Catatan Popular

Selasa, 15 Mac 2022

HIKAM ATHAILLAH SYARAH HABIB AHMAD ASEEGAF KE 39 : Jangan Minta Hajat (Kebutuhan) Kepada Selain Allah

Menurut Kalam Hikmah ke 39 Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary:

 

“Janganlah engkau meminta suatu kebutuhan kepada selain-Nya sebab Dialah yang memberi kebutuhan itu kepadamu.

Bagaimana meminta selain kepada Allah sesuatu yang diletakkan oleh Allah? Orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dirinya bagaimana ia bisa memenuhi kebutuhan orang lain?”

 

DALAM kata hikmah sebelumnya Ibnu Athaillah menerangkan tentang kemurahan, kebaikan dan kesempurnaan kekayaan Allah. Maka pada kata hikmah ini beliau memberi nasehat kalau engkau mengerti bahwa Allah Maha Pemurah dan berbuat baik kepada seluruh makhluk-Nya, maka janganlah engkau meminta suatu kebutuhan kepada selajn-Nya, sebab Dialah yang memberi kebutuhan kepadamu.

Semua harus dikembalikan kepada Allah. Kalau ada kebutuhan, maka mintalah kepada Allah karena yang memberi kebutuhan adalah Allah. Allah-lah yang menurunkan rahmat, rezeki dan Dialah yang memberi segala kebutuhan makhluk-Nya. Dialah Rabbul Alamin yang merawat ciptaan-Nya sejak terciptanya langit dan bumi sampai di surga nanti.

Pada setiap kebutuhan jangan berharap kepada selain Allah sebab segala sesuatu selain Allah itu juga berhajat seperti dirimu. Semua makhluk di alam ini butuh kepada Allah. Yang memenuhi kebutuhan mereka adalah Allah.

Begitu pula, kalau ada bencana menimpa, seperti kemiskinan, maka mengadulah kepada-Nya. Karena yang menurunkan dan yang mengangkat bala hanyalah Allah. Jangan mengeluh kepada selain Allah. Sebab, orang lain tidak bisa menyingkirkan bencana itu. Bagaimanakah sesuatu selain Allah dapat menyingkirkan sesuatu yang diletakkan oleh Allah? Bagaimana orang yang tidak dapat menyingkirkan suatu bencana (kemiskinan atau lainnya) bagi dirinya dapat menyingkirkan suatu bencana dari orang lain?

Jangan menoleh kepada selain Allah, jangan sangat berharap dan sangat merendahkan diri kepada selain Allah. Seseorang yang menggantungkan diri kepada selain Allah maka ia tertipu oleh suatu khayalan yang tidak tetap. Dan tidak ada yang tetap kecuali Allah. Dialah yang tetap dan qadim yang selalu memberi karunia dan rahmat-Nya. Pemberian Allah dan anugerahnya tetap ada dan terus menerus, tidak pernah berhenti dan putus.

Dialah AI-Hayyu (memiliki sumber hidup) Al-Qayyum (yang mengurus makhluk-Nya).

Dialah Al-Karim (Yang Maha Pemurah) yang tidak pernah berhenti memberi, yang tidak jemu memberi, yang memberi sebelum diminta, yang tidak peduli siapa yang diberi dan berapa yang diberikan.

 

Oleh karena selain Allah adalah khayalan dan tidak ada hakikatnya, maka kalau ada hajat, kemiskinan, kesulitan, atau harapan maka minta hajatmu itu kepada Allah. Sebab Allah murka kalau tidak diminta. Berbeda dengan makhluk yang murka bila diminta.

Selalu mintalah kepada Allah, baik itu hajat kecil atau besar, seperti Nabi Musa meminta sesuatu yang paling besar kepada Allah, yaitu meminta melihat Allah. Ia berdoa;

أَنْظُرْ إِلَيْكَ

“Ya Tuhanku, Perlihatkan Dirimu padaku agar aku melihat-Mu.” (QS. Al-A’raf: 143)

Nabi Musa juga pernah butuh sesuatu yang kecil, yaitu sekeping roti, ketika merasa lapar di bawah sebuah pohon di kota Madyan di saat tidak ada orang yang dikenal yang mau mengajaknya makan. Nabi Musa mengangkat hajatnya kepada Allah:

“Ya Tuhanku, Sungguh aku, terhadap apa yang kau turunkan kepadaku dari kebaikan, sangat membutuhkan.” (Al-Qashash: 24)

Jangan kuatir. Orang yang benar-benar menggantungkan diri kepada Allah, maka akan dicukupi oleh Allah. Namun harus dengan tawakkal dan takwa yang sesungguhnya. Orang yang menggantungkan diri kepada selain Allah itu lemah imannya. Ia berbuat syirik, seakan-akan ia meyakini ada yang bisa menolong selain Allah.

Orang yang mengharap kepada manusia akan kembali dengan tangan hampa dan pulang dengan kecewa. Tetapi orang yang mengharap Allah tidak kan pulang dengan tangan kosong. Pasti tangannya terisi. Cerita yang dialami cucu Nabi, Sayyidina Hasan bin Ali di bawah ini menggambarkan hal itu.

Setiap tahun Sayyidina Hasan bin Ali mendapat seribu dinar, sebagai bagian Ahlul Bait dari harta pemerintah Islam. Pada tahun itu, Muawiyah menahan bagian Sayyidina Hasan sehingga menyebabkan kesempitan dalam kehidupannya.

Sayyidina Hasan berkata, “Lalu aku minta tinta untuk menulis surat kepada Muawiyah agar mengingatkan dia tentang diriku. Aku menahan diri untuk tidak menulis dulu. Tiba-tiba aku bermimpi Rasulullah.”

“Bagaimana keadaanmu, wahai Hasan?” tanya Rasulullah.

“Baik, Ayahanda,” jawabku. Aku mengadu kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang lambatnya harta bagianku.

“Apakah Engkau minta tinta agar kau menulis surat kepada makhluk sepertimu untuk mengingatkannya tentang hal itu?” kata Rasulullah.

“Ya, wahai Rasulullah. Lalu apa yang harus aku lakukan?” ucapku.

“Ucapkanlah:

 “Ya Allah, masukkanlah dalam hatiku harapan kepada-Mu dan putuskan harapanku dari selain Engkau sehingga aku tidak mengharapkan seorang pun selain Engkau. Ya Allah, sesuatu yang aku tidak melakukannya, tidak cukup amalku untuk memenuhinya, tidak sampai keinginanku kepadanya, dan tidak sempat aku memintanya dan tidak nampak keyakinan pada lidah (ucapan)ku kepada apa yang Engkau berikan kepada seseorang dari orang-orang terdahulu dan yang berakhir. Maka khususkanlah aku dengannya, Ya Robbal ‘Aalamiin.”

Demi Allah, Belum sampai satu minggu aku membaca doa itu tiba-tiba Muawiyah mengirimkan kepadaku dua ribu. Aku ucapkan, “Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah yang tidak melupakan orang yang mengingat-Nya dan tidak mengecewakan orang yang berharap kepada-Nya.”

Kemudian aku bermimpi Rasulullah lagi. “Bagaiman keadaanmu, wahai Hasan?” tanya Rasulullah.

“Baik, Ya Rasulullah.”

“Wahai anakku. Begitulah orang yang mengharap Al-Khaliq (Allah) dan tidak mengharap makhluk,” kata Rasulullah kepadaku.

Penuturan Muhammad bin Husein bin Hamdan juga menunjukkan hal itu. Muhammad bin Husein bin Hamdan berkata: Ketika saya berada di majlis Yazid bin Harun di sampingku ada orang, lalu aku bertanya kepadanya;

“Siapa namamu?”

“Said.”

“Siapa gelarmu?”

“Abu Utsman.”

“Bagaimana keadaanmu?”

“Aku kehabisan uang.”

“Siapa yang kamu harap?”

“Aku mengharap kepada Yazid.”

“Kalau engkau mengharap Yazid, pasti engkau tidak dapat harapanmu dan engkau pasti kecewa.”

“Dari mana engkau mengetahui ini, semoga Allah merahmatimu?”

“Karena aku membaca di sebuah kitab yang diturunkan Allah bahwa Allah berfirman;

Demi kemuliaan-Ku, Kebesaran-Ku, kemurahan-Ku, dan ketinggian-Ku di atas Arsy, Aku akan putuskan harapan orang yang berharap kepada selain-Ku dengan kekecewaan dan pasti orang itu Aku beri pakaian kehinaan di depan manusia, dan Aku jauhkan dari dekat-Ku dan Aku putus hubungannya dengan-Ku. Apakah ia mengharap kepada selain-Ku dalam kesukaran sedangkan yang menyingkirkan kesukaran itu adalah Aku? Apakah ia mengharap selain-Ku dan mengetuk pintu selain-Ku, sedangkan kunci pintu itu ada pada-Ku. Padahal semua pintu tertutup dan pintu-Ku selalu terbuka bagi orang yang berdoa kepada-Ku. Siapakah yang memohon kepada-Ku lalu tidak mendapat, siapakah yang mengetuk pintuku lalu tidak Aku buka? Aku telah memenuhi langit-Ku dengan makhluk-makhluk yang tidak jemu bertasbih dari malaikat-Ku dan Aku perintahkan mereka jangan menutup pintu antara Aku dan hamba-Ku. Apakah orang yang meminta kepada orang lain dalam keadaan musibah tidak tahu bahwa tidak ada yang dapat menyingkirkan musibah itu kecuali Aku? Apakah engkau tidak melihat bahwa makhluk itu Aku beri sebelum meminta kemudian ia minta kepada-Ku, apakah ia tidak akan Aku beri? Apakah Aku ini kikir sehingga dianggap kikir. Bukankah dunia dan akhirat ini milik-Ku? Bukankah rahmat dan karunia di tangan-Ku? Bukankah kemurahan itu sifat-Ku? Bukankah Aku ini tempat bagi orang yang punya harapan? Seandainya penduduk bumi dan penduduk langit bersatu untuk berharap kepada-Ku kemudian aku beri satu persatu keinginannya maka tidak berkurang kerajaan-Ku, walaupun sekecil debu. 

Bagaimana akan berkurang kerajaan-Ku sedangkan Aku yang mengurusnya? Alangkah sialnya orang yang putus asa dari rahmatKu dan alangkah sialnya orang yang melanggar Aku dan tidak memperhatikan Aku dan melakukan perbuatan haram dan tidak malu kepada-Ku.”

“Mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepadamu. Ulangilah keterangan itu kepadaku. Maka demi Allah, setelah ini aku tidak akan menulis keterangan yang lain,” kata orang itu.

Tiada ulasan: