Catatan Popular

Ahad, 7 Jun 2020

UMMU DARDA AL SHUGRA HUJAIMAN, Shalatnya sepanjang malam hingga kakinya bengkak

Yunus bin Maisarah berkata,"Kami berada di rumah Ummu Darda dan beberapa wanita juga hadir disana.Mereka shalat sepanjang malam hingga kaki mereka bengkak karena berdiri lama."

 Apabila mengutip perkataan dari suaminya,ia berkata,"Tuanku berkapa kepadaku-maksudnya adalah Abu Darda.Kepada Abu Darda ia berkata: "Engkau melamarku kepada orang tuaku di dunia,lalu mereka menikahkan aku denganmu. Sungguh aku ingin melamarmu di akhirat."Abu Darda berkata: "Janganlah menikah lagi sepeninggalku."Muawaiyah pernah melamarnya,lalu ia mengutip apa yang pernah dikatakan kepada suaminya.Muawiyah berkata, "Engkau harus berpuasa."

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ummu Darda berkata,"Aku tidak mengharapkan seorangpun yang menggantikan Abu al Darda."

Dia adalah wanita yang sangat dihormati di kalangan bani Umayyah.Dia pernah menetap di Baitul Maqdis selama enam bulan dan menetap di Damazkus selama enam bulan.

Aun bin Abdullah berkata,"Kamui pernah duduk dihadapan Ummu Darda, lalu kami berdzikir kepada Allah bersamanya.Lalu orang-orang berkata,"Boleh jadi kami telah membuat engkau merasa bosan."

Dia menjawab,"Kalian beranggapan bahwa kalian telah membuat aku jemu, padahal aku mencari ibadah dalam segala sesuatu ?.Aku tidak mendapatkan sesuatu yang bisa menyejukkan dadaku selain dari majelis-majelis dzikir."

Dia pernah berkata,"Ilmu yang paling utama adalah ma'rifah.Belajarlah kalian al-hikmah sewaktu masih kecil, agar kalian bisa mengamalkannya setelah besar. Sesungguhnya setiap penanam itu akan memetik apa yang di tanamnya,baik maupun buruk."

Dia juga berkata,"Apa maunya salah seorang diantara kalian berkata,"Ya Allah, limpahkanlah rezeki kepadaku,padahal dia tahu bahwa Allah tidak akan menurunkan hujan berupa dinar dan dirham dari langit.Sesungguhnya sebagian diantara kalian akan menerima rezeki dari sebagian yang lain.Maka jika ada seseorang memberikan sesuatu,terimalah pemberian itu.Jika kaya, maka hendaklah pemberiannya itu diletakkan ditangan saudaranya yang membutuhkan. Jika miskin,maka hendaklah dia mencari jalan untuk memenuhi kebutuhannya dan tidak mengembalikan kepada Allah apa yang telah dianugerahkan-Nya.

Ada seorang laki-laki berkata kepadanya,"Sesungguhnya aku mendapatkan penyakit di dalam hatiku yang tak ada obatnya,aku mendapatkan kekerasan yang teramat sangat dan harapan yang jauh sekali."

Maka Ummu Darda berkata kepadanya,"Datanglah ke kuburan dan saksikanlah orang mati.Sesungguhnya ketakutan itu ada di dalam hati manusia layaknya pelepah daun kurma yang akan terbakar selagi ada yang menyulutnya."

Banyak wanita yang beribadah bersaman-sama Ummu Darda.Jika mereka sudah letih berdiri tatkala shalat, maka mereka bergayutan pada seutas 

ZAJLAH, Selalu menangis hingga buta dan selalu shalat hingga tak bisa berdiri”.


Dia ahli hadits,banyak melakukan kebaikan,ibadah, senantiasa berpuasa dan shalat malam.

Tatkala beberapa orang penghapal Al-Qur’an melihat Zajlah menekuni dirinya dalam ibadah,maka mereka berkata kepadanya,“Sayangilah dirimu!”.

Dia menjawab,“Mengapa aku harus menyayangi diri ku? Sesungguhnya hari berlalu begitu cepat.Siapa yang hari ini ketinggalan sesuatu,maka dia tidak akan menda patkannya esok hari.

Demi Allah,aku akan senantiasa shalat kepada Allah selagi sendi-sendiku belum lepas, aku akan berpuasa selama hidupku,aku akan menangis selagi mataku bisa melakukannya”.Kemudian dia melanjutkan, “Siapakah diantara kalian yang hendak menyuruh hambanya dengan suatu perintah,lalu dia lebih suka jika perintahnya itu diabaikan?”.

Abu Utbah Al-Hawwash berkata, “Kami pernah masuk ke tempat tinggal Zajlah.Dia senantiasa puasa hingga menghitam, selalu menangis hingga buta dan selalu shalat hingga tak bisa berdiri”.

Dia tidak pernah mendongakkan pandangan ke langit. Dia biasa pergi ke pantai dan mencuci pakaian kulitnya


FATIMAH NISHAPURI Guru Syekh Dzun Nun Misri


Dzun Nun Misri, seorang sufi terkemuka,mengatakan bahwa dia mendapatkan pelajaran yang berharga dari Fatimah Nisaphuri.Fatimah Nishapuri mengatakan bahwa seseorang yang tidak berpegang teguh kepada Allah,dia akan mudah menjadi sasaran segala macam dosa dan dia berbicara tanpa berpikir panjang lagi.Tetapi,seseorang yang mengabdi kepada Allah,dia akan tampak seperti orang bodoh yang tidak pernah berbicara omong kosong. Sebab dia merasa malu pada Allah.

Seseorang bertanya kepada Dzun Nun Misri, "Siapakah dalam pandanganmu yang memiliki kedudukan terting gi diantara para sufi?"
Dia menjawab,"Seorang wanita di Mekkah.Ia adalah Fatimah Nishapuri. Pemahamannya tentang Al-Qur'an sangat mendalam."

Lebih lanjut ia mengatakan,"Ia adalah orang yang dikasihi Allah dan termasuk guruku."Dia menasehati aku," Da lam segala tindakanku,kamu akan melihat bahwa berlaku tulus dalam berperilaku sesungguhnya bertentangan dengan tabiat jiwamu."

Abu Yazid berkata bahwa Fatimah adalah seorang wanita yang sangat arif.Ketika dia diberitahu tentang suatu peristiwa di suatu tempat, maka dia akan mengetahui bahwa hal itu terjadi atas kehendak Allah.

Selain Zuhud,ia juga memiliki kecerdasan yang luar biasa. Pemahamannya terhadap isi kandungan Alqur`an cukup mendalam.Tidak hanya itu ia juga ahli hadits,wajar kalau dia banyak meniru perilaku Nabi saw dalam beribadah dan bermasyarakat,dia selalu mengutamakan kepentingan orang banyak diatas kepentingannya sendiri .     

Dia meninggal dunia dalam perjalanan menuju Mekkah untuk melaksanakan umrah di tahun 223 Hijriyah.


Aisyah al Hiri an Naisaburi Putri Wali Besar yang Menjadi Wali

‘Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri wafat di tahun 346 H.
Ia telah mewariskan pengetahuan kerohanian yang luar biasa, hingga sampai di generasi kita sekarang ini.
‘Aisyah merupakan anak perempuan dari Imam Abu ‘Utsman Sa’id bin Isma’il al-Hiri an-Naisaburi (w. 298 H), seorang ulama dan wali besar dari Naisabur.
Imam al-Dzahabi menggambarkan kedudukannya dengan kalimat:  
“Abu Utsman al-Hiri adalah seorang syekh (ulama), imam, ahli hadits, pemberi nasihat, dan keteladanan.
(Ia) adalah syaikhul Abu ‘Utsman, Sa’id bin Isma’il bin Sa’id bin Manshur an-Naisaburi al-Shufi”
Imam al-Hakim mengatakan, para ulama tidak ada yang meragukan kemustajaban doa Abu ‘Utsman al-Hiri.
Kezuhudan, kepakaran dan penghambaannya kepada Allah diakui oleh hampir semua ulama di zamannya.
Dari sekian banyak anak-anaknya, menurut Imam Abdurrahman al-Sulami, Aisyah adalah yang paling zuhud, wara’, dan paling tinggi keadaan kerohaniannya.
Seperti ayahnya, doanya terkenal mustajab.
Imam Abdurrahman al-Sulami menulis:  
“Aisyah merupakan anak Abu ‘Utsman yang paling zuhud dan paling wara’”, Ia mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya, mempelajari berbagai ilmu agama dari mulai Al-Qur’an, hadits dan lain sebagainya.
Didikan ayahnya berpengaruh besar pada kehidupannya, sehingga ia melalui jalan yang sama dengan ayahnya.
Ketekunannya dalam belajar; keistiqamahannya dalam membersihkan hati, menjadikannya seorang ulama dan wali perempuan yang mumpuni.
Imam Abdurrahman al-Sulami mengatakan bahwa, ‘Aisyah merupakan anak Abu ‘Utsman al-Hiri yang paling menonjol. Tingkat kerohaniannya jauh melebihi saudara-saudaranya, baik yang laki-laki maupun perempuan (wa ahsanihim hâlan).
*****
Sebagai seorang ibu, ia pun tidak lupa mendidik anak-anaknya.
Salah satu anaknya yang paling terkenal adalah Ummu Ahmad.
Betapa kuatnya pengaruh dan kharismanya, para ulama lebih sering menisbatkan nasab Ummu Ahmad kepada ibunya.
Imam Abdurrahman al-Sulami menyebutnya, Ummu Ahmad binti ‘Aisyah.
Kelak, Ummu Ahmad menjadi wali perempuan yang masyhur juga.  
Dalam catatan Imam Abdurrahman al-Sulami, Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri selalu menasihati anaknya, Ummu Ahmad.
******
Beberapanya adalah “Aku mendengar anak perempuannya, Ummu Ahmad binti ‘Aisyah, berkata: Ibuku berkata kepadaku:
“Wahai puteriku, jangan kau (gantungkan) kesenanganmu terhadap (sesuatu) yang fana, dan jangan pula kau mencemaskan (sesuatu yang bisa) hilang. (Gantungkanlah) kesenanganmu kepada Allah, dan cemaslah dari (kemungkinan) kau gagal mendapatkan ampunan Allah.”
“Aku mendengarnya berkata: Ibuku berkata kepadaku: “Tetapilah adab, baik secara dhahir maupun batin. Sebab, apa saja kejelekan adab (yang dilakukan) seseorang secara dhahir, (ia tidak akan dihukum) kecuali dihukum secara dzahir.
Dan apa saja kejelekan adab (yang dilakukan) seseorang secara batin, (ia tidak akan dihukum) kecuali dihukum secara batin”.  
Artinya, menjaga adab secara dzahir dan batin tidak bisa dipisahkan. Jangan sampai perilaku jahat dzahir manusia (berlaku kasar, menghardik, dsb.,) membuat batinnya turut terperangkap. Begitu pun sebaliknya, jangan sampai perilaku buruk batin manusia (ujub, takabbur, hasud, dsb.,) membuat dzahirnya ikut terperangkap juga.  
Maka, dalam ayat Al-Qur’an dikatakan (QS. Al-Falaq: 4), “wa min syarri hâsidin idzâ hasad” ([aku berlindung kepada Tuhan] dari kejahatan pendengki ketika ia dengki).
Dengki adalah penyakit hati, dan siapapun orangnya memiliki potensi dengki, yang membedakan adalah, ‘apakah dengki itu diaktifkan dalam gerak fizik (dzahir) atau sekedar perasaan hati yang mana kita berusaha keras untuk memulihkannya.’
Jika kita membiarkannya mewujud dalam perilaku fizik, itu artinya dzhahir kita telah terperangkap oleh kejelekan batin kita.  
Menjaga adab, baik secara dzahir maupun batin, sangat penting untuk dilakukan.
Apalagi Allah telah mennanam perangkat positif dan negatif di jiwa kita.

Semua manusia berpotensi menjadi baik karena Allah menempatkan kasih sayang, ketulusan, rasa malu, kesadaran dan watak positif lainnya.
Begitupun sebaliknya, semua manusa berpotensi menjadi jahat karena beragamnya watak negatif di hati manusia.
Karena itu, ‘Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri menasihati anaknya untuk selalu menjaga adabnya, baik adab dhahir maupun batin.  
‘Aisyah juga menasihatkan agar manusia bisa memahami kemaha-adaan Allah dan merasakan kehadiran-Nya.
Misalnya ia mengkritik orang yang merasa sepi dengan kesendirian (kesepian).
Baginya, Allah Maha Selalu Ada, maka tidak ada kesepian dalam hidupnya, karena Allah selalu bersamanya.
Ia mengatakan:  “Barangsiapa yang merasa kesepian dalam kesendiriannya, itu (disebabkan oleh) kurangnya kemesraannya dengan Tuhannya.”
Di waktu lain, ‘Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri mengeluarkan ungkapan yang indah tentang menghargai sesama.
Karena penghargaan terhadap sesama merupakan bentuk kebenaran dari pengagungan terhadap sang Pencipta.
Ia mengatakan
“Barangsiapa yang memandang rendah seorang hamba, (itu pasti) karena kurangnya pengetahuan tentang Sang Tuan (Allah). Sebab, barangsiapa yang mencintai Sang Pencipta, maka ia akan mengagungkan ciptaan-Nya.”
Nasihat ini perlu kita renungkan secara mendalam. Selama ini, tanpa disadari, kita sering memandang rendah orang lain, bahkan sering menyamakan mereka dengan binatang, dan melekatkan predikat tersebut kepada mereka.
Padahal, kita tidak punya hak sama sekali untuk melakukan itu kepada sesama makhluk Allah.
Sebab, seperti yang dikatakan ‘Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri,
“barangsiapa yang mencintai Sang Pencipta, maka ia akan mengagungkan memuliakan ciptaan-Nya.”
Itu artinya, jika kita memandang rendah seseorang, itu sama saja kita sedang memandang rendah Penciptanya, na’udzu billahi min dzalik.  
‘Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri wafat di tahun 346 H.
Ia telah mewariskan pengetahuan kerohanian yang luar biasa, hingga sampai di generasi kita sekarang ini. 

Pertanyaannya, inginkah kita mencoba mengamalkannya

SYAWANAH Sufi wanita yang terkenal dengan sifatnya yang mudah menangis bila disebut Asma Allah


Ia adalah sufi wanita yang terkenal dengan sifatnya yang mudah menangis bila disebut Asma Allah. Bahkan ia pula yang memerintahkan anggota jamaah pengajiannya untuk menangisi dosa-dosa.

Karena seringnya ia menangis,sahabat sesama sufinya, Muadz bin Fadhl, mengira ia akan buta.

Namun Sya'wanah membantahnya dan tidak akan buta hanya karena menangisi dosa.Ia mengatakan,“Demi Allah, lebih baik bagiku menjadi buta di dunia ini karena air mataku dari pada buta di akhirat karena api neraka." kata Sya’wanah.

Ia adalah sufi wanita yang lahir di Ubullah, tepi Sungai Tigris (kini Irak). Sepanjang hari ia menangis dan pernah mengatakan bahwa tidak layak bagi mata yang tercegah dari melihat kekasihnya (Allah) serta sangat ingin melihat-Nya untuk tidak menangis.
Menurut cerita Malik bin Zayqham. Ada seorang laki-laki dari Ubullah yang banyak tahu tentang Sya’wanah datang kepada Abu Katsir. Katanya, sufi wanita ini sepanjang hari menangis tanpa henti. Ketika Malik bertanya bagaimana Sya’wanah mulai menangis ?.Apa jawabnya,“Jika dia mendengar nama Allah disebut-sebut, maka air mata akan mengalir dari pelupuk matanya seperti hujan.”
Malik pun kurang puas soal air mata ini. “Apakah air matanya keluar terutama dari sudut matanya yang dekat hidung, ataukah dari sudut matanya yang dekat pelipis?”
“Air matanya begitu berlimpah hingga aku tidak bisa mengatakan dari mana ia keluar. Aku hanya bisa mengatakan bahwa manakala nama Allah disebut, maka matanya menjadi laksana bintang yang bersinar-sinar,” ujar lelaki tetangga Sya’wanah itu.

Baik Malik maupun Abu Katsir ikut terharu atas cerita lelaki dari Ubullah itu.
“Tangisnya itu dikarenakan kenyataan bahwa seluruh hatinya terbakar. Orang-orang mengatakan bahwa banyaknya air mata orang yang menangis tergantung pada besarnya api yang membakar hatinya,” ujar Katsir.
Kehidupan yang dijalaninya sebagaimana sufi-sufi yang lainnya yaitu zuhud terhadap kesenangan dunia.
Hidupnya sederhana bahkan tempat tinggalnya adalah rumah yang telah reyot. Kesaksian ini disampaikan oleh Manbudh yang masih keponakannya. Kunjungan Manbud ini bersama temannya yang bernama Humam.

“Aku pergi dengan seorang teman ke Ubullah. Kami minta izin kepada Sya’wanah untuk bertamu kepadanya.”
Setelah menerima kami di gubuknya yang reyot, di dalamnya kelihatan kepapaan dimana-mana.

Temanku berkata kepada Sya’wanah, “Wahai,kalau saja engkau mau berbelas kasihan kepada dirimu sendiri dan mengurangi tangisan mu,niscaya lama kelamaan keadaanmu akan lebih baik dan engkau akan mem peroleh apa yang engkau harapkan,” ujar Manbudh.
Mendengar itu Sya’wanah menangis. Ia berkata,“Aku bersumpah demi Allah, aku ingin menangis sampai air mataku tak tersisa lagi. Setelah itu akan kucucurkan air mata darah sedemikian rupa hingga tak setetespun lagi darah yang tinggal di dalam badanku.”
Sya'wanah terkenal sebagai sufi terkemuka disebabkan oleh kebiasaannya yang suka menangis tiada henti apabila mendengar Asma Allah disebut.
Ruh bin Sa’mah bersaksi bahwa ia tidak pernah melihat seorang pun menangis sebanyak Sya’wanah.
Sebagai sufi ia sering memberikan pengajian kepada kaum wanita.Di dalam forum pengajian inipun Sya’wanah menganjurkan jamaahnya yang hadir bisa menangis.Jika ada yang tidak bisa menangis hendaklah ia mengasihani orang-orang yang menangis.Alasannya karena seseorang menangis di forum pengajian itu,karena sadar betapa jauh hawa nafsunya telah menyimpang dan melakukan banyak dosa kepada Allah.Juga karena paham betapa hawa nafsunya itu telah menjadikannya seorang pelanggar aturan Allah.

Sedang berdasarkan pengalaman Hasan bin Yahya, bahwa Sya’wanah bila menangis akan merangsang orang-orang lain untuk menangis juga.

Meski memiliki kekerasan hati untuk menjauhi kehidupan duniawi,namun Sya’wanah tidak melupakan fitrahnya sebagai wanita.Suatu saat pula Allah menganugerahi seorang lelaki menjadi suaminya.Dari suaminya ini pula ia memperoleh anak lelaki.Setelah pernikahan dan punya anak,maka lengkap sudah hidup Sya’wanah,penuh keseimbanghan lahir batin.
Apalagi ia bersama suaminya sempat melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah.Ia ibarat wali wanita yang haus akan cinta Allah,bergelimang kesedihan dan air mata. Ada salah satu kalimat yang cukup menyayat bagi orang-orang yang jadi penghayat tasawuf yaitu,“Tuhanku, Engkau tahu bahwa orang yang haus akan cinta-Mu tak akan pernah terpuaskan.”
Bahkan salah satu muridnya yang setia menyatakan bahwa sejak dia bertemu dengan gurunya itu,maka berkat berkah wali perempuan yang kharismatik itu dia tak pernah lagi cenderung mencari kenikmatan dunia,dan tak pernah lagi dia meremehkan sesama muslim.
Sha'wanah tidak lupa memberikan nasehat kepada orang lain tentang nilai-nilai ketaatan dan kebaikan kepada Allah.

Tiga perkataan sha'wanah yang layak untuk diingat yaitu:

q  Seseorang yang mengabdi kepada Allah,tidak dapat menjadi kenyang. Bagaimana dapat terjadi sebab dia selalu ingat Allah.
q  Mata yang tidak mampu melihat keinginan seseorang,adalah lebih baik untuk menitikkan air mata.
q  Seseorang tidak dapat menangis sendiri,harus memiliki belas kasihan pada ratapan tangis orang-orang yang bertaubat atas kemalangan dan dosa-dosa mereka.
  Permohonan Sha'wanah kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Sha'wanah adalah seorang pemohon abadi kepada Allah.Hal ini dibuktikan dengan doa-doa yang dipanjatkannya ketika beribadah.
"Ya Tuhanku,aku punya hati yang dipenuhi dengan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu dan mengharapkan belas kasihanmu juga.Engkau Maha Pemurah bagi seseorang yang tidak mengharapkan,yang mengabaikan atau bagi mereka yang merindukan tetapi tidak kesampaian.
"Ya Tuhanku,bila waktu kematian telah mendekatiku dan tidak ada perbuat an yang mampu membuatku dekat dengan-Mu,aku mohon atas kemuliaan Mu, ampuni dosa-dosaku sebagaimana aku mengetahui bahwa tidak ada yang lebih baik pengampunannya selain pengampunanMu.Bila Engkau menjatuhkan hukuman,seseorang tidak akan mendapatkan sesuatu selain keadilan.
"Ya Tuhanku,Eangkau berikan berkah padaku dalam hidup ini,jadi aku mohon jangan ambil rahmat-Mu dariku setelah aku mati dan menjaganya tetap dalam kebaikan.
"Ya Tuhanku,di seluruh rentang kehidupanku, terbentang segala nikmat yang telah Engkau berikan,kemudian mengapa aku akan berhenti berharap yang sama di akhirat nanti.

"Oh,penciptaku,meskipun kelebihan dosa-dosaku telah membuatku takut tetapi cintaku pada-Mu mampu menghiburku."
"Aku mohon,Ya Tuhanku,putuskan permasalahanku dengan jalan yang layak penuh belas kasih-Mu Yang Mulia.
"Aku berharap,Ya Tuhanku,bahwa bila Engkau telah menghendaki aku terhinakan, aku tidak akan mendapatkan bimibingan.Bila Engkau menghendaki aku malu, mengapa Engkau menghindarkan aku dari kesalahan.Jadi,Ya Tuhanku, alasan yang membawa bombingan padaku dan dengan kemuliaan-Mu, beritahukan hal itu terus-menerus.
"Ya Tuhanku,aku bahkan tidak berpikir bahwa Engkau akan menyetujui ke inginanku,aku menghabiskan seluruh hidupku untuk mengabdi pada-Mu.

Ya Tuhanku,aku tidak berkeinginan untuk berbuat dosa,lalu mengapa aku takut pada hukuman-Mu.Bila aku tidak mengenal keagungan-Mu,lalu mengapa aku berharap akan pahalamu?
BD14565_ Nasehat Sha'wanah Pada Adiknya.
Muhammad bin Ma'az bercerita bahwa seorang seorang wanita yang mulia dan shaleh bercerita tentang mimpinya.
Dia dikisahkan berkata,"Aku bermimpi bahwa aku telah di berikan kesempatan untuk masuk surga.Aku melihat penduduk surga berdiri dipntu.Aku bertanya mengapa mereka berdiri di depan pintu.Sebagian dari mereka menjawab bahwa mereka menunggu seorang wanita dimana surga berhias untuknya.Aku bertanya siapakah dia.Aku di beritahu bahwa dia adalah seorang gadis budak kulit hitam, Sha'wanah.Aku mengatakan pada mereka bahwa dia adalah kakakku.Sementara itu dia datang menunggangi unta terbang.Aku memanggilnya, "Kakakku! Aku sangat mencintaimu."

"Berdoalah pada Allah agar kamu menjadi pasanganku di surga."Dia tersenyum dan mengatakan bahwa waktu saya belum tiba.Dia menyarankan aku untuk mengingat dua hal.Pertama,bahwa kita harus menjalani kehidupan dengan perasaan khawatir tentang akhirat.Yang kedua, kita harus tetap menjaga kecintaan kepada Allah di atas semua keinginan duniawi.Dengan ini,Insya Alllah kamu tidak akan pernah menderita kerugian.


KELEMBUTAN SANG ULAMA


Imam Hakim meriwayatkan dalam Al Mustadrak, bahwa Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhu ketika berada di rumahnya dalam kondisi sakit menangis, lalu istrinya ikut menangis, maka Abdullah bin Rawahah bertanya kepada istrinya tentang sebab dirinya menangis, istrinya menjawab, “Aku melihat engkau menangis, maka aku pun ikut menangis,” lalu istrinya balik bertanya kepada suaminya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis?”
Abdullah bin Rawahah menjawab, “Aku ingat firman Allah Ta’ala,
“Dan tidak ada seorang pun darimu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.-72. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut. (QS. Maryam: 71)
Abdullah bin Rawahah melanjutkan kata-katanya, “Aku tidak tahu, apakah aku termasuk mereka yang bertakwa atau bukan?” (Diriwayatkan oleh Hakim)

******

Syeikh Hammad bin Zaid berkata, “Ayyub (As Sikhtiyani) saat menyampaikan hadits terkadang hatinya tersentuh, lalu ia menoleh dan membuang ingus dan berkata, “Alangkah dahsyatnya flu ini,” ia menampakkan flu untuk menyembunyikan tangisnya.

*******
Imam Muhammad bin Wasi berkata, “Aku menemukan beberapa orang yang kepalanya sebantal dengan istrinya, namun pipinya basah oleh tangisnya, sedangkan istrinya tidak tahu.
Demikian pula menemukan beberapa orang yang salah seorang di antara mereka berdiri dalam shaf, kemudian tangisnya menetes di pipinya, namun temannya yang berada di samping tidak mengetahui.”



BINATANG BUAS YANG MENGHANCURKAN DESA

Suatu kali seekor binatang buas ditangkap oleh penduduk desa.

Mereka mengikat binatang tersebut ke sebuah pohon. Setelah menimbang bahwa binatang ini sudah menciptakan penderitaan yang begitu banyak kepada penduduk, memakan ternak mereka, maka pemimpin desa memutuskan untuk menghanyutkannya ke laut sore hari nanti setelah penduduk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari.

Di tengah penyesalan binatang buas karena penangkapannya, muncullah seekor kambing yang tidak begitu cerdas.

Kambing tersebut menghampiri sang binatang buas yang berakal cerdik sambil bertanya mengapa binatang itu diikat sehebat itu.
“Ah, sebenarnya, penduduk desa mengikatku begini karena aku tidak mau menerima wang mereka,” jawab sang binatang.

Kambing tercengang. Baginya, masalah uang adalah masalah yang rumit. Ia bertanya, “Mengapa mereka ingin memberikan wang kepadamu? Lalu, mengapa pula engkau tidak menerimanya?”

Binatang buas yang cerdik itu segera menyadari kelemahan mendasar kambing. Ia kemudian bersilat lidah, “Mereka berbuat begini karena aku begitu dekat dengan Allah. Mereka ingin menyuapku dengan wang. Mereka adalah manusia tak bertuhan.”

Si kambing mulai membujuk agar ia diberi kesempatan untuk menggantikan tempat binatang buas. Dalam bayangan si kambing, ia akan menolong makhluk yang percaya kepada Allah. Kambing itu menasihati agar sang binatang buas lari menjauh dari penduduk desa. Binatang buas itu berterima kasih dan berkata bahwa pahala kambing tersebut sangat besar karena membantu hamba Allah yang kesusahan. Maka, mereka berganti tempat.

Tak lama kemudian, selesai bekerja, warga desa datang ke tempat binatang buas tadi ditawan.

Melihat yang ada di sana adalah kambing, mereka tidak ambil pusing. Mereka menutup kepala kambing dengan karung, mengikatnya, dan menghanyutkannya ke laut.
Keesokan harinya para penduduk desa dikejutkan dengan kemunculan binatang buas ke arah desa mereka bersama sekawanan domba yang terlihat begitu baik.

Sang binatang buas, berkedok menjadi makhluk yang mencintai Allah berkata, “Di laut sana, ruh-ruh akan membalas siapa saja yang terjun ke dalamnya dan tenggelam dalam sikap demikian”.

Dalam sekejap warga desa mematuhi perintah binatang buas tadi. Mereka berduyun-duyun pergi ke pantai dan terjun ke laut.

Mudahlah bagi binatang buas tersebut mengambil alih desa yang ditinggalkan penduduknya.

Hikmah di Balik Kisah Binatang Buas, Kambing, dan Warga Desa

Binatang buas di atas sebenarnya merupakan lambang nafsu manusia yang letaknya ada di alam bawah sadar. Sebelumnya, nafsu ini sudah diikat oleh warga desa, representasi ruh manusia. Dalam agama, pengekangan nafsu diri ini dilakukan melalui ibadah yang sifatnya serba membatasi.

Misalnya, semua agama di dunia pasti memiliki ritual puasa, yang tujuannya
(1) menjauhkan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri pada tataran luar, dan
(2) mengendalikan amarah atau emosi jiwa yang tidak stabil pada tataran dalam yang ternyata berkaitan dengan makanan atau minuman apa saja yang masuk ke dalam tubuh. Ada pula salat, yang mengerem orang untuk bekerja sepanjang hari atau malah bermalas-malasan setiap hari.

Pengereman nafsu, pengikatannya seperti mengikat binatang buas, akan sia-sia ketika jiwa kita yang polos, yang digambarkan oleh kambing, justru membebaskan nafsu ini karena “muslihat-muslihat yang terlihat baik”. Kita bisa menganggap bahwa nafsu diri ini sama dengan setan yang tugasnya menghasut manusia. Nafsu bisa memanipulasi dengan pandangan “tidak apa-apa jika berdosa sedikit-sedikit” atau “setiap orang toh boleh salah” atau “dosa ini bisa ditebus dengan pahala yang lebih banyak”.

Sekali saja jiwa termanipulasi nafsu, hasilnya seperti kambing yang dijerat manusia dan dibuang ke laut. Jiwa tersebutlah yang akan menggantikan posisi nafsu yang mestinya dilenyapkan. Ketika jiwa lenyap, tidak ada lagi penjaga diri kita menghadapi nafsu. Bahkan, nafsu yang manipulatif ini menggandakan dirinya lebih besar seperti binatang buas yang berkawan dengan domba-domba. Ketika nafsu membesar (dan pada dasarnya sekali diberi kesempatan untuk bebas maka nafsu akan memenangkan pertarungan dengan pengendalian diri), maka bisa dipastikan nasib kita sama seperti warga desa yang masuk ke laut dengan wajah gembira karena binatang buas mengarahkan mereka. Artinya, nafsu telah mengendalikan kita; bukan sebaliknya.

Dalam kisah-kisah lain yang tertebar di dunia (tidak mesti kisah Islami) kisah binatang buas, kambing, dan warga desa ini memiliki variasi yang bermacam-macam dengan pola yang sama. Misalnya, ada naga (nafsu) yang berasal dari bawah tanah atau dari danau yang gelap (ketidaksadaran) kemudian menculik perawan (jiwa yang suci) sehingga perawan tersebut tertawan. Hidup-mati sang perawan bergantung pada tokoh utama cerita, yang biasanya ditampilkan sebagai ksatria super, diri kita sendiri.

Ketika Imam Malik bin Anas Menjawab Tidak Tahu




Diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi berkata: “Seorang laki-laki bertanya kepada Imam Malik tentang suatu masalah.”

Imam Malik menjawab: “lâ uhsinuhâ aku tidak mengerti masalah itu dengan baik.”

Kemudian laki-laki itu berkata: “(Tolonglah) aku telah melakukan perjalanan jauh agar bisa bertanya kepadamu tentang masalah ini.”

Imam Malik berkata kepadanya: “Ketika kau kembali ke tempat tinggalmu, kabarkan pada masyarakat di sana bahwa aku berkata kepadamu: lâ uhsinuhâ aku tidak mengerti masalah tersebut dengan baik.”

****

Sekarang ini kita berada di zaman otoriti (kepakaran) tidak lagi dianggap penting, dan teks terjemah Al-Qur’an atau hadits dianggap setara dengan teks aslinya.

Kita sering melihat potongan gambar terjemahan ayat Al-Qur’an atau hadits digunakan untuk menghakimi sesuatu dengan mengatakan, “Penjelasan/pendapat kiai ini salah karena tidak sesuai ayat Al-Qur’an. Bukankah dalam Al-Qur’an sudah jelas dikatakan....”

sembari melampirkan potongan gambar terjemahan ayat. 

Padahal ada proses panjang dan rumit dalam menghukumi sesuatu, apalagi menghakimi sebuah pendapat yang lahir melalui proses ilmiah yang panjang. Salah satu contohnya adalah ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah [2]: 228:

“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu selama) tiga kali quru’.....” (Q.S. al-Baqarah [2]: 228)

Kata “qurû’” dalam ayat tersebut mengandung makna ganda yang saling bertentangan, bisa bermakna “sedang mengalami haid” dan bisa juga bermakna “suci dari haid.”

Imam Jalâluddîn al-Mahalli dalam Syarh al-Waraqât mengatakan, “fa innahu yahtamilul athhâr wal haidl sesungguhnya lafad qurû’ mengandung makna suci dan makna haid.”
Perbedaan pemaknaan ini dapat melahirkan hukum yang berbeda.

Imam al-Syafi’i dan Imam Malik mengartikan “qurû’” sebagai “suci dari haid”, sedangkan Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah mengartikannya “mengalami haid”.

Perbedaan pendapat ini berpengaruh pada cara hitung masa iddah wanita. Bagi yang mengamalkan makna “suci dari haid” masa iddahnya menjadi lebih pendek dari yang mengamalkan makna “mengalami haid”. Karena habisnya masa iddah dihitung dari masa sucinya, bukan dari berakhirnya haid.

Melihat contoh di atas, ayat Al-Qur’an ternyata memiliki banyak jenis yang harus didekati dengan pendekatan yang berbeda-beda.

Jenis ayat di atas disebut mujmal dalam terminologi ushul fikih.

Mujmal sendiri berarti, “kullu lafd lâ yu’lam al-murâd minhu setiap lafad yang tidak diketahui maksud pastinya.”

Untuk lebih jelas silahkan pelajari ushul fiqih, ulumul Qur’an, dan ilmu-ilmu lainnya. 
******
Dengan demikian, kita perlu meneladani Imam Malik.

Ia menolak menjawab pertanyaan yang berada di luar pemahamannya dengan mengatakan, “lâ uhsinuhâ” yang berarti “aku tidak mengerti dengan baik masalah tersebut.”

Ia tetap bertegas menolak menjawab meski laki-laki itu berusaha meyakinkannya dengan kalimat, “aku telah melakukan perjalanan jauh agar bisa bertanya kepadamu tentang masalah ini.”

Bahkan, ia menyuruh laki-laki itu untuk menyampaikan pada masyarakat di tempatnya bahwa ia tidak benar-benar tahu.

Dalam kisah ini, Imam Malik tidak malu mengatakan dirinya tidak tahu. Ia tidak takut orang-orang menganggapnya bodoh. Ia tidak takut dianggap keterlaluan dengan membiarkan laki-laki itu pulang dengan tangan hampa meski telah melakukan perjalanan jauh.

Imam Malik ingin menegaskan bahwa pengamalan agama harus dibangun dengan pengetahuan dan rasa takut kepada Allah.

Imam Malik mengatakan:

“Ilmu itu bukanlah banyaknya riwayat, melainkan cahaya yang diletakkan Allah dalam hati.” (Imam Jalâluddîn Abû al-Farj bin al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, hlm 361)

Jika ditarik dalam konteks sekarang, perkataan Imam Malik dapat difahami dengan rangkaian kalimat, “pengetahuan itu bukan seberapa banyak kau hafal dalil agama, dan bukan pula seberapa cepat kau menjawab pertanyaan agama, melainkan cahaya yang diletakkan Allah di hatimu.” 

Cahaya itu bersifat menerangi.

Kata sebagian bijak bestari, manusia bisa melihat bukan sekedar karena dia punya mata, tapi juga karena adanya cahaya. Dengan cahaya kita bisa melihat dengan utuh, tidak sepotong-potong. Jika cahaya telah memasuki hatinya, cahaya itulah yang kemudian membuatnya melihat dengan jelas dirinya sendiri. Dia bisa bercermin untuk menakar seberapa dalam pengetahuannya sebelum mengukur seberapa kuat imannya. Dia menjadi tahu seberapa besar pengetahuan yang dimilikinya, sehingga ketika ada pertanyaan, dia memahami betul jika dia memiliki jawabannya atau tidak.

Selain itu, cahaya adalah simbol pencerahan dan perubahan. Lambang dari pengetahuan. Karena itu, Imam Malik berpandangan pengetahuan bukan seberapa banyak hafalan riwayat dan penyebarannya, tapi cahaya yang menerangi hati manusia. Kenapa cahaya dijadikan sebagai simbol? Karena cahaya tidak pernah memilih siapa atau apa yang diteranginya.

Cahaya menghangatkan semuanya seperti matahari. Hafez (w. 1390 M), seorang penyair Persia berpuisi: “Even after all this time, the sun never says to the earth, 'You owe me.' Look what happens with a love like that. It lights the whole sky bahkan setelah sekian lama, matahari tak pernah sekalipun berujar pada bumi, ‘Kau berhutang padaku.’

Lihatlah, apa yang terjadi dengan cinta semacam ini. Itu menerangi seluruh langit.” (Hafez, The Gift: Poems by Hafez, The Great Sufi Master,)

Artinya, orang yang berilmu harus menjadi pelita bagi semuanya tanpa pandang bulu.

Pelita yang mencahayai jalan yang harus ditempuh manusia. Dalam kisah di atas, Imam Malik sedang menerapkannya. Ia tidak mau menjerumuskan orang lain dengan jawabannya. Bagi orang-orang berilmu, sedikit tahu masih kurang untuk membuat mereka berpendapat, apalagi jika mereka merasa benar-benar tidak tahu.

Karenanya, Imam Malik butuh waktu untuk melakukan riset, telaah, dan pandangan dari berbagai sisi sebelum memberikan jawabannya. Ia pun tanpa ragu menjawab, “aku tidak tahu.”

Kisah Imam Hanafi Mengislamkan Orang Majusi Dengan Akhlaknya


Dikisahkan, suatu ketika Abu Hanifah an-Nu’man, pendiri madzhab Hanafi, mendatangi rumah seseorang yang beragama Majusi untuk menagih utang. Orang Majusi itu memang memiliki tanggungan utang kepada Abu Hanifah.

Sesampainya di depan rumah si Majusi, tiba-tiba sandal Abu Hanifah tertimpa najis. Abu Hanifah secara spontan mengibaskan sandalnya dan tak sengaja najisnya justru mengenai tembok rumah orang Majusi.

Situasi ini membuat Abu Hanifah pusing bukan main. Beliau berpikir bahwa bila najis di tembok tersebut dibiarkan, maka jelas akan merusak pemandangan rumah si Majusi. Bila kotoran dihilangkan, beliau khawatir tembok tersebut akan rusak akibat terkena kontak fisik saat prosesi penghilangan najis.

Abu Hanifah belum bisa memutuskan langkah terbaik. Beliau bergegas mengetuk pintu rumah orang Majusi itu untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Setelah pembantu orang Majusi membukakan pintu, Abu Hanifah berpesan kepadanya agar segera menyampaikan kepada majikannya bahwa beliau sudah menunggu di depan pintu.

Saat menemui Abu Hanifah, si Majusi berasumsi akan ditagih dan dituntut sedemikian rupa. Ia menyampaikan permohonan maafnya kepada Abu Hanifah belum bisa melunasi utangnya karena beberapa alasan. Padahal, Abu Hanifah belum mengatakan satu kalimat pun.

“Mohon maaf tuan Abu Hanifah, aku belum bisa membayar utangku,” terang orang Majusi kepada Abu Hanifah yang disusul dengan beberapa alasan ketidaksanggupannya melunasi utang.

Saat si Majusi berharap-harap cemas menunggu respon Abu Hanifah, jawaban yang keluar justru jauh di luar dugaannya.

“Oh tidak. Bukan itu maksud saya. Ada urusan yang lebih penting dari sekadar urusan utang itu,” jelas Abu Hanifah.

“Apa itu? Bukankah engkau ke sini untuk menagih utangku?” tanya Majusi dengan penuh penasaran.

Setelah itu Abu Hanifah menceritakan kronologi kasus tembok rumah si Majusi yang tak sengaja tertimpa kotoran sandal Abu Hanifah.

“Bagaimana ini tuan? Bagaimana caranya menyucikan najis di tembok rumahmu ini?” ujar Abu Hanifah.

Orang Majusi tersebut takjub akan budi luhur yang ditunjukkan Abu Hanifah: sangat berhati-hati agar tidak berbuat zalim kepada orang lain, sampai melalaikan hak piutangnya sendiri. Ia pun terketuk pintu hatinya untuk memeluk Islam.

“Aku akan memulainya dengan mensucikan diriku terlebih dahulu,” ujar orang Majusi menjawab pertanyaan Abu Hanifah seraya memantapkan dirinya untuk memeluk Islam seketika itu juga.

Demikian cara ulama kita mendakwahkan Islam. Bukan dengan ajakan keras. Melainkan dengan akhlak yang luhur dan wajah teduh sarat kecintaan. Dengan mengedepankan rasa kemanusiaannya, Abu Hanifah berhasil mengetuk pintu hidayah orang Majusi.

Imam Al Muzani Ketekunan Mengalahkan Kebodohan


Imam Al Muzani sebelum berguru kepada Imam Asy Syafi’i lamban dalam berfikir.

Setelah berguru kepada Imam Asy Syafi’i dalam satu hari beliau menghafal seratus baris. Berkali-kali beliau membaca di hadapan Imam Asy Syafi’i kitab Ar Risalah, dan mengulang-ulang selama 50 tahun hingga mendapatkan banyak faidah dari kitab itu.

Imam Asy Syafi’i pun berkata, “Al Muzani sebelumnya lamban berfikir, namun ia mampu menguranginya dengan kerajianannya.”

Batu yang keras apabila ditetesi air terus menerus pada akhirnya akan berlubang juga. Seorang yang mempunyai bakat kecerdasan namun tidak tekun, kecerdasannya itu tidak bermanfaat bagi dirinya kecuali hanya sesaat saja. Ketekunan mengantarkan seseorang pada keberhasilan. Sebagaimana kemalasan mengantarkan seseorang pada kehinaan.

Kisah Imam Al Ghazali Menyapu Lantai Dengan Tangannya


Suatu ketika Imam Al-Ghazali menjadi imam di sebuah masjid. Tetapi adiknya yang bernama Ahmad tidak mau berjama’ah bersamanya, lalu Imam Al-Ghazali berkata kepada ibunya : “Wahai ibu, perintahkan adikku, Ahmad, agar shalat mengikutiku, supaya orang-orang tidak menuduhku selalu bersikap jelek terhadapnya”.

Ibu Imam Al-Ghazali lalu memerintahkan putranya Ahmad agar shalat makmum kepada kakaknya, Al-Ghazali.

Ahmad pun melaksanakan perintah sang ibu, menjadi makmum Imam Al-Ghazali.

Namun ditengah-tengah shalat, Ahmad melihat darah membasahi perut Imam Al-Ghazali. Tentu saja Ahmad memisahkan diri .

Seusai shalat, Imam Al-Ghazali bertanya kepada Ahmad, adiknya itu : “Mengapa engkau memisahkan diri (mufaraqah) dalam shalat yang saya imami tadi?”.  Adiknya menjawab : “Aku memisahkan diri, karena aku melihat perutmu berlumuran darah”.

Mendengar jawaban adiknya itu, Imam Al-Ghazali mengakui, hal itu mungkin karena dia ketika shalat hatinya sedang mengangan-angankan masalah fiqih yang berhubungan dengan haid seorang wanita yang mutahayyirah.

Imam Al-Ghazali lalu bertanya kepada adiknya : “Dari manakah engkau belajar ilmu pengetahuan seperti itu ?”. Adiknya menjawab, “Aku belajar ilmu ini kepada Syaikh Al-Utaqi Al-Khurazi yaitu seorang tukang jahit sandal-sandal bekas (tukang sol sepatu)”. Imam Al-Ghazali lalu pergi kepadanya.

Setelah berjumpa, Ia berkata kepada Syaikh Al-Utaqi: “Saya ingin belajar kepada Tuan”. Syaikh itu berkata : “Mungkin engkau tidak akan kuat menuruti perintah-perintahku”.

Imam Al-Ghazali menjawab : “Insya Allah, saya kuat”.

Syaikh Al-Utaqi berkata : “Bersihkanlah  lantai ini”.

Imam Al-Ghazali kemudian hendak membersihkan dengan sapu. Tetapi Syaikh itu berkata : “Sapulah (bersihkanlah) dengan tanganmu”.

Imam Al-Ghazali pun menyapu lantai dengan tangannya, kemudian dia melihat kotoran yang banyak dan bermaksud menghindari kotoran itu. Namun Syaikh berkata : “Bersihkan pula kotoran itu dengan tanganmu”.

Imam Al-Ghazali lalu bersiap membersihkan dengan menyisingkan pakaiannya. Melihat keadaan yang demikian itu Syaikh berkata : “Nah, bersìhkan kotoran itu dengan pakaian seperti itu”.

Imam Al-Ghazali menuruti perintah Syaikh Al-Utaqi dengan  ridha dan tulus. Namun ketika Imam Al-Ghazali hendak mulai melaksanakan perintah Syaikh tersebut, Syaikh itu langsung mencegahnya dan memerintahkan agar pulang.

Imam Al-Ghazali pun pulang menuruti perintah gurunya itu, dan setibanya di rumah beliau merasakan mendapat ilmu pengetahuan yang luar biasa.

Dan Allah telah memberikan ilmu laduni atau ilmu kasyaf yang diperoleh dari tasawuf atau kebersihan hatinya.

Wallahu A’lam