Catatan Popular

Rabu, 5 Disember 2012

PAPARAN TASAWWUF DALAM AL QUR’AN : SHIRATH AL MUSTAQIM JALAN MENUJU ALLAH


Menuju Allah Ta’ala adalah perkara yang luar biasa besar sekaligus pelik. Kita akan mulai menelaahnya dari hal yang paling biasa kita temui: Shalat. Dalam keseharian kita sering melaksanakan shalat baik yang wajib maupun yang sunnah. Shalat itu pada prinsipnya merupakan rangkaian doa dari awal sampai akhir. Jika kita cukup memahami arti seluruh bacaan dan gerakan shalat maka kesemuanya merupakan panjatan doa. Berkaitan dengan doa sebagai permohonan dan pengharapan hamba kepada Tuhannya maka pembahasan kali ini akan difokuskan pada Surah Al-Fatihah yang tentunya juga merupakan doa. Kita akan menyigi permohonan dan pengharapan harian kita tersebut dan menguji apakah ada yang tidak kita pahami.

Salah satu permohonan doa yang paling eksplisit terlihat dalam Al-Fatihah adalah:

“Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Ihdina-sh-Shirath al-Mustaqiim”.

“Kepadamu kami mengabdi dan kepadamu kami mohon pertolongan. Tunjuki kami Shirath al-Mustaqiim (‘jalan yang lurus’)”. (QS Al-Fatihah [1]: 5 – 6).

Terdapat istilah ‘Shirath al-Mustaqiim’ dalam doa tersebut. Tapi apakah itu shirath al-mustaqim? Permohonan tersebut kita lantunkan saat shalat dalam hari-hari kita. Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak kita apakah kita cukup paham akan permintaan dan pengharapan yang kita panjatkan pada-Nya. Allah Ta’ala telah mengingatkan

“... Janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)-nya …” (QS Huud [11] : 46).

Apakah yang diharapkan dari doa “tunjuki hamba, ke Shirath al-Mustaqiim”? Apakah itu Shirath al-Mustaqiim? Apakah serupa dengan jalan bebas-hambatan yang yang lurus; Apakah kelancaran dalam bisnis supaya selalu mulus jalannya; Apakah kerapihan dalam rumah tangga; Apakah jalan bebas-hambatan di surga nanti; Apakah jembatan di neraka supaya kita tidak terperosok ke dalam api neraka; Apakah sebuah jalan yang tajamnya seperti rambut dibelah tujuh? (‘Titian serambut dibelah tujuh’ yang tajam bagaikan pisau silet yang diujarkan para orang tua kita merupakan metafora atau perumpaan yang menggambarkan amat sulitnya sebuah perjalanan). Boleh jadi selama ini permintaan tersebut tidak kita rasakan urgensinya, karena kebuntuan kita memahami persoalannya.

Tentu saja Allah Ta’ala menuntut kedewasaan kita untuk memahami segala apa yang Ia maksud. Mungkin kita perlu merasa malu ketika kita terus meminta sesuatu yang Ia telah tuliskan, sembari terus melanggar kalimat-Nya yang lain—yang menuntut kita memahami pengharapan yang kita panjatkan. Ini semua membuat kita perlu studi lebih jauh apakah Shirath al-Mustaqiim itu.

Ia berfirman: “… Inna Rabbii ‘alaa shirathimmustaqiim”

“Sesungguhnya Rabb-ku di atas Shirath al-Mustaqiim” (QS Huud [11]:56)

Para pencari Allah yang sungguh-sungguh tentunya akan mencari tanda-tanda di mana Ia berada. Dan Allah Ta’ala memberikan kunci pembuka: Ia di atas Shirath al-Mustaqiim. Dengan demikian para pencari harus menemukan jalan tersebut. Seperti apakah ciri-ciri jalan tersebut.

Saat ini kita akan berusaha menjawab gagasan Shirath al-Mustaqiim hingga bagaimana mencarinya. Tanpa mengetahui do’a harian kita tersebut kita pun tidak paham apakah Tuhan menjawab permohonan kita atau tidak. Tanpa mengetahui di mana Shirath al-Mustaqiim berada maka wajar kita ragu-ragu sedang di manakah kita berada: di jalan sempit Shirath al-Mustaqiim-kah, jalan bebas-hambatan Shirath al-Mustaqiim-kah, atau sedang terperangkap di hutan antah berantah. Jika hal ini tidak terjawab sampai usai pengajian, maka boleh jadi pengajian ini gagal.

Singkat kata, tidak ada jalan lain menuju Allah Ta’ala selain melalui Shirath al-Mustaqiim, dan satu-satunya cara menempuhnya adalah dengan pengabdian kepada Allah Ta’ala. Sesuai dengan QS Al-Fatihah [1] : 5), maka pengabdian harus dilakukan terlebih dahulu baru permohonan untuk ditunjuki, diperjalankan, dan dimudahkan dalam perjalanan. Kata ‘mengabdi’ merupakan kata yang kaya makna dan perspektif serta sering dirasa abstrak. Sebagai landasan bertolak, kita dapat menggunakan rumusan seorang waliyullah, Abu Yazid Al-Busthami, yang telah memberikan penjelasan bahwa mengabdi adalah:

Sabar dalam ujian-Nya;
Syukur dengan ni’mat-Nya;

Ridha dengan ketetapan-Nya.



Tiada ulasan: