Catatan Popular

Isnin, 29 November 2021

KITAB ASH SHIDQ BAGIAN LAPAN : ZUHUD – FASAL 2

SYEIKH ABU SAID AL KHARRAZ (si tukang melubangi sepatu)

Selain itu, ada orang yang berzuhud karena menginginkan dan mengharapkan masuk Surga. Dan karena itu, ia meninggalkan dunia dengan segala keni‘matannya, sebab hatinya hanya berkeinginan untuk mengumpulkan pahala yang disediakan oleh Allah s.w.t. (211). Hal ini sebagaimana yang diindikasikan oleh Hadits Qudsi sebagai berikut:

وَ أَمَّا الزَّاهِدِيْنَ فِي الدُّنْيَا فَإِنِّيْ أُبِيْحُهُمُ الْجَنَّةَ

Dan ada pun orang-orang yang berzuhud di dunia, maka Aku menyediakan Surga untuk mereka.”

Membaca al-Qur’ān Harus Diiringi Sifat Zuhud

Saking pentingnya laku zuhud, hingga ada sebagian ‘ulamā yang berkata: Tidak sempurna bacaan al-Qurān seorang hamba, kecuali dengan dibarengi sikap zuhud Dan derajat paling tinggi dari orang yang berzuhud dari perkara dunia adalah mereka yang mengikuti petunjuk cinta Allah s.w.t. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang bervisi jauh, pintar, dan pecinta sejati dengan senantiasa menjunjung firman-Nya yang mencela dan merendahkan kedudukan dunia. Dan sebab itu, maka Allah s.w.t. tidak meridainya menjadi tempat tinggal para kekasih-Nya. Oleh karena itu, mereka malu terhadap Allah s.w.t. sekiranya Dia mendapati diri mereka berhasrat dan mencintai sesuatu yang dicela dan tidak diridhāi-Nya.

Dengan demikian, bagi mereka, tindakan menjauhi dunia adalah suatu keharusan dengan tanpa perlu mengharapkan balasan dari Allah s.w.t. demi memuliakan keagungan-Nya. Selain itu, mereka pun meyakini bahwasanya Allah s.w.t. tidak akan menyia-nyiakan kebajikan dari orang-orang yang berbuat baik.

Dan ketahuilah, bahwasanya orang-orang yang mengikuti petunjuk Allah s.w.t. dalam segala perbuatannya adalah orang-orang yang bervisi jauh ke depan dan derajat mereka di sisi Allah s.w.t. adalah yang paling tinggi. Hal ini pernah disinggung dalam hadits Nabi s.a.w. yang diriwayatkan dari Abū Dardā, yang bunyinya sebagai berikut:

يَا حَبَّذَا نَوْمَ الأَكْيَاسِ وَ إِفْطَارُهُمْ!! كَيْفَ غَنِمُوْا سَهْرَ الْحَمْقَى وَ صِيَامَهُمْ؟! وَ لَمِثْقَالُ صَاحِبِ التَّقْوَى وَ يَقِيْنٍ أُوْزَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ أَمْثَالِ الْجِبَالِ مِنْ أَعْمَالِ الْمُغْتَرِيْنَ

Duhai, alangkah bahagia tidur dan berbukanya orang-orang yang penuh keyakinan terhadap Allah s.w.t.! Bukankah pahala mereka melebihi balasan bagi orang-orang bodoh yang terjaga malam dan berpuasa di siang hari?! Sungguh pahala dari ‘amal seberat atom pun yang dilakukan orang yang bertaqwā dan penuh keyakinan kepada Allah s.w.t. akan lebih berat di sisi Allah daripada amal sebesar gunung yang dilakukan orang-orang yang tertipu.” (222)

Kesimpulannya

Penjelasan di atas berkenaan dengan anugerah Allah s.w.t. sudah cukup memadai bagi orang-orang yang berpikir rasional. Dan hanya dari Allah s.w.t. saja datangnya taufīq.

Konon, pernah diriwayatkan dari ‘Umar Ibn ‘Abd-il-‘Azīz r.a. bahwasanya beliau pernah melihat seorang pemuda yang wajahnya terlihat sangat pucat. Kala itu, ‘Umar berujar: “Wahai Pemuda! Apa gerangan yang menyebabkan wajahmu terlihat pucat?” “Karena penyakit, wahai Amīr-ul-Muminīn, jawab pemuda. Berkatalah yang jujur! hardik Umar. Benar, karena penyakit,” kata si pemuda mengulangi jawabannya. “Kamu kalau menjawab, harus dengan jujur,” kata ‘Umar kembali menegaskan. “Wahai, Amīr-ul-Muminīn! Saya telah menjauhkan dunia dari hawa nafsuku, sehingga, bagiku, sama saja antara nilai batu dengan nilai emas. Saya juga seolah-olah telah melihat para penghuni Surga, yang satu sama lain saling mengunjungi dan para penghuni Neraka yang menjerit meminta pertolongan.” (233) Mendengar jawaban itu, ‘Umar kembali bertanya: “Wahai pemuda! Dari mana kamu memperoleh pelajaran ini?” “Bertaqwālah kepada Allah, niscaya akan terbuka seribu jalan ‘ilmu.” jawab si pemuda. (244)

Dengan demikian, apabila kita tidak mempunyai banyak pengetahuan tentang amalan yang kita kerjakan, kelak ‘amalan tersebut pasti akan ditinggalkan. Dan sebaliknya, andai kita melaksanakan sebagian saja dari yang kita ketahui, niscaya kita akan memperoleh banyak pengetahuan yang berlimpah. (255)

Suatu kali, pernah diriwayatkan bahwa Sayyidinā Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. meminta air minum. Setelah dihidangkan, air minum tersebut segera beliau teguk. Namun, dengan tiba-tiba beliau memuntahkannya kembali seraya menangis. Melihat hal itu, orang-orang merasa keheranan dan lantas bertanya. Jawaban beliau: “Dulu aku pernah melihat Rasūlullāh s.a.w. sedang menepis-nepiskan tangan dari badannya, seolah-olah ada yang menghinggapinya, pada hal aku tidak melihat apa-apa. Setelah itu, aku kemudian bertanya: “Duhai, Rasūlullāh! Saya lihat baginda menepis-nepiskan tangan, pada hal tidak tampak sesuatu pun yang baginda tepiskan. Jawab beliau: “Ya, itulah dunia yang datang dengan berhias diri di hadapanku. Maka kukatakan: “Pergilah jauh dariku! (266). Saat itu, si dunia menjawab: “Jika engkau dapat selamat dari godaanku, niscaya orang-orang yang sesudahmu tidak akan selamat dari bujuk rayuku.”

Setelah menceritakan hadits Nabi s.a.w. tersebut, maka Abū Bakar berkata: “Aku sangat khawatir seandainya dunia telah mempengaruhiku.” Selain itu, dikatakan pula bahwa dalam minuman yang dihidangkan kepada beliau tersebut terdapat air dan madu. Dan karena itulah, maka beliau menangis meratapi dirinya.

Di samping itu, dalam banyak keterangan hadits dikatakan bahwa para sahabat Nabi s.a.w. tidak pernah makan dengan tujuan meni‘mati kelezatannya, atau pun berpakaian demi meni‘mati kenyamanannya. (277) Bahkan, pernah diriwayatkan, ketika banyak para sahabat Nabi yang memperoleh keleluasaan dunia setelah Nabi wafat, yaitu dengan jalan banyaknya penaklukan negara-negara baru, sehingga secara otomatis banyak harta kekayaan yang menghampirinya, mereka terus-menerus menangisi dan menyesali diri, dan selalu berkata: “Kami cemas, jangan-jangan balasan ‘amal perbuatan kami disegerakan di dunia, dan tidak memperoleh apa-apa kelak di Akhirat.

Oleh karena itu, setiap hamba harus bertaqwā kepada Allah s.w.t., menyadari kelemahan diri, mengikuti jejak langkah orang-orang terdahulu (as-Salaf-ush-Shāli), dan senantiasa mengakui kealpaannya kepada-Nya. Sesudah itu, mohonlah ampunan dari-Nya atas segala perbuatan dosa dan pertolongan untuk tidak berbuat kesalahan.

Tiada ulasan: