Catatan Popular

Rabu, 31 Oktober 2012

KITAB ILMU IHYA ULUMUDDIN :BAHAYA BERDEBAT (SIRI 10)

IMAM AL GHAZALI DALAM KITAB INYA ULUMUDDIN...SIRI 10

BAHAGIAN 10 Penjelasan Bahaya Berdebat Yang Merusakkan Budi

PENJELASAN: Bahaya berdebat (bermunadharah) dan hal-hal yang terjadi dari padanya, tentang kerusakan budi.

Ketahuilah dan yakinlah bahwa perdebatan yang diadakan dengan tujuan mencari kemenangan, menundukkan la wan, melahirkan kelebihan dan kemuliaan diri, membesarkan mulut di muka orang banyak, ingin kemegahan dan kebebasan serta ingin menarik perhatian orang, adalah sumber segala budi yang tercela pada Allah dan terpuji pada Iblis musuh Allah. Hubungannya kepada sifat-sifat kekejian bathin, seumpama takabur, 'ujub, dengki, ingin di muka, menyangka diri bersih, suka kemegahan dan lainnya, adalah seumpama hubungan minum khamar kepada sifat-sifat kekejian dhahir, seumpama zina, menuduh orang berbuat zina (qazaf), membunuh dan mencuri.
Sebagaimana orang yang disuruh memilih antara minum an yang memabukkan dan perbuatan-perbuatan keji yang lain, lalu dianggap-nya minuman itu lebih enteng maka minumlah dia. Lalu oleh minuman itu, diajaknya ketika sedang mabuk, kepada perbuatan-perbuatan keji yang lain, maka demikian pulalah orang yang didesak oleh keinginan menjatuhkan orang lain, memperoleh kemenangan dalam perdebatan, kemegahan dan keangkuhan, mengajaknya kepada bermacam-macam sifat keji yang tersembunyi dalam jiwanya-Dan menggelagaklah padanya segala budi pekerti yang tercela.
Segala budi pekerti itu akan diterangkan nanti dalil-dalilnya, baik hadits atau ayat yang menyatakan tercelanya pada : "Bahagian Sifat-sifat Yang Membinasakan".
Sekarang kami tunjukkan keseluruhan sifat-sifat jahat yang ditimbulkan oleh munadharah itu. Diantaranya : "dengki".

Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :

الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النار الحطب
(Al-hasadu yaTculul hasanaati kamaa ta'kulun naarul hathaba).
Ertinya :"Dengki itu memakan yang baik seperti api memakan kayu kering'.

Seorang pendebat tidak terlepas dari sifat dengki. Karena dia sekali menang, sekali kalah. Sekali kata-katanya dipuji orang dan sekali kata-kata lawannya dipuji orang. Selama di dunia ini ada orang yang dipandang lebih banyak ilmunya dan pemandangannya atau disangka lebih cakap dan lebih kuat pemandangannya, maka selama itu pula, ada orang yang dengki kepadanya dan mengharap nikmat itu hilang dan berpindah kepada orang yang dengki itu.
Dengki adalah api yang membakar. Orang yang menderita penya kit dengki, di dunia beroleh 'azab sengsara dan di akhirat lebih hebat dan dahsyat lagi. Karena itulah, berkata Ibnu Abbas ra. : "Ambillah ilmu pengetahuan di mana saja kamu dapati. Dan janganlah kamu terima perkataan fuqaha", karena diantara sesama mereka itu berselisih satu sama lainnya, seperti berselisihnya kambing-kambing jantan dalam kandang".

Di antara sifat-sifat jahat itu ; takabur dan mau tinggi sebenang dari orang lain.

من تكبر وضعه الله ومن تواضع رفعه الله
(Man takabbaia wa dla'ahullaahu wa man tawaadla'a rafa'ahullaahu)

Artinya :"Barangsiapa takabur, niscaya direndahkan oleh Tuhan dan barang siapa merendahkan diri, niscaya ditinggikan oleh Tuhan".

Bersabda Nabi saw. menceriterakan firman Allah Ta'ala :

العظمة إزاري والكبرياء ردائي فمن نازعني فيهما قصمته
(Al-adhamatu izaarii wal kibriyaa-u ridaa-ii faman naaza 'anii fiihi-maa qashamtuhu).
Ertinya :"Kebesaran itu kain sarungKu, takabur itu selendangKu. Maka barangsiapa bertengkar denganKu tentang yang dua itu, niscaya Aku binasakan dia".
Selalulah orang yang berdebat itu menyombong terhadap teman dan kawannya, ingin lebih tinggi dari yang wajar. Sehingga mereka berperang tanding dalam majelis perdebatan, berlomba-lomba meninggi dan merendahkan, mendekati dan menjauhkan diri dari tiang tengah, dahulu mendahulukan masuk pada jalan yang sempit.
Kadang-kadang si bodoh dan si keras kepala dari mereka, mengemukakan alasan bahwa maksudnya dengan perdebatan itu memeli-hara kemuliaan ilmu dan "bahwa orang mu'min itu dilarang meng-hinakan diri". Lalu mengatakan tentang sifat merendahkan diri (tawadlu') yang dipujikan Allah dan para NabiNya dengan menghinakan diri dan tentang sifat takabur yang dicelai Allah dengan memuliakan agama, merupakan penyelewengan nama dan menyesatkan orang banyak, sebagaimana yang telah diperbuat terhadap nama hikmah, ilmu dan lainnya.
Di antara sifat-sifat jahat itu : dendam. Hampir seluruh orang yang suka berdebat, tidak terlepas dari sifat pendendam.

Nabi saw. pernah bersabda :
"Orang mu'min tidaklah pendendam ".

Banyak lagi dalil yang mencela sifat pendendam itu, yang tak tersembunyi lagi.
Seorang yang mengambil bahagian dalam perdebatan, tidak sanggup membersihkan jiwanya dari sifat pendendam, terhadap orang yang menyambut dengan baik keterangan iawannya, sedang terhadap keterangannya sendiri dipandang sepi dan tidak diperhatikan dengan baik.
Apabila dilihatnya demikian, maka bersemilah dalam hatinya penyakit dendam, makin lama ma kin mendalam. Akhimya menjadi sifat munafiq yang tersembunyi dan membayang kepada dhahir, yang biasanya tidak dapat dibantah lagi.
Bagaimanakah melepaskan diri dari ini? Dan tidaklah tergambar kesepakatan seluruh pendengar untuk memperkuatkan keterangannya dan memandang baik dalam segala hal, caranya menolak dan memberi alasan. Bahkan jika timbul dari Iawannya sedikit saja yang menyebabkan kurang perhatian kepada perkataannya maka terta-namlah dalam dadanya sifat pendendam itu yang payah hilang sampaii bercerai badan dengan nyawa.
Di antara sifat-sifat yang jahat itu : mengumpat.
Sifat mengumpat itu diserupakan oleh Allah dengan memakan bangkai. Maka senantiasalah orang yang berdebat itu memakan bangkai. Karena dia tidak dapat melepaskan diri dari menceriterakan Iawannya dan mencacinya. Paling tinggi, dipeliharanya kebenaran dalam ceriteranya dan tidak membohong. Maka diceriterakannya sudah pasti— keadaan-keadaan yang menunjukkan kekurangan ilmu lawan, kelemahan dan kurang kelebihannya. Dan itulah mengupat nama-nya. Sedang berdusta yaitu mengada adakan yang tidak-tidak.
Begitu pula tidak sanggup dia menjaga lidahnya dari membentangkan hal keadaan orang yang menentang perkataannya dan memperhatikan perkataan Iawannya dan menerimanya. Sehingga orang itu disebutnya bodoh, dungu, kurang paham dan bebal.

Di antara sifat-sifat yang jahat itu : membersihkan diri.

Berfirman Allah Ta'ala :
فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
(Falaa tuzakkuu anfusakum huwa a'lamu bimanit taqaa).

Ertinya:"Janganlah kamu membersihkan dtrimu. Dialah (Allah) yang Maha Mengetahui siapa yang bertaqwa (surah.An Najm, ayat 32)
Ditanyakan kepada seorang ahii'hikmah (hukama) :
"Manakah kebenaran yang buruk?".
Menjawab hukama' itu : "Memuji manusia akan dirinya'.
Tidaklah terlepas, si pendebat itu memuji dirinya dengan kekuatan, kemenangan dan kelebihan dari teman-temannya. Senantiasa ia mengatakan ketika berdebat : "Saya bukan orang yang tidak mengerti dalam segala hal ini. Saya mengetahui bermacam-macam ilmu, berpaham sendiri tentang pokok-pokok agama dan menghafal banyak hadits". Dan lain-lain perkataan yang timbul dari orang-orang yang memuji diri. Sekali untuk memujikan dirinya saja dan sekali dengan tujuan supaya- kata-katanya laris,
Sebagai dimaklumi bahwa memuji diri sendiri, baik ada ataupun tidak ada yang disebutkan itu, adalah tercela sepanjang agama dan akal pikiran yang sehat.
Diantara sifat-sifat yang jahat itu : mengintip dan mengikuti hal ihwal orang.

Berfirman Allah Ta'ala :
وَلا تَجَسَّسُوا
(Wa laa tajassasuu).(S. Al-Hujurat, ayat 12).
Ertinya :"Janganlah kamu mengintip-ngintip (memata-matai)".(S. Al-Hujurat, ayat 12).
Si pendebat itu senantiasa mencari kesilapan teman dan kekurangan Iawannya. Sehingga bila datang seorang pendebat lain ke tempatnya lalu dicarinya orang yang dapat menerangkan rahasia hidup pendebat yang datang itu. Ditanyainya keburukan-keburukannya untuk menjadi bahan yang akan disiarkan dan ditonjolkan nanti apabila keadaan memerlukan.
Penyelidikan itu sampai kepada keadaan hidup si pendebat yang datang itu semasa kecil dan kekurangan-kekurangan yang ada pada badannya. Dengan demikian, diperolehnya kekurangan atau kecederaan tubuh seumpama bekas borok atau lainnya.
Kemudian, apabila dirasanya perlu, lalu dibentangkannya jika ada hubungannya dengan perdebatan. Hal itu dipandangnya baik untuk memperoleh sebab-sebab kemenangan. Dan tidak menjadi halangan, menerangkan hal tersebut dengan diselang-selangi penghinaan dan pengejekan, sebagaimana biasa dilakukan oleh pendebat-pendebat terkemuka yang terhitung tokoh-tokoh penting.

Di antara sifat-sifat yang jahat itu : perasaan gembira dengan kesusahan lawan dan perasaan susah dengan kegembiraan lawan.
Orang yang tidak menyukai pada saudaranya muslim apa yang disukainya pada dirinya sendiri, maka adalah dia jauh dari budi pekerti orang mu'min. Tiap-tiap orang yang mencari kemegahan dengan mengemukakan kelebihannya, maka pastilah menyenangkan baginya dengan timbul kesusahan bagi teman dan kawannya yang menjadi saingannya. Pertentangan bathin diantara mereka, samalah halnya dengan pertentangan bathin diantara wanita-wanita yang dimadukan. Maka sebagaimana seorang wanita yang. dimadukan, apabila melihat dari jauh saingannya, lalu gemetarlah sendi-sendi-nya dan pucatlah mukanya. Maka demikian pula halnya dengan orang yang berdebat itu, apabila melihat Iawannya lalu berubahlah warna mukanya dan kacaulah pikirannya. Seolah-olah dia melihat setan yang menggoda atau binatang buas yang menerpa.
Maka dimanakah sayang-menyayangi dan cinta-mencintai itu, yang berlakudiantara para alim ulama ketika berjumpa? Dan dimanakah persaudaraan, bertolong-tolongan dan senasib-sepenanggungan pada masa duka dan suka sepanjang riwayat yang diterima dari ulama-ulama yang terdahulu? Imam Asy-Syafi'i ra. pernah berkata : "Ilmu pengetahuan diantara orang-orang yang terkemuka dan berpikiran tinggi itu, adalah dalam bersilatur-rahmi yang sambung-menyambung".
Dari itu saya tidak mengerti, bagaimana mendakwakan diri mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi'i oleh segolongan manusia, di mana ilmu pengetahuan itu diantara mereka telah menjadi alat permusuh-an yang memutuskan silatur-rahmi? Mungkinkah tergambar sayang menyayangi diantara mereka, di samping mencari kemenangan dan kemegahan? Amat jauh panggang dari api! Waspadalah diri dari kejahatan yang mengakibatkan berbudi pekerti munafiq dan terlepas dari budi pekerti mu'min dan muttaqin.

Di antara sifat-sifat yang jahat itu : nifaq (sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam).

Tidak perlulah rasanya diterangkan dalil-dalil yang mencela sifat nifaq itu.
Orang-orang berdebat itu memerlukan kepada sifat nifaq. Karena apabila bertemu dengan lawan, pencinta-pencinta lawan dan golongan lawan, maka tak ada jalan lain, selain dari melahirkan kata pershahabatan dengan lisan, kata kasih-sayang dan memuji-muji kedudukan dan keadaan lawan.
Hal itu disadari oleh si pembicara dan yang dihadapkan pembicaraan itu kepadanya, bahkan oleh seluruh yang mendengar, bahwa itu bohong, dusta, nifaq dan zalim. Karena berkasih-sayang dengan lisan, berdendam-khasumat dengan hati. Berlindunglah kita dengan Allah dari sifat nifaq itu!.

Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم:

إذا تعلم الناس العلم وتركوا العمل وتحابوا بالألسن وتباغضوا بالقلوب وتقاطعوا في الأرحام لعنهم الله عند ذلك فأصمهم وأعمى أبصارهم
(Idzaa ta'allaman naasul 'ilma wa tarakul 'amala wa tahaabbuu bil alsuni wa tabaaghadluu bil quluubi wa taqaatha'uu fil arhaami la'anahumullaahu 'inda dzaalika fa-a-ehammahum wa a'maa abshaa-rahum.)
Ertinya :"Apabila manusia mempelajari ilmu dan meninggalkan amal, berka-sih-kasihan dengan lisan dan bermarah-marahan dengan hati, serta berputus-putusan silatur-rahmi, maka kenalak kutukan Allah ketika itu. Ditulikan telinganya dan dibutakan matanya. Hadits ini diriwayatkan Al-Hasan. Dan benarlah demikian dengan dipersaksikan keadaan itu!.
Diantara sifat-sifat yang jahat itu : menyombong, menolak kebenaran dan bersungguh-sungguh menantangnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang amat dimarahi oleh seorang pendebat ialah lahirnya kebenaran dari lidah Iawannya. Maka bagaimanapun kebenaran itu sudah terang ibarat matahari waktu siang, mau juga di tanking dan dilawannya dengan segala usaha dan kemungkinan yang ada, baik dengan penipuan, pengkhianatan dan kebusukan hati. Sehingga jadilah menantang kebenaran itu adat yang lazim bagi seorang pendebat. Bila saja didengarnya perkataan lawan, terus datang keinginannya menantang. Sampai hal itu melekat pada hatinya, tidak saja terhadap keterangan biasa, bahkan juga terhadap dalil dari Al-Quran dan kata-kata lain dari agama. Maka jadilah dalil-dalil itu berantakan satu sama lain.
Berdebat menghadapi yang batil itu harus dengan hati-hati. Nabi saw. berseru supaya meninggalkan perdebatan mengenai hal yang benar melawan yang batil.

Nabi sawصلى الله عليه وسلم Bersabda :

من ترك المراء وهو مبطل بنى الله له بيتا في ربض الجنة ومن ترك المراء وهو محق بنى الله له بيتا في أعلى الجنة
(Man tar akal miraa-a wabuwa mubthilun banallaahu lahu baitan fii rabadlil jannati wa man tar akal miraa-a wahuwa muhiqqun banallaahu lahu baitan fii a'-lal jannati).1
Ertinya :Barangsiapa meninggalkan perdebatan sedang dia di pihak yang batil, maka dtbangun Allah baginya sebuah rumah dalam perkampungan sorga. Dan barangsiapa meninggalkan perdebatan sedang dia di pihak yang benar, maka dibangun Allah baginya sebuah rumah dalam sorga tinggi".
Allah Ta'ala menyamakan antara orang yang mengada-adakan terhadapNya dengan kedustaan dan orang yang mendustakan kebenaran.

FirmanNya :
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُ
(Wa man adhlamu mimmanif taraa 'alallaahi kadziban au kadzdzaba bil haqqi lammaa jaa-ahu).
Ertinya :"Siapakah yang lebih besar kesalahannya dari orang-orang yang mengada-adakan kedustaan tentang Allah atau mendustakan kebenaran tatkala datang kepadanya (Al-Ankabut, ayat 68).
Dan firmanNya :

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَبَ عَلَى اللَّهِ وَكَذَّبَ بِالصِّدْقِ إِذْ جَاءَهُ
(Faman adhlamu mimman kadzaba 'alallaahi wa kadzdzaba bish-sbidqi idzjaa-ahu).

Ertinya :"Siapakah yang lebih besar kesalahannya dari orang yang berbuat kedustaan tentang Allah dan orang yang mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya!". (S-Zumar, ayat 32).

Diantara sifat-sifat yang jahat itu : ria', ingin memperlihatkan amalannya kepada orang banyak, berusaha menarik hati dan pandangan mereka kepadanya. Ria'adalah penyakit bathin yang amat berbahaya, dapat menjerumuskan ke dalam dosa besar, sebagaimana akan diterangkan nanti pada "Kitab Ria".
Seorang pendebat, tidaklah bermaksud, kecuali namanya muncul di muka umum. Lidah orang banyak lancar memujinya.
Inilah sepuluh perkara dari induk kekejian bathin, selain dari yang timbul secara kebetulan dari orang-orang di luar pendebat itu sendiri, yang merupakan permusuhan yang mengakibatkan pemukulan, penempelengan, pengoyakan kain, penarikan janggut, pemakian ibu-bapa, pengupatan guru dan tuduhan-tuduhan yang tegas me-nyakitkan hati. Mereka ini tidaklah terhitung dalam golongan orang yang masuk bilangan.
Sesungguhnya orang-orang yang terkemuka dan yang terkenal pintar dari mereka, tidaklah terlepas dari perkara yang sepuluh itu.
Benar, sebahagian dari mereka terpelihara dari beberapa sifat tadi, di samping ada pula yang tidak begitu jelas atau sangat jelas dengan sifat-sifat itu. Atau karena jauh dari kampungnya dan unsur-unsur kehidupannya, maka sifat-sifat itu berbeda antara satu sama lainnya.

Pendek kata, payahlah terlepas dari -sifat-sifat tersebut bagi siapa juapun dalam bentuknya yang bermacam-macam, melihat kepada tingkat orang itu sendiri. Kemudian dari sifat yang sepuluh tadi, masing-masing daripadanya bercabang pula kepada sepuluh yang lain yang tak kurang kejinya.
Kami tidak berpanjang kalam menyebut dan menguraikannya satu-persatu, seumpama keras hidung, marah, dendam, loba, ingin memperoleh harta dan kemegahan untuk tetap dalam kemenangan, bang ga, keras kepala, suka membesarkan orang kaya dan penguasa serta pulang-pergi menghadap dan mengambil hati mereka. Berlomba lomba dengan kecantikan kuda dan lain kendaraan serta pakaian yang terlarang. Suka menghina orang lain dengan keangkuhan dan kesombongan, turut campur barang yang tak perlu, banyak bicara, hilang rasa-takut, hilang gemetar dan belas-kasihan di dalam hati, dikuasai sifat lalai padanya. Sehingga diantara mereka yang mengerjakan shalat, tak tahu lagi tentang shalatnya, bacaannya dan dengan siapa dia sedang- bermunajat.
Dia tidak merasa khusyu' dalam hatinya, padahal umurnya telah dihabiskannya mempelajari ilmu pengetahuan yang dapat menolongkannya dalam perdebatan, ilmu mana tak ada gunanya di akhirat. Seumpama pengetahuan membaguskan susunan kata, dengan sajak, dengan menghafal kata-kata yang ganjil dan lain-lain sebagainya yang tak terhitung banyaknya.
Orang-orang yang suka berdebat itu, berlebih-kurang tingkat dari sifat-sifat tersebut. Bermacam-macam tingkat dan derajatnya. Meskipun yang terkuat beragama dan terpintar diantara mereka, tidak juga terlepas dari keseluruhan unsur-unsur budi-pekerti. Hanya usahanya ada untuk menyembunyikannya atau berjuang menjauhkan diri dari padanya.
Dan ketahuilah bahwa budi pekerti yang rendah tadi, melekat juga pada orang yang bekerja dalam lapangan memberi nasehat dan pelajaran apabila tujuannya mencari kerelaan orang, menegakkan kemfegahan, memperoleh kekayaan dan kemuliaan.
Melekat juga pada orang yang bekerja dalam lapangan pengetahuan madzhab dan fatwa-fatwa, apabila tujuannya ingin menjadi kadli, menjadi penguasa harta wakaf dan terkemuka dari teman.
Pendek kata, kerendahan budi itu menimpa kepada tiap-tiap orang yang menuntut ilmu bukan karena mengharap pahala daripada Allah Ta'ala di akhirat Maka ilmu itu tidak saja menyianyiakan orang yang berilmu itu, bahkan juga membinasakannya atau menghidupkannya sepanjang zaman.

Karena itu, bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
أشد الناس عذابا يوم القيامة عالم لا ينفعه الله بعلمه
(Asyaddun naasi 'adzaaban yaumal qiyaamati 'aalimun laa yanfa-'uhullaahu bi'ilmihi).
Ertinya :"Manusia yang sangat menderita adzab pada hari qiamat,ialah orang yang berilmu yang tiada bermanfa'at dengan ilmunya
Maka ilmu itu telah memberi melarat kepada yang berilmu itu sendiri, di samping tidak ada gunanya. Mudah-mudahan kiranya terlepaslah dari keadaan yang tersebut dan dapatlah orang yang berilmu itu, memperoleh manfa'at dengan ilmu pengetahuannya!.
Sesungguhpya, bahaya ilmu itu besar. Orang yang mencari ilmu, adalah ibarat orang yang mencari kekayaan yang abadi dan kesenangan yang tidak kunjung hilang. Maka tak terlepaslah ia dari kekayaan atau kebinasaan, seperti orang yang mencari kekayaan duniawi. Kalau kebetulan tidak diperolehnya harta, jangan diharap dia terpelihara dari kehinaan, bahkan —tidak mustahil—lebih buruk dari itu lagi.
Jika anda mengatakan, bahwa ada gunanya diberi kesempatan mengadakan perdebatan. Yaitu membawa manusia suka menuntut ilmu. Karena kalaulah bukan karena cinta menjadi kepala, maka ilmu itu telah terbenam.
Benar perkataan anda itu dari satu segi. Tetapi faedahnya tidak ada. Anak kecilpun tidak suka pergi ke sekolah bila tidak dijanjikan bermain bola, bermain anggardan bermain mengadu pipit. Keadaan yang demikian, tidaklah menunjukkan bahwa kesukaan yang seperti itu, kesukaan yang terpuji. Dan kalaulah tidak karena suka menjadi kepala, lalu ilmu pengetahuan itu terbenam. Itupun tidak menunjukkan bahwa mencari kedudukan kepala itu dapat melepaskan diri dari kebinasaan.

Tetapi termasuklah diantara orang yang diterangkan

Nabi صلى الله عليه وسلمdengan sabdanya
إن الله ليؤيد هذا الدين بأقوام لا خلاق لهم
(Innallaaha layuayyidu haadzad diina).

Ertinya :"Sesungguhnya Allah akan menguatkan agama ini dengan kaum (orang-orang )yang tak berbudi.
Dan Sabdanya Dalam Hadis Lain

وقال صلى الله عليه وسلم: إن الله ليؤيد هذا الدين بالرجل الفاجر

Sesungguhnya Allah Akan menguatkan Agama ini dengan orang zalim

Orang yang mencari kedudukan kepala bagi dirinya sendiri adalah binasa. Kadang-kadang ia dapat memperbuat perbaikan bagi orang lain, kalau ia mengajak kepada meninggalkan dunia. Yaitu orang yang dhahimya sebagai seorang ulama salaf (ulama terdahulu), tetapi bathinnya, ia menyembunyikan tujuannya mencari kemegahan.

Orang yang seperti itu, adalah seumpama iilin yang membakar dirinya sendiri dan menerangi orang lain. Kebaikan yang diperoleh orang lain, adalah terletak dalam kebinasaannya.
 
Maka apabila orang yang berilmu itu memanggil manusia untuk mencari dunia, adalah seumpama api pembakar, yang membakar dirinya sendiri dan lainnya.
Dari itu, maka ulama ada tiga, adakalanya membinasakan diri sendiri dan orang Iain, yaitu mereka yang berterus-terang mencari dunia dan memusatkan seluruh perhatiannya kepada dunia. Adakalanya membahagiakan dirinya sendiri dan orang lain, yaitu mereka yang memanggil manusia ke jalan Allah, dhahir dan bathin. Dan adakalanya membinasakan dirinya dan membahagiakan orang lain, yaitu orang yang memanggil manusia ke jalan akhirat, tetapi dia sendiri menolak dunia pada dhahirnya, sedang pada bathinnya bertujuan mempengaruhi orang banyak dan menegakkan kemegahan diri.
Maka lihatlah! Dalam bahagian manakah anda berada dan orang yang menjadi tanggunganmu?
Janganlah anda menyangka bahwa Allah Ta'ala menerima ilmu dan amal dari orang yang tak ikhlas kepadaNya. Akan diterangkan kepadamu nanti pada Kitab Ria dan dalam seluruh Bahagian Yang Membinasakan. Sehingga segala keragu raguan hilang dari hati nuranimu, Insya Allah!.

KITAB ILMU IHYA ULUMUDDIN : SEBAB MANUSIA SUKA KEPADA ILMU KHILAFIYAH (SIRI 9)

IMAM AL GHAZALI DALAM KITAB IHYA ULUMUDDIN

Bab Keempat Mengenai Sebab Manusia Suka Kepada Ilmu Khilafiyah 

Bab Keempat: Mengenai sebabnya manusia suka kepada ilmu khilafiah.Penghuraian bahaya perdebatan dan pertengkaran. Syarat-syarat pembolehannya.

Ketahuilah bahwa jabatan khalifah sesudah Nabi صلى الله عليه وسلم dipegang oleh khulafa' rasyidin dengan petunjuk Allah (yaitu : Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Mereka adalah imam, ahli ilmu dan paham segala hukum Allah. Bebas mengeluarkan fatwa dan sanggup menyelesaikan segala peristiwa hukum. Tak usah meminta bantuan ahli-ahli hukum Islam (fuqaha'). Kalau pun ada maka amat jarang sekali, yaitu mengenai peristiwa-peristiwa yang harus dimusyawa-rahkan.

Dari itu, maka para alim ulama dapat menghadapkan perhatian dan segala kesungguhannya kepada ilmu akhirat. Menolak mengeluarkan fatwa dan apa yang ada hubungannya dengan hukum duniawi. Mereka menghadapkan diri dengan kesungguhan yang maksi-mal kepada Allah Ta'ala, sebagaimana dapat dibaca dalam riwayat hidup para alim ulama itu sendiri.
Sewaktu jabatan khalifah jatuh ke tangan golongan-golongan sesudah khulafa rasyidin itu, yang mengendalikan pemerintahan tanpa hak dan kesanggupan dengan ilmu yang berhubungan dengan fatwa dan hukum maka terpaksalah meminta tolong kepada para fuqaha' dan mengikut-sertakan mereka dalam segala hal untuk meminta fatwa waktu menjalankan hukum.

Dalam pada itu, masih ada juga diantara para ulama tabi'in, yang tetap dalam suasana yang lampau, berpegang teguh kepada tradisi agama, tidak melepaskan ciri-ciri ulama salaf (ulama terdahulu). Mereka ini bila diminta, lalu melarikan diri dan menolak. Sehingga terpaksalah para khalifah itu melakukan paksaan dalam pengang-katan anggota kehakiman dan pemerintahan.

Maka kelihatanlah kepada rakyat umum kebesaran ulama dan perhatian para pembesar dan wali negara kepada mereka. Sedang dari pihak alim ulama itu sendiri, menolak dan men jauh kan diri. Lalu rakyat umum tampil menuntut ilmu pengetahuan, ingin memperoleh kemudahan dan kemegahan mereka bertekun mempelajari ilmu yang berhubungan dengan fatwa dan hukum. Kemudian datang memperkenalkan diri kepada para wali negeri, memohonkan kedudukan dan jabatan.

Diantaranya ditolak dan ada juga yang diterima. Yang diterima tidak luput dari kehinaan meminta-minta dan mohon dikasihani. Maka jadilah para fuqaha" itu meminta sesudah tadinya diminta. Hina dengan menyembah-nyembah kepada pembesar sesudah tadinya mulia dengan berpaling dari penguasa-penguasa itu. Yang terlepas dari keadaan tersebut ialah orang-orang dari para ulama agama Allah yarig memperoleh taufiq dari padaNya.

Amat besar perhatian pada masa itu kepada ilmu fatwa dan hukum karena sangat diperlukan, baik didaerah-daerah atau di pusat pemerintahan.Sesudah itu lahirlah dari orang-orang terkemuka dan pembesar-pem besar golongan yang suka memperhatikan percakapan manusia tentang kaidah-kaidan kepercayaan dan tertarik hatinya mendengar dalil-dalil yang dikemukakan. Maka timbullah kegemaran bertukar-pikiran dan berdebat dalam ilmu kalam. Perhatian orang banyak-pun tertumpah kepada ilmu itu. Lalu diperbanyak karangan dan disusun cara berdebat. Dan dikeluarkanlah ulasan tentang mana kata-kata yang bertentangan.

Mereka mendakwakan bahwa tujuannya ialah mempertahankan agama Allah dan Sunnah Nabi saw. serta membasmi bid'ah sebagaimana orang-orang sebelum mereka ini, mendakwakan untuk agama dengan bekerja dalam lapangan fatwa dan mengurus peri hal hukum. Karena belas-kasihan kepada makhluk Tuhan dan untuk pengajaran kepada mereka.

Sesudah itu muncul lagi, dari kalangan terkemuka orang-orang yang memang tidak benar terjun ke dalam ilmu kalam dan membuka pintu perdebatan didalamnya. Sebab telah menimbulkan kefanatik-an yang keji dan permusuhan yang meluap-luap, yang membawa kepada pertumpahan darah dan penghancuran negeri. Tetapi golongan ini tertarik kepada bertukar-pikiran tentang fiqih dan khusus memperbandingkan mana yang lebih utama diantara madzhab Syafi'i dan madzhab Abu Hanifah ra.

Maka manusia-pun meninggalkan ilmu kalam dan bahagian-bahagi-annya, terjun ke dalam masalah-masalah khilafiah antara aliran Syafi'i dan Abu Hanifah khususnya. Dan tidak begitu mementingkan apakah yang terjadi antara malik, Sulfan Ats-Tsufridan Ahmad ra. serta ulama-ulama lainnya.

Mereka mendakwakan bahwa maksudnya adalah mencari hukum agama secara mendalam, menetapkan alasan-alasan madzhab dan memberikan kata peng-antar bagi pokok-pokok fatwa. Lalu diperbanyak karangan dan pemahaman hukum, disusun bermacam-macam cara berdebat dan mengarang.

Keadaan itu djteruskan mereka sampai sekarang. Kami tidak dapat menerka, apa yang akan ditaqdirkan Tuhan sesudah kami, pada masa-masa yang akan datang,

Maka inilah kiranya penggerak kepada orang sampai bertekun dalam masalah khilafiah dan perdebatan. Tidak lain!

Kalaulah condong hati penduduk dunia untuk berselisih dengan imam yang lain dari imam-imam tadi atau kepada ilmu yang lain dari bermacam-macam ilmu pengetahuan, maka golongan yang tersebut di atas akan tertarik juga dan tidak tinggal diam dengan alasan bahwa apa yang dikerjakannya itu adalah ilmu agama dan tujuannya tak lain dari pada mendekatkan diri kepada Tuhan seru sekalian alam.
PENJELASAN: Penipuan tentang samanya perdebatan itu dengan musyawarah para shahabat dan pertukar-pikiran ulama salaf.

Ketahuilah bahwa golongan tersebut, kadang-kadang menjerumus-kan manusia ke dalam pahamnya dengan mengatakan : "Bahwa maksud kami dari perdebatan itu mencari kebenaran supaya kebenaran itu nyata, karena kebenaranlah yang dicari. Bertolong-tolong-an membahas ilmu dan melahirkan isi hati itu, ada faedah dan gunanya. Dan begitulah 'adat kebiasaan para shahabat ra. dalam bermusyawarah yang diadakan mereka seperti musyawarah mengenai masalah nenek laki-laki, saudara laki-laki (dalam soal warisan), hukuman minum khamar, kewajiban membayar atas imam (kepala pemerintahan) apabila iabersalah. Seperti kejadian seorang wanita keguguran kandungannya karena takut kepada Umar ra. dan seperti masalah pusaka dan lainnya. Dan seperti persoalan-persoalan yang diterima dari Asy-Syafi'i, Ahmad, Muhammad bin Al-Hasan, Malik, Abu Yusuf dan lainnya dari para ulama.

Kiranya dirahmati Allah mereka itu sekalian!".

Akan tampak kepada anda penipuan itu, dengan apa yang akan saya terangkan ini. Yaitu, benar bahwa bertolong-tolongan mencari kebenaran itu sebahagian dari agama. Tetapi mempunyai syarat dan tanda yang delapan macam
PERTAMA : Bahwa tidak bekerja mencari kebenaran yang termasuk dalam fardlu-kifayah itu, orang-orang yang belum lagi menyelesaikan fardlu 'ain. Dan orang yang masih berkewajiban dengan sesuatu fardiu 'ain, lalu mengerjakan fardlu-kifayah dengan dakwa-an bahwa maksudnya benar, adalah pendusta. Contohnya seumpama orang yang meninggalkan shalatnya sendiri, bekerja menyediakan kain dan menjahitkannya dengan mengatakan : "Bahwa maksud ku hendak menutup aurat orang yang bershalat telanjang dan tidak memperoleh kain".

Penjawaban itu mungkin cocok dan bisa saja terjadi, seumpama apa yang didakwakan oleh ahli fiqih, bahwa kejadian hal-hal yang luar biasa, yang menjadi bahan pembahas dan perselisihan itu, bukan tidak mungkin.

Yang jelas, orang-orang yang 'asyik bertengkar itu, menyianyiakan urusan yang telah disepakati atas fardlu 'ainnya. Orang yang dihadapkan kepadanya untuk mengembalikan barang simpanan sekarang juga, lalu tegak berdiri bertakbir melakukan shalat suatu ibadah yang mendekatkan manusia kepada Tuhannya,adalah berdosa.

Jadi tidak cukup untuk menjadi seorang yang ta'at, sebab perbuat-annya termasuk perbuatan ta'at, sebelum dijaga padanya waktu, syarat dan tata-tertib pada mengerjakannya.

KEDUA : bahwa tidak melihat fardlu-kifayah itu lebih penting dari perdebatan. Jika ia melihat ada sesuatu yang lebih penting, lalu mengerjakan yang lain maka berdosalah ia dengan sikapnya itu. Contohnya 
seumpama orang yang melihat serombongan orang ke-hausan yang hampir binasa dan tak ada yang menolongnya. Orang tadi sanggup menolong dengan memberikan air minum. Tetapi dia pergi mempelajari berbekam dengan mendakwakan bahwa pelajaran berbekam itu termasuk fardlu-kifayah dan kalau kosong negeri dari pengetahuan berbekam maka akan binasalah manusia. Dan kalau dikatakan kepadanya bahwa dalam negeri banyak ahli bekam dan lebih dari cukup lalu jawabnya bahwa-ia 'tidak dapat merobah pekerjaan berbekam menjadi tidak fardiu kifayah lagi. Maka peristiwa orang yang pergi mempelajari berbekam dan menyia-nyiakan nasib orang yang menghadapi bahaya kehausan itu, dari orang muslim in, samalah halnya dengan peristiwa orang yang 'asyik mengadakan perdebatan sedang dalam negeri terdapat banyak fardiu kifayah yang disia-siakan, tak ada yang mengerjakannya.

Mengenai fatwa maka telah bangun segolongan manusia melaksanakannya.

Tak ada satu negeripun yang didalamnya fardiu kifayah, yang tidak disia-siakan. Dan para ulama fiqih tidak menaruh perhatian kepadanya. Contoh yang paling dekat ialah ilmu kedokteran. Hampir seluruh negeri tidak didapati seorang dokter muslim yang boleh diperpegangi kesaksiannya mengenai sesuatu yang dipegang pada agama atas adpis dokter. Dan tak ada seorangpun dari pada ahli fiqih yang suka bekerja dalam lapangan kedokteran.

Begitu pula amar ma'ruf dan nahi munkar, termasuk dalam fardu kifayah. Kadang-kadang seorang pendebat dalam majlis perdebatan melihat sutera dipakai dan dipasang pada tempat duduk. Dia tinggal berdiam diri dan terus berdebat dalam persoalan, yang sekalipun tak pernah terjadi. Kalaupun terjadi maka bangunlah serombongan fuqaha' menyelesaikannya. Kemudian mendakwakan bahwa maksudnya dengan fardiu kifayah tadi, ialah mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.

Diriwayatkan Anas ra. bahwa orang bertanya kepada Nabi صلى الله عليه وسلم
يا رسول الله متى يترك الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر

(Mataa yutrakul amru bilma'ruufi wannahyu 'anil munkar)

 Ertinya "Pabilakah amar ma'ruf dan nahi munkar itu ditinggalkan orang?".
Maka menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم 

فقال عليه السلام إذا ظهرت المداهنة في خياركم والفاحشة في شراركم وتحول الملك في صغاركم والفقه في أراذلكم

Ertinya :"Apabila telah lahir sifat berminyak air dalam kalangan orang pilihan dari kamu dan perbuatan keji dalam kalangan orang jahat dari kamu dan berpindah pemerintahan dalam kalangan orang-orang kecil dari kamu dan fiqih (hukum) dalam kalangan orang-orang yang hina dari kamu ".

KETIGA : bahwa adalah seorang pendebat itu mujtahid, berfatwa dengan pendapatnya sendiri, tidak dengan madzhab Asy-Syafi'i, Abi Hanifah dan lainnya. Sehingga apabila lahirlah kebenaran dari madzhab Abi Hanifah maka ditinggalkannya yang sesuai dengan pendapat Asy-Syafi'i dan berfatwalah dia menurut kebenaran itu seperti yang diperbuat para shahabat ra. dan para imam.

Adapun orang, yang tidak dalam tingkat ijtihad dan memang begi-tulah keadaan orang sekarang maka berfatwalah dia dalam persoal-an yang ditanyakan kepadanya menurut madzhab yang dianutnya. Kalau ternyata lemah madzhabnya maka tak boleh ditinggalkannya.

Dari itu, apakah faedahnya ia mengadakan perdebatan, sedang madzhabnya sudah dikenal dan dia tak boleh berfatwa dengan yang lain?

Kalau ada yang sulit, dia harus mengatakan : "Semoga ada jawaban tentang ini pada yang empunya madzhabku. Karena aku tidak berdiri sendiri dengan berijtihad pada pokok-pokok agama".

Kalau ada pembahasannya mengenai persoalan yang mempunyai dua pendapat atau dua kata (qaul) dari yang empunya madzhab itu sendiri, maka dalam hal ini dapat meragukan baginya. Mungkin dia berfatwa dengan salah satu dari dua pendapat itu, karena sepan-jang penyelidikannya, ia coridong kepada yang satu itu. Maka tak adalah sekali-kali jalan untuk berdebat dalam hal tersebut.

Tetapi mungkin pula, ditinggalkannya persoalan yang mempunyai dua pendapat atau kata itu dan dicarinya persoalan yang ada perselisihan pendapat padanya sudah pasti. 
   
KEEMPAT : bahwa tidak diperdebatkan selain dalam persoalan yang terjadi atau biasanya akan terjadi dalam masa dekat. Karena para sbahabbt ra. tidak mengadakan musyawarah selain dalam persoalan yang selalu terjadi atau biasanya terjadi seumpama persoalan warisan (faraidl).

Tetapi, kami tidak melihat tukang berdebat itu mementingkan pengecaman dengan mengeluarkan fatwa tentang persoalan yang Bering terjadi. Akan tetapi mereka memukul tambur dengan suara nyaring, supaya lingkaran pertengkaran itu semakin meluas dengan tak memikirkan apa yang akan terjadi.

Kadang-kadang ditinggalkan mereka persoalan yang banyak terjadi itu dengan mengatakan  "Itu soal kabar angin atau soal yang diketepikan yang tak layak diperdengarkan".

Yang mengherankan, ialah tujuan mereka mencari kebenaran. Tetapi persoalan yang semacam itu ditinggalkan, beralasan kabar angin. Dan pada kabar angin tak dapat diperoleh kebenaran. Atau persoalan itu tak layak diketengahkan ke muka umum. Mengenai hal ini, tak usah kami perpanjang kalam. Menuju kepada kebenaran biarlah dengan kata yang ringkas, lekas menyampaikan kepada maksud, ttdak berpanjang-panjang.

KELIMA : bahwa perdebatan itu lebih baik diadakan pada tempat yang sepi dari pada dihadapan orang ramai dan di muka para pem-besar dan penguasa-penguasa. Pada tempat yang sepi, pemikiran itu dapat dipusatkan dan lebih layak untuk memperoleh kejernihan hati, pikiran dan kebenaran.

Kalau di muka umum, dapat menggerakkan ria, mendorong masing-masing pihak untuk menjadi pemenang, benar dia atau salah.

Anda tahu bahwa orang suka ke tempat umum dan dihadapan orang banyak, tidaklah karena Allah Ta'ala. Kalau di tempat yang sepi, masing-masing mau memberikan kesempatan waktu kepada kawan-nya untuk berpikir dan berdiam diri. Kadang-kadang dimajukan saran dan dibiarkan tidak menjawab dengan cepat.
Tetapi bila di muka umum atau dihadapan pertemuan besar, masing-masing pihak tidak mau meninggalkan kesempatan, sehingga mau dia saja yang berbicara.

KEENAM : bahwa dalam mencari kebenaran itu, tak ubahnya seperti orang mencari barang hilang. Tak berbeda antara diperolehnya sendiri atau orang lain yang menolongnya.Dia memandang temannya berdebat itu penolong, bukan musuh. Diucapkannya terima kasih, waktu diberitahukannya kesalahan dan dilahirkannya kebenaran.

Seumpama kalau dia mengambil jalan mencari barangnya yang hilang, lalu temannya memberitahukan bahwa barang yang hilang itu berada pada jalan yang lain, Tentu akan diucapkannya terima kasih, bukan dimakinya. Tentu akan dimuliakannya dan disambutnya dengan gembira.

Demikianlah adanya musyawarah para shahabat Nabi saw. itu. Seorang wanita pernah membantah keterangan Umar ra. dan menerangkan kepadanya yang benar, di waktu Umar sedang berpidato dihadapan rakyat banyak. Maka menjawab Umar : "Benar wanita itu dan salah laki-laki ini!".

Bertanya seorang laki-laki kepada Ali ra. Lalu Ali memberi penjawaban atas pertanyaan itu. Lalu menyahut laki-laki tadi : "Bukan begitu wahai Amirul mu'-minin. Tetapi bagini.............begini.........................!". Maka menjawab Ali : "Anda benar dan aku salah. Di atas tiap-tiap yang berilmu, ada lagi yang lebih berilmu".

Ibnu Mas'ud menyalahkan Abu Musa Al-Asy'ari ra. dalam suatu persoalan. Maka berkata Abu Musa : "Janganlah kamu bertanya kepadaku tentang sesuatu, selama tokoh ini masih dihadapan kita". Persoalan itu yaitu Abu Musa ditanyakan tentang orang yang ber-perang sabilullah lalu tewas, maka menjawab Abu Musa : "Masuk sorga". Abu Musa ketika itu menjadi amir di Kufah.

Tatkala mendengar pfinjawaban Abu Musa tadi, maka bangun Ibnu Mas'ud seraya berkata : "Ulang lagi pertanyaan tersebut kepada Amir itu, barangkali dia belum mengerti!".

Yang hadlir mengulangi lagi pertanyaan di atas dan Abu Musa menjawab pula seperti tadi. Maka berkata Ibnu Mas'ud : "Saya mengatakan bahwa jika orang itu tewas maka ia memperoleh kebenaran, maka dia dalam Sorga".

Maka menjawab Abu Musa : "Yang benar ialah yang dikatakan Ibnu Mas'ud".
Demikianlah kiranya keinsyafan bagi orang yang mencari kebenaran.
Kalau umpamanya seperti itu sekarang dikatakan kepada seorang riya dengan mengatakan : "Tak perlu dikatakan, -diperolehnya kebenaran, sebab hal itu semua orang sudah tahu". 

Lihatlah tukang-tukang berdebat masa kita sekarang ini, apabila kebenaran itu datang dari mulut lawannya, maka hitamlah mukanya. Dia merasa malu din berusaha sekuat tenaganya, menentang kebenaran tadi. Dan betapa pula dicacinya terus-menerus selama hidup-nya, orang yang telah mematahkan keterangannya itu. Kemudian tidak pula malu menyamakan dirinya dengan para shahabat ra. tentang bekerja sama dan tolong-menolong mencari kebenaran.

KETUJUH : Jangan dilarang teman yang berdebat, berpindah dari satu dalil ke lain dalil dan dari satu persoalan ke lain persoalan. Demikianlah adanya perdebatan ulama salaf pada masa yang lampau.

Tetapi sekarang lain, dari mulut orang berdebat itu meluncur seluruh bentuk pertengkaran yang tidak-tidak, baik terhadap dirinya sendiri atau terhadap orang Iain. Seumpama katanya  "Ini tidak perlu saya sebutkan. Itu bertentangan dengan keterangan saudara yang pertama. Dari itu tidak diterima".

Sebenarnya, kembali kepada kebenaran adalah merombak yang batil dan wajib diterima. Anda melihat sekarang seluruh majelis perdebatan, habis waktunya menolak dan bertengkar, sampai memberi keterangan dengan alasan-alasan sangkaan.

Untuk menolak alasan tadi, lalu yang sepihak lagi bertanya : "Apa keterangannya, maka untuk menetapkan hukum masalah itu, didasarkan kepada alasan tadi?".
Pihak pertama menolak dengan mengatakan : "Itulah yang ada padaku. Kalau ada pada saudara yang lebih terang dan kuat dari itu, coba terangkan supaya saya dengar dan saya perhatikan!".

Maka terus-meneruslah orang itu bertengkar dan menyebut kata-kata yang lain lagi yang tidak saya sebutkan tadi, seumpama : "Saya tahu, tetapi tidak mau saya sebutkan, sebab tidak perlu saya menyebutkannya!

Yang sepihak lagi mendesak untuk diterangkan apa yang disebutnya itu. Tetapi pihak yang kedua ini tetap menolak.Berjele-jele majelis perdebatan itu dengan bersoal dan berjawab. 

Pihak yang mengatakan bahwa dia tahu,'tetapi tidak bersedia menerangkannya, beralasan tidak perlu, adalah bohong, membohongi agama. Karena bila sebenarnya ia tidak tahu, tetapi mengatakan tahu supaya lawannya lemah, maka dia itu adalah seorang fasiq pendusta, durhaka kepada Allah dan berbuat yang dimarahi Allah dengan mengatakan tahu, padahal tidak.

Kalau benar ia tahu, maka dia menjadi seorang fasiq karena menyembunyikan apa yang diketahuinya dari ilmu agama, sedang saudaranya seagama telah bertanya untuk mengerti dan mengetahuinya. Kalau saudara seagama itu seorang yang berilmu, maka dia dapat kembali kepada kebenaran. Kalau seorang yang berilmu kurang, maka lahirlah kekurangannya dan dapatlah ia keluar dari kegelapan bodoh kepada sinar ilmu yang terang-benderang.

Dan tak khilaf lagi bahwa melahirkan apa yang $iketahui dari ilmu agama setelah ditanyakan, adalah wajib dan perlu.

Dari itu, katanya : "Tidak perlu bagi saya menyebutkannya" adalah berlaku perkataan itu dalam perdebatan yang diadakan untuk memenuhi hawa nafsu dan ingin mencari jalan untuk melepaskan diri. Kalau bukan demikian, maka menerangkan yang diketahui itu adalah wajib sepanjang agama. Maka dengan enggannya menerangkan, jadilah dia pendusta atau fasiq.

Perhatikanlah musyawarah para shahabat ra. dan bersoal jawab para ulama salaf! Adakah anda mendengar semacam itu? Adakah dilarang orang berp indah dari satu dalil ke dalil yang lain, dari qias ke perkataan shahabat dan dari hadits ke ayat? Tidak, bahkan seluruh perdebatan mereka termasuk ke dalam golongan-tadi. Karena mereka menyebutkan apa yang terguris di hati, dengan tidak sembunyi-sembunyi. Dan masing-masing mendengamya dengan penuh perhatian.

KEDELAPAN : bahwa perdebatan itu diadakan dengan orang yang diharapkan ada faedanya bagi orang itu, seperti orang yang sedang menuntut ilmu.

Biasanya sekarang, orang menjaga jangan sampai berdebat dengan tokoh-tokoh yang terkemuka dalam lapangan ilmu pengetahuan. Karena takut nanti lahir kebenaran dari mulut mereka. Dari itu dipilih dengan orang yang lebih rendah ilmunya, karena mengharap yang batil itu bisa laris. 

Di balik syarat-syarat yang tersebut, ada lagi teberapa syarat yang penting juga. Tetapi dengan syarat yang delapan itu, cukuplati kiranya memberi petunjuk kepada anda, siapa kiranya yang berdebat karena Allah dan siapa yang berdebat karena sesuatu maksud.

Ketahuilah secara keseluruhan, bahwa orang yang tidak mendebati setan, di mana setan itu ingin menguasai hatinya dan musuhnya yang terbesar, yang senantiasa mengajaknya kepada kebinasaan, lalu tampil mendebati orang lain mengenai masalah-masalah, di mana seorang mujtahid memperoleh pahala atau mendapat bahagian dari orang yang memperoleh pahala, maka orang tersebut membawa tertawaan setan dan menjadi ibarat bagi orang-orang yang ikhlas, Karena itu, waspadalah terhadap tipuan setan, yang selalu berusaha menjerumuskan manusia ke dalam kegelapan bahaya yang akan kami perinci dan menerangkan penjelasannya.

Kepada Allah Ta'ala kita meminta pertolongan yang baik serta taufiq!.  

FUTUHUL GHAIB KE 34 : JANGAN MENYALAHKAN TUHAN MU ( SYAIKH ABDUL QADIR AL JILANI)

AJARAN KETIGAPULUH EMPAT

JANGAN MENYALAHKAN TUHAN MU

Sungguh mengherankan, jika kamu membuat Tuhanmu murka, menyalahkan-Nya atau mengatakan bahwa Dia tidak adil, merendahkan pemberian atau menyingkirkan marabahaya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa setiap kejadian atau peristiwa itu telah ditetapkan masanya dan setiap marabahaya itu telah ditetapkan temponya yang tidak boleh ditangguhkan atau dipercepat: Masa bahaya tidak dapat ditukar dengan masa aman dan masa aman pun tidak dapat ditukar dengan masa huru-hara. Oleh karena itu, hendaklah kamu bersopan-santun, diam dan jangan banyak bicara, bersabar, berserah diri sepenuhnya dengan tulus ikhlas kepada-Nya, menyesuaikan kehendakmu dengan kehendak-Nya dan bertobat kepada Allah karena kesalahan yang telah kamu perbuat.
Manusia dan mahlukalah yang tunduk takluk kepada Allah, dan bukannya Allah yang tunduk takluk kepada manusia dan mahluk. Kembalilah kepada manusia untuk meminta kepadanya, dia akan memberikan permintaannya, tetapi tidak musti Allah akan memberi permintaan hamba-hamba-Nya. Kembalilah kepada Allah, baik Dia akan mengabulkan maupun tidak mengabulkan permintaan hambahamba-Nya. Dia-lah Yang Maha Agung dan Maha Kaya, dan Dia-lah Yang Maha Berdiri Sendiri, tanpa mempunyai sekutu. Dia menjadikan sesuatu dan Dia menentukan kebaikan atau kejahatan. Dia mengetahui awal dan akhir serta tujuan mahluk. Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung itu Maha Bijaksana di dalam berbuat dan Maha Tegas di dalam membuat peraturan, tidak ada yang berlawanan di dalam perbuatan-Nya itu. Dia tidak menjadikan sesuatu dengan sia-sia atau tanpa tujuan. PekerjaanNya bukan merupakan permainan. Tidaklah wajar, jika di dalam perbuatan-Nya itu terdapat cacad atau cela, karena Dia Maha Bijaksana dan Maha Tahu. Hendaklah kamu bersabar menanti, jika kamu belum dapat menyesuaikan dirimu dengan Dia, belum dapat menunjukkan penyerahanmu kepada-Nya dan mem-fana’-kan dirimu kepada-Nya, sampai takdir Illahi datang pada tempo yang telah cukup dan masa bertukarpun telah datang bagaikan siang berganti malam atau musim panas berganti musim dingin.
Jika kamu meminta cahaya siang di waktu malam, tentulah kamu tidak akan diberi. Malam tetap malam, tidak ada cahaya siang di waktu itu. Oleh karena itu, sabarlah menanti sampai malam itu berakhir dan siangpun datang. Demikian sebaliknya, jika pada waktu siang kamu meminta kegelapan malam, maka tidak mungkin kamu akan mendapatkannya. Sebab, siang itu tetap siang, dan kamu meminta bukan pada tempatnya. Maka, hendaklah kamu selalu ridha, sabar dan berpegang teguh kepada Tuhan Yang Maha Tahu itu. Percayalah bahwa apa yang telah ditetapkan untuk kamu itu pasti akan kamu dapatkan dan apa saja yang telah ditetapkan untuk orang lain itu pasti tidak akan pernah kamu dapatkan. Demikianlah yang aku percayai, kecuali jika kamu meminta kepada Allah dengan mengharapkan pertolongan-Nya dengan shalat dan berdoa bersungguh-sungguh, menyembah-Nya, patuh kepada-Nya dan menjalankan perintah-Nya, seperti firman-Nya,

 “Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS 40:60)

Dan firman-Nya pula,

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS 4:32)

Dan masih banyak lagi keterangan-keterangan lainnya, baik dari ayat-ayat maupun sabdasabda Nabi. Jika kamu berdoa kepada-Nya, maka Dia akan mengabulkan doamu itu dalam tempo yang telah ditentukan-Nya dan di akhir tempo itu. Itupun bila Dia menghendaki dan ada kebaikan bagi kamu di dalam hal ini, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Atau karena semua itu bertepatan dengan takdir-Nya dan di ujung waktu yang telah ditetapkan oleh-Nya.
Janganlah kamu menyalahkan Tuhanmu jika permohonanmu lambat Dia terima. Dan janganlah kamu bosan untuk meminta, kerena sebenarnya kamu tidak akan merasa untung dan juga tidak akan merugi. Jika permintaan kamu itu tidak diterima di dunia ini, maka Allah akan memenuhinya di akhirat kelak. Ada suatu hadits Nabi yang menyatakan bahwa di hari kebangkitan kelak, hamba-hamba Allah akan mendapatkan buku yang memuat catatan-catatan tentang perbuatan hamba-hamba-Nya. Dalam buku itu diterangkan bahwa ada perbuatan baik yang tidak diketahui oleh hamba itu. Maka ketika itu akan diberitahukan kepadanya bahwa balasan yang diterimanya ini adalah sebagai ganti dari doanya di dunia yang ditakdirkan untuk tidak diterimanya. Sekurang-kurangnya, hamba itu harus selalu ingat kepada Allah, berpegang teguh kepada-Nya dan bertauhid kepada-Nya sambil memohon kepada-Nya. Janganlah kamu meminta kepada mahluk, tetapi memintalah kepada Allah. Oleh karena itu, dalam pertukaran siang dengan malam, sehat dengan sakit, waktu perang dengan waktu aman atau waktu senang dengan waktu susah, kamu berada dalam salah satu di antara dua kedaan di bawah ini :
1. Baik kamu memohon, tetap berpuas hati, rela dan menyerah kepada perbuatan Allah seperti mayat yang sedang dimandikan, atau seperti bayi yang berada di pangkuan ibunya dan atau seperti bola yang berada di kaki pemain. Orang seperti ini, dengan sukarela, selalu mengikuti apa yang ditakdirkan Tuhan. Jika kebaikan datang kepadanya, maka ia bersyukur, sebagaimana firman-Nya,

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema’lumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat-Ku) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS 14:7)

Dan jika malapetaka yang datang kepadanya, maka ia bersabar dan ridha, dengan pertolongan daya upaya Allah, dengan keteguhan hati dan dengan rahmat Allah, seperti firman-Nya,

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS 2:153)

Dengan kata lain, Dia beserta orang-orang yang sabar dengan karunia-Nya yang berupa pertolongan dan kekuatan, sebagaimana firman-Nya,

“…jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS 47:7)

Apabila kamu telah menolong Allah dengan jalan menumpaskan hawa nafsumu, tidak menyalahkan Dia, dengan menghindarkan diri dari tidak rela terhadap perlakuan-Nya kepadamu, kamu menjadi musuh bagi diri kamu sendiri karena Allah, bersedia memancungnya dengan pedang jika ia bergerak hendak kufur atau syirik dan memenggalnya dengan kesabaran dan bersesuaian dengan Allah, dan dengan kamu rela terhadap perbuatan dan janji-janji-Nya, maka Allah akan menjadi penolong kamu. Allah berfirman,

“…dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Inna Lillahi wa inna ilaihi raaji’uun” (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepadaNya-lah kami kembali).” (QS 2:155-156)

Mereka inilah yang mendapatkan limpahan rahmat Allah dan merekalah pengikutpengikut jalan yang benar.
2. Maupun kamu bermohon kepada Allah dengan shalat dan berdoa dengan sepenuh harapan, mengagungkan-Nya dan patuh kepada-Nya. Ya, serulah Allah. Itulah yang baik untuk kamu lakukan, karena Allah sendiri menyuruh kamu untuk bermohon kepada-Nya, menghadapkan diri kepada-Nya dan menjadikan-Nya sebagai jalan untuk mencapai kesenanganmu, utusanmu kepada Dia dan perhubunganmu dengan-Nya. Dengan syarat, kamu tidak menyalahkan-Nya dan membuat-Nya murka, sekiranya permohonanmu Dia tangguhkan sampai masa yang akan datang yang telah ditentukanNya.
Oleh karena itu, perhatikanlah perbedaan diantara dua alternatif itu. Janganlah kamu melampaui batas-batas keduanya, karena tidak ada alternatif lain selain dua alternatif tersebut. Maka berhati-hatilah kamu agar jangan sampai kamu menjadi orang yang dholim dan melampaui batas. Jika kamu dholim dan melampaui batas, maka Allah akan membinasakan kamu dan membiarkan kamu seperti orang-orang sebelum kamu yang telah dibinasakan dan dihancurkan oleh Tuhan di dunia ini, dan di akhirat kelak kamu akan disiksa dan dihukum dengan siksaan yang amat pedih. Segala puja dan puji hanyalah bagi Allah Yang Maha Besar dan Maha Agung. Wahai Tuhan Yang Maha Mengetahui keadaanku, hanya kepada-Mu-lah aku menyerahkan diriku.

FUTUHUL GHAIB KE 33 : EMPAT JENIS MANUSIA (SYAIKH ABDUL QADIR AL JILANI)

AJARAN KETIGAPULUH TIGA

EMPAT JENIS MANUSIA

Ada empat macam manusia. Pertama, mereka yang tidak mempunyai lidah dan hati. Mereka ini adalah rang-orang bertarap bebas, berotak tumpul dan berjiwa kerdil, yang tidak mau mengingat Allah dan tidak memiliki kebaikan. Mereka ini bagaikan molekul yang ringan kecuali bila mereka itu dikaruniai kasih sayang-Nya, hati mereka dibimbing supaya beriman dan anggota-anggota tubuh mereka digerakkan supaya patuh kepada Allah. Berhati-hatilah, agar jangan sampai kamu termasuk ke dalam golongan mereka. Janganlah kamu melayani mereka dan jangan pula kamu bergaul dengan mereka. Merekalah orang-orang yang dimurkai oleh Allah dan penghuni neraka. Kita memohon kepada Allah supaya melindungi kita dari pengaruh mereka. Sebaliknya, hendaklah kamu berupaya menjadikan diri kamu sebagai orang yang dilengkapi dengan ilmu ke-Tuhan-an, guru yang mengajarkan kebaikan, pembimbing manusia dalam agama Allah dan pemimpin serta pengajak manusia kepada jalan Allah. Berhati-hatilah jika kamu hendak mempengaruhi mereka supaya mereka patuh kepada Allah dan memberikan peringatan kepada mereka tentang apa-apa yang memusuhi Allah. Jika kamu berjuang di jalan Allah untuk mengajak mereka menuju Allah, maka kamu akan menjadi seorang pejuang dan pahlawan di jalan Allah, dan kamu akan diberi pahala seperti yang diberikan kepada para Nabi dan para Rasul.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda kepada Sayyidina Ali,
 “Jika Allah membimbing seseorang melalui bimbinganmu yang diberikan kepadanya, maka hal itu adalah lebih baik bagimu dari apa saja yang disinari oleh matahari.”

Kedua, mereka yang mempunyai lidah, tetapi tidak mempunyai hati. Mereka pandai berbicara, tetapi tidak melakukan apa yang mereka bicarakan. Mereka mengajak manusia untuk menuju Allah, tetapi mereka sendiri lari dari Allah. Mereka membenci maksiat yang dilakukan oleh orang lain, tetapi mereka sendiri bergelimang di dalam maksiat itu. Mereka menunjukkan kepada orang lain bahwa mereka itu saleh, tetapi sebenarnya mereka sendiri melakukan dosa-dosa besar. Bila mereka sedang menyendiri, maka mereka bersikap seperti harimau yang berpakaian. Inilah orang-orang yang seperti disabdakan oleh Nabi SAW,
Orang yang paling ditakuti di kalangan umatku dan akupun menakutinya adalah orang alim yang jahat.”
Kita berlindung kepada Allah dari orang alim seperti itu. Oleh karena itu, larilah dan jauhilah orang-orang seperti itu. Jika tidak, maka kamu akan terpengaruh oleh kata-kata manisnya yang muluk itu, api dosanya itu akan membakar kamu dan kekotoran hatinya akan membunuh kamu.
Ketiga, mereka yang mempunyai hati, tetapi tidak mempunyai lidah, sedangkan dia adalah orang yang beriman. Allah telah menutup mereka dari mahluk-Nya, menggantungkan tabir-Nya di sekeliling mereka dan memberikan kesadaran kepada mereka tentang cacad-cidera diri mereka. Allah menyinari hati mereka dan menyadarkan mereka akan kejahatan yang timbul akibat bercampur dengan orang banyak serta kejahatan akibat banyak berbicara. Mereka mengetahui bahwa keselamatan itu terletak dalam ‘diam’ dan berkhalwat (menyendiri).
Nabi pernah bersabda,
Barangsiapa ‘diam’, maka ia akan mencapai keselamatan.” Sabdanya pula, “Sesungguhnya berkhidmat kepada Allah itu terdiri atas sepuluh macam, sembilan di antaranya adalah terletak dalam ‘diam’.
Oleh karena itu, mereka yang termasuk dalam golongan ini adalah wali Allah yang secara tersembunyi. Mereka akan diberi perlindungan dan keselamatan. Mereka adalah orang-orang yang bijaksana dan rekan Allah. Mereka akan diberkati dengan keridhaan-Nya dan segala yang baik akan diberikan kepada mereka. Maka, hendaklah kamu berteman dan bergaul dengan orang-orang ini serta berikanlah pertolongan kepada mereka. Jika kamu berbuat demikian, maka kamu akan dikasihi oleh Allah, kamu akan dipilih oleh-Nya dan akan dimasukkan ke dalam golongan mereka yang menjadi wali Allah dan hamba-hamba-Nya yang saleh.
Keempat, mereka yang diajak ke dunia tidak nyata dan diberi pakaian kemuliaan, seperti dalam sabda Nabi,
Barangsiapa menuntut ilmu lalu ia mengamalkan ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain, maka ia akan dibawa ke alam ghaib dan dimuliakan.”
Orang-orang yang termasuk dalam golongan ini mempunyai ilmu-ilmu ke-Tuhan-an dan tanda-tanda Allah. Hati mereka akan menjadi gedung ilmu Allah yang sangat agung dan Allah akan memberinya rahasia-rahasia yang tidak diberikan kepada orang lain. Allah telah memilih mereka dan membawa mereka dekat kepada-Nya. Allah akan membimbing mereka dan membawa mereka ke sisiNya. Hati mereka akan dibuka untuk menerima rahasia-rahasia dan ilmu-ilmu yang tinggi ini. Allah akan menjadikan mereka sebagai pelaku perbuatan-Nya, pengajak manusia ke jalan Allah dan pelarang mereka untuk berbuat dosa dan maksiat. Mereka menjadi ‘orang-orang’ Allah. Mereka mendapatkan bimbingan yang benar. Mereka dapat memberikan pertolongan kepada orang-orang yang menuju jalan Allah. Mereka menjadi orang-orang yang benar dan mengesahkan kebenaran orang lain. Mereka diibaratkan sebagai pantulan sinar para Nabi dan Rasul Allah. Mareka senantiasa mendapat taufiq dan hidayah dari Allah Yang Maha Agung.
Orang yang termasuk dalam golongan ini berada dalam peringkat terakhir atau puncak kemanusiaan yang tidak ada kedudukan lain di atasnya, kecuali ke-Nabi-an. Oleh karena itu, berhatihatilah, agar tidak sampai kamu memusuhi dan menentang orang-orang seperti ini. Dengarkanlah dan perhatikanlah pembicaraan dan nasehat mereka. Karena, keselamatan itu berada dalam memperhatikan pembicaraan mereka dan berdampingan dengan mereka. Sebaliknya, kebinasaan dan kerusakan akan datang jika berjauhan dengan mereka, kecuali bagi mereka yang diberi kekuasaan dan pertolongan oleh Allah untuk menerima hak dan ampunan.
Demikianlah, aku telah membagi manusia atas empat golongan. Sekarang, terserah kepada kamu untuk mengintrospeksi diri kamu sendiri, jika memang kamu berpikir. Dan selamatkanlah diri kamu, jika memang kamu menginginkan keselematan. Mudah-mudahan Allah mebimbing kita dalam menuju kesenangan dan keridhaan-Nya di dunia ini dan di akhirat kelak.

FUTUHUL GHAIB KE 32 : KEKALKAN KASIH MU KEPADA ALLAH( SYAIKH ABDUL QADIR AL JILANI)

AJARAN KETIGAPULUH DUA

KEKALKAN KASIH MU KEPADA ALLAH

Mungkin kamu berkata, “Siapa saja yang aku kasihi, maka kasihku padanya itu tidak akan kekal. Kami selalu saja berpisah, baik karena berjauhan, mati, bermusuhan atau kehilangan harta.” Oleh karena itu, kamu diberi tahu, dan sadarkah kamu, wahai orang-orang yang percaya kepada Allah bahwa kamu diberi karunia, dipelihara dan dijaga dengan sebaik-baiknya ? Tidakkah kamu mengetahui bahwa Allah itu cemburu ? Dia menciptakan kamu hanya untuk Dia saja. Mengapa kamu menghendaki yang lain selain Dia ? Tidakkah kamu mendengar firman-Nya ini,

 “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang Mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS 5:54)

 Dan tidakkah kamu mendengar pula firman-Nya ini,

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah Aku.” (QS 51:56)

Dan apakah kamu belum pernah mendengar sabda Nabi Muhammad SAW,

Apabila Allah mengasihi hambahamba-Nya, maka diberilah hamba itu ujian. Jika hamba itu bersabar, maka hamba itu akan dijagaNya.” Beliau ditanya, “Wahai Nabi Allah, apakah yang dijaga-Nya itu ?” Beliau menjawab, “Dia tidak akan meninggalkan anak dan harta kepada hamba itu.”

Ini disebabkan, jika si hamba itu mempunyai anak dan harta, maka cintanya itu akan terbagibagi. Cinta yang seharusnya diserahkan bulat-bulat kepada Allah, telah ia bagikan kepada anak dan hartanya. Allah tidak mau untuk disekutukan. Dia cemburu. Dia menguasai segalanya. Karenanya, Dia menghancurkan segala apa yang menjadi sekutu bagi-Nya, agar Dia dapat menguasai sepenuh hati hamba untuk Dia saja dan tidak ada yang lain selain Dia di hatinya. Setelah itu, barulah Allah akan membuktikan firman-Nya,

Dia akan mencintai mereka dan mereka akan mencintai-Nya.”

Sehinga hati si hamba itu benar-benar bebas dan bersih dari sekutu-sekutu Allah seperti anak, istri, harta-benda, pangkat, kekuasaan, kemuliaan, keadaan atau peringkat kerohanian, makan, kedudukan, dunia, surga, kedekatan kepada Tuhan dan bahkan apa saja selain Dia tidak ada lagi di dalam hatinya. Tidak ada nafsu dan tidak pula ada cita-cita. Kosongkanlah hati itu sampai seperti tong yang penuh dengan lubang, sehingga tidak lagi dapat menampung air. Leburlah hati itu dengan perbuatan Allah. Apabila selalu ada suatu tujuan yang tumbuh di dalam hatimu, maka hati akan dihancurkan oleh perbuatan Allah, karena Dia cemburu. Kemudian, si hamba itu akan dipenuhi dengan kemuliaan, kekuatan, keagungan, dan kesempurnaan Illahi.
Dengan demikian, maka tidak ada sesuatupun yang dapat menembus hati semacam itu. Harta benda, anak dan istri, teman dan handai tolan, mu’jizat dan keramat serta kekuasaan dan pengetahuan tentang masa depan tidak akan dapat mempengaruhi dan merusak hati itu. Semua itu akan tinggal di luar hati dan tidak akan masuk ke dalamnya. Semua ini adalah tanda-tanda kemuliaan, kehormatan, kasih sayang dan rizki yang diberikan Allah kepada hamba-hamba yang benar-benar mau menuju kepada-Nya. Hamba-hamba seperti ini senantiasa akan diberi perlindungan, pertolongan dan keridhaan dari dunia hingga akhirat.

FUTUHUL GHAIB KE 31 : SESUAIKAN SELURUH HIDUP KAMU DENGAN AL QURAN DAN HADITS ( SYAIKH ABDUL QADIR AL JILANI

AJARAN KETIGAPULUH SATU

SESUAIKAN SELURUH HIDUP KAMU DENGAN AL QURAN DAN HADITS

Jika terdapat di dalam hatimu suatu perasaan benci atau sayang kepada seseorang, maka telitilah perbuatannya itu berdasarkan Al Qur’an dan hadits. Jika benci kamu itu sesuai dengan Al Qur’an dan hadits, maka bergembiralah kamu, karena kamu bertindak sesuai dengan Allah dan RasulNya. Tetapi, jika benci kamu itu tidak sesuai dengan Al Qur’an dan hadits, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu telah mengikuti hawa nafsu kamu. Jika kamu membenci orang itu karena terpengaruh oleh hawa nafsu kamu, maka berarti kamu tidak berlaku adil dan kamu telah menentang Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, kembalilah kamu kepada Allah, bertobatlah karena kebencian kamu itu dan bermohonlah kepada-Nya supaya kamu mengasihi orang itu dan orang-orang lain, yang terdiri atas orang-orang yang beriman, wali-wali-Nya, orang-orang pilihan-Nya dan orang-orang saleh dari hamba-hamba-Nya serta hendaklah kamu menyesuaikan dirimu dengan Allah di dalam mengasihi orang itu.
Bersikaplah kamu terhadap seseorang, seperti kamu bersikap terhadap orang yang kamu kasihi. Pendek kata, hendaklah kamu meneliti perbuatan orang itu berdasarkan Al Qur’an dan hadits. Sekiranya Al Qur’an dan hadits membenarkan dan menyukai perbuatan orang itu, maka kamupun harus membenarkan dan menyukainya. Tetapi, jika keduanya membencinya, maka kamupun hendaklah membencinya. Jelasnya, kamu harus menyayangi dan membenci sesuai dengan Al Qur’an dan hadits. Sesuaikanlah perasaan dan perbuatanmu dengan Al Qur’an dan hadits. Jika kamu mengasihi seseorang, sedangkan Al Qur’an dan hadits membencinya, maka janganlah kamu mengasihinya, supaya kamu tidak menuruti hawa nafsumu. Kamu diperintahkan untuk melawan hawa nafsumu, sebagaimana firman Allah,

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS 38:26)

PENCEMARAN TAUHID KITA (1) BERJUMPA DENGAN BOMOH

Di antara perbuatan yang mencemari kemurnian
tauhid ialah berjumpa dengan bomoh, dukun, pawang,
penilik nasib atau sesiapa jua yang mendakwa mengetahui
ilmu-ilmu ghaib.
Berjumpa dengan orang yang mendakwa
mengetahui ilmu ghaib dapat mencemari kemurnian tauhid
kerana pengetahuan tentang ilmu ghaib hanya milik Allah
Subhanahu wa Ta‘ala. Apa yang dimaksudkan dengan ilmu
ghaib ialah pengetahuan yang tidak dapat diperolehi
melalui deria manusia, seperti khabar yang akan datang,
isi hati manusia dan peristiwa yang tersembunyi.

Pengetahuan tentang ilmu-ilmu ini hanya dimiliki oleh
Allah Subhanahu wa Ta‘ala sebagaimana firman-Nya:

Dan pada sisi Allah jualah anak kunci
perbendaharaan segala yang ghaib, tiada sesiapa
yang mengetahuinya melainkan Dia-lah sahaja. [al-
An’aam 6:59]

Katakanlah: “Tiada sesiapapun di langit dan
di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib
melainkan Allah!” [al-Naml 27:65]

Pengetahuan tentang ilmu ghaib juga tidak
diketahui oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Allah Subhanahu wa Ta‘ala menerangkan hakikat ini:

Katakanlah (wahai Muhammad): “Aku tidak
berkuasa mendatangkan manfaat bagi diriku dan
tidak dapat menolak mudarat kecuali apa yang
dikehendaki Allah.
Dan kalau aku mengetahui perkara-perkara
yang ghaib, tentulah aku akan mengumpulkan
dengan banyaknya benda-benda yang
mendatangkan faedah dan (tentulah) aku tidak
ditimpa kesusahan.” [al-A’raaf 7:188]

Apa-apa ilmu ghaib yang diketahui dan dikhabarkan
oleh Rasulullah di dalam hadis-hadis baginda yang sahih
seperti kejadian pada akhir zaman, kehidupan di alam
kubur, suasana Hari Akhirat dan sebagainya, semua itu
adalah daripada apa yang dikhabarkan oleh Allah kepada
baginda:

Tuhanlah sahaja yang mengetahui segala
yang ghaib, maka Dia tidak memberitahu perkara
ghaib yang diketahui-Nya itu kepada sesiapapun;
melainkan kepada mana-mana Rasul yang diredhai-
Nya (untuk mengetahui sebahagian dari perkara
ghaib yang berkaitan dengan tugasnya). [al-Jin
72:26-27]

Oleh itu sesiapa yang mendakwa dirinya
mengetahui ilmu ghaib, dia seorang pendusta. Lebih dari
itu dia sebenarnya cuba menjadi sekutu bagi Allah dengan
meletakkan dirinya sejajar dengan keilmuan Allah
Subhanahu wa Ta‘ala.
Oleh kerana itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam melarang kita daripada mengunjungi orangorang
yang mendakwa mengetahui ilmu ghaib. Seorang
sahabat, Muawiyah bin al-Hakam radhiallahu 'anh pernah
bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

یَا رَسُولَ اللَّھِ! أُمُورًا كُنَّا نَصْنَعُھَا فِي الْجَاھِلِیَّةِ
كُنَّا نَأْتِي الْكُھَّانَ. قَالَ: فَلاَ تَأْتُوا الْكُھَّانَ.

“Wahai Rasulullah! Ada perkara yang kami
lakukan semasa zaman Jahiliyyah (seperti)
mengunjungi orang yang mendakwa mengetahui
ilmu ghaib.” Rasulullah menjawab: “Jangan
mengunjungi orang yang mendakwa mengetahui
ilmu ghaib.”

Dalam hadis di atas, orang yang mendakwa
mengetahui ilmu ghaib dikenali sebagai ( الْكُھَّانُ ). Perkataan
الْكُھَّانُ) ) atau ( كَھَنَةٌ ) adalah jamak daripada perkataan ( .(كَاھِنٌ
Al-Allamah Syam al-Haq Abadi menjelaskan:
Disebut di dalam al-Lisan (oleh Ibn Manzur)
bahawa ia adalah orang yang memperoleh khabar
daripada alam sekelilingnya tentang hal-hal yang akan
berlaku dan mendakwa mengetahui perkara-perkara
rahsia …… maka di antara mereka ialah orang-orang yang
mendakwa memiliki jin yang mengikuti mereka dan
menyampaikan khabar kepadanya dan di antara mereka
ialah orang-orang yang mendakwa mengetahui sesuatu
urusan berdasarkan pendahuluan sebab-sebab yang
menunjuk ke arahnya melalui perkataan atau perbuatan
atau hal tertentu. Berkata Ibn Atsir, sabda baginda:
“Sesiapa yang mengunjungi orang yang mendakwa
mengetahui ilmu ghaib” merangkumi bomoh, tukang ramal
dan penilik nasib.
Larangan mengunjungi orang yang mendakwa
mengetahui ilmu ghaib adalah larangan yang besar
sebagaimana hadis berikut daripada Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَھُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَھُ صَلاَةٌ
أَرْبَعِینَ لَیْلَةً.

Sesiapa yang mengunjungi orang yang
mendakwa mengetahui ilmu ghaib dan bertanya
kepada dia sesuatu maka tidak akan diterima
solatnya selama empat puluh malam.

Perkataan ( عَرَّافًا ) yang disebut di dalam hadis di
atas memiliki maksud yang hampir sama dengan ( (الْكُھَّانَ
yang disebut dalam hadis sebelumnya. Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin menerangkan:

Dikatakan, ( العَرَّاف ) adalah ( الكَاھِن ), iaitu orang
yang sering memberitahu tentang khabar yang akan
terjadi. Ada yang mengatakan ia adalah nama umum
meliputi dukun, ahli nujum dan orang-orang yang
mendakwa mengetahui ilmu ghaib.
Perhatikan semula hadis di atas, Rasulullah tetap
melarang kita mengunjungi orang yang mendakwa

Hadis ini tidaklah bermaksud orang itu tidak perlu bersolat
selama 40 malam. Dia tetap wajib mendirikan solat seperti biasa sebagai
kewajipan dirinya. Hanya dia tidak menerima pahala daripada solat itu.
mengetahui ilmu ghaib atau bertanya sesuatu kepadanya
sekalipun kita tidak mempercayai apa yang dikatakan
olehnya. Terdapat beberapa sebab di sebalik larangan ini:

1. Pengetahuan tentang ilmu ghaib hanya diketahui
oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Apabila seseorang
itu mendakwa dirinya mampu mengetahui ilmu
ghaib, maka dia meletakkan dirinya sejajar dengan
Allah.

2. Apabila seorang muslim mengunjungi orang yang
mendakwa mengetahui ilmu ghaib, bererti dia
mengiktiraf orang tersebut sebagai mampu
mengetahui hal ghaib. Sepatutnya seorang muslim
menolak orang yang mendakwa mengetahui ilmu
ghaib dan tidak mengunjunginya kecuali untuk
memberi nasihat akan kesalahan tindak tanduknya.

3. Sekalipun pengunjung pada awalnya tidak
mempercayai khabar yang diberikan oleh orang
yang mendakwa mengetahui ilmu ghaib, dia
kemudian akan mempercayai orang tersebut jika
khabar yang diberikannya menjadi sesuatu yang
benar-benar berlaku. Ini akhirnya akan
mengakibatkan pengunjung membenarkan apa
yang dikhabarkan oleh orang tersebut.
Akhir sekali, jika seseorang itu membenarkan
khabar orang yang mendakwa mengetahui ilmu ghaib, ia
membawa natijah yang amat berat. Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam memberi amaran yang keras dalam hal
ini:

مَنْ أَتَى كَاھِنًا فَصَدَّقَھُ بِمَا یَقُولُ أَوْ أَتَى امْرَأَتَھُ
حَائِضًا أَوْ أَتَى امْرَأَتَھُ فِي دُبُرِھَا فَقَدْ بَرِئَ مِمَّا أُنْزِلَ
عَلَى مُحَمَّدٍ.

Sesiapa yang mengunjungi orang yang
mendakwa mengetahui ilmu ghaib lalu
membenarkannya atau menyetubuhi isterinya yang
sedang haid atau menyetubuhi isterinya dari
duburnya, maka dia telah lepas (keluar) daripada
apa yang diturunkan ke atas Muhammad (yakni
Islam).

Di Malaysia, orang yang mendakwa mengetahui
ilmu ghaib, atau ringkasnya bomoh15, terbahagi kepada
14 Sahih: Dikeluarkan oleh Abu Daud dan dinilai sahih oleh al-
Albani di dalam Shahih Sunan Abu Daud – hadis no: 3904 (Kitab al-Tibb,
Bab berkenaan penilik nasib).
15 Bomoh itu sendiri terbahagi kepada dua jenis:
1. Mereka yang hanya melibatkan diri dalam perubatan tradisional
dan mengurut tanpa ada apa-apa kaitan dengan ilmu ghaib.
Perbincangan dalam bab ini tidak melibatkan bomoh jenis
pertama ini.dua kategori:

Bomoh Kategori Pertama:

Bomoh kategori pertama adalah mereka yang tidak
mengetahui apa-apa ilmu ghaib tetapi bijak membuat
khabar sehingga dipercayai oleh orang yang mengunjungi
mereka. Khabar-khabar yang disampaikan oleh bomoh
dalam kategori ini sudah ditentukan sejak awal lagi.
Berikut lima contoh yang paling lazim berlaku:

1. Jika orang yang mengunjunginya bertanya tentang
barang berharga yang hilang, jawapan yang akan
diberikan ialah: “Ia diambil oleh seseorang yang rapat
lagi dipercayai.”
2. Jika isteri bertanya tentang sikap suaminya yang
akhir-akhir ini berubah, jawapan yang akan
diberikan ialah: “Suami kamu sudah ada girlfriend yang
baru di hatinya.”
2. Mereka yang seperti jenis pertama, akan tetapi terlibat sama
dengan perkara-perkara ilmu ghaib. Contohnya di samping
memberi perubatan tradisional, mereka mendakwa bahawa sakit
yang menimpa itu adalah buatan orang. Perbincangan di atas
merujuk kepada bomoh jenis kedua ini.
3. Jika suami bertanya tentang sikap isterinya yang
akhir-akhir ini berubah, jawapan yang akan
diberikan ialah: “Isteri kamu telah kembali dengan
boyfriend lamanya.”
4. Jika seseorang ingin mencari pasangan hidup yang
sesuai yang masih belum ditemuinya, jawapan
yang akan diberikan ialah: “Ada sial yang menghalang
diri kamu daripada dilihat oleh orang lain.” Ubatnya
ialah mandi bunga.
5. Jika seseorang menghadapi satu penyakit aneh
atau mimpi yang bukan-bukan, jawapan yang akan
diberikan ialah: “Ia adalah buatan orang yang rapat lagi
dengki kepada kamu.”

Ada beberapa cara untuk mengenali bomoh
kategori pertama ini selain daripada jawapan-jawapan di
atas yang bakal diberikannya:
1. Mereka akan memulakan “upacara” dengan bacaan
al-Qur’an dan zikir-zikir tertentu. Ini hanyalah
solekan bagi memberi pengaruh palsu kepada
pengunjung bahawa mereka sebenarnya membuat
“upacara” yang selari dengan Islam.
2. Mereka akan berlakon seolah-olah sedang berfikir
dalam penuh kekhusyukan. Dahi dikerut-kerutkan
dan mata dipejamkan, sekali lagi untuk memberi
pengaruh palsu kepada pengunjung bahawa
mereka sedang bersungguh-sungguh untuk
membantu.
3. Khabar atau jawapan yang akan diberikan dengan
nada yang perlahan tetapi serius untuk memberi
pengaruh kepada pengunjung bahawa mereka juga
serius dalam khabar atau jawapan tersebut. Ini
akan memberi keyakinan kepada pengunjung
bahawa apa yang dikhabarkan adalah benar.
4. Di akhir “upacara”, mereka tidak akan meminta
apa-apa bayaran. Ini kononnya akan menunjukkan
keikhlasan usaha mereka sehingga berjaya
mendapat simpati pengunjung. Pengunjung
akhirnya akan memberi sedikit bayaran seperti
RM50 atau RM100. Akan tetapi jika diberi bayaran
yang amat sedikit, seperti RM5, si-bomoh akan
17 Dengan itu juga para pembaca sekalian perlu berhati-hati dengan
bomoh yang berselindung di sebalik watak ustaz, syaikh, wali dan
sebagainya.menunjukkan air muka yang kurang senang atau
mungkin juga akan berkata-kata sesuatu umpama:
“Terima kasih nak (anak) atas duit lima ringgit ni. Pak cik
memang memerlukannya, lebih-lebih lagi sekarang harga
minyak pun dah naik, harga sayur pun dah naik. Pak cik
sendiri dah lama tak makan daging. Hari-hari nasi dan
ikan masin sahaja.”


Bomoh Kategori Kedua:

Jika bomoh kategori pertama hanya memberi
khabar berbentuk umum yang sudah disiapkan sejak awal,
bomoh kategori kedua pula mampu memberi khabar
secara tepat lagi terperinci. Ini dapat dilakukan dengan
bantuan jin kafir atau jin fasiq yang mereka pelihara. Oleh
itu jika seorang muslim mengunjungi mereka dengan
masalah-masalah yang sama di atas, bomoh dalam
kategori ini akan mampu memberi jawapan yang tepat lagi
terperinci hasil daripada pemberitahuan jin peliharaannya.
Sebagai contoh, jika bertanya tentang dompet yang
hilang, bomoh kategori ini akan menjawab:
“Ia diambil oleh rakan kerja yang duduk dua
meja di sebelah kanan pada hari Khamis yang lepas. Dia
seorang wanita berumur 24 tahun. Pada hari itu dia
memakai baju kebaya merah dengan tudung merah muda
yang diikat ke belakang kepala. Dia mencuri dompet kamu
kerana dengki terhadap elaun tambahan yang kamu
perolehi minggu lepas. Dia ingin melihat kamu berada
dalam kesusahan untuk menggantikan semula kad
pengenalan, lesen memandu, kad ATM, kad kredit dan
sebagainya yang terdapat dalam dompet.”
Demikian khabar yang sebegitu terperinci yang
disampaikan oleh jin peliharaan bomoh. Akan tetapi
ketahuilah bahawa khabar itu sendiri terbahagi kepada dua
bahagian:
1. Khabar tentang ciri-ciri rakan kerja yang duduk dua
meja di sebelah. Khabar ini memang tepat dan
berjaya memberi keyakinan kepada pengunjung
akan khabar yang disampaikan oleh bomoh.
2. Khabar bahawa rakan kerja itulah yang mencuri
dompet kerana dengki dan ingin memberi
kesusahan kepada pengunjung. Khabar ini adalah
dusta.
Bentuk khabar sebegini yang disampaikan oleh jin
peliharaan bomoh sudah diberitahu oleh Rasulullah

shallallahu 'alaihi wasallam sejak lebih 1400 tahun yang
lalu. A’isyah radhiallahu 'anha pernah bertanya kepada
Rasulullah:

یَا رَسُولَ اللَّھِ! إِنَّ الْكُھَّانَ كَانُوا یُحَدِّثُونَنَا بِالشَّيْءِ
فَنَجِدُهُ حَقا! قَالَ: تِلْكَ الْكَلِمَةُ الْحَقُّ یَخْطَفُھَا الْجِنِّيُّ
فَیَقْذِفُھَا فِي أُذُنِ وَلِیِّھِ وَیَزِیدُ فِیھَا مِائَةَ كَذْبَةٍ

Wahai Rasulullah! Sesungguhnya orang yang
mendakwa mengetahui ilmu ghaib lazimnya
mengkhabarkan kami dengan sesuatu, kemudian
kami dapati ia adalah benar!” Rasulullah menjawab:
“Ia adalah kalimah (perkara) benar yang diambil
oleh seorang jin lalu dibisikkan kepada telinga
pengikutnya, kemudian dibuat tambahan padanya
dengan seratus kedustaan.”

Terdapat beberapa sebab jin sengaja membuat
dusta:
1. Supaya berlaku pertengkaran antara dua orang
Muslim. Perpecahan dan persengketaan antara
orang Islam memang digemari oleh golongan jin
yang kafir atau fasiq.
2. Supaya pengunjung tersebut akan meminta bomoh
untuk membalas rakan kerjanya dengan sesuatu
gangguan. Bomoh pada gilirannya akan mengupah
jin peliharaannya untuk melakukan sesuatu
gangguan kepada rakan kerja itu. Upahan yang
diberikan lazimnya adalah sembelihan haiwan
seperti ayam putih atau kambing putih.
3. Sebenarnya jin tidak memerlukan apa-apa
sembelihan haiwan. Mereka hanya menghendaki
agar sembelihan dilakukan di atas nama mereka
atau kerana mereka. Apabila bomoh dan
pengunjung melakukan sembelihan sedemikian,
mereka telah melakukan kesalahan yang besar di
sisi Allah. Inilah yang dikehendaki oleh jin tersebut,
iaitu menyesatkan seorang muslim dan
menjerumuskannya ke dalam kesalahan agama.
Menyembelih di atas nama selain Allah Subhanahu
wa Ta‘ala merupakan satu kesalahan yang besar.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لَعَنَ اللَّھُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَهُ وَلَعَنَ اللَّھُ مَنْ ذَبَحَ لِغَیْرِ
اللَّھِ وَلَعَنَ اللَّھُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللَّھُ مَنْ غَیَّرَ مَنَارَ
الأَرْضِ.

Allah melaknat orang yang melaknat
ibubapanya, Allah melaknat orang yang
menyembelih kerana selain Allah, Allah melaknat
orang yang melindungi seorang ahli bid’ah dan Allah
melaknat orang yang mengubah sempadan tanah.

Bomoh kategori kedua dapat dikenali dengan
ketepatan khabar yang dikemukakan olehnya terhadap
sesuatu masalah yang dihadapi oleh pengunjung. Akan
tetapi kebenaran hanyalah sedikit demi memperoleh
keyakinan pengunjung. Seterusnya adalah dusta. Bomoh
kategori kedua lazimnya tidak akan meminta bayaran
dalam bentuk wang sahaja tetapi dilengkapi dengan
persediaan dalam bentuk kebendaan seperti haiwan, telur
dan sebagainya.
Hukum mengunjungi bomoh kategori kedua ini
adalah jauh lebih berat daripada bomoh kategori pertama.
Ini kerana mereka mendakwa mengetahui hal ghaib
dengan khabar-khabar dusta yang akhirnya memfitnah
orang yang tidak bersalah. Lebih dari itu pemeliharaan dan
penggunaan jin akan menyebabkan bomoh dan
pengunjung terpaksa melakukan amalan yang dilarang
oleh Islam.

Bagaimana Jika Menggunakan Jin Muslim?

Menyentuh tentang pemeliharaan dan penggunaan
jin, sebahagian pihak ada yang berkata ianya dibolehkan
jika jin tersebut adalah “jin muslim”. Saya berkata, benar
bahawa terdapat jin yang muslim. Hal ini dinyatakan di
dalam al-Qur’an:
Katakanlah (wahai Muhammad), telah
diwahyukan kepadaku bahawa sesungguhnya satu
rombongan jin telah mendengar (Al-Quran yang aku
bacakan), lalu mereka (menyampaikan hal itu
kepada kaumnya dengan) berkata:
“Sesungguhnya kami telah mendengar Al-
Quran (sebuah Kitab Suci) yang susunannya dan
kandungannya sungguh menakjubkan! Kitab yang
memberi panduan ke jalan yang betul lalu kami
beriman kepadanya dan kami tidak sekali-kali akan
mempersekutukan sesuatu makhluk dengan Tuhan
kami.” [al-Jin 72:1-2]

Namun persoalannya adalah, bagaimana kita dapat
mengetahui jin tersebut adalah muslim yang shalih lagi
berada di atas jalan yang benar? Ini kerana masyarakat jin
itu sendiri terbahagi kepada beberapa aliran dan mazhab:

Dan bahawa sesungguhnya (memang
maklum) ada di antara kita golongan (jin) yang
shalih dan ada di antara kita yang lain dari itu; kita
masing-masing adalah menurut jalan dan cara yang
berlainan. [al-Jin 72:11]

Terdapat beberapa petunjuk yang dapat digunakan
sebagai ukuran membezakan jin muslim yang shalih lagi
berada di atas jalan yang benar:
1. Jin tersebut akan mengakui bahawa dia tidak
mengetahui perkara ghaib dan apa-apa manfaat
atau mudarat yang bakal berlaku. Masyarakat “jin
muslim” yang diiktiraf oleh Allah Subhanahu wa
Ta‘ala mengakui:

Dan bahawa sesungguhnya kami telah
berusaha mencari berita langit, lalu kami
dapati langit itu penuh dengan pengawalpengawal
yang sangat kuat kawalannya, dan
(dengan rejaman-rejaman) api yang menyala.
Padahal sesungguhnya kami dahulu biasa
menduduki tempat-tempat (perhentian) di
langit untuk mendengar (percakapan
penduduknya); maka sekarang sesiapa yang
cuba mendengar, akan mendapati api yang
menyala yang menunggu merejamnya.
Dan bahawa sesungguhnya kami tidak
mengetahui adakah bala bencana akan
menimpa penduduk bumi, atau pun Tuhan
mereka hendak melimpahkan kebaikan
kepada mereka. [al-Jin 72:8-10]

2. Jin tersebut akan menasihatkan agar tidak
menggunakan apa-apa khidmatnya kerana ia tidak
lain hanya akan menambah dosa dan kesalahan:

Dan bahawasanya ada beberapa orang lakilaki
di antara manusia meminta perlindungan
kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka
jin-jin itu menambah bagi mereka (manusia
tersebut) dosa dan kesalahan. [al-Jin 72:06]

3. Jin tersebut akan menasihatkan bahawa
kebanyakan daripada kalangannya lazim berdusta
dengan percakapan yang indah susunannya agar
dapat memperdayakan para pendengarnya:

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap
Nabi itu musuh dari Syaitan-syaitan manusia
dan jin, setengahnya membisikkan kepada
setengahnya yang lain kata-kata dusta yang
indah-indah susunannya untuk memperdaya
pendengarnya. [al-An’aam 6:112]

Nah! Jika jin berani berdusta dan memperdayakan
para Nabi, sudah tentu mereka akan lebih berani
melakukannya terhadap manusia biasa.
4. Jin tersebut akan mengingatkan bahawa
menggunakan pertolongan mereka hanya akan
menempah tempat di dalam api neraka:

Dan (ingatlah) Hari (Kiamat yang padanya)
Allah akan himpunkan mereka semua, (lalu
berfirman): “Wahai sekalian jin!
Sesungguhnya kamu telah memiliki banyak
pengikut-pengikut dari golongan manusia.”
Dan berkatalah pula pengikut-pengikut
mereka dari golongan manusia: “Wahai Tuhan
kami, sebahagian kami (manusia) telah
bersenang-senang (mendapat kemudahan)
dengan sebahagian yang lain (jin-jin), dan
kami telah sampai kepada masa kami (Hari
Kiamat) yang Engkau telah tentukan bagi
kami.”
(Allah berfirman): “Nerakalah tempat
kediaman kamu, kekal kamu di dalamnya
kecuali apa yang dikehendaki Allah.”
Sesungguhnya Tuhanmu (wahai Muhammad)
Maha Bijaksana, lagi Maha Mengetahui. [al-
An’aam 6:128]

5. Jin tersebut akan menerangkan bahawa
menggunakan khidmat mereka hanyalah sesuatu
yang dikhususkan keizinannya oleh Allah
Subhanahu wa Ta‘ala kepada Nabi Sulaiman ‘alaihi
salam, tidak kepada manusia yang lain:

Dan Kami (Allah) kurniakan kepada Nabi
Sulaiman kuasa menggunakan angin untuk
perjalanannya: sepagi perjalanannya adalah
menyamai perjalanan biasa sebulan, dan
sepetang perjalanannya adalah menyamai
perjalanan biasa sebulan; dan Kami alirkan
baginya mata air dari tembaga; dan (Kami
mudahkan) sebahagian dari jin untuk bekerja
di hadapannya dengan izin Tuhannya. Dan
sesiapa dari jin itu yang menyeleweng dari
perintah Kami, Kami akan merasakannya
(pukulan) dari azab api neraka.

Demikianlah beberapa ciri atau ukuran bagi
menentukan “jin muslim” yang shalih lagi berada di atas
jalan yang benar. Ringkasnya jin muslim tidak akan
menawarkan apa-apa khidmat kepada bomoh atau
manusia melainkan menasihatkan mereka, paling kurang,
dengan lima ayat al-Qur’an yang telah dikemukakan di
atas.