Catatan Popular

Ahad, 6 Oktober 2013

TAREKAT QADIRIYYAH DAN AJARANNYA

Pada dasarnya ajaran Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani tidak ada perbedaan yang mendasar dengan ajaran pokok Islam, terutama golongan Aahlussunnah Waljama’ah. Sebab, Syaikh ‘Abd al-Qadir adalah sangat menghargai para pendiri mazhab fiqih yang empat dan teologi Asy’ariyah. Dia sangat menekankan pada tauhid dan akhlak yang terpuji. Menurut al-Sya’rani, bahwa bentuk dan karakter Tarekat syaikh al-Qadir Jilani adalah tauhid, sedangkan pelaksanaannya tetap menempuh jalur syariat lahir dan batin. Syaikh berkata kepada para sahabatnya, “Kalian jangan berbuat bid’ah. Taatlah kalian, jangan menyimpang.” Ucapannya yang lain: “Jika padamu berlaku sesuatu yang telah menyimpang dari batas-batas syariat, ketahuilah bahwa kalian dilanda fitnah, syetan telah mempermainkanmu. Maka kembalilah pada hukum syariat dan berpeganglah, tinggalkan hawa nafsu, kerena segala sesuatu yang tidak dibenarkan syariat adalah batil.

Menurut Syaikh ‘Ali ibn al-Hayti menilai bahwa tarekat Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani adalah pemurnian aqidah dengan meletakkan diri pada sikap beribadah, sedangkan ‘Ady ibn Musafir mengatakan bahwa karakter Tarekat Qadiriyah adalah tunduk di bawah garis keturunan takdir dengan kesesuaian hati dan roh serta kesatuan lahir batin. Memisahkan diri dari kecenderungan nafsu, serta mengabaikan keinginan melihat manfaat, mudarat, kedekatan maupun perasan jauh.

Adapun ajaran spiritual Syaikh ‘Abd al-Qadir berakar pada konsep tentang dan pengalamannaya akan Tuhan. Baginya, Tuhan dan tauhid bukanlah suatu mitos teologis maupun abstraksi logis, melainkan merupakan sebuah pribadi yang kehadiran-Nya merengkuh seluruh pengalaman etis, intelektual, dan estetis seorang manusia. Ia selalu merasakan bahwa  Tuhan senantiasa hadir. Kesadaran akan kehadiran Tuhan  di segenap ufuk kehidupannya merupakan tuntunan dan motif bagi kebangunan hidup yang aktif sekaligus memberikan nilai transeden  pada kehidupan. Nasehat Rasulullah dalam hadis, “Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya; dan jika engkau tidak dapat melihat-Nya,ketahuilah bahwa Dia melihatmu,” merupakan semboyan hidupnya, yang diterjemahkan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Khotbahnya menggambarkan keluasan kesadarannya akan kehadiran Tuhan yang serba meliput. Ia meyakini bahwa kesadaran ini membersihkan dan memurnikan hati seorang manusia, serta mengakrabkan hati dengan alam roh

Suatu hari, ketika kesadarannya sedang berada dalam keadaan ekstase, Syiakh ‘Abd al-qadir Jilani brkat pada dirinya sendiri, “Aku merindukan suatu kematian yang dalamnya tiada lagi kehidupan dan sebuah kehidupan yang tiada kematian di dalamnya.”

Kemudian Syaikh ‘Abd al-Qadir menjelaskan makna ungkapan di atas, yaitu dengan bertanya kepada dirinya. Maka aku bertanya, kematian macam apa yang tidak memiliki kehidupan dan kehidupan macam apa yang memiliki kematian di dalamnya. Kujawab, “Kematian yang tidak memiliki kehidupan di dalamnya adalah kematianku dari seluruh manusia, dengan begitu aku tidak lagi hidup bahkan ditemui di antara mereka. Dan kehidupan yang tidak memiliki kematian adalah kehidupanku yang menyertai perbuatan Tuhanku, sedemikian rupa sehingga di dalam keadaan itu, diriku tidak lagi memiliki eksistensi dan kematianku adalah eksistensiku bersama-Nya.“ Setelah aku mengerti ternyata inilah yang paling berharga dari seluruh tujuan hidupku.

Dalam pandangannya, kehidupan yang ter mulia adalah kehidupan orang-orang yang sepenuhnya membaktikan diri pada Tuhan  semata. Dan kerena alasan ini pulalah manusia dihadirkan Tuahan, seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an, “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahKu” (QS. Al-Zariyat[51]: 56). Semakin manusia berjuang “hidup demi Tuhan”, dirinya akan semakin dekat  dengan terwujudnya tujuan kehidupan ini. Seorang manusia harus menyerahkan kehidupannya, bilamana ia berhasrat memburu kesadaran Ilahiah “Eksistensi yang sadar Tuhan” memberikan kekuatan spiritual pada manusia; ia mengangkat pergulatan keras duniawi untuk memperoleh kesenangan hidup dan keuntungan yang sedikit, menuju kebahagiaan dan ketenangan spiritual, dan membuetnya akrab dengan sumber segala kekuatan.

Ajaran Syaikh ‘Abd al-qadir selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Kerena itu, dia memberiikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tertinggi. Adapun beberapa ajaran twrsebut adalah taubat, zuhud, tawakal, syukur, ridha, dan jujur.

a.       Taubat

Taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengurai ikatan dosa yang terus-menerus dari hati kemudian melaksanakan setiap hak Tuhan. Ibnu abbas ra. Berkata: ”Taubat al-nashuha adalah pentesalan dalam hati, permohonan ampun dengan lisan , meninggalakan  dengan anggota badan, dan berniat tidak akan mengulangi lagi.” Jadi taubat al-nashuha tidak hanya di mulut yang menyatakan penyesalan dan bertaubat, sementara hati tidak mengikuti apa yang dikatakan oleh mulut, tidak bersungguh-sungguh bermaksud untuk menghentikan perbuatan-perbuatan dosa itu, dan tidak melakukan tindakan nyata untuk menghentikanya.

Taubat ini sangat dianjurkan kepada setiap orang mukmin, sebagaimana firman Allah, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (at-tuabah: 31)

Menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani, taubat itu ada dua macam, yaitu:

1.   Taubat yang berkaitan dengan sesama manusia. Taubat ini tidak terealisasi, kecuali dengan menghindari kezaliman, memberikan hak kepada yang berhak, dan mengembalikan kepada pemiliknya.

2.      Taubat yang berkaitan dengan hak Allah. Taubat ini dilakukan dengan cara selalu mengucakan istigfar dengan lisan, menyesal dalam hati, dan betekad untuk tidak mengulanginya lagi di masa mendatang.

b.      Zuhud

Zuhud secara bahasa adalah zahada fihi, wazahada’anhu, dan wazahadan yaitu berpaling darinya dan meninggalaknnya kerena dosa. Sedangkan secara istilah zuhud menurut pendapat yang paling baik adalah dari Ibn Qadamah al-Maqdisi, bahwa zuhud merupakan gambaran tentang menhindari dari mencintai sesuatu yang menuju kepada sesuatu yang lebih baik darinya. Atau dengan istilah lain, menghindari dunia kerena tahu kehinaannya bila dibandingkan dengan kemahalan akhirat.

Menurut syaikh ‘Abd al-Qadir jilani, bahwa zuhud ada dua macam, yaitu: zahid hakiki (mengeluarkan dunia dari hatinya) dan mutazahid shuwari/ zuhud lahir (mengeluarkan dunia dari hadapannya). Namun hal ini tidak berarti bahwa seorang zahid hakiki menolak rezeki yang diberikan Allah kepadanya, tetapi dia mengambilnya lalu digunakan untuk ketaatan kepada Allah.

Zuhud memang membawa kesucian kepada diri si salik. Zuhud mengajarkan betapa si salik harus menahan hawa nafsu (sesuatu yang kita sayangi) serta menolak semua tuntutannya. Kita tahu bahwa dalam berbagai hal, hawa nafsulah puncak segala kecelakaan diri, baik di dunia, terlebih lagi di akhirat. Oleh kerena itu, nafsu tidak boleh dijadikan sebagai teman, justru harus dianggap sebagai lawan dan pembinasa manusia

c.       Tawakal

Tawakal artinya berserah diri (dalam bahasa arab, tawakal), yakni salah satu sifat mulian yang harus ada pada diri ahli sufi. Bila ia benar-benar telah mengenal Tuhannya melalui makrifat yang telah dicapainya, tidak mungkin sifat tawakal tersisih dari dirinya. Sebab, mustahil jika seorang sufi yang selalu berada di sisi Tuhan tidak memiliki jiwa tawakal. Syaikh ‘Abd al-Qadir menekankan bahwa tawakal berada di antara pintu-pintu iman, sedangkan iman tidak terurus dengan baik kecuali dengan adanya ilmu, hal dan amal. Intinya, tawakal akan terrah dengan ilmu dan ilmu menjadi pokok tawakal, sementara amal adalah buah dan maksud tawakal itu sendiri.

Dengan demikian, hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah dan membersihkan diri dari gelapnya pilihan, tunduk dan patuh kepada hukum dan takdir. Sehingga dia yakin bahwa tidak ada perubahan dalam bagian, apa yang merupakan bagiannya tidak akan hilang dan apa yang tidak ditakdirkan untuknya tidak akan diterima. Maka hatinya merasa tenang kerenanya dan merasa nyaman dengan janji Tuhannya.

Syaikh ‘Abd al-Qadir menekankan pentingnya tawakal dengan mengutip maksud sebuah sabda Nabi, “Bila seseorang menyerahkan dirinya secara penuh kepada Allah, maka Allah akan mengaruniakan apa saja yang dimintanya. Begitu juga sebaliknya, bila dengan bulat ia menyerahkan dirinya kepada dunia, maka Allah akan membiarkan dirinya dikuasai oleh dunia.” Semakin banyak orang yang mengejar dunia, maka semakin lupa dia akan akhirat,sebagaimana dinyatakan dalamsabda Nabi, “Apabila inngatan manusia telah condong kepada dunia, maka maka ingatannya kepada akhiratakan berkurang

Di sinilah letak perbandingan antara manusia yang mengejar dunia, sehingg semua hati dan perasaannya ditumpukam kepada dunia yang di kejarnya. Berusahalah dia siang dan malam kerena dunia, padahal urusan keduniaan itu ada akhirnya. Semakin banyak yang diraihnya, semakin serakah ia untuk terus  berusaha mendapatkannya. Sebaliknya, bila ingatan manusia condong kepada akhirat maka ingatannya terhadap dunia akan berkurang. Oleh kerena itu, pilihlah akhirat daripada dunia, kerena akhirat lebih baik bagimu

d.      Syukur

Syukur adalh ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima, baik lisan, tangan, maupun hati. Menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah kerena Dialah Pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah dan patuh kepada syariat-Nya. Syiakh ‘Abd al-Qadir Jilani menyatakan bahwa hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah Dialah pemilik karunia, Sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah SWT. Dengan demikian, syukur adalah pekerjaan hati dan anggota badan.

Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani membagi syukur menjadi tiga macam, pertama syukur dengan lisan, yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang. Dalam hal ini si penerima nikmat mengucapkan nikmat Tuhan dengan segala kerendahan hati dan ketundukan. Kedua, syukur demngan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan dan pengabdian serta melaksanakan ibadah sesuai perintah Allah. Dala hal ini, si penerima nikmat selalu berusaha menjalanka perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Ketiga, syukur dengan hati, yaitu beriti’kaf/ berdiam ddiri di atas tikar Allah dengan senantiasa menjaga hak Allah yang wajib dikerjakan. Dalam hal ini, si penerima nikmat mengakui dari dalam hatinyabahwa semua nikmat itu berasal dari Allah SWT.

e.       Sabar

Sabar adalah tidak mengeluh kerena sakitnya musibah yang menimpa kita kecuali mengeluh kepada Allah kerena Allah SWT. Menguji Nabi Ayyub as. Dengan firman-Nya, “Kami mendapatinya sebagai orang-orang yang sabar.” Padahal beliau berdo’a dan mengeluh kepada Allah untuk menghilangkan musibah yang menimpanya seraya berkata, “Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antarasemua penyayang.” (al-Anbiya’: 83).

Menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani, sabar ada tiga macam, yaitu:

1.      Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

2.      Bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatan-Nya terhadapmu dari berbagai macam kesulitan dan musibah.

3.      Bersabar atas Allah, hyaitu bersabar terhadap rejeki, jalan keluar, kecukupan, pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat.

f.       Ridha

Ridha adalah kebahagiaan hati dalam menerima ketetapan (takdir). Secara umum para salik berpendapat bahwa orang yang ridha adalah orang yang menerima ketetapan Allah dengan berserah diri, pasrah tanpa menunjukan penetangan terhadap apa yang dilakukan oleh Allah. Syaikh ‘Abd al-Qadir  mengutip ayat al-Qur’an tentang perlunya sikap ridha, “Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari-Nya, keridhaan dan surga.Mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal.”(At-Taubah: 21). Kemudian Rasulullah bersabda, “Yang akan merasakan manisnya iman adalah orang yang ridha Allah menjadi Tuhannya, Islam menjadi agamanya, dan Muhammad menjadi Rasulnya.”

Tidak diragukan lagi bahwa ridha dapat menenteramakanjiwa manusia  dan memasukan faktor kebahagiaan dan kelembutan di dalamnya; kerena seorang hamba yang ridhadan menerima apa yang dipilihkan Allah untuknya, dia tahu bahwa yang dipilihkan Allah untuknya terbaik baginya di segala macam keadaan. Keridhaan ini akan meringankan hidup manusia, sehingga dia akan merasa tenang, hilang rasa gundah, dan kegalauan.

g.      Jujur

Secara bahasa jujur adalah menetapakan hukum sesuai dengan kenyataan. Sedangkan dalam istilah sufi dan menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani, Jujur adalah mengatakan yang benar dalam kondisi apapun, baik menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan.

Kejujuran merupakan derajat kesempurnaan manusia tertinggi dan seseorang tidak akan berlaku jujur, kecuali jika dia memiliki jiwa yang baik, hati yang bersih, pandangan yang lurrus, sifat yang mulia, lidah yang bersih, dan hati yang dihiasi dengan keimanan, keberanian dan kekuatan.itulah yang dilakukan oleh Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani ketika beliau menghadapi para perampok pada saat beliau berangkat menuju baghdad dari negeri Jilan.

Kejujuran adalah kedudukan yang tertinggi dan jalan yang paling lurus, yang dengannnya dapat dibedakan antara orang munafik dan seorang yang beriman. Kejujuran adalah rohnya perbuatan, tiang keimanan, dan satu tingkat di bawah derajat kenabian. Syaikh ‘Abdal-Qadir mengutip ayat al-Qur’an untuk menjelaskan pentingnya sikap jujur ini dilaksanakan, “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama orang yang benar.” (at-Taubah: 119).

Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani membedakan antara al-shadaq (orang jujur) dengan al-shiddiq (orang yang sangat jujur). Al-hadiq adalah isim lazim dari kata al-shidq, sedangkan al-shiddiq adalah untuk menunjukan kejujuran yang sangat tinggi, sehingga kejujuran merupakan jalan kehidupan baginya. Sikap jujur ini sangat diperlukan dalam ajaran tasawuf kerena seseorang tidak dapat berdekatan dengan Allah kecuali dengan sikap jujur dan bersih.

Dua Inti Ajaran Dasar Syekh Abdul Qadir Al Jailani

Syekh Abdul Qadir juga mengkritik praktik Islam warisan. Bagaimana pun, berislam tidak bisa diperoleh melalui warisan dan simbol-simbol fisik seperti bersarung lengkap dengan baju Koko dan Kopiah. “Beragama Islam artinya memasrahkan dirimu (lahir-bathin) kepada Allah, dan menyerahkan kalbumu semata-mata kepada-Nya,” begitulah sabda Rasulullah yang mengilhami Syekh Abdul Qadir.

Untuk itu, ada 2 hal yang melandasi inti ajaran Tarekah Qadiriyah ini, yaitu:

1.      Berserah diri (lahir-bathin) kepada Allah. Seorang muslim wajib menyerahkan segala hal kepada Allah, mematuhi perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.

2.      Mengingat dan menghadirkan Allah dalam kalbunya. Caranya, dengan menyebut Asma Allah dalam setiap detak-nafasnya. Bagaimana pun, dzikrullah adalah suatu perbuatan yang mampu menghalau karat lupa kepada Allah, menggerakan keikhlasan jiwa, dan menghadirkan manusia duduk bertafakur sebagai hamba Allah. Hal ini merujuk pada hadist riwayat Ibnu Abid Dunya dari Abdullah bin Umar berikut:
Sebenarnya setiap sesuatu ada pembersihnya, dan bahwa pembersih hati manusia adalah berdzikir, menyebut Asma Allah, dan tiadalah sesuatu yang lebih menyelamatkan dari siksa Allah kecuali dzikrullah.

Kedua hal ini, menurut Syekh Abdul Qadir, akan membawa seorang manusia senantiasa bersama Allah. Sehingga segala aktivitasnya pun bernilai ibadah. Lebih lanjut, beliau juga menandaskan bahwa keimanan ini merupakan landasan bagi terwujudnya tatanan sosial yang lebih baik lagi. Lebih jauh, sebuah tatanan negara yang Islami dan memenuhi aspek kebaikan universal.

 

Tiada ulasan: