Catatan Popular

Khamis, 20 Disember 2012

TOKOH SUFI KLASIK HARITS AL MUHASIBI KE 1 : BUKTI KESALIHANNYA



Abu 'Abdullah al-Harits bin Asad al-Bashri al-Muhasibi lahir di Bashrah pada tahun 165 H /781 M. Sewaktu kecil ia pindah ke Baghdad di mana ia kemudian belajar hadits dan teologi, bergaul rapat dengan tokoh-tokoh terkemuka dan menyaksikan peristiwa-peristiwa penting pada masa itu. la meninggal dunia pada tahun 243 H./857 M. Ajaran-ajaran dan tulisan-tulisannya memberikan pengaruh yang kuat dan luas kepada ahli-ahli teori mistik sesudahnya, khususnya kepada Abu Hamid al-Ghazali. Banyak di antara buku-buku dan brosur-brosur yang ditulisnya dapat kita temui hingga kini; yang ter-penting di antaranya adalah Kitab ar-Ri'ayah

Harits al-Muhasibi menerima warisan sebesar tiga puluh ribu dinar dari ayahnya.
"Serahkanlah uang itu kepada negara", kata Muhasibi. "Mengapa?", orang-orang bertanya.


"Menurut sebuah hadits yang shahih", jawab Muhasibi. "Nabi pernah berkata bahwa orang-orang Qadariah adalah orang-orang Majusi di dalam masyarakat kita. Ayahku adalah seorang Qadariah. Nabi pun pernah berkata bahwa seorang Muslim tidak boleh menerima warisan dari seorang Majusi. Bukankah ayahku seorang Majusi dan aku seorang Muslim?".

Perlindungan Allah sangat besar kepadanya. Apabila Muhasibi hendak meraih makanan yang diragukan kehalalannya, urat di belakang jari-jari tangannya akan mengejang dan jari-jarinya tidak dapat digerakkan seperti yang dikehendakinya. Apabila hal seperti itu terjadi, tahulah ia bahwa makanan itu diperoleh dengan tidak wajar.
Junaid meriwayatkan: "Pada suatu hari, Harits mengunjungiku, tampaknya ia sedang lapar. 'Akan kuambilkan makanan untuk paman', kataku. 'Baik sekali', jawab Harits. Aku pun pergi ke gudang mencari makanan. Kudapatkan sisa-sisa makanan yang diantarkan kepada kami dari suatu perayaan perkawinan untuk makan malam. Kuambil makanan itu dan kusuguhkan kepada Harits. Tetapi ketika Harits hendak mengambilnya, tangannya mengejang tak dapat digerakkannya. Sempat ia memasukkan sesuap makanan ke dalam mulutnya, tetapi tidak bisa ditelannya walau bagaimana pun ia paksakan. Untuk beberapa lama dikunyah-kunyahnya makanan itu, kemudian ia pun berdiri, pergi ke luar, meludahkannya di serambi, dan permisi pulang".
Di kemudian hari aku tanyakan kepada Harits, apakah sebenarnya yang telah terjadi. Harits menjawab: 'Waktu itu aku memang merasa lapar, dan ingin menyenangkan hatimu. Namun Allah memberi isyarat khusus kepadaku sehingga makanan yang diragukan kehalalannya tidak dapat kutelan sedang jari-jariku tidak mau me-nyentuhnya. Aku telah berusaha sedapat-dapatnya menelan makanan itu, tetapi percuma. Dari manakah engkau memperoleh makanan itu?'. 'Dari seorang kerabat', jawabku".
"Kemudian aku berkata kepada Harits: Tetapi sekarang ini maukah engkau datang ke rumahku?'. 'Baiklah', jawab Harits. Aku pun pulang bersama Harits. Di rumah kukeluarkan sekerat roti kering dan kami pun segera memakannya. Harits kemudian berkata: 'Makanan yang seperti inilah yang harus disuguhkan kepada para guru sufi' ".

Tiada ulasan: