Catatan Popular

Ahad, 8 September 2019

KITAB AL ASRAR FIL AWLIYA BAHAGIAN KESEMBILAN : Mengapa berTasawuf


(AWAL DALAM JENJANG KEWALIAN)

Hazrat Khwaja Farīduddīn Mas'ūd Ganjshakar

Rasulullah SAW bersabda:

 Sesungguhnya di dalam jasad anak Adam (manusia) terdapat sepotong daging, yang jika baik, maka baiklah seluruh badan, dan jika binasa (rusak) maka rusaklah seluruh badan. Ketahuilah ia adalah hati”.

Imam al Ghazali Rhm. berkata: “Sesungguhnya jelaslah sudah dengan hadits ini bahwa asal (pangkal) kemuliaan manusia terletak pada hatinya. Ia seperti raja bagi jasad dan seluruh anggota zhahir (selain hati) yang menjadi tentaranya”.

Ketahuilah, wahai saudaraku yang menjalani Thariqat menuju Makrifatullah, bahwa Ahli Shufi itu mengumpamakan hati itu seperti raja, mengumpamakan badan seperti negeri kerajaan dan anggota zhahir (badan) seperti tentaranya.

(Yang dimaksud anggota zhahir di sini adalah mata, hidung, telinga, lidah, tangan, perut, faraj dan kaki). Maka jika hati itu baik niscaya baik pula seluruh anggota zhahirnya dan jika baik seluruh anggota zhahirnya itu, sempurnalah badannya. Sebaliknya jika rusak hatinya, niscaya rusak pula seluruh anggota zhahir dan jika rusak seluruh anggota zhahirnya maka rusaklah seluruh badannya.

Yang dimaksud baik hatinya adalah mengerjakan taat batin dan menjauhi segala maksiat yang batin dan yang dimaksud dengan baik zhahirnya adalah mengerjakan taat yang zhahir dan menjauhi maksiat yang zhahir. Taat yang batin itu yaitu melaksanakan sifat-sifat yang terpuji dan perangai yang baik, seperti ikhlas dalam ibadah, zuhud (tidak menggemarkan diri kepada dunia), wara’ (meninggalkan segala yang haram dan syubhat), sabar, syukur, tawakkal, mahabbah, ridha dan sebagainya. Maksiat yang batin yaitu segala sifat-sifat yang jelek dan perangai yang jahat, seperti: riya’, ‘ujub, kibir (sombong), ghadhab (marah), hasad, dan sebagainya. Taat yang zhahir yaitu: shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Maksiat yang zhahir, yaitu: berzina, dusta, dan sebagainya.

Jika engkau ditanya: ‘Dengan bagaimanakah caranya agar hati menjadi baik sehingga baik pula segala anggota yang zahir?’ maka jawabnya adalah bahwa hati dapat dijadikan baik dengan mengamalkan Ilmu Thariqat (Tasawuf), membanyakkan dzikrullah, karena hati tiada menjadi baik melainkan dengan menjalani ilmu tareqat ahli sufi (belajar ilmu tareqat kepada ahlinya) mengamalkannya, mengambil talqin dzikir/ bai’at kepada guru mursyid yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah saw Jibril-Haq Allah SWT Jalla wa ‘Azza, membanyakkan zikir yang diambil mealui talqin zikir dari gurunya itu, mengerjakan seluruh awrad/ ratib dari gurunya tanpa menyalahi aturan thariqat gurunya.

Dan juga hati dapat diperbaiki dengan mempelajari ilmu yang memberi manfaat, seperti yang disebutkan oleh Imam Al Ghazali Rhm Ta’ala dalam Bidayatul Hidayah, Minhajul ‘Abidin, Ihya ‘Ulumuddin, kitab yang al Faqir terjemahkan ini (Siyarus Salikin), Nafahatul Uluhiyyah fii suluki Thariqi al Muhammadiyyah karangan Syeikh Muh. As-Samman, Wali Allah dari Madinah.
Dengan menjalani Thariqat Ahli Sufi ini akan sampailah kepada makrifat Allah yang sebenarnya, inilah yang menjadi kemuliaan dan kelebihan seorang manusia. Karena inilah Imam Al Ghazali berkata di dalam Ihya-nya:
 
Kemuliaan manusia dan kelebihannya, yang dengannya mengungguli segala makhluk disebabkan oleh potensi (kemampuan) menuju Makrifat Allah SWT (yakni dengan sebab menjalani thariqat yang menyampaikan kepada Allah) di dunia sebagai keindahan, kesempurnaan, kemegahannya, di akhirat sebagai bekal dan simpanannya. Adapun yang dapat dijadikan sarana menuju makrifatullah adalah hati, bukan anggota tubuh lainnya. Dan hati itulah yang mengetahui keadaan Wujud Allah dan segala Sifat-sifatnya yang Qadim, yang menyebabkan beramal karena Allah, yang menghampiri kepada Allah, yang mendekatkan diri kepada Nya, yang menyingkapkan apa-apa yang ada di HadhiratNya. Sedangkan anggota tubuh lainnya hanya pengikut, pembantu, alat berkhidmah kepada hati, sebagaimana raja, memberikan pekerjaan bagi pelayannya, pemimpin menyuruh kepada bawahannya dan majikan memperkerjakan pegawainya”. (Ihya Ulumuddin III: 2)

Dan kata Imam al Ghazali:

Hati itu maqbul (diterima) di sisi Allah SWT jika selamat (bersih) dari selain Allah, dan menjadi Mahjub (terdinding/ tertolak) dari Allah, jika ia tenggelam dalam kesibukan dengan selain Allah. Hati itu adalah yang dituntut (untuk berbuat ibadah), yang disuruh (untuk makrifat kepadaNya), yang dicerca/ dimurkai (jika tidak beribadah), yang disiksa (jika berbuat maksiat). Dan hati juga yang menjadi bahagia karena dekat kepada Allah, yang dapat kemenangan jika ia suci (dari segala kejahatan dalam hati), hatilah yang dikenakan kejahatan dan mendapat celaka kalau ia dicemarkan oleh maksiat. Hati pula hakikatnya yang berbuat taat kepada Allah Ta’ala, dan sesungguhnya cahaya hatilah yang menyebabkan segala anggota tubuh berbuat ibadah, demikian pula hati yang jahat menimbulkan maksiat kepada Allah. Karena segala kejahatan anggota zhahir berbekas pada hati yang jahat”.

Dengan sebab itulah para Syaikh Ahlus Shufi bersungguh-sungguh mengetahui (mempelajari) ilmu batin yang menyucikan hati dari segala maksiat batin, yaitu ilmu Tasawuf, yang dinamakan pula Ilmu Thariqat atau Ilmu Suluk. Baik dan jahatanya hati itu tidak dapat diketahui melainkan dengan mengetahui Ilmu Tasawuf.

Muhammad Abduh (W.1905), seorang Mufti Besar & Rektor Al Azhar mengatakan: “Para Shufi berurusan dengan penyembuhan kalbu dan pemurnian dari segala sesuatu yang menghalangi mata batin. Mereka berusaha berdiri tegak dalam Ruh di depan Wajah Kebenaran Yang Tinggi sampai mereka jauh dari segala hal terkeecuali Dia, sehingga zat mereka menyatu dalam ZatNya dan sifat-siat mereka menyatu dengan sifat-sifatNya. Para ahli makrifat di antara mereka, yaitu mereka yang telah mencapai akhir perjallanan mereka, berada dalam derajat yang paling tinggi kesempunaan manusia setelah Nabi”. [Wali Sufi Abad 20, hal 100, Martin Lings, yang dikutip dari Maqamat, edisi Badi’uz Zaman al Hamadhani, hal 29.]
Barang siapa mengetahui hatinya, niscaya ia mengetahui nafsunya dan barang siapa mengetahui nafsunya, niscaya ia mengetahui akan Tuhannya, sesuai sabda Nabi SAW:

Barang siapa mengetahui (mengenal) nafsunya niscaya ia mengetahui akan Tuhannya.

(Yakni barang siapa mengetahui hatinya niscaya ia mengetahui nafsunya dan barang siapa mengetahui nafsunya bersifat papa (miskin) maka ia mengetahui bahwa tuhannya bersifat kaya. Dan jika ia mengetahui naffsunya bersifat hina maka ia akan mengetahui bahwa Tuhannya bersifat Mulia.

Barang siapa mengetahui nafsunya bersifat dha’if (lemah), maka ia akan mengetahui bahwa Tuhannya bersifat Kuat. Barang siapa mengetahui nafsunya bersifat tak berdaya niscaya ia mengetahui bahwa Tuhannya bersifat Kuasa. Barang siapa mengetahui nafsunya bersifat fana (binasa) maka ia akan mengetahui bahwa Tuhannya bersifat Baqa’ (kekal). Barang siapa mengetahui bahwa nafsunya bersifat hadits (baru) maka ia akan mengetahhui bahwa Tuhannya bersifat Qadim, dan seterusnya, sehingga nyatalah berlawanannya sifat hamba dengan Tuhannya. [Siyarus Salikin III, hal 2-4]

Imam al Ghazali Rahimahullah mengisahkan pejalanannya:
Kemudian sesudah aku menyelesaikan pelajaran-pelajaran ilmu ini, aku menghadapkan keinginanku menurut jalannya orang-orang Tasawuf. Aku mengetahui bahwa jalan mereka itu dapat sempurna hanya dengan ilmu dan amal. Dan hasil amal itu memotong segala gangguan penghalang hawa nafsu, membersihkan akhlaq yang tercela dan sifat-sifat yang kotor, sehingga berhasil mengosongkan diri selain Allah, mengisinya dengan menyebut Asma Allah”. [Ihya’ II: 29]

Sehubungan dengan itu maka berkata Syaikh Abul Hasan as Syadzili Rhm:

“Barang siapa tiada mempelajari (menyelami) di dalam Ilmu Tasawuf ini, niscaya ia mati dalam keadaan mengekali atas dosa-dosa yang besar, sedangkan ia tiada menyadari (mengetahuinya)”. [Siyarus Salikin ]

Tiada ulasan: