Catatan Popular

Rabu, 29 Mei 2019

JA’FAR ASH-SHADIQ : Pergilah, Kini Engkau Bebas

Ada sebuah kisah bahwasanya seorang budak milik Ja’far ash-Shadiq sedang menuangkan air ke tangan Ja’far di dalam baskom, tanpa sengaja air tersebut mengenai baju Ja’far. Kemudian Ja’far menatap budak dengan penuh kemurkaan.

Sang budak berkata, "Wahai majikanku, (Allah berfirman) 'Dan orang-orang yang menyembunyikan rasa marah'."
Ja’far menjawab, "Aku telah meredam emosiku."

Budak berkata, "Allah juga berfirman, 'Dan mereka yang memaafkan kesalahan orang'." Ja’far menjawab, "Aku maafkan kesalahanmu."

Budak berkata lagi, "Allah berfirman, 'Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan'." Yang diucapkan budak itu adalah surat Ali Imran ayat 134.

Ja’far berkata, "Pergilah, kini engkau merdeka karena Allah, dan aku memberimu 1000 dinar."


UWAIS AL-QARNI : Tidak Sengaja Tertidur

Rabi’ bin Khutsaim berkata, "Aku pergi ke tempat Uwais al-Qarni, aku mendapati beliau sedang duduk setelah selesai menunaikan shalat Shubuh."

Aku berkata (pada diriku -pent), "Aku tidak akan mengganggunya dari bertasbih. Setelah masuk waktu Zhuhur, beliau mengerjakan shalat Zhuhur. Dan begitu masuk waktu Ashar beliau shalat Ashar. Selesai shalat Ashar beliau duduk sambil berdzikir hingga tiba waktu Maghrib. 


Setelah shalat Maghrib beliau menunggu waktu Isya’, kemudian shalat Isya’. Selesai shalat Isya’ beliau mengerjakan shalat hingga menjelang Shubuh. Setelah shalat Shubuh beliau duduk dan tanpa sengaja tertidur. Tiba-tiba saja beliau terbangun. Ketika itu aku mendengar dia berkata, Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari mata yang senang tidur, dan perut yang tidak merasa kenyang.

LELAKI ASING YANG PELIK

Syeikh Abdul Wahid bin Zaid berkata, "Ketika itu kami naik perahu, angin kencang berhembus menerpa perahu kami, sehingga kami terdampar di suatu pulau. Kami turun ke pulau itu dan mendapati seorang laki-laki sedang terdiam menyembah patung."

Kami berkata kepadanya, 'Di antara kami, para penumpang perahu ini tidak ada yang melakukan seperti yang kamu perbuat.'

Dia bertanya, 'Kalau demikian, apa yang kalian sembah?'

Kami menjawab, 'Kami menyembah Allah.'

Dia bertanya, 'Siapakah Allah?'

Kami menjawab, 'Dzat yang memiliki istana di langit dan kekuasaan di muka bumi.'

Dia bertanya, 'Bagaimana kamu boleh mengetahuinya?'

Kami jawab, 'Dzat tersebut mengutus seorang rasul kepada kami dengan membawa mu’jizat yang jelas, maka rasul itulah yang menerangkan kepada kami mengenai hal itu.'

Dia bertanya, 'Apa yang dilakukan rasul kalian?'

Kami menjawab, 'Ketika beliau telah selesai menyampaikan risalahNya, Allah mencabut ruhnya, kini utusan itu telah meninggal.'

Dia bertanya, 'Apakah dia tidak meninggalkan sesuatu tanda kepada kalian?'

Kami menjawab, 'Dia meninggalkan Kitabullah untuk kami.'

Dia berkata, 'Coba kalian perlihatkan kitab suci itu kepadaku!'

Kemudian kami memberikan mushaf kepadanya.

Dia berkata, 'Alangkah bagusnya bacaan yang terdapat dalam mushaf itu.'

Lalu kami membacakan beberapa ayat untuknya. Tiba-tiba ia menangis, dan berkata, 'Tidak pantas Dzat yang memiliki firman ini didurhakai.'
Kemudian ia memeluk Islam dan menjadi seorang muslim yang baik.'

Selanjutnya dia meminta kami agar diizinkan ikut serta dalam perahu. Kami pun menyetujuinya lalu kami mengajarkan beberapa surat al-Qur’an. Ketika malam tiba sementara kami semua berangkat tidur, tiba-tiba dia bertanya, 'Wahai kalian, apakah Dzat yang kalian beritahukan kepadaku itu juga tidur?'

Kami menjawab, 'Dia Hidup terus, Maha Mengawasi dan tidak pernah ngantuk atau tidur.'

Dia berkata, 'Ketahuilah, adalah termasuk akhlak yang tercela bilamana seorang hamba tidur nyenyak di hadapan tuannya.' Dia lalu melompat, berdiri untuk mengerjakan shalat. Demikianlah, kemudian ia qiyamullail sambil menangis hingga datang waktu Shubuh.

Ketika sampai di suatu daerah, aku berkata kepada kawan-kawanku, 'Laki-laki ini orang asing, dia baru saja memeluk Islam, sangat pantas jika kita membantunya.'
Mereka pun bersedia mengumpulkan beberapa barang untuk diberikan kepadanya, lalu kami menyerahkan bantuan itu kepadanya. Seketika saja ia bertanya, 'Apakah ini?'

Kami jawab, 'Sekedar infak, kami berikan kepadamu.'

Dia berkata, 'Subhanallah. Kalian telah menunjukkan kepadaku suatu jalan yang kalian sendiri belum mengerti. Selama ini aku hidup di suatu pulau yang dikelilingi lautan, aku menyembah dzat lain (bukan Allah), sekalipun demikian dia tidak pernah menyia-nyiakan aku… maka bagaimana mungkin dan apakah pantas Dzat yang aku sembah sekarang ini, Dzat Yang Maha Mencipta dan Dzat Maha Memberi rizki akan menelantarkan aku?'

Setelah itu dia pergi meninggalkan kami. Beberapa hari kemudian, aku mendapat khabar bahwa ia dalam keadaan sakaratul maut. Kami segera menemuinya, dan ia sedang dalam detik-detik kematian. Setiba di sana aku ucapkan salam kepadanya, lalu bertanya, 'Apa yang kamu inginkan?'

Dia menjawab, 'Keinginan dan harapanku telah tercapai pada saat kalian datang ke pulau itu sementara ketika itu aku tidak mengerti kepada siapa aku harus menyembah.'

Kemudian aku bersandar pada salah satu ujung kainnya untuk menenangkan hatinya, tiba-tiba saja aku tertidur.
Dalam tidurku aku bermimpi melihat taman yang di atasnya terdapat kubah di sebuah kuburan seorang ahli ibadah. Di bawah kubah terdapat tempat tidur sedang di atasnya nampak seorang gadis sangat cantik.
Gadis itu berkata, 'Demi Allah, segeralah mengurus jenazah ini, aku sangat rindu kepadanya.' Maka aku terbangun dan aku dapati orang tersebut telah mati. Lalu aku mandikan jenazah itu dan kafani.

Pada malam harinya saat aku tidur, aku memimpikannya lagi. Aku lihat ia sangat berbahagia, didampingi seorang gadis di atas tempat tidur dibawah kubah sambil menyenandungkan firman Allah.
"(Sambil mengucapkan), 'Salamun ‘alaikum bima shabartum.' Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu." (Ar-Ra’d: 24).

ABU HANIFAH : Seorang Imam Yang Khusyu’

Yazid bin al-Kumaid berkata, "Abu Hanifah adalah seorang imam yang sangat takut kepada Allah. Suatu ketika Ali bin al-Husain, sang muadzin mengimami kami dalam Shalat Isya', dia membaca surat az-Zalzalah. Sementara itu Abu Hanifah menjadi makmum. Setelah selesai mengerjakan shalat, orang-orang pulang ke rumah masing-masing, sedangkan aku melihat Abu Hanifah masih berdzikir sambil menarik nafas.

Aku berkata, 'Aku harus beranjak dari tempat ini!, agar hatinya tidak terganggu oleh kehadiranku.' Kemudian aku pulang sementara lampu minyakku yang tinggal sedikit aku tinggalkan untuk penerangan dalam masjid.

Setelah fajar menjelang, aku datang lagi ke masjid. Aku melihat Abu Hanifah sedang shalat, dia memegang jenggotnya sambil berkata, 'Wahai Dzat yang membalas kebaikan sebesar biji sawi dengan kebaikan, Wahai Dzat yang membalas keburukan sebesar biji sawi dengan keburukan, jauhkanlah an-Nu’man hambaMu ini dari api Neraka dan dari perbuatan buruk yang mendekatkan kepada api Neraka. Masukkanlah ia ke dalam rahmatMu yang sangat luas.'

Kemudian aku mengumandangkan adzan, tiba-tiba lampu minyak itu menyala terang menerangi Abu Hanifah yang sedang berdiri mengerjakan shalat. Ketika aku menemui beliau, beliau bertanya, 'Apakah kamu ingin mengambil lampu minyak itu?' Aku menjawab, 'Aku tadi telah mengumandangkan adzan shalat Shubuh.' Beliau berkata, 'Rahasiakan apa yang kamu lihat.'

Abu Hanifah kemudian shalat sunnah dua raka’at lalu duduk sehingga aku mengumandangkan iqamah. Beliau shalat bersama kami dengan wudhu yang beliau gunakan ketika shalat Isya' semalam.(Sejak mengerjakan shalat Isya’ hingga Shubuh, wudhu’ beliau tidak batal).

SAFINAH MAULA DAN ABU HARITS

Safinah maula Rasulullah berkata: "Ketika itu aku menumpang perahu, tak ku sangka perahuku pecah. Aku menyelamatkan diri dengan menaiki salah satu papan perahu itu.

Tiba-tiba angin kencang melemparkan aku hingga aku berada dalam hutan yang dihuni seekor singa.
Singa tersebut menghampiriku, maka aku berkata kepadanya: 'Wahai Abu Harits (julukan untuk singa) aku ini maula Rasulullah. Kemudian kepalanya mengangguk, dia mendekatiku lalu mendorong-dorongku dengan bahunya hingga keluar hutan. Aku dihantarkan sampai ke pinggir sebuah jalan. Setelah itu singa mengaum. Sepengetahuanku ia mengucapkan selamat tinggal. Demikianlah akhir pertemuanku dengan seekor singa."


AL-ALA’ BIN AL-HADHRAMI : Menunggang Kuda di Atas Air

Diriwayatkan dari Saham bin Munjab, dia berkata, "Dalam peperangan di wilayah Darain nama tempat di sekitar Bahrain, al-Ala’ bin al-Hadhrami bersama-sama kami. Al-Ala’ memanjatkan 3 macam doa, ketiga doa itu dikabulkan Allah.

Kemudian kami berjalan bersama-sama, sehingga tiba di suatu tempat. Kami mencari air untuk wudhu’ tetapi kami tidak mendapatkannya. Lalu al-Ala’ bin al-Hadhrami berdiri untuk mengerjakan shalat dua rakaat kemudian berdoa:

Ya Allah, Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Wahai Yang Mahatinggi dan Mahaagung. Sesungguhnya kami adalah hamba-hambaMu yang sedang dalam perjalanan untuk memerangi musuhMu. Turunkanlah hujan kepada kami agar kami dapat minum, dan berwudhu dari najis. Jika kami telah meninggalkan tempat itu, janganlah ada seorang pun yang Engkau beri jatah dari air hujan itu.

Belum jauh jarak jalan yang kami tempuh, kami tiba di sebuah sungai deras yang airnya berasal dari air hujan. Dia berkata, 'Kita berhenti di sungai ini dulu untuk minum.' Aku mengisi bejanaku, lalu aku sengaja meninggalkannya di tempat itu. Aku berkata, 'Aku akan lihat, apakah betul permohonannya dikabulkan?'

Kemudian kami berjalan kurang lebih satu mil. Aku berkata kepada teman-temanku, 'Aku lupa, bejanaku tidak terbawa.' Aku balik lagi ke tempat itu, maka aku mendapati seolah-olah di sekitar daerah itu tidak pernah turun hujan. Selanjutnya aku ambil bejanaku dan aku bawa serta.

Setelah kami sampai di Darain, kami mendapati di hadapan kami terbentang sungai yang menghalangi antara kami dan pasukan musuh. Ketika itu al-Ala’ memanjatkan doa lagi:

Ya Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui, Yang Maha santun, Yang Maha agung. Sesungguhnya kami adalah hamba-hambaMu, kami dalam perjalanan memerangi musuhMu, bukalah jalan untuk kami menuju musuhMu.

Tidak terduga kami dapat melewati sungai tersebut. Bahkan kuda-kuda kami satu pun tidak basah terkena air, sehingga kami dapat berhadapan dan menyerang musuh.

Setelah kami kembali dari peperangan, al-Ala’ mengeluh sakit perut, yang membawanya meninggal dunia. Sedangkan kami tidak mendapatkan air untuk memandikan jenazahnya. Kemudian kami kafani dengan baju yang dikenakan lalu kami kuburkan.

Tidak berapa lama dari perjalanan kami, kami mendapatkan mata air. Kemudian kami saling berkata, 'Marilah kita balik ke tempat itu untuk mengeluarkan jenazah al-Ala’ dan memandikannya.' Kami semua kembali, menyusuri tempat ia dimakamkan. Ternyata kami tidak mampu menemukan makamnya, dengan demikian kami gagal memandikan jenazahnya.

Kemudian ada seorang laki-laki berkata, 'Aku pernah mendengar dia berdoa kepada Allah,
'Ya Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui, Maha santun dan Maha agung, sembunyikanlah jenazahku, jangan Engkau perlihatkan auratku kepada seorang pun.'
Lalu kami kembali dan kami meninggalkan jasad al-Ala’ yang telah di makamkan di tempat itu.

ABDULLAH BIN IDRIS AL-AUDI : Khatam al-Qur’an 4000 Kali

Imam Ahmad bin Hambal berkata, "Ibnu Idris biasa menenun baju sendiri." Sedangkan al-Hasan bin ar-Rabi’ al-Burani berkata, "Suatu hari surat Harun al-Rasyid sampai ke tangan Ibnu Idris, ketika itu aku melihatnya, lalu surat itu dibaca, 'Dari hamba Allah, Amirul Mukminin Harun al-Rasyid untuk Muhammad bin Idris.' Seketika itu Ibnu Idris menarik nafas panjang lalu pingsan.

Setelah siuman, dia berkata, 'Innalillah. Dia kini mengenalku sampai-sampai menulis surat untukku, dosa apa yang menyebabkan aku seperti ini?'
Tatkala kematiannya di ambang pintu, anak perempuannya menangis. Kemudian sang ayah (Ibnu Idris) berkata, 'Wahai anak gadisku jangan menangis. Di rumah ini aku telah khatam membaca al-Qur’an sebanyak 4000 kali'."


ABDULLAH BIN SALAM Dan al-Urwatul Wutsqa

Qais bin Ibad berkata, "Ketika aku duduk di dalam masjid Madinah, tiba-tiba masuk seorang lelaki dari raut wajahnya terpancar keteduhan. Para sahabat yang berada di masjid berkata, 'Orang itu termasuk penghuni Surga.' Kemudian dia mengerjakan shalat dua rakaat lalu keluar masjid.

Aku mengikuti langkahnya dan bertanya, 'Ketika engkau masuk masjid tadi, orang-orang berkata, Inilah orang yang termasuk penghuni Surga!' Dia berkata, 'Subhanallah,' Tidak pantas seseorang mengatakan sesuatu yang tidak diketahui, akan aku beritahukan kepadamu bagaimana sebenarnya.

Ketika itu, pada masa Rasulullah masih hidup, aku pernah bermimpi, kemudian mimpi itu aku ceritakan kepada Rasulullah, Seolah-olah aku berada di tengah-tengah taman, aku sebutkan seberapa luasnya dan bagaimana suburnya, di tengah taman itu terdapat beberapa tiang terbuat dari besi pangkalnya menancap kuat di dalam bumi dan ujungnya tinggi di langit. Di ujung besi tersebut terdapat tali, tali itu berkata kepadaku, 'Naiklah kamu!' Aku jawab, 'Aku tidak bisa memanjat.' Kemudian aku singsingkan bajuku dari arah belakang, lalu aku memanjat sehingga aku mencapai bagian paling atas, aku bisa mengambil tali itu. Tali itu berkata lagi kepadaku, 'Pegangi kuat-kuat.'

Tiba-tiba aku terbangun. Maka mimpiku itu aku ceritakan kepada Rasulullah. Selanjutnya beliau bersabda, 'Yang dimaksud dengan taman adalah al-Islam, sedang tiang-tiangnya adalah sendi-sendi Islam. Tali yang dimaksud adalah al-Urwatul Wutsqa. Sungguh kamu tetap dalam keadaan Islam sehingga kematian menjemputmu'."


AMIR BIN ABDI QAIS : Ular Melewati Lengan Bajunya Saat Shalat

Terdapat suatu riwayat bahwa Amir bin Abdi Qais senantiasa qiyamullail dan berpuasa pada siang harinya. Seringkali iblis melintasi tempat ia bersujud menyerupai seekor ular. Jika ia tidak menemukan baunya maka ia singkirkan dengan tangannya lalu berkata, "Kalau bukan karena kebusukanmu pasti aku selalu bersujud."

Alqamah bin Mursyid berkata, "Aku melihat seekor ular masuk lewat gamis bagian bawahnya ketika beliau shalat lalu keluar melalui lengan bajunya, namun beliau tidak terusik sedikit pun!"

Ada seseorang yang bertanya kepadanya, "Mengapa tidak engkau singkirkan ular itu?"
Amir menjawab, "Demi Allah, aku benar-benar malu di hadapan Allah sekiranya aku takut kepada selain Allah. Dan demi Allah, aku tidak melihat ular itu ketika ia masuk maupun keluar."

Seseorang berkomentar, "Surga itu dapat dicapai tanpa harus dengan cara yang kau lakukan!"

Amir menjawab, "Aku tidak akan melepaskan kebiasaanku agar aku tidak mencela diriku."

Seseorang berkata bahwa suatu saat beliau sakit, kemudian menangis.

Ada yang bertanya, "Apa yang membuat kamu menangis, padahal kamu sudah seperti itu (ahli ibadah)?"

Amir menjawab, "Siapakah yang lebih berhak menangis selain aku? Padahal aku tahu perjalananku masih sangat jauh sementara bekal yang aku bawa sangat sedikit? Aku berada dalam perjalanan yang penuh pendakian dan jalan menurun, apakah perjalananku ini menuju Surga atau Neraka, sama sekali aku tidak tahu ke manakah tempat kembaliku kelak."

SAID BIN JUBAIR : Kisah Ahli Taqwa yang teguh pendirian.

Aun bin Abi Syidad berkata, "Aku mendengar berita bahwa setelah kabar Said bin Jubair sampai ke telinga al-Hajjaj bin Yusuf, Ia mengutus seorang komandan dari penduduk Syam disertai 20 orang pengawal untuk menangkap Said.

Ketika mereka mencarinya tiba-tiba mereka bertemu dengan seorang pendeta yang tinggal di sebuah biara. Mereka menanyakan keberadaan Said kepada pendeta tersebut. Pendeta meminta, 'Coba kalian sebutkan identiti orang itu!' Setelah disebutkan ciri-cirinya, pendeta memberitahu alamat rumah orang yang dicari.

Setelah itu, mereka pergi ke tempat yang telah ditunjukkan pendeta. Mereka mendapati Said sedang sujud, kemudian mereka mendekati dan mengucapkan salam kepadanya. Said bangun dari sujud untuk menyelesaikan shalatnya kemudian menjawab salam mereka.

Mereka berkata, 'Kami disuruh al-Hajjaj untuk menangkapmu, maka menyerahlah.' Said membaca tahmid, memanjatkan puji syukur kepada Allah dan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad, lalu berjalan dalam pengawalan mereka sampai tiba di biara sang pendeta.

Pendeta berkata, 'Segeralah kalian naik ke tingkat rumah sebelum malam datang, sebab singa jantan dan betina biasa mengelilingi biara ini!' Mereka pun mengikuti perintah pendeta.

Adapun Said, dia enggan masuk biara.

Para pengawal berkata, 'Pasti kamu ingin melarikan diri!'

Said menjawab, 'Tidak. Hanya saja saya tidak akan pernah memasuki rumah orang musyrik.'

Mereka berkata, 'Kami tidak mungkin membiarkanmu begitu saja, nanti kamu dimakan singa sehingga kamu mati.'

Said menjawab, 'Tidak mengapa! Allah senantiasa menyertaiku, Dialah Dzat yang akan menghindarkan aku dari serangan, bahkan akan menjadikannya sebagai pelindung di sekelilingku. Insya Allah singa itu akan melindungiku dari segala kejahatan.'

Pengawal bertanya, 'Apakah kamu seorang Nabi?'

Said menjawab, 'Aku bukan Nabi! Aku hanyalah seorang hamba dari hamba-hamba Allah, manusia yang biasa berbuat salah dan dosa.'

Pendeta berkata, 'Berilah aku jaminan, yang boleh membuat aku percaya!'

Para pengawal meminta kepada Said agar memenuhi permintaan pendeta.

Said berkata, 'Aku berjanji demi Allah Yang Maha agung yang tidak ada sekutu bagiNya, Insya Allah aku tidak akan meninggalkan tempat ini hingga pagi hari.'

Pendeta berkata kepada para pengawal, 'Naiklah kalian ke tingkat, pasanglah tali panah kalian untuk mengusir binatang buas dari seorang hamba yang shalih ini! '


Setelah naik mereka memasang tali panah. Tiba-tiba singa betina datang dan mendekati Said, menggaruk-garukkan dan mengusapkan tubuhnya ke tubuh Said, kemudian duduk di dekatnya. Kemudian singa jantan pun datang dan melakukan sebagaimana yang dilakukan singa betina.

Ketika pendeta menyaksikan kejadian ini dan para pengawal telah turun dari tingkat pada keesokan harinya, sang pendeta bertanya kepada Said tentang ajaran dan sunnah Rasulullah yang dipegangnya. Said menerangkan secara terperinci akhirnya sang pendeta pun masuk Islam.

Kemudian komandan dan para pengawal membawa Said untuk berpamitan.

Mereka berkata kepada Said, 'Kami telah bersumpah setia kepada al-Hajjaj, dan kami tidak boleh melepaskan kamu sebelum kamu dibawa ke persidangan.'

Said menjawab, 'Laksanakan! Tidak ada seorang pun yang dapat menolak keputusan Allah.'

Mereka membawa Said ke ruang persidangan. Setelah hakim memukul palu dan persidangan selesai, Said berkata, 'Aku yakin sebentar lagi ajalku tiba. Waktu hidupku telah habis, malam ini, berilah aku kesempatan untuk menyambut kematian dan bersiap-siap menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.'

Di antara mereka ada yang berkata, Dia tanggunganku, Insya Allah jika membantah akan aku serahkan dia kepada kalian.

Ketika mereka mengunjungi Said, mereka menyaksikan air mata mengalir dari kedua mata Said, rambutnya kusut, wajahnya pucat. Sejak mereka menangkapnya, Said tidak pernah makan, minum maupun tertawa.

Mereka bertanya, 'Bagaimana siksaan yang menimpamu karena perbuatan kami? Mintakanlah kami ampunan kepada Tuhanmu kelak di hari mahsyar.' Lalu mereka meninggalkan Said. Kemudian Said mandi, keramas dan mencuci bajunya.

Menjelang pagi, pengawal Said datang lagi untuk membawanya menghadap al-Hajjaj, Setibanya di tempat al-Hajjaj, dia bertanya, 'Apakah kalian menghadap aku dengan membawa Said bin Jubair?' Mereka menjawab, 'Ya.' Dia bertanya kepada kami penuh keheranan. Kemudian wajahnya berpaling dari mereka sambil memerintah, 'Suruh dia masuk ke ruanganku!' Setelah dimasukkan ke ruangannya, al-Hajjaj bertanya, 'Siapakah namamu?'

Said Menjawab, 'Said bin Jubair (orang yang bahagia anak orang yang kuat).'

Al-Hajjaj berkata, 'Engkau adalah Syaqiy bin Kasir (orang yang sengsara anak orang yang hancur)!'

Said Menjawab, 'Ibukulah yang lebih tahu maksud dia memberi nama aku seperti itu daripada kamu!'

Al-Hajjaj berkata, 'Engkau sengsara dan menyengsarakan ibumu!'

Said menjawab, 'Ini adalah perkara gaib, yang hanya diketahui oleh orang selain kamu.'

Al-Hajjaj berkata, 'Duniamu akan aku ganti dengan kobaran api. Wahai Said, pilihlah dengan cara apa aku harus menghabisi nyawamu!'

Said menjawab, 'Wahai al-Hajjaj, pilihlah sendiri, sesuai dengan keinginanmu. Demi Allah, cara apapun yang akan engkau pergunakan untuk menghabisi nyawaku, maka cara seperti itu pulalah yang akan engkau dapati saat kematianmu kelak!'

Al-Hajjaj berkata, 'Bawa dia pergi, lalu bunuhlah!'

Ketika Said keluar dari pintu ia tertawa. Kejadian ini dilaporkan kepada al-Hajjaj maka al-Hajjaj meminta agar Said dibawa masuk lagi.

Al-Hajjaj bertanya, 'Apa yang menyebabkanmu tertawa?'

Said menjawab, 'Aku heran atas kelancanganmu terhadap Allah, sementara Allah berlemah lembut kepadamu. Al-Hajjaj minta agar Said diterlentangkan di atas permadani, lalu berkata, 'Bunuhlah!'

Said menjawab,'Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.' (Al-An’am: 79).

Al-Hajjaj berkata, 'Palingkan ia dari arah kiblat!'


Said menjawab,'Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.' (Al-Baqarah: 115).

Al-Hajjaj berkata, 'Telungkupkan wajahnya!'

Said berkata,'Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan dari padanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.' (Thaha: 55).

Al-Hajjaj berkata, 'Sudah, penggal lehernya!'

Said menjawab, 'Sungguh aku bersaksi tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Penggallah, mudah-mudahan kepala ini akan bertemu dengan jasadku di hari kiamat kelak.' Kemudian Said berdoa, 'Ya Allah, sepeninggalku ini jangan lagi ada seorang pun yang mati atas kekejamannya.'

Kemudian Said dipenggal di atas hamparan permadani. Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat kepadanya."

Aun bin Abi Syidad berkata, "Berita yang sampai kepada kami adalah bahwa al-Hajjaj hanya hidup 15 hari setelah peristiwa ini. Ia terserang tumor perut.

Dokter spesialis didatangkan guna membedah perut dan membuang tumor tersebut. Tetapi mereka gagal karena daging yang dijahit lengket dengan darah setelah satu jam dari pelaksanaan operasi. Sadarlah ia bahwa umurnya tidak lama lagi.

Di samping itu terdapat kabar lain bahwa di akhir kehidupan al-Hajjaj, ia selalu memanggil-manggil, 'Said bin Jubair, apa dosaku padamu, mengapa setiap kali aku ingin tidur kamu selalu menarik-narik kakiku !!

SYAIBAN AR-RA'I : Mengelus Telinga Seekor Singa

Sufyan ats-Tsauri berkata, "Pada waktu itu aku pergi haji bersama Syaiban ar-Ra'i. Dan ketika kami sampai di sebuah jalan tiba-tiba kami berpapasan dengan seekor singa. Aku berkata kepada Syaiban, 'Tidakkah kamu melihat binatang buas ini? Dia telah menghadang kita!'

Syaiban menjawabku, 'Jangan takut wahai Sufyan!' Lalu ia memanggil singa itu dan memegang ekornya. Kemudian singa itu menggerak-gerakkan ekornya seperti anjing. Syaiban memegang telinga singa tersebut lalu mengelus-elusnya.

Seketika itu aku berkata, 'Untuk apa kamu pamer semacam ini?' Ia menjawab, 'Wahai Sufyan, pamer mana yang kamu pertanyakan? Kalau bukan karena aku benci pamer tentu aku tidak akan membawa bekal perjalananku ini ke Mekkah kecuali di atas punggung singa ini'."

ABU QILABAH : Ayyub Zaman Sekarang

Abdullah bin Muhammad berkata, "Suatu hari aku berjalan-jalan ke pantai dengan dikawal gerobak Mesir. Setelah aku sampai ke ujung pantai ternyata aku tiba di Bathihah.

Di pantai ini ada sebuah kemah, dihuni seorang lelaki yang buntung kedua tangan dan kakinya, sementara pendengaran dan penglihatannya lemah. Tidak ada satu anggota tubuh pun yang berfungsi selain lisan.

Dengan lisan itu ia memanjatkan doa, 'Ya Allah berikanlah kepadaku kemampuan untuk senantiasa memujiMu. Dengannya aku dapat memuaskan diriku dalam mensyukuri nikmat yang Engkau limpahkan kepadaku dan Engkau benar-benar telah memuliakan (melebihkan) aku dari segenap makhlukMu'."

Abdullah berkata, "Demi Allah, orang ini harus aku dekati. Akan aku tanyakan mengapa ia mengucapkan doa seperti itu? Apakah dia benar-benar mengerti perkataan yang ia ucapkan ataukah sekedar ilham yang diilhamkan kepadanya?"

Aku lantas mendatangi laki-laki itu, aku ucapkan salam kepadanya, dan aku katakan bahwa aku mendengar perkataan yang diucapkan tadi, "Ya Allah…" aku bertanya, "Kenikmatan apakah yang telah dikaruniakan Allah kepadamu? Dan kemuliaan seperti apakah yang telah dianugerahkan sehingga engkau bersyukur sedemikian itu?"

Lelaki itu menjawab, "Apakah engkau tidak melihat apa yang telah Allah perbuat kepadaku? Demi Allah, sekiranya Allah mengirim api dari atas langit untuk membakar tubuhku, memerintahkan gunung-gunung untuk menghancurkan aku, berkenan menyuruh lautan untuk menenggelamkan aku dan bumi menelan aku, maka sungguh aku tetap akan bersyukur kepada Allah atas lisan yang telah dikaruniakan kepadaku.

Tetapi wahai hamba Allah, engkau telah datang kepadaku dan aku butuh bantuanmu. Kamu sendiri sudah tahu bagaimanakah kondisi tubuhku, aku sendiri tidak mampu berbuat untuk menolong atau menciderai diriku. Sebelumnya aku ditemani anak laki-lakiku, dia selalu datang kepadaku pada waktu-waktu shalat. Dia lah yang mewudhuiku. Ketika aku lapar dan haus dia yang menyuapi dan memberi minum kepadaku. Sudah tiga hari ini aku kehilangan dia, kalau engkau berkenan carilah ia. Semoga Allah memberi rahmat kepadamu."

Aku berkata, "Demi Allah, tidak ada perjalanan yang lebih agung dan mendapat pahala besar di sisi Allah selain perjalanan demi membantu sesama saudara seperti engkau."

Maka aku pun mulai berjalan untuk mencari anaknya yang telah beberapa hari hilang. Belum jauh aku berjalan, tiba-tiba aku sampai di sebuah timbunan pasir, di situ aku menemukan seorang anak yang telah diterkam dan dimakan binatang buas. Aku ucapkan, "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun." Aku bergumam, "Apa yang harus aku katakan kepada lelaki tua renta itu?"

Dalam perjalanan pulang menuju kemah itu aku teringat dengan kisah Nabi Ayyub. Setelah aku tiba di kemah lelaki itu, aku ucapkan salam kepadanya, ia pun menjawab salamku.
Dia bertanya, "Bukankah engkau sahabatku?"

Aku jawab, "Ya."

Dia bertanya, "Apa yang telah engkau lakukan untuk memenuhi kebutuhanku?"

Aku balik bertanya, "Siapakah yang lebih mulia di sisi Allah, engkau atau Nabi Ayyub?"

Dia menjawab, "Pasti Nabi Ayyub."

Aku bertanya, "Apakah engkau tahu apa yang telah diperbuat Allah kepadanya? Bukankah ia telah diuji dengan harta, keluarga dan anak-anaknya?"

Dia menjawab, "Benar."

Aku bertanya, "Bagaimana dia menghadapi kenyataan itu?"

Dia menjawab, "Dia hadapi penuh dengan kesabaran, senantiasa bersyukur dan bertahmid."

Aku bertanya, "Namun, bukankah kerabatnya dan orang-orang yang mencintainya tidak rela menerima musibah itu?"

Dia menjawab, "Ya."

Aku bertanya, "Sementara itu, bagaimana Ayyub menyikapi semua itu?"

Dia menjawab, "Dia hadapi penuh dengan kesabaran, senantiasa bersyukur dan bertahmid."

Aku bertanya, "Tetapi bukankah ia kemudian menjadi tontonan bagi orang-orang yang berjalan, apakah engkau tahu?"

Dia menjawab, "Ya."

Aku bertanya, "Bagaimana dia mensikapi semua ini?"

Dia menjawab, "Dia hadapi penuh dengan kesabaran, senantiasa bersyukur dan bertahmid. Sekarang, persingkatlah pembicaraanmu!, semoga Allah mencurahkan rahmat kepadamu."

Aku berkata, "Wahai kawan, anakmu, yang engkau suruh aku untuk mencarinya, sudah aku temukan berada di antara timbunan pasir. Diterkam dan dimakan binatang buas, semoga Allah memberimu pahala yang besar dan melimpahkan kesabaran."

Laki-laki yang ditimpa musibah itu mengucapkan, "Alhamdulillah, segala puji milik Allah. Dzat yang tidak menciptakan dari garis keturunanku seorang hamba pun yang bermaksiat kepadaNya sehingga disiksa dalam api Neraka." Kemudian dia mengucapkan, "Innalillahi wa inna ilaihi rajiun." Ia menangis tersedu-sedu, lalu menghembuskan nafas terakhir.

Seketika itu aku pun mengucapkan Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Betapa besar musibah yang menimpaku.

Mayat lelaki ini kalau aku tinggalkan pastilah dimakan binatang buas. Tetapi kalau aku urus, aku tidak bisa berbuat banyak. Lalu aku kafani dia dengan kain sorbanku. Aku duduk di sisi kepalanya sambil menangis.
Tiba-tiba saja ada empat orang lelaki masuk ke kemah tanpa permisi, mereka bertanya, "Wahai hamba Allah, apa yang terjadi padamu? Bagaimana kabarmu?"

Kemudian aku ceritakan kepada mereka tentang diriku dan lelaki itu. Mereka bertanya, "Bolehkah kami melihat wajahnya, siapa tahu kami kenal?!"

Aku membuka wajahnya, keempat orang itu memperhatikan dengan seksama, kemudian menciumi mata dan tangannya, lalu berkata, "Benar, selama ini matanya tidak pernah dipergunakan untuk melihat hal-hal haram. Telah sekian lama anggota tubuhnya hanya digunakan untuk bersujud tatkala orang-orang terlelap tidur."

Aku bertanya, "Sebenarnya siapakah orang ini?"

Mereka menjawab, "Abu Qilabah al-Jarami, teman dekat Ibnu Abbas. Orang ini sangat mencintai Allah dan Nabi ."

Kemudian kami memandikan jenazahnya, mengkafani dengan pakaian yang ada, kami shalatkan dan kami kuburkan. Setelah selesai, orang-orang itu pulang begitu juga saya pulang ke markas.

Menjelang malam, aku rebahkan tubuhku untuk tidur. Tiba-tiba aku bermimpi seperti seseorang yang tidur lalu mimpi berada di salah satu taman Surga dikelilingi oleh dua bidadari di antara para bidadari Surga, mereka menyenandungkan, "Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu." (Ar Ra'd: 24).

Aku bertanya, "Bukankah kamu ini temanku?"

Dia menjawab, "Ya."

Aku bertanya, "Dari mana kamu peroleh kedudukan dan semua ini?"

Dia menjawab, "Sesungguhnya Allah memiliki beberapa tingkat/tempat yang sangat membahagiakan penghuninya yang tidak dapat dicapai kecuali melalui kesabaran ketika ditimpa musibah, dan bersyukur ketika dalam kenikmatan disertai rasa takut kepada Allah dalam keadaan sepi maupun ramai.

AR-RABI’ BIN KHUTSAIM : Seorang Pembunuh

Ibunda ar-Rabi’ bin Khutsaim berkata kepada anaknya, "Wahai anakku, mengapa engkau tidak tidur?" Anaknya menjawab, "Wahai Ibu, siapa saja yang melewati malam hari dalam keadaan takut tidur, sungguh wajar baginya bila ia tidak tidur pada malam tersebut."

Setelah sang ibu melihat anaknya senantiasa begadang dan menangis, ia bertanya kepada anaknya, "Wahai anakku, mungkin engkau telah membunuh seseorang?"

Sang anak menjawab, "Benar wahai ibuku."

Kemudian sang ibu bertanya, "Siapakah yang telah kamu bunuh, aku ingin memintakan ampunan kepada keluarganya. Sungguh demi Allah, sekiranya mereka mengetahui bahwa kamu senantiasa bangun malam dan menangis, tentulah mereka akan mengasihimu dan memaafkanmu."

Sang anak menjawab, "Wahai ibuku, aku telah membunuh diriku sendiri (maksudnya, melakukan kemaksiatan,)


IBNUL MUNKADIR : Menangis Karena Satu Ayat !!!

Pada suatu malam, Muhammad Ibnu al-Munkadir qiyamullail, ia menangis bahkan semakin keras menangis, sehingga keluarganya kaget lalu bertanya, "Apa yang menyebabkan kamu menangis seperti ini?" Mereka merasa heran, apalagi tangisannya semakin keras.

Kemudian keluarganya menemui Abi Hazm untuk memberitahukan masalah ini.

Abu Hazm datang ke rumahnya sementara ia pun masih dalam keadaan menangis. Beliau bertanya, "Wahai saudaraku, Apa yang membuat kamu menangis seperti ini, tangisan yang membuat keluargamu keheranan?" Dia menjawab, "Aku tadi membaca salah satu ayat al-Qur’an." Beliau bertanya, "Ayat apa?" Dia menjawab: .
"Dan jelaslah bagi mereka adzab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan." (Az-Zumar: 47).

Abu Hazm pun ikut menangis bahkan semakin keras tangisan keduanya. Kemudian salah seorang keluarga al-Munkadir berkata, "Kami memanggil kamu untuk menenangkan kami dari tangisnya, mengapa engkau malah menambah susah kami!!"

Kemudian beliau memberitahu penyebab mereka berdua menangis.

Khamis, 23 Mei 2019

KITAB TUAN TABAL @ TO’ TAKBAI: JALA UL QULUB BI ZIKRILLAH (SIRI 15)


Oleh Shaikh Abdusshamad bin Wan Muhammad Shalih bin Wan Abdul Lathif al-Fathani atau lebih dikenali dengan nama Tuan Tabal @ To’ Takbai (Penyebar Thariqat Ahmadiyyah Pertama di Nusantara)


Transliterasi Kitab Jala-ul Qulub bi-Zikrillah “جلاء القلوب بذكر الله” oleh Shaikh Abdusshamad bin Wan Muhammad Shalih bin Wan Abdul Lathif al-Fathani رحمه الله تعالى atau lebih dikenali dengan nama Tuan Tabal.(Penyebar Thariqat Ahmadiyyah Pertama di Nusantara)

Transliterasi dari tulisan Jawi kepada tulisan Rumi beserta dengan notakaki oleh al-Haqir al-Faqir Abu Zahrah Abdullah Thahir al-Qedahi. Segala kesalahan dan kesilapan mohon dimaafkan dan dibetulkan. Pembetulan serta tunjuk ajar daripada para asatizah dan juga dari sekelian pengunjung al-Fanshuri sangat dialu-alukan. Dan sebagai peringatan: Bagi sesiapa yang membaca tulisan ini dinasihatkan supaya bertanya kepada masyaikh tuanguru-tuanguru dan para asatizah yang berkeahlian dalam bidang ini, seandainya tidak memahami isi kandung kitab tasawuf ini. Janganlah diandaikan dengan pemahaman sendiri kerana ditakuti tiada muwafakat dengan apa yang dimaksudkan penulis kitab ataupun dengan ilmu tasawuf itu sendiri. Ampun maaf diatas segala kelemahan. Al-Faqir hanya sekadar ingin berkongsi khazanah para ulama kita. Sekian.

Fashal (فصل) pada menyatakan fana’ di dalam baqa’ dengan Allah

Hai saudaraku! Sucikan olehmu akan ‘baitullah’ itu daripada mengitsbatkan wujud haqiqi bagi yang lain daripada Allah dan hiasi akan dia dengan menafikan wujud engkau yang majazi. Maka janganlah engkau mengitsbatkan wujud engkau yang majazi serta wujud Allah yang haqiqi. Dan keluar olehmu daripada penjara mengaku dan dakwa kepada pandang wahdah Allah. Dan engkau perangkan nafsu engkau dengan pelapar [berlapar] kan dia pejaga [berjaga malam] kan dia [1].

Dan sebut olehmu akan Allah Ta’ala supaya zahir di dalam hati engkau bendaharaan wujud Allah dan supaya berombak di dalam ruh engkau oleh laut ahadiyah Allah dan supaya terpacarlah [terpancarlah] mata air hikmah daripada hatimu atas lidah engkau daripada laut ahadiyah Allah. Kerana barangsiapa kelepasan daripada penjara mengaku dan dakwa maka [d]ialah raja waktunya dengan kurnia Allah. Dan barangsiapa fana’ daripada dirinya maka jadi baqa dengan Allah.

Maka pada tiap-tiap ketika sebut olehmu akan Allah dan pada tiap-tiap masa musyahadah olehmu akan nur Allah serta engkau sucikan daripada barang yang tiada patut dengan kebesaran Allah dan fana’ olehmu daripada wujud engkau yang waham dengan wujud Allah yang haqiqi, supaya berhubung engkau dengan khawas auliya’ Allah dan mabuk engkau dengan minum arak wahdah Allah. Dan lepaslah engkau daripada qait [ikatan/tambatan] zaman [masa] dan makan [tempat] dengan hairan yang maqbul pada Allah. Maka bersamaan pada engkau azali dan abadi di dalam wahdah Allah dan engkau kata [D]ialah yang awal dan [D]ialah yang akhirnya dan [D]ialah yang zahir dan [D]ialah yang bathin dan [D]ialah atas tiap-tiap suatu berlebih kuasa. Maka kita sekelian bagi Allah dan dengan Allah dan di dalam Allah dan serta Allah dan kepada Allah. والله أعلم

[1] Maksudnya perangilah nafsu itu dengan berlapar dan berjaga malam. Pada awal kitab ini pengarang telahpun menyentuh hal ini dengan katanya:
(Hai saudaraku, tiliklah olehmu) kepada hatimu iaitu baitullah, jika ada kasih kepada ma-siwallah seperti hartapun dan anak isteri dan segala perhiasan dunia dan kemegahannya dan lainnya, maka hendaklah kamu usaha menghilangkan dia dengan banyak zikrullah dan banyak berfikir (Dan jika menahan kamu) oleh nafsu amarah daripada banyak berzikir maka kamu perangkan dia serta kamu pelapar [berlapar] berjaga [tidak/kurang tidur] kan dia hingga kamu dapat lazat kasih rindu kepada Allah. Maka hilanglah segala kasihkan ma-siwallah dan jadilah engkau setengah daripada ahlillah yang sangat tinggi martabatnya. (Maka jika tiada engkau mengusahakan) pada menghilangkan kasih ma-siwallah itu, maka ialah [yang] membimbangkan kamu daripada zikrullah dan hubbullah dan ialah yang yang memutuskan kamu daripada wushul kepada Allah. Maka sangatlah rugi kamu. (Dan jadilah kamu) daripada ahlid-dunya yang haram atas mereka itu akhirat dan wushul kepada Allah.



KITAB TUAN TABAL @ TO’ TAKBAI: JALA UL QULUB BI ZIKRILLAH (SIRI 14)


oleh Shaikh Abdusshamad bin Wan Muhammad Shalih bin Wan Abdul Lathif al-Fathani atau lebih dikenali dengan nama Tuan Tabal @ To’ Takbai (Penyebar Thariqat Ahmadiyyah Pertama di Nusantara)


Transliterasi Kitab Jala-ul Qulub bi-Zikrillah “جلاء القلوب بذكر الله” oleh Shaikh Abdusshamad bin Wan Muhammad Shalih bin Wan Abdul Lathif al-Fathani رحمه الله تعالى atau lebih dikenali dengan nama Tuan Tabal.(Penyebar Thariqat Ahmadiyyah Pertama di Nusantara)

(Transliterasi dari tulisan Jawi kepada tulisan Rumi beserta dengan notakaki oleh al-Haqir al-Faqir Abu Zahrah Abdullah Thahir al-Qedahi. Segala kesalahan dan kesilapan mohon dimaafkan dan dibetulkan. Pembetulan serta tunjuk ajar daripada para asatizah dan juga dari sekelian pengunjung al-Fanshuri sangat dialu-alukan. Dan sebagai peringatan: Bagi sesiapa yang membaca tulisan ini dinasihatkan supaya bertanya kepada masyaikh tuanguru-tuanguru dan para asatizah yang berkeahlian dalam bidang ini, seandainya tidak memahami isi kandung kitab tasawuf ini. Janganlah diandaikan dengan pemahaman sendiri kerana ditakuti tiada muwafakat dengan apa yang dimaksudkan penulis kitab ataupun dengan ilmu tasawuf itu sendiri. Ampun maaf diatas segala kelemahan. Al-Faqir hanya sekadar ingin berkongsi khazanah para ulama kita. Sekian.



Fashal (فصل) pada menyatakan faqir haqiqi kepada Allah

Hai saudaraku! Sucikanlah olehmu akan hatimu bagi Allah daripada mensertakan amanah Allah. Dan rahsia olehmu akan dia dengan faqir haqiqi kepada Allah dan buang olehmu akan dakwa kerana sekalian barang yang dalam tujuh petala langit dan tujuh petala bumi itu milik bagi Allah. 


Adapun barang yang ada pada engkau daripada segala hamba sahaya dan harta dan anak dan jasad dan ruh dan sekalian hawas [panceindera] dan kuat, maka sekeliannya itu bagi Allah beri pinjam kan dikau jua. Maka janganlah engkau bangsakan sekeliannya itu bagi engkau dan jangan dakwa akan dia kerana sekeliannya amanah Allah pada hal engkau menangungkan dia sekeliannya amanah Allah yang berat serta kamu dakwakan dia dan menaruh kasih-sayang kan dia di dalam hatimu. 

Maka merasai engkau akan kesusahan dan kesakitan dan membimbangkan dengan dia daripada berhadap dengan Allah yang ditutupkan atas kamu tiap-tiap ketika. Maka jika engkau serahkan segala amanah ini kepada empunyanya dahulu daripada sampai ketika ambilnya nescaya senanglah kamu daripada berat menanggung dia, dan daripada dukacita dunia dan jadi engkau suci hati serta Allah. Dan putuslah engkau daripada segala was-was dan kerungsingan dan lepas daripada segala percubaan dan fitnah dunia dan segala keluh-kesah yang jadi daripada menanggung akan amanah Allah. Maka hendaklah kamu banyakkan fikir akanperkataan. 

Dan pada tiap-tiap ketika kamu sebut akan Tuhanmu dan kembali kepadaNya, supaya jadi engkau daripada ahlillah. Dan sucilah hatimu kepada menilik Allah dan mabuklah kamu di dalam ka’batullah dengan arak berjinak-jinak dengan Allah

KITAB TUAN TABAL @ TO’ TAKBAI: JALA UL QULUB BI ZIKRILLAH (SIRI 13)


oleh Shaikh Abdusshamad bin Wan Muhammad Shalih bin Wan Abdul Lathif al-Fathani atau lebih dikenali dengan nama Tuan Tabal @ To’ Takbai (Penyebar Thariqat Ahmadiyyah Pertama di Nusantara)


Transliterasi Kitab Jala-ul Qulub bi-Zikrillah “جلاء القلوب بذكر الله” oleh Shaikh Abdusshamad bin Wan Muhammad Shalih bin Wan Abdul Lathif al-Fathani رحمه الله تعالى atau lebih dikenali dengan nama Tuan Tabal.(Penyebar Thariqat Ahmadiyyah Pertama di Nusantara)

Transliterasi dari tulisan Jawi kepada tulisan Rumi beserta dengan notakaki oleh: al-Faqir al-Haqir Abu Zahrah Abdullah Thahir al-Qedahi. Segala kesalahan dan kesilapan mohon dimaafkan dan dibetulkan. Pembetulan serta tunjuk ajar daripada para asatizah dan juga dari sekelian pengunjung al-Fanshuri sangat dialu-alukan. Dan sebagai peringatan: Bagi sesiapa yang membaca tulisan ini dinasihatkan supaya bertanya kepada masyaikh, tuanguru-tuanguru dan para asatizah yang berkeahlian dalam bidang ini, seandainya tidak memahami isi kandung kitab tasawuf ini. Janganlah diandaikan dengan pemahaman sendiri, ditakuti tiada muwafakat dengan apa yang dimaksudkan penulis kitab ataupun dengan ilmu tasawuf itu sendiri. Ampun maaf diatas segala kelemahan pentransliterasi. Al-Faqir hanya sekadar ingin berkongsi khazanah para ulama kita. Sekian.

Fashal (فصل) pada menyatakan menghinakan diri bagi kebesaran Allah

Hai saudaraku! Sucikan olehmu akan miliki hatimu daripada takbur atas makhluq Allah dan hiasi olehmu akan dia dengan menghinakan diri dan merendahkan diri bagi kebesaran Allah. Maka janganlah kamu ‘ajaibkan dirimu dihadapan Allah dan jangan takbur atas seorang daripada makhluq Allah dan basuh olehmu akan miliki hatimu daripada najis ‘ajib dengan air menghinakan diri bagi Allah. Dan buang olehmu akan takbur daripada hatimu dengan mengenal dan mengakukan dirimu hina seperti tanah yang jijak [pijak] orang atasnya.

Dan sapu olehmu akan debu mengaku [a]kan diri daripada tempat memandang Allah kerana ia mencemarkan hati pada hal ia cermin bagi wajah Allah. Dan kenal olehmu akan hina dirimu di dalam hatimu, nescaya kamu dapatkan sekaliannya terlebih mulia dan terlebih tinggi daripada dirimu. Maka pandang kehinaan dirinya ini ialah permata yang sangat indah lagi mahal harganya. Dan ialah ilmu buat emas bahgia dan ialah kepala segala harta ‘arif.

Maka pandang olehmu akan hina dirimu bagi kebesaran Allah dan sembunyi olehmu akan kehinaan ini antaramu dengan Tuhanmu. Jangan engkau zahirkan dia bagi seorang daripada makhluq kerana menghinakan diri kepada makhluq itu haram pada syara’ Allah. Maka mu’amalah olehmu akan manusia dengan tawadhu’ diatas kadar martabat mereka itu kerana Allah. Seperti engkau ajarkan dengan kadar akal mereka itu kerana memeliharakan rahsia Allah. Dan peliharakan olehmu akan hati manusia dengan niat ibadat kepada Allah. Maka jadi engkau diperkenan oleh Allah dan manusia. Maka tiap-tiap ketika sebut olehmu akan Allah dan buang olehmu takbur dan ‘ajaib daripada ‘baitullah’ (yakni pada hati kamu) supaya jadi kamu daripada rijal-rijal Allah. Dan merendahkan dirimu bagi Allah nescaya dapat engkau padanya akan sampai kepada Allah

KITAB TUAN TABAL @ TO’ TAKBAI: JALA UL QULUB BI ZIKRILLAH (SIRI 12)


oleh Shaikh Abdusshamad bin Wan Muhammad Shalih bin Wan Abdul Lathif al-Fathani atau lebih dikenali dengan nama Tuan Tabal @ To’ Takbai (Penyebar Thariqat Ahmadiyyah Pertama di Nusantara)

Siri - 12

Transliterasi Kitab Jala-ul Qulub bi-Zikrillah “جلاء القلوب بذكر الله” oleh Shaikh Abdusshamad bin Wan Muhammad Shalih bin Wan Abdul Lathif al-Fathani رحمه الله تعالى atau lebih dikenali dengan nama Tuan Tabal.(Penyebar Thariqat Ahmadiyyah Pertama di Nusantara)

(Transliterasi dari tulisan Jawi kepada tulisan Rumi beserta dengan notakaki oleh: hamba Allah yang faqir lagi haqir Abu Zahrah Abdullah Thahir al-Qedahi. Segala kesalahan dan kesilapan mohon dimaafkan. Pembetulan serta tunjuk ajar dari saudara-saudari sekalian adalah dialu-alukan. Dan sebagai peringatan: Bagi sesiapa yang membaca tulisan ini dinasihatkan supaya bertanya kepada tuanguru, ustaz atau mereka yang berkeahlian dalam mengajar kitab ini, seandainya anda tidak memahaminya atau terkeliru. Janganlah diandaikan dengan kefahaman sendiri kerana ditakuti tiada muwafakat dengan yang sebenar. Sekian.)

Fashal (فصل) pada menyatakan redha dengan qadha’ Allah

Hai saudaraku! Sucikan olehmu akan ka’batullah daripada marahkan qadha’ Allah. Dan hiasi olehmu akan dia dengan redha bagi hukum Allah. Maka janganlah kamu marahkan bagi qadha’ Allah dan jangan kamu lari daripada bal Allah. Dan redha olehmu akan segala af’al Allah supaya kamu dapat lemah lembut pada qahhar dan dapat manfaat daripada mudharat seperti bunga mawar keluar daripada pohon duri. Seperti sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
مامن شرجزئي الاويتضمن خيرا كليابحكم الله

Tiada daripada kejahatan yang juz’i itu melainkan mengandung ia akan kebajikan yang kulli dengan hikmah Allah.

Maka redhalah olehmu akan qadha’ Allah dan balaNya dan jangan engkau takut daripada luput manfaatnya dan jangan engkau tutupkan dia daripada makhluq dan jangan engkau harap melainkan daripada Allah supaya senang hatimu daripada menanggung kehendak dan ikhtiar dan tutup dan takut. Maka tahqiq olehmu akan maqam redha, nescaya hidupmu dalam senang hati dan rauh [روح – kesenangan; lega; rahmat kesukaan] dan bahgia dan bersamaan atasmu sakit dan sihat pada majlis hudhur kepada Allah dan berjinak-jinak dengan Dia. Maka tiap-tiap nafas sebut olehmu akan Allah dan tinggal olehmu akan marah bagi qadha’ Allah supaya jadi engkau daripada ahlillah, dan kamu rasakan manis redha kepada Allah pada segala perbuatanNya.

KITAB TUAN TABAL @ TO’ TAKBAI: JALA’UL QULUB BI ZIKRILLAH (SIRI 11)


oleh Shaikh Abdusshamad bin Wan Muhammad Shalih bin Wan Abdul Lathif al-Fathani atau lebih dikenali dengan nama Tuan Tabal @ To’ Takbai (Penyebar Thariqat Ahmadiyyah Pertama di Nusantara)


Fashal (فصل) pada menyatakan shabar bala Allah

Hai saudaraku! Sucikan olehmu akan hatimu daripada keluh kesah pada bala Allah dan hiasi olehmu akan ka’batullah dengan shabar dan hilm atas menyakiti khalqullah (ciptaan Allah/makhluq Allah) maka jangan kamu sangkakan menyakiti atas kamu itu daripada makhluq ha[nya]sanya ia daripada Allah Ta’ala [haqiqatnya].

Dan jangan kamu keluh kesah daripada sakit dan bala kerana bahwasanya pengajaran bagi kamu daripada Allah. Dan makhluq dan sekalian bala itu seperti tongkat di tangan Allah, mengerasikan Dia atas kamu supaya kamu beradab dengan Allah. Kerana yang membalik-balikkan hati dan mengerakkan segala anggota dan yang memerintahkan sekelian ‘alam ini iaitu Allah yang menyeru Ia akan kamu kepada hadratNya. Maka perkenankan olehmu bagi seru Allah, maka jika enggan nafsu kamu yang sangat jahat daripada masuk kepada hadrat Allah, maka dielokkan dia dengan tongkat bala supaya ia masuk kepada hadrat Allah Ta’ala Yang Maha Tinggi. Maka suka olehmu dengan bala Allah, dan engkau mu’amalah dengan makhluq Allah dengan lemah lembut serta shabar atas menyakiti.

Dan takut olehmu pada ketika Allah Ta’ala beri ni’mat atas kamu pada hal kamu banyak durhaka kepadaNYA kerana yang demikian itu istidraj daripada Allah (yakni pelorong daripada Allah), janganlah kamu suka dengan dia. Dan fikir olehmu bahwasanya yang memberi dan yang menegah dan yang mudharat dan yang memerintahkan ‘alam ini iaitu Allah Ta’ala. Tiada dengan tangan makhluq suatu daripadanya.

Dan bershahabat olehmu dengan segala orang yang jahil supaya sampai kamu kepada maqam redha bi qadha-iLlah (dengan qadha` Allah) dengan menanggung akan menyakiti akan mereka itu. Dan jangan kamu berseteru dengan setengah manusia dan berkasih-kasih dengan setengahnya kerana seteru kamu itu nafsumu dan taulan kamu itu Allah. Maka tiap-tiap lahzah sebut olehmu akan Allah dan shabar olehmu atas bala Allah dengan ketiadaan bantah dan kelahi serta makhluq Allah supaya jadi kamu daripada ahlillah dan kamu masuk akan syurga Allah dengan shabar atas bala Allah dan kamu dapat padanya lazat hudhur serta Allah atas qadarnya.


KITAB TUAN TABAL @ TO’ TAKBAI: JALA’UL QULUB BI ZIKRILLAH (SIRI 10)


oleh Shaikh Abdusshamad bin Wan Muhammad Shalih bin Wan Abdul Lathif al-Fathani atau lebih dikenali dengan nama Tuan Tabal @ To’ Takbai (Penyebar Thariqat Ahmadiyyah Pertama di Nusantara)
 
(Siri - 10)

Fashal (فصل) pada menyatakan serah segala pekerjaan kepada Allah

Hai saudaraku! Sucikan olehmu daripada cemar-cemar i’tibar dan tadbir bagi taqdir Allah dan hiasi olehmu akan baitullah dengan tinggal tadbir bagi taqdir Allah. Dan dengan serahkan sekalian pekerjaan kepada Allah. Maka jangan engkau pilihkan sesuatu pekerjaan hingga memilih bagi engkau oleh Allah. Maka senang olehmu akan hatimu dengan tinggal olehmu akan tadbir dan ikhtiar itu Allah. 

Adapun tadbir hatimu tiada memberi faedah suatu hanya menyusahkan hatimu dan melalaikan dia daripada isytighal dengan Allah yang matlub daripada engkau tiap-tiap ketika kerana kebanyakkan pekerjaan yang kamu tadbir di dalam hatimu itu tiada hasil dan kebanyakkan pekerjaan yang kamu tiada tadbir dan tiada suka itu jatuh atas engkau. Maka apabila terlintas atas hatimu hendak mentadbirkan suatu pekerjaan maka buangkan olehmu akan dia dengan fikir seperti yang tersebut itu. Dan hadapkanlah hatimu dengan tawajuh kepada Allah dan lidah kamu dengan zikrullah dan serahkan pekerjaan itu kepada Tuhannya iaitu Allah. Berlazat-lazat olehmu di dalam ka’batullah dengan berkhalwat dengan Alah dan muraqabah kan Dia dan dengan zikrullah kerana tiada mengetahuikan (عواقب الامور) (akhir segala pekerjaan) melainkan Allah yang (مدبر الامور) yang mentadbir segala pekerjaan. Dan tinggal olehmu akan kehendakmu bagi kehendak Tuhanmu supaya tiada hapus dengan api حرمان - hirmaan (menurut guru saya – ianya bermaksud ketiadaan yakin atas rezqi yang ditaqdirkan – wallahu’alam) dan lalai daripada Allah.

Ketahuilah olehmu! Adalah segala pekerjaan itu digadai (disedia) dengan waktunya di dalam ilmu Allah. Maka janganlah kamu segera akan sesuatu pekerjaan dan jangan dukacita atasnya hingga datang taqdir lah (sampai waktunya) maka jikalau sunyi hatimu daripada melawankan kehendak Allah dan senang ia daripada tadbir dan suka ia dengan mengambil kehendak Allah nescaya dapatlah ruh dengan sebab hina hati itu manis muraqabah dengan Allah dan berjinak-jinak dengan dia atas kadarnya. Maka tiap-tipa ketika sebut olehmu akan Allah dan tinggal olehmu akan tadbir kamu bagi taqdir Allah suapay senang hatimu daripada dukacita dengan hudhur kepada Allah. Maka dapat lazat kamu dengan berjinak-jinak dengan Allah di dalam ka’batullah dan jadi kamu daripada ahlullah

Jumaat, 3 Mei 2019

SA’ID BIN ZAID dan Seorang Wanita yang Menuduhnya

Hisyam bin ‘Urwah meriwayatkan dari ayahnya bahwasanya Arwa binti Uwais menuduh Said bin Zaid merampas tanahnya. Kemudian ia mengadukannya kepada Marwan bin al-Hakam.

Said membantah, "Mana mungkin aku mengambil sedikit dari tanahnya, padahal aku telah mendengar Rasulullah bersabda berkenaan dengan perkara ini."

Marwan bertanya, "Apa yang telah kamu dengar dari Rasulullah ?"

Said menjawab, "Aku mendengar Rasulullah bersabda, 'Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara zhalim (merampas) maka ia akan dikalungi tujuh lapis bumi.'

Marwan berkata, "Aku tidak akan meminta bukti lain selain hal tersebut kepadamu!'

Kemudian Said memanjatkan sebuah doa, "Ya Allah, sekiranya wanita ini berdusta maka butakan matanya dan matikanlah ia di atas tanahnya."

Maka selama sisa hidupnya wanita itu dalam keadaan buta dan tatkala berjalan-jalan di sekitar tanahnya ia terperosok ke dalam sebuah lubang yang menyebabkan kematiannya."

JA’FAR BIN ABI THALIB Yang Bersayap

Alangkah indahnya Surga dan betapa dekatnya
Segar dan dingin air minumnya
Tentara Rumawi telah dekat kehancurannya
Jika bertemu dengannya, niscaya aku hancurkan mereka

Syair-syair itulah yang disenandungkan Ja’far ketika menyerang dari atas kuda yang berambut pirang, ia bertempur dan berjuang sehingga terbunuh dalam peperangan Mu’tah.

Ibnu Hisyam bertutur, "Diceritakan kepadaku oleh seseorang yang sangat terpercaya dan termasuk ahli ilmu bahwa Ja’far bin Abi Thalib membawa bendera perang dengan tangan kanannya, kemudian mendapat sabetan pedang hingga putus, lalu dia membawa bendera itu dengan tangan kirinya, tangan kirinya juga terkena tebasan pedang hingga putus. Kemudian bendera itu ia dekap dengan kedua lengan atasnya sehingga beliau terbunuh."

Ketika itu beliau berumur 33 tahun. Allah mengganti kedua tangannya dengan dua buah sayap, beliau terbang di dalam Surga ke mana saja beliau mau.

Ada seorang perawi yang bertutur, "Seorang lelaki bangsa Rumawi menebaskan pedang ke arah Ja’far sehingga tangannya terputus setengah."

Sedangkan Ibnu Umar berkata, "Pada hari pertempuran di Mu’tah itu aku dekap tubuh Ja’far dan aku temukan lebih dari 40 luka karena tusukan panah dan sabetan pedang mengenai bagian depan tubuhnya."

Sementara itu Nabi Muhammad bersabda:
"Aku lihat Ja’far bin Abi Thalib di dalam Surga seperti malaikat, terbang di dalamnya dengan sayap lebar yang berlumur darah."

MU’ADZ BIN ‘AMR Orang yang Paling Beruntung

Abdurrahman bin Auf berkata, "Ketika aku berada di tengah-tengah barisan dalam peperangan Badar, aku menoleh ke kanan dan kiriku, ternyata aku berada di antara dua orang pemuda Anshar, keduanya masih sangat muda.

Aku menghayal sekiranya aku masih seperti keduanya yang tegap itu. Tiba-tiba salah satu dari keduanya membisikkan kepadaku, 'Wahai pamanku, apakah engkau berkenan memberitahu kami orang yang bernama Abu Jahal?'

Aku menjawab, 'Ya, Apa urusanmu dengannya wahai anak saudaraku?'

Dia menjawab, Ada yang memberitahuku bahwa dia menghina Rasulullah. Demi jiwaku yang berada di genggaman yang Kuasa, sekiranya aku dapat bertemu dengannya maka aku akan terus menghajarnya sehingga kita tahu siapa yang lebih dulu mati di antara kita.'
Teman satunya juga membisikkan kepadaku sebagaimana yang dibisikkan kawannya.

Tidak berapa lama aku melihat Abu Jahal berada di tengah-tengah kerumunan orang. Aku berkata, 'Coba kalian lihat, itulah orang yang kalian berdua tanyakan kepadaku !!'

Kedua pemuda ini langsung mengambil pedang dan melepaskannya ke arah Abu jahal, sehingga kedua pemuda itu berhasil membunuhnya.

Lalu keduanya mendatangi Rasulullah dan menceritakan apa yang mereka lakukan. Rasulullah bertanya, 'Siapa di antara kalian yang berhasil membunuhnya?'

Masing-masing menjawab, 'Saya yang membunuh!' Rasulullah bertanya, 'Apakah pedang kalian sudah kalian bersihkan?' Mereka menjawab, 'Belum.' Kemudian Rasulullah memperhatikan pedang kedua pemuda tersebut lalu bersabda, 'Kalian berdua telah membunuh Abu Jahal.'

Selanjutnya beliau memutuskan harta rampasannya diberikan kepada Mu’adz bin Amr bin Jamuh."

USHAIRIM BANI ABDUL ASYHAL Selama Hidupnya Belum Pernah Shalat

Diriwayatkan dari Ibnu Sufyan maula Ibnu Abi Ahmad bahwa Abu Hurairah meminta kepada para sahabat dan berkata, "Ceritakan kepadaku mengenai kisah seseorang yang masuk Surga padahal belum pernah shalat sekali pun sepanjang hidupnya!" Ternyata para sahabat tidak ada yang mengetahui.

Akan tetapi para sahabat balik bertanya, "Siapakah dia?" Abu Hurairah menjawab, "Ushairim Bani Abdul Asyhal ‘Amr bin Tsabit bin Waqsy."

Al-Hushain berkata, "Aku bertanya kepada Mahmud bagaimana kehidupan Ushairim sebelumnya?" Mahmud menjawab, "Sebelumnya dia enggan memeluk Islam sebagaimana kaumnya, namun kemudian ia masuk Islam.

Ketika terjadi peperangan Uhud yang Rasulullah juga berada dalam peperangan tersebut, ia ingin memeluk Islam dan ia pun lantas masuk Islam. Setelah itu, ia mengambil pedang dan berangkat menuju medan perang. Dia menyerang dan memberikan perlawanan sehingga terluka di beberapa bagian tubuhnya.

Tatkala orang-orang dari Bani Abdul Asyhal mencari para korban dalam peperangan ini, mereka mendapati Ushairim. Mereka bertanya, 'Ini jasad Ushairim, apa yang menyebabkan dia datang dalam peperangan ini? Bukankah dia tidak berkenan ikut serta dalam peperangan ini?'

Mereka mempertanyakan status Ushairim sehingga berada dalam pertempuran ini, 'Wahai Amr, apa yang menyebabkan kamu berada di sini. Karena setia kepada kaummu ataukah simpati kepada Islam?'

Amr menjawab, 'Karena cintaku terhadap Islam, aku telah beriman kepada Allah dan Rasulullah, kemudian aku angkat senjataku dan aku berperang, sehingga keadaanku seperti ini.' Ushairim meninggal dunia di tengah-tengah kaumnya, kemudian mereka memberitahukan kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda, 'Sesungguhnya dia termasuk penghuni Surga'. 

AMR BIN AL-JAMUH Masuk Surga dengan Kakinya yang Pincang

Diriwayatkan dari Abu Qatadah, dia berkata, "Amr bin al-Jamuh datang kepada Rasulullah untuk bertanya, 'Bagaimana pendapatmu ya Rasulullah sekiranya aku ikut serta dalam peperangan fi sabilillah sehingga aku terbunuh, apakah engkau melihatku berjalan di Surga dengan kakiku yang cacat ini?' Kaki Amr memang pincang.

Rasulullah menjawab, 'Ya.' Kemudian dalam perang Uhud itu dia terbunuh bersama keponakan perempuannya. Ketika Rasulullah berjalan di depan jenazahnya, beliau bersabda, 'Seolah-olah aku melihatmu berjalan di Surga dengan kaki tanpa cacat'

ABDULLAH DZIL BIJADAINI (Yang Mengenakan Dua Lembar Kain)

Apakah Kamu Tidak Membutuhkan Isterimu??

Ibnu Ka’ab al-Qurthubi berkata, Sesungguhnya Abdullah yang dijuluki Dzil Bijadain merupakan orang terpandang di kalangan kabilahnya. Hanya saja hatinya telah tertambat dengan Rasulullah dan lebih mencintai keimanan. Kemudian ia pergi menghadap Rasulullah.

Mengetahui kejadian ini, Ibu Abdullah pergi menuju pimpinan kabilah dan berkata, 'Sesungguhnya Abdullah telah pergi menemui Muhammad, susullah ia dan bawalah pulang. Ambil pakaian-pakaiannya, karena ia sangat pemalu. Jika kalian berhasil mengambil pakaiannya tentu ia tidak akan meneruskan keinginannya.'

Kemudian mereka mengambil pakaian Ka’ab dan membiarkannya telanjang. Ia tinggal di dalam rumah tanpa mau makan ataupun minum sebelum ia bertemu Nabi Muhammad.

Ketika Ibu Abdullah mengetahui anaknya mogok makan, dia kembali mendatangi kaumnya dan memberitahukan bahwa Abdullah bersumpah untuk melakukan mogok makan dan minum sebelum bertemu Muhammad. Ibunya berkata, 'Tolong kembalikan pakaian Abdullah karena aku takut dia mati.'

Mereka enggan memberikan pakaian itu. Maka Ibu Abdullah mengambil satu lembar kain kotak-kotak kasar dan dipotong menjadi dua lembar. Salah satu lembar diberikan agar dipakai sebagai sarung dan satu lembar lagi untuk penutup kepala. Sang Ibu berkata, 'Sekarang pergilah!'

Kemudian Abdullah pergi, menempuh perjalanan dengan mendaki dan menuruni lembah, sehingga tiba di kota Madinah. Di kota ini ia belajar al-Qur’an dan memperdalam agama. Dia dan para sahabat sering pergi dan istirahat di sebuah rumah milik seorang wanita Anshar yang biasa menyediakan makanan dan kebutuhan para sahabat.

Suatu hari, ada seorang sahabat berkata kepada Abdullah, "Bagaimana pendapatmu sekiranya engkau menikah dengan wanita itu?"

Kemudian ada sahabat yang memberitahukan kepada wanita itu. Serta merta wanita itu berkata, 'Mengapa kamu tidak meninggalkan kebiasaanmu menyebut-nyebut namaku, hentikan kebiasaan itu atau jangan lagi kalian datang untuk beristirahat di rumahku!'

Kejadian ini disampaikan kepada Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar mendatangi wanita itu dan berkata, 'Wahai Fulanah, telah sampai kepadaku berita bahwa Abdullah meminangmu, maka terimalah pinangannya. Sesungguhnya ia seorang pemuda yang terpandang di kalangan kaumnya, dia pandai membaca al-Qur’an dan mempunyai pengetahuan agama yang luas.'

Umar juga datang ke rumah Wanita Anshar itu dan menyampaikan hal serupa. Berita ini pun akhirnya sampai kepada Nabi.

Adalah Abdullah, apabila matahari telah terbit ia biasa mengerjakan shalat sunnah sesuai dengan kemampuannya. Kemudian menemui Nabi, mengucapkan salam kepada beliau kemudian pergi.

Pada suatu hari, setelah Abdullah shalat kemudian menemui Nabi, lalu Nabi bertanya, "Wahai Abdullah bukankah telah sampai kepadaku berita bahwa engkau menyebut Fulanah?"

Abdullah menjawab, "Ya."

Nabi bersabda, "Aku telah menikahkanmu dengannya."

Mendengar sabda Nabi demikian itu, Abdullah kemudian mendatangi para sahabatnya dan berkata, "Rasulullah telah menikahkan aku dengan wanita Anshar itu."

Maka isteri-isteri orang Anshar pergi menuju rumah wanita itu untuk mengucapkan selamat dan mempersiapkan acara walimah. Mereka menjahit burdah, membuat bantal dari kulit, memasak makanan dan lain lain untuk walimah pada malam hari.

Adapun Abdullah, ia bangun untuk mengerjakan shalat, dia tidak menemui wanita Anshar itu dan tidak mendekatinya, sehingga Bilal mengumandangkan adzan Shubuh.

Selesai adzan, para isteri sahabat pulang ke rumah masing-masing, mereka berkata, "Demi Allah, Abdullah tidak membutuhkan sesuatu pun, dia tidak mendatangi isterinya juga tidak mendekatinya."

Pagi hari itu, Abdullah mengerjakan shalat Shubuh bersama Nabi. Setelah matahari terbit, Abdullah berdiri untuk mengerjakan shalat sunnah sebagaimana dia biasa melakukannya. Kemudian menemui Nabi dan mengucapkan salam kepada beliau. Lalu Rasulullah bertanya, "Tidakkah kamu membutuhkan isterimu?"

Abdullah menjawab, "Benar. Tetapi setiap kali aku melihat kenikmatan yang dilimpahkan Allah berupa wanita cantik, tempat tidur nyaman dan makanan yang lezat, aku merasa tidak mendapatkan sesuatu yang bisa aku pergunakan untuk bertaqarrub kepada Allah selain pedangku. Maka aku pun lebih mengutamakan pedangku, aku gunakan untuk berperang di jalan Allah dan membela Rasulullah, dan aku dahului dengan mengerjakan shalat. Inilah persembahanku kepada isteriku wahai Rasulullah."

Kemudian ia berkenan pergi untuk menemui isterinya.

Ketika berlangsung peperangan Khaibar itu, ia terluka lalu berwasiat, "Aku belum pernah memberi sesuatu pun kepada isteriku, maka berikanlah bagianku dari rampasan perang Khaibar kepadanya." Tidak lama kemudian ia menemui ajalnya.

Dalam suatu riwayat Ibnu Mas’ud berkata, "Ketika itu kami sangat lapar. Kemudian pada suatu malam aku keluar, aku melihat ada cahaya berkilau dari kejauhan. Aku berkata pada diriku, 'Aku harus ke tempat itu, mudah-mudahan aku mendapatkan makanan di sana.'

Benar aku sampai di tempat itu. Ternyata ada Rasulullah sedang menggali kubur dan memberikan tanah kepada Abu Bakar dan Umar, sementara itu jenazah Abdullah terbaring di dekatnya. Setelah Rasulullah menguburkannya beliau bersabda, 'Ya Allah, sesungguhnya aku meridhainya, maka ridhailah ia.' Beliau mengucapkan doa ini dua atau tiga kali.