiap Muslim yang lanjut usia sebagai ayahmu sendiri, setiap Muslim yang masih kanak-kanak sebagai anakmu sendiri, dan perlakukanlah mereka sebagaimana seharusnya seorang memperlakukan ayahnya, saudaranya dan anak-anaknya.”

“Ceritalah lagi,” Harun ar-Rasyid meminta.

“Anggaplah negeri Islam sebagai rumahmu sendiri dan penduduknya sebagai keluargamu sendiri. Ziarahilah ayahmu, hormatilah saudaramu dan bersikap baiklah kepada anakmu. Aku sayangkan jika wajahmu yang tampan ini akan terbakar hangus di dalam neraka. Takutilah Allah dan taatilah perintah-perintah-Nya. Berhati-hatilah dan bersikaplah secara bijaksana, kerana pada hari Akhirat nanti Allah akan meminta apa yang dipertanggungjawabkan olehmu sehubungan dengan setiap Muslim dan Dia akan memeriksa apakah engkau telah berlaku adil kepada setiap orang. Apabila ada seorang wanita uzur yang tertidur dalam keadaan lapar, di hari Akhirat nanti ia akan menarik pakaianmu dan akan memberikan kesaksian yang akan memberatkan dirimu.”

Harun ar-Rasyid menangis dengan sangat kuatnya sehingga nampak ia akan jatuh pengsan. Melihat hal ini wazir Fazl menyentak Fudzail: “Cukup! Engkau telah membunuh pemimpin kaum Muslimin.”

“Diamlah Hamam! Engkau dan orang-orang yang engkau inilah yang telah menjerumuskan dirinya, kemudian engkau katakan aku yang membunuhnya. Apakah yang kulakukan ini suatu pembunuhan?”

Mendengar kata-kata Fudzail ini tangisan Harun ar-Rasyid semakin menjadi-jadi. “Ia menyebutmu Hamam,” kata Harun ar-Rasyid memandang Fazl. “Kerana ia menyamakan diriku dengan Firaun.”

Kemudian Harun bertanya kepada Fudzail: “Apakah engkau mempunyai hutang yang belum dijelaskan?”

“Ya,” jawab Fudzail. “hutang kepatuhan kepada Allah. Seandainya Dia memaksaku untuk menjelaskan hutang ini celakalah aku!”

“Yang kumaksudkan adalah hutang kepada manusia, Fudzail,” Harun menegaskan.

“Aku bersyukur kepada Allah yang telah mengurniakan kepadaku sedemikian banyaknya rezeki sehingga tidak ada keluh-kedah yang harus kusampaikan kepada hamba-hamba-Nya.”

Kemudian Harun ar-Rasyid menaruh sebuah bekas yang berisi seribu dinar di hadapan Fudzail sambil berkata: “Ini adalah wang halal yang diwariskan oleh ibuku.”

Tetapi Fudzail mengutuknya: “Wahai pemimpim kaum Muslimin, nasihat-nasihat yang kusampaikan kepadamu ternyata tidak ada faedahnya. Bahkan engkau telah memulakan lagi perbuatan salah dan mengulangi kezaliman.”

“Apakah perbuatan yang salah telah kulakukan?” tanya Harun ar-Rasyid.

“Aku menyerumu ke jalan keselamatan tetapi engkau menjerumuskan aku ke dalam godaan. Bukankah hal itu suatu kesalahan? Telah kukatakan kepadamu, kembalikanlah segala sesuatu yang ada padamu kepada pemiliknya yang berhak. Tetapi engkau memberikannya kepada yang tidak patut menerimanya. Aku memberi nasihat kepadamu tanpa mengenakan sedirham pun.”

Setelah berkata demikian, Fudzail berdiri dan melemparkan wang-wang emas itu keluar.

“Benar-benar seorang manusia yang hebat!” Harun ar-Rasyid berkata ketika ia meninggalkan rumah Fudzail. “Sesungguhnya Fuzail adalah seorang raja bagi umat manusia. Ia sangat alim dan dunia ini terlalu kecil pada pandangannya.”

UNTAIAN KISAH PARA WALI KE 30 : SYEIKH FUDZAIL BIN IYADH BERAMA ANAKNYA

Suatu hari Syeikh Fuzdail memangku anak yang berumur empat tahun. Tanpa disengaja bibir Fuzail menyentuh pipi anak itu sebagaimana yang sering dilakukan seorang ayah kepada anaknya.

“Apakah ayah cinta kepadaku?” anak itu bertanya kepada Fuzail.

“Ya,” jawab Fuzail.

“Apakah ayah cinta kepada Allah?”

“Ya.”

“Berapa banyakkah hati yang ayah miliki?”

“Satu,” jawab Fudzail.

“Dapatkah ayah mencintai dua hal dengan satu hati,” anaknya meneruskan pertanyaannya.

Fudzail sedar bahawa yang berkata-kata itu bukanlah anaknya sendiri. Sesungguhnya kata-kata itu adalah petunjuk dari Ilahi. Kerana takut dimurkai Allah, Fudzail memukul-mukul kepalanya sendiri dan memohon ampun kepada-Nya. Ia memutuskan kasih sayang kepada si anak kemudian dicurahkan kepada Allah semata-mata.


UNTAIAN KISAH PARA WALI KE 29 : KISAH ABU HANIFAH DENGAN SI PEMALAS

Suatu hari ketika Imam Abu Hanifah sedang berjalan-jalan melalui sebuah rumah yang jendelanya masih terbuka, terdengar oleh beliau suara orang mengeluh dan menangis tersedu-sedu. Keluhannya mengandungi "Aduhai, alangkah malangnya nasibku ini agaknya tiada seorang pun yang lebih malang dari nasibku yang celaka ini. Sejak dari pagi lagi belum datang sesuap nasi atau makanan pun di kerongkongku sehingga seluruh badanku menjadi lemah longlai. Oh, manakah hati yang belas ikhsan yang sudi memberikan curahan air walaupun setitik. "

Mendengar keluhan itu Abu Hanifah berasa kasihan lalu beliau pun balik ke rumahnya dan mengambil bungkusn untuk diberikan kepada orang itu. Sebaik sahaja Imam Abu Hanifah sampai ke rumah orang itu, dia terus melemparkan bungkusan itu yang berisi wang kepada si malang tadi lalu meneruskan perjalanannya. Dalam pada itu, si malang berasa terkejut setelah mendapati sebuah bungkusan yang tidak diketahui daripada mana datangnya lalu dia pun membukanya. Setelah dibuka, alangkah terkejutnya apabila ia mendapati ada wang dan secebis kertas yang bertulis "Hai, manusia sungguh tidak wajar kamu mengeluh sedemikian , kamu tidak perlu mengeluh nasibmu. Ingatlah kepada kemurahan Allah swt dan cubalah bermohon kepadaNya dengan bersungguh-sungguh. Jangan berputus asa tetapi teruslah berusaha."

Pada keesokan harinya, Imam Abu Hanifah melalui lagi rumah itu dan suara keluhan kali berbunyi :"Ya Allah yang Maha Belas Kasihan dan Pemurah , sudilah kiranya memberikan bungkusan seperti kemarin sekadar untuk menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sesungguhnya Jika Tuhan tidak memberi akan lebih sengsaralah hidupku.
                                                         
Mendengar keluhan itu, Imam Abu Hanifah pun melemparkan lagi bungkusan berisi wang dan secebis kertas dari luar jendela itu, lalu dia pun meneruskan perjalanannya. Orang malang tadi terlalu gembira mendapat bungkusan itu. Lantas terus membukanya.

Seperti dahulu juga, di dalam bungkusan itu ada secebis kertas lalu membacanya:"Wahai kawan bukan begitu berdoa tetapi perlu berusaha dan berikhtiar. Perbuatan seperti ini "malas" namanya. Putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah swt. Sungguh tidak redha Allah melihat orang malas dan putus asa, enggan bekerja untuk keselamatan dirinya. Janganlah berbuat demikian . Hendak senang mesti suka pada bekerja dan berusaha kerana kesenangan tidak mungkin datang sendiri tanpa dicari atau diusahakan.

Allah tidak akan perkenankan doa orang yang malas bekerja dan berputus asa. Sebab itu, carilah pekerjaan yang halal untuk kesenangan dirimu. Berikhtiarlah sedapat mungkin dengan pertolongan Allah swt. Insaallah akan dapat juga pekerjaan itu selama kamu tidak berputus asa . Kemudian, carilah pekerjaan semoga kamu berjaya mendapatkan pekerjaan."

Sebaik sahaja dia selesai membaca surat itu, dia termenung dia termenung dan insaf akan kemalasannya selama ini. Pada keesokan harinya, dia pun keluar dari rumahnya untuk mencari pekerjaan. Sejak itu, sikapnya telah berubah dan tidak malas lagi serta ingat pada nasihat yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah itu.

Dalam islam, tiada istilah pengangguran , istilah ini hanyalah digunakan oleh orang yang berfikiran sempit, islam mengajar untuk maju ke hadapan dan bukan mengajar kita "bermalas-malasan". 


UNTAIAN KISAH PARA WALI KE 28 : CERITA SEORANG WALI MAJZUB

Diceritakan dari sesetengah orang-orang soleh, bahawanya dia berkata:
Ketika saya menjadi majzub (orang yang tidak menghiraukan dunia), semasa khalwat, dan saya berjanji kepada Tuhanku tidak akan merasakan makanan selama 40 hari.
Apabila saya berada di dalam khalwat itu selama  20 hari, saya sudah tidak tertahan lapar, dan keadaanku sudah tidak keruan lagi. Maka saya pun keluar dari khalwatku, dan saya terus tidak sedarkan diri hinggalah saya sampai di pasar.
Ketika saya dalam keadaan begitu, berlalu dihadapanku seorang fakir, lalu dia memohon kepada Allah satu paun roti, satu paun daging bakar dan satu paun manisan. Saya merasa hairan terhadap si fakir ini, dia berlalu dihadapanku, dan dia tidak bertanya sapa kepadaku. Maka aku berkata di dalam hatiku:
“Si fakir ganjil ini, betapa dia mencita-citakan makanan yang sedap-sedap ini?! Aku hendak sepotong roti keras, aku tak dapat?!
Sebentar lagi, saya lihat dia datang kepadaku, dan ditangannya ada semua yang diminta kepda Allah tadi, lalu dia pun memberikannya kepadaku, seraya berkata:
“Hai manusia! Tahukah siapa orang yang  ganjil itu? Biarlah aku yang beritahu kau, iaitu: Orang yang ganjil itu ialah orang keluar dari khalwatnya kerana mengingini syahwat dunia, dia lalu membatalkan janjinya dengan Tuhan kerana hendakkan benda-benda yang baik dan mahal-mahal”
Kemudian dia mengingatkanku lagi: Orang yang hendak menggulung empat puluh hari itu hendaklah dia menggulungnya sedikit demi sedikit. Lain kali jangan buat lagi”.
Si fakir itu lalu pergi dari situ, dan sesudah itu saya tidak pernah melihatnya lagi.

Sabtu, 7 April 2018

BELAJAR DARI KEBODOHAN UMAR BIN KHATTAB

Kita tentu tidak asing dengan Umar bin Khatab salah satu dari empat khalifah ternama masa sepeninggal Rasulullah SAW. Umar pun terkenal dengan ketegesan dan kelembutan hatinya. Bahkan Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya ada nabi sesudahku maka ia adalah Umar bin Khatab”. (H.R Tirmidzi dan Ahmad),

Dikisahkan pernah suatu ketika Rasulullah SAW mendapati Umar bin Khatab sedang menangis kemudian tertawa hampir bersamaan. Ketika ditanya apa gerangan yang menyebabkannya demikian. Umar bin Khatab menjelaskan bahwa ia teringat keadaan dirinya di masa jahiliyah dulu. Kenapa ia menangis, ia teringat ketika masa jahiliyah ia mengubur anak perempuannya hidup-hidup.

Terbayang olehnya seandainya saja anak perempuannya masih hidup. Ia akan bisa bersama mereka. Dan akan mendapatkan cucu yang banyak dari mereka.

Lantas yang membuatnya tertawa adalah ketika di masa jahiliyah ia terbiasa membuat patung-patung berhala. Terkadang ia membuatnya dari gandum dan manisan.

Akan tetapi ketika ia dilanda lapar atau musim paceklik. Maka ia terpaksa mengambil bagian-bagian patung berhala tersebut kemudian memakannya.Mendengar hal tersebut Rasulullah SAW pun turut tertawa.

Dari kisah ini kita bisa mengambil pelajaran yang sangat berharga. Masa jahiliyah dikenal juga dengan masa kegelapan atau kebodohan.

Dimana akal dan hati nurani tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sebut saja dua hal yang mebuat Umar bin Khatab menangis dan tertawa ketika mengingatnya.

Pada masa jahiliyah perempuan tidak mempunyai harga sama sekali. Bahkan memiliki anak perempuan adalah aib yang besar. Karena dianggap tidak berguna, tidak bisa berperang dan tidak bisa mewariskan kejayaan serta kemuliaan. Bahkan perempuan dianggap sesuatu yang bisa diwariskan. Tak ubahnya seperti barang atau benda mati belaka.

Mengubur anak perempuan hidup-hidup sangatlah tidak manusiawi. Itu karenanya bisa disebut tipikal orang jahiliyah adalah tidak mempunya hati nurani. Akal sehat pun seharusnya menolak akan hal ini. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

Peristiwa kedua, dimana Umar bin Khatab memakan tuhannya yang ia buat sendiri. Jika akal sehat berfungsi sebagaimana mestinya maka akal akan menolak tuhan yang bisa dibuat dan dimakan. Atau tuhan yang bisa dibuat dan dihancurkan.
Setelah Umar bin Khatab memeluk Islam dan menjadi sahabat Rasulullah SAW. Ia menyadari akan kebodohan tersebut. Ia menyesalinya ketika dengan bodohnya ia mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Karena itu ia menangis tatkala mengingat peristiwa tersebut. Dan Umar bin Khatab menertawakan kebodohannya. Bagaiamana bisa, dulu ia membuat tuhan yang ia sembah lalu memakannya.

Segala puji bagi Allah SWT, Dzat Yang Maha Esa lagi Maha Agung. Dengan syariat-Nya yang dibawa melalui tangan nabi Muhammad SAW, telah mengeluarkan umat manusia dari kebodohan dan ke-primitif-an. Serta mengajarkan kita untuk menggunakan hati nurani sebagaimana mestinya. Juga mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang manusiawi

BELAJAR DARI UMAR, BLUSUKAN KELUAR MASUK KAMPUNG


Suatu masa tanah Arab pernah mengalami paceklik yang amat memprihatinkan. Hujan lama tak turun. Lahan menjadi tandus. Tanaman warga tak bisa dipanen karena kering kerontang. Jumlah hewan ternak yang mati juga sudah tak dapat dihitung. Keputusasaan mendera hampir di seluruh masyarakat. Khalifah Umar Bin Khattab mengeluarkan kebijakan agar setiap hari dilakukan pemotongan unta agar dagingnya bisa dinikmati oleh warga. Sedangkan ia memilih untuk berpuasa dari makanan enak.

Untuk mengetahui masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya, Umar pun tak segan masuk keluar kampung. Pada suatu malam Umar yang ditemani Aslam mengunjungi sebuah perkampungan terpencil yang terletak di tengah gurun sepi. Saat memasuki daerah tersebut mereka terkejut saat mendengar isak tangis dari sebuah gubuk tua. Mereka pun bergegas mendekati gubuk tersebut untuk memastikan suara apakah itu.

Setelah mendekat, Khalifah melihat seorang perempuan tua sedang memasak. Asap mengepul dari panci yang ia aduk. Sementara di sampingnya tampak seorang anak perempuan yang masih saja menangis. Karena penasaran Umar pun meminta izin untuk masuk.

“Assalamu’alaikum,” Umar memberi salam.

Mendengar salam tersebut, si Ibu hanya sekedar menoleh dan kembali melanjutkan aktifitasnya.

“Siapa yang tengah menangis, apakah dia sakit?” tanya Umar.

“Anakku. Dia tidak sedang sakit. Ia hanya sedang kelaparan” jawab perempuan tanpa menoleh ke arah Umar.

Khalifah Umar dan Aslam terperanjat. Mereka terdiam. Hingga akhirnya keduanya memilih untuk tetap berada di rumah tersebut. Umar dan Aslam duduk hingga satu jam lamanya. Sepanjang itu pula si perempuan tua masih saja mengaduk panci dengan sendok panjangnya. Dan sepanjang itu pula si anak perempuan terus menangis.

“Apa yang sedang engkau masak, wahai Ibu? Kenapa masakanmu tidak kunjung matang?” tanya Khalifah Umar penasaran.

“Ayo kemari, coba engkau lihat sendiri” Kata perempuan tua tersebut sambil menoleh ke arah Umar dan Aslam.

Umar dan Aslam segera mendekat ke arah panci dan melihat ke dalamnya. Namun alangkah terkejutnya Umar saat melihat isi panci tersebut.

“Engkau merebus batu?” tanya Umar tidak percaya.

Perempuan itu hanya menganggukkan kepala.

“Aku melakukan ini agar anak-anakku terhibur. Agar mereka mengira aku sedang memasak. Sebagai seorang janda miskin apa yang bisa aku lakukan. Meminta anak-anakku berpuasa dan berharap seseorang mengantarkan makanan untuk berbuka. Tapi hingga magrib tiba tak seorang pun yang datang. Anakku tertidur karena mereka kelelahan setelah seharian menangis”

Umar tertegun. Tak ada kalimat yang bisa diucapkan. Umar merasa bersalah karena masih ada rakyatnya yang menangis karena kelaparan.

“Seperti inilah yang telah dilakukan Khalifah Umar kepadaku. Dia membiarkan kami kelaparan. Ia tidak mau melihat ke bawah, memastikan kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum”

Ibu itu diam sejenak. “Umar bin Khattab bukanlah pemimpin yang baik. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.”

Mendengar penuturan si Ibu, Aslam ingin menegur namun dihalangi oleh Umar. Khalifah segera bangkit dan meminta izin kepada si Ibu. Dengan air mata berlinang ia mengajak Aslam untuk segera kembali ke Madinah. Tanpa beristirahat, Umar segera mengambil gandum lalu memilkulnya sendiri.

“Wahai Amirul Mukminin, biarlah saya saja yang memikul karung tersebut” pinta Aslam yang tak tega melihat Amirul Mukminin yang tampak kelelahan.

Mendengar permintaan tersebut Umar bukannya senang melainkan marah. Mukanya merah padam. Umar menjawab, “Wahai Aslam, apakah engkau mau menjerumuskan aku ke dalam api neraka. Apakah engkau kira setelah menggantikan aku memikul karung ini maka engkau akan memikul beban ku nanti di akhirat kelak? “

Aslam tertunduk. Ia hanya bisa berdiri mematung ketika melihat Khalifah Umar bin Khattab berjuang keras memikul karung gandum tersebut untuk diserahkan langsung kepada perempuan itu.

Itulah salah satu kisah masyur yang memperlihatkan bagaimana Umar begitu bertanggung jawab menjadi seorang pemimpin. Ia bahkan menangis ketika melihat rakyatnya kelaparan. Apa yang dilakukan Umar sepatutnya menjadi teladan bagi siapa saja yang diamanahi tampuk kepemimpinan. Lewat kisah di atas Umar juga secara tak langsung juga mengajarkan bagaimana cara melakukan blusukan yang benar.

Blusukan Umar Sunyi Senyap

Jika merujuk dari cerita di atas maka jelaslah jika Khalifah Umar memilih malam hari sebagai waktu untuk blusukan. Bukan pada siang hari saat mentari terang menderang. Bahkan sejarah juga mencatat jika Khalifah Umar hampir setiap malam melakukan blusukan.

Kenapa pola seperti ini yang dilakukan oleh Umar?

Alasannya sederhana saja. Khalifah Umar tau jika blusukan itu memiliki misi mulia. Sehingga untuk melakukannya harus dikerjakan secara sembunyi sembunyi, bukan terbuka. Khalifah Umar menerobos gelapnya malam untuk menyibak fakta yang mungkin masih tersembunyi. Memastikan apakah pejabat di dalam pemerintahannya sudah bekerja dengan baik. Beliau ingin blusukan dilakukan tanpa rekayasa.

Blusukan yang dilakukan Khalifah Umar jelas bukan untuk mendapatkan lambaian tangan rakyat, ataupun pelukan dan hura-hura. Sebab yang dibutuhkan Khalifah Umar hanyalah informasi tentang masalah yang masih belum dapat diselesaikan selama kepemimpinannya. Sebab ia tau, amanah ini akan dipertanggungjawabkan di depan Mahkamah Tuhan.

Cara blusukan dalam sunyi senyap sebenarnya juga bisa dilakukan oleh siapapun di level apapun. Tidak harus Presiden, Menteri, Gubernur atau Bupati Walikota. Camat dan Lurah/ Keuchikpun sebenarnya bisa meniru pola seperti ini. Menemukan masalah dan segera menyelesaikannya. Blusukan pada malam hari yang dilakukan Umar Bin Khattab mengisyaratkan jika blusukan tidak selamanya membutuhkan sorotan kamera apalagi set lighting yang menyilaukan mata.

Langsung Kerja Tak Perlu Banyak Gaya

Saat menemukan fakta yang mengejutkan Umar segera kembali ke Madinah. Ini adalah bukti jika Umar tak banyak gaya dan rethorika. Yang dilakukan Umar adalah kerja, kerja, kerja. Memanggul gandum adalah bentuk dari rasa tanggung jawab. Sebagai pemimpin tak perlu sungkan untuk melakukan suatu kebaikan dengan tangannya sendiri. Tak perlu ajudan, tak perlu pengawal kalau hanya sekedar ingin melakukan kebaikan. Lakukan sebuah pekerjaan dengan tangan sendiri. Mungkin itu pula yang ingin Umar Bin Khattab sampaikan kepada pemimpin setelahnya.

Lalu jika ada seorag menteri blusukan hingga harus memanjat pagar, apakah itu salah? Tentu saja tidak justru itulah tugas dia. Akan menjadi salah jika semua hanya sebatas gaya, apalagi dilakukan di depan massa dengan membawa bantuan kamera.

Tetapi jika setelah investigasi tersebut lalu pak menteri mengeluarkan kebijakan yang berkualitas, panjat pagar tersebut bukanlah bagian dari pencitraan. Sebaliknya jika usai investigasi lalu tidak ada yang berubah maka pak menteri hanya sedang bersandiwara.

Kehidupan Pemimpin Harus Lebih “Susah” Dari Rakyatnya

Dalam sejarah, Umar Bin Khattab adalah pemimpin yang hidupnya sederhana. Amat sederhana malah untuk seorang Khalifah. Saat tanah Arab menghadapi masa paceklik, Umar pernah memantangkan dirinya untuk makan daging, minyak samin, dan susu. Sebab ia khawatir jika makanan yang ia makan hanya akan mengurangi jatah makanan rakyatnya. Solusinya ia hanya menyantap roti dengan celupan minyak zaitun hingga membuat perutnya panas. Makanan yang ia makan bukannya membuat perut Khalifah menjadi kenyang melainkan sebaliknya.

“Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.” Ungkap Umar saat perutnya kosong.

Blusukan sejatinya harus diiringi dengan kesederhanaan pemimpinnya. Jika pemimpin masih bisa merasakan kenikmatan di tengah sulitnya kehidupan masyarakat maka blusukan menjadi tidak bermakna. Seorang pemimpin yang baik pasti tau jika rakyatnya sedang senang atau melarat. Demikian cara Umar dalam mendidik para pemimpin setelahnya. Hidup sederhana dan peduli dengan rakyat yang dipimpinnya.

Blusukan sebenarnya cara baik jika dilakukan dari niat yang baik. Lantas bagaimana cara membedakan antara blusukan dengan pencitraan? Ya sederhananya dapat ditemukan dari cara yang dilakukan. Jika hanya melulu berorientasi pada “drama” lalu tak jelas hasil dari blusukan tersebut maka dipastikan itu semua hanya sebuah pencitraan. Tetapi jika blusukan dibarengi dengan solusi kongkrit maka itu adalah sebuah kerja.
Supaya tak salah langkah mari belajar dari Umar cara blusukan yang benar.*