Catatan Popular

Sabtu, 11 April 2020

KITAB MINHAJUL ABIDIN BAB 2 TAHAPAN TOBAT (Bagian 1)


(Bagian 1)
Oleh: Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali
Selanjutnya, wahai orang yang menempuh jalan ibadah  semoga Allah memberikan petunjuk kepada Anda  untuk bertobat.
Perintah bertobat ini, disebabkan dua hal, yaitu:
Pertama: Agar Anda mendapatkan petunjuk dalam menjalankan ketaatan kepada Allah. Karena kekejian dosa itu sebagai penghalang melakukan kebaktian dan untuk mendapatkan rahmat serta mengakibatkan kehinaan. Jeratan dosa-dosa itu, mencegah Anda untuk melakukan ketaatan dan sebagai jerat yang mencegah Anda untuk segera berkhidmat kepada-Nya. Karena beban dosa itu, menghalangi dan memperberat sikap ringan berbuat kebaikan dan semangat menjalankan ketaatan kepada Allah s.w.t.
Kecerobohan melakukan dosa-dosa merupakan penyebab hati jadi hitam, gelap dan keras, tidak memiliki keikhlasan, tidak ada setitik cahaya pun yang meneranginya, tidak dapat merasakan kelezatan dan kenikmatan manisnya ibadah. Jika tidak mendapatkan rahmat dari Allah s.w.t. hati yang demikian itu akan menyeret pemiliknya pada kekufuran dan kecelakaan. Maka betapa mengherankan, bagaimana bisa orang yang hatinya kotor dan keras semacam itu, ringan melakukan ketaatan? Bagaimana bisa memenuhi panggilan untuk berkhidmat, orang yang selalu saja bergelimang kemaksiatan, berlaku ingkar dan sombong? Bagaimana bisa bermunajat mendekatkan diri kepada Allah, sementara ia berlumuran dengan kotoran dan najis?
Disebutkan dalam sebuah hadis, bahwa Nabi s.a.w. bersabda:
Artinya:
“Apabila seorang hamba berdusta, maka dua malaikat (yang mengawalnya) menyingkir darinya, disebabkan karena kebusukan apa yang keluar dari mulutnya.”
Bagaimana lisan semacam ini, bisa berzikir kepada Allah ‘azza wa jalla? Orang yang terus menerus berlaku maksiat semacam itu, hampir dapat dipastikan tidak akan bisa menerima taufīq (petunjuk), dan anggota tubuhnya tidak akan merasa ringan untuk beribadah kepada Allah. Jika kebetulan melakukan ibadah, tentu terasa berat dan susah payah, tidak akan bisa merasakan manisnya ibadah dan tidak pula memiliki keikhlasan. Semua itu, disebabkan oleh kekejian dosa dan karena meninggalkan bertobat.
Sungguh benarlah orang yang berkata: “Jika Anda tidak kuat mengerjakan shalat malam dan puasa di siang hari, maka ketahuilah bahwa Anda terbelenggu dan terjerat oleh kesalahan dan dosa-dosa Anda.

Kedua: Keharusan bertobat itu, agar ibadah Anda diterima Allah s.w.t. Sebab yang berpiutang tidak mau menerima hadiah. Oleh sebab itu bertobat dari kemaksiatan dan meminta kerelaan terhadap yang Anda zalimi menjadi sebuah keharusan bagi Anda. Pada umumnya ibadah yang Anda lakukan berkedudukan sunah, bagaimana mungkin kesunahan yang Anda hadiahkan itu diterima, sementara utang Anda menumpuk belum terbayar.
Bagaimana bisa dikatakan baik, Anda meninggalkan yang halal dan yang mubah karena-Nya, sementara Anda masih terus melakukan pelanggaran dan menerjang yang haram. Bagaimana bisa Anda bermunajat, berdoa dan memuji kepada-Nya, sedangkan Dia murka kepada Anda. Demikianlah gambaran kondisi orang-orang yang durhaka yang senantiasa melakukan kemaksiatan. Kita memohon kepada Allah diberi kekuatan untuk dapat bertobat.
Jika Anda bertanya: “Apakah arti tobat nasuha itu, apa definisinya, dan apa pula hal-hal yang harus dilakukan oleh seseorang agar ia dapat keluar dari semua dosa-dosanya?”
Sebagai jawabannya, aku katakan bahwa tobat termasuk salah satu aktivitas hati. Menurut pendapat ulama, bahwa tobat adalah membersihkan hati dari dosa.
Guru kami memberikan batasan tentang tobat, yaitu: “Meninggalkan segala bentuk aktivitas yang membuat terulangnya kembali dosa yang pernah dilakukan dan yang semisal tingkatannya bukan dalam bentuknya, karena mengagungkan Allah dan takut kemurkaan-Nya.”

Dengan demikian, maka tobat itu memiliki empat syarat, yaitu:
Pertama: Meninggalkan setiap usaha yang mengakibatkan terjadinya dosa.
Memegang teguh komitmen di dalam hati dan memperbaiki niat untuk tidak melakukan dosa sama sekali. Adapun apabila ketika dia meninggalkan dosa namun di dalam hatinya masih terlintas bayangan mungkin ia akan mengulanginya lagi, atau bayangan itu tidak terlintas di dalam hatinya, namun hatinya bimbang mungkin dia akan mengulangi dosa itu lagi, sekalipun sementara dia meninggalkan berbuat dosa, maka dia bukanlah orang yang bertobat.
Kedua: Bertobat dari dosa yang pernah diperbuat, jika dosa yang semisal tidak pernah dilakukan, maka dia adalah orang yang bertakwa (takut) kepada Allah, bukan orang yang bertobat. Tidakkah Anda tahu bahwa perkataan yang benar mengenai Nabi s.a.w. adalah bahwa beliau merupakan orang yang takwa (takut) dari kekufuran, tidaklah benar kalau dikatakan bahwa beliau sebagai orang yang bertobat dari kekufuran. Karena Nabi s.a.w. tidak pernah kufur, tetapi beliau menghindar dan menjauh dari kekufuran.
Ketiga: Dosa yang pernah dilakukan itu, sama dengan dosa yang kini ditinggalkan, dari segi tingkat dan derajatnya, bukan pada bentuknya.
Perhatikanlah dengan seksama bahwa orang yang sudah tua renta yang dulunya pernah berzina dan sebagai penyamun, apabila ia ingin bertobat dari dosa-dosa itu, tentu masih mungkin, selama pintu tobat belum tertutup baginya. Tetapi tidak mungkin baginya berikhtiar meninggalkan zina dan menyamun, karena memang kondisinya saat ini, sudah tidak mungkin untuk melakukan hal itu, dan dia tidak memiliki kemampuan untuk meninggalkan ikhtiarnya. Maka dia tidak sah dinyatakan sebagai orang yang telah meninggalkan perbuatan terlarang itu, karena kondisi tubuhnya yang sudah sangat lemah dan tidak memungkinkan. Tetapi dia masih mampu melakukan perbuatan yang memiliki bobot yang sama dengan zina dan menyamun dari segi kedudukan dan derajatnya. Seperti meninggalkan berdusta, menuduh orang berzina, menggunjing, mengadu domba. Semua kemaksiatan itu, sekalipun masing-masing dosanya memiliki tingkat yang berbeda sesuai dengan kadarnya, tetapi dengan meninggalkan semua bentuk cabang kemaksiatan itu, bila terhimpun menjadi satu, berada di bawah kedudukan dosa bid‘ah, sementara dosa bid‘ah berada di bawah kedudukan dosa kufur. Oleh sebab itu, orang yang sudah tua renta tersebut, masih bisa bertobat dari dosa zina dan menyamun, dengan meninggalkan dosa-dosa yang memiliki kedudukan dan tingkat yang sama dengan semua dosa yang pernah di lakukan itu, sekalipun tidak sama bentuknya.
Keempat: Usaha maksimal yang dilakukan untuk meninggalkan dosa-dosa itu, semata-mata untuk mengagungkan Allah ‘azza wa jalla, takut dari kemurkaan dan kepedihan siksa-Nya. Bukan karena tujuan keduniaan atau takut terhadap manusia, mengharapkan pujian, agar terkenal atau demi pangkat dan kedudukan, atau bukan pula karena terdorong oleh kondisinya yang lemah dan miskin atau yang lainnya.
Demikian itulah syarat-syarat bertobat dan rukun-rukunnya, apabila syarat dan rukun tobat itu terpenuhi, itulah hakikat tobat yang sebenar-benarnya.
Sementara sebagai pendahuluan yang perlu dilakukan sebelum bertobat itu ada tiga, yaitu:
1. Mengenang akan kekejian dosa
2. Ingat akan kedahsyatan siksaan Allah s.w.t. dan kepedihan kemarahan serta kemurkaan-Nya yang tidak akan mampu Anda tanggung.
3. Ingat akan kelemahan agan minimnya rasa malu Anda dalam menghadapi hal tersebut. Karena orang yang menanggung sengatan terik matahari, tamparan polisi dan gigitan semut saja tidak kuat menanggungnya, bagaimana dia kuat menahan panasnya neraka Jahanam, hantaman pukulan malaikat Zabaniyah, sengatan ular yang sebesar leher unta, gigitan kalajengking sebesar kuda yang diciptakan dari api di dalam neraka tempat kemurkaan dan kecelakaan. Kita berlindung kepada Allah, sekali lagi berlindung kepada-Nya dari kemurkaan dan azab-Nya. Apabila Anda selalu mengingatnya hal tersebut siang dan malam, maka hal itu akan mendorong Anda untuk melakukan tobat secara murni dan sebenar-benarnya, dari segala dosa.

Tiada ulasan: