Catatan Popular

Khamis, 15 Ogos 2024

Nabi Musa AS dan Ketika Bani Israil Dikutuk Menjadi Kera

Allah SWT bersama orang-orang yang taat dan bertakwa. 

Setelah Nabi Musa AS mengabulkan permohonan kaumnya (Bani Israil) agar Sabtu dijadikan hari spesial, aktiviti sosial pada hari itu selalu sunyi dan sepi.

Seluruh kaum Bani Israil berada di rumahnya masing-masing, mereka khusyuk menjalankan ibadah, seperti yang diajarkan Nabi Musa pada saat itu. 

Persetujuan itu setelah Nabi Musa menerima wahyu, seperti ditulis dalam Alquran surah Shaad ayat ke-20. "Dan (Kami tundukan pula) burung- burung dalam keadaan berkumpul. Masing- masingnya amat taat kepada Allah SWT."

Hanya sedikit di antara kaum itu yang berada di luar melakukan aktivitasnya, tapi bukan berdagang, melaut, atau bercocok tanam, melainkan mereka saling bertemu sanak famili dan membicarakan agenda esok hari setelah Sabtu.

Sejak dahulu Allah SWT telah menetapkan satu hari dalam sepekan yang khusus diwajibkan menjalankan ibadah secara berjamaah dan menerima tuntunan-tuntunan Allah SWT dengan perantara nabi dan rasul yang diutus ke kaum masing-masing. Akan tetapi, entah mengapa, pada zaman Nabi Musa, Bani Israil memohon agar hari itu dijadikan pada Sabtu saja.

Keinginan mereka akhirnya dikabulkan Allah setelah turun ayat ke-20 dalam surah Shaad. 

Dengan begitu, terikatlah menurut syariat Nabi Musa bahwa Sabtu itu adalah hari istimewa. 

Khusus pada Sabtu itu, setiap orang tidak boleh bekerja mencari nafkah layaknya rutinitas sehari- hari. Sabtu adalah hari yang memang benar-benar diistimewakan untuk menyembah Allah, bersyukur dan untuk sebagian waktu menerima pelajaran agama Allah yang disampaikan Nabi Musa.

Tidak adanya aktiviti ekonomi seperti berdagang, melaut, dan bertani untuk membiayai kehidupan sehari-hari itu sudah menjadi syariat dan tradisi kaum Bani Israil sejak zaman Nabi Musa sampai pada zaman Nabi Daud.

Syariat dan tradisi Bani Israil itu berpengaruh pada proses ekosistem hewani yang ada di perairan luas. Ekosistem di Laut Merah, seperti ikan, setiap Sabtu, segala jenis ikan bukan main banyaknya, ikan besar dan kecil bermunculan ke permukaan. 

Anehnya, ikan-ikan terse but pada hari selain Sabtu tidak ada seekor pun yang muncul sehingga membuat jenuh sebagian kaum lain ketika melaut tidak mendapatkan ikan.

Tradisi larangan mela ku kan aktivitas selain ibadah dan bela jar itu berlanjut dari waktu ke waktu, dan semakin banyak segala jenis ikan-ikan besar dan kecil menyembul ke permu?

kaan Laut Merah. Ikan-ikan itu tampak tidak takut meski berada di depan manusia. Ikan-ikan itu seakan tahu, meski berada di dekat manusia, dia tidak akan dimangsa.

Kumpulan ikan yang begitu banyaknya berada di perairan dangkal di Laut Merah, memunculkan keinginan dan nafsu serakah Bani Israil yang tinggal di dekat Laut Merah untuk menangkap dan segera memakannya.

Perundingan Syahdan, fenomena tersebut menggiurkan sekelompok Bani Israil yang tidak taat. Mereka mencoba mengompromikan larangan tersebut dan melakukan perundingan bagaimana supaya sepakat menangkap ikan pada Sabtu. Mereka kesal, karena hanya pada hari Sabtu saja ikan-ikan itu bisa ditangkap, sementara hari-hari biasa ikan itu sulit ditangkap meski sudah menjelajahi Laut Merah sampai ke tengah.

"Kita pasti akan mendapatkan ikan banyak dengan cara yang gampang jika menangkapnya pada hari Sabtu,\" kata salah seorang kaum Bani Israil. 

Perundingan itu tak menuai kesepakatan. Muncul perbedaan. Ada yang sepakat dan ada yang tidak. Bagi kelompok yang tidak sepakat, mereka berpendapat, "Bukankan hari itu (Sabtu) dilarang melakukan aktivitas selain beribadah kepada Tuhannya Nabi Daud?"

Karena yang menolak sedikit, sementara yang setuju banyak, akhirnya pada hari Sabtu itu sebagian kaum Bani Israil menangkap ikan di Laut Merah. Benar bahwa hasil tangkapan mereka jauh lebih banyak dari hasil mereka pada hari-hari lain. 

Alangkah senang hati mereka mendapatkan ide menangkap ikan banyak.

Dengan hasil keputusan tadi, Sabtu bukan lagi untuk fokus menyembah Allah, bersyukur dan belajar ilmu agama, melainkan digunakan sebagai pesta pora karena mendapat tangkapan ikan banyak di laut. 

Sebagian kaum Bani Israil yang menolak (beriman) segera memberikan peringatan dan nasihat, tapi arahan itu tidak dihiraukan oleh mereka yang ingkar. Karena ini sudah menjadi tradisi turun- temurun, akhirnya kaum yang beriman itu berjaga- jaga di Laut Merah. Tujuannya agar tidak ada satu orang pun dari kaum manapun yang menangkap ikan pada Sabtu.

Penjagaan itu mendapat reaksi keras dari kaum yang setuju Sabtu digunakan untuk menangkap ikan. Adu mulut antara kaum Bani Israil yang taat dan tidak mulai terjadi dan hampir bentrok. 

Golongan yang ingkar berkata, "Kampung ini bukan kepunyaan kalian saja. Kami juga berhak atas kampung ini," katanya.

Karena kedua belah pihak sudah lelah menyampaikan pendapatnya akhirnya diputuskanlah kesepakatan, yakni membagi dua daerah tersebut. 

Dan, kaum beriman setuju. Persetujuan itu didasari keinginan agar tidak ada lagi perpecahan karena kaum satu dan kaum lainnya berbeda pendapat tentang tradisi dilarang melaut ketika Sabtu.

"Baiklah kita bagi dua saja daerah ini. Sehingga, kami merdeka berbuat apa saja yang kami inginkan, di kampung bagian kami, dan kalian juga merdeka pula berbuat apa yang kalian kehendaki atas hak kalian,\" katanya.

Setelah diputuskan kesepakatan itu, Sabtu menjadi waktu berpesta bagi kaum yang tidak beriman. Mereka tidak lagi menggunakan Sabtu untuk menyembah Allah SWT. Sementara, kaum yang beriman tetap mengingatkan dan menyeru keluarga dan kerabat dekatnya agar tidak meniru melakukan pesta pada hari tersebut.

Karena pelanggaran ini terj adi pada zaman Nabi Daud, akhirnya Nabi Daud berusaha keras mem peringatkan kaum yang melaut pada Sabtu. Nabi Daud juga memperingatkan kaum Bani Israil yang melaut agar tidak lagi berpesta, hanya karena mendapatkan tangkapan ikan ba nyak. 

Namun, usaha itu tidak berhasil sehingga ma sa lah ini dia serahkan kepada Allah SWT, dengan harapan agar Allah SWT saja yang mem peringatkan. 

Kemudian, turunlah ayat ke-18 surah Shaad. "Sesungguhnya kami telah menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi.”

Orang-orang tidak mau mengikuti nasihat Nabi Daud dan semakin ingkar. Mereka tamak dalam kehidupannya, mereka mengerjakan segala macam dosa dalam hidupnya. Tabiat mereka berubah menjadi seperti kera atau beruk, tidak tahu halal dan haram, tidak kenal pematang atau pagar.

Akhirnya, bukan hanya tabiatnya yang berubah jelek, tetapi rupa dan bentuk merek juga jadi memburuk. Tabiat yang kasar dan dosa yang terlalu banyak telah meng ubah bentuk dan rupa mereka, menyerupai kera atau lebih buruk.

Pada satu hari terjadilah gempa yang begitu dasyat sehingga membuat desa itu luluh lantak. 

Gempa itu melenyapkan semua golongan ingkar yang sedang melakukan aktivitas pada Sabtu. Sementara, golongan yang beriman selamat. Mereka lah orang- orang yang taat terhadap perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

KISAH RASULULLAH, RAJA HABIB DAN UNTA

Abu Jahal dan Abu Lahab selalu memikirkan bagaimanakah cara untuk membunuh Nabi Muhammad saw. Tiba-tiba Abu Jahal teringat kepada seorang Raja Syam yang bernama Raja Habib Bin Malik.

Mereka pun mula merancang untuk membunuh Nabi saw melalui Raja Habib yang terkenal bengis dan zalim itu.

Mereka pun menghantar sepucuk surat jemputan kepada Raja Habib , mengundangnya ke Mekah.

Raja Habib pun bersetuju setelah dijanjikan sambutan dan layanan istimewa dari pembesar Quraisy itu lalu berangkat ke Mekah dengan seribu orang pengawal. Abu Jahal dan semua pembesar Quraisy menyambut kedatangan Raja Habib dengan penuh rasa gembira dan mereka pun memberikan pelbagai jenis hadiah yang mahal kepada Raja Habib. Raja Habib pun ditempatkan di Abthah.

Selepas itu Abu Jahal pun memulakan rancangan jahatnya iaitu mula mengadu masalah yang dihadapi oleh penduduk Mekah dan memohon jasa baik Raja Habib untuk membantu mereka.

Abu Jahal pun mengadu bahawa Nabi Muhammad saw telah mengaku menjadi pesuruh Allah dan membawa satu agama baru dan kononnya telah menghina Tuhan-Tuhan yang disembah mereka sejak nenek moyang mereka lagi. Mereka mengadu bahawa Nabi Muhammad saw akan membawa perpecahan dan kekacauan di Mekah jika terus dibiarkan begitu sahaja.

Raja Habib pun memerintahkan supaya Nabi Muhammad saw datang mengadapnya. Pada mulanya pemergian Nabi saw dibimbangi oleh Saiyidina Abu Bakar dan isterinya Saiyidatina Khadijah kerana Raja Habib memang terkenal sebagai seorang Raja yang zalim, namun setelah Nabi saw meyakinkan mereka bahawa Allah akan melindunginya, maka mereka pun berangkat mengadap Raja Habib. Nabi Muhammad saw telah memakai jubah yang berwarna merah dan memakai serban yang berwarna hitam.

Setelah terpandang wajah Nabi saw yang mulia, hati Raja Habib yang terkenal dengan sikap yang bengis itu tiba-tiba menjadi lembut, lalu mempersilakan Nabi saw duduk di sebelahnya.


Raja Habib pun mula bertanya:
“Wahai Muhammad, benarkah seperti apa yang telah saya dengar bahawa kamu telah mengaku menjadi pesuruh Tuhan?”.
Jawab Nabi saw “memang benar”.


Raja Habib bertanya lagi : “Siapa Tuhan kamu?” . ”Allah” jawab Nabi saw.
“Sekiranya kamu seorang Nabi, sudah tentu kamu juga mempunyai mukjizat seperti Nabi-Nabi yang lain sebelum kamu” kata Raja Habib. Lalu Nabi saw pun bertanya, “Apa yang tuan mahukan?”

“Saya mahu melihat perkara pelik yang belum pernah terjadi, sekiranya kamu seorang Nabi sudah tentu kamu mampu melakukannya”. Lalu Nabi saw menjawab: “Dengan izin Allah, pasti terjadi”


“Saya mahu matahari terbenam sebelum waktunya, kemudian bulan terbit lalu turun ke bumi. Bulan itu terbelah dua lalu masuk ke dalam pakaian kamu. Bulan itu akan keluar dari lengan baju kanan dan baju kiri kamu. Kemudian bercantum semula menjadi bulat di atas kepala kamu dan bulan itu mengucapkan syahadah membenarkan kenabian kamu kemudian kembali ke tempat asalnya di angkasa. Bulan itu terbenam. Kemudian matahari terbit kembali dan keadaan seperti biasa.” Kata Raja Habib.

“Sekiranya Muhammad tidak boleh melakukannya, tuan bawa dia balik ke Syam ataupun bunuh saja” Kata Abu Lahab dengan penuh perasaan jahat bercampur gembira kerana beliau yakin Nabi saw tidak mampu melakukan perkara yang rumit itu.
“Sekiranya berlaku seperti yang tuan mahukan, apakah tuan akan beriman kepada Allah ?” Tanya Nabi saw kepada Raja Habib pula.
“Ya, barulah saya percaya kamu adalah pesuruh Allah”.jawab Raja Habib.

Nabi Muhammad saw pun mendaki Bukit Kubaisy yang tidak jauh dari Kaabah lalu berdoa kepada Allah swt .

Malaikat Jibril pun datang membawa Firman Allah lalu memberitahu Nabi saw : “Wahai kekasihKu, janganlah engkau takut dan janganlah engkau bersedih hati kerana Aku bersamamu di mana pun engkau berada. Aku sudah mengetahui sejak mula apa yang diminta oleh Habib. Pergilah kepada mereka , tunjukkan ayatKu. Bentangkan secara terang dan tegas risalahmu. Ketahuilah, yang Aku sudah menempatkan matahari, bulan, malam dan siang di bawah perintahmu. Dan ketahuilah yang anak perempuan Habib akan Aku sembuhkan daripada penyakit lumpuh dan kedua-dua matanya yang buta sudah pulih semula”

Tiba-tiba berlakulah peristiwa ajaib yang belum pernah dilihat oleh manusia dan penduduk Mekah sebelum itu. Matahari dengan perlahan bergerak ke ufuk barat lalu terbenam. Cahaya siang bertukar menjadi malam. Selepas itu bulan pun terbit lalu terbelah dua. Bulan yang terbelah itu pun turun lalu masuk ke dalam jubah Nabi Muhammad saw. Kemudian bulan yang terbelah itu pun keluar dari lengan baju kanan dan kiri Nabi Muhammad saw dan bercantum semula di atas kepala Nabi saw sambil mengucap dua kalimah syahadah, iaitu mengaku “Tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu pesuruh Allah”. Kemudian bulan pun bergerak ke tempat asalnya lalu terbenam di ufuk barat. Matahari pun terbit semula lalu suasana menjadi seperti sediakala. Raja Habib dan orang ramai kagum dengan kejadian itu.

Saiyidina Abu Bakar bertakbir apabila menyaksikan mukjizat Rasulullah saw itu. Selepas itu Nabi saw pun turun dari Bukit Kubaisy lalu menemui Raja Habib.


“Ketahuilah wahai Raja Habib , anak perempuan kamu yang sakit telah sembuh dari penyakitnya dan matanya yang buta telah dapat melihat semula” Kata Nabi Muhammad saw kepada Raja Habib.


Raja Habib pun terkejut kerana tidak ada sesiapa pun yang tahu penyakit anaknya itu iaitu lumpuh dan matanya buta kecuali orang-orang istana dan mereka yang dekat dengannya sahaja. Dia merasa gembira lalu berkata :

“Wahai seluruh penduduk Kota Mekah, tidak ada kekafiran sesudah beriman. Ketahui yang saya percaya tidak ada Tuhan kecuali Allah dan mengaku Muhammad adalah hamba dan pesuruhNya”. Selepas itu Raja Habib dan seribu orang pengawalnya telah memeluk Islam, namun Abu Jahal dan Abu Lahab masih terpinga-pinga, marah dan masih tidak mendapat hidayah!

Raja Habib pun terus pulang ke Syam bersama pengawalnya tanpa menghiraukan Abu Jahal dan Abu Lahab. Setibanya di Syam, anak gadisnya yang lumpuh dan buta sedang berdiri menunggu di hadapan istana sambil mengucapkan kalimah syahadah. Raja Habib pun bertanya dari manakah anaknya itu belajar mengucap itu, lalu anaknya menjawab :
“Saya bermimpi di datangi oleh seorang pemuda yang mengatakan bahawa ayah telah memeluk Islam dan saya akan sembuh daripada penyakit bila mengucap kalimah syahadah.

Maka saya ucapkannya di dalam mimpi. Bila bangun dari tidur, saya dapati penyakit saya sudah sembuh dan mata saya sudah dapat melihat semula” jawab anak gadisnya itu.

Raja Habib pun bersujud tanda kesyukuran kepada Allah swt.

Sebagai tanda ucapan terima kasih kepada Nabi Muhammad saw, Raja Habib pun mengirimkan hadiah berupa emas, intan dan permata yang banyak sehingga perlu dibawa oleh 5 ekor unta!

Bila utusan Raja Habib sampai ke Mekah, maka Abu Jahal pun mendakwa hadiah itu adalah untuk dirinya, tetapi telah dinafikan oleh pengawal utusan Raja Habib bahawa semua hadiah itu adalah untuk Nabi Muhammad saw. Suasana menjadi kecoh dan menarik perhatian ramai bila Abu Jahal menuduh pengawal utusan itu sudah terkena sihir Muhammad.

Bila mengetahui hal tersebut Nabi Muhammad saw pun pergi ke tempat itu. Abu Jahal yang tamak haloba itu masih mendakwa hadiah itu adalah untuk dirinya dan pembesar Quraisy yang lain.

Abu Sufian bertanya orang ramai siapakah yang boleh menjadi pengadil dalam hal itu, lalu Nabi saw pun mencadangkan agar bertanya kepada unta yang membawa hadiah itu sendiri.

Abu Jahal pun bersetuju, maka tempoh sehari diberikan lalu Abu Jahal pun balik menyembah dan memohon pertolongan dari berhala al-Latta dan al-Uzza bagi mendapatkan harta dari Raja Habib itu.

Bila tiba hari pengadilan, maka bertanyalah Abu Jahal kepada unta itu :
“Wahai unta, atas nama tuhan-tuhanku, al-Latta , al-Uzza dan al-Manata, beritahu kami untuk siapakah hadiah yang kamu bawa ini?” .

Unta itu senyap dan tidak menjawab walaupun telah ditanya oleh Abu Jahal berulang-ulang kali sehingga beliau sendiri naik jemu dan penat.

Maka tibalah giliran Nabi Muhammad saw bertanya kepada unta itu pula :


“Dengan izin Allah,maka berkata-katalah wahai unta, untuk siapakah barang-barang yang kamu bawa ini?”

Lalu salah seekor dari unta itu pun menjawab “Kami membawa barang-barang ini sebagai hadiah daripada Raja Habib bin Malik untuk Nabi Muhammad saw”.

Selepas mendengar kata-kata unta itu, orang ramai sekali lagi terpegun dan Abu Jahal pun terpaksa mengalah.

Selepas itu Nabi saw menyuruh Abu bakar dan sahabat-sahabatnya membawa kesemua barang itu naik ke atas Bukit Kubaisy. Selepas itu Nabi saw pun berdoa kepada Allah swt agar semua emas, permata, intan berlian itu menjadi tanah. Dengan izin Allah, dalam sekelip mata semua barang berharga itu bertukar menjadi tanah!

Itulah serba sedikit kisah seorang Raja yang mendapat hidayah, walaupun Baginda berada jauh di Syam, tidak mempunyai pertalian keluarga dengan Nabi saw , namun selepas ditunjukkan bukti mukjizat Nabi Muhammad saw , baginda terus beriman kepada Allah swt dan Rasulnya, sedangkan Abu Jahal, Abu Lahab dan beberapa orang pembesar Mekah masih tertutup pintu hatinya untuk Islam dan beriman kepada Allah swt walaupun telah diperlihatkan berpuluh-puluh kali mukjizat oleh Nabi Muhammad saw. Itulah nikmat iman dan hidayah…. Semuanya anugerah Tuhan…ianya tidak boleh dijual beli, tidak boleh dipaksa dan tidak boleh ditiru oleh sesiapa, kecuali kepada mereka yang dikehendaki olehNya jua.

Kisah Unta Yang Mengadu Kepada Rasulullah Saw

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut : Dari Ya’la bin Murrah Ats Tsaqafy, ia berkata : “Ketika kami bersama Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan kami melewati seekor unta yang sedang diberi minum tatkala unta tersebut melihat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam ia mengeluh dan meletakkan lehernya

Ia merintih dan air matanya jatuh berderai kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menghampirinya kemudian beliau mengusap belakang telinga unta itu, seketika unta itu pun tenang dan diam kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertanya, siapakah pemilik unta ini, siapakah pemilik unta ini seketika pemiliknya pun bergegas datang ternyata pemilik unta itu ialah seorang pemuda Anshar, unta itu adalah milikku, ya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kata pemuda itu

Rasulullah Saw berkata, Tidakkah engkau takut kepada Allah karena unta yang Allah peruntukkan kepadamu ini ? ketahuilah, ia telah mengadukan nasibnya kepadaku, bahwa engkau membuatnya kelaparan dan kelelahan

Subhanallah atas kehendak Allah SWT, unta itu mengadu kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, bahwa tuannya tidak memberinya makan yang cukup sementara tenaganya diperas habis dengan pekerjaan yang sangat berat, kisah ini bersumber dari hadits nomor 2186 yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Kitab Jihad

Akhirul kalam, semoga kisah ini menjadi pengingat kepada kita semua agar kita memperlakukan setiap makhluk ciptaan Allah SWT dengan baik, dan kita tidak boleh berbuat dzalim dalam bentuk sekecil apapapun bahkan kepada hewan sekalipun dan tebarkanlah kasih sayang kepada setiap makhluk ciptaan Allah SWT

Semoga Allah SWT, memberikan kepada kita semua taufiq sehingga kita semua digolongkan ke dalam hamba-hamba-Nya yang sholeh.

 

Aamiin       

Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Semut Bernama Jirsan

Dikisahkan, pada suatu hari Nabi Sulaiman Alaihissalam melakukan perjalanan ke daerah Thaif. Dalam perjalanan itu, beliau membawa pasukan yang sangat banyak.

Pasukan itu terdiri atas manusia, jin, dan burung-burung. Para jin dan manusia berjalan bersama Nabi Sulaiman Alaihissalam. Sedangkan, burung-burung terbang menaungi mereka dengan sayapnya.

Nabi Sulaiman Alaihissalam juga mengatur pasukannya. Di bagian depan bertugas menjaga agar tidak ada yang melewati batas yang telah ditentukan.

Pasukan di belakang bertugas menjaga agar tak ada seorang pun anggota pasukan yang ketinggalan. Di tengah perjalanan, Nabi Sulaiman Alaihissalam dan pasukannya memasuki sebuah lembah.

Di lembah itu ada banyak sarang semut. Melihat banyaknya pasukan yang dibawa Nabi Sulaiman Alaihissalam, para semut pun ketakutan. Mereka khawatir terinjak-injak pasukan besar itu.

Dalam kisah, nama Ratu Semut itu bernama Jirsan. Jirsan adalah Ratu Semut yang berasal dari Bani Syishibban. Berkatalah Ratu Semut kepada rakyatnya,

”Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (QS an-Naml: 18). Ini mengandung makna sayangnya ratu semut agar rakyatnya tidak menderita. Dia rela menderita asal rakyatnya senang.

Nabi Sulaiman Alaihissalam kemudian meminta pasukannya untuk berhenti. Para pasukan yang tak mengerti maksudnya menjadi kebingungan dan bertanya-tanya.

Nabi Sulaiman Alaihissalam menjelaskan apa yang beliau dengar dari Ratu Semut dan rakyatnya. Akhirnya, mereka mencari jalan lain untuk sampai ke tujuan agar tidak menyakiti para semut.

Kisah ini diambil dari kitab Qashasul Anbiya’ karya Ibnu Katsir. Walaupun begitu, ia tidak pernah lupa bahwa segala kekayaan, ilmu, dan keistimewaan yang beliau miliki berasal dari Allah SWT. Nabi Sulaiman Alaihissalam tidak pernah lupa mensyukuri apa yang telah Allah SWT berikan kepadanya.

Beliau bahkan berdoa agar Allah SWT terus melimpahkan rasa syukur kepadanya. Nabi Sulaiman Alaihissalam dapat memahami rasa takut dan khawatir yang dialami para semut. Karenanya, ia kemudian mengajak pasukannya untuk mencari jalan lain.

Para semut pun akhirnya selamat. Karena kebijaksanaannya itu, para semut pun kagum dan hormat kepada Nabi Sulaiman Alaihissalam.

Kisah tentang binatang di dalam Alquran itu banyak. Di antaranya dalam surat Al Baqarah (sapi betina). Al Ankabut (Laba-laba), An Nahl (Lebah), An Naml (semut). Ada juga (Az-Zariyat) kuda perang, unta, lalat, burung, anjing, keledai, katak, kutu, babi, serigala, gajah, nyamuk, paus, dan ular. Dibalik semua itu ada hikmah dan pelajaran untuk kita sebagai orang yang beriman.

Pelajaran penting dari kisah Nabi Sulaiman Alaihissalam dan Ratu Semut ini adalah jauhi kesombongan karena kesombongan akan menjauhkan dari kebijakan.

Nabi Sulaiman Alaihissalam dan Ratu Semut yang sangat sayang kepada rakyatnya menjadi pelajaran dan inspirasi kepada para penguasa untuk lebih mengedepankan kepentingan rakyatnya.

Kisah Wafatnya Nabi Sulaiman, Baru Terungkap Saat Rayap Beraksi

Jin dan manusia tidak ada yang menyadarinya 

Jin dan manusia baru menyadari bahwa Nabi Sulaiman AS telah meninggal saat rayap telah beraksi. Ditegaskan oleh Allah SWT, bahwa jin tidak mengetahui perihal yang ghaib.

Berpijak pada catatan sejarah, Nabi Sulaiman AS meninggal di Baitul Maqdis pada tahun 923 sebelum Masehi. 

Menurut Ishak ibn Basyar dari Muhammad ibn Ishaq, dari az-Zuhri dan yang lainnya, Nabi Sulaiman meninggal di usia 52 tahun (Qashash al-Anbiya’, hlm.335)”.

Setahun atau dua tahun sebelum wafatnya, Nabi Sulaiman sering berada dalam Mihrabnya seorang diri sedang beribadah. Pada hari meninggal itu Sulaiman masuk ke dalam Mihrabnya kemudian mendirikan shalat. 

Setelah itu ia duduk dengan bertumpu pada tongkatnya. Kemudian saat itulah maut datang menjemputnya. Tidak ada seorang pun yang tahu, termasuk bangsa jin bahwa Sulaiman telah meninggal dunia. 

Allah SWT berfirman: 

“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu, kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan.” (Q.S. Saba’ 34: 14)

Bangsa jin terus saja bekerja sebab yakin Sulaiman tetap mengawasi pekerjaan mereka, padahal Nabi Sulaiman pada saat itu telah meninggal dunia. Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa jin tidak mengetahui yang ghaib.

 

Seandainya jin mengetahui yang ghaib tentu mereka tahu bahwa Sulaiman sudah meninggal dunia. Mereka baru tahu Sulaiman meninggal dunia setelah rayap memakan tongkat Nabi Sulaiman hingga patah dan membuat Nabi Sulaiman terjatuh.

Demikianlah kisah Nabi Sulaiman AS, seorang Nabi dan Rasul dan sekaligus Raja yang adil dan bijaksana, tak hanya sukses memerintah manusia saja, ia juga memerintah jin dan binatang. 

Selain itu, ia termasuk salah satu Nabi yang diberikan kekayaan dan kekuasaan luar biasa dari Allah SWT.

ASAL USUL KEJADIAN BABI, TIKUS, SINGA DAN KUCING DALAM KISAH BAHTERA NABI NUH

Riwayat menyatakan bahawa ketika Allah Azzawajalla hendak menurunkan Bencana Banjir Besar kepada Kaum Nabi Nuh a.s. yang ingkar, maka Allah Azzawajalla memerintahkan agar Nabi Nuh a.s membina sebuah Bahtera Besar bagi mengangkut Pengikut-pengikut-Nya serta bagi menyelamatkan Haiwan-haiwan yang telah sedia wujud pada zaman itu sebelum Bencana tersebut diturunkan.


Maka Allah Azzawajalla memerintahkan Nabi Nuh a.s. agar membawa setiap dari Haiwan itu berpasang-pasangan.
Tatkala bermulanya Azab Banjir Besar itu diturunkan, Iblis laknatullah juga turut menyertai Nabi Nuh a.s yang bagi tujuan-Nya adalah untuk menganggu gugat pelayaran Bahtera itu kelak.


Dan setelah semuanya dapat dikumpulkan masuk ke dalam Bahtera tersebut, maka bermulalah pelayaran Bahtera Nabi Nuh a.s mengelilingi Dunia.


Maka disepanjang pelayaran itu terjadilah beberapa permasalahan serta keajaiban.



KEJADIAN BABI:

Setelah sekian lama berada diperairan Nabi Nuh a.s mula berasa gusar kerana Najis Haiwan dan Manusia telah mula memenuhi Bahtera sehingga menyebabkan timbulnya rasa kurang senang daripada Pengikut-pengikut-Nya.


Maka atas disebabkan itu Nabi Nuh a.s pun berdoa serta memohon pertolongan daripada Allah Azzawajalla bagi menyelesaikan permasalahan tersebut:


"Ya Tuhan-Ku, Bahtera-Ku telah penuh dengan Najis,
maka berilah petunjuk agar dapat Aku menyelesaikan permasalahan ini?".

Allah Azzawajalla lalu berfirman:


"Wahai Nuh, usapilah Gajah itu, nescaya keluar dari-Nya Haiwan yang akan membersihkan Najis-najis ini".

Setelah itu Nabi Nuh a.s. pun mengusapi Kepala Gajah tersebut sepertimana yang telah diperintahkan.
Maka kemudian melalui Kepala Gajah tersebut telah berpusu-pusu keluar beberapa ekor Haiwan yang dikenali sebagai Babi dan kemudiannya segera membersihkan keseluruhan Najis-najis yang berada di sekitar Bahtera tesebut sehingga bersih tanpa tersisa sedikit pun.



KEJADIAN TIKUS:


Seraya bilamana Iblis menyaksikan kejadian Babi tersebut telah menimbulkan rasa benci serta cemburu-Nya terhadap Mukjizat Nabi Nuh a.s maka Iblis pun turut mencuba untuk mengusapi Gajah itu dibahagian Punggung Gajah tersebut.

Dengan takdir Allah Azzawajallah maka melalui Punggung Gajah itu keluarlah darinya Haiwan yang dinamakan sebagai Tikus dengan banyaknya lalu merosakkan Bahtera Nabi Nuh a.s.


KEJADIAN SINGA:

Dari kejadian sekumpulan Tikus-tikus yang sedang merosakkan Bahtera Nabi Nuh a.s. itu, Syaitan juga telah muncul dalam bentuk Babi Hutan Liar dan masuk ke dalam Bahtera atau yang dipanggil Safina(bahasa Arab).


Dalam beberapa malam, Babi Hutan itu telah membuat kekacauan di dalam Bahtera Nabi Nuh a.s. serta bilamana setiap kali Nabi Nuh a.s. pergi membaiki Bahtera-Nya itu.


Ketika Nabi Nuh a.s. sedang membaiki Bahtera-Nya,
Nabi Nuh a.s. telah terhiris Ibu Jari-Nya sendiri dan akibat dari titisan Darah Beliau yang diberkati itu, Allah Azzawajalla telah menciptakan seekor Singa,  maka keesokan harinya Singa itu datang untuk berkhidmat kepada Nabi Nuh a.s. bagi melindungi Bahtera tersebut.


Pada lewat malam itu apabila Syaitan datang lagi dalam bentuk Babi Hutan Liar dan Syaitan tersebut cuba untuk mengkucar-kacirkan Bahtera supaya menyebabkan lebih banyak kekacauan, namun sebaliknya Singa telah mengawal dan menghentikan masalah kekacauan tersebut pada malam itu.



KEJADIAN KUCING:

Tikus yang banyak itu tidak berhenti untuk melakukan kerosakkan terhadap Bahtera Nabi Nuh a.s. itu sehingga dikhuatiri oleh Nabi Nuh a.s. bahawa Bahtera-Nya akan tenggelam jika kejadian tersebut berterusan.


Maka oleh itu Nabi Nuh a.s pun berdoa serta meminta pertolongan daripada Allah Azzawajalla bagi menangani permasalahan itu:


"Ya Allah, Bahtera-Ku telah dirosakkan oleh Tikus, Aku takuti seandainya karam Bahtera-Ku, maka berilah petunjuk kepada-Ku agar dapat Aku selesaikan permasalahan ini?".



Allah Azzawajalla lalu berfirman:


"Wahai Nuh, usapilah Singa itu, maka akan keluar darinya Haiwan yang akan memusnahkan Tikus-tikus tersebut".

Tatkala kemudian sepertimana yang diperintahkan Nabi Nuh a.s. pun mengusapi belakang Badan Singa tersebut maka keluarlah dari Singa itu beberapa ekor Haiwan yang dikenali sebagai Kucing, dan Kucing-kucing itu terus meluru bahkan mengejar serta memakan Tikus-tikus tersebut sehingga licin tanpa meninggalkan sebarang sisa.

Wallahua'lam Bishawwab 

 

Nabi Muhammad dan Kisah Kambing Kurus

Musim panas tengah mengganas ketika Kanjeng Nabi, Abu Bakar, Amir ibnu Fuhairah, dan sang penunjuk jalan, Abdullah ibnu al-Urayqath, melintasi hamparan gurun lepas menuju Madinah.

Dari jauh tampak dua buah kemah berdiri bebas di sebuah sisi ruas jalan.

Dua kemah itu milik Umu Ma’bad al-Khazaiyyah, seorang wanita gurun yang menjamu para musafir yang singgah. Ya, semacam pangkalan untuk istirahat melepas lelah.

Tiba di sana, Nabi dan rombongan berhenti. Mereka tidur sejenak sebelum tengah hari. Mereka disambut Umu Ma’bad dengan ramah. Ia tak kenal siapa mereka dan tak tahu sedikit pun kabar tentang mereka.

Ketika rombongan minta mau membeli kurma atau daging kepadanya, ia bilang tidak ada. Tahun itu paceklik memang mencekik. Semua orang terancam kesulitan memenuhi kebutuhan.

Tiba-tiba terlihat oleh Junjugan Nabi seekor kibas di samping kemah. Tubuhnya kurus kerempeng. “Kibas ini kenapa, Umu Ma bad?” tanya nabi.

“Itu kibas kami yang ketinggalan dari kambing-kambing lain karena kelelahan. Tubuhnya lemah tak kuat berjalan,” jawab Umu Ma’bad.

“Ada susunya?” tanya Junjungan Nabi lagi.

Umu Ma’bad terkejut mendengar pertanyaan itu. “Kalau ia beranak, mungkin tidak akan kelelahan begitu. Kibas itu mandul jadi tak punya susu.”

la mengira lawan bicaranya tak mendengar ucapannya sehingga Junjungan Nabi masih juga bertanya, “Boleh kuperah kibas itu, Umu Ma’bad?”

Kali ini rasa kagetnya tak dapat disembunyikan lagi. Hampir saja ia melontarkan kata-kata yang tak patut diucapkan kepada orang asing yang sama sekali tidak ia kenal karena dianggap tak paham perkataannya. Tetapi, mulutnya terkunci oleh wibawa Junjungan Nabi.

Lalu dengan lidah terbata-bata ia berkata:

“Demi ayahku, engkau, dan ibuku. Kalau memang kaulihat ada susunya, perahlah!”

Nabi lalu mengusap susunya, menyebut asma Allah dan berdoa. Tiba-tiba kibas itu dua kakinya meregang, susunya mengencang penuh dan siap diperah. Junjungan Nabi meminta bejana.

Diberinya beliau sebuah bejana besar. Kibas diperah, susunya mengucur tumpah. Bejana besar itu pun penuh hingga busanya membuncah-buncah.

Ketika Junjungan Nabi menyerahkan bejana itu kepada Umu Ma bad, ia terbengong. Ia tidak percaya pada pandangan matanya: ini mimpi atau nyata?

Diterimanya bejana itu dengan tangan gemetar, lalu diangkat ke mulut dan diseruputnya susu lezat di dalamnya sekali, sekali lagi, lagi dan lagi hingga puas. Rasanya, belum pernah ia minum susu selezat ini.

Bejana itu kemudian mengalir dari satu tangan ke tangan lain. Semua minum sampai puas, dan berakhir di tangan Nabi.

Lalu Nabi memerah susu kibas itu hingga bejana tadi masih penuh dengan susu kambing untuk ditinggalkan di penginapan Umu Ma’bad sebagai hadiah. Setelah itu mereka berangkat meninggalkan kejadian. Sementara di belakang sana, Umu Ma’bad terus tercengang heran.

Sore saat Abu Ma’bad pulang dengan kambingnya yang kurus-kurus, ia kaget bukan kepalang melihat bejana penuh susu. Maka diceritakanlah oleh Umu Ma’bad perihal rombongan yang tadi singgah di kemahnya.

Dilukiskannya paras Nabi yang bercahaya, postur tubuh beliau yang memesona, akhlak beliau yang luhur, juga wibawa dan kedudukan beliau yang agung.

“Oh. Itu pasti orang Quraisy,” komentar Abu Ma’bad.

Demikianlah perilaku Junjungan Nabi. Selain memiliki keistimewaan yang di luar batas kemampuan manusia biasa. Beliau juga memiliki akhlak yang baik. Sehingga orang yang pertama kali bertemu dengannya pun terkesan dengan perilaku agungnya.

Kisah ini dapat dilihat dalam kitab Fii Bayti al-rasuul.

Shallahu ‘ala sayyidinaa Muhammad.

Kisah Nabi Musa dan Ikan yang Hidup Lagi

Ketika Nabi Musa bersama muridnya Yusa bin Nun mencari Nabi Hidir, mereka membawa bekal ikan dalam perjalanannya. Ikan tersebut sudah dimasak dan dimasukkan ke dalam wadah sebagai bekal makanan dalam perjalanan.

Saat beristirahat di suatu tempat, keduanya tertidur. Tidak disangka ikan yang sudah dimasak itu hidup kembali dan mencari jalan menuju laut.

Selepas beristirahat, keduanya meneruskan perjalananan mencari Hidir. Di tengah perjalanan Nabi Musa merasa lapar dan meminta muridnya mengeluarkan bekal makanan.

Ternyata ikan yang sudah dimasak itu sudah tidak ada di tempatnya. Kisah ini terabadikan dalam Alquran:

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun". Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu mengambil jalannya ke laut itu. (Alquran surat Al Kahf ayat 60-61). 

Kisah tersebut termaktub dalam surah Al Kahf, surah yang tergolong makiyah yang diturunkan sebelum hijrah. Surah yang demikian ini umumnya berkonsentrasi pada tiga hal, yaitu keimanan kepada Allah, Nabi Muhammad dan hari akhir.

Itu karena kaum Quraisy Makkah sangat menentang ajaran tauhid, kenabian Muhammad dan adanya hari akhir. Sangat jelas hikmah dibalik kisah bekal ikan Nabi Musa yang hidup lagi adalah bahwa Allah Mahakuasa menghidupkan sesuatu yang telah mati. Sebab itu Allah kuasa menghidupkan atau membangkitkan lagi manusia yang telah mati pada hari kiamat. 

Ikan Nabi Musa AS

Kisah ini dimulai ketika Allah SWT meminta Nabi Musa menemui salah satu hambanya yang saleh yang terkenal dengan sebutan Khidir.

Akan tetapi, Allah tidak menjelaskan dengan pasti lokasi Khidir.

Allah hanya mengatakan bahwa tempat itu adalah persimpangan antara dua lautan. Menurut pendapat mayoritas ulama, ini merujuk pada persimpangan antara Mediterania timur dan Teluk Persia. Namun, Ibn Juzayy mengatakan bahwa itu mengacu pada Samudra Atlantik dan Laut Andalusia.

Dalam perjalanan tersebut, Allah meminta Nabi Musa untuk membawa seekor ikan dan seorang pelayan. Allah menjelaskan kepada Nabi Musa bahwa ikan yang dibawanya tersebut akan menghilang jika Nabi Musa telah sampai pada tempat Khidir.

Singkat cerita, Nabi Musa berangkat dengan seorang pelayan. Di tengah perjalanannya, mereka merasa kelaparan dan memakan ikan tersebut. Akan tetapi, mereka hanya memakan setengahnya, sehingga setengah badan dari ikan tersebut masih utuh.

Sebelum terlelap tidur, Nabi Musa berkata kepada pelayannya, "Jika kamu melihat ikan ini berenang, bangunkan aku". Pelayan tersebut pun mengiyakan perkataan Nabi Musa sembari terus memperhatikan ikan tersebut.

Ketika terbangun, Nabi Musa terkejut karena ikan sebelah itu telah menghilang. Kemudian pelayannya berkata bahwa ia telah melihat ikan itu benar-benar hidup dan berenang kembali membelah lautan.

Beberapa ulama tafsir menyampaikan, si pelayan tersebut lupa membangunkan Nabi Musa karena terpana dengan kejadian luar biasa itu.

Kemudian, Nabi Musa pun meminta pelayannya untuk kembali menuju ke tempat ikan sebelah berenang. Atas izin Allah SWT, akhirnya Nabi Musa dapat bertemu dengan Khidir dan banyak mendapatkan pelajaran keimanan.

Nabi Saleh Mampu Mengeluarkan Unta dari Batu, Bagaimana Kisahnya?

Nabi Saleh AS merupakan salah satu dari 25 nabi dan rasul yang wajib kita ketahui ketahui dan imani. Nabi Saleh diutus oleh Allah SWT untuk memimpin Kaum Tsamud yang hidup di suatu dataran bernama Al-Hijir.


Kaum Tsamud hidup di daerah yang terletak antara Hijaz dan Syam (daerah antara barat laut (yang dikenal sekarang) Arab Saudi dan daerah Palestina, Suriah, Yordania, dan Lebanon). Daerah ini terlebih dahulu dikuasai oleh suku 'Ad yaitu pendahulu kaum Tsamud.

Suku 'Ad adalah leluhur dari Kaum Tsamud dan mewariskan kekayaan alam yang luar biasa bagi Kaum Tsamud. Mereka memiliki tanah yang subur, seluruh tanaman bisa tumbuh, dan binatang ternak yang dapat berkembang biak dengan baik.

Semua kelebihan yang dimiliki oleh Kaum Tsamud membuat mereka makmur dan serba berkecukupan. Namun, kondisi ini tidak serta merta membuat Kaum Tsamud beriman ke Allah SWT.

Singkat cerita, melalui perjuangan dakwah Nabi Saleh kepada kaum Tsamud, mereka tidak mau untuk mengimani apa yang telah diucapkan dan dipandu olehnya. Kaum Tsamud ini kemudian menantang Nabi Saleh untuk menunjukkan mukjizatnya.

 
Mukjizat Nabi Saleh

Masih mengutip dari buku karya Ridwan Abullah Sani yang sama dijelaskan bahwa penolakan Kaum Tsamud kepada Nabi Saleh terus berlanjut. Mereka kemudian bahkan berani menantang Nabi Saleh untuk menunjukkan mukjizatnya.

Mukjizat yang dituntut oleh Kaum Tsamud ini adalah mengeluarkan unta dari sebuah batu besar. Ketika mukjizat ini, mereka berjanji bahwa barulah setelah itu mereka akan beriman terhadap Nabi Saaleh.

Nabi Saleh kemudian bergegas menuju tempat ibadahnya lalu menunaikan sholat. Ia lalu berdoa kepada Allah SWT untuk mengabulkan permintaan Kaum Tsamud yang menantang keagungan Allah SWT. Allah SWT kemudian mengabulkan doa yang diminta Nabi Saleh untuk mengalahkan keangkuhan kaum Tsamud.

Nabi Saleh meyakini bantuan Allah SWT untuk menurunkan mukjizat dengan timbal balik berupa janji iman Kaum Tsamud kepada Allah SWT. Janji ini berupa Kaum Tsamud harus meninggalkan agama dan sesembahan mereka serta harus beriman kepada Allah ketika mukjizat itu benar terjadi. Nabi Saleh pun berkata pada kaumnya seperti diabadikan dalam surah Hud ayat 64,

Artinya: "Wahai kaumku, inilah unta betina dari Allah sebagai mukjizat untukmu. Oleh karena itu, biarkanlah dia makan di bumi Allah dan janganlah kamu memperlakukannya dengan buruk yang akan menyebabkan kamu segera ditimpa azab." (QS. Hud: 64)

Setelah mukjizat keluarnya unta betina itu benar-benar terjadi, Kaum Tsamud merespon untuk mengingkari janji mereka kepada Allah SWT. Kaum Tsamud kemudian membunuh unta tersebut yang mengakibatkan azab yang dijanjikan Allah SWT akan turun dalam waktu tiga hari.

Akhirnya Nabi Saleh yang berbaik hati, memperingatkan untuk terakhir kalinya kepada Kaum Tsamud yang masih ingkar untuk beriman kepada Allah. Nabi Saleh menyampaikan mereka yang telah menentang Allah dan tetap berada di jalan yang salah akan mendapatkan azab langsung dari Allah SWT.

Hukuman Allah SWT akhirnya dijatuhkan pada hari keempat setelah tiga hari waktu tenggang yang dijanjikan, sesuai dengan apa yang dikisahkan dalam surah Hud ayat 65, yaitu

Artinya: "Mereka lalu menyembelih unta itu. Maka, dia (Saleh) berkata, "Bersukarialah kamu semua di rumahmu selama tiga hari Itu adalah janji yang tidak dapat didustakan." (QS. Hud: 65)

Mereka yang beriman kemudiandiberikan keamanan dan perlindungan Allah SWT dari azab-Nya. Sedangkan yang ingkar kepada Allah SWT diberikan azab berupa guntur yang sangat keras yang membuat orang-orang ingkar itu mati bergelimpangan di rumahnya.

Itulah mukjizat Nabi Saleh yang mampu mengeluarkan unta betina dari sebuah batu untuk menjawab tantangan kaumnya yaitu Tsamud.

 

Semoga bermanfaat

Kisah Nabi Muhammad Bersama Sahabat Syaidina Ali Saat Bertemu Seekor Lebah Madu.

Pada suatu waktu yang indah, Rasulullah SAW dan Amirul Mukminin Sayyidina Ali R.A berada di tengah-tengah kebun kurma yang rimbun.

Mereka duduk dengan tenang, menikmati alam yang indah di sekitar mereka, karena saat itu, matahari bersinar terang, dan aroma manis kurma mengisi udara.

Tiba-tiba, seorang lebah muncul dan mulai terbang di sekitar Rasulullah SAW, beliau dengan lemah lembut bersabda kepada Sayyidina Ali, "Wahai Ali, tahukah apa yang dikatakan oleh lebah ini?"

Sayyidina Ali, dengan penuh kehormatan, menjawab, "Tidak, wahai Rosulullah.", hanya ALLAH dan Rasul yang mengetahuinya.

Rasulullah SAW kemudian meneruskan, "Ketahuilah, wahai Ali, bahwa lebah ini mengundang kita sebagai tamunya, karena lebah itu telah menyediakan madu di suatu tempat, tolong wahai Ali  ambilkan madu itu untuk kita."

Tampa ragu Sayyidina Ali segera bangkit dan pergi mengambil madu yang telah disediakan oleh lebah dengan penuh rasa hormat.

Rasulullah SAW, yang selalu penuh dengan kebijaksanaan, bertanya pada lebah, "Wahai lebah, makanan kalian berasal dari bunga-bunga yang pahit.

Bagaimana bisa berubah menjadi madu yang begitu manis?"

Lebah dengan rendah hati menjawab, "Wahai Rasulullah, manisnya madu ini adalah hasil dari sholawat yang kami panjatkan kepada Engkau dan keluarga Engkau.

Setiap kali kami menghisap sari bunga, kami menerima ilham untuk bersholawat tiga kali kepada Engkau.

Ketika kami mengucapkan, 'Allahumma Sholli 'Ala Sayyidina Muhammad Wa ‘ala Aali Sayyidina Muhammad,' yang berarti 'Ya Allah, limpahkanlah sholawatMu kepada Sayyidina Muhammad dan keluarga Sayyidina Muhammad,' madu kami menjadi manis berkat sholawat tersebut."

Rasulullah SAW dengan penuh kasih sayang dan tulus hati mengingatkan kita semua, "Perbanyaklah membaca shalawat untukku, maka aku akan menjadi saksi dan pemberi syafa'at bagimu pada hari kiamat."

Mari kita semua merenungkan makna dalam cerita indah ini, tentang kebaikan dan keistimewaan shalawat kepada Rasulullah SAW, yang dapat membuat segala sesuatu di alam ini lebih manis dan berkat.

Semoga kita senantiasa mengucapkan shalawat dengan penuh cinta dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya:

Rutin bersewalawat kepada Nabi Muhammad SAW agar kita mendapat keberkahan yang banyak, manfaat shalawat berkah dunia dan akherat.

Kisah Nabi Musa dan Babi

Berikut ini adalah terjemahan dari riwayat tersebut sebagaimana yang disebut dalam Quut al-Quluub:

Dari Utbah bin Waqid, dari Utsman bin Abi Sulaiman, ia menuturkan bahwa ada seorang lelaki (sebut saja namanya Fulan) yang bekerja membantu Nabi Musa. Ia pun banyak menimba ilmu dari Nabi Musa, hingga ia menjadi kaya dan banyak hartanya. Si Fulan lantas menghilang sekian lama. Nabi Musa bertanya-tanya tentang keberadaannya. Beliau tidak mengetahui kabar berita Si Fulan sedikit pun. Hingga suatu hari, seorang lelaki datang bersama seekor babi untuk menemui Nabi Musa. Tangan lelaki itu menghela seutas tali hitam yang terikat di leher sang babi.

Nabi Musa bertanya kepada lelaki itu, “Apakah Anda mengenal si Fulan” Lelaki itu menjawab, “Ya, dia adalah babi ini!” Nabi Musa lantas berdoa, “Ya Tuhan, aku memohon kepada-Mu untuk mengembalikan babi ini kepada keadaannya semula, agar aku bisa bertanya atas musibah yang menimpanya ini.” Allah pun menurunkan wahyu-Nya kepada Musa, “Ya, Musa, walaupun kau berdoa kepada-Ku sebagaimana Adam berdoa, apalagi doa orang yang lebih rendah dari padanya, Aku tidak akan mengabulkan doamu. Namun Aku tetap memberitahukanmu mengapa Aku mengutuknya menjadi babi. Hal itu karena ia mencari dunia dengan (menjual) agama!”

Riwayat itu disampaikan oleh Muhammad bin Ali bin Athiyyah atau yang dikenal dengan nama Abu Thalib al-Makki.

Kisah tersebut bukanlah berasal dari sabda Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab hadis. Abu Thalib sendiri menyebutkan bahwa ia mendapatkan riwayat tersebut dari Utbah bin Waqid. Namun Utbah bin Waqid sendiri tidak ditemukan dalam kitab-kitab biografi para perawi. Memang banyak nama Utbah ditemukan dalam kitab-kitab Rijaal al-Hadiits, namun sejauh ini penulis tidak menemukan nama Utbah bin Waqid. Dalam biografi Abu Thalib al-Makki sendiri, tidak ditemukan informasi bahwa ia pernah memiliki guru bernama Utbah bin Waqid.

Sedangkan Utsman bin Abi Sulaiman memang ditemukan dalam kitab-kitab biografi perawi. Namun ia tidak disebutkan memiliki murid yang bernama Utbah bin Waqid. Utsman bin Abi Sulaiman sendiri disebut sebagai perawi yang bisa dipercaya (tsiqqah) oleh para ahli hadits sebagaimana ditegaskan oleh Abu Hatim dalam karyanya al-Jarh wa at-Ta’dil. Dengan demikian, dilihat dari aspek sanad, riwayat tentang kisah Nabi Musa ini memang bermasalah. Ada rantai yang terputus, baik antara Abu Thalib al-Makki dengan Utbah bin Waqid, maupun antara Utbah bin Waqid dengan Utsman bin Abi Sulaiman.

Kisah di atas berisi tentang peristiwa yang diklaim dilakukan oleh Nabi Musa. Dalam kajian ilmu tafsir, sebagaimana dijelaskan oleh Husein az-Zahabi dalam at-Tafsir wal Mufassirun, riwayat-riwayat yang berkaitan dengan peristiwa atau konsep keagamaan pada masa Nabi Musa dan Nabi Isa termasuk dalam kategori riwayat Israilliyat. Riwayat Israilliyat ini merupakan tradisi lisan dalam masyarakat Yahudi dan Nasrani yang kemudian masuk dalam khazanah peradaban Islam. Riwayat-riwayat tersebut sulit diverifikasi kebenarannya. Meski demikian, bukan berarti kita boleh langsung memvonisnya sebagai berita bohong.

Nabi Muhammad sendiri memberikan arahan bagaimana sikap umat Islam terhadap riwayat Israilliyat. Dalam sebuah hadis riwayat dari Abu Hurairah, ia berkata, “Para Ahli Kitab membaca Kitab Taurat dengan bahasa Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab untuk orang-orang Islam.” Rasulullah SAW pun menimpali: “Jangan kalian membenarkan Ahli Kitab dan jangan pula kalian mendustakan mereka. Katakan saja kepada mereka: ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami’”. (Shahih Bukhari, Hadits No. 4215).

Dalam hadis lain, Nabi juga memberikan arahan bahwa boleh kita

 menyampaikan kisah Israiliyyat, tapi tidak boleh menganggap kisah itu sebagai hadis yang berasal dari beliau. Hal itu disampaikan dalam sabda Nabi SAW, “Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat. Ceritakanlah tentang Bani Israel. Hal itu tidaklah berdosa. Namun barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka bersiap-siaplah ia bertempat di neraka!” (Shahih Bukhari, Hadits No. 3274)

Menurut sejarawan Ibnu al-Qaysarani (w. 507 H) dalam al-Ansab al-Muttafaqah, Abu Thalib al-Makki adalah seorang lelaki saleh yang tekun beribadah dan memiliki beberapa karya tulis. Gelar nama al-Makki di belakang namanya bukanlah menunjukkan bahwa ia penduduk Mekkah. Namun ia adalah penduduk gunung yang kemudian tumbuh besar di Mekkah. Setelah wafat Abu al-Hasan bin Salim, seorang tokoh ulama di Bashrah, Abu Thalib pun masuk Bashrah dan mengutip banyak pendapat Abu al-Hasan. Ia lantas menetap di Baghdad dan mendirikan majelis taklim yang dihadiri banyak orang. Salah satu pendapatnya yang kontroversial adalah bahwa tidak ada yang lebih berbahaya bagi para makhluk daripada Sang Khalik. Setelah pendapat itu menyebar di tengah masyarakat, orang-orang pun menudingnya mengajarkan bid’ah. Masyarakat lantas mengasingkan dan melarangnya untuk berbicara di depan umum. Sedangkan menurut al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam kitab Tarikh Baghdad, Abu Thalib menyebutkan dalam kitabnya Quut al-Quluub beberapa hal yang mungkar terkait dengan sifat-sifat Allah.

Terlepas dari tudingan miring terhadap Abu Thalib al-Makki di atas, beliau tetaplah seorang tokoh ulama yang harus dihormati. Karya beliau Quut al-Quluub sampai hari ini merupakan salah satu rujukan awal ajaran tasawuf. Ketika menyitir riwayat tentang Nabi Musa dan babi, beliau sedang membahas tentang ajaran tasawuf mengenai pentingnya zuhud, terutama bagi para ulama. Namun, bukan berarti kita boleh menelan mentah-mentah riwayat tersebut. Karena riwayat-riwayat Israiliyyat tersebut memang sulit untuk diverifikasi kebenarannya. 

Wallahu a’lam.

Kisah Nabi Musa dan Seekor Anjing Kurap

Diriwayatkan bahwa Nabi Musa as sering bermunajat kepada Allah di Gunung At-Thur.

Suatu saat Allah Menurunkan wahyu kepadanya,

"Ketika nanti engkau datang untuk bermunajat kepada-Ku, bawalah bersamamu suatu makhluk yang engkau merasa lebih mulia darinya."

Kemudian Nabi Musa mencari kesana kemari. Melihat dan memperhatikan satu demi satu wajah manusia yang ia temui. Ia pun mendatangi pasar budak, mungkin saja ia temukan manusia yang ia cari. Setiap melihat seseorang, ia berpikir dalam benaknya "Apakah aku lebih mulia darinya? Mungkin saja ia lebih mulia dariku di sisi Allah swt."

Hingga akhirnya ia tidak berani menganggap dirinya lebih mulia dari manusia, bagaimanapun kondisinya. Kemudian pandangannya beralih kepada hewan, mungkin dirinya pantas merasa lebih mulia dari hewan. Tapi ia tetap tak menemukan. Hingga akhirnya ia temukan seekor anjing yang berpenyakit kulit. Kondisi anjing ini begitu buruk dan penyakitan. Hatinya pun bergumam "Sepertinya aku bisa membawa anjing ini bersamaku."

Kemudian Nabi Musa membawanya ke tempat ia biasa menyendiri dan bermunajat kepada Allah swt. Di tengah jalan, ia menoleh kepada anjing ini. Hatinya dipenuhi dengan penyesalan karena telah merasa lebih mulia darinya. Tiba-tiba ia lepaskan tali dari leher si anjing dan menyuruhnya pergi.

Sesampainya di tempat munajat, Allah Berkhitob kepadanya,"Wahai Musa, apakah kau telah membawa apa yang telah Kami Perintahkan kepadamu sebelumnya?"Ia menjawab, "Tuhanku, aku tak menemukan sesuatu yang Engkau Minta dariku itu" Kemudian Allah Berfirman,"Demi Kemuliaan dan Kebesaran-Ku, andai engkau membawa sesuatu (yang kau anggap lebih hina darimu) maka kan Kuhapus namamu dari nama-nama para Nabi."

Sungguh besar rasa tawadhu dari Nabi Musa as. Dengan semua kemuliaan yang ia peroleh, Nabi Musa tidak berani menganggap dirinya lebih mulia, walau dari seekor anjing. Lalu siapakah kita jika merasa lebih mulia dari orang lain? Siapa kita yang menganggap diri ini lebih benar dari orang lain? Sungguh kesombongan telah merasuki jiwa kita tanpa terasa.

 

Akankah kita menganggap diri kita lebih mulia dari Nabi Musa as?

"Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa." (QS.Al-Hujurat:13)