Catatan Popular

Ahad, 8 September 2019

KITAB AL ASRAR FIL AWLIYA BAHAGIAN KEDUABELAS : NIAT MENJADI MURID


(AWAL DALAM JENJANG KEWALIAN)

Hazrat Khwaja Farīduddīn Mas'ūd Ganjshakar

Rasulullah Saw bersabda,

Rasulullah Saw bersabda,
Sesungguhnya setiap amal (bergantung) kepada niatnya, dan setiap perkara menurut apa yang ia niatkan.....
HR. Bukhari dan Muslim dari Amar, Muwatha dari Muh. bin Hasan.

Di antara para Ahli Fiqih menyatakan bahwa hadits ini masuk dalam 30 Bab ilmu pengetahuan. Kita tidak mengetahui kedalaman niat seorang Syekh terhadap penerapan suatu kebijakan kepada murid-muridnya. Kecintaan murid kepadanya melupakan mereka untuk bertanya mengapa? Mereka telah mengutamakan menjaga perasaan Syekh dari pada ungkapan-ungkapan yang lahir dari bersitan-bersitan hatinya yang dikhawatirkan bercampur dengan syahwatnya.
Memendam pertanyaan bagi orang yang diberi pengetahuan adalah ujian yang lebih berat dari pada lainnya dalam perkara ini. Para Imamaini (pangkat kewalian setelah Sulthan Awliya) yang ada dalam Tarekat Idrisiyyah sangat teguh penjagaannya berkenaan masalah menjaga perasaan Syekh ini.

Ada sebuah kisah yang yang tidak ada pada literatur tertulis, bahwa Syekh al-Akbar Abdul Fattah Ra. Mengawali perjalanannya mengembara mencari Syekh Mursyid (dengan pijakan Q.S. Al-Kahfi: 17).

Kegigihan pencariannya itu bertahan begitu lama hingga ia ditakdirkan dapat menjumpai Syekh Mursyid yang ia cari, yakni Sidi Ahmad Syarif as-Sanusi al-Khathabi al-Hasani di Jabal Abu Qubais, Mekah al-Mukarramah.

Setelah sekian tahun ia bersama dengan Syekh-nya, kecintaannya itu melahirkan ujian-ujian yang cukup berat bagi dirinya. Di antara ujian yang terberat adalah berita-berita ruhaniyah yang sering dialaminya, khususnya perjumpaan dengan Rasulullah Saw.

Beliau Saw suatu ketika menginformasikan kepadanya bahwa Khilafah Tarekat yang dipegang oleh Syekh Ahmad Syarif ini akan dilimpahkan kepada Abdul Fattah. Kabar ini (setelah beliau mengalami beberapa kejadian) akhirnya beliau ungkapkan kepada gurunya, Sidi Ahmad Syarif. Asy-Syekh berkata, ‘Apa niatmu pertama kali datang ke sini? Ingin menjadi murid atau ingin menjadi Guru’. ‘Ingin menjadi murid ya Sayyidi!’ jawab Abdul Fattah. ‘Maka, luruskan niatmu itu!’ Gurunya menegaskan.

Dengan jawaban Gurunya tersebut Abdul Fattah tidak kecewa, bahkan apa yang membayanginya itu selalu ia buang jauh-jauh dari angan-angannya (bahasa Sunda-nya dikepret-kepret keun). Abdul Fattah senantiasa bersangka baik bahwa bukanlah perkataan itu menandakan ketidaktahuan Gurunya, melainkan bimbingan kasih sayangnya kepadanya agar perjalanannya bermakrifatullah tidak terjegal di tengah jalan.

Jawaban itu menimbulkan renungan yang mendalam dan mengakhiri kegelisahan Abdul Fattah muda yang ketika itu dipercaya menjadi Wakil Talqin bagi murid-murid baru, bahkan kerap kali menggantikan posisi Gurunya tersebut mengajar. Ia menjadi fokus, dan tiada mempedulikan berita apapun.

Inilah niat. Kita tidak mengetahui niat seseorang, apalagi kekhususan niat seorang Syekh yang dipilih-Nya yang kita andalkan dapat meluruskan niat-niat kita selama ini dalam berguru kepadanya. Yang perlu kita perbuat adalah mengosongkan niat kita dari keinginan lain, yang kita harapkan adalah menjadi murid yang tulus, yang mendapat curahan air petunjuk Allah yang lahir dari lisan dan Ahwal Syekh. Hal tersebut tidak akan diperoleh melainkan mengosongkan ‘wadah’ yang ada pada diri kita agar makanan jiwa yang masuk kepada kita begitu murni dan menyehatkan.

Inilah sejalan dengan apa yang dikatakan Syekh Abu Nashr Sarraj (Thaus al-Fuqara), yang meriwayatkan perkataan seorang Shufi besar, ‘Awal perjalanan (Bidayah) sama seperti akhir perjalanan (Nihayah). Dan begitu pula akhir perjalanan sama seperti permulaan. Maka barang siapa di akhir perjalanannya meninggalkan sesuatu yang ia lakukan (perjuangkan) seperti awal perjalanannya itu, maka sebenarnya ia telah tertipu’.

Tiada ulasan: