Catatan Popular

Selasa, 7 April 2020

KITAB MINHAJUL ABIDIN BAB I TAHAPAN ILMU DAN MA’RIFAT ((Bagian 1)

(Bagian 1)


Oleh: Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali

Mengawali pembahasan pada tahap pertama jalan yang harus ditempuh orang-orang yang beribadah, yaitu Tahapan Ilmu, dengan memohon taufiq kepada Allah s.w.t. Selanjutnya, wahai orang yang menginginkan keselamatan dan hendak menempuh jalan ibadah, semoga Allah memberikan petunjuk dan ilmu kepada Anda, karena ilmu merupakan pangkal dan sumber segala kebaikan.
Ketahuilah, sesungguhnya ilmu dan ibadah adalah permata. Karena keduanya, Anda bisa melihat dan mendengar kitab-kitab karya tulis pada pengarang, pengajaran para pengajar, nasihat para penasihat dan pemikiran para pemikir. Bahkan karena ilmu dan ibadah diturunkan kitab-kitab suci dan diutuslah para utusan. Juga karena keduanya langit dan bumi serta segala makhluk yang ada padanya diciptakan. Renungkanlah dua ayat di dalam kitab suci al-Qur’ān berikut ini.
Pertama, firman Allah s.w.t.:
Artinya:
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (ath-Thalāq: 12).
Cukuplah ayat ini sebagai dalil atas kemuliaan ilmu, utamanya ilmu tauhid. Sedangkan ayat yang kedua adalah firman Allah s.w.t.:
Artinya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (adz-Dzāriyāt: 56).

Dan ayat ini, cukuplah kiranya sebagai dalil atas kemuliaan ibadah dan keharusan untuk menunaikannya. Atas kemuliaan dan perkara itulah tujuan diciptakan dunia dan akhirat. Karenanya sudah semestinya bagi seorang hamba untuk tidak menyibukkan diri melainkan terfokus pada keduanya, tidak pula berpayah-payahan kecuali demi keduanya dan tidak pula berpikir kecuali berpikir dalam kerangka ilmu dan ibadah.
Ketahuilah, sesungguhnya segala perkara selain keduanya adalah batil, tidak ada kebaikan padanya, dan merupakan kesia-siaan yang tiada urgensinya. Ketika Anda telah mengetahui hal itu, maka ketahuilah bahwa ilmu adalah merupakan permata yang paling berharga dan mulia.
Oleh karena itulah, Nabi s.a.w. bersabda:
Artinya:
Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu atas orang yang ahli ibadah, sebagaimana keutamaanku atas orang yang paling rendah di antara umatku.

Dan Nabi s.a.w. bersabda:
Artinya:
Sekali pandang terhadap wajah orang alim, lebih aku sukai daripada ibadah satu tahun, berupa puasa di siang hari dan menunaikan shalat malam di malam harinya.

Nabi s.a.w. juga bersabda:
Artinya:
Perhatikanlah, akan aku tunjukkan kepada Anda ahli surga yang paling mulia.” Para sahabat bertanya: “Ya, baiklah ya Rasūlullāh. Beliau bersabda: Mereka itu adalah para ulama dari umatku.

Dengan demikian jelaslah bagi Anda sesungguhnya ilmu adalah permata yang lebih mulia daripada ibadah, tetapi merupakan keharusan bagi seorang hamba untuk menunaikan ibadah dengan didasari ilmu. Karena ilmu bagaikan posisi pohon, sementara ibadah menduduki kedudukan buah dan pohon itu. Maka keutamaan ada pada pohon karena ia merupakan asal atau pokok, tetapi pemanfaatan yang dihasilkan, didapatkan dari buahnya. Karenanya, seorang hamba harus memiliki keduanya. Ilmu dan ibadah dengan baik dan benar.
Oleh sebab itu asan Bashrī berkata: Tuntutlah ilmu tanpa mengesampingkan aspek ibadah dan beribadahlah tanpa mengesampingkan aspek ilmu.

Ketika ilmu dan ibadah menjadi keharusan bagi seorang hamba, maka terlebih dahulu yang harus diprioritaskan penguasaannya adalah ilmu, karena ia merupakan dasar dan petunjuk dalam menjalankan ibadah. Karenanya, Nabi s.a.w. bersabda:
Artinya:
Ilmu adalah imam (pemimpin) bagi amal, sedangkan amal mengikutinya.

Ilmu menjadi pokok yang harus dijadikan panduan, maka menjadi keharusan bagi Anda untuk mendahulukannya daripada ibadah, karena dua alasan, yaitu:
Pertama: Agar ibadah Anda membuahkan hasil dan selamat, maka terlebih dahulu Anda wajib mengetahui siapa yang disembah. Barulah kemudian Anda menyembah-Nya. Bagaimana mungkin Anda menyembah seseorang (tuhan) yang tidak Anda ketahui asma dan sifat-sifat zatnya, apa sifat wajib dan apa pula yang mustahil baginya. Bisa jadi Anda meyakini tuhan yang Anda sembah itu dengan suatu sifat yang bertentangan dengan yang semestinya, sehingga mengakibatkan ibadah Anda sia-sia belaka.

Kami telah menerangkan hal yang mengandung kekhawatiran yang amat besar semacam itu, di dalam penjelasan kami tentang makna “sū-ul-khātimah” pada bab “Al-Khauf” di dalam kitab Iyā Ulūmiddīn.

Selanjutnya, Anda harus mengetahui kewajiban-kewajiban syari‘at yang wajib Anda lakukan, dengan cara yang semestinya sebagaimana yang diperintahkan kepada Anda untuk melakukannya. Dan Anda juga harus mengetahui larangan-larangan syari‘at yang wajib Anda tinggalkan. Jika tidak, bagaimana bisa Anda melakukan ketaatan, sementara Anda tidak mengetahui ketaatan-ketaatan itu, dan apa yang harus ditaati dan bagaimana cara Anda melakukan ketaatan? Dan bagaimana pula Anda bisa menjauhi kemaksiatan, sementara Anda tidak mengetahui bahwa ia adalah kemaksiatan, sehingga Anda tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan.
Ibadah-ibadah yang diperintahkan menurut syari‘at Islam itu, seperti bersuci, shalat, puasa dan kewajiban-kewajiban lain yang harus Anda ketahui hukum-hukum dan syarat-syaratnya, sehingga Anda dapat menunaikannya secara benar.
Adalah mungkin, Anda telah melakukan sesuatu bertahun-tahun dan sepanjang waktu, ternyata apa yang Anda lakukan itu membatalkan thahārah (kesucian) dan shalat Anda, serta menjadikan keduanya keluar dari koridor sunah yang telah ditetapkan secara syar‘i, sementara Anda tidak mengetahuinya. Mungkin Anda menemukan suatu masalah, sedangkan Anda tidak menemukan orang yang dapat Anda tanyai mengenai persoalan itu, padahal Anda tidak mengetahui hukumnya.

Hal yang sama dalam persoalan ini, dalam aspek ibadah secara batin yang terjadi di dalam hati yang harus Anda ketahui, seperti tawakal, berserah diri, ridha, sabar, tobat, ikhlas dan lain sebagainya yang akan kami jelaskan kemudian, in syā Allāh.

Dan Anda juga wajib mengetahui masalah-masalah larangan batin yang menjadi kebalikan dari hal tersebut, seperti marah, lamunan, riya’, sombong dan lain sebagainya yang harus Anda jauhi. Terhadap hal-hal yang fardhu Allah telah menetapkan perintah agar dijalankan. Dan melarang yang sebaliknya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam al-Qur’ān dan hadits Nabi s.a.w.
Allah s.w.t. berfirman:
Artinya:
Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (al-Māidah: 23)

Dan firman Allah s.w.t.:
Artinya:
Dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya saja kamu menyembah.” (al-Baqarah: 172)

Dan firman Allah s.w.t.:
Artinya:
Bersabarlah (hai Muammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (an-Nal: 127)

Dan firman Allah s.w.t.:
Artinya:
Dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” (al-Muzzammil: 8)

Yakni, beribadahlah kepada-Nya dengan penuh keikhlasan.
Dan ayat-ayat yang lain, seperti nash yang menjelaskan tentang perintah shalat, puasa. Bagaimana halnya dengan sikap Anda yang menerima perintah shalat dan puasa, sementara Anda meninggalkan kefardhuan-kefardhuan yang lain (seperti perintah tawakal, sabar, ikhlas dan lain sebagainya). Padahal perintah itu semuanya dari Tuhan yang sama, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Allah), melalui kitab yang sama (al-Qur’ān).

Bahkan Anda cenderung melalaikan perintah yang berkaitan dengan perlakuan hati, sehingga Anda tidak mengetahui sesuatu pun daripadanya, karena Anda terkecoh dengan omongan orang-orang yang menggebu-gebu kecintaannya terhadap dunia, yang membuat pandangannya menjadi terbalik, di mana yang baik dinyatakan mungkar dan yang mungkar dipandang baik.

Barang siapa yang meremehkan ilmu yang oleh Allah di dalam al-Qur’ān dinamakan sebagai cahaya (nūr), hikmah dan petunjuk, lalu menghadapkan diri pada aktivitas dan usaha yang haram, berarti ia memburu pembakaran api yang menyala-nyala (neraka).
Wahai orang yang menginginkan petunjuk, tidakkah Anda takut menyia-nyiakan sebagian kewajiban atau bahkan sebagian besar dari kewajiban-kewajiban? Sementara Anda sibuk melakukan shalat dan puasa sunah, maka Anda pun tidak memperoleh suatu apapun.
Mungkin juga Anda bersikap ceroboh melakukan kemaksiatan yang menyebabkan Anda masuk ke dalam neraka, sementara di sisi lain Anda meninggalkan hal-hal yang mubah, seperti makan, minum atau tidur dengan alasan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka jadilah Anda tidak mendapatkan sesuatu apapun.
Dan yang lebih parah dari itu semua adalah Anda memanjangkan lamunan sesuatu yang tidak patut, padahal lamunan semacam itu adalah murni kemaksiatan, sementara Anda menduganya sebagai niat yang baik, karena kebodohan Anda untuk dapat membedakan antara lamunan dan niat baik, yang pada sebagian perkara batas antara keduanya memang tipis.
Demikian pula halnya dengan sikap Anda, yang mengeluh dan membenci (protes) terhadap qadha Allah, sementara Anda menduganya hal itu sebagai sikap mendekatkan diri dan merendahkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla.

Dan terkadang Anda bersikap riya’ anshi (riya’ dalam memberi nasihat), sementara Anda mengira sebagai bentuk pujian Anda kepada Allah s.w.t. atau ajakan terhadap manusia pada kebaikan. Anda pun menghitung-hitung kemaksiatan itu, sebagai ketaatan kepada Allah, dan mengira memperoleh pahala yang besar di tempat-tempat sumbernya siksaan. Jika demikian, sungguh Anda berada dalam ketertipuan yang besar dan kelalaian yang keji. Sungguh hal ini, merupakan musibah dan petaka yang sangat tragis bagi orang-orang yang beramal tanpa ilmu.
Di samping itu, sesungguhnya aktivitas ibadah lahiriyyah itu, memiliki hubungan secara batin yang bisa memperbaiki atau merusaknya, seperti ikhlas, riya’, sombong, menghitung-hitung kebaikan pada orang lain (undat-undat) dan lain sebagainya. Barang siapa yang tidak mengetahui persoalan aktivitas batin dan pengaruhnya terhadap amal lahir, dan bagaimana memelihara amal-amal lahir dari keburukan perbuatan batin, maka kecil kemungkinan amal lahirnya selamat, sehingga ia harus kehilangan pahala ketaatan secara lahir dan batin, maka yang tersisa di tangannya hanyalah kecelakaan dan kecemaran. Inilah suatu kerugian yang amat nyata.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda menjelaskan tentang keutamaan orang yang berilmu, sebagai berikut:
Artinya:
Tidur dengan didasari atas ilmu lebih baik daripada ibadah secara bodoh (tanpa didasari ilmu).

Karena sesungguhnya orang yang beramal tanpa didasari ilmu, lebih banyak merusak amalnya daripada membaguskannya. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang beruntung diilhami dengan ilmu, dan orang-orang yang celaka dihalangi dari ilmu.”

Hadis tersebut mengandung makna, bahwa ilmu itu adalah milik Allah. Dialah yang akan memberikan ilham berupa ilmu kepada seseorang atau sebaliknya. Tetapi kecelakaan seseorang disebabkan karena ia tidak mau belajar, dia berlelah-lelah melakukan ibadah tanpa didasari ilmu hingga menyimpang dari yang semestinya, maka tidaklah berarti ibadah yang dilakukan itu, melainkan hanyalah mendapatkan kepenatan dan kelelahan saja. Semoga Allah melindungi kita dari ilmu dan amal yang tidak bermanfaat.
Oleh sebab itu, para ulama yang zuhud dan mengamalkan ilmunya menaruh perhatian yang sangat besar terhadap ilmu dan mengajarkannya kepada manusia. Karena ilmu merupakan poros atau sumbu ibadah dan kekuatannya dalam berkhidmat kepada Allah Tuhan semesta alam. Demikianlah pandangan orang-orang yang berilmu dan berpikir serta mendapatkan petunjuk.
Ketika hal yang demikian itu, telah jelas bagi Anda, bahwa kebaktian seorang hamba tidak akan membuahkan hasil dan selamat kecuali dengan ilmu, maka menjadi keharusan bagi Anda untuk mendahulukan ilmu sebelum beribadah.

Tiada ulasan: