Catatan Popular

Ahad, 2 Oktober 2011

TOKOH SUFI KLASIK : HABIB AL AJAMI (BERGURU KEPADA HASAN AL BASRI) (M- 120H / 737M)

Habib Muhamad Al-Ajami adalah seorang dari bangsa persia yg menetap di Baghdad, dia merupakan salah seorang tokoh besar dalam ilmu tasawuf serta murid dari ulama tasawuf besar yaitu Hasan Al-Basri, dan beliau pun juga dikenal sebagai salah seorang ahli hadists yang merawikan hadits -hadits dari Hasan Al- Basri , Ibnu sirin dan tokoh tokoh terpercaya lainnya.


Mulanya dia adalah seorang yang banyak berbuat kejahatan, lintah darat, senang berfoya-foya akan tetapi setelah mendapat nasehat dari dalil – dalil dari Hasan Al-Basri dia akhirnya bertaubat, dan beliau menjadi murid sekaligus sahabat dari sang guru besar tasawuf tersebut.

Kisah Habib Si Orang Persia

Semula Habib adalah seorang yang kaya raya dan suka membungakan Wang. Ia tinggal di kota Bashrah, dan setiap hari berkeliling kota untuk menagih piutang-piutangnya. Jika tidak memperoleh angsuran dari langganannya, maka ia menuntut uang ganti rugi dengan dalih alas sepatunya yang menjadi aus di perjalanan. Dengan cara seperti inilah Habib menutupi biaya hidupnya sehari-hari.

Pada suatu hari Habib pergi ke rumah seorang yang berutang kepadanya. Namun yang hendak ditemuinya sedang tak ada di rumah. Maka Habib meminta ganti rugi kepada isteri orang itu.

“Suamiku tak ada di rumah, “Isteri orang yang berutang itu berkata kepadanya, “Aku tak mempunyai sesuatu pun untuk diberikan kepadamu tetapi kami menyembelih seekor domba dan lehernya masih tersisa, jika engkau suka akan kuberikan kepadamu.”

“Bolehlah!” si lintah darat menjawab. Ia berpikir bahwa setidaknya ia dapat mengambil leher domba itu dan membawanya pulang, “Masaklah!”

“Aku tak mempunyai roti dan minyak, “si wanita menjawab.

“Baiklah,” si lintah darat menjawab, “Aku akan mengambil minyak dan roti, tapi untuk semua itu engkau harus membayar ganti rugi pula.” Lalu ia pun pergi mengambil minyak dan roti.

Kemudian si wanita segera memasaknya di dalam belanga. Setelah masak dan hendak dituangkan ke dalam mangkuk, seorang pengemis datang mengetuk pintu.

“Jika yang kami miliki kami berikan kepadamu,” Habib mendamprat si pengemis, “Engkau tidak akan menjadi kaya, tetapi kami sendiri akan menjadi miskin!”

Si pengemis yang kecewa memohon kepada si wanita agar ia sudi memberikan sekadar makanan kepadanya. Si wanita segera membuka tutup belanga, ternyata semua isinya telah berubah menjadi darah hitam. Melihat ini, wajahnya menjadi pusat pasi. Segera ia mendapatkan Habib dan menarik lengannya untuk memperlihatkan isi belanga itu kepadanya.

“Saksikanlah apa yang telah menimpa diri kita karena ribamu yang terkutuk dan hardikanmu kepada si pengemis!” Si wanita menangis. “Apakah yang akan terjadi atas diri kita di atas dunia ini? Apa pula di akhirat nanti?”

Melihat kejadian ini dada Habib terbakar oleh api penyesalan. Penyesalan yang tidak akan pernah mereka lupakan seumur hidupnya.

“Wahai wanita! Aku menyesal segala perbuatan yang telah kulakukan!”

Keesokan harinya Habib berangkat pula untuk menemui orang-orang yang berutang kepadanya. Kebetulan sekali hari itu adalah hari Jum’at dan anak-anak bermain di jalanan. Ketika melihat Habib, mereka berteriak-teriak, “Lihat, Habib sang lintah darat sedang menuju ke sini, ayo kita lari, kalu tidak niscaya debu-debu tubuhnya akan menempel di tubuh kita dan kita akan terkutuk pula seperti dia!”

Seruan-seruan ini sangat melukai hati Habib. Kemudian ia pergi ke gedung pertemuan dan di sana terdengarlah olehnya ucapan-ucapan itu bagaikan menusuk-nusuk jantungnya sehingga akhirnya ia jatuh terkulai.

Habib bertaubat kepada Allah dari segala perbuatan yang telah dilakukannya, setelah menyadari apa sebenarnya yang terjadi, Hasan al Bashri datang memapahnya dan menghibur hatinya. Ketika Habib meninggalkan tempat pertemuan itu seseorang yang berutang kepadanya melihatnya, dan mencoba untuk menghindari dirinya.

“Jangan lari!” Habib berkata. “Pada waktu yang sudah-sudah engkaulah yang menghindari diriku, tetapi sejak saat ini akulah yang harus menghindari dirimu.”

Habib meneruskan perjalanannya, anak-anak tadi masih juga bermain-main di jalan. Melihat Habib, mereka segera berteriak, “Lihatlah Habib yang telah bertaubat sedang menuju ke mari. Ayolah kita lari! Jika tidak, niscaya debu-debu di tubuh kita akan menempel di tubuhnya sedang kita adalah orang-orang yang telah berdosa kepada Allah.”

“Ya Allah ya Tuhanku!” seru Habib, “Baru saja aku membuat perdamaian dengan-Mu, dan Engkau telah menabuh genderang-genderang di dalam hati manusia untuk diriku dan telah mengumandangkan namaku di dalam keharuman.”

Kemudian Habib membuat sebuah pengumuman yang berbunyi, “Kepada siapa saja yang menginginkan harta harta benda milik Habib, datang dan ambillah!”

Orang-orang datang berbondong-bondong, Habib memeberikan segala harta kekayaannya kepada mereka dan akhirnya ia tak mempunyai sesuatu pun juga. Namun masih ada seseorang yang datang untuk meminta, kepada orang ini Habib memberikan cadar isterinya sendiri. Kemudian datang pula seorang lagi dan kepadanya Habib memberikan pakaian yang sedang dikenakannya, sehingga tubuhnya terbuka. Dan ia lalu pergi menyepi ke sebuah pertapaan di pinggir sungai Eufrat, dan di sana ia membaktikan diri untuk beribadah kepada Allah. Siang malam ia belajar di bawah bimbingan Hasan namun betapa pun juga ia tidak dapat menghapal Al-Qur’an, dan karena itulah ia dijuluki ‘ajami atau si orang Barbar.

Waktu berlalu, Habib sudah benar-benar dalam keadaan papa, tetapi isterinya masih tetap menuntut biaya rumah tangga kepadanya. Maka pergilah Habib meninggalkan rumahnya menuju tempat pertapaan untuk melakukan kebaktiannya kepada Allah dan apabila malam tiba barulah ia pulang.

“Dimana sebenarnya engkau bekerja sehingga tak ada sesuatu pun yang engkau bawa pulang?” isterinya mendesak.

“Aku bekerja pada seseorang yang sangat Pemurah,” jawab Habib, “Sedemikian Pemurahnya Dia sehingga aku malu meminta sesuatu kepada-Nya, apabila saatnya nanti pasti ia akan memberi, karena seperti katanya sendiri, “Sepuluh hari sekali aku akan membayar upahmu.”

Demikian setiap hari Habib pergi ke pertapaannya untuk beribadah kepada Allah. Pada waktu shalat Zhuhur pada hari yang kesepuluh, sebuah pikiran mengusik batinnya, “Apakah yang akan kubawa pulang nanti? Apakah yang harus kukatakan kepada isteriku?”

Lama ia termenung di dalam perenungannya itu. Tanpa sepengetahuannya, Allah Yang Maha Besar telah mengutus pesuruh-pesuruh-Nya ke rumah Habib. Yang seorang membawakan gandum sepemikulan keledai, yang lain membawa seekor domba yang telah di kuliti, dan yang terakhir membawa minyak, madu, rempah-rempah dan bumbu-bumbu. Semua itu mereka pikul disertai seorang pemuda gagah yang membawa sebuah kantung berisi 300 dirham perak. Sesampainya di rumah Habib, si pemuda mengetuk pintu.

“Apakah maksud kalian datang kemari?” tanya isteri Habib setelah membukakan pintu.

Majikan kami telah menyuruh kami untuk mengantarkan barang-barang ini,” pemuda gagah itu menjawab, “Sampaikanlah kepada Habib, “Bila engkau melipatgandakan jerih payahmu maka Kami akan melipatgandakan upahmu.” Setelah berkata demikian mereka pun berlalu.

Setelah matahari terbenam Habib berjalan pulang. Ia merasa malu dan sedih. Ketika hampir sampai ke rumah, terciumlah olehnya bau roti dan masakan-masakan. Dengan berlari isterinya datang menyambut, menghapus keringat di wajahnya dan bersikap lembut kepadanya, sesuatu yang tak pernah dilakukannya pada waktu yang sudah-sudah.

“Wahai suamiku,” si isteri berkata, “majikanmu adalah seorang yang sangat baik dan pengasih. Lihatlah segala sesuatu yang telah dikirimkannya kemari melalui seorang pemuda yang gagah dan tampan. Pemuda itu berpesan, “Bila Habib pulang, katakanlah kepadanya, bila engkau melipatgandakan jerih payahmu maka Kami akan melipatgandakan upahmu.”

Habib terheran-heran, “Sungguh menakjubkan! Baru sepuluh hari aku bekerja, sudah sedemikian banyak imbalan yang dilimpahkan-Nya kepadaku, apa pulakah yang akan dilimpahkan-Nya nanti?”

Sejak saat itu Habib memalingkan wajahnya dari segala urusan dunia dan membaktikan dirinya untuk Allah semata-mata.

Dikisahkan ketika pada awal permulaan taubatnya dia membuat pengumuman yang berbunyi, “kepada siapa saja yang mengingikan harta benda milik Habib segera datang dan ambilah!”. Mendengan pengumuman itu maka banyak orang yang datang kerumahnya yang terletak di sebuah persimpanga jalan di kota Baghdad untuk meminta hartanya, dan Habib memenuhi janjinya dengan memberikan seluruh hartanya hungga tidak memiliki apa-apa lagi. Meskipun begitu masih ada orang yang datang untuk meminta bagian, dan Habib pun memberikan cadar istrinya sendiri dan bahkan pakaian yang sedang dikenakannya sendiri.
Habib lalu pergi menyepi ke sebuah pertapaan di tepi sungai Eiphrat, di tempat inilah beliau membaktikan diri kepada Allah SWT dengan melakukan banyak ibadah sambil belajar di bawah bimbingan Hasan Al-Basri, dia mempunyai kesulitan dalam menhapal Al-Qur’an oleh karena itu dia di juluki Ajami atau si orang barbar.
Waktu terus berlalu , Habib benar – benar dalam kondisi yang sudah melarat, etapi isterinya tetap menuntut biaya rumah tangga kepadanya, menghadapi hal ini beliau biasanya buru – buru pergi ke tempat menyepi beliau untuk beribadah dan baru pulang ketika malam tiba, repotnya sang isteri menyaka bahwa beliau sedang pergi bekerja dan selalu bertanya dimana sebenarnya engkau bekerja dan kenapa tidak sesuatu pun yang engkau bawa pulang ?
Beliau menjawab,”Aku bekerja kepada yang sangat Pemurah sedemikian Pemurahnya Dia sehingga aku merasa malu untuk meminta sesuatu ke padaNya, apabila sudah tiba saatnya dia pasti akan memberikan bayaran buat kita”. Demikian lah Habib selalu pergi ke tempat nya menyepi untuk beribadah sedang sang isteri selalu menyangka dia sedang bekerja.
Suatu hari Habib merasa kebingungan karena lagi -lagi dia harus pulang kerumah dengan tangan hampa, lam dia termenung memikirkan hal itu. Tanpa sepengetahuan Habib Allah Yang Maha Besar mengutus pesuruh – pesuruhNya untuk datang kerumah Habib dengan membawa berbagai macam barang, ada yang membawa gandum sepemikulan keledai, ad yang membawa seekor domba gemuk yang telah di kuliti, ada yang membawa minyak, madu, rempah – rempah serta aneka macam bumbu, meraka di pimpin oleh seorang pemuda gagah yang membawa sebuah kantung berisi uang sebanyak 300 dirham perak, setibanya di rumah Nabib si pemuda mengetuk pintu, “apakah maksud kalian datang kemari?” tanya isteri Habib setelah membukakanpintu. “Majikan kami telah menyuruh kami untuk mengantarkan barang – barang ini. sampaikanlah kepada Habib, bila dia semakin tekun bekerja, maka upahnya akan dilipatgandakan, “jawab si pemuda.
Begitulah yang terjadi, setelah Habib pulang dengan perasaan gundah karena tidak membawa apa-apa, setelah sampai di rumah tiba-tiba dia mencium aroma harum roti dan aneka masakan, yang semakin membuatnya heran, isterinya menyambut kedatangannya dengan sangat mesra, menghapus keringat di wajahnya, serta bersikap sangat lembut, benar – benar berbeda dari sikapnya yang biasanya. “Wahai suamiku, majikanmu memang benar-benar seorang yang sangat baik dan pemurah, lihatlah, segala sesuatu yang telah di kirimkannya kemari, melaui beberapa orang yang di pimpin oleh seorang pemuda yang sangat gagah berani, si pemuda juga mengatakan bahwa jika engkau semakin tekun bekerja, maka upahnya akan dilipatgandakan,”kata isteri Habib. Mulanya Habib sangat terkejut mendengar penuturan isterinya, dia pun maklum dengan yang sesungguhnya terjadi. Allah SWT telah memenuhi janjinya. Sejak saat itu Habib benar – benar memalingkan wajah dari urusan dunia dan membaktikan dirinya untuk ALLAh SWT semata.

Tiada ulasan: