Catatan Popular

Isnin, 22 Februari 2016

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN KE 31.MENGENAI ILMU-ILMU SUFI TENTANG KEADAAN-KEADAAN (AHWAL



Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya  Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

Saya katakan (dan semoga Tuhan menjadi penolong saya) : Ketahuilah, bahwa ilmu-ilmu Sufi adalah ilmu-ilmu mengenai keadaan-keadaan ruhani, dan bahwa keadaan-keadaan ini merupakan warisan dari tindakan-tindakan, dan hanya dialami oleh orang-orang yang tindakan-tindakannya benar. Nah, langkah pertama menuju perbuatan yang bernar adalah mengetahui ilmu-ilmu yang menyangkut masalah itu, yaitu peraturan-peraturan yang sah yang terdiri atas prinsip-prinsip hukum (fiqh) yang mengatur cara-cara salat, berpuasa dan tugas-tugas keagamaan lainnya, juga mengetahui ilmu-ilmu sosial yang mengatur perkawinan, perceraian, transaksi-transaksi dagang, dan masalah-masalah lain yang mempengaruhi kehidupan manusia, yang oleh Tuhan telah ditetapkan dan ditentukan sebagai hal-hal yang diwajibkan. Semua itu merupakan ilmu-ilmu yang bisa didapatkan dengan jalan mempelajarinya; dan sudah menjadi kewajiban manusia untuk berusaha mencari ilmu ini dan aturan-aturannya, sepanja g dia mampu mencari hingga batas kemampuan akalnya sebagai manusia, setelah dia mendapat dasar yang menyeluruh dalam ilmu agama dan cara-cara memahami Al-Qur’an, Sunnah serta konsensus para salaf sampai batas memahami doktrin yang benar dari Muslim Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Jika Tuhann menolongnya memperoleh pencapaian yang lebih tinggi daripada ini, sehingga dia bisa membuang segala keraguan pandangan atau pemikiran yang menimpanya, hal itu bagus sekali; tapi, bahkan jika dia berrpaling dari pemikiran-pemikiran jahat dengan mecari perlindungan dari kesseluruhan pengetahuan yang dimilkinya, dan menghindari pandangan yang melawannya dan yang menjauhkannya dari (Tuhan), maka itu merupakan bagian yang cukup sesuai untuk dirinya, jika memang Tuhan menghendaki; sebab dia disibukkan dengan pelaksanaan pengetahuannya dan dia melaksanakan itu menurut apa yang diketahuinya.

Oleh karena itu, yang paling penting adalah bahwa dia harus tahu mengenai kejahatan-kejahatan jiwa, dan benar-benar mengenal jiwa itu, pendidikannya, dan penempaan akhlaknya; dia juga harus tahu mengenai tipu-tipu muslihat musuh dan godaan-godaan dunia ini serta cara-cara untuk menjauhkan diri darinya. Ilmu ini merupakan ilmu tentang kebijaksanaan (hikmah). Kalau jiwa itu ditegur dengan sepantasnya, dan kebiasaan-kebiasaannya diubah, kalau dia diajari tata cara ketuhanan dengan menguasai anggota-anggotanya dan menjaga jari-jari serta indera-inderanya, maka akan mudah bagi seseorang untuk mengubah akhlaknya dan memurnikan bagian-bagian lahirnya, sehingga dia tidak lagi terkungkung dalam urusan-urusannya sendiri dan menghindar serta mengelakkan diri dari dunia ini. Kalau sudah begitu maka, orang itu akan bisa mengawasi pikiran-pikirannya dan memurnikan bagian-bagian lahirnya; dan inilah ilmu ma’rifat itu. Di balik itu adalah ilmu-ilmu pemikiran, ilmu-ilmu perenungan dan wahyu; semua ilmu ini seluruhnya terdiri atas ilmu isyarat (isyarah), dan inilah yang merupakan ilmu utama yang dimiliki oleh orang-orang sufi, yang mereka dapatkan setelah mereka menguasai semua ilmu yang telah kami sebut sebelum ini. Istilah ‘Isyarat” diberrikan kepada ilmu ini; karena perenungan yang dinikmati oleh hati, dan wahyu yang diberikan kepada kesadaran (sirr) tidak dapat diungkapkan secara harfiah; hal itu harus dipelajari lewat pengalaman nyata akan yang gaib, dan hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang telah mengalami keadaan-keadaan gaib ini serta hidup dalam keadaan-keadaan itu. Sa’id ibn al-Musayyib meriwayatkan dari Abu Harairah, bahwa Nabi berkata : “Sesungguhnya, sebagian pengetahuan itu berkenaan dengan sesuatu yang tersembunyi, yang bisa diketahui oleh mereka yang mengenal Tuhan. Kalau mereka membicarakan mengenai ilmu itu, maka hanya orang-orang yang tidak mengindahkan Tuhan saja yang tidak menyetujuinya.” Penuturan berikut adalah dari Abdul Wahid ibn Zaid : “Aku bertanya kepada al-Hasan mengenai ilmu batin, dan dia menyahut, aku bertanya kepada Hudzaifah mengenai ilmu batin, dan dia menyahut, aku bertanya kepada Rasul Allah mengenai ilmu batin, dan dia menyahut,aku bertanya kepada Jibril megenai ilmu batin, dan dia menyahut, dan aku bertanya kepada Tuhanmengenai ilmu batin, dan Dia berfirman : “Itu adalah rahasia dari rahasia Ku; Aku menanamkannya di dalam hati hamba-Ku dan tak satu makhluk-Ku pun yang memahaminya.” Abul Hasan ibn Abi Dzar mengutip puisi berikut dari Al-Syibli dalm bukunya “Minhaj al-Din :
Ilmu orang-orang Sufi itu tak terrbatas;
Ilmu yang tinggi, mulia suci;
Di dalamnya hari para syekh tenggelam dalam-dalam,
Dan manusia yang andai, menghargainya dengan tanda itu.

Nah, setiap tingkatan itu ada awal dan akhirnya; dan di antara yang dua itu ada berbagai keadaan. Setiap tingkatan ada ilmunya sendiri, dan setiap keadaan itu ada isyaratnya sendiri. Dalam setiap tingkatan, ada satu penegasan dan satu sangkalan; tapi tidak semua yang disangkal di dalam satu tingkatan itu disangkal pula di dalam tingkatan yang sebelumnya; begitu pula, tidak semua yang ditegaskan di dalam satu tingkatan akan di tegaskan di dalam tingkatan sesudahnya. Ini sesuai dengan perkataan Nabi : “Jika seseorang tidak memiliki keimanan, maka dia tidak memiliki iman.” Ini menunjuk pada iman dari keimanan itu, bukan iman dari kepercayaan keagamaan. Nah, oarng-orang yang ditegus ini merasakan hal ini, sebab mereka telah berada dalam tingkatan keimanan atau telah melewati tingkatan itu; Nabi memahami keadaan jiwa mereka, maka Beliau menjelaskan diri Beliau kepada mereka. Nah, jika orang yang sedang berbicara itu tidak mengindahkan keadaan kejiwaan para pendengarnya, tapi hanya menguraikan secara terperinci ssuatu tingkatan yang menegaskan dan menyangkal, maka ada kemungkinan bahwa di antara para pendengarnya ada orang yang belum pernah berada dalam tingkatan itu; apa yang disangkalnya bisa jadi telah ditegaaskan di dalam tingkatan pendengar itu, shinga dia akan beranggapan bahwa pembicaran itu telah menyangkal suatu yang oleh pengetahuan ditegaskan; dan bahwa dia kalau tidak berbuat suatu kesalahan, telah jatuh ke dalam bid’ah, atau bahkan telah terelempar ke dalam kekafiran. Karena adanya peristiwa seperti itu, maka tokoh-tokoh Sufi mencari ungkapan-ungkapan teknis untuk ilmu-ilmu mereka, yang mereka pahami dalam lingkungan mereka sendiri; ungkapan-ungkapan itu mereka gunakan sebagai kode, yang akan bisa dimengerti oleh sesama Sufi, tapi tidak bisa dimengerti oleh pendengar mana pun yang belum pernah berada dalam tingkatan yang sama. Karenanya, pendengar itu akan melakukan salah satu dari kedua hal berikut : Dia menganggap baik pembicara itu dan menerimanya serta menyalahkan dirinya sendiri karena kekurang-mengertiannya sehingga dia tidak sanggup menangkap maksud pembicara itu; atau dia menganggap buruk pembicara itu, menganggapnya gila dan menganggap apa yang dikatakannya merupakan ocehan sinting, dan bahkan jika pembicara itu memang hanya mengoceh saja, hal itu masih lebih baik daripada kalau dia menolak dan menyangkal kebenaran.   

Seorang ahli ilmu kalam berkata kepada Abul Abbas ibn Atha : “Ada apa dengan kamu semua,orang-oran Sufi? Kamu semua telah membuat ungkapan-ungkapan yang kamu gunakan untuk memohon kepada para pendengarmu dengan cara berbicara yang begitu aneh, dan kamu meninggalkan caa berbicara yang biasa. Bukankah ini tidak lain ditujukan untuk mendatangkan kekacauan, atau menyembunyikan sebuah doktrin yang keji? Abul-Abbas menyahut : “Kami melakukan ini hanya karena kami waspada terhadap Dia, dan kaerna kekuasaan-Nya atas kami, sehingga yang lain-lain tidak akan dapat mencicipi (kegembiraan yang dingkapkan dengan) (istilah-istilah) ini.” 

Lalu dia mulai menyitir puisi sebagai berikut :
Inilah hal kterrbaik yang pernah diwahyukan oleh Allah;
Dan kami ungkapkan, tapi pada kami sendiri tetap tersembunyi;
Satu kebenaran yang menyingsing yang, bagai si pecinta, diuacpkan dari bibir ke bibir.
Dalam cahanya sendiri, ku bungkus dia rapat;
Dan ku sembunyikan, kalau-kalau ada orang yang tak mengenal kedalamannya.
Membukanya, dan dengan ungkapan-ungkapan kasa membuang;
Keindahan kejiwaannya; atau, orang yang tak pandai
Memahaminya, tidak, tan sampai sepenuhnya,
Akan dibawanya itu dengan tangannya, dan diumumkannya;
Dan kebodohan akan menyebar karena tipuannya;
Dan pengetahuan akan hilang selamanya, dan keindahannya;
Akan lenyap; jejaknya terkubur dalam pasir yang mengalir.

Puisi yang berikut ditukan untuk orang yang sama :

Kala orang awam menanyai kai;
Kami menjawab mereka dengan tanda-tanda rahasia;
Serta teka-teki gelap, sebab lidah manusia itu..
Tidak mampu mengungkapkan kebenaran yang begitu tinggi,
yang jangkauannya..
Melewati ukuran manusia ; tapi hatiku..
Telah mengenalnya, dan mengenal kegairahannya..
Yang menggetarkan dan mengisi tubuhku,
Setiap bagian..
Tanpa melihat engkau, perasaan gaib ini menangkap
Seni berbicara yang asasi, sebagai orang yang tahu..
Menaklukan dan membungkam musuh yang ummi.

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI :.AJARAN KAUM SUFI KE 30 MENGENAI PENGHASILAN



Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya  Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

Mereka mengakui bahwa orang diizinkan memiliki penghasilan dari perdagangan, perniagaan atau pertanian, atau cara-cara lain yang diizinkan oleh syariah, asal orang itu berhatai-hati, tidak tergesa-gesa dan cermat dalam menghinndari hal-hal yang kesahannya diragukan, penghasilan-penghasilan ini hendaknya dipakai untuk keperluan saling bantu dengan menekan nafsu-nafsu, dan selalu siaga membantu yang lain serta bermurah hati kepada tetangga. Mereka beranggapan, bahwa orang harus mencari nafkah jika dia memiliki tanggungan-tanggungan yang mesti ditunjang olehnya. Menurut Al-Junaid, cara yang tepat untuk mencari nafkah, disamping syarat-syarat terdahulu, adalah dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang akan mebawa orang itu lebih dekat kepada Tuhan, dan menyibukan diri dalam pekerjan-pekerjan itu dengan semangat yang sama dengan pekerjaan-pekerjaan sunnah yang diperintahkan kepada orang itu, bukannya dengan gagasan bahwa pekerjaan-pekerjaan itu merupakan alat mata pencaharian atau alat untuk mendapatkan keuntungan. 

Tapi tokoh-tokoh lain beranggapan bahwa mendapat penghasilan itu boleh saja, tapi bukan berarti bahwa hal itu perlu, asalkan kepercayaan orang itu kepada Tuhan tak berkurang sama sekali, atau keagamaannya terpengaruh; tapi, sebenarnya, akan lebih tepat kalau seseorang menyibukan diri dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban Tuhan, dan dalah tugas yang utama bagi orang itu untuk menjauh dari segala penghasilan demi menyempurnakan kepercayaan dan imannya kepada Tuhan. Sahl berkata :”Tidaklah pantas bagi orang-orang yang menaruh kepercayaan kepada Tuhan mencari penghasilan, kecuali dengan tujuan mengikuti Sunnah Nabi; dan bagi yang lain-lain, hal itu tidaklah pantas, kecuali untuk tujuan saling menolong.

Ini semua merupakan doktrin-doktrin sejati para Sufi, sepanjang yang telah kami buktikan dari yang telah dinyatakan dalam kitab-kitab mereka, yang nama-namanya telah kami sebutkan pada awal buku ini, atau telah kami dengan dari para ahli yang dapat dipercaya yang mengenai prinsip-prinsip mereka dan menguji doktrin-doktrin mereka, atau sepanjang kami memahami teka teki dan acuan-acuan terselubung dan terkandung dalam wacana aktual mereka. Memang, semua ini tak diungkapkan dalam cara yang sama seperti cara kami menuturkannya. Sebagian besar bukti yang telah kami sitir merupakan susunan kami sendiri, yang mengungkapkan apa yang telah kami kumpulkan dari kitab-kitab dan risalah-risalah mereka; tapi, apabila orang itu mempelajari wacana dan buku-buku mereka, dia akan tahu bahwa apa yang telah kami tuturkan ini benar adanya. Sungguh pun begitu, kalau bukan karena keseganan kami untuk membuat sebuah pembahasan yang panjang, maka pasti kami telah mengutip bab-bab dan syair-syair dari buku-buku mereka untuk setiap pokok masalah yang telah kami kemukakan, sebab semua ini tidak dituliskan secara cukup jelas dalam buku-buku itu.

Dan kini kami akan menyebutkan doktrin-doktrin Sufi yangkhusus, ungkapan-ungkapan tertentu yang mereka gunakan, ilmu-ilmu yang mereka pelajari, dan pokok-pokok isi umum wacara mereka, dengan keterangan tentang makna-makna mereka yang perlu. Dari Tuhan kami minnta batuan,s ebab tiada kekuasaan atau kekuatan kecuali dari Tuhan.

Ahad, 14 Februari 2016

Bab Yang Keempat: Peringkat-Peringkat Perjalanan Suluk Orang Sufi (Hasil Orang Menjalani Suluk) (4)



Karangan Al FaQirul Makhlus Sheikh Mustapha Mohamed Al-Jiasi (Al-Ahmadi) Murid utama To’ Guru Daud Bukit Abal, kelantan

Darjah-darjah Makrifat Dan Bandingannya

Suatu hal yang tak dapat dinafikan iaitu daripada syuhudlah timbulnya makrifat, dan darjah-darjah makrifat itu pula didapati terbahagi kepada tiga martabat. Sekarang ikutilah bahagian-bahagian martabat itu bagaimana di bawah:

Yang Pertama - Martabat Syariat: Iaitu mengenal Allah dengan jalan mengenal dalil wujud makhluk ini bagaimana mengikut cara ilmu usuluddin. Martabat ini digelar “ilmu al-yakin” atau “martabat syariat”. Martabat ini adalah ibarat kenal buah durian melalui kulit lahir sahaja. Ini darjah yang rendah sekali untuk orang-orang awam yang umpama kita ini.

Yang Kedua - Martabat Makrifat: Iaitu mengenal Allah dengan jalan hadir pengetahuan rasa (dzauk) ke dalam hati. Martabat ini digelar “ainul-yakin” atau “martabat makrifat” mengikut istilah tasauf, ibarat kenal isi durian setelah dikoyak kulit tetapi belum dimakan (dirasa). Martabat ini lebih tinggi dari yang pertama di atas iaitu untuk orang-orang sufi yang sudah merasa makrifat dan ia tetap lebih tinggi daripada pertama tadi (sudah jadi wali).

Yang Ketiga - Martabat Hakikat: laitu mengenal Allah dengan jalan hadir ke dalam hati rasa syuhud yang ada kemanisan dan kelazatan. Martabat ini digelar “haqqul-yakin” atau “mar-tabat hakikat” ibarat terdapat rasa kelazatan durian itu setelah ia dapat mengecap isinya. Dan martabat ini memang terdapat pada orang-orang wali, nabi-nabi dan rasul-rasul jua.

Kata setengah orang sufi di sana terdapat pula martabat yang tertinggi sekali iaitu “martabat akmal” namanya. Martabat ini adalah terkhas kepada Junjungan kita Nabi Muhammad SAW jua. Dan dari kerana nur Nabi Muhammad yang akmal inilah dijadinya alam sejagat ini.

Perbicaraan kita sudah agak panjang meleret. Sekarang marilah kita sambung kembali perbicaraan kita tentang hal perjalanan nafsu mulhamah (3) semula.

Adapun orang sufi yang dalam perjalanan nafsu mulhamah ini maka memanglah ia sudah dapat menyelami dan mengalami “alam arwah” yang kita namakan juga “alam malakut”. Dengan menyelami alam tersebut mereka dapat ketahui perkara-perkara yang pelik, mereka dapat menyaksi pula arwah-arwah di alam malakut itu serta dapat bercakap-cakap dengan mereka (lihat perbicaraannya pada fasal “alam hadrat” dalam bab yang kelima).

Hal atau warid perjalanan nafsu mulhamah ini ialah bahawa dapat rasa di hatinya “asyik kepada Allah” atau rindu kepada Allah dalam setiap masa. Dan sifat-sifat yang timbul dari nafsu mulhamah ini ialah murah hati (sakho), qana’ah, zahid dan lain-lain lagi daripada sifat-sifat yang terpuji yang tak dapat dipanjangkan di sini.

Apakah Dia Qana’ah Dan Zahid?

Qana’ah ialah rasa dapat berpada dengan apa harta atau kehidupan yang ada pada mereka, sifat ini dapat dirasa oleh hati mereka (orang sufi) oleh kerana kebersihan hati mereka. Adapun hati kotor orang awam yang umpama kita ini maka jauh sekali daripada dapat mengecap rasa sifat umpama itu. Oleh itu jauhlah bezanya hati kita yang bersifat tamak kepada keduniaan ini dengan hati orang yang bernafsu mulhamah tadi.

Dengan hal demikian maka qana’ah bukanlah suatu sifat yang dapat ditiru-tiru oleh sebarang orang kerana ia datang daripada benih hati bersih dan suci. Dan hati suci umpama ini memanglah memandang kehidupan dunia ini sebagai perkara gampang sahaja. Oleh sebab itu mereka tiada berasa susah, tidak sebagaimana hati kotor yang bersifat tamak. Demikianlah pula qana’ah suatu sifat budi yang mulia dan sangat berharga. Kepada orang qana’ah bukanlah bererti terhalang kepada mencari harta-benda tetapi mereka pun mencari harta tiada kerana lain melainkan untuk memenuhi kehendak kebajikan dan keredhaan Allah, berlainan dengan kehendak kita untuk memenuhi kehendak-kehendak kepuasan nafsu.

Zahid - Ialah suatu sifat budi yang mulia dan sangat berharga mahal iaitu bahawa dapat dirasa oleh hati orang sufi perasaan tumpul nafsu atau tak pecah selera kepada perkara-perkara keduniaan. Berlainan dengan orang kita yang berhati sifat tamak ini. Orang bersifat zahid ini tidak mengambil dunia untuk faedah dirinya.

Dan tidak ia mengambil melainkan pengambilan itu adalah sebagai sambil lewa sahaja. Tidak dicarinya dunia melainkan untuk memenuhi kehendak-kehendak kebajikan dan keredhaan Allah jua. Mereka memandang harta dunia ini sebagai amanah Allah di muka bumi, mereka letakkannya pada tempatnya, mereka tidak menyalahgunakan amanah Allah untuk kepuasan nafsu yang tak mengenal batas-batas keredhaan Allah.

Lihatlah gambaran mulia sifat zahid sebagaimana yang ditunjuk contohkan oleh sahabat Nabi, Abu Bakar as-Siddiq iaitu ketika Nabi melancar pungutan derma kilat untuk memenuh suatu tabung peperangan. Abu Bakar r.a menderma seluruh hartanya dengan tidak ketinggalan sedikit pun, lalu Nabi SAW bertanya kepadanya: “Tidakkah ada ketinggalan sedikit harta di sisi kamu?” Abu Bakar r.a menjawab: “Ya Rasulullah, yang tinggal di sisi saya ialah Allah dan Rasul jua.”

Wah....! Bukan main sifat kezahidan dilakukan oleh Abu Bakar ketika negara menghadapi kecemasan ekonomi. Pendek kata sifat zahid umpama itu perlu dijadikan sebagai alat dinamik untuk tujuan-tujuan kecemasan pada waktu-waktu tertentu. Malah sifat zahid adalah musuh ketat kepada sifat kedekut, tindas-menindas dan penghisap darah.

Sifat zahid umpama itu bukanlah suatu sifat yang dapat ditiru-tiru kerana ia adalah pakaian nabi-nabi, wali-wali dan orang-orang yang bersih hati. Adapun zahid orang awam pada hal di hatinya penuh pepak dengan sifat-sifat tamak keduniaan maka itulah tandanya zahid berpura-pura bahkan zahid dusta dan palsu belaka.

Dalam perjalanan nafsu mulhamah ini mereka kerapkali mendapat syuhud pada afaal Allah SWT iaitu ibarat nyata (timbul warid) ke dalam hati rasa (dzauk) hakikat bahawa segala gerak-geri perbuatan alam ini semuanya terbit daripada Allah SWT yang Esa serta bertambah-tambah iman dan yakin. Dan kerapkali mereka fana segala perbuatan alam ini dalam ingatan hati apabila mereka mendapat syuhud dan ternyata di hati bahawa semua perbuatan yang berlaku itu hanya perbuatan Allah yang Esa jua.

Oleh itu bermaknalah mereka sudah masuk dalam permulaan maqam tauhid Al-Afa’al - iaitu ibarat daripada syuhud yang terasa di hati mereka bahawa tiada yang berbuat di alam ini melainkan Allah. Ini adalah sebagai tanda atau simbul yang mereka telah berjaya mendapat tauhid al-Afa’al dalam perjalanan mereka (nafsu mulhamah).

Jika terdapat demikian maka itulah tanda maqam pertama daripada maqam-maqam orang yang hampir menjadi wali, kerana hal kewalian nafsu mulhamah ini belum tercapai dengan tetap dan teguh (tamakkun - istiqamah) dan darjah ini adalah sehampir-hampir dengan wali yang belum rasmi, maqam ini ialah sebagai tangga utama untuk mencapai pula maqam tauhid al-Ismak (nafsu mutma-innah).

Fatwa Zikir Khurafat Dan Karut

Di sana terdapat fatwa-fatwa zikir yang berbunyi (لا فاعل إلا الله) atau sebagainya (لا معبود إلا الله), kononnya dikatakan bahawa siapa-siapa beramal demikian maka ia akan beroleh ilmu hakikat (menjadi wali) sebagaimana terdapat atau berlaku pada setengah orang kampung.

Sebenarnya, itu suatu kesilapan besar yang terjadi oleh kerana tersilap faham maksud ayat (لا فاعل إلا الله) yang umpama itu. Padahal yang sebenarnya ayat umpama itu merupakan suatu kedapatan syuhud tauhid al-Afaal orang sufi yang kalau hendak ditakbirkan dengan lafaz lidahnya (terjemahan) maka berbunyilah begitu. Bukan bermaksud kita beramal zikir demikian menentukan kita jadi wali. Fahamlah mudah-mudahan tiada terkeliru lagi. Dan bandingkanlah jika terdapat zikir-zikir lain yang diterima umpama itu.

Yang paling aneh dan menggerun sampai berdiri bulu roma sekali ialah ada yang memberi fatwa supaya berzikir “Aku sebenar zat Allah” atau “Aku sebenar ruh Allah” iaitu dikatakan zikir zat namanya, kononnya barangsiapa beramal demikian tiap-tiap malam di masa yang tertentu maka sifat-sifat nafsu yang kotor dalam diri akan terbakar menjadi bersih dan akhirnva ia akan mencapai makrifat dengan Allah (jadi wali). Sekalipun jika dikatakan zikir umpama itu diterima dari alam malakut tidaklah boleh kita terus beramal kerana benda-benda yang kita jumpai dalam alam malakut tidak boleh dipegangi sebab kita tidak ketahui ia (benda malakut) daripada jenis apa; jinkah, syaitankah atau malaikatkah?

Kita tak boleh menganggap barang-barang di alam malakut itu semuanya baik dan bersih belaka kerana syaitan-syaitan sangat pandai dan bijak menipu di alam itu. Adapun yang berfatwa; apabila seorang itu sampai kepada hakikat amalan umpama tadi maka tak payah lagi ia bersembahyang atau menurut syariat kerana syariat itu kulit luar yang bertujuan supaya tercapai hakikat, manakala sudah tercapai maka tak payah lagi menurut syariat. Itu semuanya karut sesat semata-mata dan tidak berasas bahkan ia terkeluar dari pelajaran tasauf dan agama Islam yang maha suci.

Awaslah! Jika beramal dengan fatwa umpama itu serta diiktikadkan dirinya sebenar zat Allah maka tak syak lagi murtad dan kafir zindiklah orang itu pada hukum agama Allah

Pendek kata, boleh jadi banyak lagi amalan-amalan khurafat dan karut yang seumpama itu timbul di kampung-kampung, kononnya dikatakan bertujuan supaya tercapai makrifat dengan Allah Taala.

Oleh itu suatu perkara yang mesti diingatkan kepada orang-orang yang hendak menjalani tasauf, hendaklah pada pertama kali ia mencari guru mursyid yang benar-benar ahli dan benar-benar tahu ilmu hakikat dan syariat dan benar-benar alim dan dapat mengecam hal-hal perjalanan angin-angin nafsu di tiap-tiap peringkat yang tujuh. la boleh dikatakan sebagai doktor pakar bawatin dan zawahir, barulah murid itu terselamat dari angkara fitnah dan sesat. Barangsiapa kepada berguru yang bukan ahli dalam perkara ini maka tunggulah bala petaka yang boleh membawa ia jadi kafir -

Dan siapa-siapa yang tiada mempunyai guru dalam hal ini maka syaitanlah yang menjadi gurunya. Awasilah ilmu tarikat dengan berguru kepada yang ahli! Adapun wirid-wirid atau ibadat-ibadat yang semata-mata kerana menuntut pahala akhirat dan tiada berkaitan dengan tarikat sufiah maka tidak perlu kepada berguru dan tiada halangan apa-apa untuk beramal dengannya.

Rahsia Syuhud Fitnah
 
 Sabda Nabi SAW:
Ertinya: Tidak ada kelebihan Abu Bakar dengan kamu dengan sebab banyak puasa dan banyak sembahyang tetapi yang melebihkan Abu Bakar ialah dengan sirr yang tersemat dalam dadanya. - Hadith Abu Hurairah.

Berkata Ibn Abbas r.a:
Ertinya: Kiranya aku terangkan tafsirnya (rahsia yang tersebut dalam hadith itu) nescaya kamu rejam aku ini dengan batu - dalam riwayat yang lain pula - nescaya kamu katakan aku ini kafir.

Tahukah tuan-tuan apakah yang dimaksudkan dengan sirr dalam hadith itu? Jawabnya, tak lain melainkan ialah rahsia kedapatan syuhud bagaimana kita hurai dengan panjang lebar dahulu. Pendek kata, perkara syuhud itu tak boleh dibahas, tak boleh diterang kerana lemah pendapat akal, lidah dan pena untuk menghuraikan rahsianya. Kalau diterang atau terterang atau tercakap atau terlatah atau terucap maka tentulah pendengaran orang terkeliru. Kalau sudah terkeliru fitnahlah jadinya. Kalau sudah jadi fitnah mungkin dia dibunuh orang.

Lihatlah apa yang terjadi pada Halaj, ketika ia tertarik oleh kuasa kelazatan fana (jazbah) maka terlatah di mulutnya (syattah) dengan kata “Tiada dalam jubah(ku) melainkan Allah”. Hal ini bukanlah suatu perkara disengajai, bukan perkara pelajaran atau falsafah sebagaimana yang diheboh-hebohkan oleh pihak yang tersilap mengambil pengertian, tetapi ia adalah hasil daripada perkara syuhud dzauk yang terjadi. Kebetulan pula pada zaman itu yang membuat fitnahkan Halaj ialah kaum fuqaha, ahli zawahir yang memang tidak mengerti rahsia itu.

Akhirnya pada tanggal 18 Zulkaedah 309 Hijrah (921M) di zaman khalifah Al-Muktadir Billah (المقتدر بالله) (kerajaan Abbasiah), Halaj pun dibunuh iaitu setelah ia difitnahkan oleh seorang ulama fikah terkenal bernama “Ibn Daud al-Isfahani” penganut mazhab Zahiri, suatu mazhab yang mementingkan segala hukum kepada zahir nas belaka dengan tidak dipedulikan rahsia hikmat di belakang itu.

Berkata Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, “Kiranya Halaj itu berada di zamanku nescaya aku ambilnya dengan tanganku dan aku tahan daripada fitnah pembunuhan orang” kerana orang zawahir memang tidak mengerti rahsia syuhud itu yang hanya untuk antara kita dengan Allah jua dan tidak harus diterangkan kepada umum.

Setengah guru tarikat mengurung muridnya di suatu tempat yang khas dan dikunci pintunya apabila terjadi kepada murid itu perkara-perkara umpama Halaj tetapi dibebasnya kembali setelah ia didapati siuman. Demikianlah hal perjalanan fana sebelum seorang sufi itu mencapai maqam baqa (al-insan al-kamil).

Berkata setengah ariffin:

Ertinya: Menerang rahsia sirr rabbubiyyah itu kufur.

Berkata yang lain pula:

Maksudnya: Kalau sudah terang rahsia ketuhanan, tentu tak berhajat lagi kepada nubuwwah, dan kalau rahsia nubuwwah pula terdedah terang tentu tak berhajat pula kepada ilmu pengetahuan, dan kalau rahsia ulama itu pula sudah ternyata maka tentulah pula tak berhajat kepada hukum.


Bab Yang Keempat: Peringkat-Peringkat Perjalanan Suluk Orang Sufi (Hasil Orang Menjalani Suluk) (3



Karangan Al FaQirul Makhlus Sheikh Mustapha Mohamed Al-Jiasi (Al-Ahmadi) Murid utama To’ Guru Daud Bukit Abal, kelantan

Wahdatul-Wujud Penting Difaham

Apabila seorang sufi itu terdapat fana kerana ia tersyuhud kepada salah satu daripada empat perkara yang diterang tadi, sudah tentu ia tiada dapat menyedari diri sendiri dan juga makhluk sekeliling maka di waktu itu kerapkali terlatah (syataha - شطح) di mulutnya dengan perkataan-perkataan “ittihad” (bersatu) umpama:
Ertinya: Tiada dalam jubah(ku) melainkan Allah.

Ertinya: Akulah Tuhan yang sebenar.

Ertinya: Akulah Tuhan yang ku cintai dan Tuhan yang ku cintai ialah Aku. Dan lain-lain misal lagi.
 
Sedang mereka dalam keadaan tak sedarkan diri (fana) itu bukanlah bererti mereka terbaring tidur dengan tiada dapat bergerak-gerak lagi badan kasar itu, bahkan mereka kerapkali dapat berjalan sebagaimana orang sihat dan kerapkali bercakap-cakap dengan orang banyak tetapi ia tidak sedarkan orang itu. Hanya yang sedar ialah mabuk dan karam kepada Allah jua, dan di waktu itulah mereka kerapkali terlatah dengan perkataan-perkataan “al-ittihad” umpama di atas itu. Perkataan “al-ittihad” maknanya ialah “pengucapan-pengucapan yang menimbulkan segera faham orang ramai bahawa Tuhan dan manusia (makhluk) itu adalah satu jua” seperti spa yang terdapat dalam latihan tadi. Dan hati orang-orang sufi yang dalam keadaan fana dan terlatah itulah dinamakan “wahdatul-wujud” atau pun “al-ittihad” mengikut istilah tasauf.

Dan mereka dalam waktu itu tidak terkena lagi dengan hukum taklif syarak kerana akal mereka hilang dengan kesedaran alam sekeliling. Dan tiap-tiap orang wali mestilah ia lalui dan merempuh jalan ini tetapi ada yang terselamat dari fitnah dan ada pula yang tidak terselamat seperti Halaj. Adapun maqam nabi atau rasul ialah maqam baqa yang tercipta dari awal yakni ia tidak perlu merempuhi jalan fana yang menyebabkan seolah-olah jadi umpama orang gila atau mereng.

Bandingan Wahdatul-Wujud

Sebab-sebab terjadi pengucapan-pengucapan syatah atau terlatah umpama itu ialah kerana kelazatan jazbah yang kuat terdapat dalam masa fana itu. Misalnya ia terucap di mulutnya: “Tiada Tuhan melain aku” atau “Akulah tuhan yang hak” atau pun “Tuhan tiada makan nasi yakni (aku)” atau sebagainya.

Pengucapan-pengucapan umpama itu sebenarnya adalah menghikayatkan apa yang sebenar daripada Allah, bukan bererti ia mengaku dirinya sebagai tuhan. Bagaimana kita sendiri juga pernah membaca Quran ayat:

Ertinya: Sayalah Allah tiada Tuhan yang lain melainkan Saya. [Surah Taha: 14]

Ini pada sekali imbas bererti perkataan “Saya” si pembaca Quran itu mengaku dirinya sebagai tuhan, pada hal itu adalah menghikayatkan spa yang sebenar daripada kalam Allah (al-Quran) jua. Demikian juga pengucapan-pengucapan yang terlatah di mulut orang sufi yang fana di ketika itu adalah menghikayatkan apa yang sebenar daripada Allah, bukan ia mengaku dirinya sebagai Tuhan, sebagaimana orang termasuk hantu juga, di ketika itu ia bercakap dengan tiada sedarkan diri bahkan ia menghikayatkan apa yang sebenar daripada hantu itu.

Sebagaimana juga malaikat Mulhim bercakap melalui diri orang fana yang kerapkali terlatah di mulutnya dengan umparna kata “أنا الحق” misaInya. Maka percakapan orang fana umpama itu adalah hasil dari hikayat malaikat Mulhim akan kalam Tuhan yang ditajalli kepadanya, oleh hal yang demikian maka jadilah pihak orang yang mendengar menyangka percakapan umpama itu adalah kalam orang yang mengaku dirinya Tuhan (lalu dipersalahkan), pada hal yang sebenarnya adalah kalam malaikat Mulhim yang ditajalli dan yang diterjemah atau dihikayat dari kalam Tuhan, maka begitulah juga bandingannya dengan percakapan orang masuk hantu; pada zahirnya ialah percakapan orang sakit itu, padahal pada batinnya adalah percakapan hantu (pelesit). Demikianlah dengan keterangan ini saya berharap sudah cukup terang kepada pembaca.

Satu perbandingan lagi iaitu kita umpamalcan apabila seorang itu melihat gambar sultan dalam frim gambar tersangkut di dinding rumahnya maka ia berkata: “Aku dah lihat sultan”. Padahal yang sebenarnya ia bukan melihat sultan, hanya dilihatnya gambar kertas jua tetapi oleh kerana ia tertumpu perhatiannya kepada ain sultan yang sebenar di istananya maka ia pun terucap “Aku dah lihat sultan” padahal matanya sedang lihat gambar kertas jua bukan ain sultan. Jadi pengakuan yang umpama itu adalah bermakna menghikayatkan apa yang sebenar daripada sultan yang hakiki dalam istana itu.

Demikianlah contoh-contoh perbandingan apa yang berlaku kepada orang sufi yang sedang karam dalam “wahdatul-wujud” atau “alittihad” atau dikatakan “hulul” atau seumpamanya. Saya berharap pembaca dapat faham dengan sejelas-jelasnya. Orang yang karam dalam wahdatul-wujud atau fana maka alam sekelilingnya laksana cermin yang mereka nampak Tuhan di dalamnya, oleh itu maka alam sekeliling ini laksana Tuhan dalam pandangan (dzauk dan kelazatan) syuhud mereka kerana mereka nampak di dalamnya Tuhan, maka terluncur di mulut mereka dengan pengucapan-pengucapan umpama “alam ini adalah Tuhan” atau “Tuhan itu adalah alam ini” padahal yang sebenarnya bukanlah bererti “alam ini Tuhan dan Tuhan itu alam” bukan sekali-sekali begitu, kerana alam dan Tuhan adalah berbeza dan sangat berlainan pada zat masing-masing bahkan adalah mustahil kalau dikatakan dua perkara yang berlainan itu hanya jenis yang satu. Oleh yang demikian maka tetaplah dua perkara yang berbeza itu tak serupa jua sebagaimana yang telah diputuskan oleh kaedah tulen ilmu usuluddin yang tak boleh diugih-ugih lagi.

Oleh itu barangsiapa mengiktikadkan “Bahawa Tuhan dan alam adalah satu”. Atau “Dirinya dengan Tuhan adalah satu”. Atau “Aku Allah” nescaya murtadlah ia dengan serta-merta, والعياذ بالله baik mengikut ilmu tasauf atau pun usuluddin.

Itulah dia huraian-huraian wahdatul-wujud secara sihat mengikut istilah tasauf yang sebenar yang dipelajari atau diterima dari guru yang ahli, bukan dikutip dari buku-buku mengikut secara sedap faham, kemudian ditulis melalui majalah-majalah mengikut aliran fikiran yang tidak berasas. Peganglah kemas-kemas kaedah secara sihat ini kalau tuan-tuan ahli peminat tasauf. Dan tidak ada sekarut-karut atau sebidaah-bidaah huraian di dunia ini melainkan huraian yang mengelirukan fahaman iktikad orang ramai mengenai masaalah tauhid pada agama Allah yang maha suci baik secara langsung atau tidak langsung.

Jangan-jangan menghuraikan wahdatul-wujud secara bukan-bukan, itu menyebabkan timbul penyakit besar yang tiada terubah maka buruklah padahnya iaitu murtad atau jadi kafir zindik.

Huraian-Huraian Mengeliru Dan Tiada Bertanggungjawab

Banyak terdapat dalam majalah tulisan-tulisan oleh golongan kaum intelek kita dan berani menghurai wahdatul-wujud dengan huraian-huraian yang mengelirukan fahaman orang ramai seperti dikatanya: “Alam dan zat Tuhan adalah satu” atau “Manusia dapat bersatu dengan Tuhan” atau “Alam semesta ini merupakan bahagian daripada Tuhan” atau seumpamanya, sebenarnya ayat-ayat susuk kata umpama itu tidak terdapat dalam kitab-kitab Arab tua tasauf yang muktabar, tetapi ayat-ayat umpama itu agaknya adalah diambil daripada setengah kitab-kitab tasauf jenis zaman moden di mana di setengah-setengah tempat ada yang karut daripada kitab-kitab lama (tua), bahkan ia adalah daripada hasil yang tersalah diambil pengertian daripada pengucapan-pengucapan yang terlatah di waktu “al-ittihad” atau “wahdatul-wujud” berdasarkan kepada ini memang logik.

Di sana ada pula yang mengatakan “wahdatul-wujud itu sebagai ajaran atau falsafah” dan ada pula yang mengatakan “Al-Hallaj mengajar wahdatul-wujud kepada murid-muridnya” atau lain-lain lagi sebenarnya huraian-huraian atau sumber-sumber yang umpama itu adalah berdasarkan kepada sedap-sedap faham atau dirasanya begitu kemudian ditulis atau pun bahan-bahan yang umpama itu dikutip-kutip dari buku-buku jenis baru atau majalah-majalah.

Semuanya itu adalah mengelirukan belaka kerana wahdatul-wujud itu sebenarnya bukanlah suatu ajaran sebagaimana pelajaran-pelajaran biasa yang kita belajar atau ambil dari guru dan bukan pula sebagai falsafah untuk difaham begitu tetapi ia adalah suatu perkara dzauk yang terjadi bagaimana diterang dengan panjang lebar tadi. Malah ia adalah suatu perkara yang tak boleh diterang dengan cakap dan tak boleh ditakbir dengan kalam.

Oleh yang demikian maka segala huraian “wahdatul-wujud” dengan takbir umpama itu sungguh-sungguh mengelirukan dan tak bertanggungjawab melainkan setelah dipelajari dan diambil fatwa dari guru yang ahli. Maka tak sayugialah ditulis, dibahas, dikupas dan dikorek isinya melainkan oleh orang yang ahli kerana mungkin tersalah, sebab otak manusia tak dapat menggambarkan dzauk sufiah itu walaupun oleh ahli wahdatul-wujud sendiri melainkan kalau hendak memaham, rasalah sendiri dan sebenarnya wahdatul-wujud ini bukan hak kepunyaan orang awam.

Suatu kaedah yang tetap iaitu wahdatul-wujud tidak berlaku melainkan pada waktu maqam fana. Adapun pada ketika ia baqa tak mungkin berlaku wahdatul-wujud kerana seorang dalam maqam baqa itu mempunyai dua alam kesedaran; iaitu alam batin dan alam zahir (tubuh kasar) yakni kedua-duanya bekerja dengan kesedaran masing-masing, adapun waktu fana maka alam batin sahaja yang sedar tetapi alam zahir iaitu tubuh kasar dengan perasaan pancainderanya adalah lenyap dari kesedaran kesemua sekali. Apabila seorang yang fana itu kembali kepada maqam baqa maka jadilah ia seorang wali besar atau kita gelarkan “al-insan al-kamil”.

Murtad Dan Zindik Setengah Orang-Orang Kampung 

Oleh sebab banyak berlaku kekeliruan tentang masaalah syuhud dan juga wahdatul-wujud itu bukan sedikit menyebabkan orang jatuh kafir zindik kerana mereka beriktikad bahawa yang sebenar dirinya (seorang) itu ialah dari jenis zat Allah sebagaimana juga diri zat asap sebenarnya ialah dari jenis zat api. Kononnya penganggapan yang seumpama itu ialah ilmu isi yang sebenar dan ahli tasauf yang sebenar dan dalam-dalam –

Itulah dia ilmu iktikad yang terkena pedaya syaitan dan berjaya merosakkan iman seorang. Ilmu seumpama itu banyak timbul di kampung-kampung, mereka iktikadkan dirinya adalah Tuhan yang sebenar, oleh itu maka segala gerak-geri mereka dan apa-apa yang mereka buat adalah Tuhan belaka, sehingga dikatakan apabila mereka sampai kepada hakikat ini maka tak payahlah mereka bersembahyang bang menurut syariat sebagai kulit luar sahaja.

Dan manakala ia berdepan dengan tok-tok guru yang ternama sedikit, ia mencari helah, dipujinya ilmu tok guru itu ... itu ... dan ini ... bagus semuanya tetapi bila berpaling belakang dari tok guru itu ia berdegil semula dan tetap engkar ilmu-ilmu guru itu bahkan dikatanya pula ilmu tok guru itu hanya kulit luar sahaja bukan hakikat dan bersembahyang bang pun terus ditinggalkan. Inilah dia satu-satunya ilmu isi kemenangan syaitan. Itulah ilmu isi yang tak keluar dari neraka jahanam sampai bila-bila, kerana pegangan-pegangan atau iktikad-iktidad yang seumpama itu adalah mengkafir zindikkan mereka dan memurtadkan mereka. Maka wajiblah ia bertaubat serta merta dan mengucap dua kalimah syahadat semula. Jika ia enggan, wajiblah dicerai isteri-isteri atau suami-suami mereka. Inilah satu daripada masaalah-masaalah yang seumpama itu berupa masaalah iktikad-iktikad yang tak nampak dilihat untuk diawasi.

Pengertian Wahdatul-Wujud Yang Sebenar

Pada hal masaalah wahdatul-wujud yang sebenar bukanlah bertujuan ke arah itu tetapi telah dikelirukan oleh rasa-rasa sedap faham pihak yang tak bertanggungjawab. Adapun masalah wahdatul-wujud, sebenarnya bukanlah suatu perkara di sengajai, bukan perkara pegangan iktikad dan bukan pula perkara ajaran atau falsafah tetapi ia adalah suatu perkara dzauk yang terjadi secara tiba-tiba setelah orang itu berjaya mencapai maqam fana, hal yang seumpama ini mestilah ditempuhi oleh mana-mana orang yang sudah menjadi wali. Oleh kerana huraian-huraian yang mengelirukan mengenai masaalah wahdatul-wujud maka ilmu tasauf adalah menjadi medan tuduhan-tuduhan angkara fitnah: kerapkali terdengar ilmu tasauf telah dimaki hamunkan, tasauf khurafat ... tasauf bidaah ... tasauf karut ... maka tuduhan-tuduhan yang umpama itu adalah tiada kena-mengena dengan tubuh ilmu tasauf yang suci itu, malah yang benar terkena sasarannya ialah kepada orang zindik tadi di mana ia tersilap mengambil pengertian dari pengeliruan-pengeliruan pihak yang tak bertanggungjawab tadi. Jadi - orang lain makan nangka orang lain kena getah!

Berkenaan dengan syuhud pula maka ia adalah berupa sebagai suatu barang yang paling berharga mahal, yang sangat-sangat dikehendaki oleh orang-orang sufi kerana ia berupa masaalah kemuncak dan matlamat akhir yang diperjuangkan oleh orang-orang tarikat dan suluk sufiah. Adapun golongan ulama az-zawahir terutama sekali ulama-ulama fikah (mungkin menyinggung perasaan ulama fikah, penulis sendiri pun murid fikah, tetapi terpaksa mendedahkan yang benar), mereka tidak tahu-menahu sedikit pun rahsia ini, sebab itu kebanyakan mereka mengengkari tasauf.