Takhalli,
Tahalli dan Tajalli dalam pembesihan jiwa
Tasawuf
adalah salah satu diantara khazanah tradisi dan warisan keilmuan islam yang
sangat berharga. Tasawuuf merupakan konsepsi pengetahuan yang menekankan
spiritualitas sebagai metode tercapainya kebahagiaan dan kesempurnaan dalam
hidup manusia. Esensi tasawuf
sebenarnya telah ada sejak masa Rosulullah saw.
Pada awalnya tasawuf merupakan suatu penafsiran lebih lanjut atas tindakan dan
perkataan Rosulullah saw yang sarat dengan dimensi sepiritualitas dan
ketuhanan. Tasawuf tidak bisa di ketahui melalui metode-metode logis atau
rasional. Pada zaman modern ini, tasawuf
semakin menarik minat umat islam untuk mengamalkan ajaran tasawuf. Terutama
ketika kemajuan zaman telah berdampak terhadap kekeringan jiwa manusia.
Adapun beberapa cara untuk merealisaikan dalam bertasawuf diantaranya :
Takhalli (pengkosongan diri
terhadap sifat-safat tercela), Tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat
terpuji) dan Tajalli (tersingkapnya tabir). Lebih jelasnya simak dalam pembasan
dibawah ini .
A. TAKHALLI
MEMBERSIHKAN
DIRI DARI SIFAT TERCELA
Takhalli
atau penarikan diri. Sang hamba yang menginginkan dirinya dekat dengan Allah haruslah
menarik diri dari segala sesuatu yang mengalihkan perhatiannya dari Allah.
Takhalli merupakan segi filosofis terberat, karena terdiri dari mawas diri,
pengekangan segala hawa nafsu dan mengkosongkan hati dari segala-galanya,
kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Allah SWT.
Takhalli berarti mengkosongkan atau memersihkan diri dari sifat-sifat
tercela dan dari kotoran penyakit hati yang merusak. Hal ini akan dapat dicapai
dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dengan segala bentuk dan berusaha
melepaskan dorongan hawa nafsu jahat. Menurut kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua : maksiat
lahir dan batin. Maksiat batin yang terdapat pada manusia tentulah lebih
berbahaya lagi, karena ia tidak kelihatan tidak seperti maksiat lahir, dan kadang-kadang
begitu tidak di sadari. Maksiat ini lebih sukar dihilangkan.
Perlu diketahui bahwa maksiat batin itu pula yang menjadi penggerak maksiat
lahir. Selama maksiat batin itu belum bisa dihilangkan pula maksiat lahir tidak
bisa di bersihkan. Maksiat lahir Adalah segala maksiat tercela yang di kerjakan
oleh anggota lahir. Sedangkan maksiat batin adalah segala sifat tercela yang
dilakukan oleh anggota batin dalam hal ini adalah hati, sehingga tidak mudah
menerima pancaran nur
Illahi, dan tersingkaplah tabir (hijab) , yang membatasi dirinya dengan tuhan,
dengan jalan sebagai berikut :
a. Menghayati segala bentuk ibadah, sehingga pelaksananya tidak sekedar apa
yang terlihat secara lahiriyyah, namun lebih dari itu, memahami makna
hakikinya.
b. Riyadhoh (latiahan) dan mujahadah (perjuangan) yakni berjuang dan berlatih
membersihkan diri dari kekangan hawa nafsu, dan mengendalikan serta tidak
menuruti keinginan hawa nafsuny tersebut. Menurut Al-Ghozali, riyadoh dan
mujahadah itu adalah latihan dan kesungguhan dalam menyingkirkan keinginan hawa
nafsu (shahwat) yang negatif dengan
mengganti sifat yang positive.
c. Mencari waktu yang tepat untuk mengubah sifat buruk dan mempunyai daya
tangkal terhadap kebiasaan buruk dan menggantikanya dengan kebiasaannya yang
baik.
d. Mukhasabah (koreksi) terhadap diri sendiri dan selanjutnya meninggalkn
sifat-sifat yang jelek itu. Memohon pertolongan Allah dari godaan syaitan.
Jika dihubungkan pemikiran dan metode KH.Ahmad Rifa'i dengan konsep tasawuf
masuk dalam kategori metode tahalli yaitu mengisi diri dari
sifat-sifat yang terpuji. (mahmudah). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh
Mustafa Zahri bahwa metode dan fase-fase yang harus dilalui untuk mencapai pengisian
diri menuju jiwa yang sehat yaitu melalui takhalli ( membersihkan diri dari
sifat-sifat tercela), tahalli (mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji),
dan tajalli
(memperoleh kenyataan Tuhan) Penegasan Mustafa Zahri didukung pula oleh Amin
Syukur yang menyatakan dalam tasawuf lewat amalan dan latihan kerohanian yang
beratlah, maka hawa nafsu manusia akan dapat dikuasai sepenuhnya. Adapun sistem
pembinaan dan latihan tersebut adalah melalui jenjang takhalli, tahalli dan
tajalli.
Sejalan dengan itu Hanna Djumhanna Bastaman mengemukakan empat pola wawasan
kesehatan mental dengan masing-masing orientasinya sebagai berikut: pertama,
pola wawasan yang berorientasi simtomatis, kedua, pola wawasan yang
berorientasi penyesuaian diri, ketiga, pola wawasan yang berorientasi
pengembangan potensi, keempat, pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian
, Pemikiran Ahmad Rifa’i di atas masuk dalam kategori takhalli. Dengan demikian
tampaklah bahwa zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal hatinya, mujahadah, ridho,
syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa atau mental yang sehat. Sedangkan
cinta dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu, ujub, riya, takabbur, hasad, sum’ah,
masuk dalam kriteria jiwa atau mental yang sakit.
Maka dari itu kita harus selalu berusaha menjauhkan atau
mengkosongkan diri dari sifat-sifat kemkasiatan , sifat itu diantaranya :
1. Hubb al Dunya (Mencintai Dunia)
Hubb al-dunya adalah cinta pada dunia, sedangkan secara istilah adalah cinta
pada dunia yang dianggap mulia dan tidak melihat pada akhirat yang nantinya
akan sia-sia, Perilaku ini dianggap Ahmad Rifa’i sebagai suatu perbuatan yang
tercela karena memandang dunia lebih mulia dibanding akhirat. Ia menekankan
celaan terhadap dunia yang dapat membawa orang lupa akan akhirat. Dengan
batasan ini maka ia masih memberikan peluang untuk menyisihkan pada dunia
selama tidak menjadikan orang lupa akan akhirat.
2. Tamak
Pengertian tamak menurut Ahmad Rifa’i adalah hati yang rakus terhadap dunia
sehingga tidak memperhitungkan halal dan haram yang mengakibatkan adanya dosa
besar. Meskipun sifat ini dikemukakan dalam rangka takhalli, namun sebenarnya
mengandung ajakan untuk menciptakan isolasi dengan kebudayaan kota sebagaimana
ditampilkan oleh kekuasaan dan pejabat pribumi yang mengabdi untuk kepentingan
pemerintah. Dalam kitabnya yang sarat dengan kritik yang ditujukan kepada
masyarakat pribumi yang selalu mengabdikan pada pemerintah kolonial pada saat
itu. Yang disebut itba al- hawa’ menurut Ahmad Rifa’i adalah menuruti hawa
nafsu, sedangkan secara istilah adalah orang yang hatinya selalu mengikuti
perbuatan buruk yang telah diharamkan oleh syariat. Pengertian tersebut
dikemukakan dalam konteks mencela orang kafir di satu pihak dan orang munafik
di satu pihak.
3. Ujub
Ujub artinya mengherankan dalam batin.Adapun makna istilah penjelasannya Yaitu
memastikan kesentosaan badan Dari siksa akhirat keselamatannya. Secara bahasa
‘ujub adalah mengherankan dalam hati/batin. Sedangkan makna secara istilah
adalah memastikan kesentosaan badan dari keselamatan siksa akhirat. Menurutnya
‘ujub yang sebenarnya adalah membanggakan diri atas hasil yang telah dicapai di
dalam hatinya dan dengan angan-angan merasa telah sempurna baik dari segi ilmu maupun
amalnya dan ketika ada seseorang tahu tentang ilmu dan amalnya maka ia tidak
akan mengembalikan semua itu pada yang kuasa yakni telah memberikan nikmat
tersebut, maka ia telah benar dikatakan’ujub.
5. Riya’
Yang dimaksud riya’ menurut Ahmad Rifa’i adalah memperlihatkan atas kebaikannya
kepada manusia biasa. Sedangkan menurut istilah adalah melakukan ibadah dengan
sengaja dalam hatinya yang bertujuan karena manusia (dunia) dan tidak beribadah
semata-mata tertuju karena Allah. Dengan pengertian seperti ini beliau
membatasi riya’ sebagai penyimpangan niat ibadah selain Allah.
6. Takabur
Pengertian takabur menurut Ahmad Rifa’i adalah sombong merasa tinggi. Sedangkan
menurut istilah adalah menetapkan kebaikan atas dirinya dalam sifat-sifat baik
atau keluhuran yang disebabkan karena banyaknya harta dan kepandaian. Inti
perbuatan takabur dalam pengertian tersebut adalah merasa sombong karena harta
dan kapandaian yang dimiliki seseorang.
7. Hasud
Jika penyakit hasud telah menyebar luas, dan setiap orang yang hasud mulai
memperdaya setiap orang yang memiliki nikmat maka pada saat itu tipu daya telah
menyebar luas pula dan tidak seorangpun yang selamat dari keburukannya karena
setiap orang pembuat tipu daya dan diperdaya. Ahmad Rifa’i mengartikan hasud
adalah berharap akan nikmatnya tuhan yang ada pada orang Islam baik itu ilmu,
ibadah maupun harta benda.
8. Sum’ah
Secara bahasa sum’ah adalah memperdengarkan kepada oranglain. Sedangkan secara
istilah adalah melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas karena Allah akan
tetapi kemudian menuturkan kebaikannya kepada orang lain agar orang lain
berbuat baik kepada dirinya. Dalam pembahasan ini beliau menekankan pada jalan
yang harus ditempuh bagi seseorang muslim agar selalu mengerjakan sifatsifat terpuji
dan menjauhi sifat-sifat tercela yang dapat membawanya pada kerusakan pada
amaliah lahir maupun batin. Beliau mengajak kepada kita unuk berperilaku dengan
benar, baik secara lahir maupun batin.
CARA
MEMBERSIHKAN JIWA ATAU HATI UNTUK TERSINGKAPNYA TADBIR HIJAB DENGAN ALLAH
Cara membersihkan jiwa / hati Tersingkapnya tabir / hijab
yang membatasi diri dengan Tuhan ialah suci bersihnya diri / jiwa dari kotoran
- kotoran maksiat lahir dan maksiat bathin. Menurut Ahli Tarekat ada 4 dinding
/ hijab yang membatasi diri dengan Tuhan dan ada 4 juga jalan yang dapat
membuka dinding / hijab itu.
i) Tingkat Pertama : Suci dari Najis dan Hadas - Bersih
dari najis maka wajib bersuci dengan air atau berinstinja dengan tanah. - Suci
dari hadas besar (keluar mani) maka wajib mandi. - Suci diri dari hadas kecil
maka wajib berwudhu. * Seorang yang hendak menghubungkan diri dengan Tuhan maka
wajib bersih badannya, bersih pakaiannya, bersih tempatnya, bersih lahir dan
bathinnya.
ii) Tingkat Kedua : Suci Dari Dosa Lahir Ada 7 anggota
badan yang membuat dosa lahir yang disebut maksiat, iaitu :
Mulut - dusta /
ghibah
Mata - melihat
yang haram
Telinga -
mendengar cerita kosong
Hidung -
menimbulkan rasa benci
Tangan -
merosak
Kaki - berjalan
membuat maksiat
Kemaluan -
bersyahwat / berzina (termasuk makan yang haram).
iii) Tingkat Ketiga : Suci dari Dosa Bathin Ada 7 alat
pembuat dosa bathin yang dinamakan 7 Lataif (Petikan : Pengantar Ilmu Tarekat
oleh Abubakar Aceh)
Latifatul Qalby
- berhubungan jantung jasmani. Letaknya dua jari di bawah susu kiri. Di sinilah
letaknya sifat - sifat kemusyrikan, kekafiran dan ketahyulan dan sifat - sifat
iblis. Untuk mensucikannya zikir dengan membaca 5000 kali - AlLah, AlLah. Pada
tingkat ini hati diisi dengan Iman, Islam, Ihsan, Tauhid dan Makrifat.
Latifatu Roh -
berhubungan Rabu jasmani. Letaknya dua jari di bawah susu kanan. Di sinilah
letaknya sifat Bahimiyah (binatang jinak) iaitu sifat menurut nafsu. Untuk
mensucikannya zikir dengan dipalu sekeras - kerasnya 1000 kali - AlLah, AlLah.
Latifatus-Sirri. Letaknya dua jari di atas susu kiri. Di sinilah
letaknya sifat 'Syabiyah' (binatang buas) iaitu sifat zalim / aniaya, pemarah
dan pendendam. Untuk mensucikannya zikir dengan membaca 1000 kali - AlLah,
AlLah. Pada tingkat ini hati diisi dengan sifat kasih sayang dan ramah - tamah.
Latifatul Khafi
- dikenderai Limpah jasmani. Letaknya dua jari di atas susu kanan. Di sinilah
letaknya sifat 'Syaitanuyah' iaitu hasad / dengki, munafik dan khianat. Untuk
mensucikannya berzikir 1000 kali membaca AlLah, AlLah dengan dipalukan sekeras
- kerasnya. Pada tingkat ini hati diisi sifat Syukur dan Sabar.
Latifatul Akhfa
- berhubungan empedu jasmani. Letaknya di tengah - tengah dada. Di sinilah
letaknya sifat ria, takbur / sombong, ujub / membanggakan diri dan Sum'a / cari
nama atau kemasyuran. Untuk mensucikannya zikir 1000 kali membaca AlLah, AlLah.
Pada tingkat ini hati diisi sifat Ikhlas, Khusyu', Tadarru Tafakkur.
Latifatun-nafsun-Natiqa. Letaknya di antara dua kening. Di sinilah
letaknya 'nafsu ammarah' penghalang besar untuk menciptakan perbaikan
masyarakat. Untuk mensucikannya zikir 1000 kali membaca AlLah, AlLah. Pada
tingkat ini hati diisi dengan sifat Tenteram dan Pikiran Tenang.
Latifah kullu
Jasad - kenderai seluruh tubuh jasmani. Dalam Latifah inilah terletak sifat
jahil dan ghaflah (kejahilan dan alpa). Untuk mensucikannya hendaklah
dizikirkan 1000 kali - AlLah, AlLah sehingga mengalir zikir disekujur badan
jasmani sehingga tiada tempat untuk sifat kebendaan / kejahilan dan kelalaian /
Ghaflah. Pada tingkat ini hati diisi pula sifat Ilmu dan Amal.
iv) Tingkat Keempat : Suci Hati Rabbaniyah Yang
dimaksudkan Latifatul Qalby di sini bukan jantung jasmani tetapi
"Latifatur Rabbaniyah" adalah Roh yang suci yang paling halus dan
memerintah serta mengatur badan dan anggota badan jasmani. Dialah hakekat diri
yang sebenar diri. Induk kepada latifah - latifah lain. Sabda RasululLah s.a.w.
"Di dalam
tubuh anak Adam ada segumpal daging apabila ia baik, maka baiklah seluruh jasad
dan apabila ia rosak maka rosaklah seluruh jasad. Ketahuilah, dia itu ialah
'hati'.
B. TAHALLI
Tahalli berarti berhias. Maksutnya adalah membiasakan diri dengan sifat dan
sikap serta pebuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak prilaku selalu
berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban luar maupun kewajiban dalam
atau ketaan lahir maupun batin. Ketaatan lahir maksutnya adalah kewajiban yang
bersifat formal, seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya.
Sedangkan ketaatan batin seperti iman, ikhsan, dan lain sebagainya. Tahalli
adalah semedi atau meditasi yaitu secara sistematik dan metodik, meleburkan
kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan kepada Tuhan,
dimotivasi bahana kerinduan yang sangat dilakukan seorang sufi setelah
melewati proses pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi .
Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap
takhalli. Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat
dan sikap mental yang baik dapat dilalui, usah itu harus berlanjut terus
ketahap berikutnya, yaitu tahalli. Pada perakteknya pengisian jiwa dengan
sifat-sifat yang baik setelah dikosongklan dari sifat-sifat buruk, tidaklah
berarti bahwa jiwa harus dikosongkan terlbeih dahulu baru kemudian di isi .
Akan tetapi, ketika menghilangkan kebiasaan yang buruk, bersamaan dengan itu
pula diisi dengan kebiasaan yang baik.
Pada dasarnya jiwa manusia bias di latih, dikuwasai, diubah, dan dibentuk seuai
dengan kehendak manusia itu sendiri. Dari satu latihan akan menjadi kebiasaan
dan kebiasaan akan mengahasilkan kepribadian. Sikap mental dan perbuatan lahir
yang sangat pentiang diisikan dalam jiwa dan dibiasakan dalam perbuatan dalam
rangka pembentukan manusia paripurna antara lain adalah taubat, sabar, zuhud,
twakal, cinta, makrifat,
keridhoan, dan sebagainya.
Tahalli adalah berbias dengan sifat-siaft Allah. Akan tetapi, perhiasan paling
sempurna dan paling murni bagi hamba adalah berhias dengan sifat-sifat
pengambaan. Penghambaan adalah pengabdian penuh dan sempurna dan sama sekali
tidak menampakan tanda-tanda keTuhanan (Rabbaniyyah). Hamba yang berhias
(tahalli) dengan penghambaan itu menempati kekekalan dalam dirinya sendiri dan
menjadi tiada dalam pengatahuan Allah.
Tahalli juga dapat diartiakan sebegai semedi atau mediatasi secara sistematik
dan metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan
kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat akan keindahan wajah
Tuhan. Tahalli merupakan segi fraksional yang dilakukan seorang sufi setelah
melewati proses pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi.
CARA-CARA
MENGHIASI DIRI
Maka dari itu ada beberapa cara untuk menghiasi diri kita
untuk memdekatkan diri pada Allah diantaranya : zuhud, qona’ah, shabar,
tawakkal hatinya, mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa
atau mental yang sehat.
1. Zuhud
Secara harfiah zuhud adalah bertapa di dalam dunia. Sedangkanmenurut istilah
yaitu bersiap-siap di dalam hatinya untuk mengerjakan ibadah, melakukan
kewajiban semampunya dan menyingkir dari dunia yang haram serta menuju kepada
Allah baik lahir maupun batin Dalam menjelaskan kata ini Ahmad Rifa’i lebih
menekankan pada aspek pengendalian hati daripada aspek perilaku yang harus
ditampilkan Jika perkembangan zuhud pada fase yang paling awal ditandai dengan
tindakan konkrit menjauhi kehidupan dunia sebagaimana yang diperlihatkan oleh
Rabi’ah al-Adawiyah dan lainnya, maka dalam pemikiran Ahmad Rifa’i titik
beratnya adalah pada pengendalian hati supaya tidak tergantung pada harta. Oleh
karenanya Ahmad Rifa’i menekankan bahwa zuhud bukan berarti tidak ada harta
tetapi tidak ada ketertarikan dengan harta.
2. Qona’ah
Secara harfiah qona’ah adalah hati yang tenang. Sedangkan menurut istilah
adalah hati yang tenang memilih rihda Allah, mencari harta dunia sesuai dengan
kebutuhan untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhkan maksiat. Pengertian ini
merupakan kelanjutan sikap zuhud yang tidak mau mengejar kehidupan dunia selain
kebutuhan pokok Dalam menjalankan zuhud ia memberikan penekanan qona’ah itu
sebagai suatu kondisi jiwa yang bernuansa pada aktivitas batin. Hal ini dapat
dilihat lebih lanjut ketika ia mengemukakan pernyataan yang mendudukkan arti
kaya pada proporsi yang lebih bersifat batini dengan ungkapannya. Dari syair
KH.Ahmad Rifa'i sebagaima telah dikemukakan dalam bab tiga skripsi ini
tersimpul pengertian bahwa kekayaan bukan hanya berisi harta tetapi rasa puas
terhadap apa yang dimiliki. Atas dasar pengertian ini maka orang bisa merasa
kaya meskipun secara lahiriah ia miskin
3. Sabar
Sabar secara harfiah bermakna menanggung penderitaan. Sedangkan menurut istilah
menanggung penderitaan yang mencakup tiga half yaitu:
a. Menanggung penderitaan karena menjalankan ibadah yang sesungguhnya
b. Menanggung penderitaan karena taubat dan berusaha menjauhkan diri dari
perbuatan maksiat baik lahir maupun batin Dengan pembatasan ruang lingkup
pengertian sabar yang demikian ini, ia terlihat berusaha memberikan makna yang
mempunyai cakupan menurut pengalaman subyektif dari para sufi. Di satu pihak
sabar dikaitkan dengan pelaksanaan hukum Allah sebagaimana pendapat al-Khawwas
yang menyatakan bahwa sabar adalah sikap teguh terhadap hukum-hukum dari
Al-Quran dan As-Sunah. Pengertian ini sejalan dengan apa yang diberikan oleh
al-Qusyairi yang menyatakan bahwa di antara bermacam-macam sabar adalah
kesabaran terhadap perintah dan larangan-Nya. Di pihak lain sabar dikaitkan dengan
musibah seperti pendapat Abu Muhammad al-Jarir yang menyatakan
bahwa sabar adalah suatu kondisi yang tidak berbeda antara mendapat nikmat dan
mendapat cobaan. Kelanjutan dari pengertian sabar menurut Ahmad Rifa’i adalah
menempatkan kesabaran secara proposional khususnnya pengertian ketiga. Di sini
ia menekankan bahwa kesalahan terhadap penyimpangan agama (yang mengandung
unsure keharaman) tidak diperlukan lagi.
4. Tawakal
Tawakal adalah pasrah kepada Allah terhadap seluruh pekerjaan, sedangkan secara
istilah adalah pasrah kepada seluruh yang diwajibkan Allah dan menjauhi dari
segala yang haram 15
5. Mujahadah
Arti harfiah dari mujahadah ialah bersungguh-sungguh dalam melaksanakan
perbuatan sedangkan secara istilah adalah bersungguhsungguh sekuat tenaga dalam
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, memerangi ajakan hawa nafsu dan
berlindung kepada Allah dari orang-orang kafir yang dilaknati 16 Dalam
penjelasan selanjutnya, Ahmad Rifa’i lebih menekankan pada aspek kesungguhan
dalam memerangi hawa nafsu dengan tujuan memperoleh jalan benar serta
keberuntungan.
6. Ridha
Ridha berarti dengan senang hati, sedangkan menurut istilah adalah sikap
menerima atas pemberian Allah dibarengi dengan sikap menerima ketentuan hukum
syari’at secara ikhlas dan penuh ketaatan serta menjauhi dari segala macam
kemaksiatan baik lahir maupun batin. Dalam dunia tasawuf, kata ridhamemiliki
arti tersendiri yang terkait dengan sikap kepasrahan sikap seseorang dihadapan
kekasihnya. Sikap ini merupakan wujud dari rasa cinta pada Allah yang diwjudkan
dalam bentuk sikap menerima apa saja yang dikehendaki olehnya tanpa
memberontak. Implikasi dari pemahaman terhadap konsep ridha ini adalah sikapnya
yang menerima kenyataan sebagai kelompok kecil di tengah-tengah akumulasi
kekuasaan pada waktu itu. Implikasi lain terlihat pada pelaksanaan syari’at
Islam yang dilakukan dengan penuh ketaatan dan penuh berhati-hati seperti
masalah perkawinan, shalat jum’at dan lain-lain.
7. Syukur
Ahmad Rifa’i memjelaskan kata syukur yakni mengetahui akan segala nikmat Allah
berupa nikmat keimanan dan ketaatan dengan jalan memuji Allah yang telah
memberikan sandang dan pangan. Rasa terima kasih ini kemudian ditindaklanjuti
dengan berbakti kepada-Nya. Sejalan dengan pengertian di atas, bersyukur dapat
dilakukan dengan tiga cara: pertama, mengetahui nikmat Allah berupa sahnya iman
dan ibadah. Kedua, memuji lisannya dengan ucapan Alhamdulillah. Ketiga,
melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan Allah. Cara bersyukur semacam ini
sejalan dengan penjelasan al-Qusyairi mengatakan bahwa bersyukur dapat
dilakukan melalui lisan anggota badan dan hati. Makna lain dari pengertian
syukur menurut Ahmad Rifa’i adalah adanya prioritas pada dua unsur pokok yaitu
keimanan dan ketaatan serta tercukupinya sandang dan pangan. Pandangan ini
memiliki relevansinya dengan sifat terpuji lainnya seperti Qona’ah yang berupa
ketenangan hati memilih ridha Allah dengan cara mencari harta dunia sesuai
dengan kebutuhan. Kebutuhan tersebut sebatas terpenuhinya hal-hal yang dapat
membantu ketaatan melaksanakan kewajiban dan menjauhkan diri dari kemaksiatan.
Sekalipun menganjurkan sikap sederhana, tetapi tidak menganjurkan sikap fakir
sebagaimana yang ada dalam tradisi sufi tradisional, Ahmad Rifa’i tidak menganjurkan
untuk menganjurkan untuk menolak akan tetapi menolak ketergantungan kepada
harta.
8. Ikhlas
Apa yang disebut ikhlas menurut Ahmad Rifa’i adalah membersihkan, sedangkan
secara istilah ikhlas adalah membersihkan hati untuk Allah semata sehingga
dalam beribadah tidak ada maksud lain kecuali kepada Allah. Segenap amal tidak
akan diterima jika didasarkan oleh rasa ikhlas ini. Untuk mewujdkan keikhlasan
dalam beribadah dituntut adanya dua rukun ikhlas; pertama, hati yang hanya
bertujuan taat kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Kedua, amal ibadahnya
disahkan oleh peraturan fikih. Dalam memberikan penjelasan mengenai kata ikhlas
ini Ahmad Rifa’i hendak membawa persoalan kepada situasi amaliah keagamaan
kalangan yang memiliki pamrih kepada selain Allah dalam setiap amal
perbuatannya. Ia mengaitkan orang yang tidak ikhlas dalam beribadah dengan
perbuatan syirik (menyekutukan Allah). Penjelasan ini memiliki kemiripan dengan
17 tradisi tasawuf abad III Hijriah ketika para tokohnya semisal Hasan Basri
yang menolak gaya hidup para penguasa yang dinilai dalam jalan yang salah.
Pandangan di atas ini semakin memperjelas posisi Ahmad Rifa’I sebagai tokoh
agama yang cukup keras terhadap penyimpangan yang memiliki keterkaitan dengan
kekuasaan kolonial dan pembantu-pembantunya. Ia menyatakan bahwa orang-orang
yang dalam ibadahnya memiliki pamrih terhadap urusan dunia maka tidak akan
selamat bahkan dimasukkan dalam kategori kafir.
EMPAT TINGKAT MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH
Mendekatkan Diri kepada AlLah.
Untuk mendekatkan diri kepada AlLah perlu melalui apa yang lazim dikerjakan
oleh Kaum Sufi iaitu Kesempurnaan Agama Islam yang dapat dicapai dalam 4
tingkat.
i) Tingkat Pertama : Syariat
Ertinya mengerjakan amal badaniyah daripada segala hukum - hukum: shalat,
puasa, zakat dan haji. Syariat adalah peraturan - peraturan yang bersumber dari
Al-Quran dan As-Sunnah. Tujuan utama syariat ialah membangun kehidupan manusia
atas dasar amar ma'ruf dan nahi mungkar. Syariat membahagi ma'ruf kepada 3
kategori:
1. Fardhu atau wajib
2. Sunnat atau mustahab
3. Mubah atau harus
Selanjutnya syariat membahagi
munkarat atas 2 bahagi iaitu :
1. Haram
2. Makruh
Peraturan - peraturan yang
diatur oleh syariat itu adalah atas dasar Quran dan Sunnah yang merupakan
sumber hukum dalam Islam untuk keselamatan manusia. Menurut Ahli Sufi, bahawa
syariat itu baru merupakan tingkat pertama menuju jalan kepada Tuhan.
Tarekatlah yang merupakan perbuatan untuk melaksanakan syariat itu. Apabila
'Syariat' dan 'Tarekat' dikuasai maka lahirlah 'Hakekat' yang tidak lain
daripada perbaikan keadaan dan ehwal, sedang tujuan terakhir adalah 'Makrifat'
iaitu mengenal Tuhan yang sebenar - benarnya, serta mencintainya sebaik -
baiknya. Syariat ialah pengenalan perintah dan Hakekat ialah pengenalan pemberi
perintah.
ii) Tingkat Kedua : Tarekat
Dasar - dasar pokok mengenai Tarekat antara lain:
1. Sebuah Hadis Qudsi
menyatakan : "Adalah Aku suatu perbendaharaan yang tersembunyi, maka
inginlah Aku supaya diketahui siapa Aku, maka kujadikanlah makhluk: Maka dengan
AlLah mereka mengenal Aku". Dasar "Wihdhatul Wujud" yang menjadi
faham Ahli Tarekat. Bahawa AlLah itu permulaan kejadian, yang awalnya tiada
permulaan. AlLah telah ada dan tiada yang lain besertaNya. Dan kerana supaya zatnya
dilihat pada sesuatu yang bukan zatnya, sebab itulah dijadikan segenap kejadian
(Al-Khaliq).
2. Firman AlLah dalam Al-Quran
(S.Al-Jin: 16)
"Dan bahawa jika mereka
tetap (istiqamah) menempuh jalan itu "TAREKAT" sesungguhnya akan Kami
beri rezeki / rahmat yang berlimpah - limpah".
"Tarekat" adalah
suatu sistem (tariqah) untuk menempuh jalan yang pada akhirnya mengenal dan
merasakan adanya Tuhan, dalam keadaan seseorang dapat melihat Tuhan dengan mata
hatinya (ainul basirah). Ini didasarkan atas pertanyaan Saidina Ali bin Abi
Thalib kepada RasululLah: "Manakah Tarekat yang sedekat - dekatnya
mencapai Tuhan? Yang dijawab RasululLah s.a.w. : "tidak lain daripada
zikir kepada AlLah". "Syariat" mewajibkan seseorang mengadap
Kiblat dalam Shalat, maka "Tarekat" tidak sampai di situ saja.
Tarekat berpegang kepada Firman AlLah: "Sembahlah Aku". Yang
bermaksud semua ibadah dilakukan kerana tujuan untuk ber-Taqwa (takut) kepada
AlLah. Tetapi bukan setakat pengertian "syariat" iaitu mengerjakan
apa yang diperintah dan menjauhkan apa yang dilarang. Tetapi menurut Ahli
Tarekat Taqwa adalah perpaduan dari 4 sifat:
1. (ta) - Taubat
2.(qaf) - Qinaah atau khusyu'
3. (wauw) - Wara
4. (alif) - Ikhlas beribadah mencari
keridhaan AlLah
iii) Tingkat Ketiga : Hakekat
Syariat merupakan peraturan, Tarekat merupakan pelaksanaan maka hakekat adalah
tujuan pokok yakni pengenalan Tuhan yang sebenar - benarnya. Menurut Tarekat,
hati wajib menghadap kepada AlLah berdasarkan ayat Quran: "Fa'buduny - sembahlah
Aku". Menurut kita menyembah Tuhan seolah - olah Tuhan terlihat,
berdasarkan Hadis: "Sembahlah Tuhanmu, seakan - akan engkau melihatnya,
jika engkau tidak melihatnya maka sesungguhnya Tuhan melihat kamu".
Menurut Makrifat, ialah
mengenal AlLah untuk siapa dipersembahkan segala amal ibadat itu. Yang dengan
khusyu' seseorang hamba merasa berhadapan dengan AlLah, ketika ini perasaan
bermusyahadah berintai - intaian dan bercakap - cakap dengan Tuhan seolah -
olah AlLah berkata: "Innany Ana AlLah - Aku inilah Tuhan yakni AlLah"
maka kehadiran "hati" berkata: "Anta AlLah - Engkaulah
AlLah". Lalu AlLah berkata lagi: "Iqimis-shalata lizikry -
bershalatlah untuk mengingat akan Aku". Demikian "hakekat",
ialah membuka kesempatan bagaimana salik mencapai maksudnya, iaitu mengenal
Tuhan, Ma'rifatulLah dan Musyahadah Nur yang Tajalli.
Al-Ghazali menerangkan :
"Bahawa Tajalli itu ialah terbuka Nur cahaya yang ghaib bagi hati
seseorang dan sangat mungkin yang dimaksudkan dengan Tajalli ialah Mutajalli
yang tidak lain daripada itulah AlLah".
iv) Tingkat Keempat : Ma'rifat.
Ma'rifat adalah tujuan pokok, yakni: mengenal AlLah yang sebenar - benarnya.
Taftazany dalam kitabnya "Syarhul Maqsid" menerangkan: "Apabila
seseorang mencapai tujuan terakhir dalam pekerjaan suluknya - ilalladan fillah,
pasti dia tenggelam dalam lautan tauhid dan irfan sehingga zatnya selalu dalam
pengawasan zat Tuhan dan sifatnya selalu dalam pengawasan sifat Tuhan. Ketika
itu orang itu fana dan lenyap dalam keadaan "masiwallah" apa yang
bersifat bukan AlLah. Dia tidak melihat wujud alam ini melainkan AlLah.
Al-Ghazali menerangkan: "bahawa hatilah yang dapat mencapai hakekat
sebagaimana yang tertulis pada Lauhin Mahfud, iaitu hati yang sudah bersih dan
murni. Alhasil, tempat untuk melihat dan Ma'rifat AlLah adalah "HATI"
C. TAJALLI
Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut maka tahap ketiga yakni tajalli,
seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab) yaitu sifat-sifat kemanusian
atau memperoleh nur yang selama ini tersembunyi (Ghaib) atau fana segala selain
Allah ketika nampak (tajalli) wajah-Nya.
Tajalli bermakna pecerahan atau penyngkapan. Suatu term yang berkembang di
kalangan sufisme sebagai sebuah penjelamaan, perwujudan dari yang tuanggal,
Sebuah pemancaran cahaya batin, penyingkapan rahasia Allah, dan pencerahan hati
hamba-hamba saleh.
Tajalli adalah tersingkapnya tirai penyekap dai alam gaib, atau proses mendapat
penerangan dari nur gaib, sebagai hasil dari suatu meditasi. Dalam sufisme,
proses tersingkapnya tirai dan penerimaan nur gaib dalam hati seorang mediator
disebut Al-Hal, yaitu proses pengahayatan gaib yang merupakan anugrah dari
Tuhan dan diluar adikuasa manusia.
Tajalli berarti Allah menyingkapkan diri-Nya kepada makhluk-Nya. Penyingkapan
diri Tuhan tidak pernah berulang secara sama dan tidak pernah pula berakhir.
Penyingkapan diri Tuhan itu berupa cahaya baatiniyah yang masuk ke hati.
Apabila seseorang bisa melalui dua tahap tkhalli dan tajalli maka dia akan
mencapai tahap yang ke tiga, yakni tajalli, yang berarti lenyap tau hilangnya
hijab dari sifat kemanusiaan atau terangnya nur yang selama itu tersembunyi
atau fana` segala sesuatu kecuali Allah, ketika tampak wajah Allah. Tajalli
merupakan tanda-tanda yang Allah tanamkan didalam diri manusia supaya Ia dapat
disaksiakan. Setiap tajalli melimpahkan cahaya demi cahaya sehingga seorang
yang menerimanya akan tenggelam dalam kebaikan. Jika terjadi perbedaan yang
dijumpai dalam berbagai penyingkapan itu tidak menandakan adanya perselisihan diantara
guru sufi. Masing-masing manusia unik, oleh karena itu masing-masing tajalli
juga unik. Sehingga tidak ada dua orang yang meraskan pengalaman tajalli yang
sama. Tajalli melampaui kata-kata. Tajalli adalah ketakjupan. Al-Jilli membagi
tajalli menjadi empat tingkatan .
a. Tajalli Af`al, yaitu tajalli Allah pada perbuatan seseorang, artinya segala
aktivitasnya itu disertai qudratn-Nya, dan ketika itu dia melihat-Nya.
b. Tajalli Asma`,
yaitu lenyapanya seseorang dari dirinya dan bebasnya dari genggaman sifat-sifat
kebaruan dan lepasnya dari ikatan tubuh kasarnya. Dalam tingkatan ini tidak ada
yang dilihat kecuali hannya dzat Ash Shirfah (hakikat
gerakan), bukan melihat asma`.
c. Tajalli sifat, yaitu menrimanya seorang hamba atas sifat-siafat ketuhanan,
artinya Tuhan mengambil tempat padanya tanapa hullul dzat-Nya.
d. Tajalli Zat, yaitu apabila Allah menghendaki adanya tajalli atas hamba-Nya
yang mem-fana` kan dirinya maka bertempat padanya karunia ketuhanan yang bisa
berupa sifat dan bisa pula berupa zat, disitulah terjadi ketunggalan yang
sempurna. Dengan fana`nya hamba maka yang baqa` hanyalah Allah. Dalam pada itu
hamba tekah berada dalam situasi ma siwalah yakni dalam wujud allah semata.
Ahli tasawuf berkata bahwa tasawuf tidak lain adalah menjalani takhalli,
tahalli, dan tajalli. Jalan yang ditempuh oleh para Sufi adalah jalan takhalli,
tahalli, dan tajalli. Mengosongkan jiwa dari sifat buruk, menghiasi jiwa dengan
sifat yang baik dengan tujuan untuk menyaksikan dengan penglihatan hati bahwa
sesungguhnya tuhan itu tidak ada, hanya Allah SWT yang Ada, “Tidak ada tuhan
(lâ ilâha) selain (illâ) Allah SWT dan Muhammad bin Abdullah adalah hamba,
utusan, dan kekasih-Nya.”
Ibnu Arabi menyatkan bahwa tajalli Tuhan ada dua bentuk, yaitu tjalli ghaib
atau tajalli dzati dan tajalli shuhudi. Al-Kalabadzi membagi tajalli menjadi
tiga macam , yaitu sebagai berikut :
a. Tajalli Zat, yaitu mukhasyafah (terbukanya selubung yang menutupi
kerahasiaan-Nya).
b. Tajalli sifat Adz-Dzat, yaitu tampaknya sifat-siafat zat Allah sebagai
sumber atau tempat cahaya.
c. Tajalli Hukma Adz-Dzat, yaitu tampaknya hokum zat-Nya yaitu hal-hal yang
berhubungan dengan akhirat dan apa yang ada didalamnya.
Pengertian hubungan makhluk dan Khalik disebut makrifat. Di sinilah letak
perjalanan itu. Kalau sudah bisa menggapainya niscaya akan merasakan tajalli.
Kalau sudah bisa merasakan tajalli akan takhalli, dan sebagainya sesuai
kenaikan berzikir dalam makrifat. Tajalli itu artinya meraih kemuliaan di sisi
Allah, atau keluhuran. Saat mencapai tingkatan itu, hati akan merasa sepi.
Yaitu, sepi ing pamrih rame ing gawe. Namun yang sebenarnya, makna tajalli
sangat luas. Ini bahasa tasawuf dalam tarekat.
Kalau hati bisa meletakkan sepi selain Allah itu artinya akan menemukan satu
takhalli. Yaitu satu kenikmatan, kelezatan, satu kemanisan karena bisa
melepaskan semuanya selain Allah dan Rasul-Nya.