Catatan Popular

Sabtu, 7 April 2012

TIKA ORANG MENYANGKA MATI

Ketika orang menyangka “mati” merupakan batas antara dua alam, alam kehidupan (alam hayat) dengan alam kematian (alam maut). Yang satu hidup di dunia dan satunya mati dan kembali menjadi tanah, sehingga hubungan dua alam itu terputus untuk selamanya. Orang hidup dan orang mati tidak bisa saling memberi kemanfaatan. Keduanya tidak bisa saling berucap salam, sehingga sholawat dan salam kepada baginda Nabi SAW berarti sia-sia, mendo’akan orang mati yang bukan orang tuanya berarti batal, tawasul dan ziarah kubur dianggap syirik, mengidolakan orang mati berarti kultus individu, maka barangkali seperti itulah pemahaman orang yang hatinya ingkar akan hari akhirat dalam pertanyaan yang mereka lontarkan kepada Tuhan. Allah mengabadikan pertanyaan itu dengan firmanNya:
وَقَالُوا أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَئِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ بَلْ هُمْ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ كَافِرُونَ
“Dan mereka berkata: “Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?”. Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Tuhannya”. (QS. as-Sajadah: 32/10)
Sebagian teman mengira, setelah orang mati, berarti tidak ada lagi hubungan dengan orang hidup,… selesai dan orang mati itu tidak boleh dido’akan kecuali oleh anaknya sendiri yang sholeh. Sedangkan bagi orang lain, sejak itu tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk temannya yang sudah mati, sehingga kematian itu dianggap sebagai batas kemanfaatan hidup. Orang tersebut memahami keyakinan hatinya dari sebuah Hadits Nabi SAW yang sangat masyhur yang artinya: “Apabila anak Adam mati maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal, yaitu shodaqoh jariyah atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang sholeh yang mendo’akan kepadanya”. Barangkali karena mengartikan hadits ini didasari keyakinan yang berlebihan, maka mereka menjadi terjebak kepada pemahaman yang salah.
Di dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW mengatakan “terputus amalnya” (In qotho’a ‘amaluhu) bukan “terputus kemanfaatannya” (In qotho’a Naf’uhu). Kalau seandainya Nabi SAW mengatakan terputus kemanfaatan, maka benar adanya, bahwa orang mati tidak ada hubungan lagi dengan orang hidup, sehingga apapun yang dikerjakan oleh orang hidup untuk orang mati tidak sampai. Rasul SAW mengatakan “terputus amalnya”, yang artinya bahwa anak Adam yang sudah mati terputus amalnya. Sejak itu mereka sudah tidak dapat beribadah lagi, mereka tidak dapat mencari pahala (makanan untuk ruhnya) sebagaimana saat mereka masih hidup di dunia.
Jika orang mau mencermati makna yang terkandung dalam hadits tersebut dengan hati yang selamat, sesungguhnya hikmahnya sebagai berikut; Dengan hadits itu justru Nabi menganjurkan supaya orang hidup mau mendo’akan orang mati, karena sejak jasadnya di kubur, temannya itu tidak dapat lagi mengusahakan pahala untuk dirinya sendiri, kecuali kiriman dari tiga hal tersebut. Itu pun, manakala orang mati itu memiliki ketiganya. Apabila tidak, maka hanya do’a-do’a dari temannya yang masih hidup itulah yang sangat mereka butuhkan untuk menghibur kesepiannya di alam kubur.
Allah memerintahkan agar orang mendo’akan orang lain:
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. at-Taubah: 9/103)
Ayat di atas menyatakan bahwa mendo’akan orang lain, baik kepada orang hidup maupun orang mati pasti sampai, yakni berupa ketenangan batin bagi orang yang dido’akan. Bahkan (sudah dimaklumi) termasuk syarat syahnya shalat Jum’at, khotib diwajibkan memohonkan ampun kepada saudara-saudara seiman, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.
Bahkan pahala orang mati masih dapat berkurang dan bertambah, berkurang karena perbuatan jeleknya diikuti orang lain dan bertambah karena tapak tilas perbuatan baiknya diikuti oleh penerusnya serta do’a yang dipanjatkan orang lain. Bahkan dosa dan pahala itu tidak berhenti bertambah dan berkurang kecuali saat hari kiamat sudah datang. Allah menyatakan hal itu dengan firman-Nya:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiap-tiap jiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. (QS. Ali Imran: 3/185)
*) Anda jangan sekali-kali mencoba mati untuk sekedar membuktikan kebenaran isi tulisan ini, karena yang pasti setelah itu Anda tidak akan kembali lagi di dunia.
Manusia menjalani kehidupan dalam tiga zaman, pertama di ALAM RUH, kedua di ALAM DUNIA dan ketiga ketiga di ALAM AKHIRAT. Di dalam ALAM DUNIA manusia mengalami tiga tahapan kehidupan. Pertama di alam rahim, kedua di alam kehidupan dunia, ketiga di alam barzah. Di ALAM AKHIRAT manusia juga akan mengalami beberapa tahapan kehidupan di antaranya alam mahsyar, alam hisab, alam mizan dan kemudian melintasi shirothol mustaqim baru masuk alam akhirat.
Jadi, alam kehidupan dunia dan alam barzah sesungguhnya berada dalam dimensi zaman yang sama namun dalam dimensi ruang yang berbeda.

Manusia Karakter dan Manusia Personal
Manusia adalah makhluk lahir batin. Makhluk lahir disebut “manusia sebagai personal”, makhluk batin disebut “manusia sebagai karakter”. “Manusia sebagai personal”, diciptakan dari debu, masa hidupnya sangat terbatas. Kehidupan tersebut hanya sebatas usia hidupnya di dunia. Ketika ajal kematian tiba, maka mati itu sedikitpun tidak dapat dimajukan atau dimundurkan. Setelah matinya “manusia sebagai personal” akan kembali menjadi tanah.
Adapun “manusia sebagai karakter” akan hidup untuk selama-lamanya. Sejak dikeluarkan dari sulbi Nabi Adam as. di alam ruh kemudian dilahirkan oleh ibunya di dunia, selanjutnya akan dibentuk oleh lingkungannya menjadi orang mulia atau orang hina. Sejak hidupnya di alam ruh itu “manusia sebagai karakter” akan hidup untuk selamanya, baik di dunia, di alam barzah kemudian di alam akherat.

Semasa hidupnya di dunia, manusia sendiri yang harus merubah karakternya, dengan ilmu dan amal, membentuk karakter itu supaya menjadi karakter yang mulia. Sebagai ash-shiddiq, asy-Syuhada’ atau ash-Sholihin sebagaimana yang telah digambarkan Allah dengan firman-Nya; “Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi kenikmatan dari Allah, yaitu para Nabi, Shiddiqin, para Syuhada’ dan para Sholihin. Dan mereka itulah teman yang baik “.(QS. 4; Ayat 69). Sebutan-sebutan tersebut merupakan gambaran karakter manusia sekaligus menujukkan tingakat derajat seorang hamba disisi Allah Ta’ala.
Ketika ajal kematian di dunia tiba, manusia batin itu akan dihidupkan lagi, sejak di alam barzah sampai di akherat nanti. Manakala ia mati sebagai seorang Syuhada’ atau mati syahid, maka di alam barzah akan hidup merdeka di kebun-kebun surga dengan mendapatkan rizki dari Tuhannya dan di alam akherat dimasukkan ke surga bahagia untuk selama-lamanya. Kalau ia mati sebagai orang kafir, maka kehidupan selanjutnya akan tertahan di penjara untuk selama-lamanya, baik sejak di alam barzah maupun di akherat nantinya.
Yang dimaksud bermonunikasi dengan orang mati adalah melaksanakan “Interaksi Ruhaniah” antara orang hidup dengan orang mati, yakni; “manusia sebagai personal” berkomunikasi dengan “manusia sebagai karakter” di dalam perasaan ruhaniah, bukan di dalam bayangan hayaliyah. Atau dengan istilah lain; Hubungan timbal-balik atau interkoneksi antara al-Mu’minun dengan ash-shiddiq, asy-Syuhada dan ash-Sholihin. Hubungan dua alam yang berbeda itu bisa dilaksanakan, karena ruh orang hidup (manusia sebagai karakter) memang berpotensi bertemu dan berkomunikasi secara ruhaniah dengan ruh orang lain (manusia sebagai karakter), baik dengan sesama orang hidup (di alam mimpi maupun di alam jaga) maupun dengan ruh orang mati (di alam barzah). Allah menyatakan hal itu dengan firmanNya:
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan memegang jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahanlah jiwa yang Dia telah tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”. (QS.az-Zumar: 39/42)
Firman Allah:الله يتوفى الأنفس Allahu Yatawaffal Anfusa, (Allah memegang jiwa-jiwa) artinya; Allah mengumpulkan jiwa-jiwa manusia di dalam satu kondisi, jiwa orang mati dan jiwa orang tidur. Jiwa-jiwa tersebut dimasukkan dalam dimensi yang sama, lalu Allah menahan jiwa orang mati dan melepaskan kembali jiwa orang hidup sampai batas usia yang sudah ditentukan di dunia.
Di saat jiwa orang tidur dan jiwa orang mati itu dikumpulkan dalam satu dimensi, hal tersebut merupakan kesempatan di mana kedua jiwa yang datangnya dari dimensi yang berbeda itu dapat berkomunikasi. Baik sebagai mimpi di saat manusia sedang tidur maupun dikondisikan seperti memasuki dimensi alam mimpi di saat manusia melaksanakan ‘meditasi Islami’ atau mujahadah dan riyadhah di jalan Allah.
Konkritnya, ketika aktifitas jasmani sedang lemah karena orang sedang tidur, maka secara otomatis aktifitas Ruh menjadi kuat, lalu terjadilah pengembaraan ruhaniah. Dengan izin Allah jiwa orang tidur tersebut menembus batas ruang pembatas (hijab). Jiwa itu menembus pembatas dua samudera: “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu – antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing”. (QS: 55; 19-20), yakni menembus pembatas alam malakut.
Di alam malakut itulah jiwa orang tidur dipertemukan dengan ruh orang mati. Selanjutnya terjadilah apa yang dapat terjadi sesuai kehendak Allah. Kejadian tersebut terrekam di alam jasmani dan ketika manusia bangun dari tidurnya, rekaman tersebut dibaca oleh akal. Peristiwa yang dibaca akal itulah yang disebut mimpi, hanya saja mimpi seperti ini masih membutuhkan penta’wilan dari ahlinya.
Bagi orang yang ruhaniahnya telah dihidupkan pada derajat tertentu, sebagai buah mujahadah dan riyadhah yang dijalani, ketika pengembaraan ruhaniah itu telah melewati batas yang telah ditentukan, maka dengan izin Allah seorang hamba akan dibukakan hijab-hijabnya, sehingga dengan matahati (bashiroh) nya dia dapat melihat atau merasakan secara langsung kejadian yang terjadi di alam ruhaniah tersebut. Manakala pengkondisian ini dilakukan melalui pelaksanaan tawasul kepada guru ruhaniah yang sudah wafat, kemudian terjadi arus balik antara dua dzikir yang berbeda, yang satu menyampaikan munajat dan satunya penyampaian syafa’at, maka demikian itulah yang dimaksud dengan hakekat “Interaksi Ruhaniah”, atau berkomunikasi dengan orang mati.
Seperti orang mengirim email misalnya, dari situs yang satu kepada situs yang lain, manakala hal tersebut mampu mentranfer ilmu pengetahuan kepada orang yang dikirimi, maka hal tersebut bisa dikatakan sebagai berkomunikasi.
Jadi, yang dimaksud berkomunikasi dengan orang mati itu tidak selalu dengan suara atau kata-kata yang bisa didengar telingah atau dengan penampakan yang dapat dirasakan penglihatan dalam mimpi, melainkan juga dengan saling mengirim rasa yang dimuati data, sehingga orang yang asalnya tidak faham menjadi faham, tidak mengerti menjadi mengerti. Hati yang asalnya susah menjadi gembira, dada yang asalnya sempit jadi lapang. Semua itu bisa terjadi, tentunya karena ada interaksi, padahal adanya interaksi, karena terkondisi dengan resonansi. Yang pasti, orang-orang yang gugur di jalan Allah, baik di medan perang maupun di atas ranjang, mereka itu dapat melihat kita, namun sayangnya kebanyakan kita tidak dapat merasakan keberadaan mereka:
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak merasakan (kehidupan mereka)”.(QS.al-Baqoroh/15

*) Jika Anda ingin mencoba membuktikan kebenaran teori ini, silahkan….!! Pekerjaan ini tidak terlampau berbahaya, asal prakteknya mendapat bimbingan orang yang berpengalaman. Dengan sedikit modal keberanian, seorang SARKUB sejati dapat membimbing Anda. Jangan sekali-kali Anda mencoba mempraktekkannya sendiri, karena resiku yang paling ringan saja, bisa-bisa untuk sementara waktu Anda harus menjadi penghuni RSJ. (bersambung)

Tiada ulasan: