Catatan Popular

Rabu, 30 Disember 2020

Barirah Budak Afrika yang Ingin Bebas

Orang yang paling indah budi pekertinya, nabiyyuna Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.

Diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari ketika beliau shallallahu 'alaihi wasallam diundang makan oleh seorang wanita, budak afrika yang bernama Barirah Ra.

Barirah sangat ingin mengundang Rasulullah tetapi tidak pernah berani mengundangnya, karena tidak mempunyai hidangan yang semestinya untuk menyambut Rasulullah, dia termasuk fuqara' yang tidak memiliki apa-apa.


Maka suatu hari ia mendapatkan shadaqah berupa syurbah lahmiyyah (bubur daging) yang mana merupakan makanan golongan menengah ke atas di masa itu, dan orang seperti Barirah dalam hidupnya belum pernah mencicipi makanan itu, maka ia disedekahi makanan itu dan sebelum ia mencicipinya ia teringat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan ingin mengundang Rasulullah karena ia mempunyai makanan itu, ia pun mengundang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Rasulullah jika diundang oleh fuqara' beliau cepat datang, demikian indahnya budi pekerti sayyidina Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Maka Rasul datang ke rumah Barirah Ra, dan Barirah pun langsung menghidangkan syurbah lahmiyyah itu,

Dan ketika Rasulullah akan menyentuhnya, seorang sahabat berkata: "Wahai Rasulullah, ini adalah makanan shadaqah yang diberikan kepada Barirah, sedangkan engkau diharamkan memakan shadaqah wahai Rasulullah", maka menunduk malu lah Barirah dan meneteskan air mata, hancur perasaannya karena dia tidak ingat bahwa Rasulullah tidak boleh memakan makanan shadaqah, maka ia menangis malu karena telah menghidangkan makanan yang diharamakan untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Namun Rasulullah adalah orang yang paling baik dan paling santun, maka beliau berkata: "makanan ini adalah shadaqah untuk Barirah dan sudah menjadi milik Barirah, dan Barirah tidak menshadaqahkannya kepadaku tetapi memberikannya kepadaku sebagai hadiah, maka aku boleh memakannya".

Rasul pun mengambilnya kemudian memakannya, maka tersenyum cerahlah wajah Barirah Ra.

Demikian indahnya akhlak sayyidina Muhammad shallahu 'alaihi wasallam.

 

Atika binti Zaid bin Amar bin Nufail Istri Para Syuhada

Atika binti Zaid bin Amar bin Nufail adalah Istri dari para syuhada : Abdullah bin Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Al khattab, Zubair bin Al Awwam, dan Husein bin Ali bin Abi Thalib.

Atika merupakan saudara kandung Sa’id bin Zaid, salah seorang dari 10 sahabat yang dijamin masuk surga.

Atika binti Zaid bin Amar bin Nufail merupakan keturunan dari salah satu kabilah Quraisy yang baik nasabnya. Wanita ini memiliki perangai yang lembut, paras yang cantik, berakhlak mulia dan bersih hatinya. Semasa hidupnya, beliau menikah dengan pria-pria yang terbaik di jaman tersebut dan keempatnya mati syahid.

Pernikahan

Suami pertama - Abdullah bin Abu Bakar Ash Shidiq

Pernikahan pertama beliau adalah dengan Abdullah, putra dari Abu Bakar Ash Shidiq. Keluarganya Abu Bakar adalah orang-orang yang terdepan dalam jihad dan membela Rasulullah pada masa Jahiliyah. Bahkan mereka menginfaqkan hampir seluruh hartanya di jalan Allah dan untuk membela Rasulnya. Namun karena kecantikan Atikah dan kepandaiannya dalam berinteraksi, Abdullah lalai dalam shalat berjama’ah. Pasangan ini asyik bercanda dari sebelum adzan hingga shalat selesai ditunaikan. Maka sang ayah memanggil anaknya dan mengatakan padanya untuk menceraikan Atikah.

Setelah bercerai dengan Atikah, Abdullah jatuh sakit. Maka Abu Bakar pun mengijinkan sang anak untuk rujuk dengan Atikah, namun dengan satu syarat, yakni jangan sampai cintanya kepada Atikah mengalahkan cintanya kepada Allah dan Rasulnya. Waktu pun terus berjalan, mereka saling mencintai karena Allah. Hingga akhirnya Abdullah gugur sebagai syuhada di perang Thaif. Atikah pun menjanda, janda seorang Syuhada.


Suami kedua - Umar bin Khattab

Setelah selesai masa ‘iddah beliau, Atikah yang sangat sholeh ini dipersunting oleh Amirul Mukminin kedua, yakni Umar bin Khattab. Keduanya menjalin kasih yang amat mesra karena Allah. Atikah pun secara penuh mengabdi kepada suaminya yang baru. Cinta dan kasih sayangnya kepada Umar bin Khattab bahkan bisa dirasakan oleh masyarakat sekitarnya. Namun hal ini akhirnya sirna tatkala Umar ditikam oleh seorang yang bejat. Maka untuk kedua kalinya Atikah menjadi janda Syuhada.

 

Suami ketiga - Zubair bin Awwam

Zubair bin Awwam adalah seorang sahabat nabi yang sangat tidak diragukan lagi perannya dan kesolehannya. Komitmennya dalam dakwah dan jihad sangat besar. Tak berselang lama selewat masa ‘iddah, Atikah dipersunting oleh Zubair bin Awwam. Sekali lagi, Atikah menunjukkan bahwa dirinya adalah wanita yang baik dan istri yang sholihah. Namun seiring waktu, akhirnya keadaan tersebut berakhir dengan meninggalnya Zubair bin Awwam di medan perang Jamal. Maka untuk ketiga kalinya Atikah menjadi janda Syuhada.

Suami keempat - Husein bin Ali bin Abi Thalib

Pada masa itu ‘Ali bin Abi Thalib hendak mempersunting Atikah. Namun Ali mengurungkan niatnya tersebut karena Atikah mengajukan syarat yang tidak mungkin dipenuhi oleh beliau, yakni supaya siapapun suaminya nanti tidak akan terjun ke dalam kancang jihad bil qital. Oleh karena itu akhirnya Husein bin Ali yang menyunting janda Syuhada tersebut. Meskipun kala itu Atikah sudah berusia kepala lima dan terpaut cukup jauh dengan Husein, namun keduanya tetap saling mengasihi dan senantiasa harmonis. Mereka saling mencintai karena Allah. Namun takdir Allah tidak dapat ditolah, Husein bin Ali juga meninggal syahid di Karbala, Iraq. Maka untuk keempat kalinya, Atikah menjadi janda Syuhada hingga akhirnya meninggal pada tahun 40 H.

Itulah hidup Atikah . Wanita cantik, cerdas dan seorang penyair yang banyak diinginkan para shahabat. Semua yang pernah menjadi suaminya selalu mati sebagai syuhada, meskipun mereka belum lama menjadi suami istri, Hal ini membuktikan bahwa benar ketentuan Allah yang menyatakan bahwa hanya orang baik saja yang dipasangkan dengan orang baik.

Atikah hidup hingga awal kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan, khalifah pertama Dinasti Bani Umayyah. Atika binti Zaid bin Amar bin Nufail meninggal dunia pada tahun 40 Hijriyah.

 

Asma binti Umais Istri Si Burung Surga

Peristiwa hijrah yang pertama ke Habsyah yang dilakukan oleh sekelompok kaum muslimin atas perintah Rasulullah SAW adalah ujian berat bagi keimanan mereka.

Hidup dinegeri orang yang jauh dari sanak famili dan belum memiliki kepastian hidup dinegeri asing. Apalagi perjalanan yang sangat berat dengan berlayar membelah lautan. Semata mata hal itu dilakukan karena taat kepada Allah dan RasulNya.Amir rombongan yang memimpin hijrah adalah Ja’far bin Abi Thalib. Dialah yang menjadi juru bicara dalam menyampaikan keinginan kaum muslimin kepada Raja Najasyi untuk mendapat ijin tinggal di negeri Habsyah.

 

Istri dari Ja’far bin Abi Thalib juga ikut didalam rombongan hijrah ini.

Namanya Asma binti Umais. Di negeri Habsyah beliau melahirkan tiga putra yakni Abdullah, Muhammad dan Aunan. Adapun putra beliau yaitu Abdullah sangat mirip dengan ayahnya, sedangkan ayahnya sangat mirip dengan Rasulullah SAW, sehingga hal itu menggembirakan hati beliau dan menumbuhkan perasaan rindu untuk melihat Rasulullah SAW. Pernah Rasulullah SAW bersabda kepada Ja`far:

 

“engkau menyerupai bentuk fisik ku dan juga akhlakku.”

 

Asma binti Umais adalah seorang wanita yang cerdas dan memiliki daya fakir yang tinggi, juga seorang yang penyabar.

Beliau juga memiliki keberanian yang memukau dalam menyampaikan pendapat kepada Rasulullah. Ada peristiwa menarik sesaat setelah kedatangan Ja’far bin Abi Thalib beserta rombongan dari negeri Habsyah menuju ke kota Madinah untuk hijrah kali kedua. Saat itu Asma masuk ke dalam rumah Hafshah binti Umar  untuk menemaninya sesaat setelah tatkala pernikahannya dengan Rasulullah SAW, kemudian Umar masuk ke rumah Hafshah sedangkan Asma berada di sisinya, lalu beliau bertanya kepada Hafshah, ‘Siapakah wanita ini?” Hafshah menjawab, “Dia adalah Asma binti Umais? Umar bertanya, inikah wanita yang datang dari negeri Habasyah di seberang lautan?’ Asma menjawab, “Benar.”

 

Umar berkata; ‘Kami telah mendahului kalian untuk berhijrah bersama Rasulullah SAW, maka kami lebih berhak terhadap diri Rasulullah SAW dari pada kalian. “Mendengar hal itu Asma tidak terima dan dia tidak tahan atas kesewenang wenangan Umar terhadap dirinya, maka ia berkata “Tidak demi Allah, kalian bersama Rasulullah SAW sedangkan beliau memberi makan bagi yang kelaparan di antara kalian dan mengajarkan bagi yang masih bodoh diantara kalian, adapun kami di suatu negeri yang jauh dan tidak disukai yakni Habsyah, dan semua itu adalah demi keta`atan kepada Allah dan Rasul-Nya”

Kemudian Asma diam sejenak selanjutnya berkata: “Demi Allah aku tidak makan dan tidak minum sehingga aku laporkan hal ini kepada Rasulullah SAW, kami diganggu dan ditakut-takuti, hal itu juga akan aku sampaikan kepada Rasulullah SAW, aku akan tanyakan kepada beliau, demi Allah aku tidak berdusta, tidak akan menyimpang dan tidak akan menambah-nambah.”

 

Sesaat kemudian Rasulullah SAW datang, maka berkata Asma kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah sesungguhnya Umar berkata begini dan begini.”

Rasulullah SAW bertanya kepada Umar, “Apa yang telah engkau katakan kepadanya?”. Umar menjawab, “Aku katakan begini dan begini”.

Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepada Asma`:

 

“Tiada seorangpun yang berhak atas diriku melebihi kalian, adapun dia (Umar) dan para sahabatnya berhijrah satu kali akan tetapi kalian ahlus safinah (yang menumpang kapal) telah berhijrah dua kali.”

 

Betapa gembiranya hati Asma setelah mendengar sabda Rasulullah tersebut, sungguh segala kepayahan dan kesusahan yang selama ini ia rasakan dinegeri asing langsung luluh berganti dengan suka cita yang mendalam. Bukan hanya Asma yang merasa bahagia dengan hadits ini, semua ahlus safinah juga ikut merasakan kegembiraan yang sama.

 

Asma’ berkata: “Sungguh aku melihat Abu Musa dan orang-orang yang telah berlayar (berhijrah bersama Asma’ dan suaminya) mendatangiku dan menanyakan kepadaku tentang hadits tersebut, maka tiada sesuatu dari dunia yang lebih menggembirakan dan lebih besar artinya bagi mereka dari apa yang disabdakan Nabi SAW kepada mereka.”

 

Inilah bukti dari tulusnya pengorbanan mereka dalam melaksanakan perintah Rasulullah SAW. Mereka tidak mengharap harta dunia dan perhiasannya, tapi semata mata mengaharap pahala dari Allah dan kecintaan dari Rasulullah SAW terhadap mereka.

Afra binti Ubaid bin Tsalabah memiliki kesabaran yang khusus

Muslimah yang satu ini memiliki kesabaran yang khusus. Kesabaran yang sangat sedikit dimiliki oleh muslimah lainnya. Ia dikarunia Allah SWT beberapa putra. Namun ia tidak akan senang sebelum seluruh putranya berjihad. Subhanallah…

Dia adalah Afra’ binti Ubaid bin Tsa’labah. Ibnu Kalbi berkata,” Ketika Mu’adz dan Ma’udz terbunuh, ibunya datang menemui Rasulullah SAW dan bertanya,” Wahai Rasulullah saw apakah ini yang terakhir dari bani Auf bin Al-Harits ?” Rasulullah SAW menjawab,” Tidak, Afra’ adalah muslimah yang memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh muslimah lain.

Dia dinikahi Al-Bakr bin Yalail Al-Laitsi setelah suaminya yang pertama Al-Harits. Dia dikaruniai empat putra yaitu Iyas, Aqil, Khalid dan Amir. Semua ikut dalam perang Badar. Demikian juga kerabat-kerabatnya dari jalur ibu, Bani Al-Harits “.

Dapat disimpulkan bahwa dia adalah muslimah yang memiliki tujuh anak dan kesemuanya ikut terjun dikancah Perang Badar.

 

Wahai ummi, berapa orang putrakah yang Alloh SWT titipkan pada kita ? Satu, dua, tiga atau bahkan lebih ? Tidakkah kita ingin bersyukur atas ni’mat itu ? Sudahkah kita mempersiapkan mereka untuk menjadi mujahid penegak syari’ah. Yang siap berjihad meninggikan kalimahNya ?

 

Ya Alloh, masukkanlah kami dalam rombongan Kafilah Syuhada Mu .

Siti Muthiah Dipuji Nabi DAN Dikagumi Fatimah

"FATIMAH anakku, mahukah engkau menjadi seorang perempuan yang baik budi dan isteri yang dicintai suami?" tanya sang ayah yang tak lain adalah Nabi SAW. "Tentu saja, wahai ayahku" jawab Fatimah.


"Tidak jauh dari rumah ini berdiam seorang perempuan yang sangat baik budi pekertinya. Namanya Siti Muthi'ah. Temuilah dia, teladani budi pekertinya yang baik itu".

Gerangan amal apakah yang dilakukan Siti Muthi'ah sehingga Rasulpun memujinya sebagai perempuan teladan? Maka, bergegaslah Fatimah menuju rumah Siti Muthi'ah dengan mengajak serta Hasan, putera Fatimah yang masih kecil itu.
Begitu gembira Muthi'ah mengetahui tamunya adalah puteri Nabi besar itu. "Sungguh, bahagia sekali aku menyambut kedatanganmu ini, Fatimah. Namun maafkanlah aku sahabatku, suamiku telah beramanat, aku tidak boleh menerima tamu lelaki dirumah ini."

"Ini Hasan putraku sendiri, ia kan masih anak-anak." kata Fatimah sambil tersenyum.
"Namun sekali lagi maafkanlah aku, aku tak ingin mengecewakan suamiku, Fatimah."
Fatimah mulai merasakan keutamaan Siti Muthi'ah. Ia semakin kagum & berhasrat menyelami lebih dalam akhlak wanita ini. Lalu diantarlah Hasan pulang & bergegaslah Fatimah kembali ke Muthi'ah.

"Aku jadi berdebar-debar," sambut Siti Muthi'ah, gerangan apakah yang membuatmu begitu ingin kerumahku, wahai puteri Nabi?"

"Memang benarlah, Muthi'ah. Ada berita gembira buatmu & ayahku sendirilah yang menyuruhku kesini. Ayahku mengatakan bahwa engkau adalah wanita berbudi sangat baik, karena itulah aku kesini untuk meneladanimu, wahai Muthi'ah."

Muthi'ah gembira mendengar ucapan Fatimah, namun Muthi'ah masih ragu. "Engkau bergurau sahabatku? Aku ini wanita biasa yang tidak punya keistimewaan apapun seperti yang engkau lihat sendiri."

"Aku tidak berbohong wahai Muthi'ah. Oleh itu, ceritakan kepadaku agar aku boleh meneladaninya." Siti Muthi'ah terdiam, hening. Lalu tanpa sengaja Fatimah melihat sehelai kain kecil, kipas dan sebilah rotan di ruangan kecil itu.

"Buat apa ketiga-tiga benda ini Muthi'ah" Siti Muthi'ah tersenyam malu. Namun setelah didesak iapun bercerita. "Engkau tahu Fatimah, suamiku seorang pekerja keras memerah keringat dari hari ke hari. Aku sangat sayang & hormat kepadanya. Begitu kulihat ia pulang kerja, cepat-cepat kusambut kedatangannya. Kubuka bajunya, kulap tubuhnya dengan kain kecil ini hingga kering keringatnya. Iapun berbaring ditempat tidur melepas lelah, lalu aku kipasi beliau hingga lelahnya hilang atau tertidur."
"Sungguh luar biasa pekertimu, Muthi'ah. Lalu untuk apa rotan ini?"

Kemudian aku berpakaian semenarik mungkin untuknya. Setelah ia bangun & mandi, kusiapkan pula makan & minum untuknya. Setelah semua selesai, aku berkata kepadanya: "Oh, kakanda. Jika ada pelayananku sebagai isteri & masakanku tidak berkenan dihatimu, aku ikhlas menerima hukuman. Pukullah badanku dengan rotan ini & sebutlah kesalahanku agar tidak kuulangi"

"Seringkah engkau dipukul olehnya, wahai Muthi'ah?" tanya Fatimah berdebar-debar.
"Tidak pernah, Fatimah. Bukan rotan yang diambilnya, justru akulah yang ditarik & didakapnya penuh kemesraan. Terlontar dari mulutnya, “Muthi’ah isteriku sayang, mudah-mudahan ketaatan & ketulusan hatimu terhadap suami akan menapat rahmat di sisi Allah Ta’ala.” Itulah kebahagiaan kami sehari-hari".

"Jika demikian, sungguh luar biasa, wahai Muthi'ah. Sungguh luar biasa! Benarlah kata ayahku, engkau perempuan berbudi baik." kata Fatimah terkagum-kagum.

Pernah diceritakan, ketika Siti Muthi’ah baru mempunyai anak & anak itu sedang bermain-main, tiba-tiba anak itu sakit dan meninggal dunia. Namun Muthi’ah menerima musibah itu dengan berlapang dada, sabar & tabah. Dia hanya dapat menitiskan air matanya, dipeluk & dicium dengan cinta & sayang anaknya itu sambil berkata, “Aku sebagai ibu memang sayang padamu, tapi ada yang lebih menyayangimu iaitu Allah SWT. Kini anakku sudah dipanggil pulang oleh yang menciptakannya, manusia semuanya kepunyaan Allah & akhirnya akan kembali kepada-Nya.”

Maka setelah suami Muthi’ah pulang, dia tidak segera menceritakan kejadian itu kepada suaminya. Setelah suaminya mandi & makan, Muthi’ah berkata kepada suaminya, “Kanda, apabila kita pinjam sesuatu barang & barang itu diambil oleh yang empunya, apakah kita harus marah & menyesal?” Lalu jawab suaminya, “Tidak, seharusnya kita ucapkan terima kasih kerana ia telah bersedia member pinjaman kepada kita.” Berkata Muthi’ah, “Bagus jika begitu, ya Kanda.. Demikian pula yang menimpa kepada anak kita, dia telah meninggal dunia siang tadi dengan sangat mendadak kerana sakit.”

Demikianlah keluarga itu menerima musibah dengan penuh kesabaran dan ketabahan. 

Rabu, 23 Disember 2020

Abu Bakar Bin Abdur Rahman : Seorang ahli ibadah yang khusyu‘

Seorang hamba yang ahli ibadah

Abū Bakar bin ‘Abd-ir-Ramān adalah seorang ahli ibadah yang khusyu di dalam shalatnya dan memperbanyak shalat sunnah, sebagai pengamalan dari firman Allah azza wa jalla:

“Laksanakanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksankanlah pula shalat) Shubuh. Sungguh, shalat Shubuh itu disaksikan (oleh malaikat) Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajjud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji. 

Dan katakanlah (Muammad), ya Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan (pula) aku ke tempat keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong(ku).” (al-Isrā’: 78-80).

Dia adalah orang yang banyak melaksanakan shaum dan shalat, dia melaksanakan shaum sepanjang hidupnya. Dia tidak pernah meninggalkan yang wajib, bahkan menyertainya dengan yang sunnah. Tidak pernah meninggalkan yang sunnah, bahkan melaksanakannya dengan sangat sempurna. Berikut ini perkataan salah seorang saudaranya tentang dirinya: “Saudaraku, Abū Bakar, selalu melaksankan shaum dan tidak pernah berbuka. Lalu pada suatu hari putranya datang kepadanya dan dia sedang berbuka, maka putranya berkata: “Mengapa hari ini engkau berbuka?” Abū Bakar menjawab: “Aku sedang junub dan belum mandi sampai waktu Shubuh, lalu Abū Hurairah memberikan fatwa kepadaku agar aku berbuka.” Maka mereka mengirimkan utusan kepada ‘Ā’isyah untuk bertanya mengenai masalah tersebut, lalu ‘Ā’isyah menjawab: “Suatu ketika Nabi s.a.w. dalam keadaan junub, lalu beliau mandi setelahnya pada waktu Shubuh, kemudian beliau keluar dan kepalanya masih bercucuran air, lalu beliau melaksanakan shalat, kemudian menjalankan shaum pada hari itu.”

Tidak ada alasan ataupun penyakit yang dapat menahan dan mencegahnya dari melaksanakan kewajiban shalat. Dia menyerahkan seluruh penyakit yang menimpanya dan rintangan yang menghalanginya dari melaksanakan kewajibannya kepada Allah ‘azza wa jalla. 

Dia pernah terkena penyakit di tangannya, dan pada saat sujud dia akan merasakan sakit yang teramat sangat, maka dia menyuruh keluarganya untuk membawa sebaskom air, kemudian dia meletakkan tangannya di dalam baskom air itu ketika sujud. Sampai sebatas ini dia telah mampu mengalahkan dan melampaui berbagai kesulitan yang menghalanginya dari Tuhannya, dia melaksanakan kewajibannya sebagai seorang hamba yang senantiasa beribadah dan bersujud.

 

TASAWWUF MODEN BAB 8 FASAL 52 : BAHAGIA YANG DIRASAI RASULULLAH SAW (BAB 8 BAHAGIA YANG DIRASAI RASULULLAH SAW)

PROF DR. HAMKA (TOKOH AGAMA AGUNG INDONESIA)

Berkata Anas bin Malik r.a.:

"Saya telah menjadi khadam Rasulullah saw 10 tahun lamanya. Maka tidak perna baginda berkata atas barang yang saya kerjakan: "Mengapa engkau kerjakan?" Mengapa tidak engkau kerjakan?". Tidak pernah pula baginda berkata pada barang yang tidak ada: "Alangkah baiknya kalau barang itu ada". Kalau pada suatu ketika terjadi perselisihan saya dengan ahlinya, dia berkata kepada ahlinya itu. "Biarlah sebab apa yang telah ditakdirkan Allah mesti, terjadi".

Memikirkan bunyi hadis yang diriwayatkan Anas itu, dapatlah difikirkan pula apa ertinya redha, yang telah berkali-kali kita tuliskan sebelum ini. Dapatlah diketahui hal ehwal Rasulullah itu. Dia sendiri, setelah sempurna makrifatnya dengan Allah, tidaklah dia lupa Yang Maha Kuasa itu ialah Dia. Dia yang mentakbirkan. Dia yang menyusun, mengatur, dan alam ini terlingkup kita di dalamnya, berhaklah Dia bertaharruf, berbuat sekehendak hatiNya di atas milikNya itu.

Nabi saw penuh kepercayaan bahawa Tuhan bijaksana, tidaklah Dia menentukan satu keputusan di luar pertimbangan seadil-adilnya. Dia menyerah kepadaNya, lebih daripada penyerahan hamba kepada penghulu. Meskipun banyak cubaan yang dijatuhkan atas dirinya, namun dia tidak berhenti selangkah dia haram surut, setapak dia tidak kembali. Dia terima apa yang ada, tidak mengaduh, tidak merintih dan tidak menyesal. Jika bukit teguh pada tempatnya, tiada bergoyang oleh terpaan angin dari segenap penjuru, maka keteguhan hati Rasulullah jika dihembus angin kehidupan, lebih dari teguhnya bukit, sebab jika gempa datang, bukitpun bergoyang juga.

Cubalah perhatikan kehidupan junjungan kita itu. Segenap alam gelap gelita, satu pun tak ada tanah tujuan dari perjalanan bangsa manusia. Dia diutus seorang dirinya ke dunia ini, tak berkawan, tak berteman, ahli rumahnya sendiripun 'masih orang lain'. Kekafiran, kederhakaan kepada Tuha, kelupaan dari kebenaran, membelakangi yang hak.

Cubalah kenangkan bagaimana hidupnya yang dibenci, dihina dan maki, sampai lari menyembunyikan diri kalau perlu. Pernah kakinya luka dan mengalir darah membasahi terompahnya kena pukulan orang, disangkut orang badannya dengan kulit unta ketika mengerjakan solat. Dia terima itu dengan diam dan tenang.

Ketika kembali dari perlawanan ke Thaif yang hampir saja membahayakan jiwanya itu, sebab yang empunya rumah tempatnya bertemu sendiri telah memberitahu kepada penduduk 'bahaya' pengajaran yang dibawanya, sehingga dia dipukul orang. Ketika akan pulang ia telah bertemu dengan seorang malaikat, lalu baginda ditanyai, sudikah dia kalau malaikat itu membinasakan umat yang menolak pengajarannya itu. Dengan lemah lembut baginda menolak tawaran itu, dengan perkataan bahawasanya orang-orang yang memusuhinya itu adalah orang tua yang tiada baginda menolak tawaran itu, dengan perkataan bahawasanya orang-orang yang memusuhinya itu adalah orang tua yag tiada baginda harapkan lagi, moga-moga anak cucu turunan mereka kelak yang akan menerima faham ini. Jawapan baginda itu pun terbuktilah, sebab ternyata bahawa panglima-panglima dan pahlawan-pahlawan yang menurutkan jejaknya kemudian hari, terdiri dari angkatan muda, anak cucu orang-orang yang menghalangi dahulu.

Dia keluar dari rumah, ke dalam Masjidil Haram. Kalau tak berhasil di sana dia pergi ke atas bukit Syafa atau Marwah. Tidak pula hasil di sana, dia pergi ke Mina, ke Jumratul Aqaba di waktu musim haji sambil menunggu dengan hati yang tetap, kalau-kalau ada dari kabilah lain atau kampung lain yang suka menerima pengajarannya itu. Selalu dia serukan.

"Siapa yang suka membelaku? Siapa yang suka menolongku?"

Begitu jalan yang dilaluinya, seandainya bukan Nabi, mahulah agaknya dia kehilangan kesabaran dan dia akan mahulah agaknya berkata:

"Ya Rabbi, bukankah Tuhanku telah berjanji hendak menolong hambaMu, manakah pertolongan itu kini? Bukankah sudah patut saya menerimanya?"

Di dalam pertempuran siasat yang masyhur di Hudaibiyah itu, yang kaum Quraisy di sana telah mengemukakan janji-janji yang amat pincang menurut pandang selintas lalu. Umar telah berkata:

"Bukankah kita berdiri di atas kebenaran? Mengapa kita hendak mendatangkan kehinaan atas agama kita?"

Rasulullah saw, menjawab dengan pendek tetapi jitu:

"Saya ini hamba Allah, dan Allah tidak akan mengecewakan daku".

Kalau ada yang menyangka pada masa itu, bahawa perjanjian itu melemahkan pihak Islam, bagi Rasulullah saw, adalah satu kemenangan besar. Sebab walaupun macam mana corak perjanjian, namun sekarang kaum Quraisy tidak memandang lagi bahawa golongan kaum Muslimin sebagai golongan 'pemecah', tetapi duduk sama rendah, tegak sama tinggi, telah boleh mengikat satu perjanjian politik.

Cubalah perhatikan kalimat yang diucapkan Rasulullah untuk mententeramkan fikiran Umar bin Khatab itu:

"Saya ini hamba Allah, dan Dia tidak akan mengecewakan daku".

Ertinya, saya hamba Allah (Ana Abdullah), bahawa saya ini di bawah kekuasaanNya, di bawah perintahNya, digantungNya tinggi, dibuangNya jauh.

Dengan dasar itu dia berjuang: "Saya ini hamba Allah, dan Dia tidak akan mengecewakan daku".

Kadang-kadang lapar perutnya kerana tidak ada yang akan dimakan. Kadang-kadang sebulan lamannya dapurnya tak berasap. Dia tidak mengeluh, malahan diambilnya saja batu, diikatkannya kepada perutnya. Padahal kunci Masyriq dan Maghrib telah diserahkan ketangannya.

Sahabat-sahabatnya yang setia mati terbunuh, seorang di antaranya bapa saudara baginda sendiri Hamzah, pahlawan yang gagah berani. Dibedah perutnya, diambil jantungnya, dan dimakan, dan dihisap orang darahnya. Nabi melihat semuanya itu dengan tidak merasa cemas. Luka jari tangannya, patah saingnya, hampir pecah kepalanya. Dia bangun kembali dan berjuang terus sampai menang.

Saya hamba Allah, dan Dia tidak akan mengecewakan daku.

Anak-anaknya meninggal, maka ditumpahkannya kasih sayang kepada cucu-cucunya dari anak perempuannya Fathimah, iaitu Hasan dan Husain. Diambilnya perintang hati. Walaupun dia sedang mengerjakan solat dipanjat punggungnya oleh kedua-dua anak-anak itu. Dia telah tahu dalam ilham Ilahi bahawa perkara-perkara yang besar akan dihadapi kedua anak itu kelak. Tetapi supaya orang lain tidak bergoncang hati, hanya dikatakannya saja, bahawa salah seorang dari anak itu akan mendamaikan perselisihan yang terjadi di antara dua golongan yang besar. Tidak ditegaskan bahawa salah seorang anak itu iaitu Husain akan mati dalam satu pertempuran yang hebat.

Rasulullah sempat mencintai isterinya yang tua, Khadijah. Kebetulan meninggal perempuan itu di waktu baginda amat perlu kepada pertolongan dan bujukannya. Maka dihadapkannyalah kasih sayangnya kepada Aisyah anak sahabatnya yang setia, Abu Bakar. Tiba-tiba dituduh orang pula isteri yang tercinta itu berbuat pekerjaan yang merosakkan hatinya.

Dia teguh: Saya hamba Allah, Dia tidak akan mengecewakan.

Baru pekerjaan hampir selesai, tiba-tiba timbul berturut-turut orang-orang yang bersikap hendak melawanya, hampir semuanya mendakwakan dirinya Nabi pula. Timbul Musailamah Alkazzah, Aswab al Insiy, Thulaihah Al Asadi, Sajah binti Al Harits, semuanya mendakwakan dirinya Nabi.

Dia serukan kebenaran, meskipun dia dituduh pendusta. Diterangkannya agama yang baik, dikatakan orang dia gila. Namun dia tak bergeser dari keyakinannya. Tetapi pada keredhaan dan keteguhan. Dia percaya, dia hamba Allah, Allah tak akan mengecewaannya.

Dalam kepercayaan yang penuh itulah datang kepadanya penyakit yang berat, awal dari kematian. Dia meninggal dalam keyakinan bahawa dia hamba Allah, bahawa Allah tak akan mengecewakannya. Dia menutup mata melepas nafasnya yang penghabisan, setelah bermohon kembali kepaa Ilahi supaya diizinkan duduk bersama-sama dengan teman sejawatnya yang paling tinggi, iaitu nabi-nabi dan rasul-rasul yang dahulu daripadanya.

Dia meninggal di atas sebuah hamparan yang telah tua, berselimut kain kasar, sedang minyak penghidupkan lampu semalam itu pun telah habis tengah malam, tak dapat ditambah lagi, kerana tidak ada minyak lagi.

Saya ini hamba Allah, Dia tidak akan mengecewakan saya".

Bilamana Nabi Nuh melihat kesesatan umat yang didatanginya, serta perlawanan yang mereka hadapkan ke dirinya, beliau berkata:

Ertinya: "Jangan ditinggalkan atas bumi ini tempat-tempat buat tinggalnya orang kafir".

Maka dalam hal yang demikian Nabi Muhammad saw telah meminta kepada Tuhan:

Ertinya: "Ya Tuhanku! Berilah petunjuk atas hambaku, kerana mereka tidak mengetahui".

Musa Kalimul-Lah ketika melihat kaumnya telah berpaling dari menyembah Allah kepada menyembah Injil, telah berkata kepada Tuhan:

Ertinya: "Ini tidak lain dari fitnahMu jua, ya Tuhan!"

Nabi Muhammad saw ketika melihat kesesatan kaumnya dan mereka menyesali Tuha, telah berkata:

Ertinya: "Allah tidak mengubah nasib suatu kaum, kalau tidak kaum itu sendiri yang mengubah nasib mereka".

Isa Ruhul-Lah pernah berkata:

"Kalau Engkau berkuasa ya Tuhanku, memalingkan kematian daripada makhlukMu, palingkanlah dia daripadaku"

Sedang Nabi Muhammad saw, ketika disuruh memilih antara dua perkara, iaitu hidup kekal dalam dunia, atau mati ketika hari kiamat saja, atau mati seperti orang lain mati, telah dipilihnya kematian, dipilihnya Rafiqil A'la.

Nabi Sulaiman telah memohon kepada Tuhan:

Ertinya:

"Ya Tuhanku, anugerahi kiranya akan daku suatu kekuasaan". (Sod: 35).

Nabi Muhammad saw telah memohon kepada Tuhan:

Ertinya:

"Ya Rabbi, jadikanlah rezeki ahli rumah Muhammad sekadar yang akan dimakan sehari-hari".

Demikianlah wahai orang yang hendak mencapai darjat Tasauf sejati. Demikianlah QANAAH yang telah dicontohkan oleh orang yang kenal erti wujud, dan kenal erti yang MAUJUD. Cita-citanya, untuk kemaslahatannya sendiri dikalahkan oleh cita-cita untuk maslahat umatnya. Tenang segala gelora atinya, tenteram perjalanannya menuju keredhaan Tuhannya, dan dia tidak putus berusaha.

TASAWWUF MODEN BAB 7 FASAL 51 : PERUMPAMAAN BAGINI ADA PULA (BAB 7 TAWAKKAL)

PROF DR. HAMKA (TOKOH AGAMA AGUNG INDONESIA)

Pertama, orang yang ditimpa suatu penyakit di dalam perutnya, yang tiada sembuh kalau perut itu tidak dibedah. Penyakit di tangan yang kalau tidak dipotong tangan itu, penyakit dapat menular ke seluruh badan. Ketika doktor memberitahu kepadanya bahawa penyakitnya perlu diubat dengan penyakit pula, supaya tidak lebih berbahaya, dia perlu dipotong atau dibedah, maka si sakit menerima dengan segala senang hati. Walaupun dia tahu bahawa akan berbekas jahitan dan tangannya akan kurang sebelah. Sebab di balik pembedahan dan pemotongan ada 'kesembuhan' yang diharapkannya.

Kedua, laksana seorang anak muda yang meninggalkan kempung halaman tempat dilahirkan, tepian tempat mandi, kerana dia hendak merantau mencari peruntungan. Sebab itu ditanggungnya kesakitan berpisah, untuk mencari keuntungan yang akan didapat dengan merantau.

Laksana orang sakit meskipun dia tahu bahawa musibah ditimpakan Allah kepada dirinya, dan sakitnya meresap ke tiap belai bulu, dia tanggungkan itu dengan sabar, kerana menunggu satu kurnia dan penghasilan yang dibalik itu. Sehingga dimintanya, datanglah cubaan datanglah bencana, datanglah sengsara, supaya lebih banyak dia mengucapkan syukurnya kepada Tuhan.

Demikianlah dia mengharapkan pahala dan kurnia. Dari pengharapan demikian, dia naik kepada darjat yang lebih tinggi, iaitu cinta. Bila orang mencintai seseorang, apa yang disukainya orang itu, disukainya pula. Apa yang dibencinya, dibencinya pula. Lantaran cinta kepada barang yang disukai kecintaannya, dia lupa pada dirinya sendiri. Katanya: Kalau memberikan cubaan dan bahaya itu satu keputusan Tuhan, hendaklah dijalankan.

Ajaib orang ini, dirinya dipandangnya seperti orang lain dan kepentingan kecintaannya dipandangnya kepentingan sendiri.

Segala keterangan ini dapat disaksikan pada syair-syair dan pantun, ratap dan senandung ahli syair dan ahli seni. Dengan gambaran dan ukiran, dengan lukisan alam yang bernama 'Jamalul Kaum', dapat kita saksikan bagaimana harganya kecintaan yang timbul dari hati makhluk kepada makhluk.

Sampai begitu tinggi darjat syair untuk memuji kecantikan dan kecintaan kepada sesama makhluk. Padahal itu hanya kulit muka yang meliputi daging, dan darah dan tulang, yang hancur apabila telah masuk kubur.

Sampai begitu tinggi penghargaan orang kepada gambar lukisan alam yang cantik, padahal hanyalah semata-mata kain putih yang diberi cat. Robek sedikit saja, sudah hilang kecantikannya.

Kalau cinta begini dapat mempengaruhi hati, apakah tak mungkin terjadi cinta yang melebihi itu, dari mata batin kepada kekuasaan ghaib, yang selama-lamanya keindahannya tiada berkurang dan mata batin itu tidak pula pernah tertipu dan salah?

Keindahandan kecintaan kepada alam, musnah setelah mati. Tetapi kecintaan kepada kebesaran ini, bertambah datang kematian, bertambah murnilah dia, sebab di sini mati ertinya hidup. Mati ertinya kesempatan yang luas buat menemui kecintaan yang selama ini terhambat-hambat oleh hidup.

"Siapa yang tindu hendak bertemu dengan Allah, maka janji Allah itu telah dekat dengannya!".

Bahagia, yang dalam bahasa Arabnya disebut Sa'adah tidaklah akan didapat kalau tidak ada perasaan Qanaah. Tidaklah terlalu berlebih-lebihan jika dikatakan bahawa bahagia ialah qanaah dan qanaah ialah bahagia. Sebab tujuan qanaah ialah menanamkan dalam hati sendiri perasaan Thuma'ninah, perasaan tenteram dan damai, baik di waktu duka atau di waktu suka. Baik di waktu susah atau di waktu senang, baik di waktu kaya atau di waktu miskin.

Lantaran yang dituntut oleh qanaah ketenteraman itu, ketenteraman itu pula yang menciptakan bahagia, dan tidak ada bahagia kalau tidak ada aqanaah. Wanaah dan bagia adalah satu.

Beberapa fikiran dari ahli-ahli hikmah yang tinggi-tinggi ada bertemu:

"Buah qanaah adalah ketenteraman", ujar Jaafar bin Muhammad.

Diri yang telah mencapai ketenteraman yang diberi nama oleh Quran Nafsul Muthmainnah, kegembiraannya ditimpa susah sama saja dengan kegembiraannya ditimpa senang. Baginya sama saja kekayaan dengan kemiskinan, bahaya dan keamanan, diberi dan memberi. Dia tidak bersedih ketika kehilangan, tidak gembira dapat keuntungan. Hati itu sentiasa dipenuhi redha. Redha yang selalu jadi pati hubungan antara Abid dengan Ma'bud, antara makhluk dengan Khalik.

Bertambah terang apa yang kita paparkan di atas itu, setelah kita baca sabda Rasulullah saw, dalam perkara ini:

"Allah jadikan ketenteraman dan kesukaan pada redha dan yakin. Allah jadikan pula kesusahan dan kedukaan pada syak dan mendongkol!".

Tujuan nafsu ialah keyakinan, dan hiasan nafsu ialah keredhaan. Nafsu yang telah mencapai tingkat tinggi, fikirannya tertuntun, perkataannya terpimpin kepada kebaikan, amalnya terjadi dalam kebaikan, sehingga bahagia yang hakikilah yang dicapainya dalam hidupnya. Di hari kiamat kelak dapat sambutan dari malaikat-malaikat yang menunggu kedatangannya.

"Wahai nafsu yang tenteram, kembalilah engkau kepada Tuhanmu di dalam keadaan redha dan diredhai". (Al-Fajar: 27-28).

"Barangsiapa yang beramal soleh daripada kamu, baik lelaki atau perempuan, lagi kepercayaannya kepada Tuhan, maka dia akan Kami hidupkan dalam kehidupan yang baik" (An-Nahl: 97).

Kata Ibnu Abbas"

"Hayatan Thayyibah, ialah Qanaah!"

Bersabda pula Rasulullah saw:

Ertinya: "Zuhud kepada dunia itu mendatangkan ketenteraman hati dan badan". (HR: Al Qudha'i dan Ibnu Umar).

Benarlah Tuhan yang mengutusnya dan benar pula dia. Kerana ramai orang salah sangka akan erti kesenangan. Padahal kesenangan itu dapat dicapai dalam sekelip mata, sebab ada dalam dirinya sendiri. Dicarinya juga ke tempat yang jauh, memayah-mayah badan. Dicarinya pada wang banyak, pada umah bagus, gaji besar, pangkat dan kehormatan. Padahal semuanya hanya laksana cahaya panas di padang yang tandus, disangka air, bila didatangi ke sana tidak akan didapati apa-apa.

Berkat seorang kepada Muhammad bin Wasi: "Berilah saya wasiat!".

Beliau menjawab:

"Jadi rajalah engkau di dunia, supaya engkau beroleh kerajaan di akhirat".

"Bagaimana saya dapat jadi raja, padahal saya bukan keturunan raja-raja?". Tanya orang itu.

"Zuhudlah kepada dunia dan pakailah qanaah, itulah kerajaan yang paling besar".

Jawapan yang diberikan oleh Muhammad bin Wasi; di atas adalah tepat, kerana sering kita melihat para penguasa dan raja secara lahir seperti orang yang binaksana dan berbudi luhur, tetapi batinnya seorang yang hina. Stalin, diktator yang pernah memerintah Rusia, tak berhenti dipuja-puja oleh rakyat, sebagai pemimpin yang dicintai. Akan tetapi, untuk menjaga keselamatannya dari ancaman pembunuhan dia terpaksa membentuk pasukan pengawal yang berjumlah ribuan. Bukan itu saja, dia juga mempunyai banyak "Stalin tiruan", orang-orang yang menyamar seperti dirinya, untuk membingungkan orang yang ingin membunuhnya.

Riwayat Stalin dan banyak lagi orang-orang seperti itu, adalah contoh yang jelas, tentang seseorang yang ingin bebas dan tidak terikat pada Tuhan, tetapi kemudian dikuasai oleh nafsu, menjadi orang yang pengecut.

Sultan Abdul Hamid menyediakan tukang cicip makan yang akan dimakannya, supaya nyata bahawa makanan itu tidak beracun. Padahal tukang cicip makanan itu masih hidup ketika Sultan Abdul Hamid mati di tanah pembuangan. Mengapa Sultan Abdul Haid berani menamai dirinya Khalifah, kalau dia tak berani mati seperti kematian Umar dan Utsman atau Ali?

Kata Saidina Ali:

"Kalau engkau ingin jadi raja, pakailah sifat qanaah. Kalau engkau ingin beroleh syurga dunia sebelum syurga akhirat, pakailah budi pekerti yang mulia.

Yang dapat melalui jalan qanaah itu hanya dua orang saja.

Pertama, yang memadai yang sedikit kerana mengharapkan ganjaran di akhirat.

Kedua, orang yang berbudi mulia, yang menjauhkan diri dari dosa dan tipu daya dunia dan menuju Tuhan.

Berkata Imam Radhi:

"Orang yang memegang qanaah, hidupnya aman, tenteram dan sentosa. Dia menyenangkan orang. Orang yang rakus hidupnya payah, tak kenal kesenangan dan ketenteraman, selalu diserang takut dan was-was".

Berkata Wahab bin Munabbah:

"Pada suatu hari berjalanlah ketinggian dan kekayaan disuatu jalan raya yang bernama hidup. Tiba-tiba bertemulah keduanya dengan qanaah. Orang yang berdua itu tak meneruskan perjalanan lagi, sebab telah dikalahkan oleh si qanaah".

 

TASAWWUF MODEN BAB 7 FASAL 50 : BAGAIMANA MENUNGGU COBAAN (BAB 7 TAWAKKAL)

PROF DR. HAMKA (TOKOH AGAMA AGUNG INDONESIA)

Menderita sakit, kepedihan hidup dan kesukaran yang sentiasa bertimpa-timpa, dan menerimanya dengan sabar dan tahan, juga termasuk tawakal.

Bertambah beratnya bahaya yang datang dah bencana yang menimpa, tidaklah menggoyang iman seorang mukmin. Tidak pula akan memundurkan langkah seorang yang telah mencapai bahagia dari kebahagiaannya.

Apa sebabnya?

Perasaan itu menurut keterangan Imam Ghazali timbul dari dua sebab:

  1. Cinta pada Allah (Al Hubbu Fil Lah).
  2. Segenap perhatian telah terhadap kepadaNya (Tawajuh lil Lah).

Hujjatul Islam itu telah membuat contoh yang dapat diterima akal. Seorang yang tawakal kerap tidak merasai sedikit pun, walaupun bagaimana besar bahaya yang menimpanya kerana perhatiannya terhadap Allah semata-mata.

Untuk ini ada dua contoh:

Pertama, orang yang tengah berperang dan perhatiannya sedang tertuju kepada perjuangan dengan musuh. Lantaran perhatiannya telah tertumpah ke sana, dia tidak sedar bahawa dia mengalami luka. Walaupun kelihatan olehnya darah telah mengalir.

Kedua, orang yang tengah memikirkan suatu urusan yang sangat penting. Fikiran dan perhatiannya bulat-bulat tertuju ke sana, sehingga jika dia berjalan di jalan raya, datang orang lain menegurnya, tak terdengar olehnya. Padahal telinganya tidak tuli. Hati tiada mengerti akan apa yang di sekelilingnya bilamana perhatiannya tertumpah kepada perkara yang lain.

Demikianlah pula seorang yang asyik, yang amat rindu hendak menemui kekasihnya dan memohon supaya cintanya dibalas. Ketika perhatiannya tertupah kepada kecintaan itu, walaupun apa yang akan terjadi, dia tak sedar. Lebih-lebih kalau yang terjadi itu timbul dari perbuatan orang yang dicintai itu sendiri. Di sinilah terpasangnya perkataan 'cinta buta'. Sedangkan bahaya datang dari orang lain tidak disedarinya, apatah lagi kalau datang dari kecintaan. Kerana sebanyak itu perhatian dan fikiran yang menimpa hati, urusan rumahtangga, kesusahan hati dan apa jua tidak ada sesuatu yang melebihi pengaruh cinta hati.

Kalau perumpamaan ini dapat diambil contoh dari sakit yang sedikit dan tidak terasa, bertali dengan cinta yang ringan dan belum besar, bagaimana pulakah jika yang mencintainya itu suatu jiwa yang besar, mencintai kekuasaan yang maha Besar pula? Nescaya dalam hal begini tidak dapat digambarkan dengn contoh biasa. Kerana hanya orang yang mencuba jua yang lebih tahu dan tak dapat dinyatakan melainkan dirasai sendiri. Sebesar-besar kesakitan dan bencana, tidaklah terasa, lantaran indahnya perasaan cinta.

Sebagaimana cinta berkenaikan dari setingkat ke setingkat, sakit pun berkenaikan setingkat ke setingkat.

Sebagaimana dengan penglihatan mata, bagi seniman bertingkat-tingkat pula perhatiannya kepada keindahan lukisan, maka cinta kepada lukisan gambaran ghaib itu pun bertingkat-tingkat pula.

Keindahan Hadrat Rububuyah, Persada Ketuhanan, lebih dari segala keindahan dan kecintaan lahir. Barangsiapa yang terbuka baginya dinding itu, dan dia dapat meyakinkan walaupun sedikit, maka dia berasa berpindah dari alam fana ini ke dalam syurga dengan tiba-tiba, dalam satu saat saja. Lantaran tercengangnya, dia jatuh pengsanlah, tiada sedarkan diri.

Sudah kejadian bekas ini pada isteri Fatah Al Mushili. Fatah adalah seorang Sheikh yang besar, dan isterinya pun termasyhur dalam dunia tasauf. Pada suatu hari kaki perempuan itu telah terantuk ke batu dan terkelupas kukunya, sehingga mengeluarkan darah. Hairan, dia tersenyum lantaran luka itu, dia tiada merasa sakit. Lalu orang bertanya kepadanya:

"Tidakkah engkau merasa sakit?".

"Sakit?... tidak! Kelazatan pahala yang telah meliputi hatiku, menghilangkan rasa sakit yang meliputi kakiku".

"Mengapa tiada segera engkau ubati badanmu?"

Dia menjawab:

"Kalau segera saya ubati, saya cemas kalau-kalau lekas perginya penyakit itu. Kerana menurut keyakinanku, itu adalah suatu jentikan 'kecintaanku'.

Orang yang merasai kesakitan itu, serta insaf bahawa dia ditimpa bahaya, tetapi bahaya itu diinginnya dan dimintanya, meskipun dideritanya sakitnya dan payah badannya menanggungkan.

 

TASAWWUF MODEN BAB 7 FASAL 49 : MENGUBATI PENYAKIT (BAB 7 TAWAKKAL)

PROF DR. HAMKA (TOKOH AGAMA AGUNG INDONESIA)

Mengubati penyakit tidaklah bertentangan dengan tawakal, bukan pula menunjukkan kurang terima di atas takdir dan ketentuan Allah.

Sabda Rasulullah saw"

Ertinya: "Tidaklah menurunkan Allah akan penyakit, melainkan diturunkanNya pula ubatnya!". (HR: Bukhari dan Muslim).

Sabdanya pula:

Ertinya: "Hai hamba Allah, berubatlah! Kerana sesungguhnya Allah Azza wa Jalla, tidaklah menjadikan penyakit melainkan dijadikanNya pula ubatnya, kecuali semacam penyakit saja, iaitu tua!". (HR: Imam Ahmad).

Tersebut di dalam Musnah Imam Ahmad dan suatu riwayat dari Abu Khuzamah, bahawa ada orang bertanya kepada Rasulullah:

"Tangkal penyakit, atau ubat yang kita ambil perubat itu atau penjagaan kita kepada diri kita, dapatkah semuanya menolak takdir yang telah tertentu, ya Rasulullah?".

Jawab baginda:

"Berubatlah itupun takdir juga".

Bukan sekali dua Rasulullah menyuruh sahabat-sahabatnya berubat. Di zaman Rasulullah saw, berubat dengan berpantik, dengan berbekam dan berubat dengan madu lebah, adalah perubatan yang amat biasa terpakai. Saidina Ali lantaran matanya sakit baginda larang memakan buah anggur kering dan baginda suruh memakan telur dimasak dengan bubur.

Rupanya perkara pantang-pantang makanan bagi suatu penyakit diperhatikan juga oleh Rasulullah.

Baginda sendiri suka memakai celak mata, berbekam dan meminum ubat. Sehari dua sebelum meninggal, baginda masih mimum ubat. Beberapa ulama antara lain Ibnu Qayyim telah mengarangkan kitab yang khusus mengenai ubat-ubat yang Nabi saw.

Ketika tangan Rasulullah luka di dalam peperangan Uhud, telah dibungkus dengan bara perca kain.

Allah yang mengadakan penyakit. Dia pun mengadakan ubatnya. Cuma mati yang tidak dapat diubati, kerana mati bukan penyakit.

TASAWWUF MODEN BAB 7 FASAL 48 : [ASAL TAWAKKAL (BAB 7 TAWAKKAL)

PROF DR. HAMKA (TOKOH AGAMA AGUNG INDONESIA)

Di dalam Qanaah seperti kita nyatakan di atas tersimpullah tawakal, iaitu menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar dan usaha kepada Tuhan semesta alam. Dia yang kuat dan kuasa, kita lemah dan tak berdaya. Ramai orang yang telah mengertikan tawakal. Sebab itu perlu kita kupas, menghilangkan keraguan.

Tidaklah keluar dari garis tawakal, jika kita berusaha menghindarkan diri dari kemelaratan, baik yang menimpa diri, atau harta benda, anak turunan. Baik kemelaratan yang akan datang, atau boleh jadi akan datang.

Yang mengenai diri sendiri, tidaklah bernama tawakal kalau kita tidur di bawah pohon kayu yang lebat buahnya, seperti pohon durian. Kerana kalau buah itu jatuh digoyang angin, kita ditimpanya, itu adalah sebab kesia-siaan kita. Tidaklah boleh kita duduk lama atau tidur di tepi sungai yang banjir, atau di bawah dinding yang hendak runtuh, atau bukit yang suka terbang (longsor).

Kalau bahaya yang mengancam itu akan datang dari sesama manusia, sekiranya ada jalan sabar, atau jalan untuk mengelakkan diri, pilihlah lebih dahulu yang pertama, itu sabar. Kalau tak dapat lagi, pilihlah yang kedua, ititu mengelakkan diri. Kalau tak dapat juga, barulah menangkis. Kalau satu-satunya jalan ialah menangkis, tidak juga ditangkis, tidaklah bernama tawakal lagi, tetapi sia-sia.

Bila dicela dan dinihakan orang, jangan lekas naik darah, fikirkan dahulu, kerana sebanyak hinaan, agak sebuah atau dua entah ada juga yang betul. Akuilah dahulu bahawa diri manusia, tak luput dari salah, seorang sahabat ialah yang berani berkata benar, bukan yang membenar-benarkan.

"Ambillah Dia (Allah) menjadikan wakil (tempat bertawakal) dan sabarlah menanggungkan yang dikatakan orang". (Al-Muzzammil: 9-10).

Banyak lagi ayat-ayat lain yang serupa dengan itu.

Itulah yang mengenai kesakitan yang ditimpakan kepada manusia. Adapun kesabaran atau tawakal menghadap ular yang hendak menggigit, binatang besar yang hendak menerkam, kala yang mengejar kaki, anjing gila yang kehausan, maka jika sabar juga menunngu, tidak berusaha menangkis, tidak bernama tawakal lagi, tetai bernama sia-sia juga.

Tidaklah keluar dari garisan tawakal jika dikuncikan pintu lebih dahulu sebelum keluar rumah, ditutupkan kandang ayam sebelum hari malam, dimasukkan kerbau ke kandang sebelum hari senja. Kerana menurut Sunatullah, dikuncikan rumah dahulu baru pencuri tertahan masuk, ditutupkan pintu kandang baru musang tak mencuri ayam.

Demikianlah telah terjadi di zaman Rasulullah saw seorang dusun tidak mengikat untanya sehingga unta itu lepas, kerana katanya bertawakal kepada Tuhan. Oleh Rasulullah perbuatannya itu tiada disetujui, melainkan baginda berkata kepada orang itu:

"Ikatlah dahulu untamu barulah bertawakal!".

Di dalam peperangan menghadapi musuh, diperintahkan orang Islam menggunakan senjata yang lengkap, jangan hanya dengan sebilah lading atau golok hendak berjuang menghadapi tank waja dan senapang mesin. Kerana menurut Sunatullah, tidaklah sebilah lading atau golok akan menang menghadapi sepucuk senapang mesin yang dapat memuntahkan peluru 500 butir dalam satu minit.

Ingatlah ketika Rasulullah saw meninggalkan negeri Makkah endak pergi ke Madinah, bersembunyi di dalam gua di atas bukit Jabal Tsur ketika dikejar oleh kafir Quraisy, berdua dengan sahabatnya Abu Bakar. Setelah bersembunyi dan tidak kelihatan oleh musuh lagi, barulah dia berkata kepada sahabatnya itu!

"Jangan takut, Allah ada bersama kita".

Iaitu beserta mereka setelah mereka bersembunyi. Cuba kalau Rasulullah menampakkan dirinya, padahal musuh sebanyak itu, tentu menurut Sunatullah dia akan tertangkap atau binasa lantaran sia-sianya, dan Allah tidaklah bersertanya lagi!

Orang yang menutup kandangnya, takut ayamnya ditangkap musang, orang yang mengunci rumah takut pencuri akan masuk, orang yang mengikatkan untanya takut akan dilarikan orang, mereka itulah 'mutawakkil', bertawakalyang sejati, tawakal dalam teori dan praktik.

Memang diakui bahawa kunci pintu tak dapat menolak kadar, kunci kandang tak dapat menangkis nasib, melainkan dengan izin Allah jua. Tetapi tidaklah boleh kita terus saja lari kepada takdir, kalau ikhtiar belum sempurna.

Intisarinya segala pekerjaan ini haruslah diingat. Yakni ketika pintu dikuncikan, kita akui bahawa tidak ada kekuasaan apa-apa pada kunci itu, dia hanya semata-mata ikhtiar. Dengan hati tulus ikhlas kepad Ilahi, kita akan memohon:

"Ya Ilahi, jika barang-barang yang ada dalam rumah ini, dengan kekuasaan Engkau, dapat juga diambil orang, setelah dia saya kuncikan, ka saya serahkanlah kepada Engkau,hilangnya dalam jalan Engkau, tinggalnya pun dalam keredhaan Engkau. Segala redha menerima keputusan Engkau. Bukankah pintu ini saya tutupkan lantaran hendak mengelakkan ketentuan Engkau, tetapi mengikut sunnah yang telah engkau tentukan di dalam urusan sebab dan musabab. Maka tidaklah ada tempat berlindung, melainkan hanya Engkau, ya Tuhanku! Di tanganMu terpegang segala sebab dan musabab itu".

Serupa dengan itu tawakal kepada Allah di dalam perkara mengubati penyakit. Berubat ketika sakit, tidak mengurangi tawakal. Junjungan kita Muhammad saw menyuruh kita menjaga diri:

"Larilah dari penyakit kusta, seperti lari dari harimau yang buas!".

Perut adalah rumah penyakit, penjagaan adalah rumah ubat.

Di riwayatkan orang bahawa Saidina Umar Al-Khatab r.a. ketika menjadi khalifah, berangkat ke negeri Syam, sampai ke sebuah kampung bernama Jabiyah dalam wilayah Damaskus. Sampailah kepada beliau berita bahawa penyakit taun sedang menjadi-jadi dalam negeri Syam. Telah beribu-ribu orang yang mati. Mendengar khabar itu, terbahagi dualah pendapat sahabat-sahabat Rasulullah itu. Setengahnya mengatakan lebih baiklah perjalanan ke Syam diundur untuk menghindarkan bahaya. Setengahnya mengatakan lebih baik perjalanan diteruskan juga kerana sakit dan senang hidup dan mati, semuanya di bawah kuasa Allah jua. Kita bertawakal kepada Tuhan dan kita tidak mengelak dari QadarNya. Setelah menjadi pertukaran fikiran itu, pergilah mereka meminta fikiran Saidina Umar. Beliau berkata:

"Kita kembali tak usah menempuh wabak".

Orang yang menimbang lebih baik perjalanan diteruskan diketuai oleh Saidina Abu Ubaidah, dia bertanya:

"Apakah kita boleh lari dari takdir Allah".

Saidina Umar menjawab:

"Memang kita lari dari takdir Allah, kepada takdir Allah".

Lalau beliau buat satu perumpamaan:

"Bagaimana pendapat tuan-tuan, kalau tuan-tuan mempunyai kambing ternak, yang dihalaukan kepada dua buah lurah, yang sebuah banyak rumputnya dan yang sebuah kering? Bukankah jika kambing itu digembalakan ke padang yang berumput subur, juga di bawah kudrat Allah?".

Mereka menjawab: "Memang kedua-duanya di bawah kudrat Allah!".

"Tadi di mana kamu gembalakan?". Tanya beliau pula.

"Tentu di padang beruput subur!". Jawap mereka.

"Sungguhpun begitu kita tunggu Abdul Rahman bin Auf, boleh jadi dia mempunyai pertimbangan yang lain". Kata beliau.

Khabarnya sebelu Abdur Rahman bin Auf tiba, beberapa orang telah berangkat dahulu ke Syam, dengan izin Khalifah, kerana yakinnya kepada takdir juga.

Besoknya pagi pagi barulah Abdur Rahman bin Auf datang, ketika hal itu disampaikan kepadanya, dia berkata:

Saya telah menerima dari Rasulullah suatu sabda mengenai hal ini, yang Amirul Mukminin.

"Allahhu Akbar" ujar Umar kerana terlalu gembiranya.

Telah saya dengar Rasulullah bersabda:

"Apabila kamu mendengar khabar habawa wabak berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datang ke negeri itu. Kalau kamu ada dalam negeri itu, janganlah kamu keluar dari sana ke negeri lain".

Bukan main sukacitanya Saidina Umar apabila mendengar sabda Rasulullah yang membenarkan pertimbangannya. Khabarnya juga Saidina Abu Ubaidah yang telah berangkat lebih dahulu ke Syam telah meninggal dunia lantaran Taun Amwas yang masyhur itu.

Di dini nya bahawa sahabat-sahabat Nabi saw kemudiannya telah sepakat bahawa memelihara diri dari penyakit, juga termasuk tawakal.

 

TASAWWUF MODEN BAB 6 FASAL 47 : QANAAH SEBAB KEBAHAGIAAN UMAT DAHULU (BAB 6 QANAAH)

PROF DR. HAMKA (TOKOH AGAMA AGUNG INDONESIA)

Keteguhan urat qanaah di dalam sanubari umat Islam di zaman purbakala, seketika agama Islam baru dikembangkan, itulah yang menyebabkan agama ini tersebar luas. Qanaah telah meresap ke urat darah mereka. Mereka berkorban dan berjuang ke medan peperangan dan bertempur, tiada mengenal takut dan gentar, untuk wujud yang hanya sebuah, iaitu supaya Kalimat Allah tetap tinggi dari segala-galanya. Untuk itu mereka pandang meurahlah harga harta benda, rumahtangga, anak dan isterinya, akhirnya murah juga badan dan jiwa, untuk membela kalimat Allah itu.

Baiklah di sini kita terangkan suatu contoh.

Tatkala negeri Mesir dikepung oleh bala tentera Islam di bawah pimpinan Amr bin Asy, ada sebuah bentang paling teguh, pusaka zaman Babylon. Raja negeri Mesir yang bernama Muqauqis telah mengirim seorang utusan kepada pahlawan Islam itu, membawa titah demikian bunyinya"

"Tuan-tuan telah masuk ke negeri kami, dengan sikap gagah perkasa tuan-tuan memerangi kami, sudah lama tuan-tuan berusaha mengerjakan pekerjaan yang demikian besar. Tidaklah, tuan-tuan ingat bahawanya tuan-tuan hanya mempunyai kebangsaan yang lemah, yang telah pernah di bawah pengaruh bangsa Rom? Kalau tuan-tuan teruskan juga pekerjaan ini, tuan-tuan akan jatuh kelak ke dalam tawanan kami. Maka sebelum terlanjur, lebih baik kita berunding. Utuslah ahli-ahli bicara supaya kami dengar pembicaraannya. Moga-moga dengan perundingan yang demikian, kita mendapat persetujuan, yang menyenangkan hati kami dan hati tuan-tuan. Kalau urusan ini kita lambatkan, takut kelak bal tentera Rom datang menyerang tuan-tuan, kerana negeri ini di bawah kekuasaannya. Pada ketika itu percuma penyesalan. Sebab itu, segeralah utus ahli runding itu supaya kita cari rembukan yang menyenangkan itu".

Muqauqis bertanya seketika utusan itu sampai:

"Bagaimanakah keadaan bala tentera Islam itu menurut pandangan kamu?"

Mereka menjawab:

"Kami lihat, adalah mereka suatu kaum yang lebih suka menghadapi maut daripada menghadapi hidup. Merendahkan diri lebih mereka sukai daripada mengangkat diri. Tidak ada yang terpedaya oleh dunia dan isinya. Duduk mereka semata-mata atas tanah, makan sambil bersila. Amirnya serupa saja dengan orang biasa, tidak dapat dikenal mana yang tinggi dan mana yang rendah pangkatnya, atau mana yang penghulu dan mana yang pengikut. Mula-mula mereka basuh tiap-tiap hujung anggota mereka dengan air, dan mereka berdiri sembahyang amat khusuknya.

Mendengar itu berkata Muqauqis:

"Demi Tuhan yang dijadikan untuk persumpahan, sesungguhnya kaum yang demikian itu, walaupun gunung yang akan menghambat maksudnya, akan diruntuhkan juga. Tidak ada bangsa yang sanggup berhadapan dengan kaum yang begitu".

Anjuran Muqauqis supaya dikirim ahli bicar adikabulkan Amr. Ubbadah bin Shamil diutus. Dia telah berkata di hadapan baginda, percakapan yang cukup mengandung qanaah.

"kami berjihad pada agama Allah dan tidak lain maksud kami hanyalah mencari keredhaan Allah. Bukanlah kami memerangi musuh lantaran untuk mencari harta dunia, bukan untuk peroleh kekayaan, meskipun harta rampasan itu telah dihalalkan Allah bai kami. Tidak ada di kalangan kami yang mementingkan harta, walaupun kami berharta emas sebesar gunung, atau tidak berwang sesen juga. Kerana tujuan kami dalam dunia ini, hanya sekadar mengambil sekenyang perut, siang dan malam. Kalau pun kami tidak ada harta selain itu, cukuplah itu bagi kami, dan kalau kami banyak harta benda, tidaklah kami teringat menyimpannya, tetapi memberikannya dengan segera kepada Jalan Allah. Kerana menurut keyakinan kami, nikmat dunia itu belumlah pantas disebut nikmat, kesenangan belum perlu disebut kesenangan, sebab nikmat dan kesenangan yang sejati adalah di akhirat. Pelajaran itulah yang diperintahkan Allah kepada kami, dan diajarkan oleh Nabi kami. Kami diperingatkan oleh baginda, supaya menghadapi dunia hanya sekadar untuk pengisi perut, menghindarkan lapar, penutup aurat. Pekerjaan serta kepentingan yang paling besar dari semuanya, telah menuntut keredhaan Allah dan memerangi musuh Tuhan".

Maka datanglah waktu solat. Ubbadah bin Shamit pun solat, kudanya terikat di dekatnya. Terlihatlah oleh beberapa orang bangsa Rom. Mereka datang ke tempatnya cukup dengan pakaian dan perhiasannya, hendak melihat upacara solat yang ganjil itu, lalu mereka olok-olokkan dan tertawakan. Selesai solat yang pertama dan dia menoleh, dikejarnya orang-orang yang mengolok-olokkan itu, sehingga lari berpencaran. Sambil lari mereka buka perhiasan-perhiasan yang lekat di badannya, mereka cicirkan di tanah sebab mereka sangka, dengan melihat batu-batu permata yang mahal berlingkar emas, Ubbadah akan berhenti mengejar. Tetapi Ubbadah masih tetap mengejar, sampai mereka lari ke dalam benteng dari sanalah mereka mencuba melemparinya dengan batu. Kerana tidak akan dapat bertemu lagi, Ubbadah pun kembalilah ke tempat solat tadi, dan sekali-kali tidak teringat olehnya hendakmemiliki barang-barang perhiasan yang sengaja dijatuhkan itu.

Demikianlah beberapa contoh, bagaimana pengaruh qanaah kemenangan kaum Muslimin tempo dahulu, keduniaan mereka pandang ranting kehidupan yang paling kecil, dan mereka besarkan usaha menuntut keredhaan Tuhan, menjalankan perintah Alllah dan Rasul. Dengan niat demikian, mereka berhasil mengalahkan bangsa-bangsa yang maju, menaklukkan kota-kota dan negeri yang besar.

Bertahun-tahun kemudian kaum Muslimin jatuh dan dikalahkan oleh musuhnya. Sebab semangat ini telah hilang dari jiwa. Himmah lemah, akhlak rosak, kemuliaan agama runtuh, kaum Muslimin jatuh ke bawah pengaruh bangsa dan peradaban asing, dilindungi dan dijaga, diperintah dan dijajah. Lahaula-wala quwwata illa billah!

Meskipun telah kita nyatakan bahawa Islam mengajak umatnya hidup dengan qanaah, sekali-kali tidaklah dia menyuruh malas, lalai dan lengah, tiada peduli akan keperluan dan kemestian hidup. Sebaliknya, Islam membawa pengikutnya mencari sukses dalam hidup, menyuruh umatnya maju, tampil ke muka perjuangan dengan gagah perkasa.

Dapatkah kekayaan diperoleh tak berusaha? Dapatkah ilmu dengan tak belajar? Dapatkah mencapai kemuliaan, kalau tak ditempuh jalannya? Padahal kapal tak dapat dilayarkan di daratan!

Ketika Maryam ibu Isa a.s. hendak melahirkan Nabi Utama itu, di tengah padang yang jauh, dia disuruh Tuhan berpegang kepada dahan pohon kurma, supaya runduk ke bawah dan mudah buahnya jatuh. Kalau Tuhan menyuruh qanaah dengan hanya menunggu, dan sekali lagi hanya menunggu, tidak dia pegang dan runduknya pelepah kurma itu tentu Maryam akan tinggal lapar dan haus selamanya.

Apakah yang disuruh Islam pada umatnya di dalam menyembah Tuhan? Bila datang seruan pada hari Jumaat, pergilah mengingat nama Allah (berjumaat) tinggalkan berjual beli.

"Bila sembahyang telah selesai, bertebaranlah di muka bumi, dan harapkan kurnia Allah. Ingatlah Allah banyak-banyak, supaya beroleh kemenangan".

Allah tiada menahan mereka, bila solat itu telah selesai, jangan bertekun juga dalam masjid. Tetapi pergilah, carilah penghidupan kembali, supaya cukup dan lengkap kewajipan yang harus dibayarkan. Cuma satu saja peringatanNya iaitu mengingat Dia jangan seketika solat sahaja. Walaupun penjual makanan telah memegang katian dan gantang, telah memegang ela dan hasta orang penjual kain, telah mempermainkan pena dan tinta orang kerja menulis, namun Tuhan jangan dilupakan. Solat yang berwaktu adalah upacara yang khusus. Tetapi di samping itu, adalah solat yang diperlukan, iaitu ingat akan Dia selalu, dan di mana saja. Itulah solat Daim.

Supaya kamu menang, supaya dapat jaya dalam hidup dunia dan akhirat!

"Berjalan dalam dataran bumi, makanlah rezeki yang telah dianugerahkan".

"Manusia tidak akan mendapat hasil, hanyalah dari usahanya, dan kelak segala usaha itu akan diperlihatkan".

Tiadakah senang hati tuan mendengar, bahawa seketika Rasulullah saw kembali dari peperangan Tabuk, dia bertemu dengan sahabatnya Mu'az. Ketika bersalaman, terasa olehnya telapak tangan Mu'az kesat. Rupanya lantaran banyak pekerjaan kasar. Lalu baginda bertanya apakah sebab tangan itu kesat. Dengan muka berseri sahabat utama itu menjawab:

"Saya membajak tanah, untuk nafkah ahli rumahku, ya junjungan".

Alangkah jernihnya muka Rasulullah mendengar jawapan sahabatnya itu, sehingga diciumnya keningnya, seraya berkata:

"Engkau tak akan disentuh api neraka, Mu'az".

Saidina Umar, bila melihat seorang anak muda yang sihat dan tegap badannya, senang sekali hatinya. Sebab pemuda-pemuda itu dapat dipergunakan untuk mempertahankan agama Allah. Tetapi Saidina Umar, setelah melihat anak muda itu, dengan segera bertanya:

"Adakah dia mempunyai pencarian?"

Kalau orang menjawab tidak, mukanya berubah sebentar itu juga terhadap anak muda itu.

Kata Ibnu Abbas:

"Datang suatu kaum kepada Rasulullah. Di hadapan baginda mereka memperkatakan bahawa ada pula segoolongan kawan mereka, tiap hari puasa, tiap malam sembahyang tahajjud, zikirnya banyak.

Mendengar itu Rasulullah bersabda:

"Adakah di antara tuan-tuan yang hadir ini yang mempunyai makanan cukup dan minuman yang cukup"

Mereka menjawab: "Mudah-mudahan kami semua adalah demikian"

Jawab Nabi: "Tuan-tuan ini lebih baik dari mereka itu".

Pernah pula diperkatakan, tentang seorang yang siang malam hanya tekun ibadat sehingga tidak ke mana-mana.

Lalu Nabi bertanya:

"Siapa yang menjamin makan minumnya?"

"Ada sudaranya", jawab sahabat-sahabat itu.

"Saudaranya itu lebih baik dari dia", kata baginda.

Untuk menjaga kesederhanaan, dan supaya hati tetap dalam ketenteramannya, jangan sampai tenggelam dalam gelombang dunia yang hebat, jangan sampai fikiran hanya kepada harta benda saja, itulah sebabnya disuruh qanaah iaitu sederhana. Rasulullah menutup pintu akan kepanjangan was-was dan keraguan hidup dengan sabdanya:

"Lebih baik segala yang diminta pada Allah itu bersifat iqtishad sederhana. Kerana rezeki yang telah ditentukan buat kamu, lebih mencari kamu daripada kamu mencari dia. Tetapi yang bukan buat kamu, walaupun kamu cari kemana, tidaklah akan kamu dapat, walaupun bagaimana giatmu".

Qanaah tidak berlawan dengan harta, selama harta itu belum menghilangkan ketenteraman hati, sebab qanaah ialah tangga ketenteraman hati. Selama harta itu masih diikat oleh niat yang suci iaitu untuk menyokong segala keperluan hidup, berhubung dengan sesama manusia dan ibadat, untuk bersedekah kepada fakir dan miskin.

Dari itu, tidaklah bernama zahid lantaran tidak berharta. Siapa jua pun sanggup menjadi orang zuhud, menjadi sufi, bukan dihalangi oleh kenyataan harta. Orang yang zahid ialah orang yang tidak dipengaruhi harta; walaupun seluruh isi dunia ini dia yang punya.

Saidina Ali pemimpin dari segala umat Muhammad yang zahid pernah berkata:

"Walaupun seorang lelaki menyimpan sekalian harta benda yang ada di bumi ini, tetapi dengan niat hendak mengadap Allah, tidaklah Allah akan berpaling daripadanya".

Kata saidina Ali, dasar zuhud itu hanyalah satu, iaitu:

"Jangan terlalu gembira beroleh untung, jangan cemas beroleh rugi. Kalau ini telah dipegang, ubun-ubun zahid telah ada dalam tangan".

Qanaah tidak menghalangi menyimpan harta. Kerana banyak guna harta itu untuk mencapai maksud yang tinggi. Sejak membeli tikar sembahyang, membeli perbukaan puasa, membayar zakat dan fitrah, sampai kepada perongkosan naik haji, sampai kepada menolong yang patut ditolong, tidak akan tercapai kalau tak ada harta. Ada orang yang susah hati menyimpan harta, ada pula yang sebaliknya, susah hatinya tidak menyimpan. Kedua-duanya itu tidak terhalang, yang terhalang ialah kalau menyimpan atau menghindarkan harta itu menyebabkan lupa pada Tuhan, sebagai ada pula dalam kalangan orang yang fakir miskin. Kaya dan miskin sama-sama cubaan.

Ingat sajalah bahawasanya Rasulullah saw diutus kepada seluruh manusia. Macam-macam mata penghidupan manusia. Tidaklah disuruhnya orang yang berniaga meninggalkan perniagaan, orang memburuh meninggalkan perburuhan. Tetapi semuanya, diserunya supaya ingat akan Tuhan, supaya segala pencarian itu berdasarkan atas kesucian. Supaya segala mata penghidupan ini hanya dipandang sebagai kemestian bukan itu yang bernama hidup.

Agama Rasulullah saw terbuka pintunya untuk segala tingkatan dan darjat. Dia membolehkan orang menyimpan harta, barangkali akan jadi persiapan bagi ahli dan keluarga. Dia tidak memberati manusia lebih dari yang mereka kuasa. Diberinya manusia bertali panjang, dilepaskan ke mana manusia hendak terbang, dan bagaimana kesukaannya, namun tali tak boleh putus.

Ada sahabat-sahabatnya yang lantaran terlalu termakan pengajarannya mencuba memberati diri, antaranya ada yang hendak puasa tiap hari terus menerus, hendak sembahyang tahajud tiap malam, ada juga yang hendak meniru pendita lain agama, tidak hendak memulangi isterinya dan tidak hendak kahwin. Semuanya dilarangnya.

Itulah sebabnya umat Islam menjadi kaum yang sanggup mempermainkan pedang, sanggup naik kuda berlari kencang, tahan di hadapan musuh walaupun bagaimana kuatya. Ketika pengajaran ini dipakai oleh balatentera "Ikhwan" dari Raja Ibnu Sa'ud, dalam 20 tahun saja dapatlah mereka mengambil sebahagian besar tanah Arab. bagi mereka tiga butir buah kurma buat sehari, cukuplah. Pada hari ini, baik tentera-tentera yang maju sekalipun, bukan ini lagi dasar ketenteraannya, tetapi pada kebanyakan senjata. Bagaimana kalau dasar itu dipakai oleh tentera-tentera Isla, ditambah lagi dengan kekuatan persenjataan, tidaklah akan mengatasi dari segala-galanya?

Sahabat-sahabat nabi yang besar-besar, selain dari menjadi orang-orang yang soleh, dan menjadi kepala perang yang gagah berani pun mempunyai pencarian tetap di waktu damai. Amr bin Asy pemuka Mesir, seorang tukang potong haiwan. Zubair bin Awwam, Abu Bakar Siddiq, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Abdur Rahman bin Auf, semuanya saudagar-saudagar yang cerdik. Umar bin Khatta b menjadi perantara (petunjuk harga di antara penjual dan pembeli. Namanya sekarang salesman). Saad bin Abi Waqqas, bekas tukang pintal tali, Wahid bin Mughirah, bekas tukang besi. Demikian pula Abul Asy, Abu Sufyan bekas penjual minyak. Hakam bin Abil Ash tukang kebiri binatang, Asy bin Wail, dukun binatang (doktor haiwan).

Imam Abu Hanifah yang masyhur, sudagar sutera, Malik din Dinar seorang zahid yang masyhur, penjual kertas tulis. Muhallab nin Abi Shufrah seorang ahli membuat kebun. Qutainah bin Muslim seorang pahlawan perang yang mengalahkan negeri Ajam, saudagar unta. Uyainah menjadi guru, demikian juga Dhihak bin Muzahim. Banyak lagi yang lain.

Banyak pula di antara sahabat-sahabat Nabi dan Tabi'in yang datang di belakangnya, kaya raya menyimpan wang berjuta-juta.

Tambahan

Agama Islam tidaklah menyukai perbezaan yang menyolok mata antara orang yang berpunya atau kaya dengan yang tak punya atau miskin. Islam juga tidak memungkiri adanya kelebihan akal setengah orang, dan kekurangan pada yang lain, sehingga berbeza setengah orang, dan kekurangan pada yang lain, sehingga berbeza kesanggupan menurut perbezaan akalnya. Imbangan antara kesanggupan dan keadilan sosial telah dipraktikkan di zaman Khalifah-khalifah yang terdahulu, terutama di zaman Amiril Mukminin Umar bin Khattab. Tetapi kemudian, setelah jabatan Khalifah tidak dengan pilihan umum, melainkan dijadikan hak keturunan, ertukar sistem pemerintahan Islam dari demokrasi yang berdasarkan taqwa, kepada absolute monarchy yang tidak terbatas. Waktu itu timbullah Feodalisme, dan timbullah yang kaya, kaya sangat, yang miskin, betul-betul miskin, sehingga dirinya sendiri pun, tidak lagi dia yang menguasai. Maka pada waktu itulah rakyat melarat diubatinya dengan fatwa, bahawa kehidupan dunia ini biarlah begini saja. Kezaliman raja adalah hukum Tuhan kerana kelalaian beragama. Agama ialah memutuskan hubungan dengan dunia kerana tak punya lagi memutuskan hubungan dengan dunia kerana tak punya lagi menebusnya. Sebab yang berharta, hanyalah orang-orang yang dekat dan punya hubungan keluarga dengan raja. Di waktu yang demikian keluarlah 'falsafah' yang indah-indah tentang membenci harta dan kekayaan, untuk pengubat hati orang yang melarat.

Masyarakat Isla yang sudah bobrok itu akhirnya jatuh. Negeri-negeri Islam yang telah lemah jiwanya itu, akhirnya dikuasai oleh bangsa Barat yang lebih maju. Sekarang timbullah kesedaran baru, dan timbullah faham dalam seluruh masyarakat bangsa-bangsa terhadap kehidupan yang telah rosak itu, yang menginginkan perubahan. Ada yang melalui revolusi dan ada juga yang menempuh jalan evolusi.

Perbaikan itu adalah mengenal seluruh kemanusiaan, tidak pilih agama atau bangsa. Tersebutlah perkataan 'keadilan sosial' dan 'sosial ekonomi'; keadilan pembahagian rezeki dan tanah. Kata-kata 'keadilan' lebih cepat dipakai daripada perkataan 'persamaan'. Dengan ini akan hilanglah perbezaan yang menyolok mata di antara yang kaya dengan yang miskin. Kalau masih ada yang kurang pendapatannya tidaklah akan dapat disesali lagi, kerana itulah soal kesanggupan, bukan soal sewenang-wenang yang berkuasa.

Meskipun perbaikan nasib manusia itu kelak tercapai, namun kontrol agama akan tetap ada pada setiap zaman. Bagi orang yang terlalu miskin ada kontrol dari agama, menyuruh sabar dan jangan putus asa. Terhadap yang terlalu kaya ada kontrol dari agama, supaya bersyukur kepada Tuhan dan memberikan pertolongan yang wajib kepada yang miskin. Kalau perbezaan menyolok mata itu tak ada lagi, masih ada kontrol dari agama, iaitu supaya semuanya bekerjasama menegakkan kasih sayang, amal dan ibadat, jasa yang tak putus, bagi masyarakatnya dan bagi keturunan yang akan ditinggalkannya.

TASAWWUF MODEN BAB 6 FASAL 46 : PENGERTIAN QANAAH (BAB 6 QANAAH)

PROF DR. HAMKA (TOKOH AGAMA AGUNG INDONESIA)

Qanaah ialah menerima dengan cukup.

Qanaah itu mengandung lima perkara:

  1. Menerima dengan rela akan apa yang ada.
  2. Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha.
  3. Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan.
  4. Bertawakal kepada Tuhan.
  5. Tidak tertarik oleh tipu daya dunia.


Itulah yang dinamai Qanaah, dan itulah kekayaan yang sebenarnya.

Rasulullah saw bersabda:

"Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta,, kekayaan ialah kekayaan jiwa".

Ertinya: Diri yang kenyang dengan apa yang ada, tidak terlalu haloba dan cemburu, bukan orang yang meminta lebih terus terusan. Kerana kalau masih meminta tambah, tandanya masih miskin.

Rasulullah saw bersabda juga:

Ertinya:

"Qanaah itu adalah harta yang tak akan hilang dan pura (simpanan) yang tidak akan lenyap". (HR. Thabarai dari Jabir).

Orang yang mempunyai sifat qanaah telah memagar hartanya sekadar apa yang dalam tangannya dan tidak menjalar fikirannya kepada yang lain.

Barangsiapa yang telah beroleh rezeki, dan telah dapat yang akan dimakan sesuap pagi sesuap petang, hendaklah tenangkan hati, jangan merasa ragu dan sepi. Tuan tidak dilarang bekerja mencari penghasilan, tidak disuruh berpangku tangan dan malas lantaran harta telah ada, kerana yang demikian bukan qanaah, yang demikian adalah kemalasan. Bekerjalah, kerana manusia dikirim ke dunia buat bekerja, tetapi tenangkan hati, yakinlah bahawa di dalam pekerjaan itu ada kalah dan menang. Jadi tuan bekerja lantaran memandang harta yang telah ada belum mencukupi, tetapi bekerja lantaran orang hidup tak boleh menganggur.

Hal ini kerap menerbitkan salah sangka dalam kalangan mereka yang tidak faha rahsia agama. Mereka lemparkan kepada agama suatu tuduhan, bahawa agama memundurkan hati bergerak. Agama membawa manusia malas, sebab dia sentiasa mengajak umatnya membenci dunia, terima saja apa yang ada, terima saja takdir, jangan berikhtiar melepaskan diri. Sebab itu, bangsa yang tidak beragama beroleh kekayaan, bangsa yang zuhud terlempar kepada kemiskinan katanya!

Tuduhan demikian terbit lantaran salah perasangka pemeluk agama sendiri. Mereka sangka bahawa yang bernama qanaah ialah menerima saja apa yang ada, sehingga mereka tidak berikhtiar lagi. Mereka namai taqwa orang yang hanya karam dalam mihrab. Mereka katakan soleh orang yang menjunjung serban besar, tetapi tidak memperdulikan gerak geri dunia. Mengatur hidup, mengatur kepandaian, ilmu dunia, semuanya mereka sangka tidak boleh dilarang agama! Sebab kesalahan persangkaan pemeluk agama itu, salah pulalah persangkaan orang yang tidak terdidik dengan agama, bukan kepada pemeluk agama yang salah pasang itu, tetapi salah sangka kepada agama sendiri.

Intisari pelajaran agama ialah menyuruh qanaah itu, qanaah hati, bukan qanaah ikhtiar. Sebab itu terdapatlah dalam masa sahabat-sahabat Rasulullah saw, orang kaya-kaya, berwang, berharta berbilion, beruma sewa, berunta banyak, memperniagakan harta benda keluar negara, dan mereka qanaah juga. Faedah qanaah amat besar di waktu harta itu terbang dengan tiba-tiba.

Sri baginda ratu Belanda Wilhelmina seorang ratu yang masyhur mempunyai pendirian qanaah ini. Puteri Yuliana, disuruh mempelajari segala macam kepandaian yang perlu untuk menjaga hidup sehari-hari, disuruh belajar menjahit, memasak, menyulam dan lain-lain. Ketika ditanyai orang kepada baginda apa maksud yang demiian, baginda menjawab kira-kira demikian.

"Tipu daya dunia tak dapat dipercayai, ini hari kita dipujuknya, besok mana tahu kita diperdayakannya, sebab itu kita tak boleh harap dengan yang ada, dan tak boleh cemas menempuh apa yang akan terjadi".

"Tipu daya dunia tak dapat dipercayai, ini hari kita dipujuknya, besok mana tahu kita diperdayakannya, sebab itu kita tak boleh harap dengan yang ada, dan tak boleh cemas menempu apa yang akan terjadi".

Inilah pendirian yang sepantasnya bagi seorang raja, terutama di zaman demokrasi, kerani nasib tidak dapat ditentukan, berapa banyak raja yang lebih besar dari Ratu Wilhelmina, dan Yuliana terpaksa meninggalkan singgahsananya. Pelajari hidup bersakit, kerana nikmat tidaklah kekal.

Maksud qanaah itu amatlah luasnya. Menyuruh percaya yang betul-betul akan adanya kekuasaan yang melebihi kekuasaan manusia, menyuruh sabar menerima ketentuan Ilahi jika ketentuan itu tidak menyenangkan diri, dan bersyukur jika dipinjamiNya nikmat, sebab entah terbang pula nikmat itu kelak. Dalam hal yang demikian disuruh bekerja, kewajipan belum berakhir. Kita bekerja bukan lantaran meminta tambahan yang telah ada dan tak merasa cukup pada apa yang dalam tangan, tetapi kita bekerja, sebab orang hidup mesti bekerja.

Itulah maksud qanaah.

Nyatalah salah persangkaan orang yang mengatakan qanaah ini melemahkan hati, memalaskan fikiran, mengajak berpangku tangan. Tetapi qanaah adalah modal yang paling teguh untuk menghadapi penghidupan, menimbulkan kesungguhan hidup yang betul-betul (enerti) mencari rezeki. Jangan takut dan gentar, jangan ragu-ragu dan syak, mantapkan fikiran, teguhkan hati, bertawakal kepada Tuhan, mengharapkan pertolonganNya, serta tidak merasa kesal jika ada keinginan yang tidak berhasil, atau yang dicari tidak dapat.

Kenapa kita ragu-ragu, padahal semuanya sudah tertulis lebih dahulu pada azal, menurut jalan sebab dan musabab.

Ada orang yang putus asa dan membuat bermacam-macam 'boleh jadi' terhadap Tuhan. Dan berkata:

"Boleh jadi saya telah ditentukan bernasib buruk, apa guna saya berikhtiar lagi. Boleh jadi saya telah ditentukan masuk neraka, apa guna saya bersembahyang".

Ini namanya syu'uahan, jahat sangka dengan Tuhan, bukan husnus zhan, baik sangka. Lebih baik merdekakan fikiran diri dari syu'uzhan itu. Faham demikian tidak berasal dari pelajaran agama, tetapi dari pelajaran falsafah yang timbul setalah ulama-ulama Islam bertengkar-tengkar tentang takdir, tentang azali, tentang qadha dan qadar.

Tak mungkin Allah akan begitu kejam, menentukan saja seorang mesti masuk neraka, padahal dia mengikut perintah Allah?

Kembali kepada qanaah tadi, maka yang sebaik-baiknya ubat buat menghindarkan segala keraguan dalam hidup, ialah berikhtiar an percaya kepada takdir. Hingga apa pun bahaya yang datang kita tidak syak dan ragu Kita tidak lupa ketika untung, dan tidak cemas ketika rugi. Siapa yang tidak berperasaan qanaah, ertiya dia tak percaya takdir, tak sabar, tak tawakal. Mesti tak dapat dia tak percaya takdir, tak sabar, tak tawakal. Mesti tak dapat tidak, fikirannya kacau, lekas marah,penyusah, dan bilamana tidak, fikirannya kacau, lekas marah, penyusah,dan bilamana beruntung lekas pembangga. Dia lari dari yang ditakutiya, tetapi yang ditakuti itu berdiri di muka pintu, sebagaimana orang yang takut mengingat-ingat, barang yang diingat-ingat, kian dicubanya melupakan teringat itu, kian teguh dia berdiri di ruang matanya.

Ini semuanya tidak terjadi pada orang beriman yang redha menerima apa yang tertentu dalam azal. Meskipun susah atau senang, miskin atau kaya, semua hanya pada pandangan orang luar. Sebab dia sendiri adalah nikmat, dan kekayaan dalam perbendaharaan yang tiada ternilai harganya, 'pada lahirnya azab, pada batinnya rahmat'. Jika ditimpa susah, dia senang sebab dapat mengingat kelemahan dirinya dan kekuatan Tuhannya, jika dihujani rahmat, dia senang pula, sebab dapat bersyukur.

Qanaah, adalah tiang kekayaan yang sejati. Gelisah adalah kemiskinan yang sebenarnya. Tidak dapatlah disamakan lurah dengan bukit, tenang dengan gelisah, kesusahan dan kesukaan, kemenangan dan kekalahan, putus asa dan cita-cita. Tak dapat disamakan orang yang sukses dengan orang yang muflis.

Keadaan-keadaan yang terpuji itu terletak pada qanaah, dan semua yang tercela ini terletak pada gelisah.