Catatan Popular

Selasa, 4 September 2018

KisAH OraNG SoLEH ABu QiLaBAH


Abu Ibrahim bercerita:
Suatu ketika, aku berjalan-jalan di padang pasir . Aku tersesat dan tidak berjumpa jalan pulang. Di sana kutemukan sebuah khemah lama dan lusuh… kuperhatikan khemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang tua yang sedang duduk di atas tanah dengan keadaan sangat tenang.

Ternyata keadaan orang tua tersebut kedua-dua tangannya kudung… matanya buta… dan hidup sebatang kara tanpa sanak saudara. Kulihat bibirnya terkomat-kamit mengucapkan beberapa kalimat..
Aku mendekati untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat berikut:

Segala puji bagi ALLAH yang melebihkanku di atas banyak manusia… Segala puji bagi ALLAH yang melebihkanku di atas banyak manusia…
 
Aku hairan  mendengar ucapannya, lalu kuperhatikan keadaannya lebih jauh… ternyata sebahagian besar panca inderanya tak berfungsi… kedua tangannya kudung… matanya buta… dan ia tidak memiliki apa-apa bagi dirinya…

Kuperhatikan keadaannya sambil mencari adakah ia memiliki anak yang menjaganya? atau isteri yang menemaninya? Ternyata,  tak ada seorang pun…

Aku mendekatinya, dan ia merasakan kehadiranku… ia lalu bertanya: “Siapa? siapa?”
“Assalaamu’alaikum… aku seorang yang tersesat dan melihat kemah ini” jawabku, “Tapi kamu sendiri siapa?” tanyaku.

“Mengapa kau tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isterimu, anakmu, dan saudara-maramu? tanyaku..

“Aku seorang yang sakit… semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah meninggal…” Jawabnya.

“Namun kudengar kau mengulang-ulang perkataan: “Segala puji bagi ALLAH yang melebihkanku di atas banyak manusia…!! Demi ALLAH , apa kelebihan yang diberikan-Nya kepadamu, sedangkan engkau buta, faqir, kudung kedua tangannya, dan sebatang kara…?!?” Ucapku.

“Aku akan menceritakannya kepadamu… tapi aku punya satu permintaan kepadamu, mahukah kamu mengabulkannya?” tanyanya.

“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu.” kataku.

“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan ALLAH atasku, akan tetapi segala puji bagi ALLAH yang melebihkanku di atas banyak manusia… bukankah ALLAH memberiku akal sihat, yang dengannya aku boleh memahami dan berfikir…?

“Betul.” jawabku. Lalu katanya, “Berapa banyak orang yang gila?”
“Banyak juga.” jawabku. “Maka segala puji bagi ALLAH yang melebihkanku di atas banyak manusia.” Jawabnya.
“Bukankah ALLAH memberiku pendengaran, yang dengannya aku bisa mendengar adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku?” tanyanya

.
“Iya benar.” Jawabku. “Maka segala puji bagi ALLAH yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Jawabnya.
“Betapa banyak orang yang tuli tak mendengar…?” Katanya.
“Banyak juga…” Jawabku. “Maka segala puji bagi ALLAH yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” katanya.
“Bukankah ALLAH memberiku lisan yang dengannya aku boleh berdzikir dan menjelaskan keinginanku?” tanyanya.

“Iya benar” jawabku. “Lantas berapa banyak orang yg bisu tidak bisa bicara?” tanyanya.
“Wah, banyak itu.” Jawabku. “Maka segala puji bagi ALLAH yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.”  jawabnya.

“Bukankah ALLAH telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya… mengharap pahala dari-Nya… dan bersabar atas musibahku?” tanyanya.

“Ya benar.” Jawabku. Lalu katanya, “Padahal berapa banyak orang yg menyembah berhala, salib, dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia dan akhirat…!!”
“Banyak sekali.” Jawabku. “Maka segala puji bagi ALLAH yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” katanya.

Orang tua itu terus menyebut kenikmatan ALLAH atas dirinya satu-persatu… dan aku semakin takjub dengan kekuatan imannya. Ia begitu mantap keyakinannya dan begitu rela terhadap pemberian ALLAH.

Betapa banyak manusia selain beliau, yang musibahnya tidak sampai seperempat dari musibah beliau. Mereka ada yang lumpuh, ada yang kehilangan penglihatan dan pendengaran, ada juga yang kehilangan anggota tubuhnya… tapi bila dibandingkan dengan orang ini, maka mereka tergolong ‘sihat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh, dan menangis mengenangkan nasib.  Mereka amat tidak sabar dan tipis keimanannya terhadap balasan ALLAH atas musibah yang menimpa mereka, padahal pahala ujian tersebut sangat besar.

Aku pun menyelami fikiranku makin jauh… hingga akhirnya khayalanku terputus saat orang tua itu mengatakan: “Hmmm, bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang… mahukah kamu mengabulkannya?”

“Baiklah.. apa permintaanmu?” Kataku.
Maka ia menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan tangis.. ia berkata: “Tidak ada lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan seorang remaja berumur 14 tahun. Dia lah yang menghantar kepadaku makan dan minum, serta mewudhukan aku dan mengurusi segala keperluanku.  Sejak malam tadi ia keluar mencari makanan untukku dan belum kembali hingga kini. Aku tak tahu apakah ia masih hidup dan diharapkan kepulangannya, ataukah telah tiada dan kulupakan saja… dan kamu tahu sendiri keadaanku yang tua bangka dan buta, yang tidak mampu mencarinya…”

Maka kutanya ciri-ciri anak tersebut dan ia menyebutkannya, maka aku berjanji akan mencarikan remaja tersebut untuknya.

Aku pun meninggalkannya dan tak tahu bagaimana cara untuk mencari remaja tersebut… aku tak tahu harus memulai dari arah mana.

Namun tatkala aku berjalan dan bertanya-tanya kepada orang sekitar tentang remaja tersebut, nampaklah olehku dari kejauhan sebuah bukit kecil yang tak jauh letaknya dari kemah orang tua itu.

Di atas bukit tersebut ada sekawanan burung gagak yang sedang mengerumuni sesuatu… maka segeralah terdetik di benakku bahawa burung tersebut tidaklah berkerumun kecuali pada bangkai, atau sisa makanan.

Aku pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan gagak tadi hingga mereka berhamburan terbang.
Tatkala kudatangi lokasi tersebut, ternyata remaja tersebut telah wafat dengan badan terpotong-potong. Rupa-rupanya seekor serigala telah menerkamnya dan memakan sebahagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk burung-burung.

Aku lebih sedih memikirkan nasib or tang tua dari pada nasib remaja yang telah terkorban itu.

Aku pun turun dari bukit… dan melangkahkan kakiku dengan berat menahan kesedihan yang mendalam.
Haruskah kutinggalkan orang tua itu dan  menghadapi nasibnya sendirian… ataukah kudatangi dia dan ku khabarkan nasib yang menimpa anaknya itu?

Aku berjalan menuju ke khemah orang tua itu. Aku bingung bagaimana cara untuk menerangkan keadaan anaknya?

Lalu terlintaslah di hatiku akan kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalaam. Maka aku temui orang tua itu dan ia masih dalam keadaan yang sama seperti ketika kutinggalkan. Ku ucapkan salam kepadanya, dan orang tua yang malang itu menyatakan rasa rindunya dan teramat ingin melihat anaknya. Dia mendahuluiku dengan bertanya: “Di mana anaknya?”

Namun kataku, “jawablah terlebih dahulu… siapakah yang lebih dicintai ALLAH  engkau atau Ayyub ‘alaihissalaam?”
“Tentu Ayyub ‘alaihissalaam lebih dicintai ALLAH” jawabnya.
“Lantas siapakah di antara kalian yang lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali.
“Tentu Ayyub…” jawabnya.

“Kalau begitu, berharaplah pahala dari ALLAH kerana aku mendapati anakmu telah terkorban di lereng gunung… ia diterkam oleh serigala dan dikoyak-koyak tubuhnya…” jawabku.

Maka orang tua itu pun tersedak-sedak seraya berkata, “Laa ilaaha illallaaah…” dan aku berusaha meringankan musibahnya dan menyabarkannya… namun sedakannya semakin keras hingga aku mulai mengajarkan kalimat syahadat kepadanya… hingga akhirnya dia meninggal dunia.

Ia wafat di hadapanku, lalu kututupi jasadnya dengan selimut yang ada di bawahnya… lalu aku keluar untuk mencari orang yang boleh membantuku mengurus jenazahnya.

Maka kudapati ada tiga orang yang mengendarai unta mereka… nampaknya mereka adalah para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka datang menghampiriku.

Kukatakan, “Mahukah kalian menerima pahala yang ALLAH tawarkan kepada kalian? Di sini ada seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya siapa-siapa yang mengurusinya… mahukah kalian menolongku memandikan, mengafani dan menguburkannya?”

“Ya..” Jawab mereka.

Mereka pun masuk ke dalam khemah menghampiri mayat orang tua itu untuk memindahkannya. Namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka saling berteriak, “Abu Qilabah… Abu Qilabah…!!”

Ternyata Abu Qilabah adalah salah seorang ulama mereka, akan tetapi waktu silih berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri dari masyarakat dalam sebuah khemah usang. Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan menguburkannya, kemudian aku kembali bersama mereka ke Madinah.

Malamnya aku bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah. Beliau mengenakan gamis putih dengan badan yang sempurna… ia berjalan-jalan di tanah yang hijau… maka aku bertanya kepadanya:

“Hai Abu Qilabah… apa yang menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”

Maka jawabnya: “ALLAH telah memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di dalamnya:
Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu… maka (inilah Syurga) sebaik-baik tempat kembali.

Tiada ulasan: