Catatan Popular

Khamis, 1 Februari 2024

50 FAIDAH DARI KISAH LUQMAN AL HAKIM Faidah Kesepuluh :

Faidah Kesepuluh :

 

(Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang) pentingnya cara menyampaikan pelajaran (al-wa’dzh) dalam mendidik dan mengajar. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

 

Dan (Ingatlah) ketika Luqmân berkata kepada anaknya, di waktu dia memberi pelajaran kepadanya. Cara menyampaikan nasihat memiliki pengaruh besar dalam mendidik manusia dan para pemuda. al-Wa’dzh, sebagaimana dikatakan oleh para Ulama, (artinya penyampaian) ilmu yang diajarkan kepada manusia agar diraih dan diamalkan itu harus disertai dengan targhîb (motivasi) dan tarhîb (ancaman). Artinya, seorang da’i (saat) menyebutkan perintah agar menusia melakukan kebaikan (maka ini harus) disertai dengan penyebutan hal-hal yang memotivasi manusia untuk melakukannya dan (saat) menyebutkan larangan (maka ini harus) disertai dengan (penyebutan) hal-hal yang bisa menimbulkan rasa takut (untuk melaksanakannya). Jadi yang dinamakan dengan al-wa’dzh adalah memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari keburukan disertai dengan targhîb dan tarhîb at-Targhîb dilakukan dengan cara menyebutkan faidah-faidah, hasil-hasil dan pengaruh-pengaruh (baik) yang akan diraih oleh seorang apabila mengamalkan perintah tersebut. Adapun at[1]tarhîb dapat dilakukan dengan menyebutkan keburukan[1]keburukan dan bahaya-bahaya yang akan menimpa orang yang mengerjakan suatu yang terlarang. Itulah yang dilakukan oleh Luqmân al-Hakîm, nasihat-nasihatnya berisi targhîb yang bermanfaat yang bisa memotivasi orang yang didakwahi agar bersedia melakukan apa yang didakwahkan dengan cara terbaik, dan juga berisi tarhîb yang dapat membentengi orang yang didakwahi dari mengerjakan dosa dan kesalahan.

50 FAIDAH DARI KISAH LUQMAN AL HAKIM Faidah Kesembilan :

Faidah Kesembilan :

 

(Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang) kedudukan hikmah dan manfaatnya yang besar pada diri orang yang Allâh Azza wa Jalla berikan hikmah itu kepadanya. Ini sangat nampak pada konteks ayat yang penuh berkah ini. Di dalamnya ada pujian dan sanjungan Allâh terhadap Luqmân dengan sebab al-hikmah yang telah Allâh Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepadanya. Ini tentu dapat menjadikan seorang hamba (semakin) bersemangat untuk mengenal al-hikmah, seperti apakah al hikmah itu? Dan juga mendorong orang bersemangat untuk memiliki sifat tersebut.

 

Di antara makna al-hikmah yang disebutkan (oleh para Ulama) adalah sebagai berikut :

 

1. al-Hikmah adalah ilmu yang bermanfaat yang diiringi dengan amalan shaleh.

 

2. al-Hikmah adalah meletakkan berbagai perkara sesuai pada tempatnya.

 

3. al-Hikmah adalah ilmu, pemahaman, lurus dan (memiliki) cara pandang yang baik.

 

Dan masih ada makna-makna lain yang disebutkan oleh para Ulama. Yang menjadi poin penting adalah al-hikmah tersebut memiliki kedudukan yang agung. Sudah sepantasnya setiap hamba bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkannya, serta menempuh segala cara yang disyariatkan dan segala jalan untuk mendapatkannya dan mengantarkannya dengan cara-cara dan jalan-jalan tersebut kepada hikmah yang dimaksud.

 

Dan (Ingatlah) ketika Luqmân berkata kepada anaknya, di waktu dia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku! Janganlah kamu mempersekutukan Allâh! Sesungguhnya mempersekutukan (Allâh) adalah benar-benar kezaliman yang besar. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.24. 24 Luqmân/31:13-14

 

50 FAIDAH DARI KISAH LUQMAN AL HAKIM Faidah Kedelapan :

Faidah Kedelapan :

 

Penetapan kesempurnaan sifat terpujinya Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Bagi-Nya segala pujian atas pemberian-pemberian-Nya dan keagungan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

 

 

Dan barangsiapa tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allâh Maha Kaya lagi Maha Terpuji. 22 .22 Luqman/31:12

 

al-Hamîd adalah salah satu nama di antara nama-nama Allâh yang terindah. Nama tersebut menunjukkan pujian yang diberikan kepada Allâh Azza wa Jalla. Dia-lah yang memiliki pujian yang mutlak dan sempurna dalam keadaan apapun dan kapanpun. Dia Azza wa Jalla dipuji karena nama-nama dan sifat-sifat yang dimiliki-Nya. Dia dipuji karena kenikmatan-kenikmatan, karunia[1]karunia dan pemberian-pemberian-Nya. Dialah al-Hamîd (Yang Maha Terpuji) Azza wa Jalla yang memiliki semua pujian. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

 

Bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat.23. 23 al-Qashash/28:70

 

Dia-lah yang memiliki pujian di awal maupun di akhir. Dia-lah yang memiliki semua pujian baik yang tampak maupun yang tidak. Seluruh pujian adalah milik Allâh Azza wa Jalla. Seluruh kenikmatan berasal dari Allâh. Semua kenikmatan yang didapatkan oleh para hamba-Nya berasal dari Allâh dan Dia-lah yang memberikannya. Sudah sepantasnya, seluruh pujian tersebut hanya dikhususkan untuk al-Mun’im (Yang Maha Pemberi Kenikmatan). Oleh karena itu, orang-orang yang sedang ber-talbiyah mengatakan dalam talbiyah-nya :

 

Sesungguhnya segala pujian, kenikmatan dan kekuasaan adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu.

 

 

50 FAIDAH DARI KISAH LUQMAN AL HAKIM Faidah Ketujuh :

Faidah Ketujuh :

 

Kita beriman kepada kesempurnaan kekayaan Allâh dari segala sisi dan butuhnya para hamba-Nya kepada-Nya dari segala sisi.

 

Dan barangsiapa tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allâh Maha Kaya lagi Maha Terpuji.18 18 Luqman/31:12

 

Kita beriman bahwa Allâh itu Ghaniy (Maha Kaya). al-Ghaniy adalah salah satu di antara nama-nama Allâh yang terbagus (al[1]Asmâul-Husnâ). Nama tersebut mengandung sifat-Nya yang memiliki kekayaan dan Allâh Azza wa Jalla tidak membutuhkan hamba-hamba dan seluruh makhluk-Nya dari segala sisi, sementara para hamba dan seluruh makhluk-Nya sangat membutuhkan Allâh dari segala sisi. Kita beriman bahwa Rabb kita al-Ghaniy (Yang Maha Kaya) bersemayam di atas ‘Arsy-Nya dan terpisah dengan makhluk-Nya sebagaimana Allâh beritahukan dalam kitab-Nya : َ

 

Ar-Rahman bersemayam di atas ‘Arsy.19 . 19 Thâhâ/20:5

 

 

Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. 20. 20 al-A’râf/7:54

 

Pada waktu yang bersamaan, kita juga mengimani bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak membutuhkan ‘Arsy-Nya dan seluruh makhluk di bawahnya, sebaliknya seluruh makhluk-makhluk tersebut, yaitu ‘Arsy dan apa-apa yang ada di bawahnya sangat membutuhkan Allâh Azza wa Jalla. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

 

Sesungguhnya Allâh menahan langit dan bumi supaya tidak lenyap. Dan sungguh jika keduanya lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allâh. Sesungguhnya dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.21 21 Fathir/35:41

 

 

Allah-lah yang menahan ‘Arsy, menahan langit-langit dan menahan bumi. Seluruh makhluknya berdiri atas usaha-Nya Azza wa Jalla. Seluruhnya tidak bisa merasakan tidak butuh kepada Allâh meskipun hanya sekejap mata.

50 FAIDAH DARI KISAH LUQMAN AL HAKIM Faidah Keenam :

Faidah Keenam :

 

Sesungguhnya dampak dan manfaat perbuatan syukur yang dilakukan oleh seorang hamba terhadap nikmat Allâh Azza wa Jalla akan kembali kepada hamba itu sendiri. Allâh Azza wa Jalla berfirman

 

Siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri.16 16 Luqmân/31:12

 

 Apabila seorang hamba bersyukur, maka buah syukur tersebut akan kembali kepadanya, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, nikmat yang telah diberikan akan langgeng dan juga akan mendatangkan nikmat lain, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Di akhirat, dia akan mendapatkan pahala, ganjaran dan akhir yang baik. Seorang hamba apabila dia bersyukur, maka syukurnya tersebut akan kembali kepada dan dia akan mendapatkan manfaat dengannya. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut yaitu firman Allâh Azza wa Jalla:

 

Barangsiapa berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa sesat maka sesungguhnya dia tersesat untuk dirinya sendiri.17 17 al-Isrâ’/17:15

 

 

Sebaliknya, apabila seorang hamba tidak mensyukuri nikmat Allah –wal ‘iyâdzu billâh– maka perbuatannya itu akan mendatangkan penderitaan, kerugian dan penyesalan di dunia dan akhirat. Ini harus menjadi perhatian seorang hamba, karena dia perlu bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla sementara Allâh Azza wa Jalla Maha Kaya (tidak butuh) syukur hamba tersebut.

50 FAIDAH DARI KISAH LUQMAN AL HAKIM Faidah Kelima :

Faidah Kelima :

 

Sesungguhnya, perbuatan syukur yang dilakukan oleh orang[1]orang yang bersyukur kepada Allâh tidak bisa memberikan

manfaat kepada Allah Azza wa Jalla, begitu pula perbuatan kufur orang-orang yang kafir tidak bisa me-mudharat-kan (membahayakan) Allâh. Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allâh Azza wa Jalla :

 

Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allâh), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allâh Maha Kaya lagi Maha Terpuji.12 12 Luqmân/31: 12 5

 

Jadi, perbuatan syukur orang yang bersyukur tidak dapat memberikan manfaat kepada Allâh, perbuatan kufur orang yang kafir tidak dapat membahayakan-Nya, perbuatan taat orang yang taat tidak bisa memberikan manfaat kepada Allâh, perbuatan dosa yang dilakukan oleh orang yang bermaksiat tidak bisa membahayakan-Nya.

 

Perhatikan firman Allâh pada hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Dzar Radhiyallahu anhu dalam Shahîh Muslim :

 

Wahai hamba-hambaku! Seandainya orang-orang yang paling awal sampai yang paling akhir dari kalian, baik dari kalangan manusia maupun jin, semuanya menjadi seperti orang yang memiliki hati yang paling bertakwa di antara kalian, maka hal tersebut tidak dapat menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Wahai hamba-hambaku! Seandainya orang-orang yang paling awal sampai yang paling akhir dari kalian, baik dari kalangan manusia maupun jin, semuanya menjadi seperti orang yang memiliki hati yang paling berdosa di antara kalian, maka hal tersebut tidak dapat mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun.13. 13 Shahîh Muslim No. 2577

 

Oleh karena itu, ketaatan orang yang taat kepada Allâh Azza wa Jalla tidak dapat memberikan manfaat kepada Allâh dan perbuatan dosa orang yang berbuat maksiat tidak bisa membahayakan-Nya. Bahkan (Allâh Azza wa Jalla berfirman) :

 

Barangsiapa berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri.14. 14 al-Isrâ’/17:15

 

 

Sedangkan Allâh Azza wa Jalla , Dia-lah al-Ghaniy (Yang Maha Kaya) dan al-Hamîd (Yang Maha Terpuji). Diantara dalil yang menyebutkan hal ini adalah :

 

Hai manusia, kamulah yang butuh kepada Allâh; dan Allâh, Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika dia menghendaki, niscaya dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru.15 15 Fathir/35:15-16

 

50 FAIDAH DARI KISAH LUQMAN AL HAKIM Faidah Keempat:

Faidah Keempat:

 

Sesungguhnya mensyukuri nikmat dilakukan dengan hati, lisan dan perbuatan kita. Ketiganya digabungkan dalam Firman Allâh Azza wa Jalla :

 

Bersyukurlah kepada Allâh!” Barangsiapa diberikan hikmah, ilmu yang bermanfaat dan amalan yang shaleh, maka cara bersyukur dengan hatinya yaitu dengan mengakui kenikmatan al-Mun’im (Yang Maha Pemberi Kenikmatan); kemudian dengan lisannya, dia menyanjung, memuji dan bersyukur kepada Allâh; Lalu bersyukur dengan perbuatannya yaitu dengan mentaati-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

 

Beramallâh Hai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allâh).11 11 Saba’/34:13

 

Oleh karena itu, seorang hamba harus mengerjakan amalan[1]amalan shaleh, bersemangat untuk mengerjakan ketaatan dan menggunakan kenikmatan tersebut pada jalan yang sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla.

 

50 FAIDAH DARI KISAH LUQMAN AL HAKIM Faidah Ketiga :

Faidah Ketiga :

 

Pentingnya mensyukuri nikmat Allâh Azza wa Jalla dan besarnya pengaruh syukur terhadap kelanggengan dan perkembangan suatu kenikmatan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

 

Dan sesungguhnya Kami telah memberikan al-hikmah kepada Luqmân, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allâh”.

 

Sebuah kenikmatan jika disyukuri maka dia akan langgeng, apabila tidak disyukuri maka dia akan lenyap. Oleh karena itu, sebagian Ulama menamai syukur dengan al-hâfidzh (penjaga) dan al-jâlib (pencari/penarik), karena syukur dapat menjaga kenikmatan yang ada dan mencari kenikmatan yang hilang. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabb-mu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu’ 10. 10 Ibrahim/14:7.

 

Pada ayat di atas Allâh berfirman, Bersyukurlah kepada Allâh!” maksudnya adalah bersyukur atas kenikmatan, pemberian dan kedermawanan-Nya kepadamu. Diantara bentuk kedermawaan Allâh Azza wa Jalla kepada hamba-Nya yang shaleh ini (Luqman) adalah dengan memberikan kepadanya al hikmah dan memberinya taufîq untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shaleh. Ayat itu juga menunjukkan bahwa seorang hamba yang diberi taufîq untuk mendapatkan ilmu, bisa beramal dan menjalankan kebaikan, dia wajib selalu dan selamanya bersyukur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Dia wajib mengakui dan menyadari kenikmatan, keutamaan, hidayah (petunjuk) dan taufîq Allâh yang telah diberikan kepadanya.

 

 

50 FAIDAH DARI KISAH LUQMAN AL HAKIM Faidah Kedua :

Faidah Kedua 


Sesungguhnya untuk bisa mendapatkan al-hikmah, ada sebab[1]sebab yang harus dilakukan oleh seorang hamba. Barangsiapa memperhatikan kisah Luqmân dan kehidupannya, niscaya dia akan dapati bahwa Luqmân itu seorang hamba yang shaleh. Dia beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla, taat kepada-Nya dan memiliki hubungan yang baik dengan Rabb-nya. Disebutkan dalam biografinya, sebagaimana disebutkan oleh al[1]hâfidzh Ibnu Katsîr rahimahullah dan para Ulama lainnya 5 , 5 Lihat biografinya di ‘Al-Bidaayah wa An-Nihaayah (II/146-153).

 

bahwa dia adalah orang yang rajin beribadah, taat kepada Allâh dan jujur. Dia sedikit berbicara, banyak berpikir dan bertadabbur. Dia mengambil faidah dari majlis-majlis kebaikan dan dia menganjurkan (orang lain) untuk mengambil faidah dari majlis-majlis kebaikan tersebut. Dia sering meminta pendapat ahli ilmu dan mengambil faidah dari mereka. Yang terpenting adalah pengorbanan seorang hamba untuk mengerjakan sebab-sebab yang bisa mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla bisa menjadi sarana untuk meraih kebaikan dan keberuntungan serta akan mendatangkan hikmah.

 

Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Bersemangatlah untuk mengerjakan yang bermanfaat untukmu dan mintalah pertolongan kepada Allâh 6. 6 HR Muslim no. 2664.

 

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

 

Sesungguhnya (untuk mendapatkan) ilmu harus dengan belajar dan (untuk mendapatkan) kesabaran harus dengan melatihnya. Barangsiapa berusaha mendapatkan kebaikan, maka akan diberikan kepadanya. Barangsiapa berusaha mengindari keburukan, maka akan dijauhkan darinya.7. 7 HR Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Syaikh Al-Albani meng-hasan-kan sanadnya di dalam Ash-Shahiihah no. 342.

 

Oleh karena itu, seorang hamba harus mengerjakan sebab untuk mraih al-hikmah dan tidak hanya berkata, “Ya Allâh! Berikanlah kepadaku hikmah!” atau berkata, “Ya Allâh! Sesungguhnya saya memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan amalan yang shaleh” tanpa mengerjakan sebab-sebab (untuk memperolehnya). Allâh Azza wa Jalla berfirman :

 

“Maka ibadahilah Dia dan bertawakkallâh kepada-Nya” 8. 8 Hûd/11:123.

 

Dan firman-Nya, yang artinya, “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.”9 9 Al-Fatihah/1:5.

 

50 FAIDAH DARI KISAH LUQMAN AL HAKIM Faidah Pertama :

Faidah Pertama :

 

Sesungguhnya hikmah itu adalah pemberian dan anugerah dari Rabb yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada para hamba yang dikehendaki-Nya. Ini terfahami dari firman-Nya Azza wa Jalla :  

 

“Dan sesungguhnya Kami telah memberikan hikmah kepada Luqmân.”

 

Jadi, hikmah itu adalah karunia Allâh yang diberikan kepada para hamba yang dikehendaki-Nya saja, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

 

Allâh menganugerahkan hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa dianugerahi hikmah, maka dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. 4, 4 Al-Baqarah/2:269.

 

Oleh karena itu, barangsiapa ingin diberi taufîq untuk mendapatkan al-hikmah itu dan ingin diberikan kebaikan, maka hendaklah dia memintanya kepada Allâh Azza wa Jalla. Karena semua kebaikan dan keutamaan berada di tangan Allâh Azza wa Jalla .

 

Dia Subhanahu wa Ta’ala memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Kebaikan itu tidak akan didapatkan kecuali dengan bersikap jujur kepada Allâh Azza wa Jalla, menghadap kepada-Nya dengan baik, mengerjakan ketaatan kepada-Nya dan memohon taufîq kepada-Nya dan bersandar kepada-Nya dalam usahanya untuk mendapatkan kebaikan tersebut. Sesungguhnya hidayah dan taufiiq tersebut berada di tangan-Nya dan tidak ada serikat bagiNya.

 

 

Rabu, 3 Januari 2024

KITAB ZIKIR : “AL LUMA” ABU NASHR AS SARRAJ

“Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf”

Judul Asli: Kitab Al-Luma‘

Oleh: Abu Nashr as-Sarraj


DZIKIR

 

Syekh Abū Nashr as-Sarrāj rahimahullāh berkata:

Saya pernah mendengar jawaban Ibnu Salīm ketika ditanya tentang dzikir:

“Ada tiga macam bentuk dzikir:

dzikir dengan lisan yang memiliki sepuluh kebaikan,

dzikir dengan hati yang memiliki tujuh ratus kebaikan dan

dzikir yang pahalanya tidak dapat ditimbang dan dihitung, yaitu puncak kecintaan kepada Allah serta perasaan malu karena kedekatan-Nya.”

Ibnu ‘Athā’ rahimahullāh ditanya: “Apa yang dikerjakan dzikir dengan berbagai rahasia?” Maka ia menjawab: “Dzikir kepada Allah, apabila sampai pada rahasia-rahasia hati dengan pancaran sinarnya maka dalam haqīqatnya akan menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan (basyariyyah) dengan segala kepentingan nafsunya.”

Sementara Sahl bin ‘Abdullāh rahimahullāh mengatakan: “Tidak setiap orang yang mengaku berzikir (mengingat Allah) mesti orang yang ingat.”

Sahl bin ‘Abdullāh juga pernah ditanya tentang makna dzikir, lalu ia menjawab: “Ialah mengaktualisasikan pengetahuan, bahwa Allah senantiasa melihat anda. Maka dengan hati anda akan menyaksikan-Nya dekat dengan anda dan anda merasa malu dengan-Nya. Kemudian anda memprioritikan-Nya daripada diri anda sendiri dan seluruh kondisi spiritual anda.”

Syekh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: Allah s.w.t. berfirman:

فَاذْكُرُوا اللهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا

“Maka berzikirlah (dengan menyabut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikir lebih banyak dari itu.” (al-Baqarah: 200).

Di ayat lain Allah s.w.t. berfirman:

اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا

“Berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak banyaknya.” (al-Aḥzāb: 41).

Ayat ini lebih ringkas dari sebelumnya. Kemudian di ayat lain Allah juga berfirman:

فَاذْكُرُوْنِيْ أَذْكُرْكُمْ

“Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (al-Baqarah: 152).

Oleh karenanya, orang-orang yang berzikir kepada Allah s.w.t. mempunyai tingkatan-tingkatan yang berbeda sebagaimana tingkatan-tingkatan perintah dzikir kepada mereka.

Sebagian guru Sufi ditanya tentang dzikir, maka ia menjawab: “Dzāt Yang diingat hanyalah satu, sedangkan dzikirnya berbeda-beda dan tempat hati orang-orang yang berzikir juga berbeda-beda tingkatannya.”

Landasan dasar dzikir adalah memenuhi panggilan al-Haq dari sisi kewajiban-kewajiban.

Sementara itu dzikir terbagi dua aspek: Pertama: at-tahlīl (membaca kalimat tauḥīd Lā ilāha illā Allāh), tasbīḥ (membaca kalimat subḥānallāh) dan membaca al-Qur’ān. Kedua: mengingatkan hati tentang syarat-syarat mengingat kemahasucian Allah s.w.t. Asmā’ (Nama-nama) dan Sifat-sifat-Nya, kebaikan-Nya yang merata dan takdir-Nya yang berlangsung pada semua makhluk.

Sehingga:

dzikirnya orang-orang yang berharap adalah ingat akan janji-Nya,

dzikirnya orang-orang yang takut adalah karena ingat ancaman-Nya,

dzikirnya orang-orang yang tawakkal adalah ingat akan kecukupan-Nya yang tersingkap oleh mereka,

dzikirnya orang-orang yang selalu murāqabah adalah mengingat akan kadar yang ditunjukkan Allah pada mereka sedangkan,

dzikirnya orang-orang yang cinta adalah mengingat akan kadar penelitian mereka akan nikmat-nikmat Allah.

Syeikh Asy-Syiblī raḥimahullāh pernah ditanya tentang haqīqat dzikir, maka ia menjawab: “Ialah melupakan dzikir. Yakni melupakan dzikir anda pada Allah s.w.t. dan melupakan segala sesuatu selain Allah ‘azza wa jalla.”

KITAB ZIKIR : DOKTRIN MEREKA AHLI SUFI TENTANG MENGINGAT ALLAH (DZIKIR).

 KITAB ASAL : At-Ta‘arrufu Li Madzhabi Ahl-it-Tasawwuf)

Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi


Haqīqat dari dzikir ialah hendaklah kamu melupakan apa-apa selain yang diingat (Allah) di dalam kamu berdzikir (mengingat), sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah:

 

“….Dan ingatlah akan Tuhan-mu di kala kamu lupa….” (al-Kahfi 18: 24).

 

Yakni, apabila kamu melupakan sesuatu selain Allah maka sungguh kamu telah mengingat Allah.

 

Nabi s.a.w. bersabda: “Orang-orang yang menyendiri (pertapa) adalah yang paling dahulu (memasuki surga).” Kemudian seorang sahabat bertanya kepada Nabi: “Wahai Rasūlullāh, siapakah pertapa itu?” Rasūlullāh menjawāb: “Pertapa ialah orang-orang yang selalu mengingat Allah (dzikir).” (Hadīts riwāyat at-Tirmidzī dan al-Hākim dari Abū Hurairah).

Seorang pemimpin Shūfī berkata: “Dzikir itu menghilangkan lupa akan Allah, dan engkau adalah orang yang ingat akan Allah walaupun engkau dalam keadaan berdiam diri.”

 

Al-Junaid bersya‘ir:

 

“Aku selalu mengingat-Mu, tidaklah sekali-kali aku melupakan-Mu walaupun hanya sekejap mata,

 

Aku memudahkan dalam mengingat-Mu (dzikir) dengan mengingat (dzikir) yang diucapkan (lisan).”

 

Saya telah mendengar Abul-Qāsim al-Baghdādī berkata:

 

 “Aku telah bertanya kepada salah seorang pemimpin Shūfī: “Bagaimana pendapatmu terhadapa orang-orang yang merasa jemu mengingat Allah (dzikir) bahkan mereka lari menuju papan perenungan (bersemedi) yang tidak dapat mendatangkan kepuasan bāthin?”

 

Maka ia pun menjawāb dengan kata-katanya: Mereka menganggap ringan terhadap hasil/pengaruh mengingat Allah (dzikir) dan menganggap bahwa dzikir itu hanya perbuatan yang sia-sia belaka; padahal sebenarnya dzikir itu merupakan perbuatan yang paling utama yang berada dibalik tafakkur dan dapat menghilangkan keresahan dan kejenuhan dari kegiatan sehari-hari.”

 

Mereka menganggap ringan perbuatan mengingat Allah (dzikir) karena mereka menyangka bahwa dzikir itu hanya merupakan kelezatan dari perasaan jiwa saja, sedangkan orang-orang yang menggunakan pemikirannya telah melarikan diri dari perasaan kejiwaan dan kelezatannya. Bagaimanapun juga mengingat Allah (dzikir) itu akan menimbulkan perasaan adanya kebesaran Allah, kekuasaan-Nya, kehebatan-Nya, dan kebaikan-Nya, kemudian dengan mengingat Allah (dzikir) akan menambah memikirkan (tafakkur) ciptaaan Allah dan menimbulkan rasa hormat kepada-Nya. Sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w. berdasarkan firman dari Allah:

 

Dari Abū Hurairah r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

 

“Barangsiapa menyibukkan diri untuk mengingat (dzikir) kepada-Ku dengan melalui permintaan (du‘ā) maka Aku (Allah) akan memberikan kepadanya kelebihan (keutamaan) sebagaimana yang telah Aku berikan kepada orang-orang yang telah meminta (membutuhkannya).” (Hadīts riwāyat at-Tirmidzī dan al-Hākim)

 

Dari hadits di atas, bahwa seseorang yang menyibukkan diri dengan mengingat Allah (dzikir) secara lisan itu dapat menyaksikan kebesaran-Ku (Allah), karena dzikir lisan itu merupakan permohonan (masalah).

 

Segolongan Shūfī lain berpendapat bahwa persaksian /penyaksian terhadap Allah (musyāhadah) itu dapat juga membawa seseorang kepada kebingungan bagi dirinyasendiri dan memutuskan dirinya dari mengingat Allah (dzikir), sebagaimana dinyatakan dalam hadīts Nabi s.a.w.:

 

“Aku tidak dapat menghitung sanjungan (pujian) kepada-Mu.”

Dan sya‘ir dari an-Nūrī:

 

Aku ingin selalu mengingat diri-Nya, karena cintaku pada-Nya,

Wahai Dia yang Mempesona yang selalu kuingat dalam hati.

Aku heran pada-Nya yang kadangkala hilang dari kalbuku,

Karena hilangnya ingatku, baik di kala dekat maupun jauh.

Al-Junaid berkata: “Barangsiapa yang menyebutkan Allah tanpa bersaksi dan menyakiti-Nya, maka kata-katanya itu bohong.” Kebenaran pernyataan ini berdasarkan firman Allah:

 

“….Mereka (orang-orang munāfiq) berkata: Kami bersaksi sesungguhnya engkau benar-benar Rasūl (utusan) Allah.” (al-Munāfiqūn 63:1).

 

“…Dan Allah menyaksikan (mengetahui) bahwa sesungguhnya orang-orang munāfiq itu benar-benar orang pembohong.” (al-Munāfiqūn 63: 1).

Allah mendustakan mereka walaupun kata-kata mereka benar, karena mereka bukan termasuk orang-orang yang benar-benar bersaksi dan yaqīn.

 

Sebagian Shūfī lain berkata: “Hati itu untuk bersaksi, dan mulut untuk menyatakan persaksiannya, sehingga barangsiapa berkata tanpa persaksian maka persaksiannya itu adalah bohong belaka.”

 

Pemimpin-pemimpin Shūfī bersya‘ir:

 

Engkau pelindungku, wahai Tuhan, tanpa aku mengingat-Mu,

Hatiku merasa takut Engkau akan menghilang dari ingatanku.

Karena ingat kepada-Mu adalah sarana yang menyingkap tabir rahasia-Mu dari pandanganku,

Apabila Dia membutakan mata-hatiku, maka Dia akan hilang dari buah pikirku.

 

Dari sya‘ir di atas dapat diartikan bahwa mengingat Allah (dzikir) adalah merupakan sifat dari orang yang ingat (dzikir), oleh karenanya apabila aku tidak ada (absen) di kala aku mengingat (dzikir) maka berarti aku tidak ada. Dan sesungguhnya seorang hamba terhalang dari penyaksian terhadap Tuhannya dan menyifat diri-Nya.

 

Sarī as-Saqathī berkata: “Aku telah menemani seorang kulit hitam (negro) di padang pasir, di kala ia sedang mengingat Allah (dzikir) maka aku pun berkata: “Oh, sungguh ini sangat aneh; di kala engkau sedang mengingat Allah (dzikir) maka pakaianmu berganti dan sifatmu pun berubah.” Maka dia pun berkata: “Wahai saudaraku, seandainya engkau bersungguh-sungguh dalam mengingat Allah (dzikir) maka pakaianmu pun akan berganti dan sifatmu pun akan berubah”, kemudian ia bersya‘ir:

 

Kami mengingat-Nya (dzikir) dan tidaklah sekali-kali kami

Melupakan-Nya maka kami pun selalu menyebut-Nya.

Tetapi angin dingin sepoi-sepoi datang mengalahkan dzikirku,

Sehingga Dia lari dari ingatanku.

 

Maka lenyaplah Dia dari sisiku bersama kekekalan yang ada padanya,

 

Karena Dia Yang Maha Haq sebagaimana dikabarkan dan dinyatakan-Nya.”

Dan kami sya‘irkan juga sya‘ir Ibnu ‘Athā’:

 

Aku tahu dzikir itu bermacam-macam, ia dipenuhi rasa cinta,

Rindu-dendam yang dapat menggugah ingatan.

Dzikir itu melemahkan nafsu, karena nafsu dicampuri dengannya,

 

Dzikir itu mempengaruhi jiwa, yang pada akhirnya menghilangkan duka cita.

Dan dzikir itu dapat menyebarkan nafsu, karena sesungguhnya dzikir,

 

Dapat menggulung nafsu, baik diketahui maupun tidak diketahui.

Dan dzikir itu mempunyai tanda-tanda, pengaruh, yaitu memisahkan hawa nafsu dan melenyapkannya,

Ia dapat meningakatkan inteligensia melalui imaginasi dan perenungan.

 

Dengan dzikir dapat mengetahui Dia melalui kerlingan mata dan keyakinan dalam hati.

 

Dapat menyaksikan Dia, maka terputuslah/lenyaplah tabir atas diri-Nya.

 

Dzikir itu bermacam-macam, yaitu:

 

Pertama: dzikir dengan hati (dzikr-ul-qalb), di mana yang diingat (madzkūr) tidak dilupakan selagi seseorang berdzikir,

 

Kedua: dzikir dengan mengingat sifat-sifat yagn diingat (dzikru aushāf-il-madzkūr),

 

Ketiga: dzikir dengan menyaksikan yang diingat (syuhūd-ul-madzkūr) dengan dzikir ini seseorang dapat berlaku dari berdzikir, karena dengan sifat-sifat yang diingat dapat menyebabkan diri seseorang tidak dapat menyifati yang diingat dengan sifat-sifat yang ada pada orang itu, begitupun akan berlalu/menolak dzikir (secara lisan).