Catatan Popular

Khamis, 29 Julai 2021

ABU HANIFAH ULAMA PENENTANG PENGUASA ZALIM

Abu Hanifah bin Nu’man bin Tsabit adalah teladan sejarah dalam memiliki karakter dan yang berlandaskan pada agama. Dilahirkan di Kufah tahun 80 H. dan wafat di Baghdad tahun 150 H, dikenal sebagai tokoh Ahlul Ra’yi (aliran rasionalitas).

 

Pernah dua kali ditunjuk menjadi qadhi, pertama pada masa Bani Umayyah dan yang kedua, masa Abbasiyah. Namun keduanya ditolak. Sikap tegasnya pada khalifah Al-Manshur sangat masyhur. Semuanya mencerminkan karakter Abu Hanifah yang tidak mudah tunduk kepada tirani.

 

Takdir berbicara, bagaimana Abu Hanifah mendapat ujian akibat politik kezhaliman. Api pemberontakan terhadap penguasa Umawiyah yang sadis dan tiran berkobar di seantero negeri yang berakhir dengan pembantaian missal yang mengerikan. Dalam situasi kacau dan memprihatinkan itu, Imam Abu Hanifah didatangi utusan penguasa Irak yang durjana, Yazid bin Hubairah yang menawarkan jabatan qadhi bersama sejumlah ulama lainnya.

 

Sebagai seorang yang berilmu dan berfikiran tajam, Abu Hanifah sadar bahwa penguasa durjana dan para pemimpinnya yang biadab itu hanya bertujuan menjadikan dirinya dan para ulama lain sebagai justifikasi bagi perbuatan jahat mereka. Justifikasi para ulama ini akan dimanfaatkan para penguasa untuk mengelabui masyarakat, bahwa kebiadaban mereka sah dan didukung penguasa zhalim.

 

Dengan tegas Abu Hanifah mengumumkan penawan itu secara terbuka. Ia berkata bahwa, demi Allah, jika Ibnu Hurairah membuka pintu-pintu kota Wasith bagiku, aku akan menolak untuk memasukinya, maka bagaimana mungkin aku menerimanya, padahal ia hendak membunuh seorang laki-laki mukmin? Demi Allah, aku menolak selamanya.

 

Penolakan ini membuat pemimpin tirani berang. Ia menjebloskan Abu Hanifah ke penjara selama dua minggu dengan harapan, berubah fikiran. Selama dalam penjara, Abu Hanifah dicambuk 10 kali setiap hari selama 10 hari, hingga nyaris nyawanya terenggut.

 

Namun, Allah berkata lain, dinasti Umawiyah tumbang akibat kezalimannya yang melampau. Ketegasan sikap Abu Hanifah terhadap penguasa zhalim dinasti Umawiyah yang tercermin pada sosok Yazid bin Hubairah, juga beliau lakukan terhadap Abu Ja’far Al Manshur, penguasa Abbasiyah. Hal ini disadari logika pemikirannya bahwa seorang tiran yang zhalim harus diperangi, tak peduli apakah ia Umawiyah atau Abbasiyah.

 

Ketika itu, Al-Manshur menawarkan jabatan yang dulu pernah ditawarkan Dinasti Umawiyah, tetapi Abu Hanifah bersikukuh menolaknya. Keduanya sama-sama ngotot. Al-Manshur ngototmenawarkan agar Abu Hanifah menerima jabatan itu, bahkan ia bersumpah, sedang Abu Hanifah juga demikan halnya tetap menolak dan bersumpah untuk tetap dalam pendiriannya. Rabi’ bin Yunus, menteri Al Manshur berkata, “Tidakkah engaku lihat Khalifah bersumpah?” Abu Hanifah menjawab, “Ia lebih mampu membayar keffarat atas sumpahnya daripada aku!” akhirnya Abu Hanifah ditangkap lalu dipenjarakan. Namun setelah beberapa hari dia ditanya lagi, “Bersediakah engakau?” Abu Hanifah menjawab, “Aku tidak layak menjadi qadhi.” “Engaku dusta!”, sergah Al Manshur. “Engkau telah mengatakan aku pendusta, berarti aku tidak patut menjadi qadhi.

 

Kalaupun aku pendusta, aku tetap akan mengatakan, ‘tidak’” tukas Abu Hanifah tanpa beban. Al Manshur berang dan memvonis hukuman cambuk pada Abu Hanifah. Hukuman inilah akhirnya merenggut nyawanya, ia wafat setalah mendapat cambukan kali ke 130. Ruhnya yang suci melayang saat beliau sujud. Abu Hanifah wafat sebagai syuhada, sementara Al-Mashur menjalani hari-harinya dan dinyatakan oleh sejarah sebagai seorang penguasa zhalim dan durjana. Tepat di di tahun wafatnya 150 H, Imam Syafi’i juga lahir, dengan itu sering dikatakan bahwa imam yang satu pergi dan yang lain datang.

 

Karakter ketabahan dan konsistansi dalam mempertahankan kebenaran (istiqamah), melawan kezaliman yang dilakukan oleh penguasa tiran adalah sebuah karakter yang merupakan dasar dari ajaran Islam yang tidak diperselisihkan lagi kebenarannya.

 

 

Tiada ulasan: