Catatan Popular

Jumaat, 17 September 2021

NABI PALSU TAKUT MEMBAKAR IMAM ABU MUSLIM AL KHAULANI

Di Jazirah Arab tersebar luas berita bahwa sakit Rasulullah SAW bertambah berat. Syetan mengambil kesempatan itu dengan membujuk Aswad al-Ansi untuk kembali murtad.

 

Dia memimpin kaumnya di Yaman dan menyatakan bahwa dia adalah “Nabi” yang diutus dari sisi Allah.

 

Aswad al-Ansi adalah seorang lelaki yang sangat gigih, kuat secara fizik, tapi busuk jiwanya dan selalu berbuat jahat. Ia sangat meyakini pengaruh tenung dan pandai bermain sulap.

 

Lebih dari itu, ia fasih berbicara, menarik bila menerangkan, cerdik otaknya, mampu bermain licik, dan jika berkawan dan berbuat baik selalu mengharapkan imbalan. Ia selalu menutup mukanya dengan kain hitam, bila tampil di hadapan umum untuk menutupi dirinya dari kejahatan dan kekejian.

 

Seruan Aswad al-Ansi telah tersebar di Yaman bagaikan menjalarnya api di kayu kering. Pengikutnya adalah dari suku-suku Yaman. Merekalah yang paling luas pengaruhnya dan paling besar kekuatannya dalam membantu al-Ansi menciptakan kebohongan dan penipuan.

 

Ia mengaku dirinya raja yang turun dari langit dan membawa wahyu. Dia mengaku juga mampu mengabarkan hal ghaib.

 

Bermacam cara ia tempuh untuk meyakinkan masyarakat.

 

Di antaranya dengan menyebarkan mata-mata di setiap tempat untuk memberitahukan berbagai persoalan yang menimpa masyarakat. Lalu mata-mata itu mencoba membuka rahasia-rahasia mereka dan memberi kabar pada mereka.

 

Mata-matanya juga menyampaikan masalah mereka, berupa harapan-harapan atau cita-cita maupun berupa keluhan-keluhan penyakit. Pada waktu itulah, mata-matanya menipu orang-orang dan merayu agar berlindung dan meminta pertolongan kepada Aswad al- ‘Ansi.


Jika salah seorang warga datang, al-Ansi memberitahukan padanya bahwa dia mengetahui apa yang tersembunyi dari permasalahan yang mereka rasakan. Bahkan dia mengetahui yang terbetik dalam jiwa mereka. Lalu dia menampakkan di hadapan mereka hal-hal aneh dan ajaib yang dapat menyedot perhatian mereka. Ia pun semakin populer. Pengikutnya semakin banyak.

 

Akhirnya, dia pindah ke Shan’a. dari Shan’a, ia pindah ke daerah lain. Ia berhasil menguasai daerah yang letaknya di antara Hadramaut dan Thaif, juga daerah di antara Bahrain dan ‘Adn.



Ketika Aswad al-Ansi makin kuat kedudukannya, tampillah para Mukmin. Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh pada Islam, dan benar-benar yakin pada Nabi-Nya, betul-betul tunduk kepada Allah dan RasulNya. Pengikut al-Ansi mengambil tindakan kejam terhadap mereka.

 

Di antara orang-orang yang menentang itu, yang paling menonjol adalah Abdullah bin Tsuwab yang kemudian lebih dikenal dengan Abu Muslim al-Khaulani (seorang Tabi’in).

 

Setelah mengetahui bahwa Abu Muslim menentangnya, Aswad al-Ansi ingin bertindak kejam pada Abu Muslim. Al-Ansi berharap tindakannya itu dapat menimbulkan rasa takut dan gelisah dalam jiwa para penentang ajarannya, baik yang secara sembunyi maupun terang-terangan. Dengan begitu, ia berharap mereka berhenti menentangnya.

 

Dia menyuruh untuk menumpuk kayu bakar di depan masyarakat Shan’a lalu menyalakannya. Lalu dia mengundang orang-orang untuk menyaksikan dialog agama ahli fiqh Yaman dengan Abu Muslim al-Khaulani. Ini dilakukan agar dia dapat mengukuhkan kenabiannya.

 

Pada waktu yang telah ditentukan, al-Ansi datang di halaman yang telah dipenuhi warga. Dia didampingi oleh para algojo dan pengikutnya dengan diapit oleh ajudan dan komandan pasukannya. Lalu dia duduk di kursi kebesarannya yang mengahadap ke api.

 

Waktu itulah, Abu Muslim diseret kedepannya, agar dapat dilihat orang banyak.

 

Setelah Abu Muslim berada di hadapannya, para pengikut al-Ansi yang berbohong dan sombong melihat padanya.

 

Al-Ansi melihat api yang berkobar di hadapan Abu Muslim, lalu menoleh kepadanya seraya berkata,

 

“Apakah engkau masih bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?”

 

“Benar,” jawab Abu Muslim, “Aku masih tetap bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusanNya. Dan dia juga adalah penghulu para utusan Allah dan penutup para Nabi.”



Wajah Aswad al-Ansi mengerut, merah penuh dengan kemarahan. Dia bertanya, “Dan apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”


“Sesungguhnya telingaku tuli sehingga aku tidak mendengar apa yang kau katakan,”
 jawab Abu Muslim.


“Kalau begitu aku akan melemparkanmu ke dalam api itu,” kata al-Ansi.


“Kalau engkau melakukannya, maka sebenarnya yang paling aku takuti adalah api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu-batuan, yang para penjaganya adalah malaikat yang keras dan menakutkan. Ia tidak pernah berbuat durhaka kepada Allah terhadap perintah-perintahNya; bukan kepada api yang bahan bakarnya dari kayu bakar,”
 kata Abu Muslim.


Al-Aswad berkata, “Aku tak akan terburu-buru melemparkanmu ke dalam api itu. Aku masih memberikan kesempatan untuk memikirkan dan menarik kembali pemikiran itu.”


Al-Ansi kembali mengulangi pertanyaannya, “Apakah engkau masih bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?”

 

Abu Muslim tetap pada pendiriannya.



Hal itu membuat kemarahan al-Ansi bertambah. Dia bertanya lagi, “Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”


“Bukankah aku telah memberitahukan kepadamu bahwa telingaku ini tuli sehingga tidak mendengar perkataanmu?” jawab Abu Muslim.


Meledaklah kemarahan Aswad al-Ansi karena pedasnya jawaban, tenangnya jiwa dan tegarnya Abu Muslim. Ia pun memerintahkan agar Abu Muslim segera dilemparkan ke dalam api yang sedang berkobar-kobar itu.

 

Pada waktu itulah kepala pengawalnya datang kepada al-Ansi dan berbisik-bisik di dekat telinganya.

 

“Orang ini, sebagaimana yang engkau ketahui adalah orang yang suci jiwanya dan dikabulkan doanya.

 

Sesungguhnya Allah sekali-kali tak akan memberikan pertolongan kepadamu atas seorang mukmin. Dia betul-betul tak akan membiarkan hamba-hambaNya dalam kekejaman dan penyiksaan walau, hanya satu detik. Jika engkau telah melemparkannya ke dalam api, kemudian Allah menyelamatkan, berarti engkau telah menghancurkan apa yang telah engkau bangun selama ini dalam sekejap saja. Juga berarti engkau mendorong orang untuk mengingkari kenabianmu dengan cepat. Tapi kalau api itu dapat membakarnya, maka orang bertambah kagum kepadanya dan tambah memuliakan dan mengagungkannya.”


Al-Ansi mulai bermusyawarah dengan para pengikutnya. Hasil musyawarah itu memutuskan untuk mengeluarkan dan mengusir Abu Muslim al-Khaulani dari daerah itu selama-lamanya.


Abu Muslim al-Khaulani pergi ke Madinah dengan harapan dapat bertemu langsung dengan Nabi SAW. Dia sangat gembira menjadi sahabat Rasulullah SAW. Tapi ketika hampir sampai ujung Madinah, berita duka atas wafatnya Rasulullah SAW sampai padanya.

 

Sampai pula berita kepadanya bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq telah terpilih sebagai khalifah kaum muslimin setelah wafatnya Rasulullah SAW.



Berita itu membuat Abu Muslim sangat sedih. Dia merasakan kerinduan kepada Rasulullah saw yang amat dalam di hatinya.



Setelah Abu Muslim sampai ke Madinah, ia langsung menuju ke Masjid Rasulullah SAW. Sesampainya di sana, dia pun menambatkan untanya lalu masuk ke masjid Nabi dan mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW. Dia terus berdiri di salah satu tiang masjid dan mulai shalat.



Setelah selesai shalat, Umar bin Khaththab menghampirinya dan bertanya kepadanya, “Dari manakah engkau?”



“Dari Yaman,” jawab Abu Muslim



“Bagaimana pertolongan Allah kepada sahabat kita yang dilemparkan ke dalam api oleh musuh Allah, apakah Allah menyelamatkannya?” tanya Umar lagi.



“Itu adalah berkat kebaikan dan nikmat Allah yang paling baik” jawab Abu Muslim.



“Demi Allah, andakah orang itu?” tanya Umar.

“Benar,” jawab Abu Muslim.

 

Umar langsung mencium dahi Abu Muslim, dan berkata, “apakah engkau mengetahui balasan Allah terhadap musuh-Nya dan musuhmu itu?”



“Tidak” jawab Abu Muslim. “Karena berita-berita tentang orang itu telah lama putus dariku sejak aku meninggalkan Yaman.”



Umar menerangkan, “Allah telah membunuhnya melalui tangan sisa-sisa orang mukmin yang benar dan Dia telah merampas kekuasaannya dan mengembalikan para pengikutnya pada agama Allah,”



Abu Muslim berkata, “Segala puji Allah yang tidak mengeluarkan aku dari dunia sampai merasakan bahagia karena para penipu dari penduduk Yaman kembali pada Islam.”



“Aku memuji Allah yang telah mempertemukanku dengan salah satu umat Muhammad yang mengalami siksaan seperti Khalil ar-Rahman, bapak kita Ibrahim,” kata Umar.



Umar memegang tangan Abu Muslim dan membimbingya untuk menemui Abu Bakar. Setelah masuk, Abu Muslim mengucapkan salam kepada sang khalifah dan membaiatnya.



Abu Bakar mempersilahkan Abu Muslim untuk duduk di antara dia dengan Umar dan memintanya untuk menceritakan kejadian yang menimpanya, akibat perbuatan al-Ansi.



Begitulah. Abu Muslim tinggal di Madinah al-Munawwarah selama beberapa waktu. Selama di sana, ia mengisi waktu dengan mendatangi masjid Rasulullah SAW.

 

Shalatnya selalu dilakukan di Raudhah al-Muthahharah dengan kekhusyu’an yang mengagumkan. Dia banyak belajar dari keluasan pengalaman para sahabat yang mulia, seperti Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Abu Dzar al-Ghifari, Ubadah bin Shamit, Mu’adz bin Jabal dan Auf bin Malik al-Asyja’i.



Begitulah keteguhan dan kecintaan mereka kepada baginda kita Muhammad SAW. Karena mereka mengetahui bagaimana hakikat sebenarnya risalah yang dibawa oleh makhluk yang paling baik yaitu Muhammad Rasulullah SAW.

 

Sehingga hati mereka terus istiqamah dalam mengikuti sunnah dan membela beliau SAW walaupun dengan taruhan nyawa.  Itulah suri tauladan yang patut kita contoh, dikarenakan mereka adalah manusia-manusia dari generasi terbaik umat ini.  

 

Tiada ulasan: